KEDAMAIAN di Desa Wira Bangun di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, tiba-tiba terusik. Sebanyak empat warga meregang nyawa di desa ini menyusul bentrokan warga antarkampung, Kamis (25/11) sore. Ironisnya, pemicunya sangat sepele: pencurian dan sabung ayam.
Tidak hanya itu. Ratusan bahkan ribuan warga di desa yang terletak di perbatasan Lampung-Sumatera Selatan ini kini dihinggapi perasaan mawas diri yang luar biasa. Sebagian warga hingga Minggu (28/11) sore masih enggan kembali ke rumahnya karena takut serangan susulan dari warga kampung seberang.
Puluhan rumah ditinggalkan kosong begitu saja. Tidak sedikit yang pintunya tidak terkunci. Di Dusun Lk I, II, dan III, misalnya, kaca-kaca rumah terlihat pecah. Beling-beling berserakan di depan rumah.
Sepi, tetapi mencekam. Kondisi desa yang berpenduduk sekitar 6.000 jiwa ini mendadak menjadi ”kota mati”. Nyaris tak ada aktivitas penghuni. Hanya segelintir orang dewasa yang tampak lalu-lalang menggunakan motor untuk patroli desa. Beberapa di antara mereka menggenggam pedang, segelintir lagi menyelipkan senjata api atau bedil di pinggangnya.
”Ini mau lihat keluarga dulu di pengungsian. Sampai sekarang masih waswas, takutnya ada serangan susulan,” kata Elang (40), salah seorang warga Desa Wira Bangun yang menggenggam sebilah pedang berukuran panjang 0,7 meter.
Ia pun sempat bercerita soal bentrokan berdarah yang terjadi pada Kamis sore pekan lalu itu. ”Saat itu, saya lagi tertidur, tahu-tahu ada ramai-ramai. Saya keluar rumah dan di depan sudah ada banyak orang. Ada yang bawa golok dan juga locok (senjata rakitan),” ujar Elang.
Tanpa berpikir panjang, dia pun lari meninggalkan massa yang berjumlah ratusan itu. ”Tembak saja, tembak saja,” ujarnya menirukan suara teriakan massa yang mengejarnya pada saat itu. Ia pun sempat bingung tak tahu arah lari sehingga tersasar di ladang tanaman karet dan jati milik warga.
”Gila, mereka membabi buta. Ada orang main bacok saja, tak lagi lihat-lihat,” ujar Rawi (40), warga lainnya yang baru saja tinggal di Wira Bangun dengan nada terbata-bata. Warga asal Lampung Timur yang berprofesi sebagai guru ini mengaku ciut nyali melihat kejadian itu.
Kakek petani tewas
Nyawa seolah tidak berharga, tidak lebih berharga dari seekor ayam sekalipun. Buktinya, dalam kurang dari empat jam, empat nyawa meregang. Salah satu korban adalah Tumijan (60), kakek asal Dusun Lk III, Desa Wira Bangun, yang baru pulang dari ladangnya tewas dibacok kawanan pemuda asal Pematang Panggang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang kalap.
Hal sepele
Berdasarkan keterangan warga dan polisi, pemicu dari bentrokan berdarah yang terparah di Lampung dalam beberapa tahun terakhir ini ternyata sangat sepele, yaitu pencurian ayam jago milik Sulianto, warga Dusun Lk V, Desa Wira Bangun, untuk sabung ayam.
Kisah tragis ini bermula dari tertangkapnya Hasan, warga Kecamatan Pematang Panggang. Kebetulan daerah ini berbatasan langsung dan hanya dipisah sebuah sungai sehingga mobilitas penduduk kedua kampung di perbatasan ini biasa terjadi.
Hasan diduga hendak mencuri ayam jago milik Sulianto dengan modus sabung ayam. Menurut Asep (28), warga Wira Bangun, Hasan diketahui memang pembuat onar, salah satunya sering mencuri dan menyabung ayam. Hasan kemudian terlibat cekcok dengan Sulianto.
Tidak terima dituduh mencuri, Hasan dan temannya lalu membacok Sulianto dan kabur. Mereka lalu dipergoki warga yang marah kemudian menghajarnya hingga tewas. Para pemuda Pematang Panggang tidak terima atas tewasnya putra Kepala Desa Rejo Binangun, Ogan Komering Ilir, ini. Mereka lalu balas dendam dan menyerang warga Wira Bangun.
Sukinah (70), mertua Sulianto, sangat terkejut dengan kabar kematian menantunya. Bahkan, hingga kini, ia tidak mengetahui penyebabnya dibunuh. Dia pun terpaksa mengungsi bersama ratusan warga lainnya di MTs Darul Falah Al-Amin, Desa Wira Bangun.
Bentrokan berdarah kedua kampung ternyata bukan kali pertama terjadi. Pada 2003, sempat terjadi konflik serupa. Tiga warga dari kedua belah pihak tewas. Pemicunya, lagi-lagi akibat main hakim menyusul kasus pencurian seekor kambing.
Hukum seolah tidak berdaya di wilayah ini. Main hakim adalah pilihan akhir warga yang frustrasi terhadap penegakan hukum di sini. ”Percuma dilaporkan. Yang ada kambuh terus dan makin banyak yang berbuat,” tutur Asep tentang alasan warga tak melaporkan ke polisi atas dugaan adanya pencurian.
Polisi diduga ikut tidak berdaya. Pematang Panggang dan daerah perbatasan Ogan Komering Ilir-Mesuji dikenal sebagai ”pusat” perakitan senjata api. Warga setempat juga tidak jarang terlibat dalam rangkaian tindakan kekerasan macam begal dan perampokan.
Selain lemahnya penegakan hukum, warga juga ”frustrasi” oleh kebijakan pembangunan di daerah itu. Fasilitas air bersih dan listrik belum masuk. Jalan pun masih buruk. Pada saat kejadian, baik kepala desa maupun camat tidak hadir di lokasi.
Pada saat sendi-sendiri negara, yaitu penegakan hukum dan pemerintah, tidak hadir, warga pun marah dan kecewa. Main hakim sendiri menjadi puncak kekesalan.
(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Selasa, 30 November 2010
November 30, 2010
Kiprah 25 Tahun FISIP Unila
Oleh Maspril Aries Fisip
SEKITAR 25 tahun lalu, saya mahasiswa baru yang duduk di semester I pada program studi (PS) Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) berani menulis di opini di harian Lampung Post dengan nama Maspril Aries Fisip. Jika ditelusuri dari dokumentasi Lampung Post, saya menjadi mahasiswa dari PS Ilmu Pemerintahan yang pertama menulis di koran ini, baik tulisan opini maupun cerpen. Juga menjadi alumnus FISIP pertama yang bekerja di Lampung Post.
Padahal saat itu semua orang tahu di Unila belum ada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), yang ada baru Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Pertanian dan Fakuktas Nongelar Teknologi (FNGT) atau D-3 Teknik Sipil.
Saat itu FISIP memang belum berdiri di Unila yang ada adalah dua program studi (PS) yang kelak menjadi cikal FISIP, yaitu PS Ilmu Pemerintahan dan PS Sosiologi, berada di bawah Fakultas Hukum. Apa yang saya lakukan sempat dianggap konyol oleh teman-teman dan ada yang dengan sinis mengatakan FISIP tidak mungkin berdiri. Memang sampai angkatan pertama lulus (mereka yang pindah dari Fakultas Hukum) meraih gelar sarjana, sampai angkatan saya, FISIP belum berdiri atau belum terpisah dari Fakultas Hukum.
Imbas dari itu. Entah bercanda atau entah serius, ada yang mengatakan ijazah lulusan Ilmu Pemerintahan dan Sosiologi tidak bisa diterima atau ikut tes menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena ijazahnya tidak ditandatangani Dekan, tetapi oleh ketua program studi dan rektor.
Faktanya memang tidak seperti yang dibayangkan. Banyak alumnus FISIP yang justru berkiprah di birokrasi, mereka diterima bekerja sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota lainnya. Juga ada yang menjadi PNS pada instansi pemerintah pusat. Juga banyak yang berkiprah di dunia swasta dan juga menjadi anggota parlemen (DPRD). Ijazah yang tidak ditandatangani seorang dekan tetap diakui di dunia kerja.
Itu menjadi bagian catatan kecil dari kelahiran FISIP Unila yang kini berusia 25 tahun. Jika ditelusuri perjalanan dan kiprah di Provinsi Lampung, FISIP telah mendorong dan memberi warna terhadap perubahan yang terjadi di daerah ini, khususnya pascareformasi. Di lingkungan kampus Unila, mahasiswa FISIP sebelum berdiri menjadi fakultas sudah memberi dinamika tersendiri terhadap gerakan mahasiswa di dalam kampus.
Salah satunya, dengan lancang (zaman itu tabu mahasiswa unjuk rasa di dalam kampus) tahun 1994, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu Wardiman Djojonegoro. Para mahasiswa melakukan aksi duduk mempertanyakan nasib FISIP yang tak kunjung berdiri.
Tanpa harus menyebut satu per satu dari aktivis mahasiswa dan staf pengajar dari FISIP Unila, banyak tercatat di lembar media massa bahwa mereka telah berkiprah baik dalam gerakan aksi maupun gerakan intelektual memberi warna terhadap dinamika sosial dan politik yang terjadi di Provinsi Lampung. Setelah menjadi alumni, lulus dari FISIP Unila dengan menggenggam gelar sarjana, kiprah alumnus FISIP Unila semakin nyata terlihat. Kiprah mereka ada di birokrasi dengan menyandang berbagai jabatan, juga ada yang berkiprah di parlemen melalui partai politik.
Di media massa jumlah alumnus FISIP Unila yang menekuni dunia jurnalistik justru semakin banyak. Saat awal berdiri, FISIP Unila tidak memiliki program studi atau jurusan ilmu komunikasi, tapi ini bukan hambatan untuk menjadi jurnalis cetak atau elektronik. Tanpa harus ada jurusan tersebut, FISIP Unila banyak melahirkan jurnalis andal.
Di lingkungan kampus Unila, mahasiswa FISIP Unila berminat di bidang jurnalistik banyak yang begabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Pers Mahasiswa yaitu Teknokra. Tahun 1990 untuk pertama kalinya pemimpin redaksi Teknokra berasal dari FISIP. Regenerasi ini terus berlanjut, banyak aktivis pers mahasiswa dari FISIP menjadi pucuk pimpinan surat kabar mahasiswa terbesar di Indonesia.
Kiprah mahasiswa, dosen, dan alumnus FISIP Unila di media massa khususnya Lampung Post adalah kiprah yang sangat terlihat jelas melalui sumbangan pemikiran, ide, dan gagasan. Ini terlihat jelas saat suhu politik di Provinsi Lampung sedang "tinggi" dalam suasana pemilihan kepala daerah khususnya pada pemilihan gubernur Lampung.
Diakui atau tidak, kiprah dan pemikiran mahasiswa, dosen dan alumnus FISIP Unila banyak mewarnai terhadap dinamika sosial dan politik yang terjadi dengan tidak mengecilkan sumbangan pemikiran dari fakultas dan universitas lain. Bukti nyata dari olah pikir tersebut bisa dilihat dari dokumentasi atau buku yang diterbitkan dengan menghimpun pemikiran yang terserak di media massa.
Selama 25 tahun masa perjalanan FISIP Unila bukanlah langkah yang panjang dan jauh, bukan pula langkah yang pendek dan dekat. Cikal bakal FISIP memang sudah berusia 25 tahun, tapi secara legal formal resmi berdiri menjadi fakultas adalah tahun 1995 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 15 November 1995 Nomor: 0333/O/1995 tentang Pembukaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. FISIP terdiri dari dua program studi: Sosiologi dan Ilmu Pemerintahan.
Setelah 10 tahun kemudian baru FISIP resmi menjadi fakultas yang berdiri sendiri, sama dengan fakultas yang sudah lebih dulu berdiri di Unila. Kini cikal bakal itu terus berkembang dengan ditandai lahirnya jurusan baru seperti ilmu komunikasi, administrasi negara, administrasi niaga dan program pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
Usia 25 tahun jika dibandingkan dengan fakultas lainnya di Unila atau dengan FISIP di universitas di Pulau Jawa, FISIP Unila belum apa-apa. Dibandingkan 20 atau 10 tahun lalu, tentu FISIP Unila kini jauh lebih maju.
Ini bukan ingin membandingkan, tetapi jika kita bercermin pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) yang pada 2010 sudah berusia setengah abad atau 50 tahun, FISIP Unila harus banyak berbenah. Fikom Unpad saat ini menjadi kiblatnya ilmu komunikasi di Indonesia dengan tradisi dosen yang sangat produktif menulis buku-buku yang menjadi rujukan mahasiswa ilmu komunikasi di Indonesia.
Jika saat ini belum banyak dosen yang menulis buku, menulis artikel di media massa harus dijadikan tradisi menuangkan gagasan dan pemikiran. Ke depan tradisi seperti ini perlu terus ditumbuhkan dan dijaga. Tak hanya dosen, mahasiswa FISIP pun harus mampu menulis makalah ilmiah dan juga artikel di media massa.
Pada usia 25 tahun FISIP Unila bisa menjadi kiblat jurusan untuk fakultas sejenis yang ada di Provinsi Lampung, diharapkan pada masa datang bisa menjadi kiblat dari FISIP yang ada di Sumatera. Target ini tak muluk adanya dan bisa dicapai jika tradisi positif bisa terus dijaga.
Maspril Aries Fisip, Jurnalis, Alumnus FISIP Unila dan Mantan Pemimpin Redaksi SKM ‘Teknokra’
Sumber: Lampung Post, Selasa, 30 November 2010
SEKITAR 25 tahun lalu, saya mahasiswa baru yang duduk di semester I pada program studi (PS) Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) berani menulis di opini di harian Lampung Post dengan nama Maspril Aries Fisip. Jika ditelusuri dari dokumentasi Lampung Post, saya menjadi mahasiswa dari PS Ilmu Pemerintahan yang pertama menulis di koran ini, baik tulisan opini maupun cerpen. Juga menjadi alumnus FISIP pertama yang bekerja di Lampung Post.
Padahal saat itu semua orang tahu di Unila belum ada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), yang ada baru Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Pertanian dan Fakuktas Nongelar Teknologi (FNGT) atau D-3 Teknik Sipil.
Saat itu FISIP memang belum berdiri di Unila yang ada adalah dua program studi (PS) yang kelak menjadi cikal FISIP, yaitu PS Ilmu Pemerintahan dan PS Sosiologi, berada di bawah Fakultas Hukum. Apa yang saya lakukan sempat dianggap konyol oleh teman-teman dan ada yang dengan sinis mengatakan FISIP tidak mungkin berdiri. Memang sampai angkatan pertama lulus (mereka yang pindah dari Fakultas Hukum) meraih gelar sarjana, sampai angkatan saya, FISIP belum berdiri atau belum terpisah dari Fakultas Hukum.
Imbas dari itu. Entah bercanda atau entah serius, ada yang mengatakan ijazah lulusan Ilmu Pemerintahan dan Sosiologi tidak bisa diterima atau ikut tes menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena ijazahnya tidak ditandatangani Dekan, tetapi oleh ketua program studi dan rektor.
Faktanya memang tidak seperti yang dibayangkan. Banyak alumnus FISIP yang justru berkiprah di birokrasi, mereka diterima bekerja sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota lainnya. Juga ada yang menjadi PNS pada instansi pemerintah pusat. Juga banyak yang berkiprah di dunia swasta dan juga menjadi anggota parlemen (DPRD). Ijazah yang tidak ditandatangani seorang dekan tetap diakui di dunia kerja.
Itu menjadi bagian catatan kecil dari kelahiran FISIP Unila yang kini berusia 25 tahun. Jika ditelusuri perjalanan dan kiprah di Provinsi Lampung, FISIP telah mendorong dan memberi warna terhadap perubahan yang terjadi di daerah ini, khususnya pascareformasi. Di lingkungan kampus Unila, mahasiswa FISIP sebelum berdiri menjadi fakultas sudah memberi dinamika tersendiri terhadap gerakan mahasiswa di dalam kampus.
Salah satunya, dengan lancang (zaman itu tabu mahasiswa unjuk rasa di dalam kampus) tahun 1994, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu Wardiman Djojonegoro. Para mahasiswa melakukan aksi duduk mempertanyakan nasib FISIP yang tak kunjung berdiri.
Tanpa harus menyebut satu per satu dari aktivis mahasiswa dan staf pengajar dari FISIP Unila, banyak tercatat di lembar media massa bahwa mereka telah berkiprah baik dalam gerakan aksi maupun gerakan intelektual memberi warna terhadap dinamika sosial dan politik yang terjadi di Provinsi Lampung. Setelah menjadi alumni, lulus dari FISIP Unila dengan menggenggam gelar sarjana, kiprah alumnus FISIP Unila semakin nyata terlihat. Kiprah mereka ada di birokrasi dengan menyandang berbagai jabatan, juga ada yang berkiprah di parlemen melalui partai politik.
Di media massa jumlah alumnus FISIP Unila yang menekuni dunia jurnalistik justru semakin banyak. Saat awal berdiri, FISIP Unila tidak memiliki program studi atau jurusan ilmu komunikasi, tapi ini bukan hambatan untuk menjadi jurnalis cetak atau elektronik. Tanpa harus ada jurusan tersebut, FISIP Unila banyak melahirkan jurnalis andal.
Di lingkungan kampus Unila, mahasiswa FISIP Unila berminat di bidang jurnalistik banyak yang begabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Pers Mahasiswa yaitu Teknokra. Tahun 1990 untuk pertama kalinya pemimpin redaksi Teknokra berasal dari FISIP. Regenerasi ini terus berlanjut, banyak aktivis pers mahasiswa dari FISIP menjadi pucuk pimpinan surat kabar mahasiswa terbesar di Indonesia.
Kiprah mahasiswa, dosen, dan alumnus FISIP Unila di media massa khususnya Lampung Post adalah kiprah yang sangat terlihat jelas melalui sumbangan pemikiran, ide, dan gagasan. Ini terlihat jelas saat suhu politik di Provinsi Lampung sedang "tinggi" dalam suasana pemilihan kepala daerah khususnya pada pemilihan gubernur Lampung.
Diakui atau tidak, kiprah dan pemikiran mahasiswa, dosen dan alumnus FISIP Unila banyak mewarnai terhadap dinamika sosial dan politik yang terjadi dengan tidak mengecilkan sumbangan pemikiran dari fakultas dan universitas lain. Bukti nyata dari olah pikir tersebut bisa dilihat dari dokumentasi atau buku yang diterbitkan dengan menghimpun pemikiran yang terserak di media massa.
Selama 25 tahun masa perjalanan FISIP Unila bukanlah langkah yang panjang dan jauh, bukan pula langkah yang pendek dan dekat. Cikal bakal FISIP memang sudah berusia 25 tahun, tapi secara legal formal resmi berdiri menjadi fakultas adalah tahun 1995 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 15 November 1995 Nomor: 0333/O/1995 tentang Pembukaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. FISIP terdiri dari dua program studi: Sosiologi dan Ilmu Pemerintahan.
Setelah 10 tahun kemudian baru FISIP resmi menjadi fakultas yang berdiri sendiri, sama dengan fakultas yang sudah lebih dulu berdiri di Unila. Kini cikal bakal itu terus berkembang dengan ditandai lahirnya jurusan baru seperti ilmu komunikasi, administrasi negara, administrasi niaga dan program pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
Usia 25 tahun jika dibandingkan dengan fakultas lainnya di Unila atau dengan FISIP di universitas di Pulau Jawa, FISIP Unila belum apa-apa. Dibandingkan 20 atau 10 tahun lalu, tentu FISIP Unila kini jauh lebih maju.
Ini bukan ingin membandingkan, tetapi jika kita bercermin pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) yang pada 2010 sudah berusia setengah abad atau 50 tahun, FISIP Unila harus banyak berbenah. Fikom Unpad saat ini menjadi kiblatnya ilmu komunikasi di Indonesia dengan tradisi dosen yang sangat produktif menulis buku-buku yang menjadi rujukan mahasiswa ilmu komunikasi di Indonesia.
Jika saat ini belum banyak dosen yang menulis buku, menulis artikel di media massa harus dijadikan tradisi menuangkan gagasan dan pemikiran. Ke depan tradisi seperti ini perlu terus ditumbuhkan dan dijaga. Tak hanya dosen, mahasiswa FISIP pun harus mampu menulis makalah ilmiah dan juga artikel di media massa.
Pada usia 25 tahun FISIP Unila bisa menjadi kiblat jurusan untuk fakultas sejenis yang ada di Provinsi Lampung, diharapkan pada masa datang bisa menjadi kiblat dari FISIP yang ada di Sumatera. Target ini tak muluk adanya dan bisa dicapai jika tradisi positif bisa terus dijaga.
Maspril Aries Fisip, Jurnalis, Alumnus FISIP Unila dan Mantan Pemimpin Redaksi SKM ‘Teknokra’
Sumber: Lampung Post, Selasa, 30 November 2010
November 29, 2010
LAF 2010: 3 Siswa Nurul Falah Juara Lomba Baca Puisi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tiga siswa SMK Nurul Falah, Tanggamus, menjuarai Lomba Baca Puisi Berbahasa Lampung yang dilangsungkan di Taman Budaya Lampung, Sabtu (27-11).
Lomba ini merupakan rangkaian Lampung Art Festival 2010 yang dilangsungkan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Siswa Nurul Falah merebut harapan I atas nama Nur Asyifaturohman, juara II (Hayatun Sofia Naini), dan juara I (Mahaladun).
Sementara itu, harapan II direbut Alexander dari SMKN 5 Bandar Lampung, harapan III Fitto Anggoman (SMA 1 Natar), dan juara III Karina Oktavira (SMPN 4 Bandar Lampung).
Lomba puisi diikuti 31 siswa SMP dan SMA dari Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Tanggamus.
Para peserta membacakan puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi yang terhimpun dalam buku antologi puisi berjudul Mak Dawah Mak Dibingi.
Peserta mendapat hadiah uang tunai, sertifikat, dan piala. Juara I mendapat Rp500 ribu, juara II Rp400 ribu, dan juara III Rp200 ribu.
Juri lomba ini adalah penyair Udo Z. Karzi, Ari Pahala Hutabarat, dan Asaroedin Malik Zulqornain.
Zulqornain menilai siswa SMK Nurul Falah memang bagus dalam melafalkan puisi berbahasa lampung. Bahasa Lampung memiliki aksen khas. Bahasa Lampung tidak menyebut "r" tapi "gh". Ada ciri khas yang membedakan bahasa lampung dengan bahasa lain.
"Mereka (Perwakilan SMK Nurul Falah) sudah benar mengucapkan aksen tersebut," kata Zulqornain.
Menurut Zulqornain, pembacaan puisi adalah sebuah pertunjukan sehingga unsur penampilan, seperti pakaian, menjadi penilaian.
Secara keseluruhan, kata dia, semua peserta sudah membacakan puisi dengan bagus dan indah serta sudah berusaha maksimal. Udo mengatakan penampilan siswa SMK Nurul Falah cukup baik. Pelafalan bahasa Lampung sudah benar. "Mungkin karena mereka sudah biasa berbahasa lampung," ujar Udo.
Namun, ada peserta yang masih salah dalam mengucapkan aksen bahasa lampung. Selain menilai aksen, juri juga menilai vokal, ekspresi, dan penghayatan.
