Bengkulu, 21/5 (ANTARA) - Kepala Museum Negeri Bengkulu Ahadin mengatakan, penerjemah naskah kuno yang ditulis dengan aksara Kaganga semakin langka sehingga banyak koleksi museum yang belum diterjemahkan.
"Hingga saat ini hanya Profesor Sarwit Sarwono dari Universitas Bengkulu yang pernah menerjemahkan sejumlah naskah kuno aksara Kaganga koleksi museum," katanya di Bengkulu, Sabtu.
Aksara Kaganga, adalah huruf daerah Bengkulu.
Minimnya penerjemah naskah kuno yang sebagian besar diperoleh dari tangan masyarakat tersebut, katanya, membuat baru lima persen dari 126 koleksi naskah kuno yang ada di museum itu.
Hingga saat ini, kata dia, baru 10 naskah yang sudah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagian besar naskah kuno tersebut juga tidak diketahui identitas penulisannya (anonim).
Koleksi naskah kuno yang sudah diterjemahkan tersebut antara lain berisi pantun, ramuan obat, sejarah dan wejangan yang sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun.
"Koleksi ini sangat berharga, tapi kelemahannya penerjemah sangat minim. Pak Sarwit juga membawa naskah itu ke daerah asalnya dan mencari orang tua yang masih bisa mengerti aksara Kaganga," jelasnya.
Selain keterbatasan penerjemah, ketersediaan anggaran juga menjadi kendala untuk menerjemahkan naskah kuno tersebut.
Keterbatasan anggaran tersebut membuat kegiatan penerjemahan naskah kuno dilakukan terakhir pada 2003.
"Sejak itu belum pernah ada lagi kegiatan penerjemahan naskah kuno karena kendala dana, setidaknya kami membutuhkan Rp150 juta hingga Rp200 juta," ujarnya.
Anggaran tersebut selain menerjemahkan naskah kuno yang membutuhkan bantuan dari masyarakat yang masih mengenal aksara Kaganga, juga untuk mencetak terjemahan tersebut.
Ahadin mengaku selalu mengusulkan anggaran tersebut setiap tahun dalam APBD provinsi tapi belum terealisasi.
"Kami berharap pemerintah daerah juga memperhatikan kegiatan menggali informasi dari naskah kuno yang ditulis nenek moyang kita, karena banyak ilmu dan pelajaran yang tercantum di dalamnya," katanya.
Selain naskah kuno, museum yang berdiri atas lahan seluas 9.974 meter persegi tersebut juga menyimpan 6.000 jenis koleksi lainnya antara lain tenunan kain tradisional Bengkulu, mesin cetak Drukkey Populair dengan merek "Golden Press" yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk mencetak "uang merah".
Sumber: Antara, Sabtu, 21 Mei 2011
* Catatan ini di bawah ini perlu diberikan untuk menjelaskan bahwa aksara Kaganga tidak hanya dipakai di Bengkulu, tetapi juga beberapa daerah seperti Lampung.
Aksara Kaganga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aksara Kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Aksara-aksara yang termasuk kelompok ini adalah antara lain aksara Rejang, Lampung, Rencong, dan lain-lain.
Nama kaganga ini merujuk pada ketiga aksara pertama dan mengingatkan kita kepada urutan aksara di India.
Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.
Aksara Batak atau Surat Batak juga berkerabat dengan kelompok Surat Ulu akan tetapi urutannya berbeda. Diperkirakan zaman dahulu di seluruh pulau Sumatra dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara Kaganga (Surat Ulu) ini. Tetapi di Aceh dan di daerah Sumatra Tengah (Minangkabau dan Riau), yang dipergunakan sejak lama adalah huruf Jawi.
Perbedaan utama antara aksara Surat Ulu dengan aksara Jawa ialah bahwa aksara Surat Ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa, dan sangat mudah untuk dipelajari .
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.
No comments:
Post a Comment