Oleh Fedli Aziz
KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan yang dilaksanakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos (Belanda) telah berlangsung tiga kali. Dan helat khusus bagi sutradara perempuan se Sumatera ketiga dilangsungkan, 10-14 Desember 2013 lalu di Taman Budaya Lampung. Sayang, agenda itu belum mencapai kemajuan berarti karena hampir semua pengkarya yang tampil masih berkutat pada potensi belaka.
SEBANYAK delapan grup asal Sumatera, plus satu grup asal Solo berkumpul di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung. Bukan sekedar berkumpul dan berbagi pengalaman, mereka bahkan menampilkan karya panggung hasil dari workshop penciptaan teater yang dilaksanakan dua bulan sebelumnya di tempat yang sama. Agenda tersebut menjadi lanjutan dari agenda serupa pada 2009 dan 2011 silam.
Beragam karya lewat proses penciptaan yang dihasilkan sutradara bersama kelompoknya menjadi ukuran keseriusan. Sejauh mana sutradara dan kelompok yang mewakili daerahnya itu mampu mengaplikasikan teks ke atas panggung menjadi karya menarik untuk dinikmati. Apalagi setiap karya yang dibentang disaksikan ratusan penikmat teater yang didominasi para pelajar Kota Bandar Lampung sekitarnya. Artinya, karya-karya itu memang diapresiasi masyarakat sebagai tontonan alternatif yang kian diminati.
‘’Kami harus tampil total. Menyuguhkan karya terbaik kepada apresiator di sini yang memang antusias. Kami harap suguhan kami mampu ditangkap dan dirasakan secara mendalam masyarakat di sini,’’ ungkap sutradara Teater Selembayung Riau, Ika Elizar usai pertunjukan.
Ika Elizar bersama kelompoknya, kali ini mementaskan karya Sophocles berjudul Antigone yang diadaptasinya menjadi Putusan Akhir. Teks bergaya realis klasik barat itu dipadupadankannya dengan pendekatan Melayu dengan pola pemanggungan Teater Bangsawan Melayu yang saat ini mulai jarang dipentaskan, bahkan di kawasan Melayu sendiri, apalagi Riau. Paling tidak, usaha Ika dan kawan-kawan mendapat respon positif dengan banyaknya penonton yang memberi selamat dan menyatakan suka secara langsung usai pementasan.
Sesuai dengan tujuannya, helat itu memang untuk menggelar karya-karya drama dari dalam dan luar negeri dengan adaptasi baru ke dalam konteks budaya daerah setempat melalui petunjukan teater. Sehingga dapat memperkaya khasanah pemikiran dan produk artistik untuk membangun sebuah paradigma pengembangan dan pembangunan kebudayaan di Sumatera. Hal ini disampaikan Pimpinan Teater Satu Lampung Iswadi Pratama disela-sela acara yang berlangsung selama empat hari tersebut.
‘’Kami melihat potensi-potensi besar dari setiap sutradara dan grup yang tampil di sini dan berharap ke depan akan lebih maju lagi. Jangan sampai berhenti di sini saja, tapi terus berkarya dan berkarya,’’ ulasnya.
Ditambahkannya, agenda ini bertujuan membuka akses informasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk maju dan berkembang bagi seniman dan kelompok-kelompok teater, juga dengan melibatkan LSM Perempuan di Sumatera, baik dalam persepektif gender maupun artistik dan organisasi. Sehingga secara kualitatif memiliki kesetaraan dengan seniman dan organisasi serupa yang telah lebih dahulu berhasil mengembangkan diri di lingkup nasional juga global.
‘’Tidak tertutup kemungkinan, nantinya grup-grup teater Sumatera, terutama karya sutradara perempuan mampu bersaing dan memperkaya khazanah budaya di Sumatera,’’ harapnya.
Ruang Dialog yang Menyenangkan
Pementasan karya-karya teater di Taman Budaya Lampung tidak berlalu begitu saja. Setiap sutradara harus mempertanggung jawabkan karyanya di depan beberapa pengamat dan apresiator, dalam hal ini grup lain yang menonton. Inilah ruang yang menakutkan bagi banyak sutradara, sekaligus menyenangkan sebab setiap pengkarya akan berbantah-bantahan mempertahankan konsep yang dipilihnya dalam penciptaan.
Apalagi pengamat yang dihadirkan, sebagai penghargaan bagi sutradara dan kelompoknya merupakan para aktor dan sutrdara serta pemerhati teater yang cukup ternama. Misalnya saja, Tony Broer yang saat ini menjadi dosen di STSI Bandung sekaligus menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, S3. Selain aktor dan sutradara, Tony Broer dikenal sebagai tokoh butoh Indonesia. Selain itu, AJ Erwin dan Yani Mae serta Iswadi Pratama yang telah banyak menghasilkan karya-karya panggung untuk grup yang diasuhnya.