Zulqornain juga mengatakan lomba baca puisi bahasa lampung ini merupakan langkah monumental DKL agar bahasa menjadi tuan di negeri sendiri. Ini menjadi salah satu cara memasyarakatkan dan melestarikan bahasa daerah lampung. "Lomba ini bisa menjadi acuan agar kita enggak sungkan jika bertemu, berbicara bahasa Lampung," kata dia. (MG2/K-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 29 November 2010
Lomba ini merupakan rangkaian Lampung Art Festival 2010 yang dilangsungkan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Siswa Nurul Falah merebut harapan I atas nama Nur Asyifaturohman, juara II (Hayatun Sofia Naini), dan juara I (Mahaladun).
Sementara itu, harapan II direbut Alexander dari SMKN 5 Bandar Lampung, harapan III Fitto Anggoman (SMA 1 Natar), dan juara III Karina Oktavira (SMPN 4 Bandar Lampung).
Lomba puisi diikuti 31 siswa SMP dan SMA dari Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Tanggamus.
Para peserta membacakan puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi yang terhimpun dalam buku antologi puisi berjudul Mak Dawah Mak Dibingi.
Peserta mendapat hadiah uang tunai, sertifikat, dan piala. Juara I mendapat Rp500 ribu, juara II Rp400 ribu, dan juara III Rp200 ribu.
Juri lomba ini adalah penyair Udo Z. Karzi, Ari Pahala Hutabarat, dan Asaroedin Malik Zulqornain.
Zulqornain menilai siswa SMK Nurul Falah memang bagus dalam melafalkan puisi berbahasa lampung. Bahasa Lampung memiliki aksen khas. Bahasa Lampung tidak menyebut "r" tapi "gh". Ada ciri khas yang membedakan bahasa lampung dengan bahasa lain.
"Mereka (Perwakilan SMK Nurul Falah) sudah benar mengucapkan aksen tersebut," kata Zulqornain.
Menurut Zulqornain, pembacaan puisi adalah sebuah pertunjukan sehingga unsur penampilan, seperti pakaian, menjadi penilaian.
Secara keseluruhan, kata dia, semua peserta sudah membacakan puisi dengan bagus dan indah serta sudah berusaha maksimal. Udo mengatakan penampilan siswa SMK Nurul Falah cukup baik. Pelafalan bahasa Lampung sudah benar. "Mungkin karena mereka sudah biasa berbahasa lampung," ujar Udo.
Namun, ada peserta yang masih salah dalam mengucapkan aksen bahasa lampung. Selain menilai aksen, juri juga menilai vokal, ekspresi, dan penghayatan.
Zulqornain juga mengatakan lomba baca puisi bahasa lampung ini merupakan langkah monumental DKL agar bahasa menjadi tuan di negeri sendiri. Ini menjadi salah satu cara memasyarakatkan dan melestarikan bahasa daerah lampung. "Lomba ini bisa menjadi acuan agar kita enggak sungkan jika bertemu, berbicara bahasa Lampung," kata dia. (MG2/K-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 29 November 2010
Profil: Edward Lestarikan Tradisi Kesultanan
KESULTANAN Lampung mungkin saja tidak akan menyandang nama yang cukup dihormati, terutama di kalangan masyarakat adat Nusantara, tanpa peran Sultan Edward Syah Pernong. Berkat kiprah dan usaha keras dari sosok yang berkomitmen tinggi melestarikan beragam seni tradisi dan adat istiadat tersebut, sejumlah warisan tradisi Kesultanan Lampung masa silam yang pernah terancam pudar kini tetap bertahan karena terjaga dengan baik.
Edward Syah Pernong (ONI)
Ketika ditemui di sela-sela Kirab Agung atau pawai budaya yang menandai dibukanya kegiatan Festival Keraton Nusantara VII di kawasan Benteng Kuto Besak, Kota Palembang, Sabtu (27/11), Sultan Edward terlihat sibuk berbincang dengan para hulubalang, prajurit, dan sejumlah punggawa Kesultanan Lampung yang saat itu sedang bersiap-siap untuk memulai Kirab Agung.
”Sebelum giliran kita, saya hendak menyampaikan satu hal tentang pentingnya makna Kirab Agung. Kirab ini jangan hanya dimaknai sebagai prosesi jalan kaki atau pawai, tetapi kirab ini menjadi bukti bahwa Kesultanan Lampung masih berdiri sampai sekarang. Jadi, saya minta jangan mencoreng citra Kesultanan kita sendiri,” ucap pria kelahiran Bandar Lampung, 27 Februari 1958, itu.
Meski terlahir sebagai putra mahkota kesultanan, Edward Syah Pernong, yang kerap disapa Paksi Pernong ini, tidak serta-merta menjadi orang yang tinggi hati. Sebaliknya, dia memiliki banyak kawan yang berasal dari beragam profesi, mulai dari wartawan, guru, pejabat, bahkan anak yatim-piatu.
Melestarikan adat
Ketika memasuki masa persiapan sebagai Sultan, Edward mempelajari beragam hal, mulai dari ilmu pasti, komik fiksi, ilmu sejarah dan budaya, serta ilmu bela diri. Bagi Edward, setelah memasuki era abad ke-20, jabatan sebagai Sultan tak hanya disimbolkan sebagai penguasa adat dan budaya saja, tetapi juga perlu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
”Prinsip ini ternyata ada gunanya. Karena saya selalu menekankan pentingnya membuka diri dan mata bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara, ternyata banyak orang yang bersimpati. Dampaknya, Kesultanan banyak menerima bantuan yang bisa digunakan untuk melestarikan peninggalan masa lalu,” kata Sultan Lampung yang ternyata juga berprofesi sebagai polisi berpangkat Komisaris Besar sekaligus menjabat sebagai Kepala Polresta Semarang ini.
Selama memimpin Kesultanan Lampung, Edward menyelamatkan sejumlah aset penting masa lalu yang nyaris tak terurus, seperti payung agung, lalamak, titi kuya, dan jamban agung. Selain itu, Edward juga merumuskan tatanan kirab pergantian takhta dan melestarikan tarian kuno. (ONI)
Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010
Edward Syah Pernong (ONI)
Ketika ditemui di sela-sela Kirab Agung atau pawai budaya yang menandai dibukanya kegiatan Festival Keraton Nusantara VII di kawasan Benteng Kuto Besak, Kota Palembang, Sabtu (27/11), Sultan Edward terlihat sibuk berbincang dengan para hulubalang, prajurit, dan sejumlah punggawa Kesultanan Lampung yang saat itu sedang bersiap-siap untuk memulai Kirab Agung.
”Sebelum giliran kita, saya hendak menyampaikan satu hal tentang pentingnya makna Kirab Agung. Kirab ini jangan hanya dimaknai sebagai prosesi jalan kaki atau pawai, tetapi kirab ini menjadi bukti bahwa Kesultanan Lampung masih berdiri sampai sekarang. Jadi, saya minta jangan mencoreng citra Kesultanan kita sendiri,” ucap pria kelahiran Bandar Lampung, 27 Februari 1958, itu.
Meski terlahir sebagai putra mahkota kesultanan, Edward Syah Pernong, yang kerap disapa Paksi Pernong ini, tidak serta-merta menjadi orang yang tinggi hati. Sebaliknya, dia memiliki banyak kawan yang berasal dari beragam profesi, mulai dari wartawan, guru, pejabat, bahkan anak yatim-piatu.
Melestarikan adat
Ketika memasuki masa persiapan sebagai Sultan, Edward mempelajari beragam hal, mulai dari ilmu pasti, komik fiksi, ilmu sejarah dan budaya, serta ilmu bela diri. Bagi Edward, setelah memasuki era abad ke-20, jabatan sebagai Sultan tak hanya disimbolkan sebagai penguasa adat dan budaya saja, tetapi juga perlu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
”Prinsip ini ternyata ada gunanya. Karena saya selalu menekankan pentingnya membuka diri dan mata bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara, ternyata banyak orang yang bersimpati. Dampaknya, Kesultanan banyak menerima bantuan yang bisa digunakan untuk melestarikan peninggalan masa lalu,” kata Sultan Lampung yang ternyata juga berprofesi sebagai polisi berpangkat Komisaris Besar sekaligus menjabat sebagai Kepala Polresta Semarang ini.
Selama memimpin Kesultanan Lampung, Edward menyelamatkan sejumlah aset penting masa lalu yang nyaris tak terurus, seperti payung agung, lalamak, titi kuya, dan jamban agung. Selain itu, Edward juga merumuskan tatanan kirab pergantian takhta dan melestarikan tarian kuno. (ONI)
Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010
November 28, 2010
Hal Ihwal Mikroteater
Oleh Alexander G.B.
ZAMAN berjalan tergesa-gesa. Orang-orang semakin sibuk, jadwal hariannya semakin padat, semakin sedikit waktu luang untuk mempelajari dan menikmati pertunjukan teater. Di sisi lain regenerasi dan transformasi pengetahuan dalam diri teater belum berjalan dengan baik. Teater masih dianggap melulu ekspresi, sesuatu yang berat, rumit dan sulit dipelajari.
Di Lampung hanya sedikit kelompok teater yang mampu memproduksi pementasan secara reguler. Tidak semua sekolah dan perguruan tinggi memiliki kelompok teater yang terus-menerus berproses. Meski teater sudah merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Komunitas teater independen yang relatif rajin memproduksi pementasan di lampung tinggal Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin, yang lain timbul tenggelam.
Karena itu teater harus mencari strategi penciptaan dan penghadiran yang lebih sederhana, lebih mudah diterima pelaku dan publiknya. Sehingga teater semakin memasyarakat.
Salah satu jalan keluar yang ditawarkan Komunitas Berkat Yakin Lampung adalah mengembangkan pementasan-pementasan kecil yang durasinya antara 5–20 menit saja. Meskipun pendek, struktur pertunjukan tetap dipertahankan. Tetap ada eksposisi, ada komplikasi-konflik, perkembangan karakter, ada point off attack, ada klimaks, ada resolusi.
Selain mikroteater, dramatik reading bisa menjadi salah satu alternatif juga. Dramatik reading lazim kita temukan sebagai satu tahapan prapementasan. Akan tetapi jika tahap ini benar-benar dikemas dengan baik bukan tidak mungkin bisa menjadi salah satu bentuk penghadiran teater yang menarik. Lengkap dengan karakterisasi tokoh-tokoh yang ada dalam naskah. Hanya tidak diikuti dengan laku dramatik dan setting panggung sebagaimana yang dikehendaki naskah. Teater Garasi Yogyakarta contohnya bahkan telah menggelar Festival Dramatik Reading pada tahun ini.
Strategi penciptaan semacam ini mungkin mendekati sandiwara radio, mendongeng, atau sastra lisan lainnya. Dan saya rasa model ini lebih mudah berkembang karena Lampung punya akar yang kuat untuk konteks sastra lisan. Tetapi dalam konteks pemanggungan, risiko menarik dan tidaknya memang lebih berat dibanding teater maupun mikroteater karena hanya mengandalkan suara aktor-aktor yang membacakan teks tersebut.
***
Jika pada puisi ada hatiku, di prosa ada flash fiction (fiksi mikro), maka di jagat teater ada mikroteater (teater mini). Sebenarnya mikroteater bukan hal asing dalam perkembangan teater dunia. Di Amerika dan Eropa hal ini sudah lazim. Setiap tahun ada perhelatan yang bertajuk Festival Drama Pendek, baik monolog maupun ensemble. Tetapi untuk konteks Lampung, model ini belum berkembang.
Ari Pahala Hutabarat (Direktur Artistik) bersama beberapa aktor KoBER sejak Juni 2010 mencoba cara ini untuk mengatasi hambatan keterbatasan aktor dan metodel pembelajaran aktor-aktornya. Mikro teater adalah pertunjukan yang berdurasi 5 sampai 20 menit. Mikroteater KoBER telah di pentaskan di tiga tempat dan mendapat sambutan dari pelaku-pelaku teater kampus. Selain di Universitas Lampung pada akhir Juli dan Oktober 2010, pada 13 November yang lalu KoBER juga menggelar 2 pementasan mikroteater.
Pada November 2010 hingga Oktober 2011, Komunitas Berkat Yakin Lampung kembali akan menggelar beberapa nomor pertunjukan mikro teater di 10 kabupeten/kota se-Lampung. Pergelaran dengan bentuk teater mini ini merupakan presentasi dari proses keaktoran dan penciptaan teater yang mereka lakukan dan telah berlangsung sejak Juni 2010.
Masing-masing aktor menentukan naskah dan proses penciptaan yang mereka kelola sendiri; dari pemilihan naskah, pengembangan gagasan, struktur/notasi pertunjukan, perwujudan idiom-idiom kreatif sampai strategi dan bentuk presentasi karya di depan publik.
Mikroteater merupakan salah satu strategi penciptaan teater KoBER di masa mendatang dan bisa dikembangkan oleh komunitas lain. Pertunjukan yang pendek tetapi mantap, berkesan, dan dahsyat. Demikian landasan pemikiran mereka ketika menghadirkan wacana mikroteater.
Kerja teater juga makin sederhana tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan dengan durasi panjang dan banyaknya pemain. Aktor secara mandiri mengatur lalu lintas ide dan gagasan kreatifnya sendiri. Selain itu sumber teks juga lebih longgar, bisa mengadaptasi dari lakon monolog yang sudah ada, cerpen, atau bahkan puisi. Hal ini bisa menjadi jalan keluar terbatasnya naskah teater di Indonesia, khususnya di Lampung.
Mikroteater juga memberi peluang pelaku teater untuk lebih detail dalam proses penggarapan. Lebih cepat dalam proses pengulangan. Sehingga proses teater lebih disadari. Pertunjukan yang pendek menuntut aktor benar-benar menyadari dan menakar aktingnya. Tidak mengandalkan naluri atau serampangan. Setiap akting yang ada di panggung benar-benar merupakan ekstrasi dari hasil seleksi bentuk-bentuk ekspresi.
***
Dalam dunia pertunjukan, panjang dan pendek durasi pementasan tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah apakah pementasan itu bisa dinikmati penonton dengan baik? Apakah pementasan itu bagus (berkualitas)? Bagus dalam artian struktur pementasan tergarap dengan baik, akting aktor-aktornya terukur, pesan teks dalam lakon sampai kepada penonton.
Selanjutnya, mikroteater yang bertumpu pada aktor—keaktoran memungkinkan pementasan dilakukan di mana saja. Di ruang yang kecil, yang tidak didukung fasilitas pertunjukan lengkap pun tetap bisa diberlangsungkan.
Mikroteater bisa menjadi strategi penciptaan teater Indonesia masa depan. Karena selain sederhana, murah, tetapi tidak murahan—tetap berwibawa. Mikroteater juga bisa menjadi solusi terbatasnya aktor, terbatasnya naskah lakon, terbatasnya gedung pertunjukan yang representatif, dan terbatasnya dana atau biaya produksi yang biasanya besar. Pendanaan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menghantui kelompok-kelompok teater amatir ketika hendak berproduksi.
Dari sisi pengetahuan, mikroteater karena berdurasi pendek memungkinkan mengulang-ulang adegannya sampai bagus, sampai aktingnya meyakinkan. Aktor memiliki ruang untuk merancang, melatih aktingnya lebih detail, lebih presisif, lebih terukur, dan lebih halus. Sehingga ketika dipentaskan penonton mendapat suguhan yang sudah terolah dengan baik.
Karena durasi yang pendek, mikroteater menjadi pilihan yang seksi bagi pelaku teater (aktor) untuk membuat pertunjukan yang lebih terencana, tertata, terolah, presisif, dan lebih keren. Isu yang dilontarkan Ari Pahala Hutabarat berangkat dari perlunya, di tengah kehidupan teater di Lampung yang fluktuatif. Seorang aktor membangun kemandiriannya, sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya sistem pengetahuan dalam proses berteater. Seorang aktor mesti pintar, harus menyadari setiap akting yang dilakukan.
Mikroteater memberi tantangan bagi para aktor bagaimana dengan ruang yang terbatas (durasi 5—20 menit) tetap mampu menampilkan pertunjukan yang menawan. Pementasan yang pendek menuntut setiap pelaku menyusun sistem pengetahuan yang telah didapat dalam serangkaian proses dan peristiwa teater yang dilakoninya. Dengan kata lain mengambil pengetahuan dari pengalaman. Saat menguasai pengetahuan (keaktoran tertentu), seorang aktor telah membangun kemandiriannya.
Nah, dengan munculnya mikroteater, kelompok-kelompok teater tidak perlu kehabisan ide untuk membuat sebuah pementasan. Banyak persoalan yang bisa dituntaskan dengan mikroteater.
Alexander G.B., anggota Komunitas Berkat Yakin, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010
ZAMAN berjalan tergesa-gesa. Orang-orang semakin sibuk, jadwal hariannya semakin padat, semakin sedikit waktu luang untuk mempelajari dan menikmati pertunjukan teater. Di sisi lain regenerasi dan transformasi pengetahuan dalam diri teater belum berjalan dengan baik. Teater masih dianggap melulu ekspresi, sesuatu yang berat, rumit dan sulit dipelajari.
Di Lampung hanya sedikit kelompok teater yang mampu memproduksi pementasan secara reguler. Tidak semua sekolah dan perguruan tinggi memiliki kelompok teater yang terus-menerus berproses. Meski teater sudah merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Komunitas teater independen yang relatif rajin memproduksi pementasan di lampung tinggal Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin, yang lain timbul tenggelam.
Karena itu teater harus mencari strategi penciptaan dan penghadiran yang lebih sederhana, lebih mudah diterima pelaku dan publiknya. Sehingga teater semakin memasyarakat.
Salah satu jalan keluar yang ditawarkan Komunitas Berkat Yakin Lampung adalah mengembangkan pementasan-pementasan kecil yang durasinya antara 5–20 menit saja. Meskipun pendek, struktur pertunjukan tetap dipertahankan. Tetap ada eksposisi, ada komplikasi-konflik, perkembangan karakter, ada point off attack, ada klimaks, ada resolusi.
Selain mikroteater, dramatik reading bisa menjadi salah satu alternatif juga. Dramatik reading lazim kita temukan sebagai satu tahapan prapementasan. Akan tetapi jika tahap ini benar-benar dikemas dengan baik bukan tidak mungkin bisa menjadi salah satu bentuk penghadiran teater yang menarik. Lengkap dengan karakterisasi tokoh-tokoh yang ada dalam naskah. Hanya tidak diikuti dengan laku dramatik dan setting panggung sebagaimana yang dikehendaki naskah. Teater Garasi Yogyakarta contohnya bahkan telah menggelar Festival Dramatik Reading pada tahun ini.
Strategi penciptaan semacam ini mungkin mendekati sandiwara radio, mendongeng, atau sastra lisan lainnya. Dan saya rasa model ini lebih mudah berkembang karena Lampung punya akar yang kuat untuk konteks sastra lisan. Tetapi dalam konteks pemanggungan, risiko menarik dan tidaknya memang lebih berat dibanding teater maupun mikroteater karena hanya mengandalkan suara aktor-aktor yang membacakan teks tersebut.
***
Jika pada puisi ada hatiku, di prosa ada flash fiction (fiksi mikro), maka di jagat teater ada mikroteater (teater mini). Sebenarnya mikroteater bukan hal asing dalam perkembangan teater dunia. Di Amerika dan Eropa hal ini sudah lazim. Setiap tahun ada perhelatan yang bertajuk Festival Drama Pendek, baik monolog maupun ensemble. Tetapi untuk konteks Lampung, model ini belum berkembang.
Ari Pahala Hutabarat (Direktur Artistik) bersama beberapa aktor KoBER sejak Juni 2010 mencoba cara ini untuk mengatasi hambatan keterbatasan aktor dan metodel pembelajaran aktor-aktornya. Mikro teater adalah pertunjukan yang berdurasi 5 sampai 20 menit. Mikroteater KoBER telah di pentaskan di tiga tempat dan mendapat sambutan dari pelaku-pelaku teater kampus. Selain di Universitas Lampung pada akhir Juli dan Oktober 2010, pada 13 November yang lalu KoBER juga menggelar 2 pementasan mikroteater.
Pada November 2010 hingga Oktober 2011, Komunitas Berkat Yakin Lampung kembali akan menggelar beberapa nomor pertunjukan mikro teater di 10 kabupeten/kota se-Lampung. Pergelaran dengan bentuk teater mini ini merupakan presentasi dari proses keaktoran dan penciptaan teater yang mereka lakukan dan telah berlangsung sejak Juni 2010.
Masing-masing aktor menentukan naskah dan proses penciptaan yang mereka kelola sendiri; dari pemilihan naskah, pengembangan gagasan, struktur/notasi pertunjukan, perwujudan idiom-idiom kreatif sampai strategi dan bentuk presentasi karya di depan publik.
Mikroteater merupakan salah satu strategi penciptaan teater KoBER di masa mendatang dan bisa dikembangkan oleh komunitas lain. Pertunjukan yang pendek tetapi mantap, berkesan, dan dahsyat. Demikian landasan pemikiran mereka ketika menghadirkan wacana mikroteater.
Kerja teater juga makin sederhana tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan dengan durasi panjang dan banyaknya pemain. Aktor secara mandiri mengatur lalu lintas ide dan gagasan kreatifnya sendiri. Selain itu sumber teks juga lebih longgar, bisa mengadaptasi dari lakon monolog yang sudah ada, cerpen, atau bahkan puisi. Hal ini bisa menjadi jalan keluar terbatasnya naskah teater di Indonesia, khususnya di Lampung.
Mikroteater juga memberi peluang pelaku teater untuk lebih detail dalam proses penggarapan. Lebih cepat dalam proses pengulangan. Sehingga proses teater lebih disadari. Pertunjukan yang pendek menuntut aktor benar-benar menyadari dan menakar aktingnya. Tidak mengandalkan naluri atau serampangan. Setiap akting yang ada di panggung benar-benar merupakan ekstrasi dari hasil seleksi bentuk-bentuk ekspresi.
***
Dalam dunia pertunjukan, panjang dan pendek durasi pementasan tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah apakah pementasan itu bisa dinikmati penonton dengan baik? Apakah pementasan itu bagus (berkualitas)? Bagus dalam artian struktur pementasan tergarap dengan baik, akting aktor-aktornya terukur, pesan teks dalam lakon sampai kepada penonton.
Selanjutnya, mikroteater yang bertumpu pada aktor—keaktoran memungkinkan pementasan dilakukan di mana saja. Di ruang yang kecil, yang tidak didukung fasilitas pertunjukan lengkap pun tetap bisa diberlangsungkan.
Mikroteater bisa menjadi strategi penciptaan teater Indonesia masa depan. Karena selain sederhana, murah, tetapi tidak murahan—tetap berwibawa. Mikroteater juga bisa menjadi solusi terbatasnya aktor, terbatasnya naskah lakon, terbatasnya gedung pertunjukan yang representatif, dan terbatasnya dana atau biaya produksi yang biasanya besar. Pendanaan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menghantui kelompok-kelompok teater amatir ketika hendak berproduksi.
Dari sisi pengetahuan, mikroteater karena berdurasi pendek memungkinkan mengulang-ulang adegannya sampai bagus, sampai aktingnya meyakinkan. Aktor memiliki ruang untuk merancang, melatih aktingnya lebih detail, lebih presisif, lebih terukur, dan lebih halus. Sehingga ketika dipentaskan penonton mendapat suguhan yang sudah terolah dengan baik.
