BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setelah sukses mementaskan lakon "Rashomon" ("The Bandits") karya Ryunosuke Akutagawa di Teater Utan Kayu (TUK) dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung akan mengadakan pementasan keliling empat kota di Sumatera yakni, di Lampung, Riau, Padang, dan Bengkulu. Kegiatan dimulai 1 hingga 14 Desember mendatang.
Pimpinan produksi Teater Komunitas Berkat Yakin Ahmad Zilalin, Kamis (29-11), mengatakan pementasan keliling akan diawali dengan pementasan di Lampung yang akan digelar pada Sabtu dan Minggu (1--2 Desember) ini di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.
Kemudian pertunjukan akan dilnjutkan ke Pekanbaru, Riau, pada tanggal (9-12) di BPP Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Riau. Lalu di Taman Budaya Padang pada 12 Desember dan di Taman Budaya Bengkulu pada 14 Desember yang akan datang.
Dia mengatakan sebenarnya naskah ini sudah pernah dilakonkan Kober pada tahun 2001 dan 2004 yang lalu. Namun dalam penggarapannya kali ini, mereka memberikan sentuhan yang berbeda pada penampilannya. Baik itu berkaitan dengan bentuk, alur cerita, hingga teks "Rashomon" itu sendiri.
Pementasan keliling ini, menurut Ahmad, terselenggara berkat dukungan Program Hibah Seni Yayasan Kelola 2007. "Proses seleksi yang kami jalani sangat panjang dan ketat, hingga akhirnya Kober terpilih sebagai salah satu penerima hibah seni untuk kategori pementasan keliling teater. Dan kesempatan ini coba kami manfaatkan untuk menyosialisasian gagasan berteaternya serta membangun jaringan kerja sama dengan pelaku seni di Sumatera dan Indonesia," ujarnya.
Untuk itulah, dia mengatakan ajang itu dipandang sebagai satu bukti untuk Kober berkontribusi mewarnai wajah teater Indoensia. Oleh karena itu, beberapa tempat pementasan yang dipilih pun telah dipertimbangkan tingkat apresiasinya.
Dan pihaknya melihat daerah-daerah tersebut sedang marak-maraknya membangun basis kesenian, sehingga diyakini mereka akan memiliki apresiasi yang baik dengan teater dan kebudayaan secara umum.
Dia mengatakan kisah ini akan dibuat tidak linear dan mencoba memaksimalkan aspek visual pertunjukan. Ini terlihat dari desain pertunjukan yang terbagi dalam beberapa fragmen dan perubahan setting yang coba dibangun. Ini tentu saja sangat menantang untuk dikaji lebih bagi para praktisi teater di Sumatera dan bisa menjadi suguhan yang sangat menarik bagi masyarakat yang menaruh minat terhadap perkembangan teater Indonesia.
Asisten sutradara sekaligus aktor yang berperan dalam "Rashomon", Muhammad Yunus, mengemukakan dipilihnya naskah ini disebabkan teks yang ada sangat menarik dan potensial dikembangkan dengan segala kemungkinan karena kisahnya mengungkap persoalan mendasar manusia, yakni kehormatan dan harga diri.
"'Rashomon' memperlihatkan betapa kebutuhan penuh dosa akan pujian palsu pun terbawa ke dalam kubur. Ini diperlihatkan dengan roh suami yang tidak bisa menghentikan kebohongan," kata dia.
Yunus mengatakan gairah untuk mengeksplorasi ide, gagasan, dan bentuk pada lakon ini mencuat karena banyak ikhwal yang ada pada pementasan terdahulu yang masih diam dan kini coba disuarakan.
"Penelusuran terhadap efek polifoni dan pemahaman bahwa bukan hanya cerita yang harus sampai pada penonton, tapi juga ide, musik, gerak, warna, kultur yang berlainan, syair, dan lainnya juga mendorong kami untuk melakukan eksplorasi kembali," tambah dia. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 November 2007
November 30, 2007
Budaya: Ornamen Khas Lampung Belum Dikenal
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ragam hias dan ornamen khas Lampung yang indah dan memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan daerah lain, ternyata belum dikenal masyarakat. Padahal, keberadaanya sangat penting karena merupakan kekayaan budaya Lampung.
Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Khaidarmansyah, mengemukakan hal tersebut saat membuka Sosialisasi Ragam Hias Lampung untuk Pelajar SMA/SMK Negeri Swasta se-Provinsi Lampung di Sekretariat Jung Foundation Gedong Air, Rabu (28-11).
Dia menyatakan ragam hias dan ornamen Lampung masih kalah terkenal dibandingkan dengan yang berasal dari Jepara atau Bali.
"Selain masyarakat luas, masyarakat Lampung sendiri banyak juga yang belum mengenal ragam hias dan ornamen Lampung yang kaya akan filosofi. Apalagi, untuk mengetahui dan mengerti bagaimana teknis pembuatannya," kata Khaidarmansyah.
"Untuk itulah kami bekerja sama dengan Jung Foundation menggelar kegiatan ini selama dua hari hingga Kamis (29-11) bagi pelajar SMA dan SMK se-Provinsi Lampung."
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah, M.U.R.P. mengatakan kekayaan ragam hias ini akan memberikan pesona tersendiri ketika diimplementasikan ke dalam arsitektur bangunan yang menjadi khas karakteristik Lampung maupun dalam kain tapis dan batik Lampung. "Namun yang menjadi kendala adalah masih sedikitnya kalangan yang mengetahui dan memahami potensi ragam hias khas Lampung ini."
Oleh karena itu, kata Hermansyah, sosialisasi ini diharapkan dapat memperluas khasanah Lampung terhadap sasaran yang lebih umum. "Kami mengharapkan peserta dapat memanfaatkan kesempatan ini. Sehingga kelak bisa berguna bagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pada giliriannya bisa ikut ambil peran dalam pelestariannya," ujarnya lagi.
Narasumber yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut, kata Khaidarmasnyah, adalah para pakar budaya Lampung.
"Kami menghadirkan budayawan Lampung seperti Havizi Hasan, Azhari Kadir, dan Hanan Nasir. Selain mendapatkan teori, para peserta juga langsung dibekali praktek membuat ragam hias dalam bentuk ornamen dengan menggunakan berbagai media. Adapun yang tampil dalam workshop pembuatan adalah Ch. Sapto Wibowo, Joko Iryanta, Bambang Suroboyo, dan I Wayan Kertiana,"
Sementara Ketua Pelaksana kegiatan, Harry Jayaningrat, mengatakan kalau kegiatan sosialisasi ini diikuti sebanyak 50 pelajar. "Tujuannya adalah untuk melestarikan seni ragam hias Lampung sebagai potensi kekayaan seni budaya daerah serta meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan kreativitas siswa-siswi dalam berkarya."
Direktur Eksekutif Jung Foundation, Ch. Heru Cahyo Saputra mengatakan kegiatan ini sengaja diberikan untuk para pelajar agar peserta mengerti, mengenal, dan kemudian mencintainya. "Sehingga mereka bisa berperanserta menumbuhkembangkan ragam hias dan ornamen Lampung dengan kreativitasnya masing-masing," kata dia.
Pada kesempatan tersebut, para peserta langsung membuat berbagai ragam hias dan ornamen khas Lampung yang terbuat dari kain, karet, serta tripleks. Kegiatan pembuatan ragam hias ini akan dilanjutkan pada hari ini, Kamis (29-11), untuk kemudian dipilih hasil karya terbaik dari tiap-tiap kelompok. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 November 2007
Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Khaidarmansyah, mengemukakan hal tersebut saat membuka Sosialisasi Ragam Hias Lampung untuk Pelajar SMA/SMK Negeri Swasta se-Provinsi Lampung di Sekretariat Jung Foundation Gedong Air, Rabu (28-11).
Dia menyatakan ragam hias dan ornamen Lampung masih kalah terkenal dibandingkan dengan yang berasal dari Jepara atau Bali.
"Selain masyarakat luas, masyarakat Lampung sendiri banyak juga yang belum mengenal ragam hias dan ornamen Lampung yang kaya akan filosofi. Apalagi, untuk mengetahui dan mengerti bagaimana teknis pembuatannya," kata Khaidarmansyah.
"Untuk itulah kami bekerja sama dengan Jung Foundation menggelar kegiatan ini selama dua hari hingga Kamis (29-11) bagi pelajar SMA dan SMK se-Provinsi Lampung."
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah, M.U.R.P. mengatakan kekayaan ragam hias ini akan memberikan pesona tersendiri ketika diimplementasikan ke dalam arsitektur bangunan yang menjadi khas karakteristik Lampung maupun dalam kain tapis dan batik Lampung. "Namun yang menjadi kendala adalah masih sedikitnya kalangan yang mengetahui dan memahami potensi ragam hias khas Lampung ini."
Oleh karena itu, kata Hermansyah, sosialisasi ini diharapkan dapat memperluas khasanah Lampung terhadap sasaran yang lebih umum. "Kami mengharapkan peserta dapat memanfaatkan kesempatan ini. Sehingga kelak bisa berguna bagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pada giliriannya bisa ikut ambil peran dalam pelestariannya," ujarnya lagi.
Narasumber yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut, kata Khaidarmasnyah, adalah para pakar budaya Lampung.
"Kami menghadirkan budayawan Lampung seperti Havizi Hasan, Azhari Kadir, dan Hanan Nasir. Selain mendapatkan teori, para peserta juga langsung dibekali praktek membuat ragam hias dalam bentuk ornamen dengan menggunakan berbagai media. Adapun yang tampil dalam workshop pembuatan adalah Ch. Sapto Wibowo, Joko Iryanta, Bambang Suroboyo, dan I Wayan Kertiana,"
Sementara Ketua Pelaksana kegiatan, Harry Jayaningrat, mengatakan kalau kegiatan sosialisasi ini diikuti sebanyak 50 pelajar. "Tujuannya adalah untuk melestarikan seni ragam hias Lampung sebagai potensi kekayaan seni budaya daerah serta meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan kreativitas siswa-siswi dalam berkarya."
Direktur Eksekutif Jung Foundation, Ch. Heru Cahyo Saputra mengatakan kegiatan ini sengaja diberikan untuk para pelajar agar peserta mengerti, mengenal, dan kemudian mencintainya. "Sehingga mereka bisa berperanserta menumbuhkembangkan ragam hias dan ornamen Lampung dengan kreativitasnya masing-masing," kata dia.
Pada kesempatan tersebut, para peserta langsung membuat berbagai ragam hias dan ornamen khas Lampung yang terbuat dari kain, karet, serta tripleks. Kegiatan pembuatan ragam hias ini akan dilanjutkan pada hari ini, Kamis (29-11), untuk kemudian dipilih hasil karya terbaik dari tiap-tiap kelompok. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 November 2007
November 26, 2007
Seni Tradisi: Minim, Jumlah Penutur Sastra Lisan Lampung
* Dapat Diatasi dengan Mengajari Anak Muda Berbahasa Daerah
Bandar Lampung, Kompas - Minimnya jumlah penutur sastra lisan Lampung membuat para seniman tutur khawatir jika jenis sastra tersebut mengalami kepunahan. Oleh karena itu, revitalisasi sastra lisan perlu dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan sastra tutur.
