LABUHAN MARINGGAI (Lampost): Pantai Muara Indah di Desa Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, belum dimanfaatkan secara optimal.
Padahal objek wisata yang membentang hampir sepanjang tiga kilometer itu setiap akhir pekan atau pada hari libur sangat ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun luar daerah.
Salah seorang warga Desa Muara Gading Mas, Ical, saat ditemui kemarin (29-3), menjelaskan Pantai Muara Indah hanya beberapa puluh meter dari lokasi Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Muara Gading Mas. Pantai itu membentang dari Desa Muara Gading Mas hingga Kuala Penet.
Sejak dua tahun terakhir, pantai tersebut ternyata menyita perhatian wisatawan baik lokal maupun luar daerah. Sebab, selain pantainya bersih, pemandangan sekitarnya juga indah.
Sayangnya, kata Ical, meski Pantai Muara Indah kini telah menjadi primadona wisata pantai di Labuhan Maringgai, sampai sejauh ini belum ada perhatian dalam pengelolaan, baik dari Dinas Pariwisata Lamtim atau investor. Aset wisata yang sangat potensial yang masih sangat alami tersebut hanya dibiarkan begitu saja tanpa sentuhan.
Padahal jika lokasi wisata tersebut dikelola dengan baik, sedikit banyak dipastikan bisa mengontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) Lamtim. "Sayang sekali potensi wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan itu dibiarkan begitu saja. Coba kalau Dinas Pariwisata mau mengelolanya, sedikit banyak dipastikan bisa menambah pemasukan bagi PAD Lamtim," kata dia.
Hal senada juga disampaikan Kandar. Warga Desa Muara Gading Mas tersebut juga menyayangkan keindahan Pantai Muara Indah dibiarkan begitu saja.
Menurut dia, di pantai itu, pengunjung bukan hanya bisa mandi di pantai dengan debur ombak kecil, melainkan juga dapat menyaksikan indahnya pemandangan panorama laut dengan kehadiran bagan-bagan milik nelayan.
Dengan kondisi alami dan seadanya saja, tanpa ada promosi, pantai tersebut sudah bisa menyedot ratusan pengunjung setiap akhir pekan atau hari libur, apalagi jika dikelola dengan baik.
"Saya kira lokasi wisata Pantai Muara Indah itu memang layak dikembangkan karena kebersihan dan keindahan pantai itu memang tak kalah dengan tempat lain di Provinsi Lampung ini," kata Kandar.
Sesuai dengan namanya, pemandangan pantai Muara Indah memang indah dan menarik. Dengan ombak yang tidak besar, pengunjung juga bisa dengan santai menikmati terpaan angin laut dan dengan aman pula bisa mandi di sepanjang lokasi pantai tersebut. n JON/R-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 30 Maret 2009
March 30, 2009
Pelukis Gelar Demokrasi Kre-ASI
Bandar Lampung, Kompas - Kesetaraan gender dalam bentuk kuota perempuan tidak hanya diupayakan terwujud ranah politik. Di dunia seni rupa pun kesetaraan gender diupayakan terwujud.
Lima pelukis perempuan Lampung akan menggelar pameran bersama pada 21-27 April 2009 di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, dengan tema ”Demokrasi Kre-ASI” (akan sentuhan ibu).
Pameran bersama tersebut digelar Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung bekerja sama dengan Mediart dan Dinas Pendidikan Lampung. Pameran tersebut sekaligus memperingati Hari Kartini dan Hari Perempuan Internasional.
Dwi P Prasetya, ketua penyelenggara pameran dari Mediart, melalui siaran pers yang diterima pada hari Minggu (29/3) mengatakan, lima pelukis perempuan Lampung yang akan berpameran bersama adalah Tince Jonshon, Ina Yosuha, Ayu Sasmita, Lila, dan Sisna Ningsih. Kelima pelukis tersebut akan memamerkan sekitar 40 lukisan.
Menurut Dwi, sesuai tema yang diusung, setiap pelukis perempuan akan menuangkan pandangan-pandangan mereka sebagai ibu dan perempuan terhadap segala aspek melalui media lukisan.
”Melalui lukisan-lukisan mereka, kita akan bisa melihat seperti apa perempuan memandang masalah atau isu-isu politik, sosial, budaya, konflik, hingga masalah perempuan itu sendiri,” ujar Dwi.
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti mengatakan, kelima pelukis perempuan tersebut patut mendapat acungan jempol. Di tengah kesibukan domestik sebagai ibu rumah tangga, mereka mampu unjuk peran menumbuhkembangkan seni rupa di Lampung.
”Gebrakan mereka melalui pameran merupakan salah satu wujud emansipasi kreatif. Ini merupakan bukti perjuangan dan keseriusan mereka dalam berkarya,” ujar Syafariah.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung M Natsir Ari mengatakan, peristiwa budaya seperti pameran lukisan Demokrasi Kre-ASI merupakan salah satu rangkaian kegiatan pendukung Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009.
Selain menunjukkan perkembangan seni rupa di Lampung, pameran lukisan tersebut juga dapat dijadikan salah satu pilihan untuk mengenal Lampung lebih dekat. ”Diharapkan, ke depan Lampung juga bisa dikenal lewat dunia kesenian, antara lain lewat ranah seni rupa,” ujar M Natsir Ari. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 30 Maret 2009
Lima pelukis perempuan Lampung akan menggelar pameran bersama pada 21-27 April 2009 di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, dengan tema ”Demokrasi Kre-ASI” (akan sentuhan ibu).
Pameran bersama tersebut digelar Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung bekerja sama dengan Mediart dan Dinas Pendidikan Lampung. Pameran tersebut sekaligus memperingati Hari Kartini dan Hari Perempuan Internasional.
Dwi P Prasetya, ketua penyelenggara pameran dari Mediart, melalui siaran pers yang diterima pada hari Minggu (29/3) mengatakan, lima pelukis perempuan Lampung yang akan berpameran bersama adalah Tince Jonshon, Ina Yosuha, Ayu Sasmita, Lila, dan Sisna Ningsih. Kelima pelukis tersebut akan memamerkan sekitar 40 lukisan.
Menurut Dwi, sesuai tema yang diusung, setiap pelukis perempuan akan menuangkan pandangan-pandangan mereka sebagai ibu dan perempuan terhadap segala aspek melalui media lukisan.
”Melalui lukisan-lukisan mereka, kita akan bisa melihat seperti apa perempuan memandang masalah atau isu-isu politik, sosial, budaya, konflik, hingga masalah perempuan itu sendiri,” ujar Dwi.
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti mengatakan, kelima pelukis perempuan tersebut patut mendapat acungan jempol. Di tengah kesibukan domestik sebagai ibu rumah tangga, mereka mampu unjuk peran menumbuhkembangkan seni rupa di Lampung.
”Gebrakan mereka melalui pameran merupakan salah satu wujud emansipasi kreatif. Ini merupakan bukti perjuangan dan keseriusan mereka dalam berkarya,” ujar Syafariah.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung M Natsir Ari mengatakan, peristiwa budaya seperti pameran lukisan Demokrasi Kre-ASI merupakan salah satu rangkaian kegiatan pendukung Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009.
Selain menunjukkan perkembangan seni rupa di Lampung, pameran lukisan tersebut juga dapat dijadikan salah satu pilihan untuk mengenal Lampung lebih dekat. ”Diharapkan, ke depan Lampung juga bisa dikenal lewat dunia kesenian, antara lain lewat ranah seni rupa,” ujar M Natsir Ari. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 30 Maret 2009
Seni Rupa: 5 Pelukis Perempuan Gelar Demokrasi Kre-ASI
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Di tengah gegap gempita pemilu, para pelukis perempuan Lampung hadir unjuk kebolehan. Lewat pergelaran Demokrasi Kre-ASI, lima pelukis Lampung akan menampilkan karya mereka.
Pergelaran pameran yang diusung Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung bekerja sama dengan Mediart, didukung Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dan Class Mild ini akan digelar di Taman Budaya Lampung, Jalan Cut Nyak Dien 24, Palapa, Bandar Lampung.
Ketua panitia dari Mediart, Dwi P. Prasetya, mengatakan pameran yang berlangsung 21--27 April 2009 bertajuk Demokrasi Kre-ASI (akan sentuhan ibu) ini diikuti lima pelukis perempuan, yaitu Tince Jonshon, Ina Yosuha, Ayu Sasmita, Lila, dan Sisna Ningsih.
Pameran ini diharapkan menjadi ajang gelar karya dan dialog antara penekun dan masyarakat. "Kami dari Mediart bangga bisa menyembatani proses dan menyajikan perhelatan pameran ini," ujar Dwi.
Pada pameran yang bakal dibuka Ketua Umum DKL Hj. Syafariah Widianti ini akan ditampilkan 40 lukisan karya lima perupa wanita dengan berbagai ragam aliran. Menurut Atu Ayi--panggilan akrab Syafariah Widianti--peristiwa pameran ini akan menambah lembar sejarah seni rupa Lampung.
"Eksistensi lima perupa perempuan yang hadir dalam pameran kali ini akan mendapat apresiasi dalam takaran jagat seni rupa Lampung," ujar Atu Ayi.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Jonhson Napitupulu menyambut gembira sekaligus menghargai atas prakarsa lima perupa perempuan menghadirkan pameran lukisan yang bertajuk Demokrasi Kre-ASI.
"Mudah-mudahan pameran ini dapat dijadikan ajang apresiasi dan pembelajaran sehingga pada gilirannya nanti bisa muncul pelukis perempuan dari Lampung yang mewarnai ranah seni rupa Indonesia," ujar Jonhson. n RLS/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 30 Maret 2009
Pergelaran pameran yang diusung Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung bekerja sama dengan Mediart, didukung Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dan Class Mild ini akan digelar di Taman Budaya Lampung, Jalan Cut Nyak Dien 24, Palapa, Bandar Lampung.
Ketua panitia dari Mediart, Dwi P. Prasetya, mengatakan pameran yang berlangsung 21--27 April 2009 bertajuk Demokrasi Kre-ASI (akan sentuhan ibu) ini diikuti lima pelukis perempuan, yaitu Tince Jonshon, Ina Yosuha, Ayu Sasmita, Lila, dan Sisna Ningsih.
Pameran ini diharapkan menjadi ajang gelar karya dan dialog antara penekun dan masyarakat. "Kami dari Mediart bangga bisa menyembatani proses dan menyajikan perhelatan pameran ini," ujar Dwi.
Pada pameran yang bakal dibuka Ketua Umum DKL Hj. Syafariah Widianti ini akan ditampilkan 40 lukisan karya lima perupa wanita dengan berbagai ragam aliran. Menurut Atu Ayi--panggilan akrab Syafariah Widianti--peristiwa pameran ini akan menambah lembar sejarah seni rupa Lampung.
"Eksistensi lima perupa perempuan yang hadir dalam pameran kali ini akan mendapat apresiasi dalam takaran jagat seni rupa Lampung," ujar Atu Ayi.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Jonhson Napitupulu menyambut gembira sekaligus menghargai atas prakarsa lima perupa perempuan menghadirkan pameran lukisan yang bertajuk Demokrasi Kre-ASI.
"Mudah-mudahan pameran ini dapat dijadikan ajang apresiasi dan pembelajaran sehingga pada gilirannya nanti bisa muncul pelukis perempuan dari Lampung yang mewarnai ranah seni rupa Indonesia," ujar Jonhson. n RLS/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 30 Maret 2009
March 29, 2009
Apresiasi: Intimasi Puisi Penyair Metro
Oleh Binhad Nurrohmat*
METRO merupakan kota dengan kompleksitas kultural. Kota ini dibangun 1930-an dalam rangka Politik Etis Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia-Belanda.
Masyarakat dari beragam suku besar di Pulau Jawa dan Pulau Bali dengan bekal cangkul, bajak, sapi, kerbau, palu, dan paku diseberangkan kapal Kolonial Belanda ke wilayah ini untuk membangun kota multikultur. Pendatang membawa tradisi agama, bahasa, niaga, bersawah, dan berladang. Pribumi tetap berkebun lada, cengkih, dan merica.
Pemerintah Kolonial membangun bendungan, jalan raya, pasar, sekolah, stasiun, dan kantor pemerintah. Pendatang bertetangga dan berbaur dengan pribumi, yaitu masyarakat suku Lampung. Banyak nama kampung di wilayah ini seperti nama kota asal pendatang. Nama Metro bisa jadi kependekan dari kata metropolitan atau berasal dari bahasa Jawa mitra (rekanan).
Metro merupakan eksperimen kultural sejak prakemerdekaan yang telah dan terus berproses nyaris seabad. Metro terus berkembang dan menjadi kota satelit yang penting di Provinsi Lampung. Sejumlah penyair menghuni kota ini. Mereka berasal dari beragam suku dan desa di wilayah Metro maupun dari kampung di luar wilayah Metro.
Para penyair Metro menulis puisi berbahasa Indonesia; yang didapat dari sekolah. Hanya di lingkungan keluarga menggunakan bahasa suku masing-masing; di luar rumah, mereka lebih banyak berbahasa Indonesia. Tidak seperti leluhurnya, mereka tak lagi mencangkul atau membajak dan mereka pun tak lagi mengolah kebun. Bahasa dan tradisi kehidupan para penyair merupakan salah satu bentuk mutakhir dari hasil proses eksperimen kultur di wilayah Metro.
Setelah rezim Soeharto berakhir pada 1998, terbit antologi puisi bersama yang terawal para penyair Metro yaitu 100 m dari Gardu Pos Kota pada 2007 (memuat ratusan puisi dari 7 penyair Metro) yang diterbitkan Dewan Kesenian Metro (berdiri pada 2003). Sebelumnya, penyair Lampung hanya identik dengan penyair Bandar Lampung.
Buku itu merupakan jejak baru yang penting dalam perpuisian Lampung di luar Bandar Lampung. Meski estetika dan tema puisi penyair Metro masih serupa watak umum perpuisian nasional di negeri ini sebagaimana juga perpuisian penyair Bandar Lampung, yaitu intimasi (keakraban) dengan alam melalui ekspresi bahasa lirikal dan liris.
Dalam Sajak Pepohonan, Sholihin Ardy menulis: sehelai daun bercerita kepadaku/"aku hanya menunggu waktu". Intimasi terhadap alam dalam puisi ini menciptakan komunikasi antara sehelai daun dan manusia.
Dalam puisi Nompi Kurniawan berjudul Kutu tersimak pengakuan seekor kutu: aku ingin seperti burung/menembus awan memanjat/cakrawala/lihat sawah, gunung, pantai, bukit./aku benci hidup jadi kutu" ucapnya pada burung saat hinggap di bulunya.//dan burung itu mematuknya./
Alam merupakan habitat manusia yang intim dan menjadi medium dan bahan utama ekspresi puitik penyair dari zaman ke zaman. Pohon dan satwa, angin dan hujan, sungai dan batu, maupun langit dan bulan merupakan sumber kosakata yang ramai dalam sejarah perpuisian di negeri ini, juga dalam perpuisian di Metro. Watak alam yang harmoni membentuk watak manusia yang menghuninya dan tercermin jelas dalam tata-bunyi dan tata-imaji bahasa puisi yang lirikal dan liris.
Alam yang direnungkan atau menjadi sumber kontemplasi dalam puisi mirip watak filsafat pra-Sokratik yang terpukau dan terilhami kenyataan alam. Intimasi terhadap alam melahirkan kontemplasi yang melahirkan alam pemikiran fisikal (filsafat alam) seperti kosmogoni dan kosmologi pra-Sokratik dan juga menyembulkan imaji spiritual-relijius misalnya dalam puisi Ahmad Muzakki Antara Angin dan Halilintar ini: antara angin dan halilintar/sabtu malam/alif-alif/mati./
Intimasi terhadap alam merupakan kewajaran dalam filsafat maupun seni dan alam mengilhami ide, amsal, imaji, metafora, atau pertautan dengan kebudayaan manusia. Misalnya, petikan puisi Erwin Syah Sepenggal Batas ini: akar tak bertemu batu/pohon tak bertemu daun//seperti bahasa tua yang tak pernah terucap/ribuan tahun/.
Bahasa merupakan produk kebudayaan manusia dan puisi ini mengamsalkan bahasa leluhur yang sudah punah dengan kosakata yang dijumput dari alam.
***
Begitulah gambaran intimasi terhadap alam yang berlangsung dengan mempertahankan watak harmoni alam dalam puisi para penyair Metro. Dalam puisi-puisi itu alam dipuja, direnungkan, atau dijadikan sumber ide, amsal, imaji, metafor, atau dipertautkan dengan kebudayaan.
Ada intimasi terhadap alam yang nonharmoni atau melakukan penyelewengan misalnya petikan puisi Zulaihatul Mahmidah Gerimis Tampak Sepi ini: hanya rinai/yang diam-diam kembali//dan menjelma bubuk-bukuk tembaga.
Petikan puisi ini merupakan keganjilan yang amat tajam karena alam (yaitu rinai hujan) melahirkan kebudayaan secara langsung atau tanpa campur tangan manusia (yaitu bubuk tembaga). Atau, barangkali puisi ini merupakan kritik ekologis yang menggambarkan kerusakan alam akibat polusi secara simbolik.
Selain itu, juga ada intimasi terhadap kehidupan masyarakat yang melahirkan sebentuk intervensi, misalnya petikan puisi Mahmud Akas Sajak Buat Penguasa ini: Di antara karung-karung para pemulung, pedagang kaki lima,/pengemis jalanan, rumah-rumah kardus, kolong jembatan,/dan kotak-kotak sampah perkantoran/tempat engkau merumuskan nasib-nasib kami./
Petikan puisi ini melakukan campur tangan terhadap hubungan masyarakat dan birokrasi pemerintah yang tidak beres dengan menggunakan bahasa yang dijumput dari lingkungan kosakata non-alam. Tak ada suara burung dan deru angin dalam puisi ini. Kenyataan masyarakat memenuhi ruang puisi ini.
Jejak awal perpuisian para penyair Metro pascarezim Soeharto menampakkan kompleksitas jamahaan persoalan serta keragaman tema dan sudut pandang. Alam serta manusia dan kebudayaan yang hadir dalam puisi penyair Metro merupakan wujud intimasi terhadap diri, alam, masyarakat, dan kotanya. Melalui puisi-puisi itu, Metro dibaca oleh mata batin para penyairnya dan dihadirkan bukan melalui statistik demografi, tingkat pendapatan ekonomi, maupun jumlah angkotnya, tapi melalui puisi.
Akhir kata, puisi merupakan bentuk tanggung jawab tertinggi penyair dalam masyarakat. Tindakan seorang penyair adalah puisi yang dipublikasikan ke masyarakat; buku ini merupakan contoh konkretnya.
* Binhad Nurrohmat, penyair, baru menyelesaikan visiting writer di Semenanjung Korea.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
METRO merupakan kota dengan kompleksitas kultural. Kota ini dibangun 1930-an dalam rangka Politik Etis Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia-Belanda.
Masyarakat dari beragam suku besar di Pulau Jawa dan Pulau Bali dengan bekal cangkul, bajak, sapi, kerbau, palu, dan paku diseberangkan kapal Kolonial Belanda ke wilayah ini untuk membangun kota multikultur. Pendatang membawa tradisi agama, bahasa, niaga, bersawah, dan berladang. Pribumi tetap berkebun lada, cengkih, dan merica.
Pemerintah Kolonial membangun bendungan, jalan raya, pasar, sekolah, stasiun, dan kantor pemerintah. Pendatang bertetangga dan berbaur dengan pribumi, yaitu masyarakat suku Lampung. Banyak nama kampung di wilayah ini seperti nama kota asal pendatang. Nama Metro bisa jadi kependekan dari kata metropolitan atau berasal dari bahasa Jawa mitra (rekanan).
Metro merupakan eksperimen kultural sejak prakemerdekaan yang telah dan terus berproses nyaris seabad. Metro terus berkembang dan menjadi kota satelit yang penting di Provinsi Lampung. Sejumlah penyair menghuni kota ini. Mereka berasal dari beragam suku dan desa di wilayah Metro maupun dari kampung di luar wilayah Metro.
Para penyair Metro menulis puisi berbahasa Indonesia; yang didapat dari sekolah. Hanya di lingkungan keluarga menggunakan bahasa suku masing-masing; di luar rumah, mereka lebih banyak berbahasa Indonesia. Tidak seperti leluhurnya, mereka tak lagi mencangkul atau membajak dan mereka pun tak lagi mengolah kebun. Bahasa dan tradisi kehidupan para penyair merupakan salah satu bentuk mutakhir dari hasil proses eksperimen kultur di wilayah Metro.
Setelah rezim Soeharto berakhir pada 1998, terbit antologi puisi bersama yang terawal para penyair Metro yaitu 100 m dari Gardu Pos Kota pada 2007 (memuat ratusan puisi dari 7 penyair Metro) yang diterbitkan Dewan Kesenian Metro (berdiri pada 2003). Sebelumnya, penyair Lampung hanya identik dengan penyair Bandar Lampung.
Buku itu merupakan jejak baru yang penting dalam perpuisian Lampung di luar Bandar Lampung. Meski estetika dan tema puisi penyair Metro masih serupa watak umum perpuisian nasional di negeri ini sebagaimana juga perpuisian penyair Bandar Lampung, yaitu intimasi (keakraban) dengan alam melalui ekspresi bahasa lirikal dan liris.
Dalam Sajak Pepohonan, Sholihin Ardy menulis: sehelai daun bercerita kepadaku/"aku hanya menunggu waktu". Intimasi terhadap alam dalam puisi ini menciptakan komunikasi antara sehelai daun dan manusia.
Dalam puisi Nompi Kurniawan berjudul Kutu tersimak pengakuan seekor kutu: aku ingin seperti burung/menembus awan memanjat/cakrawala/lihat sawah, gunung, pantai, bukit./aku benci hidup jadi kutu" ucapnya pada burung saat hinggap di bulunya.//dan burung itu mematuknya./
Alam merupakan habitat manusia yang intim dan menjadi medium dan bahan utama ekspresi puitik penyair dari zaman ke zaman. Pohon dan satwa, angin dan hujan, sungai dan batu, maupun langit dan bulan merupakan sumber kosakata yang ramai dalam sejarah perpuisian di negeri ini, juga dalam perpuisian di Metro. Watak alam yang harmoni membentuk watak manusia yang menghuninya dan tercermin jelas dalam tata-bunyi dan tata-imaji bahasa puisi yang lirikal dan liris.
Alam yang direnungkan atau menjadi sumber kontemplasi dalam puisi mirip watak filsafat pra-Sokratik yang terpukau dan terilhami kenyataan alam. Intimasi terhadap alam melahirkan kontemplasi yang melahirkan alam pemikiran fisikal (filsafat alam) seperti kosmogoni dan kosmologi pra-Sokratik dan juga menyembulkan imaji spiritual-relijius misalnya dalam puisi Ahmad Muzakki Antara Angin dan Halilintar ini: antara angin dan halilintar/sabtu malam/alif-alif/mati./
Intimasi terhadap alam merupakan kewajaran dalam filsafat maupun seni dan alam mengilhami ide, amsal, imaji, metafora, atau pertautan dengan kebudayaan manusia. Misalnya, petikan puisi Erwin Syah Sepenggal Batas ini: akar tak bertemu batu/pohon tak bertemu daun//seperti bahasa tua yang tak pernah terucap/ribuan tahun/.
Bahasa merupakan produk kebudayaan manusia dan puisi ini mengamsalkan bahasa leluhur yang sudah punah dengan kosakata yang dijumput dari alam.
***
Begitulah gambaran intimasi terhadap alam yang berlangsung dengan mempertahankan watak harmoni alam dalam puisi para penyair Metro. Dalam puisi-puisi itu alam dipuja, direnungkan, atau dijadikan sumber ide, amsal, imaji, metafor, atau dipertautkan dengan kebudayaan.
Ada intimasi terhadap alam yang nonharmoni atau melakukan penyelewengan misalnya petikan puisi Zulaihatul Mahmidah Gerimis Tampak Sepi ini: hanya rinai/yang diam-diam kembali//dan menjelma bubuk-bukuk tembaga.
Petikan puisi ini merupakan keganjilan yang amat tajam karena alam (yaitu rinai hujan) melahirkan kebudayaan secara langsung atau tanpa campur tangan manusia (yaitu bubuk tembaga). Atau, barangkali puisi ini merupakan kritik ekologis yang menggambarkan kerusakan alam akibat polusi secara simbolik.
Selain itu, juga ada intimasi terhadap kehidupan masyarakat yang melahirkan sebentuk intervensi, misalnya petikan puisi Mahmud Akas Sajak Buat Penguasa ini: Di antara karung-karung para pemulung, pedagang kaki lima,/pengemis jalanan, rumah-rumah kardus, kolong jembatan,/dan kotak-kotak sampah perkantoran/tempat engkau merumuskan nasib-nasib kami./
Petikan puisi ini melakukan campur tangan terhadap hubungan masyarakat dan birokrasi pemerintah yang tidak beres dengan menggunakan bahasa yang dijumput dari lingkungan kosakata non-alam. Tak ada suara burung dan deru angin dalam puisi ini. Kenyataan masyarakat memenuhi ruang puisi ini.