Karena durasi yang pendek, mikroteater menjadi pilihan yang seksi bagi pelaku teater (aktor) untuk membuat pertunjukan yang lebih terencana, tertata, terolah, presisif, dan lebih keren. Isu yang dilontarkan Ari Pahala Hutabarat berangkat dari perlunya, di tengah kehidupan teater di Lampung yang fluktuatif. Seorang aktor membangun kemandiriannya, sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya sistem pengetahuan dalam proses berteater. Seorang aktor mesti pintar, harus menyadari setiap akting yang dilakukan.
Mikroteater memberi tantangan bagi para aktor bagaimana dengan ruang yang terbatas (durasi 5—20 menit) tetap mampu menampilkan pertunjukan yang menawan. Pementasan yang pendek menuntut setiap pelaku menyusun sistem pengetahuan yang telah didapat dalam serangkaian proses dan peristiwa teater yang dilakoninya. Dengan kata lain mengambil pengetahuan dari pengalaman. Saat menguasai pengetahuan (keaktoran tertentu), seorang aktor telah membangun kemandiriannya.
Nah, dengan munculnya mikroteater, kelompok-kelompok teater tidak perlu kehabisan ide untuk membuat sebuah pementasan. Banyak persoalan yang bisa dituntaskan dengan mikroteater.
Alexander G.B., anggota Komunitas Berkat Yakin, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010
[Perjalanan] Hikmatnya Gelar ‘Adok’ Marga Punduh
PUNDUHPIDADA—Prosesi pemberian gelar adat (adok) Marga Punduh merupakan upacara adat yang sarat makna. Upacara ini menjadi event menarik karena sudah sangat jarang dilakukan.
Suasana meriah dan hikmat menyelimuti suasana di Desa Punduhpidada, Pesawaran, Sabtu (21-11). Panji-panji kebesaran adat Marga Punduh, satu klan Lampung Pesisir Saibatin, yang didominasi warna merah dan emas didirikan. Tetabuhan cetik berdentang mengudara dan mendominasi suara-suara yang terdengar.
Lalu, syair-syair kearifan tua dikumandangkan oleh tetua adat yang mengerti dan memegang teguh adat dengan rima berulang dan nada puitis.
Kham jama-jama dukung kalau ya tetap jaya, sifatni ya panulung, jalma khedik jak agama. Minak Inton dang bingung, tutukh goh Khadin Jaya, ya jalma ne panghubung khek monekh bijaksana. (Kita sama mendukung kejayaannya, sifatnya yang penolong dan dekat dengan agama. Minak Intan jangan bingung, ikuti saja Raden Jaya, dia manusia penghubung yang bijaksana.)
Syair itu berkumandang saat dua orang terpilih, yakni Tommy Muhamad Nur dan istrinya, Rusnayati, dianugerahi gelar adat. Tommy mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung, sedangkan Rusnayati mendapat gelar Minak Intan Berlian. Pemberian gelar ini amat langka sebab Marga Punduh baru dua kali mengangkat gelar ini.
Marga Punduh merupakan salah satu marga tertua di Lampung. Keberadaannya ditandai dengan kehadiran Saibatin Purbaningrat dari Kerajaan Skalabrak pada 1420, yang tinggal dan menempati daerah pesisir di Pesawaran ini.
Meskipun kini Marga Punduh lebur bersama dua marga lainnya—Marga Pedada dan Marga Bawang—yang membentuk sebuah daerah administratif Kecamatan Punduhpidada melalui proses musyawarah para pemuka adat tiga marga—akhirnya menyimpulkan pemberian nama daerah dengan mengambil nama dua marga.
Kedua marga yakni Marga Punduh dan Marga Pedada, yang disatukan menjadi nama daerah Kecamatan Punduhpedada dengan ibu kota di wilayah Marga Bawang.
Eksistensi marga ini tetap lekat, keturunan marga tetap tunduk pada derajat gelar. Marga ini dipimpin oleh Saibatin secara turun-temurun dan kini tampuk pimpinan kemargaan Punduh diwarisi oleh Saibatin Nurdiansyah.
Menurut Raden Dulu, salah satu pemuka adat Marga Punduh, hingga kini warisan kemargaan masih tetap ada. Selain adat istiadat khas Lampung pesisir, juga ada pedang perak. Pedang itu terbuat dari perak milik Saibatin Purbaningrat, sebagai kepala marga pertama.
Beberapa warisan marga, seperti baju zirah dan beberapa tulisan beraksara Lampung, tak bisa diselamatkan karena dimakan usia. "Kami tidak bisa merawatnya karena lapuk dimakan rayap. Yang tersisa hanya pedang perak saja," kata Raden Dulu.
Raden Dulu juga menyebut Marga Punduh melingkupi tujuh desa dengan Desa Maja sebagai desa adat tertua. Beberapa desa lainnya yang sempat menjadi bagian dari Marga Punduh lambat laun mulai kehilangan tanda-tanda kemargaannya karena terjadinya pembauran budaya dengan suku lain.
Sepintas tak ada yang membedakan marga ini dengan marga-marga lainnya, khususnya bagi masyarakat Lampung pesisir. Yang membedakan justru proses pemberian gelar adat. Marga ini terbilang ketat dalam memberikan gelar adat, apalagi untuk orang dari luar kemargaannya.
"Apa pun kesiapannya, jika pemuka-pemuka adat tidak menghendaki, pemberian gelar adat tak akan pernah ada."
Karena itu, sepanjang keberadaannya, Marga Punduh baru dua kali melakukan prosesi pemberian gelar adat.
Satu gelar diberikan kepada warga dari luar Marga Punduh. Pemberian gelar ini pun bukan sembarangan karena gelar itu diberikan atas jasa warga yang dinilai telah memajukan dunia pendidikan, khususnya di tujuh desa yang menjadi bagian dari Marga Punduh, dengan ditandai keberadaan SMA Negeri 1 Punduhpedada di Desa Maja.
"Ini gelar penghormatan," ujar Raden Dulu.
Sementara itu, gelar kedua diberikan kepada Tommy Muhammad Nur, pengusaha yang masih memiliki darah Marga Punduh dari nenek moyangnya, yang juga dianggap berjasa dalam penyebaran Islam di Punduh, yakni Syekh Abdul Fatah Naqsa'bandiah dan Syekh Abdul Rauf Naqsa'bandiah.
"Ini (pemberian gelar, red) sebenarnya gelar turun-temurun karena Tommy sudah dianggap sebagai bagian dari Marga Punduh,” kata Raden Dulu.
Demikian halnya Tommy Muhammad Nur yang menganggap dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat Punduh. "Ini kampung saya dan bagian dari diri saya walaupun pemberian gelar ini saya rasakan sangat berat," kata Tommy Muhammad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya Di Lampung.
Perlambangan gelar ini, menurut Raden Dulu, menjadi kebanggaan bagi masyarakat Marga Punduh atas keberhasilan Tommy Muhammad Nur dalam mengangkat citra Marga Punduh di luar daerahnya, khususnya di bidang usaha.
"Mudah-mudahan ia tetap berjaya di Lampung ini," ujar Raden Dulu. (MEZA SWASTIKA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010
Suasana meriah dan hikmat menyelimuti suasana di Desa Punduhpidada, Pesawaran, Sabtu (21-11). Panji-panji kebesaran adat Marga Punduh, satu klan Lampung Pesisir Saibatin, yang didominasi warna merah dan emas didirikan. Tetabuhan cetik berdentang mengudara dan mendominasi suara-suara yang terdengar.
Lalu, syair-syair kearifan tua dikumandangkan oleh tetua adat yang mengerti dan memegang teguh adat dengan rima berulang dan nada puitis.
Kham jama-jama dukung kalau ya tetap jaya, sifatni ya panulung, jalma khedik jak agama. Minak Inton dang bingung, tutukh goh Khadin Jaya, ya jalma ne panghubung khek monekh bijaksana. (Kita sama mendukung kejayaannya, sifatnya yang penolong dan dekat dengan agama. Minak Intan jangan bingung, ikuti saja Raden Jaya, dia manusia penghubung yang bijaksana.)
Syair itu berkumandang saat dua orang terpilih, yakni Tommy Muhamad Nur dan istrinya, Rusnayati, dianugerahi gelar adat. Tommy mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung, sedangkan Rusnayati mendapat gelar Minak Intan Berlian. Pemberian gelar ini amat langka sebab Marga Punduh baru dua kali mengangkat gelar ini.
Marga Punduh merupakan salah satu marga tertua di Lampung. Keberadaannya ditandai dengan kehadiran Saibatin Purbaningrat dari Kerajaan Skalabrak pada 1420, yang tinggal dan menempati daerah pesisir di Pesawaran ini.
Meskipun kini Marga Punduh lebur bersama dua marga lainnya—Marga Pedada dan Marga Bawang—yang membentuk sebuah daerah administratif Kecamatan Punduhpidada melalui proses musyawarah para pemuka adat tiga marga—akhirnya menyimpulkan pemberian nama daerah dengan mengambil nama dua marga.
Kedua marga yakni Marga Punduh dan Marga Pedada, yang disatukan menjadi nama daerah Kecamatan Punduhpedada dengan ibu kota di wilayah Marga Bawang.
Eksistensi marga ini tetap lekat, keturunan marga tetap tunduk pada derajat gelar. Marga ini dipimpin oleh Saibatin secara turun-temurun dan kini tampuk pimpinan kemargaan Punduh diwarisi oleh Saibatin Nurdiansyah.
Menurut Raden Dulu, salah satu pemuka adat Marga Punduh, hingga kini warisan kemargaan masih tetap ada. Selain adat istiadat khas Lampung pesisir, juga ada pedang perak. Pedang itu terbuat dari perak milik Saibatin Purbaningrat, sebagai kepala marga pertama.
Beberapa warisan marga, seperti baju zirah dan beberapa tulisan beraksara Lampung, tak bisa diselamatkan karena dimakan usia. "Kami tidak bisa merawatnya karena lapuk dimakan rayap. Yang tersisa hanya pedang perak saja," kata Raden Dulu.
Raden Dulu juga menyebut Marga Punduh melingkupi tujuh desa dengan Desa Maja sebagai desa adat tertua. Beberapa desa lainnya yang sempat menjadi bagian dari Marga Punduh lambat laun mulai kehilangan tanda-tanda kemargaannya karena terjadinya pembauran budaya dengan suku lain.
Sepintas tak ada yang membedakan marga ini dengan marga-marga lainnya, khususnya bagi masyarakat Lampung pesisir. Yang membedakan justru proses pemberian gelar adat. Marga ini terbilang ketat dalam memberikan gelar adat, apalagi untuk orang dari luar kemargaannya.
"Apa pun kesiapannya, jika pemuka-pemuka adat tidak menghendaki, pemberian gelar adat tak akan pernah ada."
Karena itu, sepanjang keberadaannya, Marga Punduh baru dua kali melakukan prosesi pemberian gelar adat.
Satu gelar diberikan kepada warga dari luar Marga Punduh. Pemberian gelar ini pun bukan sembarangan karena gelar itu diberikan atas jasa warga yang dinilai telah memajukan dunia pendidikan, khususnya di tujuh desa yang menjadi bagian dari Marga Punduh, dengan ditandai keberadaan SMA Negeri 1 Punduhpedada di Desa Maja.
"Ini gelar penghormatan," ujar Raden Dulu.
Sementara itu, gelar kedua diberikan kepada Tommy Muhammad Nur, pengusaha yang masih memiliki darah Marga Punduh dari nenek moyangnya, yang juga dianggap berjasa dalam penyebaran Islam di Punduh, yakni Syekh Abdul Fatah Naqsa'bandiah dan Syekh Abdul Rauf Naqsa'bandiah.
"Ini (pemberian gelar, red) sebenarnya gelar turun-temurun karena Tommy sudah dianggap sebagai bagian dari Marga Punduh,” kata Raden Dulu.
Demikian halnya Tommy Muhammad Nur yang menganggap dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat Punduh. "Ini kampung saya dan bagian dari diri saya walaupun pemberian gelar ini saya rasakan sangat berat," kata Tommy Muhammad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya Di Lampung.
Perlambangan gelar ini, menurut Raden Dulu, menjadi kebanggaan bagi masyarakat Marga Punduh atas keberhasilan Tommy Muhammad Nur dalam mengangkat citra Marga Punduh di luar daerahnya, khususnya di bidang usaha.
"Mudah-mudahan ia tetap berjaya di Lampung ini," ujar Raden Dulu. (MEZA SWASTIKA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010
November 27, 2010
LAF 2010: Baca Puisi Bahasa Lampung Digelar
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lomba baca puisi bahasa Lampung karya-karya Udo Z. Karzi dalam bukunya, Mak Dawoh Mak Dibingi, digelar di Taman Budaya Lampung hari ini (27-11). Kegiatan ini merupakan serangkaian kegiatan Lampung Arts Festival (LAF) yang ditaja Dewan Kesenian Lampung (DKL).
Koordinator lomba Arman A.Z., Jumat (26-11), mengatakan hingga sore, peserta yang sudah mendaftar sebanyak 26 orang. Para peserta itu dari pelajar SMA se-Provinsi Lampung. "Tidak menutup kemungkinan hingga esok pagi (hari ini, red) peserta akan bertambah," kata dia.
Arman menjelaskan dipilihnya puisi-puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi merupakan bentuk kepedulian DKL untuk memasyarakatkan puisi dalam bahasa Lampung. "Lomba ini diharapkan dapat memberi stimulan bagi para pelajar untuk mempelajari bahasa dan sastra Lampung," kata dia.
Sementara itu, Ketua Panitia LAF Syaiful Irba Tanpaka, mewakili Ketua Umum DKL Sjafariah Widianti, pada rangkaian LAF ini telah dipentaskan berbagai kesenian, baik musik, tari, sastra, dan cangget bakha. "Pentas seni sudah dilaksanakan di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung pada Kamis (25-11)," ujarnya.
Pentas seni menampilkan seni tari dari Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, Lampung Utara, dan Kota Bandar Lampung. Selain itu, ada juga pembacaan cerpen pemenang Krakatau Award 2010, Benny Arnas, dari Lubuklinggau, serta cangget bakha.
"Kami juga mengundang penyair Fitri Yani untuk membacakan puisi pada malam pembukaan di Mahan Agung pada Rabu (24-11) malam dan tari dari Lampung Utara," ujar Syaiful.
Sekretaris Umum DKL Hary Jayaningrat berharap kesuksesan LAF 2010 ini bisa dijadikan sandaran untuk kegiatan serupa pada tahun-tahun mendatang.
Dia juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya kegiatan ini, seperti pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Lampung, Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia, Adolof Ayatullah Indrajaya, Nyomar Arsana, media cetak, elektronik, sanggar seni, serta seniman dan budayawan Lampung.
"Karena bantuan itu semua, LAF ini bisa terlaksana dengan sukses," kata Hary. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 November 2010
Koordinator lomba Arman A.Z., Jumat (26-11), mengatakan hingga sore, peserta yang sudah mendaftar sebanyak 26 orang. Para peserta itu dari pelajar SMA se-Provinsi Lampung. "Tidak menutup kemungkinan hingga esok pagi (hari ini, red) peserta akan bertambah," kata dia.
Arman menjelaskan dipilihnya puisi-puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi merupakan bentuk kepedulian DKL untuk memasyarakatkan puisi dalam bahasa Lampung. "Lomba ini diharapkan dapat memberi stimulan bagi para pelajar untuk mempelajari bahasa dan sastra Lampung," kata dia.
Sementara itu, Ketua Panitia LAF Syaiful Irba Tanpaka, mewakili Ketua Umum DKL Sjafariah Widianti, pada rangkaian LAF ini telah dipentaskan berbagai kesenian, baik musik, tari, sastra, dan cangget bakha. "Pentas seni sudah dilaksanakan di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung pada Kamis (25-11)," ujarnya.
Pentas seni menampilkan seni tari dari Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, Lampung Utara, dan Kota Bandar Lampung. Selain itu, ada juga pembacaan cerpen pemenang Krakatau Award 2010, Benny Arnas, dari Lubuklinggau, serta cangget bakha.
"Kami juga mengundang penyair Fitri Yani untuk membacakan puisi pada malam pembukaan di Mahan Agung pada Rabu (24-11) malam dan tari dari Lampung Utara," ujar Syaiful.
Sekretaris Umum DKL Hary Jayaningrat berharap kesuksesan LAF 2010 ini bisa dijadikan sandaran untuk kegiatan serupa pada tahun-tahun mendatang.
Dia juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya kegiatan ini, seperti pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Lampung, Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia, Adolof Ayatullah Indrajaya, Nyomar Arsana, media cetak, elektronik, sanggar seni, serta seniman dan budayawan Lampung.
"Karena bantuan itu semua, LAF ini bisa terlaksana dengan sukses," kata Hary. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 November 2010
Teater: Lampung Minim Pementasan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung sangat minim pementasan dan apresiasi terhadap teater dan sastra. Bahkan, di Bandar Lampung, pementasan teater masih berpusat di Taman Budaya Lampung.
Bertitik tolak dari hal itu, Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung bekerja sama dengan Teater Mentari Universitas Muhammadyah (UM) Metro, akan menyelenggarakan lokakarya keaktoran dan pementasan mikroteater di UM Metro, Minggu (28-11).
Penanggung jawab lokakarya Iskandar G.B. mengatakan lokakarya dan pementasan mikro teater tersebut bisa menjadi salah satu solusi dari minimnya pertunjukan teater di Lampung.
"Program serupa telah dilakukan Teater Koma, beberapa tahun lalu, dengan Seni Masuk Sekolah," kata dia.
Selain lokakarya, juga digelar dua pementasan teater mini. Kiki Rahmatika membawakan lakon Bara di Hamparan Salju karya Oesman Saadi, sedangkan Eka Yulianti membawakan lakon Tua karya Putu Wijaya.
Kober, kata dia, akan mengadakan lokakarya dan pementasan teater mini itu di 50 titik dalam rentang 2010—2011, "Untuk sosialisi kami menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang bersedia menjadi tuan rumah. Kami mempersiapkan materi, dalam hal ini beberapa nomor pementasan dalam format mikroteater, dan materi workshop," kata dia.
Menurut Iskandar, landasan pemikiran teater mini sangat sederhana. Jika pada puisi ada haiku, kata dia, dan di prosa ada flash fiction (fiksi mikro), maka di jagat teater ada mikroteater (teater mini).
"Mikroteater ini merupakan model atau gaya pertunjukan yang mulai dikembangkan di Kober sejak Juni 2010. Panjang durasinya antara 5 sampai 20 menit," kata dia.
Mikroteater, kata Iskandar, menuntut lebih matangnya perencanaan, detail, terukur, presisif, akting, dan lain sebagainya. Sisi pengetahuan dari proses mikroteater, menurut Iskandar, lebih mudah dilacak karena durasi yang pendek, maka perencanaan pengulangan akan lebih mudah dilakukan.
Koorditor Bidang Pementasan Kober Ahmad Tohamuddin mengatakan mikroteater membuat kerja teater semakin sederhana dan tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan dengan durasi panjang dan banyaknya pemain. Aktor secara mandiri mengatur lalu lintas ide dan gagasan kreatifnya sendiri. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 November 2010
Bertitik tolak dari hal itu, Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung bekerja sama dengan Teater Mentari Universitas Muhammadyah (UM) Metro, akan menyelenggarakan lokakarya keaktoran dan pementasan mikroteater di UM Metro, Minggu (28-11).
Penanggung jawab lokakarya Iskandar G.B. mengatakan lokakarya dan pementasan mikro teater tersebut bisa menjadi salah satu solusi dari minimnya pertunjukan teater di Lampung.
"Program serupa telah dilakukan Teater Koma, beberapa tahun lalu, dengan Seni Masuk Sekolah," kata dia.
Selain lokakarya, juga digelar dua pementasan teater mini. Kiki Rahmatika membawakan lakon Bara di Hamparan Salju karya Oesman Saadi, sedangkan Eka Yulianti membawakan lakon Tua karya Putu Wijaya.
Kober, kata dia, akan mengadakan lokakarya dan pementasan teater mini itu di 50 titik dalam rentang 2010—2011, "Untuk sosialisi kami menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang bersedia menjadi tuan rumah. Kami mempersiapkan materi, dalam hal ini beberapa nomor pementasan dalam format mikroteater, dan materi workshop," kata dia.
Menurut Iskandar, landasan pemikiran teater mini sangat sederhana. Jika pada puisi ada haiku, kata dia, dan di prosa ada flash fiction (fiksi mikro), maka di jagat teater ada mikroteater (teater mini).
"Mikroteater ini merupakan model atau gaya pertunjukan yang mulai dikembangkan di Kober sejak Juni 2010. Panjang durasinya antara 5 sampai 20 menit," kata dia.
Mikroteater, kata Iskandar, menuntut lebih matangnya perencanaan, detail, terukur, presisif, akting, dan lain sebagainya. Sisi pengetahuan dari proses mikroteater, menurut Iskandar, lebih mudah dilacak karena durasi yang pendek, maka perencanaan pengulangan akan lebih mudah dilakukan.
Koorditor Bidang Pementasan Kober Ahmad Tohamuddin mengatakan mikroteater membuat kerja teater semakin sederhana dan tidak perlu dibayang-bayangi ketakutan dengan durasi panjang dan banyaknya pemain. Aktor secara mandiri mengatur lalu lintas ide dan gagasan kreatifnya sendiri. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 November 2010
November 26, 2010
Lampung Barat Ikut Festival Keraton Nusantara Ke VII
Liwa, Lampung (ANTARA News) - Kabupaten Lampung Barat mengikuti event tahunan Festival Keraton Nusantara ke VII di Palembang Sumatera Selatan.
"Setiap tahun Lampung Barat mengikuti event tahunan ini, sebab Lampung Barat sendiri memiliki kerajaan dan terdapat raja, sehingga setiap tahunnya daerah ini selalu mengikuti event besar tersebut," kata Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Lampung Barat, Sudirman MM di Liwa, Jumat.
Dia menjelaskan, Lampung Barat telah menyiapkan personil untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Menurut dia, event tahunan ini sebagai wadah yang tepat untuk mengenalkan budaya asli Lampung tertutama Lampung Barat.
"Masyarakat di daerah ini masih memegang teguh tatanan adat yang di titahkan oleh raja, sehingga dengan kearifan lokal ini, kebudayaan nenek moyang dapat terus lestari," kata dia.
Kemudian lanjut dia, Lampung Barat kaya akan potensi budaya unik, sehingga menjadi modal sebagai tempat tujuan wisata di Provinsi Lampung.
Festival Keraton Nasional Ke VII dilaksanakan di Palembang Sumatera Selatan pada tanggal 26 hingga 29 november, di Benteng kuto Besak.
Acara yang diselengarakan itu bedasarakan musawarah dari raja raja, dan menetapkan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam sebagai tuan rumah penyelenggara event tahunan tersebut.
Acara yang akan diisi dengan kirab agung, malam seni, pemberian penghargaan adat, musyawarah besak raja serta sultan, dan pameran benda pusaka.
Lampung Barat ikut memeriahkan event tahunan ini dengan mengerahkan sekitar 320 orang personil, dimana 75 persen adalah perangkat keagungan kerajaan yang akan ikut dalam Kirab Agung.