"Seniman lisan di Lampung yang menguasai materi, isi, penghayatan, dan cara penerapan sastra tutur hanya empat orang," kata seniman tutur Lampung, Hafizi Hasan, Senin (26/11), saat jeda acara pelatihan sastra lisan dan ragam hias Lampung. Acara yang diikuti puluhan siswa SMA se-Bandar Lampung tersebut diselenggarakan Jung Foundation Bandar Lampung.
Menurut Hafizi, faktor pendorong minimnya jumlah penutur sastra lisan adalah masih sedikitnya jumlah generasi muda Lampung yang mau berbahasa Lampung dan berminat mempelajari sastra lisan. Saat ini saja, generasi muda Lampung, terutama yang tinggal di ibu kota provinsi, kota kabupaten, atau kecamatan enggan memakai bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan. Keengganan itu menyebabkan generasi muda tidak bisa berdialog dalam bahasa Lampung dan sulit memahami sastra Lampung.
Sastra lisan Lampung terdiri atas 15 jenis, yaitu hahiwang, tetanggo, sekiman, pepancang, bubandung, dadi, therasul, pardene, nasyib, kitapu, ngedalung, ringget, wawancan, pisaan, dan muayak. Seluruh jenis sastra itu bersyair dalam bahasa Lampung.
Sama seperti jenis-jenis tembang di Jawa, setiap jenis sastra lisan Lampung disampaikan kepada masyarakat dengan cara ditembangkan dan terkadang dituturkan. Ke-15 jenis sastra lisan Lampung itu hanya dapat dibedakan melalui syair dan dialek. Sementara, isi sastra lisan pada dasarnya sama, yaitu ajaran atau petuah orangtua kepada anaknya atau generasi muda.
Mengajak anak muda
Hafizi mengemukakan, langkah pertama yang harus dilakukan Dinas Pendidikan adalah mengajak anak muda Lampung belajar bahasa Lampung dan menerapkan dalam aktivitas sehari-hari. Pelajaran bahasa Lampung bisa diterapkan melalui pelajaran muatan lokal.
Langkah selanjutnya, Dinas Pendidikan mesti merevitalisasi sastra lisan. Caranya, sambil belajar bahasa, generasi muda Lampung diperkenalkan pada sastra lisan Lampung.
Pada tahap tersebut, Dinas Pendidikan dan seniman tutur perlu memikirkan kemasan yang menarik supaya minat terhadap sastra lisan bangkit.
Kemasan menarik bisa disajikan melalui cara penyampaian dan pembelajaran. Dari cara penyampaian, sastra lisan bisa disisipkan atau dipergunakan saat pementasan teater rakyat atau warahan. Dari sisi pembelajaran, siswa diajak untuk mempelajari bahasa secara mendalam, bukan hanya dari aspek aksara saja seperti sekarang. (hln)
Sumber: Kompas, Selasa, 27 November 2007
Bandar Lampung, Kompas - Minimnya jumlah penutur sastra lisan Lampung membuat para seniman tutur khawatir jika jenis sastra tersebut mengalami kepunahan. Oleh karena itu, revitalisasi sastra lisan perlu dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan sastra tutur.
"Seniman lisan di Lampung yang menguasai materi, isi, penghayatan, dan cara penerapan sastra tutur hanya empat orang," kata seniman tutur Lampung, Hafizi Hasan, Senin (26/11), saat jeda acara pelatihan sastra lisan dan ragam hias Lampung. Acara yang diikuti puluhan siswa SMA se-Bandar Lampung tersebut diselenggarakan Jung Foundation Bandar Lampung.
Menurut Hafizi, faktor pendorong minimnya jumlah penutur sastra lisan adalah masih sedikitnya jumlah generasi muda Lampung yang mau berbahasa Lampung dan berminat mempelajari sastra lisan. Saat ini saja, generasi muda Lampung, terutama yang tinggal di ibu kota provinsi, kota kabupaten, atau kecamatan enggan memakai bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan. Keengganan itu menyebabkan generasi muda tidak bisa berdialog dalam bahasa Lampung dan sulit memahami sastra Lampung.
Sastra lisan Lampung terdiri atas 15 jenis, yaitu hahiwang, tetanggo, sekiman, pepancang, bubandung, dadi, therasul, pardene, nasyib, kitapu, ngedalung, ringget, wawancan, pisaan, dan muayak. Seluruh jenis sastra itu bersyair dalam bahasa Lampung.
Sama seperti jenis-jenis tembang di Jawa, setiap jenis sastra lisan Lampung disampaikan kepada masyarakat dengan cara ditembangkan dan terkadang dituturkan. Ke-15 jenis sastra lisan Lampung itu hanya dapat dibedakan melalui syair dan dialek. Sementara, isi sastra lisan pada dasarnya sama, yaitu ajaran atau petuah orangtua kepada anaknya atau generasi muda.
Mengajak anak muda
Hafizi mengemukakan, langkah pertama yang harus dilakukan Dinas Pendidikan adalah mengajak anak muda Lampung belajar bahasa Lampung dan menerapkan dalam aktivitas sehari-hari. Pelajaran bahasa Lampung bisa diterapkan melalui pelajaran muatan lokal.
Langkah selanjutnya, Dinas Pendidikan mesti merevitalisasi sastra lisan. Caranya, sambil belajar bahasa, generasi muda Lampung diperkenalkan pada sastra lisan Lampung.
Pada tahap tersebut, Dinas Pendidikan dan seniman tutur perlu memikirkan kemasan yang menarik supaya minat terhadap sastra lisan bangkit.
Kemasan menarik bisa disajikan melalui cara penyampaian dan pembelajaran. Dari cara penyampaian, sastra lisan bisa disisipkan atau dipergunakan saat pementasan teater rakyat atau warahan. Dari sisi pembelajaran, siswa diajak untuk mempelajari bahasa secara mendalam, bukan hanya dari aspek aksara saja seperti sekarang. (hln)
Sumber: Kompas, Selasa, 27 November 2007
Seni Tradisi: Sastra Lisan Lampung Hampir Punah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penyebaran sastra lisan Lampung saat ini terancam punah akibat terbatasnya penguasaan masyarakat terhadap bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Masyarakat asli Lampung pun malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri.
Budayawan Lampung Hafizi Hasan mengemukakan hal tersebut di sela-sela Pementasan dan Diskusi Ragam Sastra Lampung di Chriza Art Galerry Jung Foundation, Senin (25-11).
Dia mengatakan persoalan mendasar tidak berkembangnya sastra lisan Lampung karena persoalan penguasaan bahasa Lampung oleh masyarakat.
"Masyarakat asli Lampung sendiri malu menggunakan bahasa daerahnya. Sehingga yang terjadi, penguasaan bahasa Lampung terutama sastra lisannya hanya dikuasai oleh kakek dan nenek mereka," kata Hafizi.
Menurut dia, pada pengajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah, materi yang diajarkan lebih berfokus pada pengenalan aksara Lampung saja. "Padahal pengajaran muatan lokal ini sudah diajarkan sejak tahun 80-an, tetapi hanya sebatas pengenalan terhadap aksara Lampung. Sedangkan bahasa Lampungnya belum diperkenalkan secara meluas."
Padahal, kata Hafizi, seharusnya pada penguatan lokal tersebut harus diberikan secara seimbang. "Misalnya pengenalan aksara Lampung dilakukan pada kelas I dan II, kemudian di kelas selanjutnya dilakukan pengenalan bahasa Lampung. Tapi kan yang terjadi tidak demikian. Anak-anak mengenal aksara saja, bahasa yang digunakan tetap bahasa Indonesia," ujarnya.
Akhirnya kondisi sastra lisan Lampung yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 jenis itu sulit untuk berkembang. "Sekarang ini yang memahami mengenai sastra lisan Lampung, tinggal beberapa tokoh yang memang telah mempelajarinya sejak lama. Untuk yang dialek api, tinggal saya yang kerap memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan pelajar. Untuk yang dialek nyow atau o, tinggal sekitar tiga orang tokoh saja."
Hafizi mengatakan dari 30-an jenis sastra lisan Lampung tersebut, baru empat sastra lisan yang sudah tergali yakni pisaan, muayak, ringget, dan wawancan. "Sementara sisanya seperti tetangguh, pepancoh, bubandung, dadi, kherasul, hahiwang, pardeni, ngegalung, dan lainnya masih sangat terbatas penggaliannya. Meskipun juga terkadang ada kesamaan di antaranya," kata dia lagi.
Sementara ketua pelaksana kegiatan Harry Jayaningrat mengemukakan bahwa diskusi sastra Lampung merupakan pencerahan keberadaan seni sastra Lampung agar para pelajar mengetahui tentang sejarah dan peta kesusastraan Lampung. "Seni sastra Lampung sebagai salah satu kesenian yang mengandung karakter seni budaya lokal yang perlu dikenalkan melalui sosialisasi, diskusi, dan sebagainya."
Terlebih lagi, kata Harry, perubahan era globalisasi yang begitu cepat dan kompleks merupakan tantangan yang harus dijawab sebagai bangsa yang sedang mengalami pembangunan. "Sehingga dalam menjawab hal tersebut, tidak bisa lagi hanya di konteks global."
Kegiatan digelar selama dua hari, 26--27 November dengan diikuti sebanyak 50 pelajar SLTA/SMK se-Bandar Lampung. Adapun hadir sebagai pembicara adalah Havizi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Purnama, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., A.M. Zulqarnaen, Syafril Yamin, Dharmawan, Ponco Puji Raharto, dan Ipung Purnowo. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 November 2007
Budayawan Lampung Hafizi Hasan mengemukakan hal tersebut di sela-sela Pementasan dan Diskusi Ragam Sastra Lampung di Chriza Art Galerry Jung Foundation, Senin (25-11).
Dia mengatakan persoalan mendasar tidak berkembangnya sastra lisan Lampung karena persoalan penguasaan bahasa Lampung oleh masyarakat.
"Masyarakat asli Lampung sendiri malu menggunakan bahasa daerahnya. Sehingga yang terjadi, penguasaan bahasa Lampung terutama sastra lisannya hanya dikuasai oleh kakek dan nenek mereka," kata Hafizi.
Menurut dia, pada pengajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah, materi yang diajarkan lebih berfokus pada pengenalan aksara Lampung saja. "Padahal pengajaran muatan lokal ini sudah diajarkan sejak tahun 80-an, tetapi hanya sebatas pengenalan terhadap aksara Lampung. Sedangkan bahasa Lampungnya belum diperkenalkan secara meluas."
Padahal, kata Hafizi, seharusnya pada penguatan lokal tersebut harus diberikan secara seimbang. "Misalnya pengenalan aksara Lampung dilakukan pada kelas I dan II, kemudian di kelas selanjutnya dilakukan pengenalan bahasa Lampung. Tapi kan yang terjadi tidak demikian. Anak-anak mengenal aksara saja, bahasa yang digunakan tetap bahasa Indonesia," ujarnya.
Akhirnya kondisi sastra lisan Lampung yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 jenis itu sulit untuk berkembang. "Sekarang ini yang memahami mengenai sastra lisan Lampung, tinggal beberapa tokoh yang memang telah mempelajarinya sejak lama. Untuk yang dialek api, tinggal saya yang kerap memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan pelajar. Untuk yang dialek nyow atau o, tinggal sekitar tiga orang tokoh saja."