Jejak awal perpuisian para penyair Metro pascarezim Soeharto menampakkan kompleksitas jamahaan persoalan serta keragaman tema dan sudut pandang. Alam serta manusia dan kebudayaan yang hadir dalam puisi penyair Metro merupakan wujud intimasi terhadap diri, alam, masyarakat, dan kotanya. Melalui puisi-puisi itu, Metro dibaca oleh mata batin para penyairnya dan dihadirkan bukan melalui statistik demografi, tingkat pendapatan ekonomi, maupun jumlah angkotnya, tapi melalui puisi.
Akhir kata, puisi merupakan bentuk tanggung jawab tertinggi penyair dalam masyarakat. Tindakan seorang penyair adalah puisi yang dipublikasikan ke masyarakat; buku ini merupakan contoh konkretnya.
* Binhad Nurrohmat, penyair, baru menyelesaikan visiting writer di Semenanjung Korea.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Traveling: Perjuangan Menyelamatkan Manusia dan Hutan
KELOMPOK Sistem Hutan Kerakyatan Lestari (SHK Lestari) adalah sebuah organisasi rakyat yang berada di sekitar kawasan hutan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Kelompok ini mengelola hutan dengan sistem agroforest atau kebun campur dengan mengedepankan aspek kelestarian dan kearifan lokal. Sebelumnya memiliki organisasi, anggota kelompok SHK Lestari adalah penduduk yang mengalami sejarah kelam dalam menyelamatkan hidup.
Pada 1959 mereka datang ke Register 19 Gunung Betung untuk bercocok tanam. Dan pada 1964 Kanwil Kehutanan mengeluarkan izin tumpang sari untuk wilayah tersebut. Pada 1969, kelompok penggarap ini mengajukan izin tumpang sari dan Kanwil Kehutanan menyetujui.
Tahun 1970 kelompok penggarap lahan ini membentuk dusun yang diberi nama Muara Tiga (salah satu situs wisata Kampoeng Lestari). Mereka makin mantap mendiami wilayah ini kerena tahun 1977, salah seorang di antara mereka ada yang mendapat sertifikat lahan garapan seluas 2 hektare.
Seiring dengan usaha pertanian mereka yang mulai mendapatkan hasil, tahun 1985 kelompok penggarap ini mendirikan SDN 1 Hurun untuk pendidikan anak-anak mereka. Sebab, jika akan bersekolah ke luar Muara Tiga, sangat jauh dan medannya sulit ditempuh.
Tahun 1992, mereka diusir dari Register 19 Gunung Betung karena ada alih fugsi lahan menjadi taman hutan raya. Sebagian dari mereka dipindahkan ke Lampung Utara dan Rawa Jitu lewat program transmigrasi. Tapi karena lahan di sana tidak subur, sebagian petani ini kembali ke Muara Tiga untuk mengurus bekas lahan mereka.
Dan tahun 1997, kelompok ini mengalami perlakukan yang sangat tragis, mereka kembali diusir. Gubuk-gubuk mereka dibakar, tanaman yang sudah hampir panen ditebangi. Di antara petani ada yang mengalami siksaan.
Dengan peristiwa ini, sebagian petani ada yang pergi dan sebagian lagi ada yang bertahan kerena waktu itu kopi yang mereka tanam sedang berbuah dengan harga yang cuykup mahal (Rp15 ribu/kg).
Karena tidak adanya lapangan kerja dan sulitnya mencari lahan garapan, tahun 1998, sebagian petani memberanikan diri menggarap lahan di Muara Tiga lagi. Dan pada 2001 mereka mulai membentuk organisasi sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi. Selain itu mereka juga membangun jaringan dengan berbagai LSM, seperti Walhi, Pussbik, dan Kawan Tani. Pada tahun yang sama, kelompok ini mengajukan kerja sama pengelolaan hutan pada Dinas Kehutanan, tapi tidak ditanggapi.
Dan tahun 2002, mereka mengajukan kelompok sistem hutan kerakyatan yang diberi nama Lestari atau sekarang lebih dikenal dengan SHK Lestari. Dan di SHK Lestari ini, petani ini selalu belajar dan meningkatkan sumber daya untuk mengelola hutan yang mereka garap dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha bagaimana melestarikan hutan dan tetap dapat mengambil manfaat dari hutan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Dengan pergulatan panjang, akhirnya didapatkan konsep ekowisata dengan menawarkan Kampoeng Lestari. Ada beberapa pertimbangan yang membuat kelompok ini mengajukan konsep ekowisata. Di antaranya: 1. Kondisi alam yang memungkinkan dikelola sebagai tempat wisata. 2. Sesuai dengan salah satu fungsi Tahura, yaitu untuk pariwisata alam. 3. Wilayah ini berdekatan dengan youth camp yang memang menjadi pilot project wisata alam. 4. Sebagian wilayah garapan SHK Lestari ditetapkan sebagai blok pemanfaatan ekowisata pada masterplan Tahura. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Pada 1959 mereka datang ke Register 19 Gunung Betung untuk bercocok tanam. Dan pada 1964 Kanwil Kehutanan mengeluarkan izin tumpang sari untuk wilayah tersebut. Pada 1969, kelompok penggarap ini mengajukan izin tumpang sari dan Kanwil Kehutanan menyetujui.
Tahun 1970 kelompok penggarap lahan ini membentuk dusun yang diberi nama Muara Tiga (salah satu situs wisata Kampoeng Lestari). Mereka makin mantap mendiami wilayah ini kerena tahun 1977, salah seorang di antara mereka ada yang mendapat sertifikat lahan garapan seluas 2 hektare.
Seiring dengan usaha pertanian mereka yang mulai mendapatkan hasil, tahun 1985 kelompok penggarap ini mendirikan SDN 1 Hurun untuk pendidikan anak-anak mereka. Sebab, jika akan bersekolah ke luar Muara Tiga, sangat jauh dan medannya sulit ditempuh.
Tahun 1992, mereka diusir dari Register 19 Gunung Betung karena ada alih fugsi lahan menjadi taman hutan raya. Sebagian dari mereka dipindahkan ke Lampung Utara dan Rawa Jitu lewat program transmigrasi. Tapi karena lahan di sana tidak subur, sebagian petani ini kembali ke Muara Tiga untuk mengurus bekas lahan mereka.
Dan tahun 1997, kelompok ini mengalami perlakukan yang sangat tragis, mereka kembali diusir. Gubuk-gubuk mereka dibakar, tanaman yang sudah hampir panen ditebangi. Di antara petani ada yang mengalami siksaan.
Dengan peristiwa ini, sebagian petani ada yang pergi dan sebagian lagi ada yang bertahan kerena waktu itu kopi yang mereka tanam sedang berbuah dengan harga yang cuykup mahal (Rp15 ribu/kg).
Karena tidak adanya lapangan kerja dan sulitnya mencari lahan garapan, tahun 1998, sebagian petani memberanikan diri menggarap lahan di Muara Tiga lagi. Dan pada 2001 mereka mulai membentuk organisasi sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi. Selain itu mereka juga membangun jaringan dengan berbagai LSM, seperti Walhi, Pussbik, dan Kawan Tani. Pada tahun yang sama, kelompok ini mengajukan kerja sama pengelolaan hutan pada Dinas Kehutanan, tapi tidak ditanggapi.
Dan tahun 2002, mereka mengajukan kelompok sistem hutan kerakyatan yang diberi nama Lestari atau sekarang lebih dikenal dengan SHK Lestari. Dan di SHK Lestari ini, petani ini selalu belajar dan meningkatkan sumber daya untuk mengelola hutan yang mereka garap dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha bagaimana melestarikan hutan dan tetap dapat mengambil manfaat dari hutan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Dengan pergulatan panjang, akhirnya didapatkan konsep ekowisata dengan menawarkan Kampoeng Lestari. Ada beberapa pertimbangan yang membuat kelompok ini mengajukan konsep ekowisata. Di antaranya: 1. Kondisi alam yang memungkinkan dikelola sebagai tempat wisata. 2. Sesuai dengan salah satu fungsi Tahura, yaitu untuk pariwisata alam. 3. Wilayah ini berdekatan dengan youth camp yang memang menjadi pilot project wisata alam. 4. Sebagian wilayah garapan SHK Lestari ditetapkan sebagai blok pemanfaatan ekowisata pada masterplan Tahura. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Traveling: Memercik Kearifan di Kampoeng Lestari Padang Cermin
SEJENAK mari melirik Kampoeng Lestari. Wisata alam yang ada di Tahura (Taman Hutan Rakyat) Wan Abdurrahman ini tidak hanya memberikan kepuasan berwisata. Di sini, pengunjung juga akan menyaksikan kekayaan hayati dan nilai eksotis alam pegunungan.
Alam memberikan anugerah tak terbatas. Tapi ketika keindahannya dieksploitasi, justru membuat jauh dari kesan indah alami. Tak jarang objek wisata yang semula bagus, setelah dikelola dengan berbagai modifikasi, justru keindahannya pudar. Umpama perawan desa yang rupawan, ketika didandani dengan make-up berlebihan, lenyap auranya.
Pengelola objek wisata mayoritas punya orientasi keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menarik pengunjung sebanyak-banyaknya. Untuk menarik pengunjung, objek wisata sering dieksploitasi berlebihan. Bahkan, tak sedikit yang dilengkapi fasilitas yang justru mengurangi nilai objek wisata tersebut. Alhasil, banyak tempat wisata yang justru mendapat label tempat maksiat.
Tak jarang renovasi yang dilakuakan juga bertentangan kaidah alam, seperti pelestarian, penghormatan, dan penjagaan terhadap alam.
Hal ini justru menjauh dari tujuan utama pelancong untuk bermanja ria dengan keaslian alam setelah penat bergelut dengan rutinitas hidup.
Itu objek wisata yang biasa dikelola investor dengan orientasi keuntungan, bagaimana dengan objek wisata yang dikelola masyarakat yang notebene punya kepentingan terhadap alam tempat tinggalnya. Bukan kebutuhan keindahan semata, melainkan keberlangsungan hidup di masa mendatang.
Kampoeng Lestari, kawasan wisata alam yang dikelola Kelompok Sistem Hutan Kerakyatan Lestari (SHK Lestari) di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran adalah "wakil" dari objek wisata lestari yang sesungguhnya. Di belantara alam yang cukup lestari, kita dapat jumpai kearifan lokal dan spekta alam yang mencengangkan. Sunset dan sunrise dengan background Teluk Lampung menjadi daya tarik tersendiri.
Pesona Bandar Lampung jika dilihat dari kejauhan pada malam hari dengan kerlip lampu menjadi kelangen bagi pemuja alam. Lebatnya hutan tropis lengkap aransemen cenggerek dan burung hutan menjadikan suasana damai. Sambil memanjakan telinga, jika lewat pada waktu yang tepat, mata pun bisa mengamati berbagai aktivitas satwa langka, seperti beruang madu, burung rangkok, rusa, napu, dan lainnya.
Jika bertandang pada musim panas, Kampoeng Lestari dipercantik dengan mekarnya bunga bangkai di setiap penjuru. Dan bagi pencinta tanaman hias, berbagai jenis anggrek liar akan membetot mata disertai decak kagum. Tak ketinggalan pesona kantong semar dan Lembah Seribu Bunga yang menyerupai taman-taman di Negeri Sakura. Tapi, Anda harus menahan diri karena seluruh kekayaan alam di sini hanya diperbolehkan dilihat dan dikagumi. Dan menjadi larangan untuk membawa meski sejumput rumput.
Bagi Anda yang penat dengan pola hidup individualis di kota-kota, di Kampoeng Lestari, kehidupan petani hutan yang arif dan bersahaja akan menuntun kita bersikap hidup lebih bijak. Kenangan di kampung yang hangat dan ramah dengan senyum-senyum tulus yang menyambut setiap pendatang kita rasakan di sini.
Bersama petani hutan, kita akan belajar bagaimana bercocok tanam, menjaga hutan, melestarikan mata air, dan sepenuhnya sadar bahwa air jernih di Bandar Lampung yang selama ini kita minum tak lepas dari peran para petani yang bersusah payah menjaga hutan ini. Andai mereka hitung-hitungan dengan apa yang telah dilakukan, mungkin penduduk di perkotaan (Bandar Lampung dan sekitarnya) tak cukup hanya mengucapkan terima kasih atas sumbangsih kehidupan yang telah diberikan.
Jika Anda telah mencapai puncak, air terjun dengan berbagai ketinggian menanti untuk disinggahi. Gua Kelelawar dan gua Macan pun menjadi salah satu agenda yang sayang untuk dilewatkan. Bagi Anda yang ingin menikmati wisata rohani, beberapa tempat ziarah pun dapat menjadi agenda saat bertandang di Kampoeng Lestari.
Pada musim durian, pesta raja buah yang jatuh langsung dari pohon (tanpa diperam) menjadi daftar yang sayang untuk dilewatkan. Anda bisa mengajak orang-orang tercinta menikmati acara berlibur penuh sensasi. Untuk orang-orang dekat yang teringgal di rumah, Anda bisa membawakan oleh-oleh yang dibuat tangan-tangan perempuan yang telaten memukul emping. Juga kopi bubuk asli yang pasti membuat Anda ketagihan.
Untuk menuju Kampoeng Lestari, dari arah Bandar Lampung Anda bisa menumpang DAMRI jurusan Rajabasa--Hanura. Jaraknya sekitar 20 kilometer. Butuh waktu sekitar 30 menit jika menggunakan kendaraan pribadi. Sesampai di Hanura, tersedia ojek menuju Kampung Siliwangi. Dari Kampung Siliwangi, ada beberapa alternatif menuju Kampoeng Lestari.
Bagi Anda yang ingin bertualang, berjalan kaki adalah pilihan yang tepat. Di tengah perjalanan tersedia home stay untuk melepas penat. Bagi Anda yang enggan berpeluh, jasa ojek yang murah dan ramah pun dapat menjadi pilihan. Dan bagi yang ingin memanjakan diri dan berfantasi ria, Anda bisa menyewa kuda. Sepanjang perjalanan, Anda akan ditemani pemandu wisata yang bisa menginformasikan seputar objek wisata yang Anda tuju. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Alam memberikan anugerah tak terbatas. Tapi ketika keindahannya dieksploitasi, justru membuat jauh dari kesan indah alami. Tak jarang objek wisata yang semula bagus, setelah dikelola dengan berbagai modifikasi, justru keindahannya pudar. Umpama perawan desa yang rupawan, ketika didandani dengan make-up berlebihan, lenyap auranya.
Pengelola objek wisata mayoritas punya orientasi keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menarik pengunjung sebanyak-banyaknya. Untuk menarik pengunjung, objek wisata sering dieksploitasi berlebihan. Bahkan, tak sedikit yang dilengkapi fasilitas yang justru mengurangi nilai objek wisata tersebut. Alhasil, banyak tempat wisata yang justru mendapat label tempat maksiat.
Tak jarang renovasi yang dilakuakan juga bertentangan kaidah alam, seperti pelestarian, penghormatan, dan penjagaan terhadap alam.
Hal ini justru menjauh dari tujuan utama pelancong untuk bermanja ria dengan keaslian alam setelah penat bergelut dengan rutinitas hidup.
Itu objek wisata yang biasa dikelola investor dengan orientasi keuntungan, bagaimana dengan objek wisata yang dikelola masyarakat yang notebene punya kepentingan terhadap alam tempat tinggalnya. Bukan kebutuhan keindahan semata, melainkan keberlangsungan hidup di masa mendatang.
Kampoeng Lestari, kawasan wisata alam yang dikelola Kelompok Sistem Hutan Kerakyatan Lestari (SHK Lestari) di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran adalah "wakil" dari objek wisata lestari yang sesungguhnya. Di belantara alam yang cukup lestari, kita dapat jumpai kearifan lokal dan spekta alam yang mencengangkan. Sunset dan sunrise dengan background Teluk Lampung menjadi daya tarik tersendiri.
Pesona Bandar Lampung jika dilihat dari kejauhan pada malam hari dengan kerlip lampu menjadi kelangen bagi pemuja alam. Lebatnya hutan tropis lengkap aransemen cenggerek dan burung hutan menjadikan suasana damai. Sambil memanjakan telinga, jika lewat pada waktu yang tepat, mata pun bisa mengamati berbagai aktivitas satwa langka, seperti beruang madu, burung rangkok, rusa, napu, dan lainnya.
Jika bertandang pada musim panas, Kampoeng Lestari dipercantik dengan mekarnya bunga bangkai di setiap penjuru. Dan bagi pencinta tanaman hias, berbagai jenis anggrek liar akan membetot mata disertai decak kagum. Tak ketinggalan pesona kantong semar dan Lembah Seribu Bunga yang menyerupai taman-taman di Negeri Sakura. Tapi, Anda harus menahan diri karena seluruh kekayaan alam di sini hanya diperbolehkan dilihat dan dikagumi. Dan menjadi larangan untuk membawa meski sejumput rumput.
Bagi Anda yang penat dengan pola hidup individualis di kota-kota, di Kampoeng Lestari, kehidupan petani hutan yang arif dan bersahaja akan menuntun kita bersikap hidup lebih bijak. Kenangan di kampung yang hangat dan ramah dengan senyum-senyum tulus yang menyambut setiap pendatang kita rasakan di sini.
Bersama petani hutan, kita akan belajar bagaimana bercocok tanam, menjaga hutan, melestarikan mata air, dan sepenuhnya sadar bahwa air jernih di Bandar Lampung yang selama ini kita minum tak lepas dari peran para petani yang bersusah payah menjaga hutan ini. Andai mereka hitung-hitungan dengan apa yang telah dilakukan, mungkin penduduk di perkotaan (Bandar Lampung dan sekitarnya) tak cukup hanya mengucapkan terima kasih atas sumbangsih kehidupan yang telah diberikan.
Jika Anda telah mencapai puncak, air terjun dengan berbagai ketinggian menanti untuk disinggahi. Gua Kelelawar dan gua Macan pun menjadi salah satu agenda yang sayang untuk dilewatkan. Bagi Anda yang ingin menikmati wisata rohani, beberapa tempat ziarah pun dapat menjadi agenda saat bertandang di Kampoeng Lestari.
Pada musim durian, pesta raja buah yang jatuh langsung dari pohon (tanpa diperam) menjadi daftar yang sayang untuk dilewatkan. Anda bisa mengajak orang-orang tercinta menikmati acara berlibur penuh sensasi. Untuk orang-orang dekat yang teringgal di rumah, Anda bisa membawakan oleh-oleh yang dibuat tangan-tangan perempuan yang telaten memukul emping. Juga kopi bubuk asli yang pasti membuat Anda ketagihan.
Untuk menuju Kampoeng Lestari, dari arah Bandar Lampung Anda bisa menumpang DAMRI jurusan Rajabasa--Hanura. Jaraknya sekitar 20 kilometer. Butuh waktu sekitar 30 menit jika menggunakan kendaraan pribadi. Sesampai di Hanura, tersedia ojek menuju Kampung Siliwangi. Dari Kampung Siliwangi, ada beberapa alternatif menuju Kampoeng Lestari.
Bagi Anda yang ingin bertualang, berjalan kaki adalah pilihan yang tepat. Di tengah perjalanan tersedia home stay untuk melepas penat. Bagi Anda yang enggan berpeluh, jasa ojek yang murah dan ramah pun dapat menjadi pilihan. Dan bagi yang ingin memanjakan diri dan berfantasi ria, Anda bisa menyewa kuda. Sepanjang perjalanan, Anda akan ditemani pemandu wisata yang bisa menginformasikan seputar objek wisata yang Anda tuju. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Antologi Puisi: Jimmy Mencari Makna dari Hal-Hal Sederhana
BERANGKAT dari tema-tema yang sederhana dan remeh, puisi Jimmy Maruli Alfian mengajak kita menjalani hidup dengan penuh makna. Dari kesederhanaan itulah, manusia modern kini bisa memandang diri dan lingkungannya dengan jernih.
Jimmy Maruli Alfian
"Sajak Jimmy kerap mengangkat tema yang sederhana dan remeh," kata penyair Lampung Iswadi Pratama saat menjadi pembahas dalam bedah buku puisi, Puan Kecubung karya Jimmy Maruli Alfian di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Lampung, Jumat (27-3).
Iswadi melihat sajak-sajak Jimmy ingin menyampaikan bahwa manusia terkadang menjalani hidup tanpa pemaknaan. Manusia-manusia modern perlu mencari alasan mengapa kehidupan ini layak dijalani dan dilakoni. "Kesederhanaan dan keremehan itu bisa menjadi alasan untuk tetap menjalani kehidupan," kata Iswadi.
Buku Antologi Puan Kecubung karya Jimmy berisi 49 sajak yang dibuat dalam kurun 2000--2007. Bedah buku yang dimoderatori Didi Pramudya itu dihadiri penyair, seniman, dan pengamat sastra di Lampung, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Inggit Putria Marga, Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Edy Samudra, Udo Z. Karzi, Budi P. Hatees, Asarpin, Lupita Lukman, dan Arman A.Z. Beberapa penyair turut membacakan sajak-sajak karya Jimmy, yang kini bekerja sebagai hakim di Lampung.
LAUNCHING. Jimmy Maruli Alfian (kanan) meluncurkan Buku Puisi Puan Kecubung di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat (28/3). Penyair Iswadi Pratama (kiri) bertindak sebagai pembahas dengan moderator Didi Pramudya Muchtar (tengah).
Asarpin menilai melalui Puan Kecubung, Jimmy mencoba menghidupkan kembali puisi sebagai kisah-kisah seperti yang banyak dipakai pujangga lama. Sajak Jimmy, kata Asarpin, tidak terjebak pada prosa lirik dan tidak menghiraukan bunyi. Beberapa di antaranya berbentuk seperti naskah drama. Puisi ditampilkan dalam bentuk-bentuk dialog yang tidak kaku. "Hampir semua sajak Jimmy mengajak para pembaca untuk bercengkerama. Seolah-olah mengajak pembaca untuk mengobrol," kata Asarpin.
Sementara itu, Jimmy menuturkan sajaknya yang berupa dialog dan seperti naskah drama dipengaruhi pengalamannnya berteater. Sebelum menggeluti puisi, Jimmy lebih dahulu bergiat di teater. Waktu itu dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Unila. "Proses kreatif di teater sangat memengaruhi saya dalam membuat sajak," kata lelaki kelahiran Telukbetung, 3 Maret 1980 ini.
Ia menjelaskan beberapa sajak dalam antologi Puan Kecubung menggambarkan kegelisahannya dalam mencari bekas-bekas peninggalan sejarah di Lampung yang amat sulit ditelusuri. Peninggalan sejarah di Lampung, ujarnya, belum cukup membuktikan adanya jejak peradaban di masa silam.
Jimmy mencontohkan Kerajaan Tulangbawang yang diyakini ada, tetapi belum ditunjang dengan bukti-bukti sejarah. "Misalnya adanya kepercayaan Gajah Mada pernah datang ke Lampung. Tapi tidak ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan jejaknya. Sejarah Lampung didasarkan pada dugaan-dugaan saja," kata Jimmy.
Kekurangan bukti sejarah di Lampung, kata Jimmy, juga menjadi angle dalam proses penciptaan puisi Dayang Rindu. Jimmy pernah aktif di UKMBS Unila dan Komunitas Berkat Yakin (Kober). Ia pernah mendapat beberapa penghargaan dan anugerah puisi dari Forum Lingkar Pena Lampung, Dewan Kesenian Lampung, Dewan Kesenian Bengkalis, nomine anugerah kebudayaan dari Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta anugerah Pena Kencana kategori puisi. n PADLI RAMDAN/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
Jimmy Maruli Alfian
"Sajak Jimmy kerap mengangkat tema yang sederhana dan remeh," kata penyair Lampung Iswadi Pratama saat menjadi pembahas dalam bedah buku puisi, Puan Kecubung karya Jimmy Maruli Alfian di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Lampung, Jumat (27-3).
Iswadi melihat sajak-sajak Jimmy ingin menyampaikan bahwa manusia terkadang menjalani hidup tanpa pemaknaan. Manusia-manusia modern perlu mencari alasan mengapa kehidupan ini layak dijalani dan dilakoni. "Kesederhanaan dan keremehan itu bisa menjadi alasan untuk tetap menjalani kehidupan," kata Iswadi.
Buku Antologi Puan Kecubung karya Jimmy berisi 49 sajak yang dibuat dalam kurun 2000--2007. Bedah buku yang dimoderatori Didi Pramudya itu dihadiri penyair, seniman, dan pengamat sastra di Lampung, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Inggit Putria Marga, Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Edy Samudra, Udo Z. Karzi, Budi P. Hatees, Asarpin, Lupita Lukman, dan Arman A.Z. Beberapa penyair turut membacakan sajak-sajak karya Jimmy, yang kini bekerja sebagai hakim di Lampung.
LAUNCHING. Jimmy Maruli Alfian (kanan) meluncurkan Buku Puisi Puan Kecubung di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat (28/3). Penyair Iswadi Pratama (kiri) bertindak sebagai pembahas dengan moderator Didi Pramudya Muchtar (tengah).