Dalam acara "Kirab Agung" tersebut Lampung Barat akan mengambil tema "Lapahan Sai Batin".
Selain itu dalam malam seni, Lampung Barat ikut memeriahkan juga dengan penampilan tari tradisional dengan menampilkan tari "Payan Duakha" dan "Netok Adok" yang akan di tampilkan sekitar 26 penari, yang berasal dari sangar tari Setiwang, dibawah naungan Pemkab Lampung Barat.
Event nasional ini menjadi jalan untuk Lampung Barat mengenalkan lebih luas lagi kebudayaan asli dan keunikan masyarakat setempat, yang menjadi daya tarik sendiri bagi Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata.
Bedasarkan sejarah, kerajaan Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula.
Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat, pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit dan Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.
Kultur budaya sangat melekat pada masyarakat ada di Lampung Barat, sehingga dengan kearifan lokal tersebut, kebudayaan lampung senantiasa lestari, meskipun harus bersaing dengan budaya barat.
"Saya berharap pelaksanaan event tersebut dapat berjalan dengan lancar dan aman, dan berharap dari keikutsertaan Lampung Barat, dapat membawa dampak pada peningkatan kunjungan wisatawan di Lampung Barat," kata Sudirman lagi.
Sumber: Antara, Jumat, 26 November 2010
"Setiap tahun Lampung Barat mengikuti event tahunan ini, sebab Lampung Barat sendiri memiliki kerajaan dan terdapat raja, sehingga setiap tahunnya daerah ini selalu mengikuti event besar tersebut," kata Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Lampung Barat, Sudirman MM di Liwa, Jumat.
Dia menjelaskan, Lampung Barat telah menyiapkan personil untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Menurut dia, event tahunan ini sebagai wadah yang tepat untuk mengenalkan budaya asli Lampung tertutama Lampung Barat.
"Masyarakat di daerah ini masih memegang teguh tatanan adat yang di titahkan oleh raja, sehingga dengan kearifan lokal ini, kebudayaan nenek moyang dapat terus lestari," kata dia.
Kemudian lanjut dia, Lampung Barat kaya akan potensi budaya unik, sehingga menjadi modal sebagai tempat tujuan wisata di Provinsi Lampung.
Festival Keraton Nasional Ke VII dilaksanakan di Palembang Sumatera Selatan pada tanggal 26 hingga 29 november, di Benteng kuto Besak.
Acara yang diselengarakan itu bedasarakan musawarah dari raja raja, dan menetapkan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam sebagai tuan rumah penyelenggara event tahunan tersebut.
Acara yang akan diisi dengan kirab agung, malam seni, pemberian penghargaan adat, musyawarah besak raja serta sultan, dan pameran benda pusaka.
Lampung Barat ikut memeriahkan event tahunan ini dengan mengerahkan sekitar 320 orang personil, dimana 75 persen adalah perangkat keagungan kerajaan yang akan ikut dalam Kirab Agung.
Dalam acara "Kirab Agung" tersebut Lampung Barat akan mengambil tema "Lapahan Sai Batin".
Selain itu dalam malam seni, Lampung Barat ikut memeriahkan juga dengan penampilan tari tradisional dengan menampilkan tari "Payan Duakha" dan "Netok Adok" yang akan di tampilkan sekitar 26 penari, yang berasal dari sangar tari Setiwang, dibawah naungan Pemkab Lampung Barat.
Event nasional ini menjadi jalan untuk Lampung Barat mengenalkan lebih luas lagi kebudayaan asli dan keunikan masyarakat setempat, yang menjadi daya tarik sendiri bagi Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata.
Bedasarkan sejarah, kerajaan Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula.
Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat, pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit dan Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.
Kultur budaya sangat melekat pada masyarakat ada di Lampung Barat, sehingga dengan kearifan lokal tersebut, kebudayaan lampung senantiasa lestari, meskipun harus bersaing dengan budaya barat.
"Saya berharap pelaksanaan event tersebut dapat berjalan dengan lancar dan aman, dan berharap dari keikutsertaan Lampung Barat, dapat membawa dampak pada peningkatan kunjungan wisatawan di Lampung Barat," kata Sudirman lagi.
Sumber: Antara, Jumat, 26 November 2010
Sastra: ‘Pukau Kampung Semaka' Raih Batu Bedil Award 2010
KOTAAGUNG (Lampost): Puisi berjudul Pukau Kampung Semaka karya Oki Sanjaya (Lampung) meraih Batu Bedil Award 2010.
Sedangkan juara II dan III masing-masing diraih Ahmad Musabbih (Tegal) untuk puisinya berjudul Menjaga Cinta di Teluk Kiluan dan Widya Karima (Semarang) dengan puisi Kenangan Bersama Ibu dalam lomba penulisan puisi tingkat nasional bertajuk Batu Bedil Award 2010.
Event ini untuk pertama kalinya digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus dan merupakan rangkaian kegiatan tahunan Festival Teluk Semaka (FTS) 2010 yang dipusatkan di Kotaagung, Tanggamus, 23—27 November. Demikian rilis yang diterima Lampung Post, Kamis (25-11).
Sedang ke-15 puisi lain yang masuk dalam nomine dan akan dimuat dalam antologi puisi yang akan diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Tanggamus bekerja sama dengan penerbit di Yogyakarta, yakni Gambar Taman Batu (A`yat Safrana G.Khalili-Sumenep), Prasasti Batu Bedil (Budhy Setiawan-Jakarta), Bumi Begawi Jejama (Dhea Fitria Juhara-Jakarta), Batu Bedil (Dian Hartati-Bandung), Yang Berkemas di Kiluan (Dian Hartati-Bandung).
Kemudian, Gisting (Dwi Setyo Wibowo-Yogyakarta), Tentang Kiluan (Edi Purwanto-Lampung Barat), Pantai Doa di Tubuh Kita (Faisal Syahreza-Bandung), Sepenggal Catatan Kecil untuk Perjalanan (Kemas Feri Rahman-Bogor).
Selanjutnya, Sajak Sang Pemandu (Moh. Sofakul Mustaqim-Blitar), Lepas Sore Teluk Kiluan (Muh. Husen Arifin-Malang), Surat Rindu (Oki Sanjaya-Lampung), Sembilan Belas Hujan dan Sunyi Burung September (Sakti Wibowo-Jakarta), Situs Batu Bedil (Wayan Sunarte-Bali), Akulah Kiluan yang Memesona (Zanila Aqsa-Jakarta).
Salah seorang juri yang juga Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Lampung, Isbedy Stiawan Z.S., mengatakan dari semua puisi yang dinilai kesulitan dewan juri adalah menjadikan tema yang ditetapkan panitia sebagai pegangan.
Itu pula yang menjadi dilema saat memilah dan memilih sejumlah nomine puisi untuk dipertaruhkan saat rapat dewan juri. Satu sisi menghendaki yang terpilih adalah puisi dalam arti telah memenuhi standar estetika, tetapi pada sisi lain pihaknya tak dapat menghindar dari “pesan panitia” yang membatasi lomba penulisan puisi ini hanya berkisar tentang pariwisata dan budaya yang ada di Kabupaten Tanggamus.
"Meskipun demikian, banyak puisi yang terasa memaksakan diri hanya untuk mengurusi persoalan tema dan mengabaikan standar estetika, yakni dengan menempel nama-nama tempat, ihwal tradisi, dan seterusnya," kata dia. (MG-14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 November 2010
Sedangkan juara II dan III masing-masing diraih Ahmad Musabbih (Tegal) untuk puisinya berjudul Menjaga Cinta di Teluk Kiluan dan Widya Karima (Semarang) dengan puisi Kenangan Bersama Ibu dalam lomba penulisan puisi tingkat nasional bertajuk Batu Bedil Award 2010.
Event ini untuk pertama kalinya digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus dan merupakan rangkaian kegiatan tahunan Festival Teluk Semaka (FTS) 2010 yang dipusatkan di Kotaagung, Tanggamus, 23—27 November. Demikian rilis yang diterima Lampung Post, Kamis (25-11).
Sedang ke-15 puisi lain yang masuk dalam nomine dan akan dimuat dalam antologi puisi yang akan diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Tanggamus bekerja sama dengan penerbit di Yogyakarta, yakni Gambar Taman Batu (A`yat Safrana G.Khalili-Sumenep), Prasasti Batu Bedil (Budhy Setiawan-Jakarta), Bumi Begawi Jejama (Dhea Fitria Juhara-Jakarta), Batu Bedil (Dian Hartati-Bandung), Yang Berkemas di Kiluan (Dian Hartati-Bandung).
Kemudian, Gisting (Dwi Setyo Wibowo-Yogyakarta), Tentang Kiluan (Edi Purwanto-Lampung Barat), Pantai Doa di Tubuh Kita (Faisal Syahreza-Bandung), Sepenggal Catatan Kecil untuk Perjalanan (Kemas Feri Rahman-Bogor).
Selanjutnya, Sajak Sang Pemandu (Moh. Sofakul Mustaqim-Blitar), Lepas Sore Teluk Kiluan (Muh. Husen Arifin-Malang), Surat Rindu (Oki Sanjaya-Lampung), Sembilan Belas Hujan dan Sunyi Burung September (Sakti Wibowo-Jakarta), Situs Batu Bedil (Wayan Sunarte-Bali), Akulah Kiluan yang Memesona (Zanila Aqsa-Jakarta).
Salah seorang juri yang juga Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Lampung, Isbedy Stiawan Z.S., mengatakan dari semua puisi yang dinilai kesulitan dewan juri adalah menjadikan tema yang ditetapkan panitia sebagai pegangan.
Itu pula yang menjadi dilema saat memilah dan memilih sejumlah nomine puisi untuk dipertaruhkan saat rapat dewan juri. Satu sisi menghendaki yang terpilih adalah puisi dalam arti telah memenuhi standar estetika, tetapi pada sisi lain pihaknya tak dapat menghindar dari “pesan panitia” yang membatasi lomba penulisan puisi ini hanya berkisar tentang pariwisata dan budaya yang ada di Kabupaten Tanggamus.
"Meskipun demikian, banyak puisi yang terasa memaksakan diri hanya untuk mengurusi persoalan tema dan mengabaikan standar estetika, yakni dengan menempel nama-nama tempat, ihwal tradisi, dan seterusnya," kata dia. (MG-14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 November 2010
Lamtim Gelar Festival Way Kambas X
SUKADANA (Lampost): Pemkab Lampung Timur menggelar Festival Way Kambas (FWK) X tahun 2010. Event budaya dan pariwisata tahunan itu mulai digelar Senin (22-11) dan akan berakhir Selasa (7-12).
Untuk kegiatan perdana festival tersebut berlangsung di dua zona, yaitu zona I berlokasi di Kecamatan Gunungpelindung, Senin (22-11) dan Selasa (23-11). Kemudian, zona II berlokasi di Kecamatan Sekampung, Rabu (24-11) dan Kamis (25-11).
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lamtim Martinus Sinurat, didampingi Panitia Pelaksana Kegiatan FWK ke-X, Nurlena, Kamis (25-11), menjelaskan FWK merupakan event tahunan budaya dan pariwisata yang diselenggarakan sejak tahun 2000 atau setahun setelah Lamtim didefenitifkan sebagai kabupaten.
Karena sudah merupakan kagiatan rutin, pada 2010 kegiatan tersebut kembali digelar dengan nama Festival Way Kambas (FWK). FWK ke-X 2010 itu sendiri secara resmi baru akan dibuka pada Sabtu (4-12) di lapangan Kecamatan Bandarsribhawono. Namun, kata dia, rangkaian kegiatannya sendiri sudah mulai dilaksanakan mulai Senin (22-11).
"Untuk kegiatan perdana FWK ke-X 2010 tersebut, digelar acara audisi muli meghanai, Way Kambas Idol, lagu pop Lampung, campur sari, dan lagu ciptaan Bupati Lamtim Satono berjudul Sae," kata Martinus.
Dia juga menjelaskan acara perdana tersebut di zona II, yang dimulai Senin (22-11) dan Selasa (23-11). Sedangkan acara serupa di zona I digelar Rabu (24-11) dan Kamis (25-11).
Adapun grand final dari kegiatan tersebut akan berlangsung pada Senin (29-11) dan Selasa (30-11), di aula rumah dinas Bupati Lamtim, di Sukadana.
"Di samping kegiatan itu, pada FWK ke-X 2010 juga digelar berbagai acara lainnya, yaitu festival penjor, tari ekshibisi dari India, atraksi gita gajah angklung bhineka, konvoi sepeda onthel, dan motor cross, serta hiburan artis Ibu Kota Trio Macan," kata dia. (JON/D-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 November 2010
Untuk kegiatan perdana festival tersebut berlangsung di dua zona, yaitu zona I berlokasi di Kecamatan Gunungpelindung, Senin (22-11) dan Selasa (23-11). Kemudian, zona II berlokasi di Kecamatan Sekampung, Rabu (24-11) dan Kamis (25-11).
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lamtim Martinus Sinurat, didampingi Panitia Pelaksana Kegiatan FWK ke-X, Nurlena, Kamis (25-11), menjelaskan FWK merupakan event tahunan budaya dan pariwisata yang diselenggarakan sejak tahun 2000 atau setahun setelah Lamtim didefenitifkan sebagai kabupaten.
Karena sudah merupakan kagiatan rutin, pada 2010 kegiatan tersebut kembali digelar dengan nama Festival Way Kambas (FWK). FWK ke-X 2010 itu sendiri secara resmi baru akan dibuka pada Sabtu (4-12) di lapangan Kecamatan Bandarsribhawono. Namun, kata dia, rangkaian kegiatannya sendiri sudah mulai dilaksanakan mulai Senin (22-11).
"Untuk kegiatan perdana FWK ke-X 2010 tersebut, digelar acara audisi muli meghanai, Way Kambas Idol, lagu pop Lampung, campur sari, dan lagu ciptaan Bupati Lamtim Satono berjudul Sae," kata Martinus.
Dia juga menjelaskan acara perdana tersebut di zona II, yang dimulai Senin (22-11) dan Selasa (23-11). Sedangkan acara serupa di zona I digelar Rabu (24-11) dan Kamis (25-11).
Adapun grand final dari kegiatan tersebut akan berlangsung pada Senin (29-11) dan Selasa (30-11), di aula rumah dinas Bupati Lamtim, di Sukadana.
"Di samping kegiatan itu, pada FWK ke-X 2010 juga digelar berbagai acara lainnya, yaitu festival penjor, tari ekshibisi dari India, atraksi gita gajah angklung bhineka, konvoi sepeda onthel, dan motor cross, serta hiburan artis Ibu Kota Trio Macan," kata dia. (JON/D-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 November 2010
DK Provinsi Sepakat Bentuk DKI
BANDARLAMPUNG – Para pengurus Dewan Kesenian (DK) provinsi se-Indonesia sepakat terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia (DKI). Mereka juga sepakat perlunya undang-undang keberadaan lembaga yang dipayungi pemerintah ini. Hal itu terungkap dalam Silaturahmi Dewan Kesenian (DK) Provinsi se-Indonesia yang digagas Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Hotel Arinas kemarin (25/11).
Kedua pembicara, Ketua DK Kepulauan Riau Husnizar Hood dan Ketua Umum Listibya Bali I Gusti Putu Rai Andayana, sepakat silaturahmi ini melahirkan kelompok kerja untuk menggagas pertemuan lebih besar lagi di Provinsi Kepri. Pokja juga bertugas menyusun teknis tugas-tugas dan fungsi DK Indonesia, termasuk payung hukumnya.
’’Diharapkan pertemuan di Kepri, rumahnya sudah terbentuk. Sehingga langkah berikutnya adalah mencari orang-orang yang akan mengisi DK Indonesia itu,” kata Husnizar Hood.
Menurut I Gusti Putu Rai Andayana, DKI sangat penting untuk mengoordinasi antar-DK se-Indonesia. ’’Kalau selama ini DK di provinsi seakan berinduk kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sementara tugas DKJ hanya lingkup Provinsi Jakarta sehingga menjadi beban,” ujarnya.
Muhaimin dari DK Sumsel sempat mempertanyakan gagasan pembentukan pokja. Alasannya, pokja atau tim formatur untuk melahirkan DK Indonesia tidak berjalan. ’’Karena itu, usul saya di sini kita bentuk pokja untuk merancang apa dan bagaimana tugas dan fungsi DK Indonesia. Selain itu, merumuskan hukum bagi keberadaan DK Indonesia,” ujarnya.
Panji Utama dari DK Bandarlampung yang juga sepakat terbentuknya DKI. Hanya, ia berharap pengurus DK jangan sampai meminta kucuran anggaran kepada pemerintah. ’’Tanpa anggaran pun, seharusnya seniman bisa hidup dan berdaya,” tandasnya. (c2/erw)
Sumber: Radar Lampung, Jumat, 26 November 2010
Kedua pembicara, Ketua DK Kepulauan Riau Husnizar Hood dan Ketua Umum Listibya Bali I Gusti Putu Rai Andayana, sepakat silaturahmi ini melahirkan kelompok kerja untuk menggagas pertemuan lebih besar lagi di Provinsi Kepri. Pokja juga bertugas menyusun teknis tugas-tugas dan fungsi DK Indonesia, termasuk payung hukumnya.
’’Diharapkan pertemuan di Kepri, rumahnya sudah terbentuk. Sehingga langkah berikutnya adalah mencari orang-orang yang akan mengisi DK Indonesia itu,” kata Husnizar Hood.
Menurut I Gusti Putu Rai Andayana, DKI sangat penting untuk mengoordinasi antar-DK se-Indonesia. ’’Kalau selama ini DK di provinsi seakan berinduk kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sementara tugas DKJ hanya lingkup Provinsi Jakarta sehingga menjadi beban,” ujarnya.
Muhaimin dari DK Sumsel sempat mempertanyakan gagasan pembentukan pokja. Alasannya, pokja atau tim formatur untuk melahirkan DK Indonesia tidak berjalan. ’’Karena itu, usul saya di sini kita bentuk pokja untuk merancang apa dan bagaimana tugas dan fungsi DK Indonesia. Selain itu, merumuskan hukum bagi keberadaan DK Indonesia,” ujarnya.
Panji Utama dari DK Bandarlampung yang juga sepakat terbentuknya DKI. Hanya, ia berharap pengurus DK jangan sampai meminta kucuran anggaran kepada pemerintah. ’’Tanpa anggaran pun, seharusnya seniman bisa hidup dan berdaya,” tandasnya. (c2/erw)
Sumber: Radar Lampung, Jumat, 26 November 2010
November 25, 2010
Dewan Kesenian Provinsi Sepakat Bentuk DK Indonesia
Bandarlampung (ANTARA News) - Para pengurus dewan kesenian (DK) provinsi yang hadir pada silaturahmi DK di Provinsi Lampung menyepakati terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia.
Pada pertemuan di salah satu hotel di Bandarlampung, Kamis, pembicara yakni Ketua DK Kepulauan Riau Husnizar Hood dan Ketua Umum Listibya Bali I Gusti Putu Rai Andayana, sepakat silaturahmi tersebut melahirkan kelompok kerja untuk menggagas pertemuan lebih besar lagi di Provinsi Kepri.
Kelompok kerja (pokja) juga bertugas menyusun teknis tugas-tugas dan fungsi DK Indonesia, termasuk payung hukumnya.
"Diharapkan pertemuan di Kepri, rumahnya sudah terbentuk. Sehingga langkah berikutnya adalah mencari orang-orang yang akan mengisi DK Indonesia tersebut," kata Husnizar Hood.
I Gusti Putu Rai Andayana pun menyepakati, dan dia menganggap bahwa DK Indonesia sangat penting, untuk mengkoordinasikan antar-DK se-Indonesia.
"Kalau selama ini DK di provinsi seakan berinduk kepada DKJ, sementara tugas DKJ hanya lingkup Provinsi Jakarta sehingga menjadi beban," ujar dia.
Namun, gagasan Pokja itu dipertanyakan Muhaimin dari DK Sumatera Selatan. Alasannya, pokja atau tim formatur yang ada untuk melahirkan DK Indonesia tidak berjalan.
Jadi, lanjut dia, kalau hanya melahirkan pokja lagi berarti hanya jalan di tempat.
"Karena itu, usul saya di sini kita bentuk pokja untuk merancang apa dan bagaimana tugas dan fungsi DK Indonesia. Selain itu, merumuskan hukum bagi keberadaan DK Indonesia," ujar dia.
Dengan adanya rumusan fungsi dan tanggung jawab DK Indonesia, lanjut Muhaimin, diharapkan "kita" tidak sedang mencetak birokrat-birokrat kesenian.
"Artinya, kita harus punya prinsip. Sehingga kalau pun ada kekuatan politik yang hendak memanfaatkan keberadan DK Indonesia, kita punya sikap untuk menolaknya," ujar dia.
Panji Utama dari DK Bandarlampung juga sepakat tebentuknya DK Indonesia, namun, ia tetap meminta pengurus DK jangan sampai meminta atau merengek-rengek soal kucuran anggaran kepada pemerintah.
"Tanpa anggaran pun, seharusnya seniman bisa hidup dan berdaya," ujar dia.
Namun, Husnizar Hood membantah istilah merengek-rengek tersebut.
"Itu hanya gaya masing-masing seniman, tapi pemerintah menganggarkan bagi kesenian adalah hak seniman," kata dia.
Sumber: Antara, Kamis, 25 November 2010
Pada pertemuan di salah satu hotel di Bandarlampung, Kamis, pembicara yakni Ketua DK Kepulauan Riau Husnizar Hood dan Ketua Umum Listibya Bali I Gusti Putu Rai Andayana, sepakat silaturahmi tersebut melahirkan kelompok kerja untuk menggagas pertemuan lebih besar lagi di Provinsi Kepri.
Kelompok kerja (pokja) juga bertugas menyusun teknis tugas-tugas dan fungsi DK Indonesia, termasuk payung hukumnya.
"Diharapkan pertemuan di Kepri, rumahnya sudah terbentuk. Sehingga langkah berikutnya adalah mencari orang-orang yang akan mengisi DK Indonesia tersebut," kata Husnizar Hood.
I Gusti Putu Rai Andayana pun menyepakati, dan dia menganggap bahwa DK Indonesia sangat penting, untuk mengkoordinasikan antar-DK se-Indonesia.
"Kalau selama ini DK di provinsi seakan berinduk kepada DKJ, sementara tugas DKJ hanya lingkup Provinsi Jakarta sehingga menjadi beban," ujar dia.
Namun, gagasan Pokja itu dipertanyakan Muhaimin dari DK Sumatera Selatan. Alasannya, pokja atau tim formatur yang ada untuk melahirkan DK Indonesia tidak berjalan.
Jadi, lanjut dia, kalau hanya melahirkan pokja lagi berarti hanya jalan di tempat.
"Karena itu, usul saya di sini kita bentuk pokja untuk merancang apa dan bagaimana tugas dan fungsi DK Indonesia. Selain itu, merumuskan hukum bagi keberadaan DK Indonesia," ujar dia.
Dengan adanya rumusan fungsi dan tanggung jawab DK Indonesia, lanjut Muhaimin, diharapkan "kita" tidak sedang mencetak birokrat-birokrat kesenian.
"Artinya, kita harus punya prinsip. Sehingga kalau pun ada kekuatan politik yang hendak memanfaatkan keberadan DK Indonesia, kita punya sikap untuk menolaknya," ujar dia.