Hafizi mengatakan dari 30-an jenis sastra lisan Lampung tersebut, baru empat sastra lisan yang sudah tergali yakni pisaan, muayak, ringget, dan wawancan. "Sementara sisanya seperti tetangguh, pepancoh, bubandung, dadi, kherasul, hahiwang, pardeni, ngegalung, dan lainnya masih sangat terbatas penggaliannya. Meskipun juga terkadang ada kesamaan di antaranya," kata dia lagi.
Sementara ketua pelaksana kegiatan Harry Jayaningrat mengemukakan bahwa diskusi sastra Lampung merupakan pencerahan keberadaan seni sastra Lampung agar para pelajar mengetahui tentang sejarah dan peta kesusastraan Lampung. "Seni sastra Lampung sebagai salah satu kesenian yang mengandung karakter seni budaya lokal yang perlu dikenalkan melalui sosialisasi, diskusi, dan sebagainya."
Terlebih lagi, kata Harry, perubahan era globalisasi yang begitu cepat dan kompleks merupakan tantangan yang harus dijawab sebagai bangsa yang sedang mengalami pembangunan. "Sehingga dalam menjawab hal tersebut, tidak bisa lagi hanya di konteks global."
Kegiatan digelar selama dua hari, 26--27 November dengan diikuti sebanyak 50 pelajar SLTA/SMK se-Bandar Lampung. Adapun hadir sebagai pembicara adalah Havizi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Purnama, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., A.M. Zulqarnaen, Syafril Yamin, Dharmawan, Ponco Puji Raharto, dan Ipung Purnowo. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 November 2007
November 19, 2007
Pendidikan: Belum Terserap, Prodi Bahasa Lampung Ditutup
Bandar Lampung, Kompas - Lulusan Program Studi atau Prodi D-2 dan D-3 Bahasa Lampung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung hanya terserap 35-40 persen di pasar kerja. Akibatnya, program studi tersebut dihentikan sementara.
"Sayang, baru 35-40 persen saja dari total lulusan kami yang terserap sebagai tenaga pengajar Bahasa Lampung. Padahal, kami mendidik guru-guru dengan keahlian mengajarkan bahasa daerah Lampung," kata Ketua Program Studi Bahasa Lampung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung Iqbal Hilal, Sabtu (17/11).
Data Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung menunjukkan, sejak program studi itu dibuka pada tahun ajaran 1998/1999, Program Diploma Bahasa Daerah Bahasa Lampung telah meluluskan 800-an tenaga pendidik Bahasa Lampung. Namun, belum semua lulusan itu dapat bekerja sebagai pegawai negeri sipil guru untuk mengajarkan Bahasa Lampung.
Menurut Iqbal, Program Diploma Bahasa Daerah Bahasa Lampung yang dibuka tahun 1998 itu diharapkan bisa menjadi terobosan untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa daerah Bahasa Lampung yang masih kurang. Ditargetkan, lulusan program diploma itu bisa mengajar muatan lokal bahasa daerah Bahasa Lampung di sekolah tingkat SD dan SMP di Lampung.
Namun, sejak dibuka hingga berhasil meluluskan 800 tenaga pendidik, hanya 35-40 persen lulusan tenaga pendidik Bahasa Lampung yang terserap di dunia pendidikan. Dengan kenyataan itu, sejak tahun ajaran 2007 program studi bahasa daerah itu dihentikan.
Kondisi demikian, kata Iqbal, jelas memprihatinkan, terutama di tengah upaya Pemerintah Provinsi Lampung melestarikan bahasa Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 19 November 2007
"Sayang, baru 35-40 persen saja dari total lulusan kami yang terserap sebagai tenaga pengajar Bahasa Lampung. Padahal, kami mendidik guru-guru dengan keahlian mengajarkan bahasa daerah Lampung," kata Ketua Program Studi Bahasa Lampung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung Iqbal Hilal, Sabtu (17/11).
Data Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung menunjukkan, sejak program studi itu dibuka pada tahun ajaran 1998/1999, Program Diploma Bahasa Daerah Bahasa Lampung telah meluluskan 800-an tenaga pendidik Bahasa Lampung. Namun, belum semua lulusan itu dapat bekerja sebagai pegawai negeri sipil guru untuk mengajarkan Bahasa Lampung.
Menurut Iqbal, Program Diploma Bahasa Daerah Bahasa Lampung yang dibuka tahun 1998 itu diharapkan bisa menjadi terobosan untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa daerah Bahasa Lampung yang masih kurang. Ditargetkan, lulusan program diploma itu bisa mengajar muatan lokal bahasa daerah Bahasa Lampung di sekolah tingkat SD dan SMP di Lampung.
Namun, sejak dibuka hingga berhasil meluluskan 800 tenaga pendidik, hanya 35-40 persen lulusan tenaga pendidik Bahasa Lampung yang terserap di dunia pendidikan. Dengan kenyataan itu, sejak tahun ajaran 2007 program studi bahasa daerah itu dihentikan.
Kondisi demikian, kata Iqbal, jelas memprihatinkan, terutama di tengah upaya Pemerintah Provinsi Lampung melestarikan bahasa Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 19 November 2007
Bahasa Lampung, Bagaimana Nasibmu? (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
-- Mukhammad Isnaeni dan Dian Anggraini*
BERBAHASA tidak hanya perkara mengatakan kepada orang lain tentang sesuatu hal dengan sebuah lambang verbal. Berbahasa adalah berpikir, bahasa adalah pikiran.
Bahasa bukanlah entitas otonom, melaikan representasi pengalaman manusia atas dunia. Fungsi itulah yang disebut Halliday (1978) sebagai fungsi ideasional bahasa. Lebih lanjut, Louis Hjelmslev, seorang guru besar ilmu bahasa pada Universitas Kopenhagen, Denmark, pernah berkata, "Segala ide dapat diungkapkan dalam semua bahasa."
Bahasa apa pun akan menyediakan perangkat dan peranti yang khas. Dengan bahasanya, setiap masyarakat bahasa (language community) dapat mengungkapkan cara dan konsep berpikir yang unik, autentik, dan mungkin juga renik. Bahasa berkaitan pula dengan kebudayaan seperti yang dihipotesiskan Sapir and Whorf yang berpendapat bahasa merupakan cara pandang manusia atas dunia (world-view) secara kolektif-kultural, atau menurut Saussure (1916), bahasa (langue) merupakan fakta sosial yang mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat.
Demokrasi Berbahasa
Era reformasi yang menggantikan era Orde Baru di negeri ini, secara tidak langsung, telah memfasilitasi dan memberi kelonggaran pada setiap orang untuk berbahasa sesuka hatinya. Para penutur bahasa yang semau gue, yang tidak mau tunduk pada kaidah berbahasa, akan selalu berlindung di balik tirai demokrasi berbahasa. Padahal, sikap santun berbahasa akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa penuturnya.
Memang benar bahwasanya berbahasa adalah urusan setiap individu, sehingga setiap orang bebas mengekspresikan idenya dengan menggunakan bahasa masing-masing, terserah mau memakai bahasa daerah, bahasa Indonesia atau bahasa asing. Namun, bukankah tidak ada kebebasan yang tiada batas?
Invasi Bahasa Asing
Kita semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah kebanyakan masyarakat dwibahasawan (bilingual), bahkan ada juga yang menguasai banyak bahasa (multilingual), walau ada juga yang masih ekabahasawan. Selain mengusai bahasa ibu (baca: bahasa daerah), masyarakat Indonesia juga menguasai bahasa Indonesia yang dipakai sebagai lambang identitas nasional. Seiring dengan datangnya arus globalisasi, bahasa asing (baca: bahasa Inggris) juga makin menyeruak di seantero negeri ini.
Hal ini tentu saja patut diwaspadai sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi bahasa ibu dan bahasa Indonesia yang makin terbatas ruang gerak di daerah sendiri. Bagaimana tidak, hampir di sembarang tempat dan sembarang waktu, kita dapat dengan mudah menemukan tulisan-tulisan berbahasa asing yang dapat menjadi menu konsumsi publik.
Untuk menggambarkan keadaan ini, Alif Danya Munsyi, dengan penuh keprihatinan, mengatakan sembilan dari sepuluh kosakata bahasa Indonesia barasal dari bahasa asing. Artinya, secara kuantitas, bahasa asing memang sudah memonopoli hampir seluruh sendi kebahasaan di Indonesia.
Ungkapan ini, sepertinya, bukan sebagai sebuah ungkapan metaforis-hiperbolis dari sang munsyi, tapi hal ini lebih berbasis pada sebuah data empiris. Sungguh miris, bukan?
Nasib Bahasa Daerah?
Pengakuan terhadap bahasa daerah diakui konstitusi, yakni Pasal 32 UUD 1945 yang menegaskan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian kebudayaan nasional. Hal ini berarti bahwa bahasa daerah memiliki hak hidup dalam tataran masyarakat Indonesia.
Bahasa daerah, sebagai wujud budaya tiap-tiap daerah, mempunyai peranan yang penting dalam membangun budaya nasional. Bahasa daerah merupakan salah satu akar budaya yang harus dipelihara dengan baik. Penulis percaya bahwa tanpa akar yang tumbuh kuat di budaya daerah, sangat sukar bagi kita melanjutkan membentuk budaya nasional. Kepunahan bahasa daerah sangat berpengaruh pada punahnya budaya nasional. Padahal, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh sebuah budaya.
Melihat makin bebasnya bahasa asing yang bergerak dan singgah di benak dan mulut penutur bahasa Indonesia, tidak berlebihan kiranya, jika Stephen A. Wurn (2001) dalam Atlas of The World's Languages in Danger of Disappearing menyatakan kepunahan bahasa daerah di Nusantara ini, jika tidak segera disikapi, tinggal menunggu waktu. Seperti yang disajikan dalam data tersebut, di Sulawesi, misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah.
Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada di sana, 56 terancam punah.
Setali tiga uang, Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan 726 bahasa daerah di Indonesia terancam punah akibat globalisasi dan perkembangan teknologi (Suara Pembaruan, tanggal 12 September 2006). Turunnya persentase penggunaan atau pemakaian sejumlah bahasa daerah, jika tidak ditangani secara benar dan serius, dikhawatirkan keberadaannya hilang dan redup di tengah terang benderang dan ingar-bingarnya penggunaan bahasa asing yang terus tumbuh dan berkembang bagai tumbuhnya jamur di musim hujan, rata dan ada di mana-mana.
Sebenarnya, bukan hanya bahasa asing yang dapat berpotensi mengancam eksistensi bahasa daerah di Indonesia, melainkan juga keberadaan bahasa Indonesia yang banyak memonopoli kegiatan formal akademik dapat menjadi variabel lain atau mempunyai kecenderungan dalam mempercepat punahnya bahasa daerah. Sudah barang tentu, hal ini patut dijadikan renungan bagi kita semua untuk dapat melakukan sinergi, antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Bahkan, sebisa mungkin, antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dapat bahu-membahu, bergandengan tangan, serta tidak saling bunuh dan meniadakan.
Kita justru harus berusaha agar bahasa daerah tetap berada berdampingan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah seharusnya menguatkan pengayaan terhadap bahasa Indonesia. Demikian juga sebaliknya, perkembangan bahasa Indonesia jangan sampai mengalahkan bahasa daerah, yang merupakan bagian kekuatan bangsa Indonesia.
