MENYEBUT Tulangbawang tak bisa tidak segera membayang kemasyhuran pada masa lalu. Secara historis, Tulangbawang adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia di samping Sriwijaya, Kutai, dan Tarumanegara.
Dari catatan penziarah China, Fa-Hien, tersebutlah sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P'o-Hwang (Tulangbawang), di pedalaman Chrqse (pulau emas Sumatera).
Meskipun belum bisa dipastikan, ahli sejarah J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulangbawang (antara Menggala dan Pagardewa), sekitar 20 km dari Menggala.
Saat Islam masuk ke Indonesia abad ke-15, Menggala dan alur Way Tulangbawang menjadi ramai dengan aktivitas perdagangan berbagai komoditas. Dari sini terkenal komoditas unggulan lada hitam.
Pesatnya perniagaan membuat nadi Way Tulangbawang berdenyut kencang. Menggala menjadi dermaga tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Singapura.
Di bawah pemerintahan kolonial Jenderal Herman Wiliam Deandles, mulai 22 November 1808, pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa. Terbentuklah pemerintahan marga yang dipimpin kepala marga (kebuayan). Wilayah Tulangbawang sendiri dibagi dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada 1914, menyusul dibentuk Buay Aji.
Sistem pemerintahan marga berganti pemerintahan pesirah pada 1864 dan tidak banyak berubah pada zaman pendudukan Jepang. Saat Indonesia merdeka, ketika Lampung ditetapkan sebagai keresidenan, Tulangbawang menjadi wilayah kewedanaan.
Lalu, ketika Lampung menjadi provinsi sendiri, wilayah Menggala ditetapkan menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Utara, lalu menjadi pembantu bupati Lampung Utara wilayah Menggala pada 1981 sampai menjadi kabupaten sendiri pada 1997. Terakhir, pada 2007 Tulangbawang pun dimekarkan menjadi tiga kabupaten: Mesuji, Tulangbawang Barat, dan Tulangbawang.
Dari sisi kultural, keberadaan Megow Pak (Buay Bulan, Buay Tegamoan, Buay Umpu, dan Buay Aji) telah membawa Tulangbawang menjadi daerah yang kental dengan kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, sastra, seni rupa, arsitektur, seni tari, serta rangkaian upacara adat khas Lampung Tulangbawang.
Demikianlah, Tulangbawang dengan ibu kotanya Menggala terus menggeliat secara dinamis. Dengan melihat sejarah dan dinamika sosial-budaya yang berkembang di Tulangbawang, boleh jadi akan berkembang pesat menjadi sebuah wilayah yang menyimpan khazanah kultural dan kekuatan perekonomomian. Pada gilirannya, kekayaan ini diharapkan mampu membawa masyarakat Tulangbawang yang aman, damai, sejahtera.
Pemimpin baru--dengan bekal sejarah dan kebudayaan adiluhung ini--setidaknya diharapkan mampu mengangkat dan menyatukan potensi terserak bersatu padu menjadi kekuatan yang akan membangun Tulangbawang, setidaknya lima tahun ke depan. Jayalah Tulangbawang! (ZULKARNAIN ZUBAIRI/D3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2012
Dari catatan penziarah China, Fa-Hien, tersebutlah sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P'o-Hwang (Tulangbawang), di pedalaman Chrqse (pulau emas Sumatera).
Meskipun belum bisa dipastikan, ahli sejarah J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulangbawang (antara Menggala dan Pagardewa), sekitar 20 km dari Menggala.
Saat Islam masuk ke Indonesia abad ke-15, Menggala dan alur Way Tulangbawang menjadi ramai dengan aktivitas perdagangan berbagai komoditas. Dari sini terkenal komoditas unggulan lada hitam.
Pesatnya perniagaan membuat nadi Way Tulangbawang berdenyut kencang. Menggala menjadi dermaga tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Singapura.
Di bawah pemerintahan kolonial Jenderal Herman Wiliam Deandles, mulai 22 November 1808, pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa. Terbentuklah pemerintahan marga yang dipimpin kepala marga (kebuayan). Wilayah Tulangbawang sendiri dibagi dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada 1914, menyusul dibentuk Buay Aji.
Sistem pemerintahan marga berganti pemerintahan pesirah pada 1864 dan tidak banyak berubah pada zaman pendudukan Jepang. Saat Indonesia merdeka, ketika Lampung ditetapkan sebagai keresidenan, Tulangbawang menjadi wilayah kewedanaan.
Lalu, ketika Lampung menjadi provinsi sendiri, wilayah Menggala ditetapkan menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Utara, lalu menjadi pembantu bupati Lampung Utara wilayah Menggala pada 1981 sampai menjadi kabupaten sendiri pada 1997. Terakhir, pada 2007 Tulangbawang pun dimekarkan menjadi tiga kabupaten: Mesuji, Tulangbawang Barat, dan Tulangbawang.
Dari sisi kultural, keberadaan Megow Pak (Buay Bulan, Buay Tegamoan, Buay Umpu, dan Buay Aji) telah membawa Tulangbawang menjadi daerah yang kental dengan kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, sastra, seni rupa, arsitektur, seni tari, serta rangkaian upacara adat khas Lampung Tulangbawang.
Demikianlah, Tulangbawang dengan ibu kotanya Menggala terus menggeliat secara dinamis. Dengan melihat sejarah dan dinamika sosial-budaya yang berkembang di Tulangbawang, boleh jadi akan berkembang pesat menjadi sebuah wilayah yang menyimpan khazanah kultural dan kekuatan perekonomomian. Pada gilirannya, kekayaan ini diharapkan mampu membawa masyarakat Tulangbawang yang aman, damai, sejahtera.
Pemimpin baru--dengan bekal sejarah dan kebudayaan adiluhung ini--setidaknya diharapkan mampu mengangkat dan menyatukan potensi terserak bersatu padu menjadi kekuatan yang akan membangun Tulangbawang, setidaknya lima tahun ke depan. Jayalah Tulangbawang! (ZULKARNAIN ZUBAIRI/D3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2012
No comments:
Post a Comment