Panji Utama dari DK Bandarlampung juga sepakat tebentuknya DK Indonesia, namun, ia tetap meminta pengurus DK jangan sampai meminta atau merengek-rengek soal kucuran anggaran kepada pemerintah.
"Tanpa anggaran pun, seharusnya seniman bisa hidup dan berdaya," ujar dia.
Namun, Husnizar Hood membantah istilah merengek-rengek tersebut.
"Itu hanya gaya masing-masing seniman, tapi pemerintah menganggarkan bagi kesenian adalah hak seniman," kata dia.
Sumber: Antara, Kamis, 25 November 2010
LAF 2010 Sumbang Rp26 Juta
BANDARLAMPUNG – Lampung Arts Festival (LAF) 2010 dan Silaturahmi Nasional Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia resmi dibuka. Pembukaan yang digelar di Mahan Agung tadi malam dimeriahkan dengan berbagai kegiatan seni. Menurut Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung Syafariah Widianti, LAF digelar sebagai apresiasi bagi pelaku seni dan budaya di bumi Lampung.
Tari selamat datang dibawakan oleh penari dari Dewan Kesenian Lampung Utara pada pembukaan LAF tadi malam. (FOTO FAJAR ADITYA)
’’Dengan pengapresiasian seni dan budaya di Lampung, kita jadikan apa yang kita punya ini untuk menyemarakkan khasanah kebudayaan dan kesenian nasional,” ujarnya.
Ketua Harian DKL Lampung Syaiful Irba Tanpaka mengatakan, LAF 2010 ini juga dilangsungkan silaturahmi antar para pengurus Dewan Kesenian (DK) dari berbagai provinsi di Indonesia bertempat di Hotel Arinas, Bandarlampung, hari ini.
’’Silaturahmi ini bertujuan memperlancar arus komunikasi antarpengurus DK se-Indonesia. Diharapkan, ke depan akan terjalin kerja sama yang makin erat untuk menghidupkan kesenian di bumi nusantara,” ujarnya.
Syaiful menambahkan, agenda LAF diselenggarakan mulai 24–28 November 2010. Di antaranya lomba foto, pameran foto, seminar fotografi, dan lomba mewarnai taman kanak-kanak.
’’LAF sudah dimulai dengan digelarnya lomba foto dan pameran foto di Taman Budaya Lampung. Ada 30 fotografer dengan 100 karya yang dipajang,” tutur Syaiful.
Selain kegiatan seremoni, pembukaan LAF tadi malam juga diadakan lelang foto. Dari hasil lelang terkumpul dana Rp26 juta yang nantinya akan disumbangkan ke korban tsunami Mentawai dan Merapi.
’’Hasil lelang ini akan kami sumbangkan kepada korban Mentawai dan korban letusan Gunung Merapi,” ujar Atu Ayi, sapaan Syafariah Widianti.
Pada pembukaan LAF tadi malam, Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said mengimbau agar cangget bakha atau pantun asmara muda-mudi dan pantun nasihat dari orang tua agar dapat disebarluaskan terkhusus pada kalangan generasi muda.
’’Cangget bakha ini merupakan ungkapan rasa syukur atas panen dengan saling membalas pantun. Kenyataannya, sekarang lebih bayak kaum tua yang lebih menyukai ini,” ujarnya. (jar/c2/erw)
Sumber: Radar Lampung, Kamis, 25 November 2010
Tari selamat datang dibawakan oleh penari dari Dewan Kesenian Lampung Utara pada pembukaan LAF tadi malam. (FOTO FAJAR ADITYA)
’’Dengan pengapresiasian seni dan budaya di Lampung, kita jadikan apa yang kita punya ini untuk menyemarakkan khasanah kebudayaan dan kesenian nasional,” ujarnya.
Ketua Harian DKL Lampung Syaiful Irba Tanpaka mengatakan, LAF 2010 ini juga dilangsungkan silaturahmi antar para pengurus Dewan Kesenian (DK) dari berbagai provinsi di Indonesia bertempat di Hotel Arinas, Bandarlampung, hari ini.
’’Silaturahmi ini bertujuan memperlancar arus komunikasi antarpengurus DK se-Indonesia. Diharapkan, ke depan akan terjalin kerja sama yang makin erat untuk menghidupkan kesenian di bumi nusantara,” ujarnya.
Syaiful menambahkan, agenda LAF diselenggarakan mulai 24–28 November 2010. Di antaranya lomba foto, pameran foto, seminar fotografi, dan lomba mewarnai taman kanak-kanak.
’’LAF sudah dimulai dengan digelarnya lomba foto dan pameran foto di Taman Budaya Lampung. Ada 30 fotografer dengan 100 karya yang dipajang,” tutur Syaiful.
Selain kegiatan seremoni, pembukaan LAF tadi malam juga diadakan lelang foto. Dari hasil lelang terkumpul dana Rp26 juta yang nantinya akan disumbangkan ke korban tsunami Mentawai dan Merapi.
’’Hasil lelang ini akan kami sumbangkan kepada korban Mentawai dan korban letusan Gunung Merapi,” ujar Atu Ayi, sapaan Syafariah Widianti.
Pada pembukaan LAF tadi malam, Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said mengimbau agar cangget bakha atau pantun asmara muda-mudi dan pantun nasihat dari orang tua agar dapat disebarluaskan terkhusus pada kalangan generasi muda.
’’Cangget bakha ini merupakan ungkapan rasa syukur atas panen dengan saling membalas pantun. Kenyataannya, sekarang lebih bayak kaum tua yang lebih menyukai ini,” ujarnya. (jar/c2/erw)
Sumber: Radar Lampung, Kamis, 25 November 2010
November 24, 2010
Seniman Gagas Pembentukan Dewan Kesenian Indonesia
Bandarlampung, 24/11 (ANTARA) - Silaturahmi seniman dari 12 Dewan Kesenian (DK) tingkat provinsi di Lampung
berupaya mewujudkan gagasan pembentukan Dewan Kesenian Indonesia dan penguatan landasan hukum dewan
kesenian.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung, Syaiful Irba Tanpaka, di Bandarlampung, Rabu, mengatakan silaturahmi
yang digagas Dewan Kesenian Lampung terkait dengan acara "Lampung Arts Festival" itu menggagas kembali ide
yang pernah dilontarkan pada 2005 tersebut.
"Membentuk dewan kesenian Indonesia yang bermitra langsung dengan Presiden adalah penting untuk wadah
perjuangan di tingkat pusat sekaligus menjembatani aspirasi dewan kesenian di daerah," kata dia.
Selain itu, dia melanjutkan, keberadaan Dewan Kesenian Indonesia juga dianggap penting untuk memfasilitasi
dan sarana katalisasi lewat hubungan kerja antardewan kesenian secara produktif.
Selain itu, sejumlah masalah yang juga menjadi prioritas pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah
peningkatan peran dan fungsi dewan kesenian dengan cara peningkatan dasar hukum dewan kesenian dari
Instruksi Mendagri Nomor 5A tahun 1993, menjadi Peraturan Presiden.
Silaturahmi dewan kesenian secara berkala hingga saat ini belum dapat diwujudkan.
Pertemuan masih dilakukan secara sporadis pada 1999 di Yogyakarta, dan baru kembali diadakan pada 2005 di
Papua, yang sebelumnya juga diselenggarakan kongres kesenian Indonesia II di padepokan pencak silat TMII.
Wacana pembentukan Dewan Kesenian Indonesia pertama kali mengemuka pada 2008 oleh Dewan Kesenian Jakarta,
yang dilanjutkan pada 2009 di Malang, Jawa Timur.
Silaturahmi dewan kesenian se-Indonesia yang diadakan di Lampung, diikuti oleh 12 provinsi, yaitu Riau,
Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Lampung.
Acara itu diadakan berbarengan dengan "Lampung Arts Festival" yang diadakan oleh Dewan Kesenian Lampung.
Lampung Arts Festival akan diselenggarakan selama dua hari, 24 hingga 26 November 2010, di beberapa tempat
di Bandarlampung, seperti Taman Budaya Lampung dan Hotel Arinas.
Lampung Arts Festival akan diisi dengan Lomba Foto, pameran foto, seminar fotografi, pentas seni dan
cangget bakha, lomba baca puisi bahasa Lampung, dan Lomba mewarnai antar-TK.
Lampung Arts Festival akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan "cangget bakha" pada Kamis (25/11)
malam di Taman Budaya Lampung.
Diharapkan tamu dari DK Provinsi Se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget
bakha.
Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30/11), lomba baca
puisi bahasa Lampung, Sabtu (27.11), dan lomba mewarnai pada Minggu (28/11).
Sumber: Antara, Rabu, 24 November 2010
berupaya mewujudkan gagasan pembentukan Dewan Kesenian Indonesia dan penguatan landasan hukum dewan
kesenian.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung, Syaiful Irba Tanpaka, di Bandarlampung, Rabu, mengatakan silaturahmi
yang digagas Dewan Kesenian Lampung terkait dengan acara "Lampung Arts Festival" itu menggagas kembali ide
yang pernah dilontarkan pada 2005 tersebut.
"Membentuk dewan kesenian Indonesia yang bermitra langsung dengan Presiden adalah penting untuk wadah
perjuangan di tingkat pusat sekaligus menjembatani aspirasi dewan kesenian di daerah," kata dia.
Selain itu, dia melanjutkan, keberadaan Dewan Kesenian Indonesia juga dianggap penting untuk memfasilitasi
dan sarana katalisasi lewat hubungan kerja antardewan kesenian secara produktif.
Selain itu, sejumlah masalah yang juga menjadi prioritas pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah
peningkatan peran dan fungsi dewan kesenian dengan cara peningkatan dasar hukum dewan kesenian dari
Instruksi Mendagri Nomor 5A tahun 1993, menjadi Peraturan Presiden.
Silaturahmi dewan kesenian secara berkala hingga saat ini belum dapat diwujudkan.
Pertemuan masih dilakukan secara sporadis pada 1999 di Yogyakarta, dan baru kembali diadakan pada 2005 di
Papua, yang sebelumnya juga diselenggarakan kongres kesenian Indonesia II di padepokan pencak silat TMII.
Wacana pembentukan Dewan Kesenian Indonesia pertama kali mengemuka pada 2008 oleh Dewan Kesenian Jakarta,
yang dilanjutkan pada 2009 di Malang, Jawa Timur.
Silaturahmi dewan kesenian se-Indonesia yang diadakan di Lampung, diikuti oleh 12 provinsi, yaitu Riau,
Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Lampung.
Acara itu diadakan berbarengan dengan "Lampung Arts Festival" yang diadakan oleh Dewan Kesenian Lampung.
Lampung Arts Festival akan diselenggarakan selama dua hari, 24 hingga 26 November 2010, di beberapa tempat
di Bandarlampung, seperti Taman Budaya Lampung dan Hotel Arinas.
Lampung Arts Festival akan diisi dengan Lomba Foto, pameran foto, seminar fotografi, pentas seni dan
cangget bakha, lomba baca puisi bahasa Lampung, dan Lomba mewarnai antar-TK.
Lampung Arts Festival akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan "cangget bakha" pada Kamis (25/11)
malam di Taman Budaya Lampung.
Diharapkan tamu dari DK Provinsi Se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget
bakha.
Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30/11), lomba baca
puisi bahasa Lampung, Sabtu (27.11), dan lomba mewarnai pada Minggu (28/11).
Sumber: Antara, Rabu, 24 November 2010
LAF 2010 Dibuka Malam ini
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung Arts Festival (LAF) akan dibuka malam ini, Rabu (24-11), di Mahan Agung Kantor Gubernur Provinsi Lampung.
Festival yang digelar Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini diisi dengan pameran foto di ruang pameran Taman Budaya Lampung dan Silaturahmi DK Provinsi se-Indonesia yang berlangsung di Hotel Arinas.
Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka, mewakili Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, menjelaskan akan ada pemaparan ihwal peran DK sebagai mitra kerja pemda dan hubungannya dengan DK daerah lain.
Dia menambahkan pembicara pada acara pemaparan berasal dari Dewan Kesenian Lampung dan Dewan Kesenian Jakarta.
Menurut Syaiful, pengurus DK provinsi yang sudah siap hadir yakni 11 provinsi (Jatim, Jateng, Bali, Sumsel, Kalsel, Sumbar, Bengkulu, Kepri, Jambi, Jakarta, dan Kaltim). Kemudian, dari DK Kabupaten/Kota di Lampung yakni Lampung Utara, Lamtim, Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran, Tuba Barat, dan Lamteng.
Menurut dia, Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. diharapkan akan memberi sambutan sekaligus meresmikan kegiatan LAF dan silaturahmi DK provinsi se-Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Umum DKL Hary Jayaningrat mengatakan LAF akan dimeriahkan pertunjukan seni dan cangget bakha di Taman Budaya Lampung (25-11), lomba mewarnai anak-anak (24-11), lomba baca puisi Bahasa Lampung dari puisi-puisi Udo Z. Karzi (27-11).
Hary menambahkan pembukaan LAF dan Silaturahmi DK Provinsi akan diisi dengan pertunjukan musik kolaborasi oleh KMKL Grup, sastra tradisi lisan, pembacaan puisi modern, dan tari-tarian dari Sanggar Cangget Budaya Lampung Utara. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 November 2010
Festival yang digelar Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini diisi dengan pameran foto di ruang pameran Taman Budaya Lampung dan Silaturahmi DK Provinsi se-Indonesia yang berlangsung di Hotel Arinas.
Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka, mewakili Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, menjelaskan akan ada pemaparan ihwal peran DK sebagai mitra kerja pemda dan hubungannya dengan DK daerah lain.
Dia menambahkan pembicara pada acara pemaparan berasal dari Dewan Kesenian Lampung dan Dewan Kesenian Jakarta.
Menurut Syaiful, pengurus DK provinsi yang sudah siap hadir yakni 11 provinsi (Jatim, Jateng, Bali, Sumsel, Kalsel, Sumbar, Bengkulu, Kepri, Jambi, Jakarta, dan Kaltim). Kemudian, dari DK Kabupaten/Kota di Lampung yakni Lampung Utara, Lamtim, Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran, Tuba Barat, dan Lamteng.
Menurut dia, Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. diharapkan akan memberi sambutan sekaligus meresmikan kegiatan LAF dan silaturahmi DK provinsi se-Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Umum DKL Hary Jayaningrat mengatakan LAF akan dimeriahkan pertunjukan seni dan cangget bakha di Taman Budaya Lampung (25-11), lomba mewarnai anak-anak (24-11), lomba baca puisi Bahasa Lampung dari puisi-puisi Udo Z. Karzi (27-11).
Hary menambahkan pembukaan LAF dan Silaturahmi DK Provinsi akan diisi dengan pertunjukan musik kolaborasi oleh KMKL Grup, sastra tradisi lisan, pembacaan puisi modern, dan tari-tarian dari Sanggar Cangget Budaya Lampung Utara. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 November 2010
November 23, 2010
Pekerjaan Sosial dalam Kemiskinan
Oleh Maulana Mukhlis
KEMISKINAN—sekali lagi—adalah tema yang tak pernah usai untuk dikaji karena kemiskinan berdimensi ganda; sebab dan akibat.
Dalam perspektif sebab, kemiskinan menjadi pertanda awal akan munculnya persoalan sosial lain (rumah tak layak huni, gelandangan, pendidikan dan kesehatan rendah, misalnya). Sementara itu, dalam perspektif akibat, kemiskinan merupakan efek dari problem sosial lain, seperti kecacatan yang tak berketerampilan, ketunaan, dan korban bencana.
Karena itu, kita pasti sepakat bahwa upaya menanggulangi kemiskinan juga berdimensi ganda, baik kewilayahan maupun manusia sebagai sasaran. Dalam konteks Lampung, kesadaran ini sebenarnya sudah mulai terbangun meski hanya pada tahap rencana. Tahun 2007 lalu Pemprov Lampung menetapkan 765 desa/kampung miskin di provinsi ini yang akan menjadi prioritas penanganan melalui tahapan penanganan sejak 2007 hingga 2009 (tiga tahun).
Harapannya, dengan penetapan ini, program penanganan kemiskinan dapat diukur keberhasilannya secara jelas. Di sisi lain, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program penanganan atas dasar penetapan kampung/desa miskin tersebut sehingga ditargetkan masing-masing desa miskin tersebut akan “disuntik” dengan Rp1 miliar melalui berbagai program.
Akan tetapi, bagaimana hasil dari keterpaduan tersebut saat ini? Tak pernah ada penjelasan dan progres resmi dari Pemprov tentang hasil kebijakan keterpaduan tersebut.
Dari sisi sasaran, Lampung juga sudah memiliki sasaran by name by address tentang keluarga fakir miskin per desa di seluruh Lampung.
Dalam kurun waktu 2005—2010 sebenarnya sebanyak 26.360 KFM berhasil dibantu melalui Dinas Sosial. Namun, mengapa berbagai program itu tidak memiliki signifikasinya terhadap upaya penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi ini?
Selain karena adanya problem kebijakan, masalah integrasi, dan keterpaduan, satu hal yang belum ada yakni kesadaran untuk menjadikan program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pekerjaan sosial—dengan tujuan keberfungsian sosial—bukan dengan pendekatan birokratis dan sekadar “membantu”. Pendekatan pekerjaan sosial dengan tujuan keberfungsian sosial inilah model tawaran yang mungkin bisa dijadikan satu pilihan untuk menanggulangi kemiskinan secara lebih produktif.
Secara konseptual, pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai persoalan multidimensional yang bermatra ekonomi-sosial dan individual struktural. Berbagai intervensi sosial yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keberfungsian sosial para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), baik karena kemiskinan, kecacatan, ketunaan sosial, ketelantaran, dan korban bencana alam/bencana sosial.
Pekerjaan sosial merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan membantu individu, kelompok, dan masyarakat yang kurang beruntung–-PMKS—agar mampu melaksanakan tugas kehidupannya sesuai dengan peranannya. Sebagaimana halnya dengan profesi kedokteran yang berkaitan dengan konsepsi kesehatan, dan guru dengan konsepsi pendidikan, maka keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerja sosial dengan profesi lainnya.
Maka, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani masalah kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial masyarakat miskin yang dibantunya.
Sementara itu, konsep keberfungsian sosial adalah upaya membangun kapabilitas individu, kelompok, dan masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien (PMKS) menjadi subjek pembangunan; klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; klien memiliki akses untuk menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber-sumber yang ada di sekitarnya.
Namun, karena tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis, intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person in invironment and person ini situation). Oleh karena itu, pekerjaan sosial melihat pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individu dan wilayah, tetapi juga berupaya untuk mengubah struktur sosial bagi PMKS.
Atas dasar ini, setidaknya ada dua pendekatan pananganan kemiskinan dari sisi pekerjaan sosial yang saling terkait satu dengan lainnya. Pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan tempat si miskin tinggal (pendekatan wilayah).
Pendekatan kedua melihat si miskin dalam konteks situasinya, berpijak pada prinsip individualitation dan self determinism yang melihat si miskin secara individual, yang memiliki masalah dan kemampuan unik (pendekatan individu).
Beberapa bentuk program yang didasari dua pendekatan ini antara lain pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial, program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Kemudian, program pemberdayaan masyarakat meliputi pemberian modal usaha, pelatihan usaha ekonomi produktif, pembentukan pasar sosial, pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
Program kedaruratan berupa bantuan bagi korban bencana alam atau bencana sosial, dan program pemutus tirai kemiskinan seperti Kelompok Usaha Bersama (Kube) yang dibarengi dengan pembentukan Lembaga Keuangan Mikro dan Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk memperkuat kemitraan dan pengembangan insentif/tabungan.
Beberapa program dan skema di atas dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rencana aksi pemberdayaan fakir miskin dalam menunjang program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Lampung, dengan membangun keterpaduan dengan semua SKPD dan dunia usaha. Semoga ada manfaat nyata dari upaya yang selama ini telah ada.
Maulana Mukhlis, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 November 2010
KEMISKINAN—sekali lagi—adalah tema yang tak pernah usai untuk dikaji karena kemiskinan berdimensi ganda; sebab dan akibat.
Dalam perspektif sebab, kemiskinan menjadi pertanda awal akan munculnya persoalan sosial lain (rumah tak layak huni, gelandangan, pendidikan dan kesehatan rendah, misalnya). Sementara itu, dalam perspektif akibat, kemiskinan merupakan efek dari problem sosial lain, seperti kecacatan yang tak berketerampilan, ketunaan, dan korban bencana.
Karena itu, kita pasti sepakat bahwa upaya menanggulangi kemiskinan juga berdimensi ganda, baik kewilayahan maupun manusia sebagai sasaran. Dalam konteks Lampung, kesadaran ini sebenarnya sudah mulai terbangun meski hanya pada tahap rencana. Tahun 2007 lalu Pemprov Lampung menetapkan 765 desa/kampung miskin di provinsi ini yang akan menjadi prioritas penanganan melalui tahapan penanganan sejak 2007 hingga 2009 (tiga tahun).
Harapannya, dengan penetapan ini, program penanganan kemiskinan dapat diukur keberhasilannya secara jelas. Di sisi lain, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program penanganan atas dasar penetapan kampung/desa miskin tersebut sehingga ditargetkan masing-masing desa miskin tersebut akan “disuntik” dengan Rp1 miliar melalui berbagai program.
Akan tetapi, bagaimana hasil dari keterpaduan tersebut saat ini? Tak pernah ada penjelasan dan progres resmi dari Pemprov tentang hasil kebijakan keterpaduan tersebut.
Dari sisi sasaran, Lampung juga sudah memiliki sasaran by name by address tentang keluarga fakir miskin per desa di seluruh Lampung.
Dalam kurun waktu 2005—2010 sebenarnya sebanyak 26.360 KFM berhasil dibantu melalui Dinas Sosial. Namun, mengapa berbagai program itu tidak memiliki signifikasinya terhadap upaya penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi ini?
Selain karena adanya problem kebijakan, masalah integrasi, dan keterpaduan, satu hal yang belum ada yakni kesadaran untuk menjadikan program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pekerjaan sosial—dengan tujuan keberfungsian sosial—bukan dengan pendekatan birokratis dan sekadar “membantu”. Pendekatan pekerjaan sosial dengan tujuan keberfungsian sosial inilah model tawaran yang mungkin bisa dijadikan satu pilihan untuk menanggulangi kemiskinan secara lebih produktif.
Secara konseptual, pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai persoalan multidimensional yang bermatra ekonomi-sosial dan individual struktural. Berbagai intervensi sosial yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keberfungsian sosial para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), baik karena kemiskinan, kecacatan, ketunaan sosial, ketelantaran, dan korban bencana alam/bencana sosial.
Pekerjaan sosial merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan membantu individu, kelompok, dan masyarakat yang kurang beruntung–-PMKS—agar mampu melaksanakan tugas kehidupannya sesuai dengan peranannya. Sebagaimana halnya dengan profesi kedokteran yang berkaitan dengan konsepsi kesehatan, dan guru dengan konsepsi pendidikan, maka keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerja sosial dengan profesi lainnya.
Maka, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani masalah kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial masyarakat miskin yang dibantunya.
Sementara itu, konsep keberfungsian sosial adalah upaya membangun kapabilitas individu, kelompok, dan masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien (PMKS) menjadi subjek pembangunan; klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; klien memiliki akses untuk menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber-sumber yang ada di sekitarnya.