Asarpin menilai melalui Puan Kecubung, Jimmy mencoba menghidupkan kembali puisi sebagai kisah-kisah seperti yang banyak dipakai pujangga lama. Sajak Jimmy, kata Asarpin, tidak terjebak pada prosa lirik dan tidak menghiraukan bunyi. Beberapa di antaranya berbentuk seperti naskah drama. Puisi ditampilkan dalam bentuk-bentuk dialog yang tidak kaku. "Hampir semua sajak Jimmy mengajak para pembaca untuk bercengkerama. Seolah-olah mengajak pembaca untuk mengobrol," kata Asarpin.
Sementara itu, Jimmy menuturkan sajaknya yang berupa dialog dan seperti naskah drama dipengaruhi pengalamannnya berteater. Sebelum menggeluti puisi, Jimmy lebih dahulu bergiat di teater. Waktu itu dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Unila. "Proses kreatif di teater sangat memengaruhi saya dalam membuat sajak," kata lelaki kelahiran Telukbetung, 3 Maret 1980 ini.
Ia menjelaskan beberapa sajak dalam antologi Puan Kecubung menggambarkan kegelisahannya dalam mencari bekas-bekas peninggalan sejarah di Lampung yang amat sulit ditelusuri. Peninggalan sejarah di Lampung, ujarnya, belum cukup membuktikan adanya jejak peradaban di masa silam.
Jimmy mencontohkan Kerajaan Tulangbawang yang diyakini ada, tetapi belum ditunjang dengan bukti-bukti sejarah. "Misalnya adanya kepercayaan Gajah Mada pernah datang ke Lampung. Tapi tidak ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan jejaknya. Sejarah Lampung didasarkan pada dugaan-dugaan saja," kata Jimmy.
Kekurangan bukti sejarah di Lampung, kata Jimmy, juga menjadi angle dalam proses penciptaan puisi Dayang Rindu. Jimmy pernah aktif di UKMBS Unila dan Komunitas Berkat Yakin (Kober). Ia pernah mendapat beberapa penghargaan dan anugerah puisi dari Forum Lingkar Pena Lampung, Dewan Kesenian Lampung, Dewan Kesenian Bengkalis, nomine anugerah kebudayaan dari Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta anugerah Pena Kencana kategori puisi. n PADLI RAMDAN/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009
March 27, 2009
Ruwat Laut Jadi Objek Wisata
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Bandar Lampung akan menjadikan ruwat laut atau ngelarung sebagai tujuan wisata di Bandar Lampung. Ruwat laut diharapkan menjadi tujuan wisata yang mampu menunjang kunjungan wisata Lampung 2009.
Pernyataan tersebut disampaikan Wali kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, usai acara ruwat laut di Kelurahan Sukaraja, Kamis (26-3).
Eddy mengungkapkan beberapa kali nelayan di Bandar Lampung telah melangsungkan ruwat laut di Pantai Ujung Bom, Pantai Bukit Kunyit, dan Lempasing. Acara ruwat laut tersebut berlangsung meriah dan bisa menarik perhatian warga Bandar Lampung.
Meski demikian, pengenalan upacara ruwat laut sebagai objek wisata masih teradang kondisi pesisir Bandar Lampung yang kumuh. Untuk itu, Pemkot akan secara bertahap membenahi kawasan pesisir Bandar Lampung untuk menarik para wisatawan.
"Kawasan pantai saat ini lebih bersih dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Perlahan-lahan kawasan pantai akan dibersihkan secara menyeluruh," kata Eddy.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung Fachruddin mengatakan ruwat laut tidak hanya bisa dijadikan objek tujuan wisata, tapi juga melestarikan budaya para masyarakat pesisir. Pemerintah akan berkomitmen untuk mengembangkan tradisi ruwat laut menjadi objek wisata yang potensial.
Ruwat laut yang diadakan sebelumnya, kata Fachruddin, mampu menarik beberapa wisatawan asing yang kebetulan sedang berkunjung ke Bandar Lampung.
Para wisatawan asing pasti akan tertarik dengan budaya ngelarung atau ruwat laut karena di dalamnya terdapat tradisi unik yang berkaitan kepercayaan masyaraakat. Para wisatawan asing tertaik pada tradisi unik yang ada di masyarakat. n MG-2/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 27 Maret 2009
Pernyataan tersebut disampaikan Wali kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, usai acara ruwat laut di Kelurahan Sukaraja, Kamis (26-3).
Eddy mengungkapkan beberapa kali nelayan di Bandar Lampung telah melangsungkan ruwat laut di Pantai Ujung Bom, Pantai Bukit Kunyit, dan Lempasing. Acara ruwat laut tersebut berlangsung meriah dan bisa menarik perhatian warga Bandar Lampung.
Meski demikian, pengenalan upacara ruwat laut sebagai objek wisata masih teradang kondisi pesisir Bandar Lampung yang kumuh. Untuk itu, Pemkot akan secara bertahap membenahi kawasan pesisir Bandar Lampung untuk menarik para wisatawan.
"Kawasan pantai saat ini lebih bersih dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Perlahan-lahan kawasan pantai akan dibersihkan secara menyeluruh," kata Eddy.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung Fachruddin mengatakan ruwat laut tidak hanya bisa dijadikan objek tujuan wisata, tapi juga melestarikan budaya para masyarakat pesisir. Pemerintah akan berkomitmen untuk mengembangkan tradisi ruwat laut menjadi objek wisata yang potensial.
Ruwat laut yang diadakan sebelumnya, kata Fachruddin, mampu menarik beberapa wisatawan asing yang kebetulan sedang berkunjung ke Bandar Lampung.
Para wisatawan asing pasti akan tertarik dengan budaya ngelarung atau ruwat laut karena di dalamnya terdapat tradisi unik yang berkaitan kepercayaan masyaraakat. Para wisatawan asing tertaik pada tradisi unik yang ada di masyarakat. n MG-2/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 27 Maret 2009
March 26, 2009
Fotografer Indonesia Berkumpul di Lambar
LIWA (Lampost): Komunitas fotografer se-Indonesia selama tiga hari, mulai Kamis (26-3), akan berada di Kabupaten Lampung Barat dalam rangka menyemarakkan kegiatan The Hidden Paradise Exploration and Photo Hunting 2009.
Pemilihan lokasi di Lampung Barat, tidak lain karena mereka kepincut dengan pesona alam daerah ini, juga budaya dan arsitektur tradisional rumah panggung.
Koordinator fotografer asal Lampung, Budi Martha, mengatakan banyak sekali anggota komunitas ini yang berminat setelah membaca dan melihat melalui artikel dan galeri foto di portal fotografer.net yang di-upload beberapa fotografer Lampung, di antaranya Budhi Marta sendiri dan Eka Fendiasapara.
Menurut Budi, kegiatan tersebut akan diikuti 28 fotografer. Mereka terdiri 22 peserta dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa tengah, dan warga Lampung.
Selama di Lampung Barat, rombongan ini sebagian besar akan menginap di rumah panggung tradisional di Pekon Balak, Batu Brak. Lokasi hunting (mencari objek foto) akan dilaksanakan di Kecamatan Belalau, Batu Brak, Lumbok Ranau, Pahmungan, Pesisir Utara, dan Pesisir Selatan.
Pada beberapa sesi hunting juga akan dilaksanakan pemotretan model lokal yang berbusana kasual, tetapi dengan sentuhan ornamen etnis Lampung.
Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari Dinas Pariwisata Lampung Barat karena diharapkan akan menjadi salah satu sarana promosi yang efektif tentang keindahan Lampung Barat melalui sudut pandang para fotografer Indonesia.
Marketing Pesagi Adventure, Arif Nugroho, menambahkan kegiatan ini merupakan salah satu dukungan untuk Visit Lampung Year 2009. Kedatangan para fotografer tersebut diharapkan akan memberikan warna promosi kepariwisataan di Lampung Barat.
"Fotografer memiliki ketajaman yang lebih untuk melihat atau mengemas keindahan dalam sebuah foto," kata Arif. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Maret 2009
Pemilihan lokasi di Lampung Barat, tidak lain karena mereka kepincut dengan pesona alam daerah ini, juga budaya dan arsitektur tradisional rumah panggung.
Koordinator fotografer asal Lampung, Budi Martha, mengatakan banyak sekali anggota komunitas ini yang berminat setelah membaca dan melihat melalui artikel dan galeri foto di portal fotografer.net yang di-upload beberapa fotografer Lampung, di antaranya Budhi Marta sendiri dan Eka Fendiasapara.
Menurut Budi, kegiatan tersebut akan diikuti 28 fotografer. Mereka terdiri 22 peserta dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa tengah, dan warga Lampung.
Selama di Lampung Barat, rombongan ini sebagian besar akan menginap di rumah panggung tradisional di Pekon Balak, Batu Brak. Lokasi hunting (mencari objek foto) akan dilaksanakan di Kecamatan Belalau, Batu Brak, Lumbok Ranau, Pahmungan, Pesisir Utara, dan Pesisir Selatan.
Pada beberapa sesi hunting juga akan dilaksanakan pemotretan model lokal yang berbusana kasual, tetapi dengan sentuhan ornamen etnis Lampung.
Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari Dinas Pariwisata Lampung Barat karena diharapkan akan menjadi salah satu sarana promosi yang efektif tentang keindahan Lampung Barat melalui sudut pandang para fotografer Indonesia.
Marketing Pesagi Adventure, Arif Nugroho, menambahkan kegiatan ini merupakan salah satu dukungan untuk Visit Lampung Year 2009. Kedatangan para fotografer tersebut diharapkan akan memberikan warna promosi kepariwisataan di Lampung Barat.
"Fotografer memiliki ketajaman yang lebih untuk melihat atau mengemas keindahan dalam sebuah foto," kata Arif. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Maret 2009
March 22, 2009
Peragaan Busana: Kreasi dari Kain Khas Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kreasi busana anak-anak menggunakan kain tapis, batik, dan sulam usus menjadi terobosan untuk memasyarakatkan kain khas Lampung.
Selama ini gaun yang dirancang dari kain khas Lampung seperti sulam usus, tapis, dan batik lampung identik dengan kegiatan formal seperti pernikahan dan acara adat. Untuk memasyarakatkan kain khas Lampung, Dekranasda menggelar Lomba Busana Anak-anak Khas Lampung, di lantai IV Mal Kartini, Sabtu (21-3).
Lomba ini diikuti 66 peserta yang memperagakan busana modifikasi kain sulam usus, tapis, dan batik lampung hasil perancang-perancang Lampung.
Peragaan busana anak-anak ini didominasi rancangan gaun kain sulam usus. Seperti yang diperagakan peserta nomor 14, terusan sulam usus ungu dengan hiasan pinggir sulaman bunga tanjung dimodifiksi dengan sulam usus putih sebagai gaun tengah.
Busana ini terlihat chick dan tidak terlalu formal. Bisa digunakan oleh anak-anak dalam acara perpisahan sekolah, ulang tahun teman atau acara keluarga. Gaun malam sulam usus hitam rancangan Sumiarti Sapri terlihat anggun dan dewasa. Busana ini diperagakan oleh peserta nomor 18, Sania Ajeng Puji Astuti, siswa SD Al-Azhar.
Beberapa busana sulam usus juga diperagakan oleh peserta nomor 22 dengan memodifikasi sulam usus kuning, merah, dan hijau membentuk siluet tubuh, memberi kesan seksi.
Rancangan yang cukup menarik dan unik diperagakan peserta nomor 38, Reh Muliana Yasinta Angela Moza, siswa SD Tunas Mekar Indonesia. Busana ini dirancang oleh Dewi Modeling.
Dewi memodifikasi tapis dan kain batik. Tapis pucuk rebung dijadikan lilitan pinggang dan bendana yang dibiarkan menjuntai sebagai hiasan kepala. Bawahan rok panjang dari batik Lampung dengan ornamen siger Saibatin dan burung. Busana ini masih terkesan agak formal, bisa digunakan dalam acara-acara resmi.
Peserta nomor 50, Janatul Anin, juga menampilkan gaun panjang modifikasi tapis dan batik. Kain tapis pucuk rebung dijadikan atasan dengan kerah agak tinggi. Untuk bawahan rok panjang dari kain batik Lampung dengan ornamen bunga-bunga kecil.
Rok ini dirancang persegi berbentuk huruf V, sehingga bagian depan pendek sepaha, sedangkan bagian belakang panjang semata kaki. Busana rancangan Ely Rumah Mode ini terlihat modis untuk digunakan dalam acara-acara semi formal.
Selain itu juga ada rancangan sulam usus busana pria. Seperti yang diperagakan oleh peserta nomor 37 yang menggunakan rompi sulam usus merah dengan busana kaos hitam lengan panjang.
Busana pria ini memberi kesan metropolis. Sedangkan peserta nomor 54 menggunakan rompi hitam yang disulam dengan sulam usus putih. Rompi ini dipakai bersama kemeja merah. Busana pria ini terkesan sederhana, tapi bergaya. Bisa digunakan sebagai busana Lebaran Idulfitri, atau acara busana kepanitiaan sekolah.
Ketua Dekranasda Lampung, Dewi Syamsurya Ryacudu, mengatakan fashion show itu dalam rangka ulang tahun ke-29 Dekranasda. Lomba rancang busana anak-anak khas Lampung itu untuk mendekatkan masyarakat dengan kain daerah mereka. Selain itu juga menjadi ajang kreasi bagi pengrajin dan perancang busana di Lampung.
"Lomba ini khusus bagi perajin binaan Dekranasda Provinsi, namun kami juga mengundang Dekranasda kabupaten/kota untuk ikut serta," kata Dewi ketika diwawancarai usai acara.
Kriteria penilaian lomba dititikberatkan pada corak dan keindahan rancangan busana yang belum pernah dipublikasikan atau desain terbaru. Dari 66 peserta akan dipilih 7 finalis untuk tampil pada puncak HUT Dekranasda pada 31 Maret di Balai Keratun.
Dewi mengatakan untuk mempromosikan kain khas Lampung ke berbagai negara, Dekranasda Provinsi bekerja sama dengan pengurus Dekranas. Pameran tidak hanya dilaksanakan di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri, salah satunya ke Prancis. "Kami bekerja sama dengan Dekranasda Pusat, kalau ada pameran di Jakarta, Singapura, atau pernah juga ke Prancis, kami siap memperomosikan kain khas Lampung ini ke berbagai negara," kata Dewi. n RIN/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Selama ini gaun yang dirancang dari kain khas Lampung seperti sulam usus, tapis, dan batik lampung identik dengan kegiatan formal seperti pernikahan dan acara adat. Untuk memasyarakatkan kain khas Lampung, Dekranasda menggelar Lomba Busana Anak-anak Khas Lampung, di lantai IV Mal Kartini, Sabtu (21-3).
Lomba ini diikuti 66 peserta yang memperagakan busana modifikasi kain sulam usus, tapis, dan batik lampung hasil perancang-perancang Lampung.
Peragaan busana anak-anak ini didominasi rancangan gaun kain sulam usus. Seperti yang diperagakan peserta nomor 14, terusan sulam usus ungu dengan hiasan pinggir sulaman bunga tanjung dimodifiksi dengan sulam usus putih sebagai gaun tengah.
Busana ini terlihat chick dan tidak terlalu formal. Bisa digunakan oleh anak-anak dalam acara perpisahan sekolah, ulang tahun teman atau acara keluarga. Gaun malam sulam usus hitam rancangan Sumiarti Sapri terlihat anggun dan dewasa. Busana ini diperagakan oleh peserta nomor 18, Sania Ajeng Puji Astuti, siswa SD Al-Azhar.
Beberapa busana sulam usus juga diperagakan oleh peserta nomor 22 dengan memodifikasi sulam usus kuning, merah, dan hijau membentuk siluet tubuh, memberi kesan seksi.
Rancangan yang cukup menarik dan unik diperagakan peserta nomor 38, Reh Muliana Yasinta Angela Moza, siswa SD Tunas Mekar Indonesia. Busana ini dirancang oleh Dewi Modeling.
Dewi memodifikasi tapis dan kain batik. Tapis pucuk rebung dijadikan lilitan pinggang dan bendana yang dibiarkan menjuntai sebagai hiasan kepala. Bawahan rok panjang dari batik Lampung dengan ornamen siger Saibatin dan burung. Busana ini masih terkesan agak formal, bisa digunakan dalam acara-acara resmi.
Peserta nomor 50, Janatul Anin, juga menampilkan gaun panjang modifikasi tapis dan batik. Kain tapis pucuk rebung dijadikan atasan dengan kerah agak tinggi. Untuk bawahan rok panjang dari kain batik Lampung dengan ornamen bunga-bunga kecil.
Rok ini dirancang persegi berbentuk huruf V, sehingga bagian depan pendek sepaha, sedangkan bagian belakang panjang semata kaki. Busana rancangan Ely Rumah Mode ini terlihat modis untuk digunakan dalam acara-acara semi formal.
Selain itu juga ada rancangan sulam usus busana pria. Seperti yang diperagakan oleh peserta nomor 37 yang menggunakan rompi sulam usus merah dengan busana kaos hitam lengan panjang.
Busana pria ini memberi kesan metropolis. Sedangkan peserta nomor 54 menggunakan rompi hitam yang disulam dengan sulam usus putih. Rompi ini dipakai bersama kemeja merah. Busana pria ini terkesan sederhana, tapi bergaya. Bisa digunakan sebagai busana Lebaran Idulfitri, atau acara busana kepanitiaan sekolah.
Ketua Dekranasda Lampung, Dewi Syamsurya Ryacudu, mengatakan fashion show itu dalam rangka ulang tahun ke-29 Dekranasda. Lomba rancang busana anak-anak khas Lampung itu untuk mendekatkan masyarakat dengan kain daerah mereka. Selain itu juga menjadi ajang kreasi bagi pengrajin dan perancang busana di Lampung.
"Lomba ini khusus bagi perajin binaan Dekranasda Provinsi, namun kami juga mengundang Dekranasda kabupaten/kota untuk ikut serta," kata Dewi ketika diwawancarai usai acara.
Kriteria penilaian lomba dititikberatkan pada corak dan keindahan rancangan busana yang belum pernah dipublikasikan atau desain terbaru. Dari 66 peserta akan dipilih 7 finalis untuk tampil pada puncak HUT Dekranasda pada 31 Maret di Balai Keratun.
Dewi mengatakan untuk mempromosikan kain khas Lampung ke berbagai negara, Dekranasda Provinsi bekerja sama dengan pengurus Dekranas. Pameran tidak hanya dilaksanakan di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri, salah satunya ke Prancis. "Kami bekerja sama dengan Dekranasda Pusat, kalau ada pameran di Jakarta, Singapura, atau pernah juga ke Prancis, kami siap memperomosikan kain khas Lampung ini ke berbagai negara," kata Dewi. n RIN/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Bingkai Buku: 'Muakhi', Cermin Kearifan Budaya Lampung
Judul: Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat
Penulis: Dr. H. A. Fauzie Nurdin,
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta,
Cetakan I, Februari 2009
Tebal: xii + 307 halaman
MASYARAKAT Lampung memiliki karakteristik budaya muakhi yang sarat filosofi lokal. Budaya muakhi--secara sederhana ditafsirkan persaudaraan--menjadi budaya Lampung yang diwariskan leluhur secara lestari. Muakhi juga menjadi "napas" keadaban (baca: etika) dan peradaban Lampung dengan membentangkan persaudaraan, ukhuwah, dan silaturahmi secara terbuka.
Bentangan kearifan-kearifan budaya Lampung, khususnya muakhi, membentuk kesadaran intelektualitas Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S., seorang putra Lampung yang secara telaten menyelisik budaya muakhi melalui kajian akademis dalam disertasi yang mengantarkannya meraih doktor ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), medio Desember 2008. Resonansi intelektualitas dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung ini terefleksikan dalam buku berjudul Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat.
Buku yang diangkat dari disertasi Fauzie Nurdin terbagi delapan bagian. Pada bagian pertama, diulas ihwal budaya muakhi dalam perspektif budaya Lampung yang kemudian dilihat juga relasinya dalam perspektif Islam; sehingga terbangun sebuah ide bahwa kehidupan masyarakat Lampung tidak terlepas dari nilai-nilai adat dan Islam secara integral.
Muakhi secara konseptual dipahami sebagai nilai etis dalam budaya lokal yang teraktualisasi secara dinamis. Untuk menemukan relevansi muakhi dalam pembangunan daerah, meniscayakan adanya redefenisi pemaknaan muakhi sehingga melahirkan rekonstruksi sosial di Lampung, yakni menjadi model dan modal merajut persaudaraan dalam konstruk ketulusan dan kejujuran.
Dalam konteks ini, penulis buku yang lama bergelut di berbagai organisasi sosial keagamaan ini berangkat dari dua asumsi dasar untuk membangun konseptualisasi muakhi dalam perspektif filsafat sosial. Pertama, adanya pandangan filosofis yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk etis sebagai dasar integrasi masyarakat lokal berbasis persaudaraan yang tetap dilestarikan. Kedua, muakhi ditempatkan sebagai etika sosial sehingga dapat digunakan sebagai pendekatan menyelesaikan distegrasi dan konflik sosial, guna memuluskan arah pembangunan daerah (hlm. 5).
Selain itu, pemosisian muakhi yang berdimensi local wisdom dalam sistem sosial dapat dipahami dari adanya komunitas lokal yang memiliki kemampuan, daya tahan yang sejalan dengan nilai-nilai baru dari komunitas luar.
Memaknai muakhi sebagai etika sosial tidak terlepas dari akar kulturalnya. Muakhi yang berasal dari kata puakhi--yang berarti saudara kandung dan saudara sepupu--lebih luas lagi, kemuakhian menjadi sistem persaudaraan antarmarga. Nilai-nilai itu diracik secara apik dalam prospektif pembangunan dalam pijakan filsafat sosial.
Budaya muakhi dalam konteks pembangunan masyarakat Lampung, khususnya Pepadun, diyakini penulisnya memiliki relevansi dalam membangun kesadaran pelaku yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas. Konkretnya, memahami makna muakhi dalam teropong budaya yang diaktualisasikan dalam dimensi moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik diyakini memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat lokal dan pembangunan daerah.
Relevansi muakhi di era otonomi daerah sekarang ini, sepatutnya diinternalisasikan sehingga seluruh dimensi pembangunan tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan-kearifan kultural Lampung. Karena itu, muakhi tidak semata ditafsirkan sebagai budaya belaka, tetapi ditempatkannya sebagai etika sosial.
Kemahiran Fauzie Nurdin sebagai tokoh dan budayawan Lampung memberinya talenta akademis dalam menyelami filosofi masyarakat Lampung. Yakni, budaya Lampung berlandaskan pada filsafat hidup piil pesenggiri, menjadikan masyarakat Lampung dapat memahami budayanya sekaligus mengartikulasikan muakhi sebagai etika sosial, berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.
Sebagai seorang akademisi tulen, Fauzie Nurdin yang dalam waktu dekat mencapai puncak karier akademiknya sebagai guru besar (profesor) di IAIN Raden Intan secara filosofis menyingkap muakhi sebagai sikap dan pandangan hidup masyarakat Lampung berdasar pada kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sehingga "deru napas" kearifan budaya muakhi menyeruak sebagai perekat ukhuwah, bahkan perekat persatuan bangsa.
Bagaimana muakhi sebagai nilai persaudaraan yang mencerminkan kearifan lokal dalam konteks kasadaan kolektif, penulis buku ini secara spesifik mengulasnya dalam bagian tersendiri di bab kelima. Dalam hal ini, muakhi dimaknai dalam budaya lokal dan muakhi sebagai pembangun kesadaran.
Untuk menyemai kekhasan khazanah Lampung ini, maka akademisi yang juga bergiat dalam ranah kebudayaan Lampung ini, kemudian menempatkan muakhi sebagai konsep hidup masyarakat Lampung dalam optik filsafat sosial.
Salah satu kekuatan buku ini ada pada keberhasilannya mempertemukan secara integratif relasi antara tradisi Islam dan nilai budaya muakhi dalam masyarakat lokal Lampung. Artikulkasi dari akulturasi dan asimilasi itu terkuak dalam mengamati dialektika Islam dan tradisi lokal Lampung yang "menyatu" atau "terintegrasi" seperti tercermin dalam pengamalan ibadah dalam masyarakat lokal. Kajian ini lebih serius tampak pada bagian keenam buku ini. Aktualisasi muakhi dalam pembangunan daerah diuraikan pada bagain ketujuh.
Kontribusi muakhi terhadap pembangunan daerah makin nyata dengan terinternalisasinya nilai-nilai ini sebagai bagian kesadaran kolektif masyarakat di Lampung, yakni senantiasa mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas sosial. Hal ini dapat tercapai melalui pemberdayaan adat sebagai realisasi kesadaran kultural dalam merawat tradisi leluhurnya.
