BALAI Benih Induk (BBI) Pekalongan, Lampung Timur, dicanangkan sebagai agrowisata oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono pada 2005. Impiannya, pusat penangkaran dan uji coba berbagai bibit buah itu dapat menjadi tempat wisata.
Pekalongan tahun 1978. Nama kecamatan yang waktu itu masuk wilayah Kabupaten Lampung Tengah itu menjadi kondang gara-gara buah rambutan. Buah manis nan legit dengan warna kulit merah bergairah dan berambut itu masih menjadi buah favorit. Belum terjadi booming sehingga harganya jatuh amblas pada musimnya akhir-akhir ini.
Di satu lokasi seluas sekitar 64 hektare di bilangan Desa Pekalongan itu, para peneliti bidang hortikultura melakukan berbagai uji coba pembibitan berbagai macam buah. Salah satu buah yang sedang naik daun saat itu adalah rambutan.
Selain memproduksi bibit, para peneliti itu juga melakukan uji coba penanaman. Di areal tanah sekitar lima hektare, bibit-bibit pohon rambutan itu ditanam secara intensif. Hasilnya, dalam umur lima tahun, tanaman sudah subur dan berbuah lebat.
Satu keberhasilan dalam pengembangan bibit komoditas yang relatif baru itu cukup mengejutkan. Sebab, benih unggul yang dihasilkan dari sistem kultur jaringan itu sudah berbuah dalam waktu yang cepat. Buahnya juga sangat manis, tebal, dan lebih menarik penampilannya.
Ini tidak biasa karena saat itu orang mengenal rambutan biasa yang tumbuh liar di kebun-kebun dengan sifat yang alamiah. Pohon baru berbuah setelah berumur lebih dari tujuh tahun dan setelah menjulang tinggi. Buahnya juga lebih banyak yang asam, tidak ngelotok, berkulit alot, dan penampilan kurang menggoda.
Maka, hasil yang luar biasa itu menjadi kebanggaan para peneliti. Mereka juga butuh popularitas dan pengakuan untuk mengenalkan hasil karyanya, promosi, sekaligus mamasarkan secara maksimal. Maka, ide cemerlang muncul. Yakni, mengundang semua orang untuk datang ke kebun yang sedang berbuah lebat dan ranum, dipersilakan untuk memetik langsung dan mengonsumsi, tetapi tidak boleh membawa pulang atau keluar dari kebun. Tentu, saat masuk lokasi yang sudah berpagar berduri itu, ditarik biaya.
"Waktu itu memang luar biasa. Di sini kalau pas musim rambutan menjadi tempat wisata yang ramai sekali. Orang boleh memetik rambutan dan langsung memakannya. Itu sangat menyenangkan karena pohonnya masih sangat produktif dan masih pendek-pendek. Jadi, tidak perlu memanjat," kata Jumali, penjaga Agrowisata BBI Pekalongan mengisahkan, Sabtu (18-4).
Cerita itu tetap menginspirasi. Kini, kebun yang berada di Desa Pekalongan, Kecamatan Pekalongan, Lampung Timur, itu masih hijau. Sisa-sisa kejayaan kebun rambutan masih terlihat di sisi kiri jalan (dari arah Metro) itu masih ada. Namun, kondisi kebunnya tidak terurus intensif. Umur tanaman yang cukup uzur itu juga terlihat tidak subur lagi.
Berbeda di sisi kanan. Di halaman depan yang dikitari kantor, gudang, perumahan karyawan, dan fasilitas lainnya itu tampak rimbun. Berbagai pohon buah, didominasi tanaman durian, tampak subur merimbun. Dari ciri-cirinya, awampun cukup dapat menyimpulkan bahwa jika musim buah durian tiba, kebun ini adalah "surga" pemandangan yang memicu air liur keluar dengan sendirinya.
Pohon durian tampak subur, segar, dan rimbun. Juga pohon mangga, lengkeng, jambu, dan belasan tanaman buah lain yang--kami mohon maaf-- tidak dapat disebutkan satu per satu. Pendek kata, kompleks dengan udara segar itu seperti perhiasan hati yang menyejukkan mata.
Kompleks itu kini disebut Agrowisata Pekalongan. Nama itu masih melekat di semua perangkat pengenal tempat. Termasuk di gerbang pintu masuk yang berada di Jalan Raya Metro--Sukadana, samping Pasar Pekalongan, Lampung Timur. Yakni, Agrowisata Pekalongan, Lampung Timur--BBI Hortikultura. Meskipun secara resmi nama balai itu sudah berganti menjadi Unit Produksi Bibit Buah (UPBB) Pekalongan. "Sekarang namanya bukan BBI lagi, tetapi UPBB (Unit Produksi Bibit Buah) Pekalongan. Tetapi, nama publish-nya atau sebutan populernya tetap agrowisata Pekalongan, begitu saja tidak apa-apa," kata Indra, Kepala UPBB Pekalongan, Sabtu (18-4) di lokasi.
Jika Anda berminat mengunjungi tempat ini, kami pandu perjalanan dari Bandar Lampung. Lokasi agrowisata yang menawarkan kesegaran alam dan ranumnya buah (tentu jika pas musim) ini sekitar 60 kilometer dari Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung ke arah utara.
Selepas Bandara Radin Inten II, Branti, di Kabupaten Lampung Selatan, perjalanan terus ke utara, segaris dengan jalinsum yang menembus Palembang, Medan, dan seterusnya. Namun, sesaat melintasi jembatan kembar di Tegineneng, Pesawaran, berbeloklah ke kanan menuju Kota Metro.