Namun, karena tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis, intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person in invironment and person ini situation). Oleh karena itu, pekerjaan sosial melihat pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individu dan wilayah, tetapi juga berupaya untuk mengubah struktur sosial bagi PMKS.
Atas dasar ini, setidaknya ada dua pendekatan pananganan kemiskinan dari sisi pekerjaan sosial yang saling terkait satu dengan lainnya. Pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan tempat si miskin tinggal (pendekatan wilayah).
Pendekatan kedua melihat si miskin dalam konteks situasinya, berpijak pada prinsip individualitation dan self determinism yang melihat si miskin secara individual, yang memiliki masalah dan kemampuan unik (pendekatan individu).
Beberapa bentuk program yang didasari dua pendekatan ini antara lain pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial, program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Kemudian, program pemberdayaan masyarakat meliputi pemberian modal usaha, pelatihan usaha ekonomi produktif, pembentukan pasar sosial, pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
Program kedaruratan berupa bantuan bagi korban bencana alam atau bencana sosial, dan program pemutus tirai kemiskinan seperti Kelompok Usaha Bersama (Kube) yang dibarengi dengan pembentukan Lembaga Keuangan Mikro dan Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk memperkuat kemitraan dan pengembangan insentif/tabungan.
Beberapa program dan skema di atas dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rencana aksi pemberdayaan fakir miskin dalam menunjang program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Lampung, dengan membangun keterpaduan dengan semua SKPD dan dunia usaha. Semoga ada manfaat nyata dari upaya yang selama ini telah ada.
Maulana Mukhlis, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 November 2010
November 21, 2010
Persembahan untuk Indonesia di Orangerie Theater
Oleh Iswadi Pratama
KOLN. Suhu malam itu, Rabu 17-11, 2010, kian anjlok mendekati titik 0 derajat Celsius. Pohon-pohon kalisa dan maple yang di musim semi rimbun menaungi area seluas lebih kurang 1 ha tempat gedung Orangerie Theater berdiri di jantung Kota Koln, Jerman, seperti menggigil tanpa daun.
Di gedung inilah lakon Nostalgie Einer Stadt (Nostalgia Sebuah Kota) karya Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung dipentaskan hingga 21 November mendatang. Gedung yang pada pasca-Perang Dunia II menjadi gudang penyimpanan bibit-bibit pohon jeruk di musim dingin. Lalu dibagikan ke seluruh penjuru Kota Koln jika musim semi tiba. Itulah mengapa gedung ini disebut Orangerie (jeruk). Di gedung yang hanya berkapasitas 100 bangku atau lebih kurang sama seperti Teater Utan Kayu, Jakarta, penonton telah berdatangan mengantre tiket sejak pukul 19.00 waktu setempat.
Pertunjukan akan dimulai setengah jam lagi. Di antara kerumun penonton yang siap berdiri di depan pintu masuk gedung pertunjukan itu, tampak teman-teman dari Indonesia yang ada di Koln; Ging Ginanjar dan Andi dari Radio 68 H Komunitas Utan Kayu, Edith yang bertugas di salah satu Radio Jerman; Amanda mahasiswa Indonesia yang magang di Orangerie Theater; dan Angga yang sejak pagi sibuk membuat film dokumentaer Budi Laksana; aktor dari Teater Satu . Di antara mereka juga tampak beberapa seniman dari Tanz Theater Fina Baush, para sastrawan, seniman visual dan tentu saja seniman-seniman teater dari Koln, Bonn, dan Berlin.
Tepat pukul 19.30 pertunjukan dimulai. Berbekal tiket seharga 9—15 euro satu per satu penonton beringsut ke dalam gedung. Berbarengan dengan masuknya penonton, musik dan cahaya merambat pelan mengiringi para penari dan aktor bergerak menyusup ke panggung berlatar gelondongan-gelondongan tabung setinggi 2 meter dalam berbagai ukuran yang dirancang oleh Gerburg Stoffel dari Fina Bausch Tanztheater's. Komposisi musik techno dan sound yang diciptakan Gintesdorfer dan Dirk Specht, peraih pengharagaan dalam Kontemporary Techno-Music Festival 2010 di Koln, mampu menggedor perhatian penonton yang telah dihajar dingin sebelum masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Lima penari yang berasal dari beberapa sekolah balet; Ruben Reniers (Belanda), Helene Henkel (Hungaria), Cornelia Trumper (Spanyol), Hannah Pletzer, Kathrin Wankelmuth (Jerman) membangun komposisi dengan gerak-gerak balet kontemporer yang lebih terlihat sakit daripada indah. Tubuh mereka meregang dan mengerut, berjumpalitan di atas matras yang menutupi lantai panggung, jatuh terbanting, melenting, dan di satu titik tertentu tiba-tiba diam. Hening. Budi Laksana (Indonesia) perlahan menyusur tepian panggung dengan karakter gerak yang khas Indonesia. Kedua tangannya mengembang berayun dengan sepasang sayap dari linen hitam yang telah koyak. Ia seperti seekor burung yang terbang ditingkahi gemerisik suara hujan di kejauhan.
Serge Nekpe, aktor dari Pantai Gading, dengan tubuhnya yang legam dan kukuh mengendap di antara para penari yang mematung seperti hendak menebarkan ketakutan. Gerakannya mengingatkan tari-tarian dari pedalaman Afrika. Lalu, perlahan-lahan, lamat-lamat para aktor dan penari mengucapkan teks-teks Nostalgia Sebuah Kota dengan diksi yang beragam. Mengucapkan sejumlah kenangan tentang kota Tanjungkarang. Tentang gedung-gedung yang terus tumbuh, hibuk pasar, orang-orang yang bergegas, tentang seseorang yang tak mampu menghafal nama-nama jalan, tentang kesendirian, dan seterusnya.
Kristof Szabo, sutradara dari Hungaria yang menangani pertunjukan ini, membangun impresi-impresi tentang sebuah kota, keterasingan, kepanikan, kenangan, dengan citraan-citraan visual yang bergerak antara permainan (bermain-main) dan drama. Antara teks verbal yang dilisankan dan tubuh-tubuh yang menyusun bentuk dan gambar lalu diremukkan. Apa yang koyak dan bahkan tercabik dari kehidupan sebuah kota juga dihadirkan melalui pilihan-pilihan kostum rancangan Emese Kasza (Hungaria) dan Animasi Ivo Kavacs.
Tegangan yang biasa terjadi dalam drama, dirawat Kristof sepanjang pertunjukan melalui karakter gerak dan ekspresi yang dimainkan Budi Laksana dan peran yang dimainkan Kathrin dan Rubben yang menjadi sosok Silam dan Bayang. Sementara aktor dan penari lainnya lebih banyak mempresentasikan carut marut dan keangkuhan sebuah kota; pelacur yang kesepian, orang-orang yang tenggelam dalam belanja, gedung-gedung yang terus tumbuh dan segenap ancaman yang selalu mengintai dari balik hibuk kota. Semua ini dipertajam oleh pilihan video Ivo Kovacs sehingga setiap suasana yang dibangun memberi impresi silih berganti antara mencekam, menyayat, sepi, sekaligus urakan dan banal.
Satu setengah jam pertunjukan berlangsung dan penonton bergeming meski disergap dingin. Di setiap kursi juga telah disediakan selimut tebal berwarna hitam selebar 1 meter. Di akhir pementasan, semua berdiri memberi tepuk tangan dan melempari para aktor dan penari dengan bunga yang sengaja mereka beli; sebuah tradisi untuk menyaksikan peremiere pertunjukan. Juga di antara para seniman penyaji karya masing-masing membawa hadiah kecil dan diberikan kepada teman satu tim. Seperti juga pertunjukan malam itu, semoga menjadi persembahan tersendiri bagi Indonesia.
Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
KOLN. Suhu malam itu, Rabu 17-11, 2010, kian anjlok mendekati titik 0 derajat Celsius. Pohon-pohon kalisa dan maple yang di musim semi rimbun menaungi area seluas lebih kurang 1 ha tempat gedung Orangerie Theater berdiri di jantung Kota Koln, Jerman, seperti menggigil tanpa daun.
Di gedung inilah lakon Nostalgie Einer Stadt (Nostalgia Sebuah Kota) karya Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung dipentaskan hingga 21 November mendatang. Gedung yang pada pasca-Perang Dunia II menjadi gudang penyimpanan bibit-bibit pohon jeruk di musim dingin. Lalu dibagikan ke seluruh penjuru Kota Koln jika musim semi tiba. Itulah mengapa gedung ini disebut Orangerie (jeruk). Di gedung yang hanya berkapasitas 100 bangku atau lebih kurang sama seperti Teater Utan Kayu, Jakarta, penonton telah berdatangan mengantre tiket sejak pukul 19.00 waktu setempat.
Pertunjukan akan dimulai setengah jam lagi. Di antara kerumun penonton yang siap berdiri di depan pintu masuk gedung pertunjukan itu, tampak teman-teman dari Indonesia yang ada di Koln; Ging Ginanjar dan Andi dari Radio 68 H Komunitas Utan Kayu, Edith yang bertugas di salah satu Radio Jerman; Amanda mahasiswa Indonesia yang magang di Orangerie Theater; dan Angga yang sejak pagi sibuk membuat film dokumentaer Budi Laksana; aktor dari Teater Satu . Di antara mereka juga tampak beberapa seniman dari Tanz Theater Fina Baush, para sastrawan, seniman visual dan tentu saja seniman-seniman teater dari Koln, Bonn, dan Berlin.
Tepat pukul 19.30 pertunjukan dimulai. Berbekal tiket seharga 9—15 euro satu per satu penonton beringsut ke dalam gedung. Berbarengan dengan masuknya penonton, musik dan cahaya merambat pelan mengiringi para penari dan aktor bergerak menyusup ke panggung berlatar gelondongan-gelondongan tabung setinggi 2 meter dalam berbagai ukuran yang dirancang oleh Gerburg Stoffel dari Fina Bausch Tanztheater's. Komposisi musik techno dan sound yang diciptakan Gintesdorfer dan Dirk Specht, peraih pengharagaan dalam Kontemporary Techno-Music Festival 2010 di Koln, mampu menggedor perhatian penonton yang telah dihajar dingin sebelum masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Lima penari yang berasal dari beberapa sekolah balet; Ruben Reniers (Belanda), Helene Henkel (Hungaria), Cornelia Trumper (Spanyol), Hannah Pletzer, Kathrin Wankelmuth (Jerman) membangun komposisi dengan gerak-gerak balet kontemporer yang lebih terlihat sakit daripada indah. Tubuh mereka meregang dan mengerut, berjumpalitan di atas matras yang menutupi lantai panggung, jatuh terbanting, melenting, dan di satu titik tertentu tiba-tiba diam. Hening. Budi Laksana (Indonesia) perlahan menyusur tepian panggung dengan karakter gerak yang khas Indonesia. Kedua tangannya mengembang berayun dengan sepasang sayap dari linen hitam yang telah koyak. Ia seperti seekor burung yang terbang ditingkahi gemerisik suara hujan di kejauhan.
Serge Nekpe, aktor dari Pantai Gading, dengan tubuhnya yang legam dan kukuh mengendap di antara para penari yang mematung seperti hendak menebarkan ketakutan. Gerakannya mengingatkan tari-tarian dari pedalaman Afrika. Lalu, perlahan-lahan, lamat-lamat para aktor dan penari mengucapkan teks-teks Nostalgia Sebuah Kota dengan diksi yang beragam. Mengucapkan sejumlah kenangan tentang kota Tanjungkarang. Tentang gedung-gedung yang terus tumbuh, hibuk pasar, orang-orang yang bergegas, tentang seseorang yang tak mampu menghafal nama-nama jalan, tentang kesendirian, dan seterusnya.
Kristof Szabo, sutradara dari Hungaria yang menangani pertunjukan ini, membangun impresi-impresi tentang sebuah kota, keterasingan, kepanikan, kenangan, dengan citraan-citraan visual yang bergerak antara permainan (bermain-main) dan drama. Antara teks verbal yang dilisankan dan tubuh-tubuh yang menyusun bentuk dan gambar lalu diremukkan. Apa yang koyak dan bahkan tercabik dari kehidupan sebuah kota juga dihadirkan melalui pilihan-pilihan kostum rancangan Emese Kasza (Hungaria) dan Animasi Ivo Kavacs.
Tegangan yang biasa terjadi dalam drama, dirawat Kristof sepanjang pertunjukan melalui karakter gerak dan ekspresi yang dimainkan Budi Laksana dan peran yang dimainkan Kathrin dan Rubben yang menjadi sosok Silam dan Bayang. Sementara aktor dan penari lainnya lebih banyak mempresentasikan carut marut dan keangkuhan sebuah kota; pelacur yang kesepian, orang-orang yang tenggelam dalam belanja, gedung-gedung yang terus tumbuh dan segenap ancaman yang selalu mengintai dari balik hibuk kota. Semua ini dipertajam oleh pilihan video Ivo Kovacs sehingga setiap suasana yang dibangun memberi impresi silih berganti antara mencekam, menyayat, sepi, sekaligus urakan dan banal.
Satu setengah jam pertunjukan berlangsung dan penonton bergeming meski disergap dingin. Di setiap kursi juga telah disediakan selimut tebal berwarna hitam selebar 1 meter. Di akhir pementasan, semua berdiri memberi tepuk tangan dan melempari para aktor dan penari dengan bunga yang sengaja mereka beli; sebuah tradisi untuk menyaksikan peremiere pertunjukan. Juga di antara para seniman penyaji karya masing-masing membawa hadiah kecil dan diberikan kepada teman satu tim. Seperti juga pertunjukan malam itu, semoga menjadi persembahan tersendiri bagi Indonesia.
Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
Pelajar Ingin Kemah Sastra Dilanjutkan
GADINGREJO (Lampost): Pelajar tetap menginginkan kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra terus dilanjutkan dan dijadikan sebagai kegiatan tahunan. Kemah yang diikuti pelajar tingkat SMA itu dinilai bisa meningkatkan kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Hal itu terungkap dari survei terhadap 184 pelajar dan disampaikan dalam pembubaran Panitia Pelaksana Kemah Bahasa dan Sastra di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Sabtu (20-11). Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra Sumarno, dalam laporannya, mengatakan dari 184 pelajar yang menjadi responden, 99,5% mengharapkan Kemah Bahasa dan Sastra itu terus dilanjutkan dan dijadikan agenda setiap tahunnya.
"Kami menyurvei responden yang semuanya pelajar SMA dan peserta Kemah Bahasa dan Sastra. Dari 184 responden, 100 pelajar menyatakan sangat setuju kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra dilanjutkan. Sebanyak 83 orang menyatakan setuju dilanjutkan serta 1 orang menyatakan tidak tahu," kata Sumarno.
Menurut Sumarno, survei itu dilakukan dengan menggunakan jejaring sosial Facebook yang dibuat oleh alumni peserta Kemah Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan Harian Umum Lampung Post.
Sumarno juga menjelaskan Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar selama tiga hari, 28—30 Oktober, itu diikuti 264 pelajar dari 44 sekolah, terdiri atas SMA, SMK, dan madrasah aliah (MA), baik negeri maupun swasta. Peserta dari setiap sekolah juga didampingi satu orang guru.
"Tidak hanya pelajar yang menginginkan Kemah Sastra ini dilanjutkan, guru-guru pendamping juga berharap kegiatan ini rutin digelar setiap tahun," ujar guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Gadingrejo.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra ini merupakan kegiatan yang pertama kali digelar di Provinsi Lampung. "Kegiatan ini adalah proklamasi atas ajang kreativitas bidang bahasa dan sastra di Provinsi Lampung. Karena itu, sangat baik untuk terus dilanjutkan," kata Hermin.
Pembubaran panitia itu dihadiri perwakilan dari UKI, Dandy Nowea, dan Asisten Redaktur Kristianto. Menurut rencana, setelah pembubaran, akan dilaksanakan evaluasi. (KIS/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
Hal itu terungkap dari survei terhadap 184 pelajar dan disampaikan dalam pembubaran Panitia Pelaksana Kemah Bahasa dan Sastra di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Sabtu (20-11). Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra Sumarno, dalam laporannya, mengatakan dari 184 pelajar yang menjadi responden, 99,5% mengharapkan Kemah Bahasa dan Sastra itu terus dilanjutkan dan dijadikan agenda setiap tahunnya.
"Kami menyurvei responden yang semuanya pelajar SMA dan peserta Kemah Bahasa dan Sastra. Dari 184 responden, 100 pelajar menyatakan sangat setuju kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra dilanjutkan. Sebanyak 83 orang menyatakan setuju dilanjutkan serta 1 orang menyatakan tidak tahu," kata Sumarno.
Menurut Sumarno, survei itu dilakukan dengan menggunakan jejaring sosial Facebook yang dibuat oleh alumni peserta Kemah Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan Harian Umum Lampung Post.
Sumarno juga menjelaskan Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar selama tiga hari, 28—30 Oktober, itu diikuti 264 pelajar dari 44 sekolah, terdiri atas SMA, SMK, dan madrasah aliah (MA), baik negeri maupun swasta. Peserta dari setiap sekolah juga didampingi satu orang guru.
"Tidak hanya pelajar yang menginginkan Kemah Sastra ini dilanjutkan, guru-guru pendamping juga berharap kegiatan ini rutin digelar setiap tahun," ujar guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Gadingrejo.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra ini merupakan kegiatan yang pertama kali digelar di Provinsi Lampung. "Kegiatan ini adalah proklamasi atas ajang kreativitas bidang bahasa dan sastra di Provinsi Lampung. Karena itu, sangat baik untuk terus dilanjutkan," kata Hermin.
Pembubaran panitia itu dihadiri perwakilan dari UKI, Dandy Nowea, dan Asisten Redaktur Kristianto. Menurut rencana, setelah pembubaran, akan dilaksanakan evaluasi. (KIS/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
November 20, 2010
Lampung Arts Festival 2010: DKL Undang Dewan Kesenian se-Indonesia
Jakarta - Silaturahmi Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia yang digelar Dewan Kesenian Lampung (DKL) dipastikan akan dihadiri oleh sembilan Dewan Kesenian (DK) Provinsi berkaitan dengan Lampung Arts Festival (LAF), 24-26 November 2010 di Hotel Arinas, Bandar Lampung.
Tari Sembah. (SINAR HARAPAN)
Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka mewakili Ketua Umum DKL Syafariah Widianti alias Atu Ayi mengatakan melalui rilis yang dikirimkan kepada SH, Jumat (19/11), pengurus DK Provinsi yang siap hadir adalah Kalimantan Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jambi.
Sementara itu, dari kabupaten/kota di Lampung yang siap hadir dari Tanggamus, Lampung Utara, dan Way Kanan. “Meski DK Jambi saat ini masih kosong (vakum), mereka mengirim dua tim pembentukan pengurus baru DK Jambi,” ujar Syaiful Irba Tanpaka.
Didampingi sekretarisnya, Hary Jayaningrat, Syaiful yang menjabat sebagai Ketua Harian DKL mengatakan pihaknya masih mengonfirmasi beberapa pengurus DK Provinsi lainnya, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Sulsel, Sulteng, dan DK lainnya. “Sementara itu, DK Riau memang sudah menyatakan tak bisa hadir, karena bersamaan mereka ada kegiatan,” ujar dia lagi.
Syaiful optimistis soal persiapan Silaturahmi DK Privinsi yang digelar pada 24 November 2010. “Mungkin persoalannnya adalah persiapan, termasuk soal transportasi peserta,” kata Syaiful. Untuk itu, pihaknya tetap berkoordinasi dengan DKJ dan DK Provinsi lainnya.
Pentas Seni
Lampung Arts Festival (LAF) akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan cangget bakha pada Kamis (25/11) malam, di Taman Budaya Lampung. Dengan festival ini, diharapkan tamu dari DK Provinsi se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget bakha. Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30/11), lomba baca puisi bahasa Lampung, Sabtu (27.11), dan lomba mewarnai pada Minggu (28/11).
Arman AZ, koordinator lomba baca puisi bahasa Lampung menjelaskan, hingga kini baru 16 peserta yang mendaftar. Arman mengatakan, persoalannya sampai kini kabarnya belum ada disposisi dari kepala sekolah.
“Saya berharap kepala sekolah bersangkutan dapat memberi disposisi bagi siswa yang akan mengikuti lomba. Ini penting untuk menumbuhkan bakat siswa sebagai bekal mereka kelak,” tegas Arman AZ, yang dikenal juga sebagai cerpenis Lampung. (srs/pr)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 November 2010
Tari Sembah. (SINAR HARAPAN)
Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka mewakili Ketua Umum DKL Syafariah Widianti alias Atu Ayi mengatakan melalui rilis yang dikirimkan kepada SH, Jumat (19/11), pengurus DK Provinsi yang siap hadir adalah Kalimantan Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jambi.
Sementara itu, dari kabupaten/kota di Lampung yang siap hadir dari Tanggamus, Lampung Utara, dan Way Kanan. “Meski DK Jambi saat ini masih kosong (vakum), mereka mengirim dua tim pembentukan pengurus baru DK Jambi,” ujar Syaiful Irba Tanpaka.
Didampingi sekretarisnya, Hary Jayaningrat, Syaiful yang menjabat sebagai Ketua Harian DKL mengatakan pihaknya masih mengonfirmasi beberapa pengurus DK Provinsi lainnya, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Sulsel, Sulteng, dan DK lainnya. “Sementara itu, DK Riau memang sudah menyatakan tak bisa hadir, karena bersamaan mereka ada kegiatan,” ujar dia lagi.
Syaiful optimistis soal persiapan Silaturahmi DK Privinsi yang digelar pada 24 November 2010. “Mungkin persoalannnya adalah persiapan, termasuk soal transportasi peserta,” kata Syaiful. Untuk itu, pihaknya tetap berkoordinasi dengan DKJ dan DK Provinsi lainnya.
Pentas Seni
Lampung Arts Festival (LAF) akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan cangget bakha pada Kamis (25/11) malam, di Taman Budaya Lampung. Dengan festival ini, diharapkan tamu dari DK Provinsi se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget bakha. Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30/11), lomba baca puisi bahasa Lampung, Sabtu (27.11), dan lomba mewarnai pada Minggu (28/11).
Arman AZ, koordinator lomba baca puisi bahasa Lampung menjelaskan, hingga kini baru 16 peserta yang mendaftar. Arman mengatakan, persoalannya sampai kini kabarnya belum ada disposisi dari kepala sekolah.
“Saya berharap kepala sekolah bersangkutan dapat memberi disposisi bagi siswa yang akan mengikuti lomba. Ini penting untuk menumbuhkan bakat siswa sebagai bekal mereka kelak,” tegas Arman AZ, yang dikenal juga sebagai cerpenis Lampung. (srs/pr)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 November 2010
9 Dewan Kesenian Dipastikan Hadiri Silaturahmi DK
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sembilan Dewan Kesenian (DK) dari beberapa provinsi menyatakan bakal hadir pada Silaturahmi DK Provinsi se-Indonesia yang digelar Dewan Kesenian Lampung (DKL), sekaitan Lampung Arts Festival (LAF), 24—26 November 2010, di Hotel Arinas, Bandar Lampung.