Patut disayangkan, ada kecenderungan di wilayah tertentu yang generasi mudanya tak lagi menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tapi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Kondisi ini diperparah sikap orang tua di rumah yang juga tidak menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Padahal, ranah keluarga merupakan benteng terakhir pemertahanan bahasa dan budaya daerah.
* Mukhammad Isnaeni dan Dian Anggraini, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 19 November 2007
BERBAHASA tidak hanya perkara mengatakan kepada orang lain tentang sesuatu hal dengan sebuah lambang verbal. Berbahasa adalah berpikir, bahasa adalah pikiran.
Bahasa bukanlah entitas otonom, melaikan representasi pengalaman manusia atas dunia. Fungsi itulah yang disebut Halliday (1978) sebagai fungsi ideasional bahasa. Lebih lanjut, Louis Hjelmslev, seorang guru besar ilmu bahasa pada Universitas Kopenhagen, Denmark, pernah berkata, "Segala ide dapat diungkapkan dalam semua bahasa."
Bahasa apa pun akan menyediakan perangkat dan peranti yang khas. Dengan bahasanya, setiap masyarakat bahasa (language community) dapat mengungkapkan cara dan konsep berpikir yang unik, autentik, dan mungkin juga renik. Bahasa berkaitan pula dengan kebudayaan seperti yang dihipotesiskan Sapir and Whorf yang berpendapat bahasa merupakan cara pandang manusia atas dunia (world-view) secara kolektif-kultural, atau menurut Saussure (1916), bahasa (langue) merupakan fakta sosial yang mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat.
Demokrasi Berbahasa
Era reformasi yang menggantikan era Orde Baru di negeri ini, secara tidak langsung, telah memfasilitasi dan memberi kelonggaran pada setiap orang untuk berbahasa sesuka hatinya. Para penutur bahasa yang semau gue, yang tidak mau tunduk pada kaidah berbahasa, akan selalu berlindung di balik tirai demokrasi berbahasa. Padahal, sikap santun berbahasa akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa penuturnya.
Memang benar bahwasanya berbahasa adalah urusan setiap individu, sehingga setiap orang bebas mengekspresikan idenya dengan menggunakan bahasa masing-masing, terserah mau memakai bahasa daerah, bahasa Indonesia atau bahasa asing. Namun, bukankah tidak ada kebebasan yang tiada batas?
Invasi Bahasa Asing
Kita semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah kebanyakan masyarakat dwibahasawan (bilingual), bahkan ada juga yang menguasai banyak bahasa (multilingual), walau ada juga yang masih ekabahasawan. Selain mengusai bahasa ibu (baca: bahasa daerah), masyarakat Indonesia juga menguasai bahasa Indonesia yang dipakai sebagai lambang identitas nasional. Seiring dengan datangnya arus globalisasi, bahasa asing (baca: bahasa Inggris) juga makin menyeruak di seantero negeri ini.
Hal ini tentu saja patut diwaspadai sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi bahasa ibu dan bahasa Indonesia yang makin terbatas ruang gerak di daerah sendiri. Bagaimana tidak, hampir di sembarang tempat dan sembarang waktu, kita dapat dengan mudah menemukan tulisan-tulisan berbahasa asing yang dapat menjadi menu konsumsi publik.
Untuk menggambarkan keadaan ini, Alif Danya Munsyi, dengan penuh keprihatinan, mengatakan sembilan dari sepuluh kosakata bahasa Indonesia barasal dari bahasa asing. Artinya, secara kuantitas, bahasa asing memang sudah memonopoli hampir seluruh sendi kebahasaan di Indonesia.
Ungkapan ini, sepertinya, bukan sebagai sebuah ungkapan metaforis-hiperbolis dari sang munsyi, tapi hal ini lebih berbasis pada sebuah data empiris. Sungguh miris, bukan?
Nasib Bahasa Daerah?
Pengakuan terhadap bahasa daerah diakui konstitusi, yakni Pasal 32 UUD 1945 yang menegaskan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian kebudayaan nasional. Hal ini berarti bahwa bahasa daerah memiliki hak hidup dalam tataran masyarakat Indonesia.
Bahasa daerah, sebagai wujud budaya tiap-tiap daerah, mempunyai peranan yang penting dalam membangun budaya nasional. Bahasa daerah merupakan salah satu akar budaya yang harus dipelihara dengan baik. Penulis percaya bahwa tanpa akar yang tumbuh kuat di budaya daerah, sangat sukar bagi kita melanjutkan membentuk budaya nasional. Kepunahan bahasa daerah sangat berpengaruh pada punahnya budaya nasional. Padahal, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh sebuah budaya.
Melihat makin bebasnya bahasa asing yang bergerak dan singgah di benak dan mulut penutur bahasa Indonesia, tidak berlebihan kiranya, jika Stephen A. Wurn (2001) dalam Atlas of The World's Languages in Danger of Disappearing menyatakan kepunahan bahasa daerah di Nusantara ini, jika tidak segera disikapi, tinggal menunggu waktu. Seperti yang disajikan dalam data tersebut, di Sulawesi, misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah.
Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada di sana, 56 terancam punah.
Setali tiga uang, Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan 726 bahasa daerah di Indonesia terancam punah akibat globalisasi dan perkembangan teknologi (Suara Pembaruan, tanggal 12 September 2006). Turunnya persentase penggunaan atau pemakaian sejumlah bahasa daerah, jika tidak ditangani secara benar dan serius, dikhawatirkan keberadaannya hilang dan redup di tengah terang benderang dan ingar-bingarnya penggunaan bahasa asing yang terus tumbuh dan berkembang bagai tumbuhnya jamur di musim hujan, rata dan ada di mana-mana.
Sebenarnya, bukan hanya bahasa asing yang dapat berpotensi mengancam eksistensi bahasa daerah di Indonesia, melainkan juga keberadaan bahasa Indonesia yang banyak memonopoli kegiatan formal akademik dapat menjadi variabel lain atau mempunyai kecenderungan dalam mempercepat punahnya bahasa daerah. Sudah barang tentu, hal ini patut dijadikan renungan bagi kita semua untuk dapat melakukan sinergi, antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Bahkan, sebisa mungkin, antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dapat bahu-membahu, bergandengan tangan, serta tidak saling bunuh dan meniadakan.
Kita justru harus berusaha agar bahasa daerah tetap berada berdampingan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah seharusnya menguatkan pengayaan terhadap bahasa Indonesia. Demikian juga sebaliknya, perkembangan bahasa Indonesia jangan sampai mengalahkan bahasa daerah, yang merupakan bagian kekuatan bangsa Indonesia.
Patut disayangkan, ada kecenderungan di wilayah tertentu yang generasi mudanya tak lagi menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tapi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Kondisi ini diperparah sikap orang tua di rumah yang juga tidak menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Padahal, ranah keluarga merupakan benteng terakhir pemertahanan bahasa dan budaya daerah.
* Mukhammad Isnaeni dan Dian Anggraini, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 19 November 2007
November 18, 2007
Apresiasi: Menembus Rutinitas Gelaran 'Sumatera Kontemporer Art'
DUNIA seni rupa di Sumatera terus bergeliat lagi dengan karya-karyanya. Pameran Seni Rupa dan Dialog Seni Rupa Se-Sumatera, Sumatera Kontemporer Art, digelar lagi. Kali ini di Jambi, 27 Oktober--4 November 2007. Ini semacam tanda kehidupan karya lukis masih ada di sini.
Pengamat seni rupa, yang juga Dosen Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, memberi apresiasi menarik soal gelaran Sumatera Kontemporer Art itu. Ia mengatakan di Sumatera inilah satu-satunya terdapat kegiatan kesenirupaan yang dilabelkan se-Sumatera dan mampu bertahan selama sepuluh kali penyelenggaraannya secara kontinu.
Sehingga ini menjadi satu macam denyut kegiatan seni rupa di Indonesia. Terlebih lagi di luar Sumatera, misalnya di Pulau Jawa dan lainnya, tidak ada satu pun perhelatan kesenirupaan yang secara spesifik disebut sebagai pameran seni rupa se-Jawa.
Meskipun itu pun menjadi satu yang tidak begitu penting mengingat di Jawa dinamika dan ruang kompetisinya begitu tinggi. Baik itu yang dilakukan oleh individu, kelompok, institusi seperti bienelle dan lainnya.
Apalagi bila itu berkaitan dengan penyelenggara kegiatan di Pulau Jawa yang bisa berasal dari lokal hingga internasional, semuanya bisa diakses dengan leluasa. Dan pameran seni rupa se-Sumatera ini menjadi sangat menarik diapresiasi penyelenggaraanya.
Suwarno Wisetrotomo mengingatkan, bahwa sebaiknya sebutan se-Sumatera yang menempel dalam event ini tidak terjebak pada rutinitas yang tidak menawarkan atau membawa perubahan apa-apa.
Akan tetapi, menurut Suwarno, semuanya harus dapat dioptimalkan dan diberdayakan antara lain untuk mengidentivikasi diri sembari melakukan semacam satu analisis SWOT (strenght, weakness, opportunity, threats). "Dengan melakukan pendekatan SWOT, akan terlihat keunggulan atau potensi, kelemahan, kesempatan, dan tantangan yang dimiliki nantinya. Pendekatan semacam ini akan membantu proses pemberdayaan menjadi lebih merata."
Apalagi seperti dikemukakan dia, ini penting dilakukan karena berhadapan dengan logika bahwa Jawa khususnya Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, atau Bali sebagai pusat pertumbuhan pemikiran dan praktek seni rupa, bahkan juga pasar. "Padahal faktanya menunjukkan di setiap wilayah, entah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua sesungguhnya menyimpan potensi sekaligus kelemahan serta potensi dan tantangan tersendiri."
Untuk itulah Suwarno mengatakan jika se-Sumatera tersebut berhasil menguatkan keberadaannya, sesungguhnya akan memiliki peran dalam membangun politik identitas. Sebab keberagaman seni rupa Indonesia yang membentang dari ujung Sumatera hingga ujung Papua dengan lenturnya mampu menyerap segala perubahan, pengaruh, ciri, dan sebagainya dari segala perkembangan seni rupa di dunia.
Karena itu, di meminjam istilah dari tujuan pembangunan milenium atau MDGs (millenium development goals) dalam mengatasi kemiskinan yakni "bangkit dan suarakan" untuk memprovokasi seni rupa Sumatera. "Jargon ini dapat digunakan sebagai daya dorong untuk perupa dan seni rupa Sumatera dalam kaitannya memasuki ruang pergaulan yang meluas di segala level. Makanya jika ini menjadi satu jargon dan kesadaran bersama, maka dipastikan peristiwa tahunan di Sumatera ini akan menjadi pusat perhtaian yang sesungguhnya."
Buah Tangan Perupa Lampung
Tiga karya rupa dari dua perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi dan Joko Irianta berhasil terjual dalam Pameran Seni Rupa dan Dialog Seni Rupa se-Sumatera bertajuk Sumatera Kontemporer Art yang digelar di Jambi, 27 Oktober--4 November yang lalu.
Perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi, mengemukakan bahwa dua karya yang dibawanya laku terjual, sedangkan Joko Irianta, dari dua karya, satu karya yang terjual. "Karya saya yang berjudul 'Exempted' dan karya Joko Irianta yang berjudul 'mendengar, melihat, malu, lalu diam' dibeli kolektor Jambi Pak Sakti yang merupakan pimpinan harian Metro Jambi serta satu karya saya yang lain, 'Under the Golden Flame', dibeli oleh Ibu Christine dari Galery Semar Malang."
Dia mengatakan dirinya sangat appreciate terhadap apresiasi yang begitu besar ditunjukan masyarakat Jambi dalam pameran kali ini. "Bahkan dari 49 karya yang dipamerkan, 12 terjual. Sehingga ini menunjukan satu apresiasi yang tinggi yang ditunjukan masyarakat Jambi serta pemerintah daerahnya."
Tentunya, menurut Ari, dengan lakunya sebanyak 12 karya dari 49 karya yang dipamerkan menunjukan satu bentuk apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Sebab biasanya bila penyelenggaraannya di Lampung, karya lukis yang bisa terjual biasanya sekitar lima hingga tujuh karya rupa saja.
Bahkan dia juga mengatakan bahwa dalam pameran tersebut, apresiasi masyarakat yang diberikan sangat besar. "Contohnya saja para pelajar yang ada di sana diwajibkan untuk membuat karya ilmiah yang berkaitan dengan pameran tersebut. Sehingga akhirnya ini membuat para pelajar selalu datang dan hadir setiap harinya untuk menyaksikan pameran," ujarnya.
Ini tentu sangat baik sekali dicontoh oleh dinas terkait untuk bisa memberikan bentuk apresiasi terhadap karya rupa sejak dini. "Karena berdasarkan pengalaman kemarin ini, setiap harinya anak-anak pelajar ini berkumpul di arena pameran untuk menyaksikan karya rupa serta melakukan wawancara dengan perupanya. Para pelajar mempertanyakan bagaimana proses kreatif yang dijalani. Bahkan mereka datang hingga malam hari. Tentu saja ini sangat baik sekali guna memberikan sosialisasi dan pembelajaran kepada anak-anak."
Selain itu juga, menurut Ari, pameran ini memberikan satu entry point tersendiri terhadap perkembangan seni rupa kontemporer bagi perupa se-Sumatera. "Karena dalam dialog seni rupa yang menghadirkan tiga pembicara yakni Mirwan Yusuf, Adi Rosa, dan Suwarno memberikan masukan dan apresiasi terhadap perkembangan dunia seni rupa di Sumatera."
Bahkan di Jambi ini juga, kata Ari, juga digelar Festival Animasi Internasional yang diikuti animator dari berbagai negara.
"Tentunya ini menjadi satu PR bagi animator asal Lampung untuk bisa terus berkembang dan harus mengarah ke situ. Sehingga tidak tertinggal dengan animator asal daerah lain di Sumatera khususnya," kata dia lagi.
Untuk tahun 2008 yang akan datang, kata Ari, kegiatan ini akan kembali digelar di Jambi. "Berdasarkan kesepakatan kemarin, kegiatan ini akan dijadikan event tetap yang digelar di Jambi setiap memasuki bulan Oktober. Pada tahun depan, kurator yang akan menyeleksi karya rupanya adalah Mirwan Yusuf dan Suwarno."
Tentunya kata Ari, ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi para perupa Lampung untuk bisa tampil dan terus berkarya dengan bahasa karya yang universal. Sehingga selain bisa dinikmati masyarakat Indonesia, karya rupa Lampung sudah selayaknya bisa berbicara pada dunia internasional. Atau paling tidak ini bisa diwujudkan oleh perupa Sumatera. Semoga. n TEGUH PRESETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
Lihat juga: Dialog Perupa Sumatera: Bukan Sekadar Ajang Kangen-kangenan
Pelukis Sumatera Harapkan Pengakuan Nasional
Pengamat seni rupa, yang juga Dosen Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, memberi apresiasi menarik soal gelaran Sumatera Kontemporer Art itu. Ia mengatakan di Sumatera inilah satu-satunya terdapat kegiatan kesenirupaan yang dilabelkan se-Sumatera dan mampu bertahan selama sepuluh kali penyelenggaraannya secara kontinu.
Sehingga ini menjadi satu macam denyut kegiatan seni rupa di Indonesia. Terlebih lagi di luar Sumatera, misalnya di Pulau Jawa dan lainnya, tidak ada satu pun perhelatan kesenirupaan yang secara spesifik disebut sebagai pameran seni rupa se-Jawa.
Meskipun itu pun menjadi satu yang tidak begitu penting mengingat di Jawa dinamika dan ruang kompetisinya begitu tinggi. Baik itu yang dilakukan oleh individu, kelompok, institusi seperti bienelle dan lainnya.
Apalagi bila itu berkaitan dengan penyelenggara kegiatan di Pulau Jawa yang bisa berasal dari lokal hingga internasional, semuanya bisa diakses dengan leluasa. Dan pameran seni rupa se-Sumatera ini menjadi sangat menarik diapresiasi penyelenggaraanya.
Suwarno Wisetrotomo mengingatkan, bahwa sebaiknya sebutan se-Sumatera yang menempel dalam event ini tidak terjebak pada rutinitas yang tidak menawarkan atau membawa perubahan apa-apa.
Akan tetapi, menurut Suwarno, semuanya harus dapat dioptimalkan dan diberdayakan antara lain untuk mengidentivikasi diri sembari melakukan semacam satu analisis SWOT (strenght, weakness, opportunity, threats). "Dengan melakukan pendekatan SWOT, akan terlihat keunggulan atau potensi, kelemahan, kesempatan, dan tantangan yang dimiliki nantinya. Pendekatan semacam ini akan membantu proses pemberdayaan menjadi lebih merata."
Apalagi seperti dikemukakan dia, ini penting dilakukan karena berhadapan dengan logika bahwa Jawa khususnya Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, atau Bali sebagai pusat pertumbuhan pemikiran dan praktek seni rupa, bahkan juga pasar. "Padahal faktanya menunjukkan di setiap wilayah, entah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua sesungguhnya menyimpan potensi sekaligus kelemahan serta potensi dan tantangan tersendiri."
Untuk itulah Suwarno mengatakan jika se-Sumatera tersebut berhasil menguatkan keberadaannya, sesungguhnya akan memiliki peran dalam membangun politik identitas. Sebab keberagaman seni rupa Indonesia yang membentang dari ujung Sumatera hingga ujung Papua dengan lenturnya mampu menyerap segala perubahan, pengaruh, ciri, dan sebagainya dari segala perkembangan seni rupa di dunia.
Karena itu, di meminjam istilah dari tujuan pembangunan milenium atau MDGs (millenium development goals) dalam mengatasi kemiskinan yakni "bangkit dan suarakan" untuk memprovokasi seni rupa Sumatera. "Jargon ini dapat digunakan sebagai daya dorong untuk perupa dan seni rupa Sumatera dalam kaitannya memasuki ruang pergaulan yang meluas di segala level. Makanya jika ini menjadi satu jargon dan kesadaran bersama, maka dipastikan peristiwa tahunan di Sumatera ini akan menjadi pusat perhtaian yang sesungguhnya."
Buah Tangan Perupa Lampung
Tiga karya rupa dari dua perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi dan Joko Irianta berhasil terjual dalam Pameran Seni Rupa dan Dialog Seni Rupa se-Sumatera bertajuk Sumatera Kontemporer Art yang digelar di Jambi, 27 Oktober--4 November yang lalu.
Perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi, mengemukakan bahwa dua karya yang dibawanya laku terjual, sedangkan Joko Irianta, dari dua karya, satu karya yang terjual. "Karya saya yang berjudul 'Exempted' dan karya Joko Irianta yang berjudul 'mendengar, melihat, malu, lalu diam' dibeli kolektor Jambi Pak Sakti yang merupakan pimpinan harian Metro Jambi serta satu karya saya yang lain, 'Under the Golden Flame', dibeli oleh Ibu Christine dari Galery Semar Malang."
Dia mengatakan dirinya sangat appreciate terhadap apresiasi yang begitu besar ditunjukan masyarakat Jambi dalam pameran kali ini. "Bahkan dari 49 karya yang dipamerkan, 12 terjual. Sehingga ini menunjukan satu apresiasi yang tinggi yang ditunjukan masyarakat Jambi serta pemerintah daerahnya."
Tentunya, menurut Ari, dengan lakunya sebanyak 12 karya dari 49 karya yang dipamerkan menunjukan satu bentuk apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Sebab biasanya bila penyelenggaraannya di Lampung, karya lukis yang bisa terjual biasanya sekitar lima hingga tujuh karya rupa saja.
Bahkan dia juga mengatakan bahwa dalam pameran tersebut, apresiasi masyarakat yang diberikan sangat besar. "Contohnya saja para pelajar yang ada di sana diwajibkan untuk membuat karya ilmiah yang berkaitan dengan pameran tersebut. Sehingga akhirnya ini membuat para pelajar selalu datang dan hadir setiap harinya untuk menyaksikan pameran," ujarnya.
Ini tentu sangat baik sekali dicontoh oleh dinas terkait untuk bisa memberikan bentuk apresiasi terhadap karya rupa sejak dini. "Karena berdasarkan pengalaman kemarin ini, setiap harinya anak-anak pelajar ini berkumpul di arena pameran untuk menyaksikan karya rupa serta melakukan wawancara dengan perupanya. Para pelajar mempertanyakan bagaimana proses kreatif yang dijalani. Bahkan mereka datang hingga malam hari. Tentu saja ini sangat baik sekali guna memberikan sosialisasi dan pembelajaran kepada anak-anak."
Selain itu juga, menurut Ari, pameran ini memberikan satu entry point tersendiri terhadap perkembangan seni rupa kontemporer bagi perupa se-Sumatera. "Karena dalam dialog seni rupa yang menghadirkan tiga pembicara yakni Mirwan Yusuf, Adi Rosa, dan Suwarno memberikan masukan dan apresiasi terhadap perkembangan dunia seni rupa di Sumatera."
Bahkan di Jambi ini juga, kata Ari, juga digelar Festival Animasi Internasional yang diikuti animator dari berbagai negara.
"Tentunya ini menjadi satu PR bagi animator asal Lampung untuk bisa terus berkembang dan harus mengarah ke situ. Sehingga tidak tertinggal dengan animator asal daerah lain di Sumatera khususnya," kata dia lagi.
Untuk tahun 2008 yang akan datang, kata Ari, kegiatan ini akan kembali digelar di Jambi. "Berdasarkan kesepakatan kemarin, kegiatan ini akan dijadikan event tetap yang digelar di Jambi setiap memasuki bulan Oktober. Pada tahun depan, kurator yang akan menyeleksi karya rupanya adalah Mirwan Yusuf dan Suwarno."