Sekitar 15 kilometer dari pertigaan yang terdapat tugu itu, Anda akan sampai ke Kota Metro, kota kecil yang tertata apik dengan alun-alun di sentra kota.
Perjalanan teruslah ke utara menuju Sukadana, Lampung Timur. Ada yang khas ketika hendak menginggalkan Taman Kota (alun-alun Kota Metro). Anda akan merasakan suasana kota peninggalan Belanda yang khas. Yakni, jajaran rapi pohon mahoni yang rata-rata seukuran pelukan dua orang dewasa tertata rapi di sisi kanan jalan. Ini akan mengantar Anda hingga memasuki batas wilayah Kabupaten Lampung Timur. Bahkan, masih terus ada hingga beberapa kilometer di wilayah bekas karesidenan itu.
Tidak terlalu jauh dari situ, keramaian pertama yang akan ditemui adalah Kecamatan Pekalongan. Di kecamatan ini, salah satu penanda yang cukup mencolok adalah pasar yang cukup ramai. Nah, di samping pasar atau setelah pasat itu, satu gerbang cukup besar dan megah, dengan dua patung gajah sebagai ikon di samping kanan-kiri, dan tulisan besar di atas, adalah jalan masuk ke Agrowisata Pekalongan.
Dari jalan raya itu, perjalanan sekitar tiga kilometer. Memasuki jalan beraspal tidak terlalu lebar ini, memang terasa suasan agro yang mencolok. Di kanan-kiri jalan, rumah-rumah begitu apresiatif terhadap lingkungan. Yakni, dengan menanam berbagai pohon buah dan penghijauan yang membuat segar lingkungan.
DI sepanjang jalan ini, puluhan nursery (toko tanaman buah dan bunga) yang merangkap penangkaran berbagai bibit seperti keharusan setiap rumah. Ya, banyak sekali. Berbagai bibit tanaman, bahkan pohon yang sudah jadi, siap dijajakan kepada pengunjung. Juga berbagai macam bunga, berbagai tanaman penghijauan, dan berbagai tanaman obat herbal. Tak usah ke hutan atau ke Papua untuk mendapatkan buah matoa, misalnya, cukuplah di Pekalongan.
Di dalam lokasi agrowisata, setelah melewati pintu penjagaan dengan karcis Rp2.000 per orang, pemandangan kebun buah intensif akan menyegarkan pandangan Anda. Sayang, saat Lampung Post berkunjung, Sabtu (18-4), bertepatan dengan musim paceklik buah. Tidak ada musim buah apa pun, kecuali jenis buah yang berbuah sepanjang tahun seperti belimbing, kesemek, dan lainnya. Kami sempat membayangkan, bagaimana segarnya jika saat musim rambutan tiba berbarengan dengan musim durian, kelengkeng, jeruk, dan lain-lain. Pasti, Anda ikut membayangkan, kan?
Meski tidak musim buah, Anda tidak perlu terlalu kecewa jika telanjur sampai di lokasi. Dari sela-sela barisan pohon-pohon durian yang subur di atas rumput hijau yang seperti permadani digelar, terlihat kilau air embung yang cukup jernih. Tidak terlalu luas memang. Posisinya yang memanjang dan dikerumuni pohon-pohon buah yang rimbun, dilingkari oleh jalan aspal, danau ini menjadi incaran para pemancing meskipun peruntukannya bukan untuk itu.
Kami yankinkan bahwa kolam luas itu bukan untuk mancing mania itu karena terdapat dua perahu angsa bertakhta di pinggir danau dengan gazebo sebagai penutupnya. Ya, tempat ini adalah untuk bertamasya anak-anak untuk bermain-main dengan perahu bebek itu mengitari luasnya embung.
Di setiap sisi danau, terdapat tempat-tempat duduk sederhana yang dibuat dari beton. Selain orang memancing, muda-mudi tampak "khidmat" menikmati romanstime masa remaja dengan paduan alam yang sejuk.
Indra, Kepala Agrowisata Pekalongan, mengatakan selain kebun yang berada di sekitar embung, di bagian utara terdapat kebun tiga hektare kelengkeng yang mulai berbuah. Juga satu hektare kebun jeruk yang diperkirakan bulan November 2009 ini bisa dipetik buahnya.
Mengenai buah-buah yang dihasilkan, Indra mengaku ingin mengembalikan masa pamor berkilaunya rambutan petik sendiri pada 1978. Ia berencana mengintensifkan hasil buah yang ada untuk kemudian menyajikan kepada pelancong untuk menikmati spektakulernya memetik buah sendiri dan langsung memakannya di bawah pohon.
"Pengalaman seperti itu memang bukan hal baru bagi orang yang tinggal di desa. Tetapi bagi orang yang tinggal di kota, saya yakin itu adalah pengalaman yang sangat berguna," kata dia.
Kapan "mimpi" itu bisa menjadi kenyataan? Indra mengatakan semua sedang berupaya menuju ke arah sana. "Kalau pas musim buah, pengunjung sudah bisa datang dan membeli dengan memetik sendiri. Tetapi itu belum menjadi konsep yang benar-benar matang. Sebab, untuk buah seperti durian, konsep seperti rambutan pada waktu itu, atau wisata apel di Malang, tidak bisa dilakukan. Mungkin, tahun depan kalau lengkeng dan jeruk kami sudah buah sempurna, kami bisa lakukan."
Untuk pembaca tahu, kebun ini adalah milik provinsi. Asal jangan jadi kebun pribadi para pejabat saja; musim buah, datang, pulang dengan bagasi mobil penuh! Jangan ya, Pak? n SUDARMONO
Sumber:
Lampung Post, Minggu, 19 April 2009