Ketua Harian DKL Syaiful Irba Tanpaka mengatakan data sementara sampai Jumat (19-11), pengurus DK provinsi yang siap hadir sudah sembilan. Kesembilan provinsi itu, yakni Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, DKJ, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sedangkan dari kabupaten/kota di Lampung yang siap hadir dari DK Tanggamus, Lampung Utara, dan Way Kanan.
“Meski DK Jambi saat ini masih kosong (vakum), mereka mengirim dua tim pembentukan pengurus baru DK Jambi,” kata Syaiful Irba Tanpaka didamping sekretarisnya, Hary Jayaningrat.
Menurut Ketua Harian DKL itu, pihaknya masih terus mengonfirmasi beberapa pengurus DK provinsi lainnya, seperti DK Nangroe Aceh Darussalam (NAD), DK Papua, DK Sulses, DK Sulteng, dan lain-lainnya. “Sedangkan DK Riau memang sudah menyatakan tak bisa hadir, karena bersamaan mereka ada kegiatan,” ujar dia lagi.
Syaiful optimistis hingga beberapa hari kemudian sebelum Silaturahmi DK Privinsi digelar pada 24 November 2010. “Mungkin persoalannnya adalah persiapan, termasuk soal transportasi peserta,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya tetap berkoordinasi dengan DKJ dan DK provinsi lainnya.
LAF
Sementara itu, Lampung Arts Festival akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan cangget bakha pada Kamis (25-11) malam di Taman Budaya Lampung. Diharapkan tamu dari DK Provinsi se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget bakha.
Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30 November), lomba baca puisi bahasa Lampung, Sabtu (27 November), dan lomba mewarnai pada Minggu (28 November).
Arman A.Z., koordinator lomba baca puisi bahasa Lampung, menjelaskan hingga kini baru 16 peserta yang mendaftar. Arman mengatakan persoalannya sampai kini kabarnya belum ada disposisi dari kepala sekolah.
“Saya mengharapkan, kepala sekolah bersangkutan dapat memberi disposisi bagi siswa yang akan mengikuti lomba. Ini penting bagi menumbuhkan bakat siswa sebagai bekal mereka kelak,” ujar Arman, yang dikenal cerpenis Lampung itu. (ZUL/S-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 November 2010
Ketua Harian DKL Syaiful Irba Tanpaka mengatakan data sementara sampai Jumat (19-11), pengurus DK provinsi yang siap hadir sudah sembilan. Kesembilan provinsi itu, yakni Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, DKJ, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sedangkan dari kabupaten/kota di Lampung yang siap hadir dari DK Tanggamus, Lampung Utara, dan Way Kanan.
“Meski DK Jambi saat ini masih kosong (vakum), mereka mengirim dua tim pembentukan pengurus baru DK Jambi,” kata Syaiful Irba Tanpaka didamping sekretarisnya, Hary Jayaningrat.
Menurut Ketua Harian DKL itu, pihaknya masih terus mengonfirmasi beberapa pengurus DK provinsi lainnya, seperti DK Nangroe Aceh Darussalam (NAD), DK Papua, DK Sulses, DK Sulteng, dan lain-lainnya. “Sedangkan DK Riau memang sudah menyatakan tak bisa hadir, karena bersamaan mereka ada kegiatan,” ujar dia lagi.
Syaiful optimistis hingga beberapa hari kemudian sebelum Silaturahmi DK Privinsi digelar pada 24 November 2010. “Mungkin persoalannnya adalah persiapan, termasuk soal transportasi peserta,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya tetap berkoordinasi dengan DKJ dan DK provinsi lainnya.
LAF
Sementara itu, Lampung Arts Festival akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian dan cangget bakha pada Kamis (25-11) malam di Taman Budaya Lampung. Diharapkan tamu dari DK Provinsi se-Indonesia bisa menikmati sajian kesenian khas Lampung dan cangget bakha.
Kemudian, pameran foto peserta lomba foto bertema transformasi di Ruang Pameran TBL (25-30 November), lomba baca puisi bahasa Lampung, Sabtu (27 November), dan lomba mewarnai pada Minggu (28 November).
Arman A.Z., koordinator lomba baca puisi bahasa Lampung, menjelaskan hingga kini baru 16 peserta yang mendaftar. Arman mengatakan persoalannya sampai kini kabarnya belum ada disposisi dari kepala sekolah.
“Saya mengharapkan, kepala sekolah bersangkutan dapat memberi disposisi bagi siswa yang akan mengikuti lomba. Ini penting bagi menumbuhkan bakat siswa sebagai bekal mereka kelak,” ujar Arman, yang dikenal cerpenis Lampung itu. (ZUL/S-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 November 2010
November 18, 2010
Love, Poetry Not Lost in Translation of Indonesian Play
by Katrin Figge
WHEN German national Sabine Mueller lived and worked in Indonesia from 2002 to 2007, she took every opportunity to familiarize herself with the local theater scene. In 2004, the play “Nostalgia of a Town,” performed by the drama group Teater Satu from Lampung, Southeast Sumatra, captured the theater lover’s imagination.
Cast members rehearse for the German production of “Nostalgia of a Town”, written by Indonesian playwright Iswadi Pratama. The play is now showing in Cologne with an international cast. (Photo courtesy of Sabine Mueller) Cast members rehearse for the German production of “Nostalgia of a Town”, written by Indonesian playwright Iswadi Pratama. The play is now showing in Cologne with an international cast. (Photo courtesy of Sabine Mueller)
“I think you can say that I fell in love with the play immediately,” Mueller said, remembering her reaction after the final curtain. “I was swept away by the actors, the script and the dramatic composition.”
“Nostalgia of a Town,” written by Iswadi Pratama, tells the story of a man who tries to deal with his memories of Tanjungkarang, a town in South Sumatra where he once lived.
The man’s memories of learning to cope with loneliness, turmoil and urban noise that left him with very little room to breathe, are the central theme of the play.
The play invites the audience to reflect on the social, cultural and emotional price of living in a city.
The play has won several national awards in Indonesia, including best script, best director and best performance at the Theater Festival organized by Gedung Kesenian Jakarta (The Jakarta Playhouse) in 2003.
Over the years, Mueller and Iswadi became close friends. When Mueller moved back to Germany in 2007, she decided to translate Iswadi’s play into German and invite Teater Satu to perform in her home country.
After three years of preparation and hard work, her efforts have finally borne fruit.
The play premiered on Wednesday night and is currently showing in Cologne.
According to Mueller, this is the first theater production to feature a script originally written by an Indonesian and performed in German language to a German audience.
“I started with the translation in mid 2007,” Mueller said. “Because I already knew the play, I didn’t face fundamental problems while translating.”
However, the text is very poetic, she added, and sometimes it was not easy to translate it from Indonesian to German because of the very different grammar and syntax.
“Of course, I was enormously lucky because I always had the chance to ask the author myself when I had questions,” she said.
Iswadi, who is also currently in Germany, said he feels extremely blessed to see his play performed in Europe.
“This is a great opportunity and very important to my creative process and my career in the theater world,” he said.
He added that he has been especially happy to see that his play has brought together artists from different countries.
The cast members come from countries as varied as Russia, the Netherlands, the Ivory Coast, Germany and Indonesia, while director Kristof Szabo is Hungarian.
“I hope that through this performance we help to further enhance intercultural collaboration in the future,” Iswadi said.
Szabo, the play’s director, said he felt immediately drawn to “Nostalgia of a Town” when he first read Mueller’s translation of the script.
“The childishness, the suggestive and poetic text and the non-linear structure almost forced me to accept the offer to direct the play,” he said.
“Working together with an international ensemble and seeing them improvise during several scenes was the highlight of this project. Improvisation only works if the cast gets along well, and when they respect each other,” he said.
“Then it doesn’t matter anymore what country they actually come from.”
The result is a production that crosses several disciplines, with dance used to highlight the emotions behind the dialogue.
Images by a Hungarian animation artist, projected onto the stage during the play, complement the performance.
“In addition to all that, there is music, so the audience not only sees, but experiences with all senses what happens on stage,” Mueller said.
She hopes for an audience that is not only interested in contemporary theater, but also wants to learn about other countries and cultures.
“As a complete work of art, “Nostalgia of a Town” should be seen as an invitation to notice and focus on something foreign and different and to scrutinize certain things,” she said.
“I think that an exploration like this is best experienced together, in the theater, to see what we do or do not have in common.”
Budi Laksana of Teater Satu, who joined the rehearsals in Germany in mid-October, is the only Indonesian in the cast of seven and, as such, feels that he carries a big responsibility on his shoulders.
“This is very important to me,” he said. “I want to enrich the performance by bringing an Indonesian vibe to it.”
Mueller said it was crucial to the director to have somebody in the cast who is familiar with traditional Indonesian dance. “More than that, Budi is a very experienced and expressive actor.”
Budi admitted that sometimes the rehearsals were not easy for him.
As the only actor in the team of professional dancers, he had to overcome many challenges.
However, it was not just Budi’s involvement in the play that made his stay in Germany an unforgettable experience.
“This is the first time I have been abroad,” Budi said.
“When I first set foot in Cologne, I was immediately captivated by its beauty. The people here respect one another. The public transportation system is well-organized, and even people who are new in the city don’t get lost. Old historical buildings remain well-maintained. The air is fresh and clean. I am really happy to be here.”
Source: Jakarta Globe | November 18, 2010
WHEN German national Sabine Mueller lived and worked in Indonesia from 2002 to 2007, she took every opportunity to familiarize herself with the local theater scene. In 2004, the play “Nostalgia of a Town,” performed by the drama group Teater Satu from Lampung, Southeast Sumatra, captured the theater lover’s imagination.
Cast members rehearse for the German production of “Nostalgia of a Town”, written by Indonesian playwright Iswadi Pratama. The play is now showing in Cologne with an international cast. (Photo courtesy of Sabine Mueller) Cast members rehearse for the German production of “Nostalgia of a Town”, written by Indonesian playwright Iswadi Pratama. The play is now showing in Cologne with an international cast. (Photo courtesy of Sabine Mueller)
“I think you can say that I fell in love with the play immediately,” Mueller said, remembering her reaction after the final curtain. “I was swept away by the actors, the script and the dramatic composition.”
“Nostalgia of a Town,” written by Iswadi Pratama, tells the story of a man who tries to deal with his memories of Tanjungkarang, a town in South Sumatra where he once lived.
The man’s memories of learning to cope with loneliness, turmoil and urban noise that left him with very little room to breathe, are the central theme of the play.
The play invites the audience to reflect on the social, cultural and emotional price of living in a city.
The play has won several national awards in Indonesia, including best script, best director and best performance at the Theater Festival organized by Gedung Kesenian Jakarta (The Jakarta Playhouse) in 2003.
Over the years, Mueller and Iswadi became close friends. When Mueller moved back to Germany in 2007, she decided to translate Iswadi’s play into German and invite Teater Satu to perform in her home country.
After three years of preparation and hard work, her efforts have finally borne fruit.
The play premiered on Wednesday night and is currently showing in Cologne.
According to Mueller, this is the first theater production to feature a script originally written by an Indonesian and performed in German language to a German audience.
“I started with the translation in mid 2007,” Mueller said. “Because I already knew the play, I didn’t face fundamental problems while translating.”
However, the text is very poetic, she added, and sometimes it was not easy to translate it from Indonesian to German because of the very different grammar and syntax.
“Of course, I was enormously lucky because I always had the chance to ask the author myself when I had questions,” she said.
Iswadi, who is also currently in Germany, said he feels extremely blessed to see his play performed in Europe.
“This is a great opportunity and very important to my creative process and my career in the theater world,” he said.
He added that he has been especially happy to see that his play has brought together artists from different countries.
The cast members come from countries as varied as Russia, the Netherlands, the Ivory Coast, Germany and Indonesia, while director Kristof Szabo is Hungarian.
“I hope that through this performance we help to further enhance intercultural collaboration in the future,” Iswadi said.
Szabo, the play’s director, said he felt immediately drawn to “Nostalgia of a Town” when he first read Mueller’s translation of the script.
“The childishness, the suggestive and poetic text and the non-linear structure almost forced me to accept the offer to direct the play,” he said.
“Working together with an international ensemble and seeing them improvise during several scenes was the highlight of this project. Improvisation only works if the cast gets along well, and when they respect each other,” he said.
“Then it doesn’t matter anymore what country they actually come from.”
The result is a production that crosses several disciplines, with dance used to highlight the emotions behind the dialogue.
Images by a Hungarian animation artist, projected onto the stage during the play, complement the performance.
“In addition to all that, there is music, so the audience not only sees, but experiences with all senses what happens on stage,” Mueller said.
She hopes for an audience that is not only interested in contemporary theater, but also wants to learn about other countries and cultures.
“As a complete work of art, “Nostalgia of a Town” should be seen as an invitation to notice and focus on something foreign and different and to scrutinize certain things,” she said.
“I think that an exploration like this is best experienced together, in the theater, to see what we do or do not have in common.”
Budi Laksana of Teater Satu, who joined the rehearsals in Germany in mid-October, is the only Indonesian in the cast of seven and, as such, feels that he carries a big responsibility on his shoulders.
“This is very important to me,” he said. “I want to enrich the performance by bringing an Indonesian vibe to it.”
Mueller said it was crucial to the director to have somebody in the cast who is familiar with traditional Indonesian dance. “More than that, Budi is a very experienced and expressive actor.”
Budi admitted that sometimes the rehearsals were not easy for him.
As the only actor in the team of professional dancers, he had to overcome many challenges.
However, it was not just Budi’s involvement in the play that made his stay in Germany an unforgettable experience.
“This is the first time I have been abroad,” Budi said.
“When I first set foot in Cologne, I was immediately captivated by its beauty. The people here respect one another. The public transportation system is well-organized, and even people who are new in the city don’t get lost. Old historical buildings remain well-maintained. The air is fresh and clean. I am really happy to be here.”
Source: Jakarta Globe | November 18, 2010
Menekan Tingkat Kemiskinan di Lampung
Oleh Yosep
MENURUT ahli sosiologi dan antropologi, kemiskinan merupakan fenomena yang telah ada sejak zaman Mesir kuno sebelum ada bukti tertulis. Tulisan pertama tentang kemiskinan telah dimulai sejak zaman Babilonia, Talmudic, dan Kristen mula-mula. Meski demikian, walaupun usianya sudah sangat tua, kemiskinan sampai saat ini masih belum juga dapat dihapuskan. Mungkin tepat seandainya kemiskinan diasosiasikan sebagai virus yang tidak mungkin diberantas secara langsung, obat yang mungkin diberikan hanya dalam upaya meningkatkan kekebalan tubuh untuk menekan populasi virus tersebut.
Setiap negara berupaya untuk memberantas kemiskinan khususnya negara-negara di Asia dan Afrika. Pada September 2000, sebanyak 189 kepala negara menandatangani kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) di KTT Milenium PBB dengan tujuan utama, memangkas setengah penduduk miskin global yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari pada kurun waktu 1990—2015. Konsep kemiskinan pun sejauh ini masih merupakan bahan perdebatan seru para ahli. Para ahli belum dapat mendefinisikan secara tepat, apakah sesungguhnya kemiskinan itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dengan menghitung garis kemiskinan. Garis kemiskinan dibedakan menjadi garis kemiskinan makanan setara dengan 2100 kkal perkapita per hari dan garis kemiskinan bukan makanan yang merupakan kebutuhan untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Sejak Desember 1998, penghitungan kemiskinan disempurnakan dengan perluasan cakupan komoditas dengan mempertimbangkan keterbandingan antardaerah dan waktu.
Berdasarkan hasil Susenas panel tahun 2009, persentase penduduk miskin Provinsi Lampung masih tergolong tinggi dibandingkan dengan angka nasional, yaitu masing-masing 20,22 persen dan 14,15 persen. Ada beberapa variabel makroekonomi yang dapat digunakan sebagai analisa tingginya angka kemiskinan di Provinsi Lampung, yaitu pertumbuhan sektor pertanian dan inflasi bahan makanan.
Pertumbuhan Sektor Pertanian
Sesungguhnya kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah maupun Gubenur Bank Indonesia seputar otoritas fiskal dan moneter selalu diperhadapkan dengan dua pilihan yang sulit, lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi atau stabilitas harga. Apakah para pengambil kebijakan makro adalah Hawk atau Dove? Saat pemerintah memutuskan untuk memacu pertumbuhan ekonomi berarti pemerintah siap mengorbankan stabilitas harga. Demikian sebaliknya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Pemerintah dapat memacu pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan rakyat miskin. Pertumbuhan sektor tradable sangat berkaitan erat kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan karena rakyat miskin umumnya berada pada sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan) khususnya sektor pertanian. Peranan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung relatif cukup tinggi, yaitu 38,63 persen dibandingkan dengan peranan pertanian secara nasional sebesar 15,63 persen. Namun, pertumbuhan sektor ini belum menggembirakan, pada 2008 sektor ini hanya bertumbuh sebesar 2,99 persen dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada saat itu 5,26 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian secara national bertumbuh sebesar 4,77 persen dibandingkan PDB di tahun itu yang bertumbuh 4,21 persen.
Inflasi Bahan Makanan
Inflasi bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil penelitian Ravallion (2008) bahwa kenaikan harga bahan makanan di Indonesia sebesar 10 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 2 juta jiwa (1 persen).
Tingkat kemiskinan penduduk Lampung sejalan dengan hasil penelitian tersebut. Pada 2008, inflasi bahan makanan Provinsi Lampung mencapai angka 22,05 persen, merupakan angka yang relatif tinggi, inflasi umum pada tahun itu 11,26 persen. Sedangkan secara nasional inflasi bahan makanan 16,35 persen, sedangkan angka inflasi secara umum nasional pada tahun itu 11,06 persen.
Orang miskin relatif lebih banyak menghabiskan pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Oleh sebab itu, efek inflasi bahan makanan akan lebih buruk bagi orang miskin. Dampak kenaikan harga terhadap besarnya peningkatan angka kemiskinan tergantung terhadap posisi pemasaran (net marketing position) sebagai konsumen bahan makanan (net food buyer) atau produsen bahan makanan (net food seller) dan besarnya konsumsi masyarakat yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan. Hasil studi bank dunia 2008 juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk indonesia (lebih dari 75 persen) adalah konsumen bahan makanan (net food buyer) bukan produsen bahan makanan (net food producer) sehingga peningkatan harga bahan makanan ini tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Seandainya posisi pemasaran penduduk Lampung diasumsikan seperti struktur posisi pemasaran sebagian besar masyarakat di Indonesia, tentunya dampak kenaikan harga bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin secara drastis.
Kesimpulan
Pemerintah Provinsi Lampung dapat meneruskan kebijakan memacu pertumbuhan ekonomi sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Namun, hendaknya memberikan perhatian bagi pertumbuhan tradable sektor khususnya sektor pertanian. Pemerintah daerah juga harus mewaspadai efek kenaikan bahan makanan dengan menjamin ketersediaan bahan pangan khususnya menghadapi berbagai bencana yang menghempas negeri ini. Tekanan inflasi bahan makanan akibat gagal panen dan kekurangan bahan makanan di berbagai daerah terkena bencana alam akan besar pengaruhnya terhadap meningkatnya angka kemiskinan. n
Yosep, Staf BPS Provinsi Lampung, alumnus Pascasarjana International Development Economics, Australian National University.
(Uraian ini merupakan pendapat penulis tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 November 2010
MENURUT ahli sosiologi dan antropologi, kemiskinan merupakan fenomena yang telah ada sejak zaman Mesir kuno sebelum ada bukti tertulis. Tulisan pertama tentang kemiskinan telah dimulai sejak zaman Babilonia, Talmudic, dan Kristen mula-mula. Meski demikian, walaupun usianya sudah sangat tua, kemiskinan sampai saat ini masih belum juga dapat dihapuskan. Mungkin tepat seandainya kemiskinan diasosiasikan sebagai virus yang tidak mungkin diberantas secara langsung, obat yang mungkin diberikan hanya dalam upaya meningkatkan kekebalan tubuh untuk menekan populasi virus tersebut.
Setiap negara berupaya untuk memberantas kemiskinan khususnya negara-negara di Asia dan Afrika. Pada September 2000, sebanyak 189 kepala negara menandatangani kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) di KTT Milenium PBB dengan tujuan utama, memangkas setengah penduduk miskin global yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari pada kurun waktu 1990—2015. Konsep kemiskinan pun sejauh ini masih merupakan bahan perdebatan seru para ahli. Para ahli belum dapat mendefinisikan secara tepat, apakah sesungguhnya kemiskinan itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dengan menghitung garis kemiskinan. Garis kemiskinan dibedakan menjadi garis kemiskinan makanan setara dengan 2100 kkal perkapita per hari dan garis kemiskinan bukan makanan yang merupakan kebutuhan untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Sejak Desember 1998, penghitungan kemiskinan disempurnakan dengan perluasan cakupan komoditas dengan mempertimbangkan keterbandingan antardaerah dan waktu.
Berdasarkan hasil Susenas panel tahun 2009, persentase penduduk miskin Provinsi Lampung masih tergolong tinggi dibandingkan dengan angka nasional, yaitu masing-masing 20,22 persen dan 14,15 persen. Ada beberapa variabel makroekonomi yang dapat digunakan sebagai analisa tingginya angka kemiskinan di Provinsi Lampung, yaitu pertumbuhan sektor pertanian dan inflasi bahan makanan.
Pertumbuhan Sektor Pertanian
Sesungguhnya kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah maupun Gubenur Bank Indonesia seputar otoritas fiskal dan moneter selalu diperhadapkan dengan dua pilihan yang sulit, lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi atau stabilitas harga. Apakah para pengambil kebijakan makro adalah Hawk atau Dove? Saat pemerintah memutuskan untuk memacu pertumbuhan ekonomi berarti pemerintah siap mengorbankan stabilitas harga. Demikian sebaliknya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Pemerintah dapat memacu pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan rakyat miskin. Pertumbuhan sektor tradable sangat berkaitan erat kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan karena rakyat miskin umumnya berada pada sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan) khususnya sektor pertanian. Peranan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung relatif cukup tinggi, yaitu 38,63 persen dibandingkan dengan peranan pertanian secara nasional sebesar 15,63 persen. Namun, pertumbuhan sektor ini belum menggembirakan, pada 2008 sektor ini hanya bertumbuh sebesar 2,99 persen dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada saat itu 5,26 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian secara national bertumbuh sebesar 4,77 persen dibandingkan PDB di tahun itu yang bertumbuh 4,21 persen.
Inflasi Bahan Makanan
Inflasi bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil penelitian Ravallion (2008) bahwa kenaikan harga bahan makanan di Indonesia sebesar 10 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 2 juta jiwa (1 persen).
Tingkat kemiskinan penduduk Lampung sejalan dengan hasil penelitian tersebut. Pada 2008, inflasi bahan makanan Provinsi Lampung mencapai angka 22,05 persen, merupakan angka yang relatif tinggi, inflasi umum pada tahun itu 11,26 persen. Sedangkan secara nasional inflasi bahan makanan 16,35 persen, sedangkan angka inflasi secara umum nasional pada tahun itu 11,06 persen.