Tentunya kata Ari, ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi para perupa Lampung untuk bisa tampil dan terus berkarya dengan bahasa karya yang universal. Sehingga selain bisa dinikmati masyarakat Indonesia, karya rupa Lampung sudah selayaknya bisa berbicara pada dunia internasional. Atau paling tidak ini bisa diwujudkan oleh perupa Sumatera. Semoga. n TEGUH PRESETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
Lihat juga: Dialog Perupa Sumatera: Bukan Sekadar Ajang Kangen-kangenan
Pelukis Sumatera Harapkan Pengakuan Nasional
Komunitas: Sai Batin-Pepadun Saling Melengkapi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pembedaan antara Lampung Sai Batin dan Lampung Pepadun harus dipertahankan sebagai suatu hal yang saling melengkapi karena masing-masing mempunyai nilai kebesaran dan membuat Lampung menjadi satu.
Hal ini diungkapkan Kombes H. Pangeran Edward Syah Pernong, pembina Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Forum Komunikasi Pemuda Kepaksian Pernong (FKPP) Bandar Lampung, dalam acara halalbihalal Kepaksian Pernong, di Hotel Sahid Bandar Lampung, Sabtu (17-11). Tampak hadir dalam acara itu Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya, Bupati Lampung Selatan Zulkifli Anwar, Wakil Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, dan jajaran pengurus DPW FKPP Lampung periode 2007--2011.
"Kepaksian Pernong harus selalu membina kepuakhian, jangan eksklusif, jalin interaksi dengan seluruh masyrakat di Lampung. Lampung akan menjadi besar bila semua masyarakat Lampung mempunyai kesetiaan. Penguat silaturahmi adalah kesetiaan," ujar Edward Syah Pernong.
Ia menjelaskan organisasi Kepaksian Pernong dibentuk dengan tujuan mempersatukan seluruh elemen masyrakat Kepaksian Pernong dengan visi menumbuhkembangkan seni budaya kepaksian pernong serta menggalang hidup dalam kebersamaan (seuyunan, setulungan, seakkonan).
Sedangkan halalbihalal yang diadakan itu untuk menjalin silaturahmi, sebagai fondasi generasi mida Kepaksian Pernong dalam keikutsertaaan berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam gerakan membangun Bumi Lampung Gema.
Menurut Djoni Hendra, ketua harian DPW FKPP Lampung, forum kepemudaan Pernong merupakan organisasi yang bertujuan mempersatukan masyarakat dengan menumbuhkembangkan seni budaya Lampung. "Kami bertujuan mempersatukan seluruh masyarakat Lampung, tidak ada unsur politik dalam organisasi ini," ujarnya.
Jika ada pengurus keluarga Kepaksian Pernong yang ikut dalam pencalonan pemilihan kepala daerah atau partai politik tertentu, secara organisasi Kepaksian Pernong bersikap netral. "Kami serahkan sepenuhnya kepada pribadi masing-masing," kata dia. */X-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
Hal ini diungkapkan Kombes H. Pangeran Edward Syah Pernong, pembina Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Forum Komunikasi Pemuda Kepaksian Pernong (FKPP) Bandar Lampung, dalam acara halalbihalal Kepaksian Pernong, di Hotel Sahid Bandar Lampung, Sabtu (17-11). Tampak hadir dalam acara itu Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya, Bupati Lampung Selatan Zulkifli Anwar, Wakil Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, dan jajaran pengurus DPW FKPP Lampung periode 2007--2011.
"Kepaksian Pernong harus selalu membina kepuakhian, jangan eksklusif, jalin interaksi dengan seluruh masyrakat di Lampung. Lampung akan menjadi besar bila semua masyarakat Lampung mempunyai kesetiaan. Penguat silaturahmi adalah kesetiaan," ujar Edward Syah Pernong.
Ia menjelaskan organisasi Kepaksian Pernong dibentuk dengan tujuan mempersatukan seluruh elemen masyrakat Kepaksian Pernong dengan visi menumbuhkembangkan seni budaya kepaksian pernong serta menggalang hidup dalam kebersamaan (seuyunan, setulungan, seakkonan).
Sedangkan halalbihalal yang diadakan itu untuk menjalin silaturahmi, sebagai fondasi generasi mida Kepaksian Pernong dalam keikutsertaaan berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam gerakan membangun Bumi Lampung Gema.
Menurut Djoni Hendra, ketua harian DPW FKPP Lampung, forum kepemudaan Pernong merupakan organisasi yang bertujuan mempersatukan masyarakat dengan menumbuhkembangkan seni budaya Lampung. "Kami bertujuan mempersatukan seluruh masyarakat Lampung, tidak ada unsur politik dalam organisasi ini," ujarnya.
Jika ada pengurus keluarga Kepaksian Pernong yang ikut dalam pencalonan pemilihan kepala daerah atau partai politik tertentu, secara organisasi Kepaksian Pernong bersikap netral. "Kami serahkan sepenuhnya kepada pribadi masing-masing," kata dia. */X-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
November 17, 2007
Ketenagakerjaan: Lulusan Bahasa Lampung tak Terserap
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Para lulusan program diploma (D-2/D-3) Bahasa Daerah Lampung dari FKIP Universitas Lampung (Unila) belum seluruhnya terserap pasar kerja terutama sebagai pendidik (guru) Bahasa Lampung, sehingga program itu dihentikan sementara.
Data dari Jurusan Bahasa dan Seni di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila di Bandar Lampung, Kamis (15-11), menyebutkan sejak dibuka tahun 1998--1999, Program Diploma Bahasa Daerah Lampung telah meluluskan 800-an orang.
Namun, lulusan yang dapat bekerja atau diangkat sebagai PNS guru untuk mengajar Bahasa Daerah Lampung di sekolah dasar (SD) atau SMP hanya berkisar 35--40 persen. Selebihnya belum diangkat sebagai pegawai atau guru sebagaimana tujuan pendirian program tersebut.
Dosen dan pimpinan FKIP Unila menyebutkan semula Program Diploma Bahasa Lampung itu merupakan langkah terobosan mengatasi kekurangan guru, sehingga lulusannya nanti dapat mengajar muatan lokal (mulok) Bahasa Lampung yang diajarkan di SD dan SMP di daerahnya itu.
Akan tetapi, setelah melihat kenyataan daya serap lulusan yang belum seperti yang diharapkan, dalam beberapa tahun ini program tersebut dihentikan (disetop) sementara.
Padahal, Pemprov Lampung telah mencanangkan program pengembangan dan pelestarian Bahasa Lampung, antara lain melalui pengajaran di sekolah.
Oleh sebab itu, Unila dan para lulusan Program Diploma Bahasa Lampung itu mengharapkan Pemprov dan kabupaten/kota dapat memprioritaskan pengangkatan lulusan program itu, terutama sebagai guru di SD atau SMP untuk menjadi pengajar Bahasa Daerah Lampung.
Kendati termasuk 13 bahasa daerah yang tergolong "aman" karena masih memiliki penutur lebih satu juta orang, pelestarian bahasa daerah Lampung tetap harus digencarkan mengingat ancaman penggunaan bahasa asing dan kecenderungan masyarakat khususnya generasi muda di Lampung yang enggan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. n K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 16 November 2007
Data dari Jurusan Bahasa dan Seni di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila di Bandar Lampung, Kamis (15-11), menyebutkan sejak dibuka tahun 1998--1999, Program Diploma Bahasa Daerah Lampung telah meluluskan 800-an orang.
Namun, lulusan yang dapat bekerja atau diangkat sebagai PNS guru untuk mengajar Bahasa Daerah Lampung di sekolah dasar (SD) atau SMP hanya berkisar 35--40 persen. Selebihnya belum diangkat sebagai pegawai atau guru sebagaimana tujuan pendirian program tersebut.
Dosen dan pimpinan FKIP Unila menyebutkan semula Program Diploma Bahasa Lampung itu merupakan langkah terobosan mengatasi kekurangan guru, sehingga lulusannya nanti dapat mengajar muatan lokal (mulok) Bahasa Lampung yang diajarkan di SD dan SMP di daerahnya itu.
Akan tetapi, setelah melihat kenyataan daya serap lulusan yang belum seperti yang diharapkan, dalam beberapa tahun ini program tersebut dihentikan (disetop) sementara.
Padahal, Pemprov Lampung telah mencanangkan program pengembangan dan pelestarian Bahasa Lampung, antara lain melalui pengajaran di sekolah.
Oleh sebab itu, Unila dan para lulusan Program Diploma Bahasa Lampung itu mengharapkan Pemprov dan kabupaten/kota dapat memprioritaskan pengangkatan lulusan program itu, terutama sebagai guru di SD atau SMP untuk menjadi pengajar Bahasa Daerah Lampung.
Kendati termasuk 13 bahasa daerah yang tergolong "aman" karena masih memiliki penutur lebih satu juta orang, pelestarian bahasa daerah Lampung tetap harus digencarkan mengingat ancaman penggunaan bahasa asing dan kecenderungan masyarakat khususnya generasi muda di Lampung yang enggan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. n K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 16 November 2007
November 14, 2007
Humaniora: 726 Bahasa Daerah Terancam Punah
* Bisa Dipelihara Melalui Komunitas
Bandar Lampung, Kompas - Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa tersebut. Bahkan, kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian besar generasi tua.
"Anak muda sekarang cenderung memakai bahasa asing dan bahasa nasional daripada bahasa daerah di dalam kehidupan sehari-harinya," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Mustakim di sela-sela Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, Selasa (13/11).
Menurut Mustakim, sebanyak 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta penutur adalah Bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Bahasa Sasak.
Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya bahasa di daerah Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya sangat terbatas.
Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah penutur adalah akibat pengaruh budaya global. Pengaruh budaya itu menyebabkan generasi muda lebih suka berbicara dengan menggunakan bahasa nasional Bahasa Indonesia, sesekali diselingi dengan menggunakan bahasa asing, daripada dengan bahasa daerah.
Cinta bahasa daerah
Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Dhanardana mengatakan, untuk menumbuhkan dan melestarikan bahasa daerah, Pusat Bahasa bekerja sama dengan balai-balai bahasa di setiap provinsi di Indonesia menggiatkan kembali kecintaan generasi muda pada pemakaian bahasa daerah. Selain itu, pemakaian bahasa daerah bisa digarap melalui komunitas-komunitas sastra, lembaga-lembaga bahasa, ataupun jalur pendidikan formal di sekolah.
Akan tetapi, tindakan yang lebih konkret untuk mempertahankan bahasa daerah adalah dengan menerapkan langsung bahasa daerah itu dalam kehidupan sehari-hari.
Mustakim mencontohkan, bahasa daerah juga bisa dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia.
Lebih lanjut Mustakim mengatakan, pemerintah sebetulnya juga telah menunjukkan keberpihakannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Peraturan itu seharusnya bisa menjadi pedoman setiap kepala daerah melestarikan bahasa daerah masing-masing," kata Mustakim.
Meski demikian, menurut Mustakim, peraturan yang paling mengikat untuk bisa melestarikan bahasa daerah dan menghindarkan dari kepunahan adalah diterbitkannya undang-undang bahasa. (HLN)
Sumber: Kompas, 14 November 2007
Bandar Lampung, Kompas - Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa tersebut. Bahkan, kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian besar generasi tua.
"Anak muda sekarang cenderung memakai bahasa asing dan bahasa nasional daripada bahasa daerah di dalam kehidupan sehari-harinya," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Mustakim di sela-sela Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, Selasa (13/11).
Menurut Mustakim, sebanyak 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta penutur adalah Bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Bahasa Sasak.
Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya bahasa di daerah Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya sangat terbatas.
Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah penutur adalah akibat pengaruh budaya global. Pengaruh budaya itu menyebabkan generasi muda lebih suka berbicara dengan menggunakan bahasa nasional Bahasa Indonesia, sesekali diselingi dengan menggunakan bahasa asing, daripada dengan bahasa daerah.
Cinta bahasa daerah
Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Dhanardana mengatakan, untuk menumbuhkan dan melestarikan bahasa daerah, Pusat Bahasa bekerja sama dengan balai-balai bahasa di setiap provinsi di Indonesia menggiatkan kembali kecintaan generasi muda pada pemakaian bahasa daerah. Selain itu, pemakaian bahasa daerah bisa digarap melalui komunitas-komunitas sastra, lembaga-lembaga bahasa, ataupun jalur pendidikan formal di sekolah.
Akan tetapi, tindakan yang lebih konkret untuk mempertahankan bahasa daerah adalah dengan menerapkan langsung bahasa daerah itu dalam kehidupan sehari-hari.
Mustakim mencontohkan, bahasa daerah juga bisa dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia.
Lebih lanjut Mustakim mengatakan, pemerintah sebetulnya juga telah menunjukkan keberpihakannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Peraturan itu seharusnya bisa menjadi pedoman setiap kepala daerah melestarikan bahasa daerah masing-masing," kata Mustakim.
Meski demikian, menurut Mustakim, peraturan yang paling mengikat untuk bisa melestarikan bahasa daerah dan menghindarkan dari kepunahan adalah diterbitkannya undang-undang bahasa. (HLN)
Sumber: Kompas, 14 November 2007
Adat Istiadat: Sjachroedin Dapat Gelar Minangkabau
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dipinang Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat untuk mendapatkan gelar kehormatan Sang Sako Minangkabau.
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau Kabupaten Tanah Datar, Hafzi Dt. Batuah mengemukakan hal tersebut di sela-sela penyerahan surat keputusan pemberian gelar Sang Sako Minangkabau yang diselenggarakan di Mahan Agung, Selasa (13-11).
Dia mengatakan gelar tersebut diawali dari Ketua Kerapatan Adat Nagari Paninjauan Kecamatan 10 Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
"Pemberian ini tidak dilakukan secara sembarangan. Ini berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk mengangkat Gubernur Lampung sebagai mamak masyarakat Lampung asal Minangkabau," kata Hafzi.
Dia mengatakan pemberian SK ini sebagai bentuk peminangan untuk mendapatkan gelar adat tersebut. "Pemberian adatnya baru akan dilaksanakan dengan pesta adat tanggal 25 November di Nagari Paninjauan Kecamatan 10 Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sehingga dengan pemberian adat tersebut, Gubernur akan menjadi mamak di tanah perantauan."
Sedangkan Wakil Bupati Kabupaten Tanah Datar Aulizul Syuib mengatakan bahwa pemberian gelar adat Minangkabau selama ini dilakukan secara selektif dan tidak sembarangan. "Tahun lalu ada dua tokoh yang mendapatkan gelar Kerapatan Adat yang berasal dari nagari yang ada di Sumatera Barat yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Gubernur Sumatera Selatan Syahril Oesman."
Sementara Ketua Keluarga Besar Sumatera Barat (KBSB) Provinsi Lampung, dr. Wirman mengemukakan diberikannya gelar adat Minangkabau ini tidak lain karena dedikasi yang besar yang diberikan Gubernur Lampung kepada masyarakat Minang. "Dimulai dengan masa pemerintahan Gubernur Zainal Abidin Pagaralam di mana ketika itu banyak merekrut masyarakat Lampung asal Minang untuk membantu dalam pemerintahan."
Bahkan, menurut dia, begitu banyak perhatian yang diberikan kepada masyarakat Minang yang ada di Lampung. "Di antaranya adalah dengan ditetapkannya dr. Abdul Moeloek sebagai nama rumah sakit umum daerah yang ada di Lampung. Selain itu juga dengan dilakukannya pembangunan Pasar Bambu Kuning yang semula merupakan lapangan Bambu Kuning tempat masyarakat Lampung asal Minang berdagang," ujar Wirman.
Hubungan baik tersebut, kata dia, dilanjutkan hingga pemerintahan Sjachroedin Z.P. "Misalnya dengan pengembangan kebudayaan Minang di Lampung yang tetap dipertahankan. Begitu juga perhatian yang diberikan terhadap masyarakat Lampung asal Sumatera Barat serta kepedulian yang besar atas musibah gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat beberapa waktu lalu."
Untuk itulah, menurut Wirman, berdasarkan kesepakatan para ninik-mamak dengan terus memegang falsafah masyarakat Minang diputuskan akan dilakukan pengangkatan Gubernur Lampung sebagai mamak warga Lampung asal Sumatera Barat.
"Apalagi berdasarkan stastistik warga Lampung asal Sumatera Barat saat ini mencapai jumlah 13,1 persen. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, transportasi, jasa, hotel, dan profesi lainnya," katanya. TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 14 November 2007
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau Kabupaten Tanah Datar, Hafzi Dt. Batuah mengemukakan hal tersebut di sela-sela penyerahan surat keputusan pemberian gelar Sang Sako Minangkabau yang diselenggarakan di Mahan Agung, Selasa (13-11).
Dia mengatakan gelar tersebut diawali dari Ketua Kerapatan Adat Nagari Paninjauan Kecamatan 10 Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
"Pemberian ini tidak dilakukan secara sembarangan. Ini berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk mengangkat Gubernur Lampung sebagai mamak masyarakat Lampung asal Minangkabau," kata Hafzi.
Dia mengatakan pemberian SK ini sebagai bentuk peminangan untuk mendapatkan gelar adat tersebut. "Pemberian adatnya baru akan dilaksanakan dengan pesta adat tanggal 25 November di Nagari Paninjauan Kecamatan 10 Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sehingga dengan pemberian adat tersebut, Gubernur akan menjadi mamak di tanah perantauan."
Sedangkan Wakil Bupati Kabupaten Tanah Datar Aulizul Syuib mengatakan bahwa pemberian gelar adat Minangkabau selama ini dilakukan secara selektif dan tidak sembarangan. "Tahun lalu ada dua tokoh yang mendapatkan gelar Kerapatan Adat yang berasal dari nagari yang ada di Sumatera Barat yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Gubernur Sumatera Selatan Syahril Oesman."
Sementara Ketua Keluarga Besar Sumatera Barat (KBSB) Provinsi Lampung, dr. Wirman mengemukakan diberikannya gelar adat Minangkabau ini tidak lain karena dedikasi yang besar yang diberikan Gubernur Lampung kepada masyarakat Minang. "Dimulai dengan masa pemerintahan Gubernur Zainal Abidin Pagaralam di mana ketika itu banyak merekrut masyarakat Lampung asal Minang untuk membantu dalam pemerintahan."
Bahkan, menurut dia, begitu banyak perhatian yang diberikan kepada masyarakat Minang yang ada di Lampung. "Di antaranya adalah dengan ditetapkannya dr. Abdul Moeloek sebagai nama rumah sakit umum daerah yang ada di Lampung. Selain itu juga dengan dilakukannya pembangunan Pasar Bambu Kuning yang semula merupakan lapangan Bambu Kuning tempat masyarakat Lampung asal Minang berdagang," ujar Wirman.
Hubungan baik tersebut, kata dia, dilanjutkan hingga pemerintahan Sjachroedin Z.P. "Misalnya dengan pengembangan kebudayaan Minang di Lampung yang tetap dipertahankan. Begitu juga perhatian yang diberikan terhadap masyarakat Lampung asal Sumatera Barat serta kepedulian yang besar atas musibah gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat beberapa waktu lalu."
Untuk itulah, menurut Wirman, berdasarkan kesepakatan para ninik-mamak dengan terus memegang falsafah masyarakat Minang diputuskan akan dilakukan pengangkatan Gubernur Lampung sebagai mamak warga Lampung asal Sumatera Barat.
"Apalagi berdasarkan stastistik warga Lampung asal Sumatera Barat saat ini mencapai jumlah 13,1 persen. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, transportasi, jasa, hotel, dan profesi lainnya," katanya. TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 14 November 2007
November 12, 2007
Kongres Bahasa: Pemprov Rancang Perda Pelestarian Bahasa Lampung
UNTUK melindungi bahasa Lampung dari kepunahan, Pemerintah Provinsi Lampung segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelestarian Lembaga Adat dan Adat Istiadat Daerah Lampung. Raperda tersebut juga memuat pembinaan dan pelestarian bahasa Lampung sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya Lampung.
Sekretaris Penyusunan Raperda Budaya Lampung Khaidarmansyah mengungkapkan hal itu dalam Konggres Bahasa Wilayah Barat yang berlangsung di Hotel Marcopolo, Senin (12-11). Kongres berlangsung dua hari, mulai Senin sampai hari ini (13-11), diikuti 150-an peserta utusan dari Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Raperda yang juga memuat pemeliharaan bahasa Lampung itu merupakan inisiatif Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL). "MPAL menyerahkan kepada Pemprov Lampung melalui Biro Hukum. Biro Hukum sudah mengkaji raperda itu dengan mengundang stake holder," kata Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung itu.
Setelah menjadi draf, kemudian diserahkan ke Subdin Kebudayaan. "Tahun depan, kami akan mengadakan semiloka atau diskusi publik membahas raperda tersebut. Setelah itu baru diserahkan kepada DPRD. Kami optimistis raperda ini akan disahkan tahun 2008," ujar Khaidarmansyah.
Langkah Pemprov
Dalam sambutan saat membuka kongres, Asisten I Sekprov Lampung Husodo Hadi, yang mewakili Gubernur, menyatakan ada beberapa langkah yang akan ditempuh untuk melestarikan bahasa. Di antaranya, bahasa daerah wajib diajarkan mulai taman kanak-kanak, SD, dan SMP sesuai dengan peraturan yang diberlakukan di daerah. Kemudian, mewajibkan penulisan nama bangunan, nama jalan, kompleks permukiman, perkantoran, perdagangan, merek dagang, nama perusahaan, dan lembaga pendidikan dengan aksara Lampung.
Pemprov juga akan memasyarakatkan bahasa daerah melalui media massa cetak maupun elektronik. "Kami juga akan memulai dari kantor-kantor pemerintah dengan mewajibkan menggunakan bahasa Lampung pada hari dan jam tertentu," kata Husodo.
Menanggapi langkah Pemprov ini, peserta asal Lampung Timur, Iskandar Kamaludin, menyangsikan bahasa Lampung bisa digunakan secara luas di Sai Bumi Ruwa Jurai. "Di Lampung ada dua dialeg, a dan o. Jika tidak ada kesepakatan, sulit menggunakan bahasa Lampung secara luas," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Taufik Wijaya, peserta kongres asal Sumatera Selatan. "Harus ada konsensus antara penutur bahasa terbesar, pesisir dan pepadun, sehingga bahasa Lampung bisa disepakati dan diterima berbagai pihak," kata dia. UNI/ALW/U-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Sekretaris Penyusunan Raperda Budaya Lampung Khaidarmansyah mengungkapkan hal itu dalam Konggres Bahasa Wilayah Barat yang berlangsung di Hotel Marcopolo, Senin (12-11). Kongres berlangsung dua hari, mulai Senin sampai hari ini (13-11), diikuti 150-an peserta utusan dari Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Raperda yang juga memuat pemeliharaan bahasa Lampung itu merupakan inisiatif Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL). "MPAL menyerahkan kepada Pemprov Lampung melalui Biro Hukum. Biro Hukum sudah mengkaji raperda itu dengan mengundang stake holder," kata Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung itu.