Setiap sutradara, terlebih dahulu membentangkan sekitar proses penciptaannya. Kemudian, menjelaskan konsep garapan dari penyutradaraan, keaktoran, serta penggunaan faktor pendukung seperti dekorasi panggung, kostum, make up, tata cahaya, musik dan sebagainya. Setelah itu, barulah para pengamat secara bergantian mengupas karya mereka dengan gaya dan cara masing-masing.
Dalam diskusi yang berlangsung setiap pagi hingga siang itu, cukup banyak hal yang bisa ditangkap, terutama, menyoal kendala dan berbagai hal sekitar penciptaan. Terungkap berbagai kemungkinan yang seharusnya lebih digali maupun kemungkinan lain seperti masih minimnya pemahaman sutradara terhadap teks, bahkan kemampuan aktor-aktornya yang masih belum termaksimalkan dalam karya mereka. Selain itu, tentu saja minimnya pemahaman tentang adaptasi naskah besar bersanding dengan khazanah lokalitas daerah masing-masing.
‘’Saya kira mereka, sutradara-sutradara itu memiliki kekuatan dan ciri masing-masing dalam proses penciptaan. Hanya saja, masih belum tergali secara mendalam dan cendrung bermain pada permukaan saja. Padahal, jika mereka lebih berani lagi, banyak hal yang bisa mereka perkaya sehingga karya mereka jauh lebih menarik,’’ ulas Tony Broer.
Berbagai utusan juga sempat mempertanyakan kelanjutan KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan selanjutnya. Mereka juga mengharapkan, ke depan, pelaksana kegiatan lebih memaksimalkan helat tersebut dengan memberi ruang lebih ‘lapang’ atau memberi waktu yang cukup panjang untuk proses penciptaan karya. Pasalnya, selama tiga kali helat itu berlangsung, waktu yang diberikan terbilang pendek, minimal dua hingga tiga bulan dari pengolahan naskah/teks hingga proses penciptaan karya pemanggungan.
‘’Jika KALA Sumatera masih ada di tahun-tahun ke depan, kami berharap Teater Satu dan Hivos memberi waktu lebih panjang untuk proses penciptaan. Seperti yang kita pahami bersama, proses penciptaan karya panggung, khususnya teater memerlukan waktu yang cukup panjang antara empat hingga enam bulan atau setahun. Kalau waktunya terlalu minim, ya kita akan bicara potensi dan potensi belaka sebab memang waktunya tidak mencukupi untuk penciptaan,’’ papar Ika Elizar dan sutradara-sutradara dari grup lainnya.
Menanggapi hal itu, Iswadi Pratama selaku Pimpinan Teater Satu Lampung dan juga penggagas KALA Sumatera menjelaskan, agenda ini memang potensial untuk pengembangan dan kemajuan grup teater di Sumatera. Hanya saja, untuk persoalan waktu, menjadi kendala serius karena dana dari donatur, turunnya hampir sama dengan dana yang dikucurkan pemerintah. Artinya, tidak bisa sesuai dengan keinginan penyelenggara dan hal itu belum ada solusi yang memadai.
‘’Keterlambatan pencairan dana dari donatur menjadi kendala yang belum ada solusinya. Karenanya, soal waktu kami juga menyayangkannya tapi mau dibilang bagaimana lagi. Sudah begitu aturan mainnya,’’ tegas Iswadi.
Bahkan untuk KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan IV kemungkinan sulit untuk dilaksanakan sebab Hivos Belanda, sudah memindahkan program kebudayaan ke Afrika dan di Asia tinggal program lingkungan saja. Namun Iswadi berjanji akan mencari cara lain untuk tetap melaksanakan helat lanjutan, meski tanpa Hivos. ‘’Menang sayang seribu kali sayang jika program ini terhenti sampai di sini saja. Tapi kami akan berupaya untuk tetap melanjutkannya dengan cara lain asal helat ini tetap bisa terlaksana,’’ katanya mengakhiri.
Sebagai ilustrasi grup-grup yang tampil di KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan III 2013 antara lain Teater Selembayung Riau, Teater Kapook Impas Stain Metro (Lampung), UKMF FKIP Unila (Lampung), Teater Rumah Mata Medan (Sumut), Teater Sambilan Ruang Padangpanjang (Sumbar), Teater Tonggak Jambi (Jambi), Teater Kentroeng Rock N’ Roll (Solo), Komunitas Seni Lima Nol Satu Palembang (Sumsel), Teater Kedai Proses (Bengkulu). Pementasan ditutup tuan rumah Teater Satu Lampung dengan judul Tanjung Karang dan Kisah-kisah yang Mengingatkan. n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013
KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan yang dilaksanakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos (Belanda) telah berlangsung tiga kali. Dan helat khusus bagi sutradara perempuan se Sumatera ketiga dilangsungkan, 10-14 Desember 2013 lalu di Taman Budaya Lampung. Sayang, agenda itu belum mencapai kemajuan berarti karena hampir semua pengkarya yang tampil masih berkutat pada potensi belaka.