Orang miskin relatif lebih banyak menghabiskan pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Oleh sebab itu, efek inflasi bahan makanan akan lebih buruk bagi orang miskin. Dampak kenaikan harga terhadap besarnya peningkatan angka kemiskinan tergantung terhadap posisi pemasaran (net marketing position) sebagai konsumen bahan makanan (net food buyer) atau produsen bahan makanan (net food seller) dan besarnya konsumsi masyarakat yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan. Hasil studi bank dunia 2008 juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk indonesia (lebih dari 75 persen) adalah konsumen bahan makanan (net food buyer) bukan produsen bahan makanan (net food producer) sehingga peningkatan harga bahan makanan ini tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Seandainya posisi pemasaran penduduk Lampung diasumsikan seperti struktur posisi pemasaran sebagian besar masyarakat di Indonesia, tentunya dampak kenaikan harga bahan makanan akan meningkatkan jumlah penduduk miskin secara drastis.
Kesimpulan
Pemerintah Provinsi Lampung dapat meneruskan kebijakan memacu pertumbuhan ekonomi sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Namun, hendaknya memberikan perhatian bagi pertumbuhan tradable sektor khususnya sektor pertanian. Pemerintah daerah juga harus mewaspadai efek kenaikan bahan makanan dengan menjamin ketersediaan bahan pangan khususnya menghadapi berbagai bencana yang menghempas negeri ini. Tekanan inflasi bahan makanan akibat gagal panen dan kekurangan bahan makanan di berbagai daerah terkena bencana alam akan besar pengaruhnya terhadap meningkatnya angka kemiskinan. n
Yosep, Staf BPS Provinsi Lampung, alumnus Pascasarjana International Development Economics, Australian National University.
(Uraian ini merupakan pendapat penulis tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 November 2010
November 16, 2010
Langkan: Dewan Kesenian Lampung Gelar LAF 2010
DEWAN Kesenian Lampung menggelar Lampung Arts Festival (LAF) pada 23-28 November di Taman Budaya Lampung, Kota Bandar Lampung. Kegiatan tersebut akan dimeriahkan pentas seni seperti lomba baca puisi bahasa Lampung, pameran peserta lomba foto, lomba mewarnai, serta pergelaran seni dan cangget bakha. Selain itu, kegiatan penunjang LAF adalah seminar dan silaturahim Dewan Kesenian provinsi se-Indonesia pada 24-26 November 2010. Demikian dikatakan Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung Syafariah Widianti dan Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka, Senin (15/11) di Jakarta. (NAL)
Sumber: Kompas, Selasa, 16 November 2010
Sumber: Kompas, Selasa, 16 November 2010
November 15, 2010
Revolusi Atasi Kemiskinan
Oleh Adian Saputra
APA penyebab kemiskinan di Indonesia sulit untuk diminimalkan? Jawabannya ialah akses masyarakat miskin untuk mendapatkan modal usaha produktif tidak pernah diberikan oleh pemerintah. Sejak era Reformasi, masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan modal berusaha. Mereka, misalnya, yang menjadi penambang batu di bukit, berdagang kecil-kecilan di rumahnya, atau menjadi buruh, sulit untuk mendapatkan uang yang bisa mereka putar sebagai usaha produktif. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka terus saja didera kemiskinan hingga bertahun-tahun.
Alokasi anggaran buat pemerintah rupanya permisif untuk dikorupsi para maling kelas kakap besar ketimbang memberdayakan masyarakat miskin. Duit pajak di Indonesia lebih suka dikorupsi orang semacam Gayus ketimbang diberikan kepada orang miskin. Kalau saja uang Rp65 miliar diberikan secara merata kepada 10 ribu kepala keluarga miskin, masing-masing akan akan memperoleh lebih dari Rp6,5 juta. Angka itu sudah lebih dari cukup buat masyarakat miskin kita bangkit dari keadaan. Sayang, hal seperti itu sulit diwujudkan.
Perbankan kita juga demikian. Masih enggan memberikan pinjaman terhadap masyarakat miskin yang mau berniaga atau berwirausaha. Mereka lebih memilih untuk mengalokasikannya buat korporasi besar.
Lalu, item apa lagi yang membuat masyarakat kita selalu miskin?
Anggaran pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat kelas bawah tidak pernah ada sesungguhnya. Pemerintah Yudhoyono boleh merasa sudah berbuat dengan membuat program Kredit Usaha Rakyat atau KUR. Namun, percayalah, itu cuma kamuflase. Banyak orang yang berkeliling dari satu bank ke bank lain yang diiklankan pemerintah bisa meminjamkan KUR itu. Nyatanya semua cuma pepesan kosong. Peluncuran program bagi-bagi kredit buat rakyat hanya komoditas politik untuk menaikkan citra menjelang Pemilihan Presiden 2009.
Apa lagi? Ini dia: penerimaan PNS. Setiap tahun pemerintah membuka lowongan buat alumni kampus agar menjadi abdi negara. Kebijakan ini sudah tentu salah besar. Mengapa? Sebab, kebanyakan para amtenar tersebut tidak produktif melayani rakyat. Lihat, betapa banyak abdi negara yang cuma duduk, mengobrol, bahkan main game di saat jam kerja. Mereka yang bekerja di kabupaten lain malah berangkat saat matahari naik sepenggalahan sehingga terlambat sampai kantor pemerintah. Penerimaan pegawai negeri ternyata memiskinkan bangsa. Alokasi buat gaji mereka mubazir, yang semestinya bisa didistribusikan buat orang kecil. Penyetopan penerimaan pegawai mutlak dilakukan minimal dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali buat formasi yang memang dibutuhkan rakyat, utamanya di daerah terpencil: guru, bidan, dokter. Di luar itu, apalagi yang berembe-embel, tenaga teknis, itu cuma bualan pejabat negara yang ingin anak dan kerabatnya menjadi amtenar.
Lalu, bagaimana kita menatap masa depan orang miskin di negeri ini. Jujur kita akui, kita sudah tak percaya lagi kepada pemegang kebijakan selama mereka masih mementingkan citra, terbangunnya koalisi, dibandingkan mau menarik tangan si miskin sehingga tak berkubang dalam kemelaratan.
Bank harus didorong untuk memberikan kredit lunak buat masyarakat, penerimaan PNS mesti disetop, korupsi harus diberantas hingga koruptornya disiapkan peti mati. Yang juga penting kita membutuhkan pemimpin yang kuat, yang berkarakter, yang prorakyat, dan siap tidak populis. Itu bisa disumbang oleh partai politik atau ormas yang punya mekanisme kaderisasi yang kuat. Sayangnya, hingga sekarang belum ada nama yang patut disorongkan. Termasuk yang menjabat sekarang. Revolusi buat negeri ini harus dilakukan agar tak perlu berlama-lama masyarakat berkubang dalam kemiskinan.
Kita menunggu pribadi yang punya kepemimpinan yang kuat. Jika di tingkat negara kita belum punya, kita masih berharap itu muncul dalam skop daerah: bupati atau wali kota. Tugasnya "sederhana": mendistribusikan modal untuk masyarakat miskin berusaha.
Kita tak perlu menyewa seorang Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, untuk mengajari kita bagaimana bank memberikan pinjaman lunak buat masyarakat, bukan? Namun, andaipun perlu, rasanya tak apa membawanya kemari untuk membantu negeri besar Indonesia bangkir dari kemiskinan. Itu pun jika pemerintah kita tidak punya malu.
Adian Saputra, Karyawan 'Lampung Post'
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010
APA penyebab kemiskinan di Indonesia sulit untuk diminimalkan? Jawabannya ialah akses masyarakat miskin untuk mendapatkan modal usaha produktif tidak pernah diberikan oleh pemerintah. Sejak era Reformasi, masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan modal berusaha. Mereka, misalnya, yang menjadi penambang batu di bukit, berdagang kecil-kecilan di rumahnya, atau menjadi buruh, sulit untuk mendapatkan uang yang bisa mereka putar sebagai usaha produktif. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka terus saja didera kemiskinan hingga bertahun-tahun.
Alokasi anggaran buat pemerintah rupanya permisif untuk dikorupsi para maling kelas kakap besar ketimbang memberdayakan masyarakat miskin. Duit pajak di Indonesia lebih suka dikorupsi orang semacam Gayus ketimbang diberikan kepada orang miskin. Kalau saja uang Rp65 miliar diberikan secara merata kepada 10 ribu kepala keluarga miskin, masing-masing akan akan memperoleh lebih dari Rp6,5 juta. Angka itu sudah lebih dari cukup buat masyarakat miskin kita bangkit dari keadaan. Sayang, hal seperti itu sulit diwujudkan.
Perbankan kita juga demikian. Masih enggan memberikan pinjaman terhadap masyarakat miskin yang mau berniaga atau berwirausaha. Mereka lebih memilih untuk mengalokasikannya buat korporasi besar.
Lalu, item apa lagi yang membuat masyarakat kita selalu miskin?
Anggaran pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat kelas bawah tidak pernah ada sesungguhnya. Pemerintah Yudhoyono boleh merasa sudah berbuat dengan membuat program Kredit Usaha Rakyat atau KUR. Namun, percayalah, itu cuma kamuflase. Banyak orang yang berkeliling dari satu bank ke bank lain yang diiklankan pemerintah bisa meminjamkan KUR itu. Nyatanya semua cuma pepesan kosong. Peluncuran program bagi-bagi kredit buat rakyat hanya komoditas politik untuk menaikkan citra menjelang Pemilihan Presiden 2009.
Apa lagi? Ini dia: penerimaan PNS. Setiap tahun pemerintah membuka lowongan buat alumni kampus agar menjadi abdi negara. Kebijakan ini sudah tentu salah besar. Mengapa? Sebab, kebanyakan para amtenar tersebut tidak produktif melayani rakyat. Lihat, betapa banyak abdi negara yang cuma duduk, mengobrol, bahkan main game di saat jam kerja. Mereka yang bekerja di kabupaten lain malah berangkat saat matahari naik sepenggalahan sehingga terlambat sampai kantor pemerintah. Penerimaan pegawai negeri ternyata memiskinkan bangsa. Alokasi buat gaji mereka mubazir, yang semestinya bisa didistribusikan buat orang kecil. Penyetopan penerimaan pegawai mutlak dilakukan minimal dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali buat formasi yang memang dibutuhkan rakyat, utamanya di daerah terpencil: guru, bidan, dokter. Di luar itu, apalagi yang berembe-embel, tenaga teknis, itu cuma bualan pejabat negara yang ingin anak dan kerabatnya menjadi amtenar.
Lalu, bagaimana kita menatap masa depan orang miskin di negeri ini. Jujur kita akui, kita sudah tak percaya lagi kepada pemegang kebijakan selama mereka masih mementingkan citra, terbangunnya koalisi, dibandingkan mau menarik tangan si miskin sehingga tak berkubang dalam kemelaratan.
Bank harus didorong untuk memberikan kredit lunak buat masyarakat, penerimaan PNS mesti disetop, korupsi harus diberantas hingga koruptornya disiapkan peti mati. Yang juga penting kita membutuhkan pemimpin yang kuat, yang berkarakter, yang prorakyat, dan siap tidak populis. Itu bisa disumbang oleh partai politik atau ormas yang punya mekanisme kaderisasi yang kuat. Sayangnya, hingga sekarang belum ada nama yang patut disorongkan. Termasuk yang menjabat sekarang. Revolusi buat negeri ini harus dilakukan agar tak perlu berlama-lama masyarakat berkubang dalam kemiskinan.
Kita menunggu pribadi yang punya kepemimpinan yang kuat. Jika di tingkat negara kita belum punya, kita masih berharap itu muncul dalam skop daerah: bupati atau wali kota. Tugasnya "sederhana": mendistribusikan modal untuk masyarakat miskin berusaha.
Kita tak perlu menyewa seorang Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, untuk mengajari kita bagaimana bank memberikan pinjaman lunak buat masyarakat, bukan? Namun, andaipun perlu, rasanya tak apa membawanya kemari untuk membantu negeri besar Indonesia bangkir dari kemiskinan. Itu pun jika pemerintah kita tidak punya malu.
Adian Saputra, Karyawan 'Lampung Post'
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010
Seniman Mengkritik lewat Tari Kontemporer
BANDAR LAMPUNG -- Empat selendang putih panjang terjuntai menyentuh lantai seperti membentuk tirai. Seorang anak perempuan kecil berambut panjang berada di tengah-tengahnya. Sementara itu, empat orang pemuda berpakaian putih berjalan hilir mudik di sisi luar.
Tirai putih terbuka saat anak perempuan itu mencoba keluar melihat. Tak lama, dengan gerakan mendadak, satu dari empat pemuda merengkuh anak itu ke dalam pelukannya dan membawanya kembali ke dalam tirai.
Di luar, tiga pemuda yang tersisa melompat, berlari, berdiri di atas kedua tangan dan kepala serta bergelantungan di tirai itu. Adegan-adegan itu diakhiri dengan tergelantungnya seorang pemuda yang merengkuh anak perempuan itu, tergantung terbalik dan terikat di tirai putih itu.
Adegan yang menggambarkan hubungan inses antara kakak beradik itu merupakan tari kontemporer berjudul Potret nan Kanduang II karya Joni Andra. Pertunjukan itu digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung pekan lalu dalam Pentas Tari se-Sumatera pada Pergelaran dan Pameran Seni se-Sumatera XIII.
Penampilan para pemuda yang tergabung dalam Impessa Dance Company, Sumatera Barat, tersebut mengajak kita untuk menekuri realitas yang begitu dekat sekarang ini.
Joni melihatnya sebagai pergeseran nilai dari etika-etika dalam keluarga yang kian hilang. "Dahulu, saat saya kecil, anak perempuan tidak boleh masuk ke dalam kamar anak laki-laki meski itu saudara, tetapi kini yang terjadi sebaliknya. Itu yang coba saya kritik," kata dia.
Hal tersebut, menurut Joni, dituangkannya dalam sebuah tari kontemporer. Seni, kata dia, seharusnya tak melepaskan realitas sosial dalam setiap bentuknya.
Seni, ujarnya, adalah pantulan realitas sosial, di mana seniman hidup dan menjadi bagian dari lapisan sosialnya.
"Karya ini merupakan sindirian, kritik sosial dari realitas yang saya lihat di sekeliling saya," ujar Joni.
Itulah kelebihan seni kontemporer, ujar Joni. Seni kontemporer, dalam hal ini tari, kata Joni, memiliki banyak �ruang kosong� yang dapat dimasukkan kritik-kritik tentang realitas yang terjadi di masyarakat. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010
Tirai putih terbuka saat anak perempuan itu mencoba keluar melihat. Tak lama, dengan gerakan mendadak, satu dari empat pemuda merengkuh anak itu ke dalam pelukannya dan membawanya kembali ke dalam tirai.
Di luar, tiga pemuda yang tersisa melompat, berlari, berdiri di atas kedua tangan dan kepala serta bergelantungan di tirai itu. Adegan-adegan itu diakhiri dengan tergelantungnya seorang pemuda yang merengkuh anak perempuan itu, tergantung terbalik dan terikat di tirai putih itu.
Adegan yang menggambarkan hubungan inses antara kakak beradik itu merupakan tari kontemporer berjudul Potret nan Kanduang II karya Joni Andra. Pertunjukan itu digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung pekan lalu dalam Pentas Tari se-Sumatera pada Pergelaran dan Pameran Seni se-Sumatera XIII.
Penampilan para pemuda yang tergabung dalam Impessa Dance Company, Sumatera Barat, tersebut mengajak kita untuk menekuri realitas yang begitu dekat sekarang ini.
Joni melihatnya sebagai pergeseran nilai dari etika-etika dalam keluarga yang kian hilang. "Dahulu, saat saya kecil, anak perempuan tidak boleh masuk ke dalam kamar anak laki-laki meski itu saudara, tetapi kini yang terjadi sebaliknya. Itu yang coba saya kritik," kata dia.
Hal tersebut, menurut Joni, dituangkannya dalam sebuah tari kontemporer. Seni, kata dia, seharusnya tak melepaskan realitas sosial dalam setiap bentuknya.
Seni, ujarnya, adalah pantulan realitas sosial, di mana seniman hidup dan menjadi bagian dari lapisan sosialnya.
"Karya ini merupakan sindirian, kritik sosial dari realitas yang saya lihat di sekeliling saya," ujar Joni.
Itulah kelebihan seni kontemporer, ujar Joni. Seni kontemporer, dalam hal ini tari, kata Joni, memiliki banyak �ruang kosong� yang dapat dimasukkan kritik-kritik tentang realitas yang terjadi di masyarakat. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010
November 14, 2010
Bediom, Budaya Masyarakat Lampung Barat
Liwa, Lampung, 14/11 (ANTARA) - Budaya "Bediom" (pindah rumah) harus terus dilestarikan masyarakat Lampung Barat sebagai warisan leluhur, kata bupati setempat Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.
"Adat budaya yang dimiliki Lampung Barat beragam, sehingga menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri, salah satunya adalah 'Bediom'," kata Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.
Dia menjelaskan, tradisi "Bediom" menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat adat di Lampung Barat.
"Dengan keaslian budaya turun temurun ini, akan membawa dampak yang positif bagi pelestarian budaya di tengah zaman yang serba canggih seperti ini," kata dia.
Menurut dia, budaya "Bediom" menjadi budaya asli Lampung Barat saat melakukan prosesi pindah rumah.
Kemudian, lanjut dia, Lampung Barat sebagai kawasan zona budaya di Provinsi Lampung.
"Beragam keunikan budaya menjadi daya tarik bagi Lampung Barat menjadi kawasan pariwisata, sehingga ini menjadi upaya pemerintah untuk menjadikan Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional," kata Bupati.
"Bediom" merupakan budaya dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat yang akan pindah rumah baik itu rumah yang baru di bangun atau rumah yang telah lama berdiri dan akan ditempati oleh penghuni yang baru.
"Bediom" di rumah kediaman yang baru, menurut adat asli Lampung Barat yang sudah dapat mendirikan rumah pribadi yang baru, serta semua peralatan rumah itu serba baru, di tempat yang baru juga maka keluarga tersebut sudah merencanakan untuk "Bediom" di kediaman keluarga yang serba baru itu, jika sudah siap untuk dihuni keluarga, disebut "Bediom" di "lamban" (Rumah).
Budaya "Bediom" menjadi kebiasaan adat yang ketat di Lakukan masyarakat Lampung Barat, sebab "Bediom" ini, bermaksud menunjukkan tanda kesukuran kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan.
Doa "bediom" disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga untuk mengundang keluarga banyak atau tidaknya yang diundang, kalau keluarga tersebut termasuk mampu, maka pelaksanaan "Bediom" akan meriah.
Pelaksanaan "bediom" itu dilaksanakan pada hari-hari yang baik seperti bulan muharam, bulan maulud dan bulan haji.
Menurut penuturan masyarakat adat setempat waktu yang baik untuk melaksanakan "Bediom" adalah pada waktu sebelum subuh dan waktu isha sudah lewat jadi di mulai jam 4.30 Wib, sampai dengan jam 5.00 WIB.
Keluarga yang "bediom" itu mulai berangkat dari tempat yang lama ke tempat yang baru dan keluarga yang "Bediom", kepala keluarga dan anak istrinya diiringi oleh keluarga yang lain yang hadir pada saat itu sampai ke kediaman yang baru.
Sedangkan alat yang di bawa secara simbolis seperti alat tidur, alat masak, lampu, Quran dan sajadah yang kesemuanya dibawa oleh keluarga yang ikut mengiringi "bediom" itu, alat tidur ini menandakan mengawali tidur di tempat yang baru.
Peralatan masak pertanda bahwa keluarga akan memulai kehidupan di tempat yang baru, belanga, beras, teko, gula, kopi, serta lampu. Lampu ini dinyalakan mulai dari tempat yang lama ke tempat yang baru.
Quran dan sajadah dibawa oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan ini pertanda bahwa kepala keluarga tersebut jadi pemimpin dan imam bagi keluarganya.
"Saya berharap tradisi "Bediom" terus dilestarikan oleh masyarakat Lampung Barat, sehingga adat budaya warisan leluhur, dapat lestari meskipun budaya barat tengah berkembang di tengah masyarakat" katanya.
Sumber: Antara, Minggu, 14 November 2010
"Adat budaya yang dimiliki Lampung Barat beragam, sehingga menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri, salah satunya adalah 'Bediom'," kata Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.
Dia menjelaskan, tradisi "Bediom" menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat adat di Lampung Barat.
"Dengan keaslian budaya turun temurun ini, akan membawa dampak yang positif bagi pelestarian budaya di tengah zaman yang serba canggih seperti ini," kata dia.
Menurut dia, budaya "Bediom" menjadi budaya asli Lampung Barat saat melakukan prosesi pindah rumah.
Kemudian, lanjut dia, Lampung Barat sebagai kawasan zona budaya di Provinsi Lampung.
"Beragam keunikan budaya menjadi daya tarik bagi Lampung Barat menjadi kawasan pariwisata, sehingga ini menjadi upaya pemerintah untuk menjadikan Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional," kata Bupati.
"Bediom" merupakan budaya dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat yang akan pindah rumah baik itu rumah yang baru di bangun atau rumah yang telah lama berdiri dan akan ditempati oleh penghuni yang baru.
"Bediom" di rumah kediaman yang baru, menurut adat asli Lampung Barat yang sudah dapat mendirikan rumah pribadi yang baru, serta semua peralatan rumah itu serba baru, di tempat yang baru juga maka keluarga tersebut sudah merencanakan untuk "Bediom" di kediaman keluarga yang serba baru itu, jika sudah siap untuk dihuni keluarga, disebut "Bediom" di "lamban" (Rumah).
Budaya "Bediom" menjadi kebiasaan adat yang ketat di Lakukan masyarakat Lampung Barat, sebab "Bediom" ini, bermaksud menunjukkan tanda kesukuran kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan.
Doa "bediom" disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga untuk mengundang keluarga banyak atau tidaknya yang diundang, kalau keluarga tersebut termasuk mampu, maka pelaksanaan "Bediom" akan meriah.
Pelaksanaan "bediom" itu dilaksanakan pada hari-hari yang baik seperti bulan muharam, bulan maulud dan bulan haji.
Menurut penuturan masyarakat adat setempat waktu yang baik untuk melaksanakan "Bediom" adalah pada waktu sebelum subuh dan waktu isha sudah lewat jadi di mulai jam 4.30 Wib, sampai dengan jam 5.00 WIB.
Keluarga yang "bediom" itu mulai berangkat dari tempat yang lama ke tempat yang baru dan keluarga yang "Bediom", kepala keluarga dan anak istrinya diiringi oleh keluarga yang lain yang hadir pada saat itu sampai ke kediaman yang baru.
Sedangkan alat yang di bawa secara simbolis seperti alat tidur, alat masak, lampu, Quran dan sajadah yang kesemuanya dibawa oleh keluarga yang ikut mengiringi "bediom" itu, alat tidur ini menandakan mengawali tidur di tempat yang baru.
Peralatan masak pertanda bahwa keluarga akan memulai kehidupan di tempat yang baru, belanga, beras, teko, gula, kopi, serta lampu. Lampu ini dinyalakan mulai dari tempat yang lama ke tempat yang baru.
Quran dan sajadah dibawa oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan ini pertanda bahwa kepala keluarga tersebut jadi pemimpin dan imam bagi keluarganya.
"Saya berharap tradisi "Bediom" terus dilestarikan oleh masyarakat Lampung Barat, sehingga adat budaya warisan leluhur, dapat lestari meskipun budaya barat tengah berkembang di tengah masyarakat" katanya.
Sumber: Antara, Minggu, 14 November 2010