Firdaus Muhammad, Koordinator AFKAR Circle dan anggota Balitbang Dewan Kesenian Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Penulis: Dr. H. A. Fauzie Nurdin,
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta,
Cetakan I, Februari 2009
Tebal: xii + 307 halaman
MASYARAKAT Lampung memiliki karakteristik budaya muakhi yang sarat filosofi lokal. Budaya muakhi--secara sederhana ditafsirkan persaudaraan--menjadi budaya Lampung yang diwariskan leluhur secara lestari. Muakhi juga menjadi "napas" keadaban (baca: etika) dan peradaban Lampung dengan membentangkan persaudaraan, ukhuwah, dan silaturahmi secara terbuka.
Bentangan kearifan-kearifan budaya Lampung, khususnya muakhi, membentuk kesadaran intelektualitas Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S., seorang putra Lampung yang secara telaten menyelisik budaya muakhi melalui kajian akademis dalam disertasi yang mengantarkannya meraih doktor ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), medio Desember 2008. Resonansi intelektualitas dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung ini terefleksikan dalam buku berjudul Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat.
Buku yang diangkat dari disertasi Fauzie Nurdin terbagi delapan bagian. Pada bagian pertama, diulas ihwal budaya muakhi dalam perspektif budaya Lampung yang kemudian dilihat juga relasinya dalam perspektif Islam; sehingga terbangun sebuah ide bahwa kehidupan masyarakat Lampung tidak terlepas dari nilai-nilai adat dan Islam secara integral.
Muakhi secara konseptual dipahami sebagai nilai etis dalam budaya lokal yang teraktualisasi secara dinamis. Untuk menemukan relevansi muakhi dalam pembangunan daerah, meniscayakan adanya redefenisi pemaknaan muakhi sehingga melahirkan rekonstruksi sosial di Lampung, yakni menjadi model dan modal merajut persaudaraan dalam konstruk ketulusan dan kejujuran.
Dalam konteks ini, penulis buku yang lama bergelut di berbagai organisasi sosial keagamaan ini berangkat dari dua asumsi dasar untuk membangun konseptualisasi muakhi dalam perspektif filsafat sosial. Pertama, adanya pandangan filosofis yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk etis sebagai dasar integrasi masyarakat lokal berbasis persaudaraan yang tetap dilestarikan. Kedua, muakhi ditempatkan sebagai etika sosial sehingga dapat digunakan sebagai pendekatan menyelesaikan distegrasi dan konflik sosial, guna memuluskan arah pembangunan daerah (hlm. 5).
Selain itu, pemosisian muakhi yang berdimensi local wisdom dalam sistem sosial dapat dipahami dari adanya komunitas lokal yang memiliki kemampuan, daya tahan yang sejalan dengan nilai-nilai baru dari komunitas luar.
Memaknai muakhi sebagai etika sosial tidak terlepas dari akar kulturalnya. Muakhi yang berasal dari kata puakhi--yang berarti saudara kandung dan saudara sepupu--lebih luas lagi, kemuakhian menjadi sistem persaudaraan antarmarga. Nilai-nilai itu diracik secara apik dalam prospektif pembangunan dalam pijakan filsafat sosial.
Budaya muakhi dalam konteks pembangunan masyarakat Lampung, khususnya Pepadun, diyakini penulisnya memiliki relevansi dalam membangun kesadaran pelaku yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas. Konkretnya, memahami makna muakhi dalam teropong budaya yang diaktualisasikan dalam dimensi moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik diyakini memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat lokal dan pembangunan daerah.
Relevansi muakhi di era otonomi daerah sekarang ini, sepatutnya diinternalisasikan sehingga seluruh dimensi pembangunan tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan-kearifan kultural Lampung. Karena itu, muakhi tidak semata ditafsirkan sebagai budaya belaka, tetapi ditempatkannya sebagai etika sosial.
Kemahiran Fauzie Nurdin sebagai tokoh dan budayawan Lampung memberinya talenta akademis dalam menyelami filosofi masyarakat Lampung. Yakni, budaya Lampung berlandaskan pada filsafat hidup piil pesenggiri, menjadikan masyarakat Lampung dapat memahami budayanya sekaligus mengartikulasikan muakhi sebagai etika sosial, berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.
Sebagai seorang akademisi tulen, Fauzie Nurdin yang dalam waktu dekat mencapai puncak karier akademiknya sebagai guru besar (profesor) di IAIN Raden Intan secara filosofis menyingkap muakhi sebagai sikap dan pandangan hidup masyarakat Lampung berdasar pada kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sehingga "deru napas" kearifan budaya muakhi menyeruak sebagai perekat ukhuwah, bahkan perekat persatuan bangsa.
Bagaimana muakhi sebagai nilai persaudaraan yang mencerminkan kearifan lokal dalam konteks kasadaan kolektif, penulis buku ini secara spesifik mengulasnya dalam bagian tersendiri di bab kelima. Dalam hal ini, muakhi dimaknai dalam budaya lokal dan muakhi sebagai pembangun kesadaran.
Untuk menyemai kekhasan khazanah Lampung ini, maka akademisi yang juga bergiat dalam ranah kebudayaan Lampung ini, kemudian menempatkan muakhi sebagai konsep hidup masyarakat Lampung dalam optik filsafat sosial.
Salah satu kekuatan buku ini ada pada keberhasilannya mempertemukan secara integratif relasi antara tradisi Islam dan nilai budaya muakhi dalam masyarakat lokal Lampung. Artikulkasi dari akulturasi dan asimilasi itu terkuak dalam mengamati dialektika Islam dan tradisi lokal Lampung yang "menyatu" atau "terintegrasi" seperti tercermin dalam pengamalan ibadah dalam masyarakat lokal. Kajian ini lebih serius tampak pada bagian keenam buku ini. Aktualisasi muakhi dalam pembangunan daerah diuraikan pada bagain ketujuh.
Kontribusi muakhi terhadap pembangunan daerah makin nyata dengan terinternalisasinya nilai-nilai ini sebagai bagian kesadaran kolektif masyarakat di Lampung, yakni senantiasa mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas sosial. Hal ini dapat tercapai melalui pemberdayaan adat sebagai realisasi kesadaran kultural dalam merawat tradisi leluhurnya.
Firdaus Muhammad, Koordinator AFKAR Circle dan anggota Balitbang Dewan Kesenian Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Desain: Batik Khas Lampung Gabovira Menasional
BERAWAL dari keinginan mengembangkan batik khas Lampung yang terkesan monoton, desain batik khas Lampung karya Gatot Kartiko, Direktur Kriya Batik Gabovira, menasional. Baju batik Mahkota Flora dengan hiasan ornamen siger dan bunga dipakai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), pekan lalu.
"Desain mahkota flora ini tidak kami keluarkan lagi karena ini pesanan khusus dari Hipmi," kata Gatot saat ditemui di tokonya di Jalan Basudewo B5 Nomor 5, Beringin Raya, Kemiling, Bandar Lampung. Sebagai penggantinya, Gatot mendesain batik khas Lampung, Jung Flora, serupa tapi tak sama dengan desain Mahkota Flora.
Menurut dia, Jung Flora dikeluarkan bagi masyarakat yang ingin menggunakan pakaian batik khas Lampung dengan desain agak serupa dengan batik yang pernah digunakan SBY.
Menurut Gatot, usaha batik itu sudah dia rintis sejak 2000, ketika itu dia masih berkecimpung dalam penjualan batik pekalongan. Pada 2003, dia mulai tergelitik untuk membuat batik khas Lampung dengan ornamen asli Lampung.
"Saya lihat di Lampung PNS banyak yang memakai batik khas Lampung tetapi ornamennya monoton dan masih kombinasi antara ornamen Jawa--Lampung. Saya terinspirasi untuk membuat batik yang full dengan ornamen Lampung," kata bapak tiga anak kelahiran Kenjeran, Surabaya ini. Pada 2004, mulailah Gatot mendesain batik khas Lampung dengan meniru ornamen pada kain tapis, ragam hias Lampung, dan simbol-simbol daerah Lampung.
Menurut dia, di masa kepemimpinan Gubernur Sjachroedin, dia mendapat banyak masukan tentang simbol Lampung, salah satunya Tugu Siger atau Siger. Sehingga, ketika melihat Siger, orang langsung berpikir tentang Lampung.
Ciri khas batik desain Gatot ini adalah printing dilakukan secara manual, sehingga kain yang digunakan juga harus bermutu tinggi, seperti kain katun primis, katun dobi, sutra super, sutra alat tenun mesin, dan sutra alat tenun bukan mesin.
"Kami juga pernah mengeluarkan printing skala pabrik, biasanya kain yang digunakan untuk printing skala besar itu kain rayon. Tapi, pada semua produk yang kami keluarkan, di bawahnya pasti ada nama kain batik dan nama perusahaan kami, Gabovira," ujar suami Debora ini mengingat maraknya oknum yang menciplak desain batik miliknya.
Desain yang unik dan kualitas kain batiknya mengantarkan industri rumah tangga ini melaju pesat. Bahkan saat ini dia sudah memiliki enam cabang usaha, yaitu di Selikur, Metro; Dekranasda Provinsi, Pahoman; Dekranasda Kota Bandar Lampung; Enggal, Anjungan Lampung, Taman Mini, Jakarta; dan di lantai II Mal Chandra. n RINDA MULYANI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
"Desain mahkota flora ini tidak kami keluarkan lagi karena ini pesanan khusus dari Hipmi," kata Gatot saat ditemui di tokonya di Jalan Basudewo B5 Nomor 5, Beringin Raya, Kemiling, Bandar Lampung. Sebagai penggantinya, Gatot mendesain batik khas Lampung, Jung Flora, serupa tapi tak sama dengan desain Mahkota Flora.
Menurut dia, Jung Flora dikeluarkan bagi masyarakat yang ingin menggunakan pakaian batik khas Lampung dengan desain agak serupa dengan batik yang pernah digunakan SBY.
Menurut Gatot, usaha batik itu sudah dia rintis sejak 2000, ketika itu dia masih berkecimpung dalam penjualan batik pekalongan. Pada 2003, dia mulai tergelitik untuk membuat batik khas Lampung dengan ornamen asli Lampung.
"Saya lihat di Lampung PNS banyak yang memakai batik khas Lampung tetapi ornamennya monoton dan masih kombinasi antara ornamen Jawa--Lampung. Saya terinspirasi untuk membuat batik yang full dengan ornamen Lampung," kata bapak tiga anak kelahiran Kenjeran, Surabaya ini. Pada 2004, mulailah Gatot mendesain batik khas Lampung dengan meniru ornamen pada kain tapis, ragam hias Lampung, dan simbol-simbol daerah Lampung.
Menurut dia, di masa kepemimpinan Gubernur Sjachroedin, dia mendapat banyak masukan tentang simbol Lampung, salah satunya Tugu Siger atau Siger. Sehingga, ketika melihat Siger, orang langsung berpikir tentang Lampung.
Ciri khas batik desain Gatot ini adalah printing dilakukan secara manual, sehingga kain yang digunakan juga harus bermutu tinggi, seperti kain katun primis, katun dobi, sutra super, sutra alat tenun mesin, dan sutra alat tenun bukan mesin.
"Kami juga pernah mengeluarkan printing skala pabrik, biasanya kain yang digunakan untuk printing skala besar itu kain rayon. Tapi, pada semua produk yang kami keluarkan, di bawahnya pasti ada nama kain batik dan nama perusahaan kami, Gabovira," ujar suami Debora ini mengingat maraknya oknum yang menciplak desain batik miliknya.
Desain yang unik dan kualitas kain batiknya mengantarkan industri rumah tangga ini melaju pesat. Bahkan saat ini dia sudah memiliki enam cabang usaha, yaitu di Selikur, Metro; Dekranasda Provinsi, Pahoman; Dekranasda Kota Bandar Lampung; Enggal, Anjungan Lampung, Taman Mini, Jakarta; dan di lantai II Mal Chandra. n RINDA MULYANI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Traveling: Melaju Beriring Irigasi Komering
PERJALANAN jauh dengan kendaraan bermotor identik dengan lelah dan pemandangan yang menjemukan. Namun, Anda akan menemukan nuansa lain jika melakukan trip dari Martapura, OKU Timur menuju Belitang dan seterusnya. Sejauh lebih 50 kilometer, Anda akan ditemani air irigasi yang menyegarkan.
Adalah Sungai Komering, sungai terbesar kedua di wilayah Sumatera Selatan yang berhulu di daerah Ranau, OKU Selatan. Sungai itu terus menggelontorkan miliaran meter kubik air yang dikumpulkan dari sungai-sungai kecil yang bermuara di kali itu, juga dari akar pepohonan yang masih lestari.
Di bagian hilir, yakni di sekitar Kabupaten OKU Timur, wilayah yang berbatasan dengan Provinsi Lampung, air sungai sudah sangat besar. Apalagi saat musim hujan tiba.
Adalah "mata" Belanda, yang membuka pintu-pintu rahmat bagi bangsa ini yang kemudian menciptakan koloni sebagai transmigran di daerah Belitang, Sumatera Selatan. Londo penjajah itu membangun bendungan komering (BK) di sungai itu (saat ini berlokasi di BK 0) pada masa penjajahan.
Bersamaan dengan itu, para pekerja kasar yang didatangkan dari Jawa dipekerjakan untuk membangun saluran irigasi ke arah Belitang. Itu menjadi cikal bakal kisah kejayaan Belitang sebagai daerah lumbung padi Sumatera Selatan, bahkan Indonesia, dan menjadi daerah yang berkembang.
Zaman berubah. Masa kemerdekaan, daerah itu terus maju dengan pertaniannya. Dan pada masa Orde Baru, pemerintah melihat potensi yang lebih besar pada kali Komering itu. Maka, sejak 1989, satu bendungan besar dibangun sekitar 10 kilometer di atas bendungan lama yang dibangun Belanda. Bendungan Perjaya namanya.
Bendungan itu diresmikan pada 1991. Saat itu, bendungan yang didirikan tak jauh dari permukiman warga pribumi itu menjadi bendungan terbesar di Sumatera. Tak heran, proyek besar itu berfungsi ganda. Selain untuk pengairan sawah, juga menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar, bahkan dari luar daerah.
Kini, bendungan itu kokoh berdiri membentang sepanjang sekitar 100 meter memotong Kali Komering. Di atas pintu-pintu air yang dikendalikan dengan sistem hidrolik dan bangunannya dibuat dengan seperti pos-pos pengawasan itu, membentang jembatan yang dapat dilalui dua kendaraan roda empat bersimpangan.
Dari atas jembatan ini, gilar air Komering di waduk menjadi pemandangan seperti danau tak akan kering. Sedangkan di bawahnya, setara dengan seberapa besar pintu dibuka, sederas itulah gerojok air membentur permukaan sungai di di hilir yang bertumpuk batu-batu besar.
Pemandangan seperti itu adalah daya tarik. Tak heran jika sore menjelang, muda-mudi menikmati indahnya alam dan merasakan dinamisnya air menerjuni wahana. Beberapa sudut bendungan juga menjadi tempat bersantai dan bercengkerama.
Dari atas bendungan itu, para pemancing mengadu gapah "menipu" ikan jelabat yang sedang bermain di bawah air dengan umpan berduri. Juga warga yang menebar jalan untuk menjebak ikan-ikan seluang yang sedang bercanda ria dengan debur air. Ditambah lagi ibu-ibu muda yang menjajakan ikan hasil tangkapan para pemancing dan penjala kepada pelintas.
Jika musim buah durian dan duku, bendungan ini adalah lokasi transaksi yang ramai. Untuk diketahui, duku yang dikenal di seantero tempat sebagai duku palembang atau duku komering, yang dikenal sangat manis dan berbiji tipis, berasal dari daerah tak jauh dari sini. Yakni, daerah Rasuan. Demikian juga durian yang dikenal legit, berasal dari Rasuan.
Bangunan Bendungan Perjaya sudah cukup memukau dengan pintu-pintu pembagi air yang sedemikian rupa. Lebih dari itu, saluran irigasi yang dibangun membuntut ke bawah juga memberi suasana amat berbeda. Di atas tanggul irigasi itu, dibangun jalan hotmix mulus selebar dua kendaraan roda empat bisa berpapasan dengan mudah.
Panjang jalan yang langsung bersentuhan dengan saluran air ini lebih dari 13 kilometer. Jika saja ada speed boat yang beroperasi di air irigasi itu, boleh jadi ada adu balap dengan mobil di atasnya. Sayangnya, transportasi air itu tidak bisa sejauh jalan daratnya. Sebab, setiap beberapa kilometer, ada jembatan atau pintu air untuk membagi ke saluran sekunder.
Jika Anda melanjutkan perjalanan ke arah Kayuagung atau menuju jalan lintas timur, mulai dari Bendungan Perjaya hingga sejauh 50 kilometer akan didampingi irigasi ini di sisi kiri. Setiap beberapa kilometer, terdapat pintu pembagi air yang dikenal dengan sebutan BK. Ada beberapa versi tentang singkatan dari BK ini. Yakni, Bendungan Komering dan Bangunan Komering. Jumlahnya ada 35 BK, hingga hilir di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Irigasi Komering ini adalah pintu berkah bagi warga Belitang dan sekitarnya. Bahkan, pengembangan Bendungan Perjaya kini telah mengalirkan airnya ke wilayah Lampung. Yakni, di Kecamatan Bahuga, Way Kanan, dan sekitarnya. Pembangunan perluasan jangkauan ini dibiayai Japan Bank for International Cooperation (JBIC) senilai Rp1,5 triliun.
Secara keseluruhan, Bendungan Perjaya ini mengaliri sekitar 21 ribu hektare sawah. Daerah yang semula hanya panen sekali setahun, dengan irigasi ini bisa panen minmal dua kali, bahkan tiga kali. Dengan air irigasi ini, produktivitas pertanian, terutama padi juga tinggi. Belitang dicatat oleh Deptan dapat menghasilkan 314 ribu ton beras per tahun.
Limpahan air yang mengalir di wilayah ini sangat luar biasa. Sayangnya, belum ada event-event olah raga atau atraksi budaya daerah setempat yang memanfaatkan keunggulan ini. Memang, pada setiap bendungan dan saluran irigasi, selalu tertancap tulisan peringatan agar tidak melakukan aktivitas seperti berenang dan lainnya. Meskipun, warga sekitar saluran menggunakan air irigasi untuk berbagai keperluan. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
Adalah Sungai Komering, sungai terbesar kedua di wilayah Sumatera Selatan yang berhulu di daerah Ranau, OKU Selatan. Sungai itu terus menggelontorkan miliaran meter kubik air yang dikumpulkan dari sungai-sungai kecil yang bermuara di kali itu, juga dari akar pepohonan yang masih lestari.
Di bagian hilir, yakni di sekitar Kabupaten OKU Timur, wilayah yang berbatasan dengan Provinsi Lampung, air sungai sudah sangat besar. Apalagi saat musim hujan tiba.
Adalah "mata" Belanda, yang membuka pintu-pintu rahmat bagi bangsa ini yang kemudian menciptakan koloni sebagai transmigran di daerah Belitang, Sumatera Selatan. Londo penjajah itu membangun bendungan komering (BK) di sungai itu (saat ini berlokasi di BK 0) pada masa penjajahan.
Bersamaan dengan itu, para pekerja kasar yang didatangkan dari Jawa dipekerjakan untuk membangun saluran irigasi ke arah Belitang. Itu menjadi cikal bakal kisah kejayaan Belitang sebagai daerah lumbung padi Sumatera Selatan, bahkan Indonesia, dan menjadi daerah yang berkembang.
Zaman berubah. Masa kemerdekaan, daerah itu terus maju dengan pertaniannya. Dan pada masa Orde Baru, pemerintah melihat potensi yang lebih besar pada kali Komering itu. Maka, sejak 1989, satu bendungan besar dibangun sekitar 10 kilometer di atas bendungan lama yang dibangun Belanda. Bendungan Perjaya namanya.
Bendungan itu diresmikan pada 1991. Saat itu, bendungan yang didirikan tak jauh dari permukiman warga pribumi itu menjadi bendungan terbesar di Sumatera. Tak heran, proyek besar itu berfungsi ganda. Selain untuk pengairan sawah, juga menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar, bahkan dari luar daerah.
Kini, bendungan itu kokoh berdiri membentang sepanjang sekitar 100 meter memotong Kali Komering. Di atas pintu-pintu air yang dikendalikan dengan sistem hidrolik dan bangunannya dibuat dengan seperti pos-pos pengawasan itu, membentang jembatan yang dapat dilalui dua kendaraan roda empat bersimpangan.
Dari atas jembatan ini, gilar air Komering di waduk menjadi pemandangan seperti danau tak akan kering. Sedangkan di bawahnya, setara dengan seberapa besar pintu dibuka, sederas itulah gerojok air membentur permukaan sungai di di hilir yang bertumpuk batu-batu besar.
Pemandangan seperti itu adalah daya tarik. Tak heran jika sore menjelang, muda-mudi menikmati indahnya alam dan merasakan dinamisnya air menerjuni wahana. Beberapa sudut bendungan juga menjadi tempat bersantai dan bercengkerama.
Dari atas bendungan itu, para pemancing mengadu gapah "menipu" ikan jelabat yang sedang bermain di bawah air dengan umpan berduri. Juga warga yang menebar jalan untuk menjebak ikan-ikan seluang yang sedang bercanda ria dengan debur air. Ditambah lagi ibu-ibu muda yang menjajakan ikan hasil tangkapan para pemancing dan penjala kepada pelintas.
Jika musim buah durian dan duku, bendungan ini adalah lokasi transaksi yang ramai. Untuk diketahui, duku yang dikenal di seantero tempat sebagai duku palembang atau duku komering, yang dikenal sangat manis dan berbiji tipis, berasal dari daerah tak jauh dari sini. Yakni, daerah Rasuan. Demikian juga durian yang dikenal legit, berasal dari Rasuan.
Bangunan Bendungan Perjaya sudah cukup memukau dengan pintu-pintu pembagi air yang sedemikian rupa. Lebih dari itu, saluran irigasi yang dibangun membuntut ke bawah juga memberi suasana amat berbeda. Di atas tanggul irigasi itu, dibangun jalan hotmix mulus selebar dua kendaraan roda empat bisa berpapasan dengan mudah.
Panjang jalan yang langsung bersentuhan dengan saluran air ini lebih dari 13 kilometer. Jika saja ada speed boat yang beroperasi di air irigasi itu, boleh jadi ada adu balap dengan mobil di atasnya. Sayangnya, transportasi air itu tidak bisa sejauh jalan daratnya. Sebab, setiap beberapa kilometer, ada jembatan atau pintu air untuk membagi ke saluran sekunder.
Jika Anda melanjutkan perjalanan ke arah Kayuagung atau menuju jalan lintas timur, mulai dari Bendungan Perjaya hingga sejauh 50 kilometer akan didampingi irigasi ini di sisi kiri. Setiap beberapa kilometer, terdapat pintu pembagi air yang dikenal dengan sebutan BK. Ada beberapa versi tentang singkatan dari BK ini. Yakni, Bendungan Komering dan Bangunan Komering. Jumlahnya ada 35 BK, hingga hilir di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Irigasi Komering ini adalah pintu berkah bagi warga Belitang dan sekitarnya. Bahkan, pengembangan Bendungan Perjaya kini telah mengalirkan airnya ke wilayah Lampung. Yakni, di Kecamatan Bahuga, Way Kanan, dan sekitarnya. Pembangunan perluasan jangkauan ini dibiayai Japan Bank for International Cooperation (JBIC) senilai Rp1,5 triliun.
Secara keseluruhan, Bendungan Perjaya ini mengaliri sekitar 21 ribu hektare sawah. Daerah yang semula hanya panen sekali setahun, dengan irigasi ini bisa panen minmal dua kali, bahkan tiga kali. Dengan air irigasi ini, produktivitas pertanian, terutama padi juga tinggi. Belitang dicatat oleh Deptan dapat menghasilkan 314 ribu ton beras per tahun.
Limpahan air yang mengalir di wilayah ini sangat luar biasa. Sayangnya, belum ada event-event olah raga atau atraksi budaya daerah setempat yang memanfaatkan keunggulan ini. Memang, pada setiap bendungan dan saluran irigasi, selalu tertancap tulisan peringatan agar tidak melakukan aktivitas seperti berenang dan lainnya. Meskipun, warga sekitar saluran menggunakan air irigasi untuk berbagai keperluan. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009
March 21, 2009
Udo Z. Karzi Menang Lomba Resensi 'LdCE'
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setelah melewati berbagai tahap seleksi, wartawan Lampung Post Udo Z. Karzi keluar sebagai juara resensi novel Luka di Champs Elysees (LdCE). Sedangkan juara kedua diraih Ahmad Khotim Muzakka (Semarang).
Rosita Sihombing, penulis novel, mengumumkan pemenang lomba ini dalam weblognya http://sikrit.multiply.com, Jumat (20-3).
Rosita mengatakan juri dan panitia perlombaan hanya menetapkan dua juara pada kategori media cetak. Sebab, dari enam resensi media cetak yang masuk, hanya empat resensi yang memenuhi kriteria juri.
