NILAI-NILAI budaya lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kunjungan pariwisata. Pelestarian budaya daerah bisa dilakukan dengan membangun model jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung sebagai aset wisata-budaya daerah. Di sisi lain, pendidikan dan media massa menjadi sarana penting bagi upaya membangkitkan kesadaran wisata dan budaya masyarakat.
Inilah yang menjadi benang merah dari Diskusi Penguatan Nilai Budaya Bangsa Dalam Rangka Meningkatkan Pariwisata yang diselenggarakan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung di Pusiban Kantor Gubernur Lampung, Bandarlampung, Selasa (26/6). Tampil sebagai nara sumber dalam diskusi Pembantu Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila) Anshori Djausal, Kepala Dinas Pendidikan Lampung Hermansyah, dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi.
Anshori Djausal mengatakan, masyarakat Lampung tak perlu risau dengan kehadiran warga pendatang, termasuk para turis mancanegara.
"Yakinlah, nilai-nilai lokal tetap akan terpelihara, selama masih ada masyarakat lokal yang terus menjaga akar budayanya," ujarnya.
Anshori menyontohkan terpaan budaya asing di Bali, kehadiran turis mancanegara ternyata tidak mampu meleburkan nilai-nilai dan kekhasan budaya lokal setempat.
"Daya tarik pelestarian budaya lokal itulah yang justru menjadi pemikat para turis terus berdatangan ke Bali," katanya.
Menurutnya, kecenderungan adanya konflik dan masalah dalam akulturasi antarbudaya justru terjadi terhadap masyarakat pendatang yang tidak lagi mampu menjaga adat dan budayanya sendiri.
Ia mengatakan, jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung dapat dikembangkan dengan adanya potensi rumah yang dimiliki oleh sebuah keluarga, suku, buwai, dan marga yang masih hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi sekarang ini.
Dia mengingatkan, tren globalisasi membuat orang perlu identitas dan ciri lokal yang spesifik.
"Tren global menganggap penting pembentukan komunitas yang dapat menjaga dan mewarisi kebudayaan, seperti munculnya Europe Heritage Society, Malaysia Heritage Society, Indonesia Heritage Society, Menteng Heritage Society, Bandung Heritage Society, Lampung Heritage Society, dan lainnya," katanya.
"Kini juga mulai muncul kesadaran dan pemahaman mengenai aspek-aspek penting konservasi kebudayaan di dunia ini," ujarnya.
Dia menandaskan, pembentukan jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung merupakan suatu model konservasi kebudayaan sekaligus pengembangan model paket wisata budaya Lampung.
Bahasa Lampung
Terkait dengan itu upaya penestarian nilai budaya Lampung, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Lampung menyarankan agar para guru dan siswa di daerahnya mulai menggunakan bahasa daerah Lampung dalam pergaulan di sekolah dan di luar jam pelajaran.
Menurut Kepala Diknas Lampung Hermansyah, penggunaan bahasa Lampung dalam aktivitas keseharian masyarakat di daerahnya semestinya dibiasakan lagi untuk mendukung pelestarian salah satu bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya nasional dan dunia.
"Penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari itu dapat dimulai dari sekolah, di antara guru dan muridnya," kata Hermansyah.
Dengan membiasakan menggunakan bahasa Lampung itu, diharapkan dapat kembali berkembang penguasaan bahasa daerah oleh sejumlah pakar linguistik nasional dan dunia.
"Bisa tidak di sekolah guru dan murid mulai membiasakan menggunakan bahasa Lampung di luar jam pelajaran di dalam kelas," ujarnya.
Dia meyakini, dengan terus menerus menggunakan bahasa Lampung, selain bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik oleh suku asli Lampung, warga etnis campuran maupun para pendatang, bahasa Lampung akan dapat dilestarikan.
Hermansyah justru menyayangkan kecenderungan orang Lampung sendiri yang enggan dan kurang bangga menggunakan bahasa daerahnya.
"Susah kita, kalau orang Lampung sendiri maupun warga yang telah tinggal di Lampung kurang bangga dan enggan menggunakan bahasa Lampung itu," cetusnya.
Padahal bahasa Lampung merupakan salah satu di antara sedikit bahasa daerah yang dimiliki suku-suku (etnis) masyarakat di dunia yang memiliki peradaban tinggi, mengingat kebanyakan etnis justru tidak memiliki aksara dan bahasanya sendiri.
Pers Kembali ke 'Khittah'
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Redaksi Lampung Post Ade Alawi, mengingatkan jajaran pers agar kembali pada "khittah" sebagai lembaga sosial dan komunikasi massa, termasuk wahana komunikasi budaya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
"Pasca reformasi, seluruh elemen masyarakat bergerak sendiri-sendiri, termasuk pers, larut dalam euforia kebablasan," ujar Ade Alawi.
Ade Alawi kembali mengingatkan pers nasional dan jajaran pers di daerahnya, untuk tetap berpijak pada ketentuan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, khususnya dalam kaitan pengembangan nilai budaya untuk meningkatkan pariwisata.
Dia menambahkan, pers berperan penting sebagai pendidik, pelurus informasi, pembaharu, dan pemersatu.
Menurut Pemred Lampost itu, sebagai pendidik, pers menyajikan berita, analisis dan pendapat yang menunjukkan bahwa nilai budaya sangat penting untuk meningkatkan pariwisata.
"Pers di Lampung juga mesti mengedukasi dan menyosialisasikan falsafah hidup masyarakat Lampung yang memuat nilai-nilai budaya positif, antara lain rasa harga diri (piil pesenggiri), hidup bermasyarakat (nengah nyappur), terbuka tangan (nemui nyimah), bernama-bergelar (bejuluk adek), dan tolong menolong (sakai sambayan)," katanya.
Ade menambahkan, sebagai pelurus informasi, pers bertugas untuk meluruskan informasi yang menyesatkan terutama di kalangan pendatang, termasuk wisatawan bahwa masyarakat Lampung bersifat tertutup, terbelakang, egosentris, dan banyak cap buruk lainnya.
"Pers harus menghapus stigma buruk itu tanpa kehilangan daya kritis terhadap penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat," kata Ade.
Dia mengajak pers di daerahnya untuk memberikan contoh positif perilaku masyarakat Lampung yang masih memegang tegus falsafah tersebut, karena contoh positif akan menciptakan citra positif pula.
"Dengan citra positif, Lampung akan mudah melaksanakan konsep-konsep pemasaran objek wisata, seperti segmentasi, targeting, positioning, branding, dan sebagainya," kata Ade.
Ia juga mengingatkan pers sebagai pembaharu yang menciptakan terobosan untuk mendekonstruksi situasi dan kondisi yang jumud (kurang kondusif) terhadap pariwisata Lampung.
"Pers sebagai pemersatu perlu menggalang kekuatan opini untuk bersatu memajukan pariwisata Lampung," tegas Ade Alawi.
* Bahan ini saya olah lagi dari berita Lampung Post, Rabu, 27 Juni 2007 dan Antara, Selasa, 26 Juni 2007. Namun, saya heran -- dan mengggugat -- mengapa tema seperti ini didiskusikan. Sebab, menurut saya, budaya atau kebudayaan seharusnya tidak "semena-mena" dikaitkan dengan pariwisata.
No comments:
Post a Comment