"SAYA harap isi museum akan variatif dan betul-betul menggambarkan apa yang terjadi saat kedatangan awal, proses berkembang, dan pencapaian para transmigran," kata Muntawali, staf Dinas Pariwisata Lampung, Jumat (11/5).
Kalimat itu terlontarkan saat acara dialog interaktif antara Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Djoko Sidik Pramono dengan peserta lokakarya pengisian Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan.
Dalam acara dialog itu, Muntawali mengatakan, selain alat- alat tentunya para transmigran melakukan banyak cara untuk mendukung kehidupannya. Ia mencontohkan, industri kecil yang dilakukan masyarakat transmigran seperti industri keripik singkong atau industri tempe bisa menjadi penanda kegiatan ekonomi yang terjadi.
Selain itu, usaha budidaya awal yang dikembangkan para transmigran seperti pertanian padi diharapkan juga bisa menjadi pengisi museum. "Layaknya food gathering pada zaman pra sejarah, kita juga ingin tahu, bagaimana cara para transmigran awal itu mencoba bertahan hidup," kata Mutawali.
Usulan dan berbagai informasi mengenai benda-benda sejarah, foto-foto tempo dulu, hingga kain-kain tua yang dipakai para transmigran zaman kolonisasi tahun 1905 secara berurutan terungkap dari para peserta lokakarya. Mereka yang pada umumnya merupakan staf atau pegawai Dinas Pariwisata dan pengurus Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI).
Pengurus PATRI yang datang merupakan keturunan asli para transmigran awal di Lampung tahun 1905. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. (hln)
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Mei 2007
No comments:
Post a Comment