Setelah kembali diseleksi, kata dia, hanya dua resensi yang memenuhi syarat pengiriman bukti pembelian novel itu. Juri pada kategori media cetak ialah Ayang Utriza, mahasiswa doktoral di Paris. Kini juga menjadi penulis lepas di berbagai media, di antaranya Kompas.
Resensi Udo Z. Karzi yang memenangkan resensi novel LdCE berjudul Jauh-Jauh ke Paris Kari pun Kembali Pulang dimuat Lampung Post, Minggu, 2 November 2008. Sedangkan Ahmad Khotim Muzakka menulis resensi dengan tajuk Getir Hidup di Negeri Orang (Batam Pos, Minggu, 25 Januari 2009). Secara berturut-turut kedua juara mendapatkan hadiah Rp1 juta dan Rp750 ribu ditambah poster Champs Elysees.
Selain kategori media massa, perlombaan itu juga dilakukan versi blog. Berdasar pada keputusan juri, yaitu M. Arman A.Z., sastrawan dan anggota Komisi Sastra Dewan Kesenian Lampung, terpilih lima pemenang.
Kelima pemenang itu ialah Agnes (http://agneswollny.multiply.com), Anike Nurjannah (http://adekpunya.blogspot.com), Desi (http://desolmaz.multiply.com), Ira (http://irasudiharjo.blogspot.com), dan Ummu (http://ummuraisah.multiply.com).
Para pemenang versi blog masing-masing, kata Rosita, mendapatkan satu kotak cokelat ditambah lima post card Champs Elysees.
Potret Buruh Migran
Rosita Sihombing, novelis asal Bandar Lampung yang kini tinggal di Paris, Prancis, menulis sebuah kisah yang memikat, indah, dan luar biasa, meskipun dengan segala kesederhanaan dalam LdCE. Novel ini memotret kehidupan buruh migran di Paris, Prancis.
Ceritanya, dari Lampung, Karimah menjadi buruh migran sebagai pramuwisma di Riyadh. Meninggalkan anak dan suami karena impitan ekonomi keluarga. Namun, di Riyadh ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Kekerasan hingga pelecehan seksual terlalu sering dia alami. Dia tidak tahan. Maka, sebuah kesempatan ketika majikannya mengajak ke Paris, ia kabur di jalan Champs Elysees.
Dalam pelarian ini, dia pingsan. Sampai kemudian ditemukan Hamed yang kemudian menolongnya. Dalam kebingungan, ia pun menjadikan pria asal Aljazair ini sebagai sandaran hidup sebagai warga ilegal di kota ini. Termasuk tinggal bersama dalam satu apartemen hingga melahirkan anak tanpa ikatan perkawinan.
Sampai kemudian, karena perselisihan masalah nama, si bayi meninggal karena kesulitan bernapas. Tidak ada harapan lagi. Sejak itu ia hanya ingin pulang ke Lampung. Beruntung ia bertemu Imelda, seorang Indonesia yang bersuamikan orang Prancis menunjukkan jalan kembali ke Tanah Air. n CR-3/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Maret 2009
Rosita Sihombing, penulis novel, mengumumkan pemenang lomba ini dalam weblognya http://sikrit.multiply.com, Jumat (20-3).
Rosita mengatakan juri dan panitia perlombaan hanya menetapkan dua juara pada kategori media cetak. Sebab, dari enam resensi media cetak yang masuk, hanya empat resensi yang memenuhi kriteria juri.
Setelah kembali diseleksi, kata dia, hanya dua resensi yang memenuhi syarat pengiriman bukti pembelian novel itu. Juri pada kategori media cetak ialah Ayang Utriza, mahasiswa doktoral di Paris. Kini juga menjadi penulis lepas di berbagai media, di antaranya Kompas.
Resensi Udo Z. Karzi yang memenangkan resensi novel LdCE berjudul Jauh-Jauh ke Paris Kari pun Kembali Pulang dimuat Lampung Post, Minggu, 2 November 2008. Sedangkan Ahmad Khotim Muzakka menulis resensi dengan tajuk Getir Hidup di Negeri Orang (Batam Pos, Minggu, 25 Januari 2009). Secara berturut-turut kedua juara mendapatkan hadiah Rp1 juta dan Rp750 ribu ditambah poster Champs Elysees.
Selain kategori media massa, perlombaan itu juga dilakukan versi blog. Berdasar pada keputusan juri, yaitu M. Arman A.Z., sastrawan dan anggota Komisi Sastra Dewan Kesenian Lampung, terpilih lima pemenang.
Kelima pemenang itu ialah Agnes (http://agneswollny.multiply.com), Anike Nurjannah (http://adekpunya.blogspot.com), Desi (http://desolmaz.multiply.com), Ira (http://irasudiharjo.blogspot.com), dan Ummu (http://ummuraisah.multiply.com).
Para pemenang versi blog masing-masing, kata Rosita, mendapatkan satu kotak cokelat ditambah lima post card Champs Elysees.
Potret Buruh Migran
Rosita Sihombing, novelis asal Bandar Lampung yang kini tinggal di Paris, Prancis, menulis sebuah kisah yang memikat, indah, dan luar biasa, meskipun dengan segala kesederhanaan dalam LdCE. Novel ini memotret kehidupan buruh migran di Paris, Prancis.
Ceritanya, dari Lampung, Karimah menjadi buruh migran sebagai pramuwisma di Riyadh. Meninggalkan anak dan suami karena impitan ekonomi keluarga. Namun, di Riyadh ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Kekerasan hingga pelecehan seksual terlalu sering dia alami. Dia tidak tahan. Maka, sebuah kesempatan ketika majikannya mengajak ke Paris, ia kabur di jalan Champs Elysees.
Dalam pelarian ini, dia pingsan. Sampai kemudian ditemukan Hamed yang kemudian menolongnya. Dalam kebingungan, ia pun menjadikan pria asal Aljazair ini sebagai sandaran hidup sebagai warga ilegal di kota ini. Termasuk tinggal bersama dalam satu apartemen hingga melahirkan anak tanpa ikatan perkawinan.
Sampai kemudian, karena perselisihan masalah nama, si bayi meninggal karena kesulitan bernapas. Tidak ada harapan lagi. Sejak itu ia hanya ingin pulang ke Lampung. Beruntung ia bertemu Imelda, seorang Indonesia yang bersuamikan orang Prancis menunjukkan jalan kembali ke Tanah Air. n CR-3/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Maret 2009
March 19, 2009
HUT Lampung: Warga Rayakan Pesta Rakyat
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ribuan masyarakat Lampung ikut memeriahkan pesta rakyat yang diadakan di Lapangan Korpri sebagai puncak peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-45 Provinsi Lampung, tadi malam (18-3).
PESTA RAKYAT. Ribuan warga menghadiri pesta rakyat menyambut hari ulang tahun ke-45 Provinsi Lampung di Lapangan Korpri, Bandar Lampung, Rabu (18-3) malam. Malam pesta rakyat itu dimeriahkan penampilan sejumlah grup band asal Lampung.
(LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Mereka dihibur penampilan band Lampung seperti Astro, Thryn, Disstone, Ken Arok, Compaq, Lensa, dan Rensa Ganvis. Tidak hanya remaja dan anak muda, para orang tua turut menghadiri pesta HUT Lampung itu sambil membawa anak-anak mereka. Acara juga dimeriahkan dengan pesta kembang api.
Pada malam itu, di lantai III Balai Keratun, Gubernur Syamsurya Ryacudu bersama jajaran Muspida merayakan puncak HUT Lampung dengan memotong tumpeng. Acara dihadiri Kapolda Brigjen Pol. Ferial Manaf, unsur pimpinan DPRD Provinsi Lampung, Kepala Dinas Kominfo Adeham, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Hermasyah, M.U.R.P., dan unsur Muspida lain.
Menurut Syamsurya, pembangunan Provinsi Lampung sudah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, iptek, hukum, keamanan maupun pembangunan wilayah dan tata ruang. "Keberhasilan pembangunan yang telah diraih memang belum bisa dirasakan semua pihak. Masih banyak permasalahan pembangunan yang belum bisa kita wujudkan."
Dia berharap HUT Lampung ini menjadi suatu wahana untuk penyegaran kembali serta mengevaluasi karya, pengabdian, dan perjuangan untuk kemajuan daerah dan masyarakat.
Usai potong tumpeng, Syamsurya langsung menuju lapangan tempat berlangsungnya pesta rakyat. Dia disambut atraksi barongsai.
Pagi harinya, anggota DPRD Lampung menggelar rapat paripurna istimewa memperingati HUT ke-45 Provinsi Lampung yang jatuh pada 18 Maret di Gedung DPRD Lampung, Bandar Lampung, Rabu (18-3). Rapat hanya dihadiri 34 orang dari 65 anggota, termasuk tiga pimpinan. Hadir juga Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno.
Dalam rapat tersebut, Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi menyoroti masalah banyaknya jumlah penduduk Lampung yang kini terbanyak kedua di Pulau Sumatera setelah Sumatera Utara. Dari 10 provinsi di Pulau Sumatera, jumlah penduduk Provinsi Lampung mencapai 7,3 juta jiwa.
Selain persoalan tersebut, Indra Karyadi juga memaparkan kerusakan hutan lindung di Provinsi Lampung mencapai 80% dari luasnya 317.615 hektare. Hutan suaka alam dan hutan wisata seluas 462.030 hektare rusak 43% di antaranya.
"Kami mencermati kalau di Provinsi Lampung telah terjadi alih fungsi hutan secara tidak bertanggung jawab. Kondisi ini tentu akan membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup dan kemajuan Provinsi Lampung pada masa mendatang," kata Indra.n KIS/RIN/U-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Maret 2009
PESTA RAKYAT. Ribuan warga menghadiri pesta rakyat menyambut hari ulang tahun ke-45 Provinsi Lampung di Lapangan Korpri, Bandar Lampung, Rabu (18-3) malam. Malam pesta rakyat itu dimeriahkan penampilan sejumlah grup band asal Lampung.
(LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Mereka dihibur penampilan band Lampung seperti Astro, Thryn, Disstone, Ken Arok, Compaq, Lensa, dan Rensa Ganvis. Tidak hanya remaja dan anak muda, para orang tua turut menghadiri pesta HUT Lampung itu sambil membawa anak-anak mereka. Acara juga dimeriahkan dengan pesta kembang api.
Pada malam itu, di lantai III Balai Keratun, Gubernur Syamsurya Ryacudu bersama jajaran Muspida merayakan puncak HUT Lampung dengan memotong tumpeng. Acara dihadiri Kapolda Brigjen Pol. Ferial Manaf, unsur pimpinan DPRD Provinsi Lampung, Kepala Dinas Kominfo Adeham, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Hermasyah, M.U.R.P., dan unsur Muspida lain.
Menurut Syamsurya, pembangunan Provinsi Lampung sudah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, iptek, hukum, keamanan maupun pembangunan wilayah dan tata ruang. "Keberhasilan pembangunan yang telah diraih memang belum bisa dirasakan semua pihak. Masih banyak permasalahan pembangunan yang belum bisa kita wujudkan."
Dia berharap HUT Lampung ini menjadi suatu wahana untuk penyegaran kembali serta mengevaluasi karya, pengabdian, dan perjuangan untuk kemajuan daerah dan masyarakat.
Usai potong tumpeng, Syamsurya langsung menuju lapangan tempat berlangsungnya pesta rakyat. Dia disambut atraksi barongsai.
Pagi harinya, anggota DPRD Lampung menggelar rapat paripurna istimewa memperingati HUT ke-45 Provinsi Lampung yang jatuh pada 18 Maret di Gedung DPRD Lampung, Bandar Lampung, Rabu (18-3). Rapat hanya dihadiri 34 orang dari 65 anggota, termasuk tiga pimpinan. Hadir juga Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno.
Dalam rapat tersebut, Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi menyoroti masalah banyaknya jumlah penduduk Lampung yang kini terbanyak kedua di Pulau Sumatera setelah Sumatera Utara. Dari 10 provinsi di Pulau Sumatera, jumlah penduduk Provinsi Lampung mencapai 7,3 juta jiwa.
Selain persoalan tersebut, Indra Karyadi juga memaparkan kerusakan hutan lindung di Provinsi Lampung mencapai 80% dari luasnya 317.615 hektare. Hutan suaka alam dan hutan wisata seluas 462.030 hektare rusak 43% di antaranya.
"Kami mencermati kalau di Provinsi Lampung telah terjadi alih fungsi hutan secara tidak bertanggung jawab. Kondisi ini tentu akan membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup dan kemajuan Provinsi Lampung pada masa mendatang," kata Indra.n KIS/RIN/U-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Maret 2009
March 18, 2009
[Tanah Air] Berburu Durian di Kota Durian
-- Helena Nababan
SELAIN dikenal sebagai lokasi sekolah gajah, Lampung juga dikenal akan duriannya. Di antara berbagai nama durian, durian lampung memiliki ”nama” di kalangan penggemar durian sehingga mengundang orang datang dan datang lagi ke Lampung demi menikmati durian.
Tugu durian di kawasan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung, Kamis (12/2). Kawasan itu dikenal sebagai salah satu sentra durian lampung di Provinsi Lampung. (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Durian merupakan tumbuhan tropis dengan nama ilmiah Durio zibethinus. Di Indonesia, masyarakat mengenal durian dalam aneka ragam nama disesuaikan dengan jenis atau kultivar. Hal itu di antaranya durian monthong, petruk, sukun, sunan, dan sitokong, sementara dari lokasi produksi, masyarakat Indonesia mengenal durian jepara, lampung, padang, medan, atau bengkalis.
Ketika penggemar berat durian mengatakan, durian lampung berarti itu durian yang tumbuh dan diproduksi di wilayah Lampung. Masyarakat Lampung mengenal durian lampung dengan nama durian Putra Alam. Adapun jenisnya terkadang tidak hanya pembeli, bahkan pedagang pun tidak bisa mengetahui persis apakah durian itu monthong atau sukun saking sudah bercampurnya jenis durian.
Apabila berkesempatan ke Bandar Lampung, Anda dengan mudah akan menemukan sentra durian Lampung. Wilayah penghasil durian terletak di Desa Tanjung Alo, Kelurahan Kemiling, dan di Sukadanaham, Kecamatan Tangjungkarang Barat, Bandar Lampung. Sentra pemasaran yang paling dikenal ada di Jalan Radin Imba Kesuma, Sukadanaham, dan Jalan Way Halim, Bandar Lampung.
Setiap musim durian tiba, yang kebetulan selalu bertepatan dengan musim liburan, aneka jenis mobil bernomor polisi luar Lampung, seperti Jakarta, Bogor, dan Banten, bahkan dari Bandung, bisa ditemui berderet di Jalan Raden Imba Kesuma atau Way Halim.
Untuk menuju Jalan Raden Imba Kesuma, yang terletak di perbukitan, Anda bisa mengambil arah dari Jalan Cut Nyak Dien dan berbelok ke arah Jalan Agus Salim. Setelah mendaki sesaat, jalan tersebut akan membawa Anda ke pertigaan yang menghubungkan Jalan Agus Salim dengan Jalan Ridwan Rais dan Jalan Radin Imba Kesuma.
Di tengah-tengah pertigaan tersebut berdiri tegak Tugu Durian. Apabila sudah menemukan tugu tersebut, artinya Anda sudah memasuki wilayah sentra produksi sekaligus pemasaran durian.
Mudah ditemukan
Kawasan Way Halim dengan mudah ditemukan apabila Anda memasuki Bandar Lampung melewati Jalan Soekarno-Hatta dari arah Pelabuhan Bakauheni. Sentra durian Way Halim terletak di sepanjang jalan menuju hutan kota Way Halim.
Seperti terlihat Sabtu (7/2) di kanan-kiri Jalan Raden Imba Kesuma pedagang durian dengan lapak-lapaknya menjajakan durian lampung. Terkadang di antara sajian gunungan durian itu, pedagang juga melengkapi dagangan dengan petai, buah manggis, dan cempedak.
Diamati sekilas, pemilik mobil yang memarkir kendaraan di sepanjang jalan itu bukan hanya menikmati durian lampung, tetapi juga menikmati pemandangan perbukitan Sukadanaham yang kental dengan nuansa pedesaan yang asri dengan udara sejuk.
Teguh P, warga Kampung Sawah, Bandar Lampung, salah satu pembeli yang mengaku penggemar berat durian dan ditemui tengah menyantap durian bersama kawan-kawannya, mengatakan, sebagai warga Lampung, ia sama saja dengan warga luar Lampung yang datang ke Bandar Lampung khusus untuk menikmati durian.
”Setiap musim durian tiba, kami tidak pernah absen menikmati rajanya buah ini,” ujar - nya sambil menghitung durian yang ia makan.
Sebagai penggemar berat durian, ia mengaku pernah makan durian dari beberapa jenis, seperti monthong, durian bengkulu, hingga durian bangkok. Namun, dari semua jenis tersebut, dia lebih menyukai durian lampung.
Ia beranggapan, durian lampung sangat enak, manis, legit, dan cocok disajikan kapan pun dalam kesempatan apa pun. ”Besaran gelondong buah bervariasi, tetapi begitu mendapatkan buah yang matang, kita akan menemukan daging buah tebal kekuningan dengan biji yang kecil. Manis dan mantap r a sa ny a , ” ujar Teguh.
Rasanya memang tidak berlebihan kalau durian lampung mampu menarik perhatian warga daerah lain. Nurhayati (24), warga Medan, tertarik makan durian lampung setelah kawannya bercerita tentang enaknya durian lampung. ”Saya baru sekali ini mencoba makan durian lampung. Rasanya mantap,” ujar Nurhayati.
Sementara Dudi, warga Garut, Jawa Barat, berburu durian adalah hal wajib yang harus dilakukan setiap kali ke Bandar Lampung. ”Rasa manis daging durian lampung dengan warna kuning tembaga itu mengundang saya untuk datang,” ujar Dudi.
Menurut dia, durian lampung memiliki citarasa berbeda dibandingkan dengan durian dari daerah lain. Ia puas karena selain rasa yang enak, ia juga tidak keberatan dengan harga yang ditawarkan pedagang.
Di dua sentra pemasaran itu, durian didatangkan langsung dari kebun-kebun durian warga Sukadanaham. Satu gelondong kecil dijual dengan harga Rp 7.500, gelondong sedang Rp 15.000, dan gelondong besar sekitar Rp 30.000. Harga tersebut bukan harga mati. Bagi Anda yang pandai menawar, silakan uji kemampuan menawar durian di sini.
Tentunya, ini tawaran yang menggiurkan bagi Anda penggemar berat durian.
Buah musiman
M Husein (43), warga Kali Awi, Tanjungkarang Pusat, yang menjadi pedagang durian selama 18 tahun di kawasan itu, mengatakan, musim durian di Lampung dimulai setiap bulan November.
Menurut Husein, apabila pendatang mengunjungi Bandar Lampung di luar bulan November- April dan mendapati durian, itu biasanya berasal dari daerah lain, seperti Bengkulu atau Kota Agung, Lampung Utara. Namun, penggemar berat durian lampung tahu persis, mereka akan datang pada bulan November- April untuk menikmati durian asli Lampung.
Produksi durian sangat dipengaruhi curah hujan. Semakin banyak curah hujan, produksi durian menurun. ”Bunga yang siap berubah rontok karena hujan. Akibatnya, produksi menurun,” ujar M Husein.
Apabila curah hujan sedang, produksi durian bisa dipastikan melimpah. Bahkan, durian bisa dipanen sampai bulan April. Artinya, semakin lama penggemar durian bisa menikmati buah yang dikenal sebagai rajanya buah- buahan itu.
Khusus tahun ini, kata Husein, ia menyarankan penggemar durian lampung datang ke Lampung sebelum akhir Februari 2009. Musim durian lampung tahun ini diperkirakan berakhir lebih cepat karena curah hujan tinggi sehingga produksi turun.
Nah, apabila Anda berkesempatan mengunjungi Bandar Lampung, jangan lupa mampir di dua sentra pemasaran tersebut. Selain menikmati durian dalam versi segar, Anda juga bisa membawa pulang durian olahan.
Masyarakat Lampung biasa mengolah durian menjadi makanan, di antaranya tempoyak, dodol durian, lempok durian, kolak durian, hingga permen durian. Makanan olahan ini bisa didapatkan di sentra oleh-oleh dan jajanan tradisional Lampung.
Saking terkenalnya durian lampung dan Sukadanaham sebagai penghasil durian, Pemkot Bandar Lampung berupaya mengangkat daerah tersebut sebagai kawasan agrowisata durian. Tugu durian yang disebut sebagai penanda sentra durian merupakan salah satu upaya didirikan 5 Februari 2008.
Menyusul ide tersebut, Pemkot Bandar Lampung mengimbau warga desa Sukadanaham merawat dan memelihara pohon durian yang tumbuh di kebun masing-masing. Semoga saja, selain makan durian di dua sentra pemasaran, nantinya Anda juga bisa langsung datang ke kebun penduduk dan makan durian matang langsung dari pohon. (HLN)
Sumber: Kompas, Rabu, 18 Maret 2009
SELAIN dikenal sebagai lokasi sekolah gajah, Lampung juga dikenal akan duriannya. Di antara berbagai nama durian, durian lampung memiliki ”nama” di kalangan penggemar durian sehingga mengundang orang datang dan datang lagi ke Lampung demi menikmati durian.
Tugu durian di kawasan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung, Kamis (12/2). Kawasan itu dikenal sebagai salah satu sentra durian lampung di Provinsi Lampung. (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Durian merupakan tumbuhan tropis dengan nama ilmiah Durio zibethinus. Di Indonesia, masyarakat mengenal durian dalam aneka ragam nama disesuaikan dengan jenis atau kultivar. Hal itu di antaranya durian monthong, petruk, sukun, sunan, dan sitokong, sementara dari lokasi produksi, masyarakat Indonesia mengenal durian jepara, lampung, padang, medan, atau bengkalis.
Ketika penggemar berat durian mengatakan, durian lampung berarti itu durian yang tumbuh dan diproduksi di wilayah Lampung. Masyarakat Lampung mengenal durian lampung dengan nama durian Putra Alam. Adapun jenisnya terkadang tidak hanya pembeli, bahkan pedagang pun tidak bisa mengetahui persis apakah durian itu monthong atau sukun saking sudah bercampurnya jenis durian.
Apabila berkesempatan ke Bandar Lampung, Anda dengan mudah akan menemukan sentra durian Lampung. Wilayah penghasil durian terletak di Desa Tanjung Alo, Kelurahan Kemiling, dan di Sukadanaham, Kecamatan Tangjungkarang Barat, Bandar Lampung. Sentra pemasaran yang paling dikenal ada di Jalan Radin Imba Kesuma, Sukadanaham, dan Jalan Way Halim, Bandar Lampung.
Setiap musim durian tiba, yang kebetulan selalu bertepatan dengan musim liburan, aneka jenis mobil bernomor polisi luar Lampung, seperti Jakarta, Bogor, dan Banten, bahkan dari Bandung, bisa ditemui berderet di Jalan Raden Imba Kesuma atau Way Halim.
Untuk menuju Jalan Raden Imba Kesuma, yang terletak di perbukitan, Anda bisa mengambil arah dari Jalan Cut Nyak Dien dan berbelok ke arah Jalan Agus Salim. Setelah mendaki sesaat, jalan tersebut akan membawa Anda ke pertigaan yang menghubungkan Jalan Agus Salim dengan Jalan Ridwan Rais dan Jalan Radin Imba Kesuma.
Di tengah-tengah pertigaan tersebut berdiri tegak Tugu Durian. Apabila sudah menemukan tugu tersebut, artinya Anda sudah memasuki wilayah sentra produksi sekaligus pemasaran durian.
Mudah ditemukan
Kawasan Way Halim dengan mudah ditemukan apabila Anda memasuki Bandar Lampung melewati Jalan Soekarno-Hatta dari arah Pelabuhan Bakauheni. Sentra durian Way Halim terletak di sepanjang jalan menuju hutan kota Way Halim.
Seperti terlihat Sabtu (7/2) di kanan-kiri Jalan Raden Imba Kesuma pedagang durian dengan lapak-lapaknya menjajakan durian lampung. Terkadang di antara sajian gunungan durian itu, pedagang juga melengkapi dagangan dengan petai, buah manggis, dan cempedak.
Diamati sekilas, pemilik mobil yang memarkir kendaraan di sepanjang jalan itu bukan hanya menikmati durian lampung, tetapi juga menikmati pemandangan perbukitan Sukadanaham yang kental dengan nuansa pedesaan yang asri dengan udara sejuk.
Teguh P, warga Kampung Sawah, Bandar Lampung, salah satu pembeli yang mengaku penggemar berat durian dan ditemui tengah menyantap durian bersama kawan-kawannya, mengatakan, sebagai warga Lampung, ia sama saja dengan warga luar Lampung yang datang ke Bandar Lampung khusus untuk menikmati durian.
”Setiap musim durian tiba, kami tidak pernah absen menikmati rajanya buah ini,” ujar - nya sambil menghitung durian yang ia makan.
Sebagai penggemar berat durian, ia mengaku pernah makan durian dari beberapa jenis, seperti monthong, durian bengkulu, hingga durian bangkok. Namun, dari semua jenis tersebut, dia lebih menyukai durian lampung.