SEBANYAK delapan grup asal Sumatera, plus satu grup asal Solo berkumpul di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung. Bukan sekedar berkumpul dan berbagi pengalaman, mereka bahkan menampilkan karya panggung hasil dari workshop penciptaan teater yang dilaksanakan dua bulan sebelumnya di tempat yang sama. Agenda tersebut menjadi lanjutan dari agenda serupa pada 2009 dan 2011 silam.
Beragam karya lewat proses penciptaan yang dihasilkan sutradara bersama kelompoknya menjadi ukuran keseriusan. Sejauh mana sutradara dan kelompok yang mewakili daerahnya itu mampu mengaplikasikan teks ke atas panggung menjadi karya menarik untuk dinikmati. Apalagi setiap karya yang dibentang disaksikan ratusan penikmat teater yang didominasi para pelajar Kota Bandar Lampung sekitarnya. Artinya, karya-karya itu memang diapresiasi masyarakat sebagai tontonan alternatif yang kian diminati.
‘’Kami harus tampil total. Menyuguhkan karya terbaik kepada apresiator di sini yang memang antusias. Kami harap suguhan kami mampu ditangkap dan dirasakan secara mendalam masyarakat di sini,’’ ungkap sutradara Teater Selembayung Riau, Ika Elizar usai pertunjukan.
Ika Elizar bersama kelompoknya, kali ini mementaskan karya Sophocles berjudul Antigone yang diadaptasinya menjadi Putusan Akhir. Teks bergaya realis klasik barat itu dipadupadankannya dengan pendekatan Melayu dengan pola pemanggungan Teater Bangsawan Melayu yang saat ini mulai jarang dipentaskan, bahkan di kawasan Melayu sendiri, apalagi Riau. Paling tidak, usaha Ika dan kawan-kawan mendapat respon positif dengan banyaknya penonton yang memberi selamat dan menyatakan suka secara langsung usai pementasan.
Sesuai dengan tujuannya, helat itu memang untuk menggelar karya-karya drama dari dalam dan luar negeri dengan adaptasi baru ke dalam konteks budaya daerah setempat melalui petunjukan teater. Sehingga dapat memperkaya khasanah pemikiran dan produk artistik untuk membangun sebuah paradigma pengembangan dan pembangunan kebudayaan di Sumatera. Hal ini disampaikan Pimpinan Teater Satu Lampung Iswadi Pratama disela-sela acara yang berlangsung selama empat hari tersebut.
‘’Kami melihat potensi-potensi besar dari setiap sutradara dan grup yang tampil di sini dan berharap ke depan akan lebih maju lagi. Jangan sampai berhenti di sini saja, tapi terus berkarya dan berkarya,’’ ulasnya.
Ditambahkannya, agenda ini bertujuan membuka akses informasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk maju dan berkembang bagi seniman dan kelompok-kelompok teater, juga dengan melibatkan LSM Perempuan di Sumatera, baik dalam persepektif gender maupun artistik dan organisasi. Sehingga secara kualitatif memiliki kesetaraan dengan seniman dan organisasi serupa yang telah lebih dahulu berhasil mengembangkan diri di lingkup nasional juga global.
‘’Tidak tertutup kemungkinan, nantinya grup-grup teater Sumatera, terutama karya sutradara perempuan mampu bersaing dan memperkaya khazanah budaya di Sumatera,’’ harapnya.
Ruang Dialog yang Menyenangkan
Pementasan karya-karya teater di Taman Budaya Lampung tidak berlalu begitu saja. Setiap sutradara harus mempertanggung jawabkan karyanya di depan beberapa pengamat dan apresiator, dalam hal ini grup lain yang menonton. Inilah ruang yang menakutkan bagi banyak sutradara, sekaligus menyenangkan sebab setiap pengkarya akan berbantah-bantahan mempertahankan konsep yang dipilihnya dalam penciptaan.
Apalagi pengamat yang dihadirkan, sebagai penghargaan bagi sutradara dan kelompoknya merupakan para aktor dan sutrdara serta pemerhati teater yang cukup ternama. Misalnya saja, Tony Broer yang saat ini menjadi dosen di STSI Bandung sekaligus menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, S3. Selain aktor dan sutradara, Tony Broer dikenal sebagai tokoh butoh Indonesia. Selain itu, AJ Erwin dan Yani Mae serta Iswadi Pratama yang telah banyak menghasilkan karya-karya panggung untuk grup yang diasuhnya.
