PELIPUTAN kegiatan kesenian di Lampung selama ini dinilai kurang berkembang dan belum berkedalaman, sehingga tak mampu mengimbangi perkembangan gairah seni dan budaya setempat yang terus makin tumbuh.
Karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung menjalin kerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar workshop menulis esai dan berita seni di aula PKBI Lampung di Bandarlampung, Sabtu-Minggu (1-2/12), kata Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di Bandarlampung, Minggu.
Menurut dia, aktivitas seni dan budaya itu kurang diapresiasi publik bila ditulis dengan 'hard news' atau berita lempang apa adanya.
Peristiwa kesenian perlu ditulis lebih mendalam dan menimbulkan dialog antara pembaca dan seniman, kata dia.
Jurnalis perlu membekali diri dengan kemampuan dalam menulis berita seni, agar lebih enak dinikmati dan membangun budaya apresiatif bagi pembaca, ujar jurnalis Harian Umum Tribun Lampung itu pula.
Workshop menulis esai dan berita seni yang diselengarakan AJI bekerjasama dengan Dewan Kesenian Lampung bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis dalam meliput kegiatan kesenian, kata Wakos pula.
Kegiatan yang dilangsungkan dua hari, Sabtu dan Minggu (1-2/12) ini, diikuti sebanyak 25 peserta yang berasal dari pengelola pers mahasiswa, jurnalis, dan penulis lepas.
Materi disampaikan jurnalis senior Oyos Saroso HN (The Jakarta Post) dan Udo Z. Karzi/Zulkarnain Zubairi (Redaktur Harian Umum Lampung post).
Menurut Wakos, dalam beberapa tahun terakhir perkembangan jurnalisme seni di Lampung tampak stagnan.
Laporan peristiwa kesenian di Lampung¿teater, sastra, musik, seni rupa¿nyaris ditulis seragam.
Jurnalis hanya mewartakan peristiwa kesenian berdasarkan kaidah berita standar, tanpa kedalaman, kurang apresiatif, dan kurang mampu menimbulkan dialog dengan para kreator atau pembaca, ujar dia lagi.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan perkembangan dan gairah seni-budaya di Lampung, baik sastra, teater, musik, seni rupa, maupun seni tradisional hampir sepanjang tahun penuh dengan hiruk-pikuk.
Peristiwa kesenian sering diadakan oleh para seniman atau penggiat kesenian.
"Kalau aneka peristiwa kesenian itu hanya ditulis layaknya hard news berita politik atau kriminal, tentu akan menjadi sia-sia peristiwa kesenian tersebut," kata dia pula.
Padahal, ujar Wakos, bagi media massa, laporan jurnalistik seni budaya yang apresiatif dan mendalam tentu secara langsung atau tidak akan menambah bobot produk media massa yang bersangkutan.
Oyos Saroso selaku pemateri workshop itu menilai, sesekali muncul tulisan yang apresiatif dan mendalam tentang kesenian.
Namun, menurut dia, semua itu ditulis oleh seniman atau pengamat seni.
Dia menilai, perusahaan pers di Lampung belum mampu melakukan regenerasi jurnalis yang andal di bidang penulisan laporan seni budaya atau melahirkan jurnalis yang bisa meliput kegiatan seni budaya dengan baik.
Ketersediaan sumberdaya manusia disinyalir menjadi persoalan utama.
"Regenerasi penulis esai seni di Lampung juga berjalan agak tersendat. Penulis, pengamat, dan praktisi seni yang menulis esai seni kebanyakan penulis lama. Jarang sekali ada penulis esai baru dari kalangan muda," kata Oyos yang juga mantan Ketua AJI Bandarlampung itu.
Sumber: Antara, Senin, 4 Desember 2012
Karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung menjalin kerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar workshop menulis esai dan berita seni di aula PKBI Lampung di Bandarlampung, Sabtu-Minggu (1-2/12), kata Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di Bandarlampung, Minggu.
Menurut dia, aktivitas seni dan budaya itu kurang diapresiasi publik bila ditulis dengan 'hard news' atau berita lempang apa adanya.
Peristiwa kesenian perlu ditulis lebih mendalam dan menimbulkan dialog antara pembaca dan seniman, kata dia.
Jurnalis perlu membekali diri dengan kemampuan dalam menulis berita seni, agar lebih enak dinikmati dan membangun budaya apresiatif bagi pembaca, ujar jurnalis Harian Umum Tribun Lampung itu pula.
Workshop menulis esai dan berita seni yang diselengarakan AJI bekerjasama dengan Dewan Kesenian Lampung bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis dalam meliput kegiatan kesenian, kata Wakos pula.
Kegiatan yang dilangsungkan dua hari, Sabtu dan Minggu (1-2/12) ini, diikuti sebanyak 25 peserta yang berasal dari pengelola pers mahasiswa, jurnalis, dan penulis lepas.
Materi disampaikan jurnalis senior Oyos Saroso HN (The Jakarta Post) dan Udo Z. Karzi/Zulkarnain Zubairi (Redaktur Harian Umum Lampung post).
Menurut Wakos, dalam beberapa tahun terakhir perkembangan jurnalisme seni di Lampung tampak stagnan.
Laporan peristiwa kesenian di Lampung¿teater, sastra, musik, seni rupa¿nyaris ditulis seragam.
Jurnalis hanya mewartakan peristiwa kesenian berdasarkan kaidah berita standar, tanpa kedalaman, kurang apresiatif, dan kurang mampu menimbulkan dialog dengan para kreator atau pembaca, ujar dia lagi.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan perkembangan dan gairah seni-budaya di Lampung, baik sastra, teater, musik, seni rupa, maupun seni tradisional hampir sepanjang tahun penuh dengan hiruk-pikuk.
Peristiwa kesenian sering diadakan oleh para seniman atau penggiat kesenian.
"Kalau aneka peristiwa kesenian itu hanya ditulis layaknya hard news berita politik atau kriminal, tentu akan menjadi sia-sia peristiwa kesenian tersebut," kata dia pula.
Padahal, ujar Wakos, bagi media massa, laporan jurnalistik seni budaya yang apresiatif dan mendalam tentu secara langsung atau tidak akan menambah bobot produk media massa yang bersangkutan.
Oyos Saroso selaku pemateri workshop itu menilai, sesekali muncul tulisan yang apresiatif dan mendalam tentang kesenian.
Namun, menurut dia, semua itu ditulis oleh seniman atau pengamat seni.
Dia menilai, perusahaan pers di Lampung belum mampu melakukan regenerasi jurnalis yang andal di bidang penulisan laporan seni budaya atau melahirkan jurnalis yang bisa meliput kegiatan seni budaya dengan baik.
Ketersediaan sumberdaya manusia disinyalir menjadi persoalan utama.
"Regenerasi penulis esai seni di Lampung juga berjalan agak tersendat. Penulis, pengamat, dan praktisi seni yang menulis esai seni kebanyakan penulis lama. Jarang sekali ada penulis esai baru dari kalangan muda," kata Oyos yang juga mantan Ketua AJI Bandarlampung itu.
Sumber: Antara, Senin, 4 Desember 2012
No comments:
Post a Comment