Ia beranggapan, durian lampung sangat enak, manis, legit, dan cocok disajikan kapan pun dalam kesempatan apa pun. ”Besaran gelondong buah bervariasi, tetapi begitu mendapatkan buah yang matang, kita akan menemukan daging buah tebal kekuningan dengan biji yang kecil. Manis dan mantap r a sa ny a , ” ujar Teguh.
Rasanya memang tidak berlebihan kalau durian lampung mampu menarik perhatian warga daerah lain. Nurhayati (24), warga Medan, tertarik makan durian lampung setelah kawannya bercerita tentang enaknya durian lampung. ”Saya baru sekali ini mencoba makan durian lampung. Rasanya mantap,” ujar Nurhayati.
Sementara Dudi, warga Garut, Jawa Barat, berburu durian adalah hal wajib yang harus dilakukan setiap kali ke Bandar Lampung. ”Rasa manis daging durian lampung dengan warna kuning tembaga itu mengundang saya untuk datang,” ujar Dudi.
Menurut dia, durian lampung memiliki citarasa berbeda dibandingkan dengan durian dari daerah lain. Ia puas karena selain rasa yang enak, ia juga tidak keberatan dengan harga yang ditawarkan pedagang.
Di dua sentra pemasaran itu, durian didatangkan langsung dari kebun-kebun durian warga Sukadanaham. Satu gelondong kecil dijual dengan harga Rp 7.500, gelondong sedang Rp 15.000, dan gelondong besar sekitar Rp 30.000. Harga tersebut bukan harga mati. Bagi Anda yang pandai menawar, silakan uji kemampuan menawar durian di sini.
Tentunya, ini tawaran yang menggiurkan bagi Anda penggemar berat durian.
Buah musiman
M Husein (43), warga Kali Awi, Tanjungkarang Pusat, yang menjadi pedagang durian selama 18 tahun di kawasan itu, mengatakan, musim durian di Lampung dimulai setiap bulan November.
Menurut Husein, apabila pendatang mengunjungi Bandar Lampung di luar bulan November- April dan mendapati durian, itu biasanya berasal dari daerah lain, seperti Bengkulu atau Kota Agung, Lampung Utara. Namun, penggemar berat durian lampung tahu persis, mereka akan datang pada bulan November- April untuk menikmati durian asli Lampung.
Produksi durian sangat dipengaruhi curah hujan. Semakin banyak curah hujan, produksi durian menurun. ”Bunga yang siap berubah rontok karena hujan. Akibatnya, produksi menurun,” ujar M Husein.
Apabila curah hujan sedang, produksi durian bisa dipastikan melimpah. Bahkan, durian bisa dipanen sampai bulan April. Artinya, semakin lama penggemar durian bisa menikmati buah yang dikenal sebagai rajanya buah- buahan itu.
Khusus tahun ini, kata Husein, ia menyarankan penggemar durian lampung datang ke Lampung sebelum akhir Februari 2009. Musim durian lampung tahun ini diperkirakan berakhir lebih cepat karena curah hujan tinggi sehingga produksi turun.
Nah, apabila Anda berkesempatan mengunjungi Bandar Lampung, jangan lupa mampir di dua sentra pemasaran tersebut. Selain menikmati durian dalam versi segar, Anda juga bisa membawa pulang durian olahan.
Masyarakat Lampung biasa mengolah durian menjadi makanan, di antaranya tempoyak, dodol durian, lempok durian, kolak durian, hingga permen durian. Makanan olahan ini bisa didapatkan di sentra oleh-oleh dan jajanan tradisional Lampung.
Saking terkenalnya durian lampung dan Sukadanaham sebagai penghasil durian, Pemkot Bandar Lampung berupaya mengangkat daerah tersebut sebagai kawasan agrowisata durian. Tugu durian yang disebut sebagai penanda sentra durian merupakan salah satu upaya didirikan 5 Februari 2008.
Menyusul ide tersebut, Pemkot Bandar Lampung mengimbau warga desa Sukadanaham merawat dan memelihara pohon durian yang tumbuh di kebun masing-masing. Semoga saja, selain makan durian di dua sentra pemasaran, nantinya Anda juga bisa langsung datang ke kebun penduduk dan makan durian matang langsung dari pohon. (HLN)
Sumber: Kompas, Rabu, 18 Maret 2009
March 17, 2009
Sosok: Iyung, Penyelamat Pesisir Pulau Puhawang
Oleh Helena F. Nababan
”BAKAU masih diupayakan ditanam di tempat kemarin. Namun, sekarang hampir semua wilayah pesisir sudah menjadi milik pengusaha keramba. Jadi kita harus kerja sama.” Itulah pesan singkat dari Yulianti, ibu guru yang giat menggerakkan siswa SDN di Pulau Puhawang, perairan Teluk Lampung, menanam bibit bakau di kawasan yang sudah rusak.
Meski hutan bakau penting bagi ekosistem pulau dan pesisir, serta masyarakat desa Pulau Puhawang, pesan singkat itu menunjukkan Yulianti masih harus berupaya keras mengajak warga desa Pulau Puhawang untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau lewat pendidikan lingkungan kepada anak didiknya.
Di desa Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Yulianti atau Ibu Guru Iyung, panggilannya, justru menemukan dunia mengajar dari kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup pada tahun 1995.
Sebelum menjadi guru, ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala yang fokus pada penyelamatan dan pengelolaan pesisir. Tahun 1995 pula dia lulus dari Jurusan Perkebunan Politeknik Universitas Lampung.
Sejak bergabung dengan Mitra Bentala, Iyung aktif mendatangi pesisir dan pulau-pulau di perairan Lampung. Setiap kali datang ke pulau, ia prihatin dengan kondisi pesisir yang tak terurus. Masyarakatnya pun tak peduli pada kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta cenderung abai pada pendidikan.
Fakta itu menggugahnya, apalagi saat ia bekerja di Pulau Puhawang pada 1997. Ia lalu mendalami kondisi pesisir di pulau seluas 1.020 hektar itu. Seharusnya pantai yang berpasir putih dan relatif tenang perairannya itu bisa menjadi obyek wisata. Tempat ini juga cocok untuk budidaya keramba jaring apung kerapu.
Namun, hutan bakau di pulau itu rusak atau malah habis, pulaunya pun kotor. Rupanya warga desa Pulau Puhawang memperlakukan laut sebagai ”tong sampah” dan berperilaku hidup tak sehat.
”Mereka suka membuang hajat sembarangan,” ujar Iyung. Warga desa seolah tak peduli, pulau mereka bersih atau kotor.
Bahkan, saat harga kayu bakau sangat menjanjikan, demi rupiah yang bakal diterima, warga bersemangat membabat habis hutan bakau. Mereka tak menyadari, hutan bakau tumbuh untuk menjaga pesisir pulau dari hantaman gelombang. Tahun 1975-1996 adalah kurun waktu rusaknya 141 hektar hutan bakau di pulau ini.
”Itu menjadi tantangan buat saya, kenapa warga bisa bertindak dan berperilaku tak sehat seperti itu?” ujarnya.
Sebagai aktivis lingkungan, Iyung ingin menyelamatkan hutan bakau dan lingkungan pulau. Ia lantas mengukur dan mendata hutan bakau yang rusak, sekaligus tingkat kerusakannya. Data ini diperlukan untuk mengetahui cara merehabilitasinya.
Berkat bantuan informasi dan data dari Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dusun Penggetahan, Puhawang, dan fakta lapangan, ia mendapati warga Pulau Puhawang umumnya tak berpendidikan. Lulusan SD dinilai sudah bergengsi.
”Sumber daya manusia di sini rendah kualitasnya. Saya pikir inilah penyebab kerusakan lingkungan dan kotornya pulau ini,” ujarnya.
Mulai mengajar
Bagi Iyung, lebih baik memperbaiki meski terlambat daripada sama sekali tak berupaya. Ia memilih memulai perbaikan dari siswa SD karena orangtua umumnya berpikiran konservatif, sulit berubah. Tahun 2000 ia memberikan les mata pelajaran kepada semua siswa mulai kelas I sampai kelas VI SDN Pulau Puhawang secara gratis. Sambil memberikan les pelajaran, ia menyisipkan pendidikan etika dan pendidikan lingkungan.
Untuk melakukan perubahan, pendidikan yang tepat akan membuka pikiran warga pulau. Dengan menyisipkan dua macam pendidikan itu, Iyung berharap bisa memperbaiki perilaku warga sedikit demi sedikit.
Kesempatan membuat para siswa melek lingkungan makin terbuka saat ia menjadi tenaga sukarela mendampingi masyarakat Puhawang di bidang pendidikan tahun 2002. Sebagai guru sukarela yang membantu lima guru lainnya di SDN Pulau Puhawang, Iyung mendapat gaji Rp 60.000 per bulan.
Sebagai guru sukarela, Iyung mendapat tanggung jawab mengajar Bahasa Indonesia dan komputer untuk siswa kelas IV, V, dan VI. Ia mengajar hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Selebihnya, hari-hari yang lowong ia gunakan memberi les Bahasa Inggris dan Matematika untuk siswa kelas I sampai kelas VI secara gratis.
Dia juga mengajak para siswa mengenal lingkungan dan manfaat hutan bakau bagi pulau, tempat tinggal mereka. Ia pun mengajarkan tentang pentingnya memelihara kesehatan lingkungan.
”Membuat para siswa mengerti dan tak lagi membuang sampah di laut atau membuang hajat itu membutuhkan waktu,” ujar Iyung.
Namun, pelan-pelan para siswa bisa paham. Pemahaman mengenai kesehatan lingkungan dan pelajaran tentang pelestarian lingkungan itu kemudian diharapkan bisa menular kepada para orangtua siswa.
”Anak-anak kadang lebih berhasil memberi tahu orangtuanya dibandingkan dengan aktivis memberi tahu langsung kepada orangtua,” ujar Iyung.
Upaya menyadarkan masyarakat lewat pendidikan itu membuat Iyung lalu mengambil Akta III di D-3 FKIP Universitas Lampung Jurusan Biologi pada 2003. Bulan April 2004 ia lulus dan mendapat sertifikat Akta III. Status Iyung lantas berubah dari guru sukarela menjadi guru bantu di SDN Pulau Puhawang.
Perubahan status itu tak mengubah minatnya. Iyung tetap mengajar dan mengajak siswa SDN Pulau Puhawang peduli lingkungan. Bersama aktivis Mitra Bentala, ia menyusun program pembelajaran. Kegiatan yang diberi nama Anak Peduli Lingkungan (APL) itu awalnya hanya kegiatan sampingan bagi siswa SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Mulai tahun 2007 APL ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Melalui APL, para siswa diajari menanam bakau, mengawasi, dan menjaga pertumbuhan bibit bakau. Upaya itu memang baru mencapai kisaran puluhan hektar. Namun yang terpenting, perbaikan hutan sudah dimulai.
Selama berkegiatan di Pulau Puhawang pula yang membuat Iyung menemukan jodoh. Ia menikah dengan Suryadi, anak mantan Ketua BPD Dusun Penggetahan pada 2004. Iyung juga diangkat sebagai guru PNS pada April 2008.
Namun, seperti bunyi pesan singkat yang dikirimkannya, tantangan Iyung mengajak masyarakat pulau menjaga kelestarian lingkungan lewat pendidikan kepada anak-anak belum berkurang. APL bersama warga desa memang telah berhasil membuat hutan bakau tumbuh di beberapa titik. Namun untuk menjaga semua kawasan pesisir, masyarakat harus terus bekerja keras.
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Maret 2009
”BAKAU masih diupayakan ditanam di tempat kemarin. Namun, sekarang hampir semua wilayah pesisir sudah menjadi milik pengusaha keramba. Jadi kita harus kerja sama.” Itulah pesan singkat dari Yulianti, ibu guru yang giat menggerakkan siswa SDN di Pulau Puhawang, perairan Teluk Lampung, menanam bibit bakau di kawasan yang sudah rusak.
Meski hutan bakau penting bagi ekosistem pulau dan pesisir, serta masyarakat desa Pulau Puhawang, pesan singkat itu menunjukkan Yulianti masih harus berupaya keras mengajak warga desa Pulau Puhawang untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau lewat pendidikan lingkungan kepada anak didiknya.
Di desa Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Yulianti atau Ibu Guru Iyung, panggilannya, justru menemukan dunia mengajar dari kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup pada tahun 1995.
Sebelum menjadi guru, ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala yang fokus pada penyelamatan dan pengelolaan pesisir. Tahun 1995 pula dia lulus dari Jurusan Perkebunan Politeknik Universitas Lampung.
Sejak bergabung dengan Mitra Bentala, Iyung aktif mendatangi pesisir dan pulau-pulau di perairan Lampung. Setiap kali datang ke pulau, ia prihatin dengan kondisi pesisir yang tak terurus. Masyarakatnya pun tak peduli pada kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta cenderung abai pada pendidikan.
Fakta itu menggugahnya, apalagi saat ia bekerja di Pulau Puhawang pada 1997. Ia lalu mendalami kondisi pesisir di pulau seluas 1.020 hektar itu. Seharusnya pantai yang berpasir putih dan relatif tenang perairannya itu bisa menjadi obyek wisata. Tempat ini juga cocok untuk budidaya keramba jaring apung kerapu.
Namun, hutan bakau di pulau itu rusak atau malah habis, pulaunya pun kotor. Rupanya warga desa Pulau Puhawang memperlakukan laut sebagai ”tong sampah” dan berperilaku hidup tak sehat.
”Mereka suka membuang hajat sembarangan,” ujar Iyung. Warga desa seolah tak peduli, pulau mereka bersih atau kotor.
Bahkan, saat harga kayu bakau sangat menjanjikan, demi rupiah yang bakal diterima, warga bersemangat membabat habis hutan bakau. Mereka tak menyadari, hutan bakau tumbuh untuk menjaga pesisir pulau dari hantaman gelombang. Tahun 1975-1996 adalah kurun waktu rusaknya 141 hektar hutan bakau di pulau ini.
”Itu menjadi tantangan buat saya, kenapa warga bisa bertindak dan berperilaku tak sehat seperti itu?” ujarnya.
Sebagai aktivis lingkungan, Iyung ingin menyelamatkan hutan bakau dan lingkungan pulau. Ia lantas mengukur dan mendata hutan bakau yang rusak, sekaligus tingkat kerusakannya. Data ini diperlukan untuk mengetahui cara merehabilitasinya.
Berkat bantuan informasi dan data dari Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dusun Penggetahan, Puhawang, dan fakta lapangan, ia mendapati warga Pulau Puhawang umumnya tak berpendidikan. Lulusan SD dinilai sudah bergengsi.
”Sumber daya manusia di sini rendah kualitasnya. Saya pikir inilah penyebab kerusakan lingkungan dan kotornya pulau ini,” ujarnya.
Mulai mengajar
Bagi Iyung, lebih baik memperbaiki meski terlambat daripada sama sekali tak berupaya. Ia memilih memulai perbaikan dari siswa SD karena orangtua umumnya berpikiran konservatif, sulit berubah. Tahun 2000 ia memberikan les mata pelajaran kepada semua siswa mulai kelas I sampai kelas VI SDN Pulau Puhawang secara gratis. Sambil memberikan les pelajaran, ia menyisipkan pendidikan etika dan pendidikan lingkungan.
Untuk melakukan perubahan, pendidikan yang tepat akan membuka pikiran warga pulau. Dengan menyisipkan dua macam pendidikan itu, Iyung berharap bisa memperbaiki perilaku warga sedikit demi sedikit.
Kesempatan membuat para siswa melek lingkungan makin terbuka saat ia menjadi tenaga sukarela mendampingi masyarakat Puhawang di bidang pendidikan tahun 2002. Sebagai guru sukarela yang membantu lima guru lainnya di SDN Pulau Puhawang, Iyung mendapat gaji Rp 60.000 per bulan.
Sebagai guru sukarela, Iyung mendapat tanggung jawab mengajar Bahasa Indonesia dan komputer untuk siswa kelas IV, V, dan VI. Ia mengajar hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Selebihnya, hari-hari yang lowong ia gunakan memberi les Bahasa Inggris dan Matematika untuk siswa kelas I sampai kelas VI secara gratis.
Dia juga mengajak para siswa mengenal lingkungan dan manfaat hutan bakau bagi pulau, tempat tinggal mereka. Ia pun mengajarkan tentang pentingnya memelihara kesehatan lingkungan.
”Membuat para siswa mengerti dan tak lagi membuang sampah di laut atau membuang hajat itu membutuhkan waktu,” ujar Iyung.
Namun, pelan-pelan para siswa bisa paham. Pemahaman mengenai kesehatan lingkungan dan pelajaran tentang pelestarian lingkungan itu kemudian diharapkan bisa menular kepada para orangtua siswa.
”Anak-anak kadang lebih berhasil memberi tahu orangtuanya dibandingkan dengan aktivis memberi tahu langsung kepada orangtua,” ujar Iyung.
Upaya menyadarkan masyarakat lewat pendidikan itu membuat Iyung lalu mengambil Akta III di D-3 FKIP Universitas Lampung Jurusan Biologi pada 2003. Bulan April 2004 ia lulus dan mendapat sertifikat Akta III. Status Iyung lantas berubah dari guru sukarela menjadi guru bantu di SDN Pulau Puhawang.
Perubahan status itu tak mengubah minatnya. Iyung tetap mengajar dan mengajak siswa SDN Pulau Puhawang peduli lingkungan. Bersama aktivis Mitra Bentala, ia menyusun program pembelajaran. Kegiatan yang diberi nama Anak Peduli Lingkungan (APL) itu awalnya hanya kegiatan sampingan bagi siswa SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Mulai tahun 2007 APL ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Melalui APL, para siswa diajari menanam bakau, mengawasi, dan menjaga pertumbuhan bibit bakau. Upaya itu memang baru mencapai kisaran puluhan hektar. Namun yang terpenting, perbaikan hutan sudah dimulai.
Selama berkegiatan di Pulau Puhawang pula yang membuat Iyung menemukan jodoh. Ia menikah dengan Suryadi, anak mantan Ketua BPD Dusun Penggetahan pada 2004. Iyung juga diangkat sebagai guru PNS pada April 2008.
Namun, seperti bunyi pesan singkat yang dikirimkannya, tantangan Iyung mengajak masyarakat pulau menjaga kelestarian lingkungan lewat pendidikan kepada anak-anak belum berkurang. APL bersama warga desa memang telah berhasil membuat hutan bakau tumbuh di beberapa titik. Namun untuk menjaga semua kawasan pesisir, masyarakat harus terus bekerja keras.
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Maret 2009
March 16, 2009
Pariwisata: Pergelaran Budaya Hanya Seremoni
SEROMBONGAN ibu rumah tangga dari Gang Melati, Kelurahan Enggal, Bandar Lampung, larut dalam kehebohan, Sabtu (14/3). Mereka terburu-buru berjalan menuju Lapangan Saburai, Enggal.
Begitu sampai di lapangan tempat pembukaan pergelaran seni budaya memperingati hari ulang tahun ke-45 Lampung, wajah-wajah sumringah itu terdiam. ”Kenapa isinya sama dengan tahun lalu, ya? Kali ini semua warnanya kuning,” ujar Ibu Rustamaji (68), warga Gang Melati.
Di Lapangan Saburai, lapangan yang merupakan tempat pusat kegiatan masyarakat Bandar Lampung, Sabtu sore itu tengah ditampilkan tarian mengenai Raden Jambatan. Raden Jambatan merupakan tokoh terkenal dari Kabupaten Way Kanan, Lampung.
Puluhan penari berkostum kuning cerah, merah, dan putih bergerak lincah ke sana kemari memenuhi lapangan antara panggung dan tenda tamu undangan. Sementara penari yang menggambarkan pasukan Raden Jambatan melompat ke kanan dan ke kiri sambil mengayun-ayunkan tombak mereka.
Sekar Sari (28), karyawan swasta warga Haji Mena, Natar, Lampung Selatan, yang kebetulan mampir di lapangan seusai bekerja, mengatakan, pergelaran itu terasa sama dari tahun ke tahun karena tidak ada kekhasan.
”Saya sengaja melongok, ada tidak bedanya dengan tahun lalu? Saya merasa peduli karena ini peringatan ulang tahun Lampung,” ujarnya.
Rasa ingin tahu Sekar akhirnya terbayar ketika semua penampil dari 11 kabupaten/kota di Lampung tampil. Sekar mengomentari bahwa pergelaran seni budaya Lampung ternyata selalu sama dari tahun ke tahun. ”Ya itu-itulah yang ditampilkan. Tahun lalu lebih parah, semua menampilkan topeng Sekura, padahal topeng Sekura itu khas Lampung Barat,” ujar Sekar.
Perasaan kecewa Sekar ataupun Ibu Rustamaji terhadap pergelaran tersebut wajar. Sebagai warga Lampung, mereka ingin mendapatkan sesuatu yang menunjukkan kemajuan kreativitas pada saat pergelaran tahunan tersebut.
Keinginan itu wajar karena pada momen tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Irham Jafar Lan Putra menggaungkan Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009. Pemerintah berharap, melalui pentas seni budaya khas Lampung, jumlah pengunjung ataupun wisatawan ke Lampung akan meningkat.
”Apanya yang mau dijual? Tampilan tiap tahun sama. Saya kira, kalau Pemprov Lampung hanya bergerak dengan tampilan semacam ini, wisata Lampung juga sama, tidak akan bergerak,” ujar Hamdani (35), karyawan penyedia jasa telekomunikasi seluler.
Padahal, hanya ide kreatiflah yang akan menjual Lampung sehingga wisatawan akan tertarik untuk datang. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 16 Maret 2009
Begitu sampai di lapangan tempat pembukaan pergelaran seni budaya memperingati hari ulang tahun ke-45 Lampung, wajah-wajah sumringah itu terdiam. ”Kenapa isinya sama dengan tahun lalu, ya? Kali ini semua warnanya kuning,” ujar Ibu Rustamaji (68), warga Gang Melati.
Di Lapangan Saburai, lapangan yang merupakan tempat pusat kegiatan masyarakat Bandar Lampung, Sabtu sore itu tengah ditampilkan tarian mengenai Raden Jambatan. Raden Jambatan merupakan tokoh terkenal dari Kabupaten Way Kanan, Lampung.
Puluhan penari berkostum kuning cerah, merah, dan putih bergerak lincah ke sana kemari memenuhi lapangan antara panggung dan tenda tamu undangan. Sementara penari yang menggambarkan pasukan Raden Jambatan melompat ke kanan dan ke kiri sambil mengayun-ayunkan tombak mereka.
Sekar Sari (28), karyawan swasta warga Haji Mena, Natar, Lampung Selatan, yang kebetulan mampir di lapangan seusai bekerja, mengatakan, pergelaran itu terasa sama dari tahun ke tahun karena tidak ada kekhasan.
”Saya sengaja melongok, ada tidak bedanya dengan tahun lalu? Saya merasa peduli karena ini peringatan ulang tahun Lampung,” ujarnya.
Rasa ingin tahu Sekar akhirnya terbayar ketika semua penampil dari 11 kabupaten/kota di Lampung tampil. Sekar mengomentari bahwa pergelaran seni budaya Lampung ternyata selalu sama dari tahun ke tahun. ”Ya itu-itulah yang ditampilkan. Tahun lalu lebih parah, semua menampilkan topeng Sekura, padahal topeng Sekura itu khas Lampung Barat,” ujar Sekar.
Perasaan kecewa Sekar ataupun Ibu Rustamaji terhadap pergelaran tersebut wajar. Sebagai warga Lampung, mereka ingin mendapatkan sesuatu yang menunjukkan kemajuan kreativitas pada saat pergelaran tahunan tersebut.
Keinginan itu wajar karena pada momen tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Irham Jafar Lan Putra menggaungkan Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009. Pemerintah berharap, melalui pentas seni budaya khas Lampung, jumlah pengunjung ataupun wisatawan ke Lampung akan meningkat.
”Apanya yang mau dijual? Tampilan tiap tahun sama. Saya kira, kalau Pemprov Lampung hanya bergerak dengan tampilan semacam ini, wisata Lampung juga sama, tidak akan bergerak,” ujar Hamdani (35), karyawan penyedia jasa telekomunikasi seluler.
Padahal, hanya ide kreatiflah yang akan menjual Lampung sehingga wisatawan akan tertarik untuk datang. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 16 Maret 2009
HUT KE-45 Lampung: Pangeran Subing Bunuh Raja Dilawok
BANDAR LAMPUNG--Sekitar 40 orang pengikut Pangeran Subing berperang dengan pasukan Raja Dilawok. Dengan bersenjatakan pedang, pengikut Pangeran Subing akhirnya berhasil mengalahkan pasukan lawannya. Bahkan pemimpin mereka berhasil membunuh Raja Dilawok.
Begitu sekelumit cerita yang ditampilkan kelompok tari utusan Kabupaten Lampung Tengah dalam Pergelaran Seni Budaya memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-45 Lampung. Pergelaran itu dipusatkan di pelataran parkir Gedung Olahraga (GOR) Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (14-3).