Setiap sutradara, terlebih dahulu membentangkan sekitar proses penciptaannya. Kemudian, menjelaskan konsep garapan dari penyutradaraan, keaktoran, serta penggunaan faktor pendukung seperti dekorasi panggung, kostum, make up, tata cahaya, musik dan sebagainya. Setelah itu, barulah para pengamat secara bergantian mengupas karya mereka dengan gaya dan cara masing-masing.
Dalam diskusi yang berlangsung setiap pagi hingga siang itu, cukup banyak hal yang bisa ditangkap, terutama, menyoal kendala dan berbagai hal sekitar penciptaan. Terungkap berbagai kemungkinan yang seharusnya lebih digali maupun kemungkinan lain seperti masih minimnya pemahaman sutradara terhadap teks, bahkan kemampuan aktor-aktornya yang masih belum termaksimalkan dalam karya mereka. Selain itu, tentu saja minimnya pemahaman tentang adaptasi naskah besar bersanding dengan khazanah lokalitas daerah masing-masing.
‘’Saya kira mereka, sutradara-sutradara itu memiliki kekuatan dan ciri masing-masing dalam proses penciptaan. Hanya saja, masih belum tergali secara mendalam dan cendrung bermain pada permukaan saja. Padahal, jika mereka lebih berani lagi, banyak hal yang bisa mereka perkaya sehingga karya mereka jauh lebih menarik,’’ ulas Tony Broer.
Berbagai utusan juga sempat mempertanyakan kelanjutan KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan selanjutnya. Mereka juga mengharapkan, ke depan, pelaksana kegiatan lebih memaksimalkan helat tersebut dengan memberi ruang lebih ‘lapang’ atau memberi waktu yang cukup panjang untuk proses penciptaan karya. Pasalnya, selama tiga kali helat itu berlangsung, waktu yang diberikan terbilang pendek, minimal dua hingga tiga bulan dari pengolahan naskah/teks hingga proses penciptaan karya pemanggungan.
‘’Jika KALA Sumatera masih ada di tahun-tahun ke depan, kami berharap Teater Satu dan Hivos memberi waktu lebih panjang untuk proses penciptaan. Seperti yang kita pahami bersama, proses penciptaan karya panggung, khususnya teater memerlukan waktu yang cukup panjang antara empat hingga enam bulan atau setahun. Kalau waktunya terlalu minim, ya kita akan bicara potensi dan potensi belaka sebab memang waktunya tidak mencukupi untuk penciptaan,’’ papar Ika Elizar dan sutradara-sutradara dari grup lainnya.
Menanggapi hal itu, Iswadi Pratama selaku Pimpinan Teater Satu Lampung dan juga penggagas KALA Sumatera menjelaskan, agenda ini memang potensial untuk pengembangan dan kemajuan grup teater di Sumatera. Hanya saja, untuk persoalan waktu, menjadi kendala serius karena dana dari donatur, turunnya hampir sama dengan dana yang dikucurkan pemerintah. Artinya, tidak bisa sesuai dengan keinginan penyelenggara dan hal itu belum ada solusi yang memadai.
‘’Keterlambatan pencairan dana dari donatur menjadi kendala yang belum ada solusinya. Karenanya, soal waktu kami juga menyayangkannya tapi mau dibilang bagaimana lagi. Sudah begitu aturan mainnya,’’ tegas Iswadi.
Bahkan untuk KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan IV kemungkinan sulit untuk dilaksanakan sebab Hivos Belanda, sudah memindahkan program kebudayaan ke Afrika dan di Asia tinggal program lingkungan saja. Namun Iswadi berjanji akan mencari cara lain untuk tetap melaksanakan helat lanjutan, meski tanpa Hivos. ‘’Menang sayang seribu kali sayang jika program ini terhenti sampai di sini saja. Tapi kami akan berupaya untuk tetap melanjutkannya dengan cara lain asal helat ini tetap bisa terlaksana,’’ katanya mengakhiri.
Sebagai ilustrasi grup-grup yang tampil di KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan III 2013 antara lain Teater Selembayung Riau, Teater Kapook Impas Stain Metro (Lampung), UKMF FKIP Unila (Lampung), Teater Rumah Mata Medan (Sumut), Teater Sambilan Ruang Padangpanjang (Sumbar), Teater Tonggak Jambi (Jambi), Teater Kentroeng Rock N’ Roll (Solo), Komunitas Seni Lima Nol Satu Palembang (Sumsel), Teater Kedai Proses (Bengkulu). Pementasan ditutup tuan rumah Teater Satu Lampung dengan judul Tanjung Karang dan Kisah-kisah yang Mengingatkan. n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013
No comments:
Post a Comment