Kelompok tari dari Kabupaten Lampung Tengah itu mengusung tari bertajuk Butan Subing. Mereka berhasil meraih gelar juara II setelah Way Kanan yang meraih juara I.
Dengan sekitar 60-an penari, mereka menggambarkan akhir cerita perang yang membawa kemenangan bagi Pangeran Subing. "Cerita inilah sebagai awal dari terbentuknya daerah dengan nama Abung Siwo Mego yang kemudian dijadikan simbol kabupaten kami," kata seorang pekerja seni yang mengawaki kelompok tari itu, Syahrun Tanjung, ditemui di lokasi acara, kemarin.
Dengan dikomandani Syahrun Tanjung, para penari menggerakkan tubuhnya menyesuaikan iringan musik tradisional. Iringan musik yang langsung dimainkan itu terdiri dari jenis alat musik gamelan, terbang dan canang serta gong.
Kelompok tari asal Kabupaten Lampung Tengah itu merupakan salah satu penampil di antara kelompok asal kabupaten lain. Kilap dan gemuruh iringan tari itu terlihat pada penampilan para penari yang tampil secara kolosal.
"Kami memang mempersiapkannya untuk acara ini, karena ini lah sumbangsih kami kepada daerah," kata Syahrun yang juga staf di Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Tengah itu.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lampung Adeham mengatakan acara ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-45 Lampung. Tujuannya selain memeriahkan HUT, juga mengeksplorasi kekayaan seni budaya di Lampung.
"Terlihat banyak legenda tua yang dapat dieksplorasi menjadi sebuah sendra tari. Ini akan menjadi potensi wisata daerah," kata Adeham didampingi Kepala Bidang Humas Diskominfo Lampung Heriyansyah, kemarin. n MUSTAAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Maret 2009
Begitu sekelumit cerita yang ditampilkan kelompok tari utusan Kabupaten Lampung Tengah dalam Pergelaran Seni Budaya memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-45 Lampung. Pergelaran itu dipusatkan di pelataran parkir Gedung Olahraga (GOR) Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (14-3).
Kelompok tari dari Kabupaten Lampung Tengah itu mengusung tari bertajuk Butan Subing. Mereka berhasil meraih gelar juara II setelah Way Kanan yang meraih juara I.
Dengan sekitar 60-an penari, mereka menggambarkan akhir cerita perang yang membawa kemenangan bagi Pangeran Subing. "Cerita inilah sebagai awal dari terbentuknya daerah dengan nama Abung Siwo Mego yang kemudian dijadikan simbol kabupaten kami," kata seorang pekerja seni yang mengawaki kelompok tari itu, Syahrun Tanjung, ditemui di lokasi acara, kemarin.
Dengan dikomandani Syahrun Tanjung, para penari menggerakkan tubuhnya menyesuaikan iringan musik tradisional. Iringan musik yang langsung dimainkan itu terdiri dari jenis alat musik gamelan, terbang dan canang serta gong.
Kelompok tari asal Kabupaten Lampung Tengah itu merupakan salah satu penampil di antara kelompok asal kabupaten lain. Kilap dan gemuruh iringan tari itu terlihat pada penampilan para penari yang tampil secara kolosal.
"Kami memang mempersiapkannya untuk acara ini, karena ini lah sumbangsih kami kepada daerah," kata Syahrun yang juga staf di Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Tengah itu.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lampung Adeham mengatakan acara ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-45 Lampung. Tujuannya selain memeriahkan HUT, juga mengeksplorasi kekayaan seni budaya di Lampung.
"Terlihat banyak legenda tua yang dapat dieksplorasi menjadi sebuah sendra tari. Ini akan menjadi potensi wisata daerah," kata Adeham didampingi Kepala Bidang Humas Diskominfo Lampung Heriyansyah, kemarin. n MUSTAAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Maret 2009
March 15, 2009
Traveling: Mangrove' Pahawang untuk Bahan Penelitian
DI Bali, sebatang pohon bakau mampu menarik minat seribu orang turis bahkan bisa lebih. Dan itu menjadi mimpi masyarakat Pulau Pahawang. Mereka tak lagi ingin mencari uang dengan merusak lingkungan, tapi dengan menjual kekayaan jenis hutan mangrove yang ada di pulau tersebut sebagai wisata penelitian hutan mangrove.
Sekarang, masyarakat Pulau Pahawang memiliki sekitar 30 hektare zona inti hutan mangrove. Sistem zonasi ini untuk memetakan mana kawasan hutan mangrove yang bisa dimanfaatkan dan kawasan mana yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk perlindungan.
Masyarakat pun membuat kesepakatan membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di bawah supervisi langsung Mitra Bentala. Badan ini diberikan pemahaman pengelolaan sampai pengawasan hutan mangrove.
Hasilnya, tingkat ketebalan hutan mangrove di Pulau Pahawang ini pun bervariasi mulai dari 4 meter hingga 10 meter dari bibir pantai. "Kita sedang mengarah ke pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan wisata penelitian dengan model pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat, termasuk hasil yang didapat nanti," kata Suprianto dari Mitra Bentala.
Pada dasarnya, hutan mangrove tak melulu didominasi oleh pohon bakau sebagai satu-satunya vegetasi pesisir yang hidup dan harus dilindungi. Menurut Suprianto, terdapat sedikitnya 22 jenis vegetasi hutan mangrove yang dikembangkan di Pulau Pahawang. Yang ada di Pulau Puhawang sekarang adalah bakau besar, bakau kecil, bakau tinggi, bogem, nipah dan waru laut.
Meski demikian, vegetasi tanaman bakau atau yang memiliki nama latin Rhizopora sp. ini memang menjadi objek utama penarik perhatian wisatawan untuk datang meneliti vegetasi pohon bakau.
Selembar daun pohon bakau yang jatuh ke laut, mampu menetralisasi air laut dari pencemaran yang ditimbulkan oleh nelayan, limbah rumah tangga sampai limbah tambak udang.
Di kawasan vegetasi hutan mangrove juga bisa banyak dijumpai hewan-hewan laut langka yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai di sekitar Teluk Lampung karena sabuk hijaunya habis untuk tambak udang dan permukiman maupun wisata konvensional biasa. Pada habitat hutan mangrove yang masih alami bisa dengan mudah dijumpai hewan sejenis berang-berang, mangrove jack, ikan khas yang hanya ada di hutan mangrove.
Termasuk penelitian yang lebih ekstrem, yakni nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria, yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat serangga ini. Apalagi sebagian gugusan pulau di Teluk Pedada termasuk Pulau Pahawang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai pusat populasi nyamuk penyebab malaria terbesar kedua di Indonesia, setelah Irian Jaya.
Di sisi lain, buah pohon bakau juga menjadi penganan utama sekawanan monyet yang ada di Pulau Pahawang ini. Atau menjajal keunikan makanan lain, yakni dodol bakau, penganan baru hasil kreasi kerajinan ibu rumah tangga yang ada di Pulau Pahawang. Dodol ini berbahan baku utama buah pohon bakau, rasanya tak kalah dengan dodol durian atau lempok durian.
Awalnya, minat penelitian terhadap hutan mangrove ini muncul pascagelombang besar tsunami yang hampir meluluhlantakkan sebagian besar daerah kepulan di Samudera Hindia.
Seperti di Nangroe Aceh Darussalam, gelombang tsunami begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan materi karena punahnya hutan mangrove. Kepunahan itu membuat mainland tak lagi mampu menahan kuatnya gelombang.
Kondisi kepulauan Aceh yang berhadapan langsung dengan laut lepas juga membuat tingkat kerusakan akibat tsunami cukup masif. Ketiadaan pulau terluar lain membuat konsentrasi gelombang tsunami tidak bisa terpecah sehingga tak heran jika gelombang setinggi pohon kelapa menerjang Aceh hanya dengan hitungan menit saja. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
Sekarang, masyarakat Pulau Pahawang memiliki sekitar 30 hektare zona inti hutan mangrove. Sistem zonasi ini untuk memetakan mana kawasan hutan mangrove yang bisa dimanfaatkan dan kawasan mana yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk perlindungan.
Masyarakat pun membuat kesepakatan membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di bawah supervisi langsung Mitra Bentala. Badan ini diberikan pemahaman pengelolaan sampai pengawasan hutan mangrove.
Hasilnya, tingkat ketebalan hutan mangrove di Pulau Pahawang ini pun bervariasi mulai dari 4 meter hingga 10 meter dari bibir pantai. "Kita sedang mengarah ke pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan wisata penelitian dengan model pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat, termasuk hasil yang didapat nanti," kata Suprianto dari Mitra Bentala.
Pada dasarnya, hutan mangrove tak melulu didominasi oleh pohon bakau sebagai satu-satunya vegetasi pesisir yang hidup dan harus dilindungi. Menurut Suprianto, terdapat sedikitnya 22 jenis vegetasi hutan mangrove yang dikembangkan di Pulau Pahawang. Yang ada di Pulau Puhawang sekarang adalah bakau besar, bakau kecil, bakau tinggi, bogem, nipah dan waru laut.
Meski demikian, vegetasi tanaman bakau atau yang memiliki nama latin Rhizopora sp. ini memang menjadi objek utama penarik perhatian wisatawan untuk datang meneliti vegetasi pohon bakau.
Selembar daun pohon bakau yang jatuh ke laut, mampu menetralisasi air laut dari pencemaran yang ditimbulkan oleh nelayan, limbah rumah tangga sampai limbah tambak udang.
Di kawasan vegetasi hutan mangrove juga bisa banyak dijumpai hewan-hewan laut langka yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai di sekitar Teluk Lampung karena sabuk hijaunya habis untuk tambak udang dan permukiman maupun wisata konvensional biasa. Pada habitat hutan mangrove yang masih alami bisa dengan mudah dijumpai hewan sejenis berang-berang, mangrove jack, ikan khas yang hanya ada di hutan mangrove.
Termasuk penelitian yang lebih ekstrem, yakni nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria, yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat serangga ini. Apalagi sebagian gugusan pulau di Teluk Pedada termasuk Pulau Pahawang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai pusat populasi nyamuk penyebab malaria terbesar kedua di Indonesia, setelah Irian Jaya.
Di sisi lain, buah pohon bakau juga menjadi penganan utama sekawanan monyet yang ada di Pulau Pahawang ini. Atau menjajal keunikan makanan lain, yakni dodol bakau, penganan baru hasil kreasi kerajinan ibu rumah tangga yang ada di Pulau Pahawang. Dodol ini berbahan baku utama buah pohon bakau, rasanya tak kalah dengan dodol durian atau lempok durian.
Awalnya, minat penelitian terhadap hutan mangrove ini muncul pascagelombang besar tsunami yang hampir meluluhlantakkan sebagian besar daerah kepulan di Samudera Hindia.
Seperti di Nangroe Aceh Darussalam, gelombang tsunami begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan materi karena punahnya hutan mangrove. Kepunahan itu membuat mainland tak lagi mampu menahan kuatnya gelombang.
Kondisi kepulauan Aceh yang berhadapan langsung dengan laut lepas juga membuat tingkat kerusakan akibat tsunami cukup masif. Ketiadaan pulau terluar lain membuat konsentrasi gelombang tsunami tidak bisa terpecah sehingga tak heran jika gelombang setinggi pohon kelapa menerjang Aceh hanya dengan hitungan menit saja. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
Traveling: Pulau Pahawang, Objek Wisata Konservasi
PULAU Pahawang menjadi satu contoh keberhasilan penyelamatan hutan mangrove di Lampung. Kini, di areal seluas seratusan hektare itu, hutan mangrove yang lestari adalah wisata alam yang membanggakan.
Butuh konsentrasi yang tinggi untuk mengubah dan membentuk kemauan masyarakat agar peduli terhadap keberlangsungan hutan mangrove. Apalagi untuk masyarakat yang hidup di pulau dan relatif awam dengan kata konservasi.
Kini, masyarakat Pulau Pahawang sudah tak lagi menjadi perusak, mereka bahkan sadar betapa hutan mangrove bisa memberikan banyak manfaat kehidupan buat mereka. Kesadaran ini terus dipupuk oleh LSM Mitra Bentala, mulai dari anak-anak Pulau Pahawang.
Setelah kemauan itu mulai timbul dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya, Mitra Bentala bersama pamong desa Pulau Pahawang juga berhasil merumuskan sebuah peraturan desa (perdes) tentang keberlangsungan hutan mangrove di Pulau Pahawang.
Perdes ini mengatur mulai dari pembibitan sampai sanksi jika ada masyarakat atau masyarakat luar yang menebang atau merusak hutan mangrove. Selain itu, masyarakat setempat juga membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM).
Sekarang, di beberapa sisi Pulau Pahawang sudah "rimbun" dengan pohon bakau. Sebentar lagi pulau seluas 1.084 hektare itu mungkin akan "tenggelam" oleh tebal lebatnya hutan mangrove.
Salim, warga Dusun VI, Desa Pulau Puhawang, antusias bercerita bagaimana lebatnya hutan mangrove di tempatnya kini. "Dulu yang kelihatan cuma jamban milik warga. Sekarang bakaunya sudah tebal sekali, sudah enam meter dari bibir pantai," kata Salim.
Salim kini sudah berubah. Pemuda ini dulunya terkenal sebagai pengebom ikan paling ulung dan penebang pohon bakau paling andal di Pulau Pahawang. Tapi sejak ia melihat betapa ngerinya tsunami di Aceh beberapa tahun silam, ia insyaf total dari mengebom dan menebang bakau, meski harus menutup mata pencariannya.
Salim kini menjadi "ojek laut" anak-anak sekolah sekaligus ngangon kambing. Di pagi hari usai mencari rumput untuk pakan ternaknya, ia tenggelam di dalam lumpur rawa, menanam bibit-bibit bakau, satu per satu dengan teliti. Bibit-bibit bakau yang sudah ditanam sebelumnya pun tak luput dari perhatiannya, ia bahkan tahu setiap inci pertumbuhan pohon bakau yang ditanamnya.
Lain lagi dengan Iswan Hayani, warga Dusun Suakbuah, Pulau Puhawang, yang juga anggota Divisi Pengawasan BPDPM yang baru saja selesai membuat banner berisi imbauan dan larangan. Semua itu dibuat dari modal kantongnya sendiri. "Banner ini nanti dipasang di sekitar hutan mangrove, biar tidak ada lagi yang menebang pohon bakau," kata Iswan Hayani.
Pulau Pahawang adalah gugusan pulau yang ada di sekitar Teluk Pedada, masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, Pasawaran. Untuk menuju pulau ini, dari Bandar Lampung harus menuju Padang Cermin. Dari suatu pelabuhan rakyat di tempat itu, perahu akan menyeberangkan penumpang ke Pulau Pahawang. Butuh waktu sekitar satu setengah jam dengan armada laut untuk sampai ke pulau lestari itu.
Kontur geografis pulau ini sedikit menjulang karena terdapat bukit batu yang berada tepat di antara permukiman penduduk. Ini yang menjadi pembeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Banyak pula legenda yang berkembang tentang pulau ini, tapi yang terkenal justru legenda Mpok Awang, perempuan keturunan Betawi-China sebagai orang yang pertama kali menemukan dan tinggal di pulau ini pada 1800. Makam yang berada di puncak bukit batu pulau ini juga diyakini sebagai makam Mpok Awang, warga di sini menyebutnya sebagai keramat.
Uniknya, dari legenda Mpok Awang dan makamnya ini juga muncul kearifan lokal (lokal wisdom) dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya untuk tidak mengutak-atik apalagi sampai merambah hutan bukit batu itu karena keramat desa ada di sana. Dan ini menjadi larangan tak tersirat yang masih tetap dipatuhi.
Dari legenda itu, Suprianto dari Mitra Bentala menjelaskan kawasan hutan di puncak bukit itu tetap terjaga, ada manfaat lain dari kearifan lokal tersebut, sebagian air di pulau itu tidak payau apalagi asin, airnya layaknya daratan, terasa tawar. "Ini semua karena hutan masih terjaga dengan baik karena kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat Pulau Pahawang," kata Suprianto.
Meski demikian, di era tahun 1970-an hingga 1990-an, Pulau Pahawang terkenal sebagai masyarakat "jahiliah" yang tak kenal kompromi dengan hutan mangrove. Pulau yang ketika penduduknya masih sangat sedikit dengan pohon bakau yang rimbun ini menjadi incaran tak hanya penduduk lokal pulau saja, tapi penduduk luar pulau yang menjadikan Pulau Pahawang sebagai surga batang bakau dan cacing bakau. Dulu, dalam sehari 4.000 batang pohon bakau bisa dihasilkan dari pulau ini.
Iswan Hayani mengenang periode itu sebagai masa kelam. "Pohon bakau habis ditebangi, batangnya diolah untuk kayu atap rumah, akarnya dicabut untuk mengambil cacing-cacing yang ada di bawah akar bakau untuk dijual sebagai pakan," kenang Iswan.
Keadaan ini baru berhenti setelah pohon bakau nyaris habis tak tersisa di Pulau Pahawang, penduduk banyak merasakan dampaknya, air laut sering pasang hingga ke rumah-rumah penduduk, angin barat yang membawa gelombang cukup besar juga kerap mengkhawatirkan.
Satu lagi yang mengerikan, nyamuk malaria ganas menyerang penduduk karena habitatnya gundul dan akhirnya hijrah ke permukiman penduduk, banyak warga yang terjangkit penyakit Malaria Tropical. Cerita ini menjadi semakin pilu manakala harus ada korban jiwa yang terenggut dari efek mangrove ini.
Pelan-pelan di tahun 1999, LSM lingkungan Mitra Bentala masuk untuk mendampingi masyarakat Pulau Pahawang, bersama-sama membangun kembali lingkungan hutan mangrove di Pulau Pahawang. Setahap demi setahap proses pendampingan ini mulai menuai hasil, meski terkadang sulit karena harus mengubah total mata pencarian masyarakat setempat.
"Masyarakat sudah merasakan dampaknya, ketika lingkungan mereka rusak, dan kini ada keinginan kuat dari mereka untuk mengubah sikap itu ke arah yang lebih baik, dan kami bangga atas sikap masyarakat ini," kata Suprianto dari Mitra Bentala.
Tak hanya itu saja, Mitra Bentala juga berupaya menyisipkan kegiatan luar sekolah untuk anak-anak penerus Pulau Pahawang dengan memberikan kegiatan penanaman pohon bakau untuk anak-anak kelas III, IV, dan V sekolah dasar. Upaya learning by doing (belajar secara langsung, red) ini dimulai dari menanam, memberikan nama untuk bibit bakau yang mereka tanam sampai mengawasi pertumbuhan bibit bakau.
Kegiatan luar sekolah yang semula menjadi kegiatan nonformal, kini sudah menjadi ekstrakurikuler tersendiri, sampai akhirnya anak-anak Pulau Pahawang memiliki kelompok sendiri, yakni Anak Pecinta Lingkungan (APL), dengan jumlah tanam bibit bakau yang telah dilakukan sebanyak 3.000 batang.
Untuk ukuran anak usia dini, hal ini menjadi upaya pembentukan sikap mereka di masa depan tentang pentingnya sebatang pohon bakau yang mereka tanam, untuk pulau mereka. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumnber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
Butuh konsentrasi yang tinggi untuk mengubah dan membentuk kemauan masyarakat agar peduli terhadap keberlangsungan hutan mangrove. Apalagi untuk masyarakat yang hidup di pulau dan relatif awam dengan kata konservasi.
Kini, masyarakat Pulau Pahawang sudah tak lagi menjadi perusak, mereka bahkan sadar betapa hutan mangrove bisa memberikan banyak manfaat kehidupan buat mereka. Kesadaran ini terus dipupuk oleh LSM Mitra Bentala, mulai dari anak-anak Pulau Pahawang.
Setelah kemauan itu mulai timbul dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya, Mitra Bentala bersama pamong desa Pulau Pahawang juga berhasil merumuskan sebuah peraturan desa (perdes) tentang keberlangsungan hutan mangrove di Pulau Pahawang.
Perdes ini mengatur mulai dari pembibitan sampai sanksi jika ada masyarakat atau masyarakat luar yang menebang atau merusak hutan mangrove. Selain itu, masyarakat setempat juga membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM).
Sekarang, di beberapa sisi Pulau Pahawang sudah "rimbun" dengan pohon bakau. Sebentar lagi pulau seluas 1.084 hektare itu mungkin akan "tenggelam" oleh tebal lebatnya hutan mangrove.
Salim, warga Dusun VI, Desa Pulau Puhawang, antusias bercerita bagaimana lebatnya hutan mangrove di tempatnya kini. "Dulu yang kelihatan cuma jamban milik warga. Sekarang bakaunya sudah tebal sekali, sudah enam meter dari bibir pantai," kata Salim.
Salim kini sudah berubah. Pemuda ini dulunya terkenal sebagai pengebom ikan paling ulung dan penebang pohon bakau paling andal di Pulau Pahawang. Tapi sejak ia melihat betapa ngerinya tsunami di Aceh beberapa tahun silam, ia insyaf total dari mengebom dan menebang bakau, meski harus menutup mata pencariannya.
Salim kini menjadi "ojek laut" anak-anak sekolah sekaligus ngangon kambing. Di pagi hari usai mencari rumput untuk pakan ternaknya, ia tenggelam di dalam lumpur rawa, menanam bibit-bibit bakau, satu per satu dengan teliti. Bibit-bibit bakau yang sudah ditanam sebelumnya pun tak luput dari perhatiannya, ia bahkan tahu setiap inci pertumbuhan pohon bakau yang ditanamnya.
Lain lagi dengan Iswan Hayani, warga Dusun Suakbuah, Pulau Puhawang, yang juga anggota Divisi Pengawasan BPDPM yang baru saja selesai membuat banner berisi imbauan dan larangan. Semua itu dibuat dari modal kantongnya sendiri. "Banner ini nanti dipasang di sekitar hutan mangrove, biar tidak ada lagi yang menebang pohon bakau," kata Iswan Hayani.
Pulau Pahawang adalah gugusan pulau yang ada di sekitar Teluk Pedada, masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, Pasawaran. Untuk menuju pulau ini, dari Bandar Lampung harus menuju Padang Cermin. Dari suatu pelabuhan rakyat di tempat itu, perahu akan menyeberangkan penumpang ke Pulau Pahawang. Butuh waktu sekitar satu setengah jam dengan armada laut untuk sampai ke pulau lestari itu.
Kontur geografis pulau ini sedikit menjulang karena terdapat bukit batu yang berada tepat di antara permukiman penduduk. Ini yang menjadi pembeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Banyak pula legenda yang berkembang tentang pulau ini, tapi yang terkenal justru legenda Mpok Awang, perempuan keturunan Betawi-China sebagai orang yang pertama kali menemukan dan tinggal di pulau ini pada 1800. Makam yang berada di puncak bukit batu pulau ini juga diyakini sebagai makam Mpok Awang, warga di sini menyebutnya sebagai keramat.
Uniknya, dari legenda Mpok Awang dan makamnya ini juga muncul kearifan lokal (lokal wisdom) dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya untuk tidak mengutak-atik apalagi sampai merambah hutan bukit batu itu karena keramat desa ada di sana. Dan ini menjadi larangan tak tersirat yang masih tetap dipatuhi.
Dari legenda itu, Suprianto dari Mitra Bentala menjelaskan kawasan hutan di puncak bukit itu tetap terjaga, ada manfaat lain dari kearifan lokal tersebut, sebagian air di pulau itu tidak payau apalagi asin, airnya layaknya daratan, terasa tawar. "Ini semua karena hutan masih terjaga dengan baik karena kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat Pulau Pahawang," kata Suprianto.
Meski demikian, di era tahun 1970-an hingga 1990-an, Pulau Pahawang terkenal sebagai masyarakat "jahiliah" yang tak kenal kompromi dengan hutan mangrove. Pulau yang ketika penduduknya masih sangat sedikit dengan pohon bakau yang rimbun ini menjadi incaran tak hanya penduduk lokal pulau saja, tapi penduduk luar pulau yang menjadikan Pulau Pahawang sebagai surga batang bakau dan cacing bakau. Dulu, dalam sehari 4.000 batang pohon bakau bisa dihasilkan dari pulau ini.
Iswan Hayani mengenang periode itu sebagai masa kelam. "Pohon bakau habis ditebangi, batangnya diolah untuk kayu atap rumah, akarnya dicabut untuk mengambil cacing-cacing yang ada di bawah akar bakau untuk dijual sebagai pakan," kenang Iswan.
Keadaan ini baru berhenti setelah pohon bakau nyaris habis tak tersisa di Pulau Pahawang, penduduk banyak merasakan dampaknya, air laut sering pasang hingga ke rumah-rumah penduduk, angin barat yang membawa gelombang cukup besar juga kerap mengkhawatirkan.
Satu lagi yang mengerikan, nyamuk malaria ganas menyerang penduduk karena habitatnya gundul dan akhirnya hijrah ke permukiman penduduk, banyak warga yang terjangkit penyakit Malaria Tropical. Cerita ini menjadi semakin pilu manakala harus ada korban jiwa yang terenggut dari efek mangrove ini.
Pelan-pelan di tahun 1999, LSM lingkungan Mitra Bentala masuk untuk mendampingi masyarakat Pulau Pahawang, bersama-sama membangun kembali lingkungan hutan mangrove di Pulau Pahawang. Setahap demi setahap proses pendampingan ini mulai menuai hasil, meski terkadang sulit karena harus mengubah total mata pencarian masyarakat setempat.
"Masyarakat sudah merasakan dampaknya, ketika lingkungan mereka rusak, dan kini ada keinginan kuat dari mereka untuk mengubah sikap itu ke arah yang lebih baik, dan kami bangga atas sikap masyarakat ini," kata Suprianto dari Mitra Bentala.
Tak hanya itu saja, Mitra Bentala juga berupaya menyisipkan kegiatan luar sekolah untuk anak-anak penerus Pulau Pahawang dengan memberikan kegiatan penanaman pohon bakau untuk anak-anak kelas III, IV, dan V sekolah dasar. Upaya learning by doing (belajar secara langsung, red) ini dimulai dari menanam, memberikan nama untuk bibit bakau yang mereka tanam sampai mengawasi pertumbuhan bibit bakau.
Kegiatan luar sekolah yang semula menjadi kegiatan nonformal, kini sudah menjadi ekstrakurikuler tersendiri, sampai akhirnya anak-anak Pulau Pahawang memiliki kelompok sendiri, yakni Anak Pecinta Lingkungan (APL), dengan jumlah tanam bibit bakau yang telah dilakukan sebanyak 3.000 batang.
Untuk ukuran anak usia dini, hal ini menjadi upaya pembentukan sikap mereka di masa depan tentang pentingnya sebatang pohon bakau yang mereka tanam, untuk pulau mereka. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumnber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
Radin Jambat Bertarung dengan Sindang Belawan
BANDAR LAMPUNG -- Musik pengiring mengalun keras dan menghentak. Raden Jambat duduk di atas tandu yang diusung empat prajurit. Pangeran muda ini berkeliling ke berbagai daerah mencari calon istri yang dia idamkan, yaitu Putri Betik Hati.
Dayang-dayang menari menemani perjalanan Raden Jambat. Untuk mendapatkan sang putri, Raden Jambat harus berhadapan dengan Sindang Belawan yang terkenal bengis dan kejam. Sesuai dengan adat ketika itu, pertarungan dilakukan dengan sabung ayam. Ayam Raden Jambat bertarung dengan ayam Sindang Belawan. Ayam Raden Jambat menang.
Tiba-tiba Sindang Belawan membunuh ayam Raden Jambat dan bertarung dengan pemiliknya. Musik semakin keras menghentak. Prajurit mengambil bambu runcing, saling bertempur. Atraksi jatuh secara serentak yang diperagakan prajurit memukau penonton. Raden Jambat membunuh Sindang. Sebagai atraksi penutup, Raden Jambat memutar bambu runcing di udara dan mengelilingi tubuhnya. Gerakan itu semakin cepat sesuai dengan iringan musik yang semakin menghentak. Lalu, Raden Jambat kembali ke tandunya, dia berhasil memboyong putri Betik Hati untuk dijadikan permaisuri.
Penampilan Way Kanan, salah satu peserta peserta seni dari 11 kabupaten/kota se-Lampung dalam atraksi seni-budaya di Gelanggang Olahraga (GOR) Saburai ini terasa memukau.
Sebelas kabupaten/kota di Lampung menampilkan atraksi masing-masing. Setiap atraksi mengilustrasikan adat budaya atau legenda di daerah masing-masing. Sekda Irham Ja'far Lan Putra mewakili Gubernur Syamsurya Ryacudu, mengatakan pergelaran seni budaya itu dalam rangka memperingati HUT ke-45 Provinsi Lampung. Kegiatan itu juga menjadi wadah dalam mengekpresikan budaya Lampung, sekaligus melestarikan seni budaya daerah.
"Kegiatan ini lebih istimewa karena terkait persiapan menghadapi event tahun kunjungan Lampung 2009," kata Irham ketika membuka acara. Pemerintah provinsi juga bekerja sama dengan stakeholder dan pemda kabupaten/kota memeriahkan Visit Lampung Year 2009 dengan menyelenggarakan berbagai event seni dan budaya.
Selama Januari--Desember 2009, ada 42 kegiatan pariwisata yang digelar oleh 9 kabupaten/kota. Bandar Lampung melaksanakan Festival Durian, di Lampung Barat ada Festival Stabas, dan event yang cukup besar, yaitu Festival Krakatau di Lampung Selatan dan Bandar Lampung.
"Kami mengharapkan event-event ini mampu meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan meningkatkan pergerakan wisata nusantara," kata dia. Sehingga kebudayaan dan pariwisata berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pergelaran lainnya yang ditampilkan kemarin, cerita peperangan antara pengikut Pangeran Subing dengan Pasukan Raja Dilawok. Sekitar 40 pengikut Pangeran Subing bersenjatakan pedang, akhirnya berhasil membunuh Raja Dilawok. Cerita itu ditampilkan kelompok tari utusan Kabupaten Lampung Tengah. Kelompok tari dari Kabupaten Lampung Tengah itu mengusung tari bertajuk Butan Subing. Dengan sekitar 60-an penari, mereka menggambarkan akhir cerita perang yang membawa kemenangan bagi Pangeran Subing.
"Cerita inilah sebagai awal dari terbentuknya daerah dengan nama Abung Siwo Mego, yang kemudian dijadikan simbol Kabupaten kami," kata salah seorang pekerja seni yang mengawaki kelompok tari itu, Syahrun Tanjung, ditemui di lokasi acara, kemarin. Dengan dikomandani Syahrun Tanjung, para penari menggerakkan tubuhnya menyesuaikan iringan musik tradisional. Iringan musik yang langsung dimainkan itu terdiri dari jenis alat musik gamelan, rebana, canang, serta gong. Kelompok tari asal Kabupaten Lampung Tengah itu merupakan salah satu penampilan di antara kelompok asal kabupaten lain.
Kilat dan gemuruh iringan tari itu terlihat pada penampilan para penari yang tampil secara kolosal. "Kami memang mempersiapkannya untuk acara ini. Karena inilah sumbangsih kami kepada daerah," kata Syahrun Tanjung yang juga staf Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Tengah itu.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lampung, Adeham, mengatakan acara ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-45 Lampung. Tujuannya, selain memeriahkan HUT, juga mengeksplorasi kekayaan seni budaya di Lampung. "Terlihat banyak legenda tua yang dapat dieksplorasi menjadi sebuah sendra tari. Ini akan menjadi potensi wisata daerah," kata Adeham didampingi Kepala Bidang Humas Diskominfo Lampung, Heriyansyah, kemarin. n RINDA MULYANI/MUSTAAN/K-4
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
Dayang-dayang menari menemani perjalanan Raden Jambat. Untuk mendapatkan sang putri, Raden Jambat harus berhadapan dengan Sindang Belawan yang terkenal bengis dan kejam. Sesuai dengan adat ketika itu, pertarungan dilakukan dengan sabung ayam. Ayam Raden Jambat bertarung dengan ayam Sindang Belawan. Ayam Raden Jambat menang.
Tiba-tiba Sindang Belawan membunuh ayam Raden Jambat dan bertarung dengan pemiliknya. Musik semakin keras menghentak. Prajurit mengambil bambu runcing, saling bertempur. Atraksi jatuh secara serentak yang diperagakan prajurit memukau penonton. Raden Jambat membunuh Sindang. Sebagai atraksi penutup, Raden Jambat memutar bambu runcing di udara dan mengelilingi tubuhnya. Gerakan itu semakin cepat sesuai dengan iringan musik yang semakin menghentak. Lalu, Raden Jambat kembali ke tandunya, dia berhasil memboyong putri Betik Hati untuk dijadikan permaisuri.
Penampilan Way Kanan, salah satu peserta peserta seni dari 11 kabupaten/kota se-Lampung dalam atraksi seni-budaya di Gelanggang Olahraga (GOR) Saburai ini terasa memukau.
Sebelas kabupaten/kota di Lampung menampilkan atraksi masing-masing. Setiap atraksi mengilustrasikan adat budaya atau legenda di daerah masing-masing. Sekda Irham Ja'far Lan Putra mewakili Gubernur Syamsurya Ryacudu, mengatakan pergelaran seni budaya itu dalam rangka memperingati HUT ke-45 Provinsi Lampung. Kegiatan itu juga menjadi wadah dalam mengekpresikan budaya Lampung, sekaligus melestarikan seni budaya daerah.
"Kegiatan ini lebih istimewa karena terkait persiapan menghadapi event tahun kunjungan Lampung 2009," kata Irham ketika membuka acara. Pemerintah provinsi juga bekerja sama dengan stakeholder dan pemda kabupaten/kota memeriahkan Visit Lampung Year 2009 dengan menyelenggarakan berbagai event seni dan budaya.
Selama Januari--Desember 2009, ada 42 kegiatan pariwisata yang digelar oleh 9 kabupaten/kota. Bandar Lampung melaksanakan Festival Durian, di Lampung Barat ada Festival Stabas, dan event yang cukup besar, yaitu Festival Krakatau di Lampung Selatan dan Bandar Lampung.
"Kami mengharapkan event-event ini mampu meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan meningkatkan pergerakan wisata nusantara," kata dia. Sehingga kebudayaan dan pariwisata berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pergelaran lainnya yang ditampilkan kemarin, cerita peperangan antara pengikut Pangeran Subing dengan Pasukan Raja Dilawok. Sekitar 40 pengikut Pangeran Subing bersenjatakan pedang, akhirnya berhasil membunuh Raja Dilawok. Cerita itu ditampilkan kelompok tari utusan Kabupaten Lampung Tengah. Kelompok tari dari Kabupaten Lampung Tengah itu mengusung tari bertajuk Butan Subing. Dengan sekitar 60-an penari, mereka menggambarkan akhir cerita perang yang membawa kemenangan bagi Pangeran Subing.
"Cerita inilah sebagai awal dari terbentuknya daerah dengan nama Abung Siwo Mego, yang kemudian dijadikan simbol Kabupaten kami," kata salah seorang pekerja seni yang mengawaki kelompok tari itu, Syahrun Tanjung, ditemui di lokasi acara, kemarin. Dengan dikomandani Syahrun Tanjung, para penari menggerakkan tubuhnya menyesuaikan iringan musik tradisional. Iringan musik yang langsung dimainkan itu terdiri dari jenis alat musik gamelan, rebana, canang, serta gong. Kelompok tari asal Kabupaten Lampung Tengah itu merupakan salah satu penampilan di antara kelompok asal kabupaten lain.
Kilat dan gemuruh iringan tari itu terlihat pada penampilan para penari yang tampil secara kolosal. "Kami memang mempersiapkannya untuk acara ini. Karena inilah sumbangsih kami kepada daerah," kata Syahrun Tanjung yang juga staf Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Tengah itu.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lampung, Adeham, mengatakan acara ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-45 Lampung. Tujuannya, selain memeriahkan HUT, juga mengeksplorasi kekayaan seni budaya di Lampung. "Terlihat banyak legenda tua yang dapat dieksplorasi menjadi sebuah sendra tari. Ini akan menjadi potensi wisata daerah," kata Adeham didampingi Kepala Bidang Humas Diskominfo Lampung, Heriyansyah, kemarin. n RINDA MULYANI/MUSTAAN/K-4
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
March 14, 2009
Opini: Ekonomi Kreatif, Sebuah Harapan Baru
Oleh Subardjo*
SEMBURAT harap muncul dengan diluncurkannya biduk baru program kreasi pemerintah untuk menunjang capaian kemajuan ekonomi rakyat dengan tajuk "ekonomi kreatif"--walau di tempat lain sudah lebih dulu dilansir. Program ini beberapa waktu lalu telah dikampanyekan orang nomor satu di negeri ini. Menteri terkait pun sibuk menyosialisasikan.
Program ini diharapkan membantu ketertinggalan rakyat. Dengan ekonomi kreatif, rakyat jadi mandiri; meminimalkan ketergantungan, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, menggaet devisa. Muaranya, rakyat jadi makmur.
Persoalannya, lautan kendala yang harus dilayari biduk, lebarnya jarak arung untuk sampai berlabuh di dermaga harapan. Bagaimana menghadapi anak buah kapal yang tidak proaktif, terbiasa tunggu perintah dan petunjuk, berperilaku kontraproduktif.
Upaya yang telah didesain dan dijalankan pemerintah pusat ternyata masih juga terkendala lemahnya apresiasi para penyelenggara negara di daerah. Jangan heran kalau oknum di instansi terkait sangat tidak paham dengan persoalan ini.
Untuk itu, perlu diupayakan forum diskusi yang melibatkan pemerintah pusat yang memiliki gagasan ekonomi kreatif, pemerintah daerah, akademisi, pengusaha, budayawan, seniman, perajin, agar apa yang ingin kita dengar dari pemerintah sebagai pemilik gagasan ada pengayaan pemahaman alternatif dari berbagai sudut pandang.
Dengan demikian, diharapkan dapat terelaborasi secara menyeluruh persoalan-persoalan yang melingkupi. Diharapkan akan menghasilkan konsesus atau rumusan-rumusan komprehensif, bernas, dan realistis. Lalu, dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Istilah "ekonomi kreatif" pertama kali ditawarkan John Howkins, penulis buku Creatif Economy, How People make money from Ideas. Ia produser film di Inggris yang paling aktif menyuarakan ekonomi kreatif pada pemerintah Inggris dan banyak terlibat dalam diskusi pembentukan ekonomi kreatif di Eropa.
Dr. Ricard Florida, penulis The Rise of Creative class dan Cities and Creative Class serta pemegang nobel ekonomi Robert Lucas menyatakan kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas cluster, orang-orang bertalenta kreatif atau manusia-manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) 2008 di Pekan Raya Jakarta, 21 Oktober 2008, menyatakan ekonomi kreatif telah menjadi salah satu lokomotif perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari pergeseran sektor pertanian dan industri ke jasa ekonomi kreatif.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia, 4 Juni 2008, di Balai Sidang Jakarta, menyerahkan cetak biru pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Dalam pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang disusun Departemen Perdagangan, ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif, yakni arsitektur, disain, kerajinan, layanan komputer dan piranti lunak, mode, musik, pasar seni dan barang antik, penerbitan dan percetakan, periklanan, permainan interaktif, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, kemudian video, film, dan fotografi.
Studi industri kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan 14 industri kreatif itu menyumbang PDB rata-rata Rp104,638 triliun pada 2002--2006. Ini lebih besar dari kontribusi sektor pengangkutan komunikasi, bangunan, listrik, gas, dan air bersih. Pada periode yang sama menyerap 5,3 juta tenaga kerja dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun, lebih besar dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata Rp18 juta.
Selain menyumbang ekspor, penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto, ekonomi berbasis ide kreatif juga tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, ramah lingkungan dan sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.
Yang termasuk dalam industri kreatif bukanlah jenis industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memiliki nilai tambah. Ini menjadi perhatian utama karena keragaman budaya kita yang tinggi dan manusianya yang secara alamiah kreatif; merupakan keunggulan potensi dan daya saing kita.
Potensi ekonomi kreatif sangat besar mengingat kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Selama ini, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB telah mencapai 6,4 persen.
Dalam dunia pariwisata, industri kreatif merupakan motor utama jalannya roda kepariwisataan. Semakin spesifik dan semakin kreatif produk-produk yang ditawarkan oleh sebuah wilayah tujuan wisata, makin tertarik calon-calon wisatawan berkunjung ke daerah tersebut. Makin banyak wisatawan datang, semakin besar kemungkinan nilai ekonomi yang dapat terjaring. Maka ekonomi kreatif semakin berkembang.
Provinsi Lampung dengan jumlah penduduk 7 juta orang, dengan kekayaan ragam budaya yang spesifik serta SDA melimpah, merupakan sumber daya potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan industri kreatif. Seperti kita ketahui, tahun 2009 ini merupakan tahun pencanangan Visit Lampung Year. Pemerintah berharap kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara sebanyak-banyaknya. Program ekonomi kreatif merupakan salah satu upaya potensial guna mendorong suksesnya Visit Lampung Year 2009.
***
Definisi industri kreatif yang digunakan pemerintah mengadopsi definisi Pemerintah Inggris: Proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi, elaborasi kekayaan intelektual berupa kreativitas dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang-orang yang terlibat. Definisi ini memperlihatkan pentingnya ide kreatif.
Dalam tataran implementasi, pemerintah membuat model berdasar pada industri kreatif, dengan lima pilar utama (1) industri yang terlibat dalam produksi kreatif, (2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu, (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan, (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual, dan (5) lembaga intermediasi keuangan.
Aktor utama yang terlibat adalah intelektual termasuk budayawan, seniman, pendidik, ilmuan, akademisi, peneliti, penulis, pelopor atau tokoh di sanggar seni, budaya, pebisnis atau pelaku usaha yang mentransformasikan kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi. Pemerintah bertindak sebagai katalisator, advokasi, regulator, investor sekaligus konsumen.
Negara kita memiliki ribuan bahkan mungkin jutaan potensi produk kreatif yang sangat mungkin dikembangkan. Nilai budaya bangsa (cultural heritage) yang sangat kita banggakan seperti kain tapis, sulam usus, songket, batik, wayang, keris, kerajinan tangan yang berbahan kayu, rotan, kuda lumping, pertunjukan rakyat dan berbagai seni budaya lainnya merupakan aset bangsa.
Dalam 10 tahun terakhir, sektor ekonomi kreatif yang menggunakan media lukisan, film, animasi, software, dan game komputer telah mendapatkan kesempatan dan menarik perhatian dunia internasional. Bagaimana film buatan anak negeri kita berjaya di berbagai festival dunia, begitu gemuruhnya lukisan dari Indonesia mendominasi balai-balai lelang Asia. Bahkan pertunjukan cerita rakyat dari Sulawesi--La Galigo--tiket pertunjukannya di Singapura dan AS terjual habis meski tampil dalam 30 hari pertunjukan.
Maka, dapat ditarik asumsi, sangat wajar pimpinan negara ini dengan arif menawarkan alternatif pengembangan pembangunan kemakmuran bangsa dengan ekonomi kreatif. n
* Subardjo, perupa
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Maret 2009
SEMBURAT harap muncul dengan diluncurkannya biduk baru program kreasi pemerintah untuk menunjang capaian kemajuan ekonomi rakyat dengan tajuk "ekonomi kreatif"--walau di tempat lain sudah lebih dulu dilansir. Program ini beberapa waktu lalu telah dikampanyekan orang nomor satu di negeri ini. Menteri terkait pun sibuk menyosialisasikan.
Program ini diharapkan membantu ketertinggalan rakyat. Dengan ekonomi kreatif, rakyat jadi mandiri; meminimalkan ketergantungan, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, menggaet devisa. Muaranya, rakyat jadi makmur.
Persoalannya, lautan kendala yang harus dilayari biduk, lebarnya jarak arung untuk sampai berlabuh di dermaga harapan. Bagaimana menghadapi anak buah kapal yang tidak proaktif, terbiasa tunggu perintah dan petunjuk, berperilaku kontraproduktif.
Upaya yang telah didesain dan dijalankan pemerintah pusat ternyata masih juga terkendala lemahnya apresiasi para penyelenggara negara di daerah. Jangan heran kalau oknum di instansi terkait sangat tidak paham dengan persoalan ini.
Untuk itu, perlu diupayakan forum diskusi yang melibatkan pemerintah pusat yang memiliki gagasan ekonomi kreatif, pemerintah daerah, akademisi, pengusaha, budayawan, seniman, perajin, agar apa yang ingin kita dengar dari pemerintah sebagai pemilik gagasan ada pengayaan pemahaman alternatif dari berbagai sudut pandang.
Dengan demikian, diharapkan dapat terelaborasi secara menyeluruh persoalan-persoalan yang melingkupi. Diharapkan akan menghasilkan konsesus atau rumusan-rumusan komprehensif, bernas, dan realistis. Lalu, dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
***
Istilah "ekonomi kreatif" pertama kali ditawarkan John Howkins, penulis buku Creatif Economy, How People make money from Ideas. Ia produser film di Inggris yang paling aktif menyuarakan ekonomi kreatif pada pemerintah Inggris dan banyak terlibat dalam diskusi pembentukan ekonomi kreatif di Eropa.
Dr. Ricard Florida, penulis The Rise of Creative class dan Cities and Creative Class serta pemegang nobel ekonomi Robert Lucas menyatakan kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas cluster, orang-orang bertalenta kreatif atau manusia-manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) 2008 di Pekan Raya Jakarta, 21 Oktober 2008, menyatakan ekonomi kreatif telah menjadi salah satu lokomotif perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari pergeseran sektor pertanian dan industri ke jasa ekonomi kreatif.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia, 4 Juni 2008, di Balai Sidang Jakarta, menyerahkan cetak biru pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Dalam pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang disusun Departemen Perdagangan, ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif, yakni arsitektur, disain, kerajinan, layanan komputer dan piranti lunak, mode, musik, pasar seni dan barang antik, penerbitan dan percetakan, periklanan, permainan interaktif, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, kemudian video, film, dan fotografi.
Studi industri kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan 14 industri kreatif itu menyumbang PDB rata-rata Rp104,638 triliun pada 2002--2006. Ini lebih besar dari kontribusi sektor pengangkutan komunikasi, bangunan, listrik, gas, dan air bersih. Pada periode yang sama menyerap 5,3 juta tenaga kerja dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun, lebih besar dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata Rp18 juta.
Selain menyumbang ekspor, penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto, ekonomi berbasis ide kreatif juga tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, ramah lingkungan dan sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.
Yang termasuk dalam industri kreatif bukanlah jenis industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memiliki nilai tambah. Ini menjadi perhatian utama karena keragaman budaya kita yang tinggi dan manusianya yang secara alamiah kreatif; merupakan keunggulan potensi dan daya saing kita.
Potensi ekonomi kreatif sangat besar mengingat kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Selama ini, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB telah mencapai 6,4 persen.
Dalam dunia pariwisata, industri kreatif merupakan motor utama jalannya roda kepariwisataan. Semakin spesifik dan semakin kreatif produk-produk yang ditawarkan oleh sebuah wilayah tujuan wisata, makin tertarik calon-calon wisatawan berkunjung ke daerah tersebut. Makin banyak wisatawan datang, semakin besar kemungkinan nilai ekonomi yang dapat terjaring. Maka ekonomi kreatif semakin berkembang.
Provinsi Lampung dengan jumlah penduduk 7 juta orang, dengan kekayaan ragam budaya yang spesifik serta SDA melimpah, merupakan sumber daya potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan industri kreatif. Seperti kita ketahui, tahun 2009 ini merupakan tahun pencanangan Visit Lampung Year. Pemerintah berharap kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara sebanyak-banyaknya. Program ekonomi kreatif merupakan salah satu upaya potensial guna mendorong suksesnya Visit Lampung Year 2009.
***
Definisi industri kreatif yang digunakan pemerintah mengadopsi definisi Pemerintah Inggris: Proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi, elaborasi kekayaan intelektual berupa kreativitas dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang-orang yang terlibat. Definisi ini memperlihatkan pentingnya ide kreatif.
Dalam tataran implementasi, pemerintah membuat model berdasar pada industri kreatif, dengan lima pilar utama (1) industri yang terlibat dalam produksi kreatif, (2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu, (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan, (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual, dan (5) lembaga intermediasi keuangan.
Aktor utama yang terlibat adalah intelektual termasuk budayawan, seniman, pendidik, ilmuan, akademisi, peneliti, penulis, pelopor atau tokoh di sanggar seni, budaya, pebisnis atau pelaku usaha yang mentransformasikan kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi. Pemerintah bertindak sebagai katalisator, advokasi, regulator, investor sekaligus konsumen.
***
Negara kita memiliki ribuan bahkan mungkin jutaan potensi produk kreatif yang sangat mungkin dikembangkan. Nilai budaya bangsa (cultural heritage) yang sangat kita banggakan seperti kain tapis, sulam usus, songket, batik, wayang, keris, kerajinan tangan yang berbahan kayu, rotan, kuda lumping, pertunjukan rakyat dan berbagai seni budaya lainnya merupakan aset bangsa.
Dalam 10 tahun terakhir, sektor ekonomi kreatif yang menggunakan media lukisan, film, animasi, software, dan game komputer telah mendapatkan kesempatan dan menarik perhatian dunia internasional. Bagaimana film buatan anak negeri kita berjaya di berbagai festival dunia, begitu gemuruhnya lukisan dari Indonesia mendominasi balai-balai lelang Asia. Bahkan pertunjukan cerita rakyat dari Sulawesi--La Galigo--tiket pertunjukannya di Singapura dan AS terjual habis meski tampil dalam 30 hari pertunjukan.
Maka, dapat ditarik asumsi, sangat wajar pimpinan negara ini dengan arif menawarkan alternatif pengembangan pembangunan kemakmuran bangsa dengan ekonomi kreatif. n
* Subardjo, perupa
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Maret 2009