Setelah menjadi draf, kemudian diserahkan ke Subdin Kebudayaan. "Tahun depan, kami akan mengadakan semiloka atau diskusi publik membahas raperda tersebut. Setelah itu baru diserahkan kepada DPRD. Kami optimistis raperda ini akan disahkan tahun 2008," ujar Khaidarmansyah.
Langkah Pemprov
Dalam sambutan saat membuka kongres, Asisten I Sekprov Lampung Husodo Hadi, yang mewakili Gubernur, menyatakan ada beberapa langkah yang akan ditempuh untuk melestarikan bahasa. Di antaranya, bahasa daerah wajib diajarkan mulai taman kanak-kanak, SD, dan SMP sesuai dengan peraturan yang diberlakukan di daerah. Kemudian, mewajibkan penulisan nama bangunan, nama jalan, kompleks permukiman, perkantoran, perdagangan, merek dagang, nama perusahaan, dan lembaga pendidikan dengan aksara Lampung.
Pemprov juga akan memasyarakatkan bahasa daerah melalui media massa cetak maupun elektronik. "Kami juga akan memulai dari kantor-kantor pemerintah dengan mewajibkan menggunakan bahasa Lampung pada hari dan jam tertentu," kata Husodo.
Menanggapi langkah Pemprov ini, peserta asal Lampung Timur, Iskandar Kamaludin, menyangsikan bahasa Lampung bisa digunakan secara luas di Sai Bumi Ruwa Jurai. "Di Lampung ada dua dialeg, a dan o. Jika tidak ada kesepakatan, sulit menggunakan bahasa Lampung secara luas," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Taufik Wijaya, peserta kongres asal Sumatera Selatan. "Harus ada konsensus antara penutur bahasa terbesar, pesisir dan pepadun, sehingga bahasa Lampung bisa disepakati dan diterima berbagai pihak," kata dia. UNI/ALW/U-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Kongres Bahasa: Pemerintah Siapkan RUU Bahasa
PEMERINTAH sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bahasa yang mengatur penggunaan bahasa daerah, nasional, dan bahasa asing.
Sementara itu, jika tidak diupayakan sungguh-sungguh, 50 persen bahasa daerah atau sekitar 370 bahasa dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah.
Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Mustakim, mengungkapkan hal itu usai membuka Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, Senin (12-11).
Menurut dia, di Indonesia ada sekitar 13 bahasa yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta orang, termasuk bahasa Lampung. Namun, tidak sedikit bahasa yang jumlah penuturnya hanya puluhan orang. "Salah satunya bahasa di daerah Maluku Utara, tepatnya di Halmahera, yang jumlah penuturnya hanya 40 orang. Itu pun hanya orang-orang tua. Bisa dibayangkan, kalau ke-40 orang tersebut meninggal dan tidak ada yang mendokumentasikan bahasa tersebut, bahasa itu selamanya akan punah," kata dia.
Oleh sebab itu, melalui RUU Bahasa yang segera diajukan ke DPR akan diatur penggunaan bahasa daerah, bahasa nasional, maupun bahasa asing. "Kini RUU tersebut sedang digodok di Kementerian Hukum dan HAM, dan segera diajukan ke DPR," kata Mustakim.
Dia mengatakan selama ini ada kekhawatiran dari berbagai pihak bahwa penggunaan bahasa nasional akan menggeser bahasa daerah. Demikian juga penggunaan bahasa asing akan menggeser penggunaan bahasa nasional. "Namun, jika semua ditempatkan pada porsinya, saya rasa hal itu tidak akan terjadi," ujar dia.
Untuk itu, RUU tersebut rencananya diundangkan pada tahun 2008. "Kami memilih tahun 2008 menjadi tahun bahasa. Sebab, pada tahun tersebut Kongres Bahasa berusia 80 tahun dan Kebangkitan Nasional berusia satu abad," ujar dia.
Sementara itu, Kantor Bahasa Lampung segera memetakan penggunaan bahasa baik daerah maupun nasional di Lampung. Hal itu terkait dengan pelestarian bahasa daerah maupun bahasa nasional yang mulai tersingkirkan.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardhana mengungkapkan hal itu. "Kami segera memetakan penggunaan bahasa di Lampung. Peta ini nantinya bisa digunakan pemerintah daerah (pemda) untuk membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional yang sekarang mulai tersisih," kata Agus.
Dia mengatakan baru-baru ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Salah satu ayat permendagri itu menyebutkan pemerintah daerah bersama Kantor Bahasa memiliki kewenangan melestarikan, membina, dan mengembangkan bahasa nasional maupun bahasa daerah," ujar dia.
Untuk itu pihaknya bersama pemda akan melakukan berbagai upaya untuk membantu melestarikan bahasa daerah Lampung maupun bahasa daerah luar Lampung yang digunakan warga Lampung. "Selama ini kami hanya bisa prihatin melihat bahasa daerah makin terpinggirkan. Namun, dengan adanya permendagri terbaru ini, kami bersama pemda akan melakukan berbagai upaya untuk melestarikan dan membina bahasa nasional maupun bahasa daerah," kata dia.
Menurut Danar, Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat juga merupakan salah satu upaya membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional. "Kongres ini akan diikuti 150 peserta dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan," jelas dia.
Sedang peserta kongres terdiri dari pejabat pemda, para guru, dan masyarakat umum. "Pembicara berasal dari akademisi, pejabat pemda, dan ahli bahasa," ujar dia.
Kongres berlangsung dua hari, tanggal 12--13 November, merupakan yang ketiga. Sebab, untuk wilayah timur dan tengah sudah dilaksanakan pada bulan Mei--Juni lalu. Dalam kongres ini dibahas berbagai persoalan bahasa baik nasional maupun daerah yang mulai terpinggirkan. Kongres ini diharapkan mampu menghasilkan berbagai rumusan strategis untuk pelestarian dan pembinaan bahasa baik nasional maupun daerah. UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Sementara itu, jika tidak diupayakan sungguh-sungguh, 50 persen bahasa daerah atau sekitar 370 bahasa dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah.
Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Mustakim, mengungkapkan hal itu usai membuka Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, Senin (12-11).
Menurut dia, di Indonesia ada sekitar 13 bahasa yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta orang, termasuk bahasa Lampung. Namun, tidak sedikit bahasa yang jumlah penuturnya hanya puluhan orang. "Salah satunya bahasa di daerah Maluku Utara, tepatnya di Halmahera, yang jumlah penuturnya hanya 40 orang. Itu pun hanya orang-orang tua. Bisa dibayangkan, kalau ke-40 orang tersebut meninggal dan tidak ada yang mendokumentasikan bahasa tersebut, bahasa itu selamanya akan punah," kata dia.
Oleh sebab itu, melalui RUU Bahasa yang segera diajukan ke DPR akan diatur penggunaan bahasa daerah, bahasa nasional, maupun bahasa asing. "Kini RUU tersebut sedang digodok di Kementerian Hukum dan HAM, dan segera diajukan ke DPR," kata Mustakim.
Dia mengatakan selama ini ada kekhawatiran dari berbagai pihak bahwa penggunaan bahasa nasional akan menggeser bahasa daerah. Demikian juga penggunaan bahasa asing akan menggeser penggunaan bahasa nasional. "Namun, jika semua ditempatkan pada porsinya, saya rasa hal itu tidak akan terjadi," ujar dia.
Untuk itu, RUU tersebut rencananya diundangkan pada tahun 2008. "Kami memilih tahun 2008 menjadi tahun bahasa. Sebab, pada tahun tersebut Kongres Bahasa berusia 80 tahun dan Kebangkitan Nasional berusia satu abad," ujar dia.
Sementara itu, Kantor Bahasa Lampung segera memetakan penggunaan bahasa baik daerah maupun nasional di Lampung. Hal itu terkait dengan pelestarian bahasa daerah maupun bahasa nasional yang mulai tersingkirkan.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardhana mengungkapkan hal itu. "Kami segera memetakan penggunaan bahasa di Lampung. Peta ini nantinya bisa digunakan pemerintah daerah (pemda) untuk membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional yang sekarang mulai tersisih," kata Agus.
Dia mengatakan baru-baru ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Salah satu ayat permendagri itu menyebutkan pemerintah daerah bersama Kantor Bahasa memiliki kewenangan melestarikan, membina, dan mengembangkan bahasa nasional maupun bahasa daerah," ujar dia.
Untuk itu pihaknya bersama pemda akan melakukan berbagai upaya untuk membantu melestarikan bahasa daerah Lampung maupun bahasa daerah luar Lampung yang digunakan warga Lampung. "Selama ini kami hanya bisa prihatin melihat bahasa daerah makin terpinggirkan. Namun, dengan adanya permendagri terbaru ini, kami bersama pemda akan melakukan berbagai upaya untuk melestarikan dan membina bahasa nasional maupun bahasa daerah," kata dia.
Menurut Danar, Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat juga merupakan salah satu upaya membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional. "Kongres ini akan diikuti 150 peserta dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan," jelas dia.
Sedang peserta kongres terdiri dari pejabat pemda, para guru, dan masyarakat umum. "Pembicara berasal dari akademisi, pejabat pemda, dan ahli bahasa," ujar dia.
Kongres berlangsung dua hari, tanggal 12--13 November, merupakan yang ketiga. Sebab, untuk wilayah timur dan tengah sudah dilaksanakan pada bulan Mei--Juni lalu. Dalam kongres ini dibahas berbagai persoalan bahasa baik nasional maupun daerah yang mulai terpinggirkan. Kongres ini diharapkan mampu menghasilkan berbagai rumusan strategis untuk pelestarian dan pembinaan bahasa baik nasional maupun daerah. UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Kongres Bahasa: Melestarikan Bahasa melalui Arisan Keluarga
BERBAGAI upaya telah dilakukan pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah. Mulai dari memasukkan bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah, sampai kepada kegiatan-kegiatan lomba dan pelatihan bahasa daerah. Tetapi ada yang terlupakan, yaitu pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan informal. Misalnya saja dalam arisan keluarga.
Prof. Dr. Nadra, dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, yang melakukan penelitian di tengah-tengah masyarakat penutur, mengatakan beberapa kasus menarik tentang pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan informal, dalam Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, Senin (12-11).
Dia mencontohkan pendidikan bahasa daerah dalam keluarga. Ada seorang penutur bahasa Minangkabau yang kawin dengan orang Australia. Pada mulanya pasangan suami-istri itu menetap di Australia dan sekarang tinggal di Jakarta. Dalam keluarga tersebut ada pembagian yang tegas dalam menggunakan bahasa. Di rumah dengan anak-anaknya, ibu tersebut berbahasa Minangkabau dan suaminya berbahasa Inggris. Di sekolah, anak-anak berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Dengan demikian, anak-anak mereka mampu menguasai tiga bahasa. "Jika bahasa itu dituturkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya di rumah, bahasa itu akan dikuasai pula oleh anak-anaknya," kata Nadra.
Selain penuturan dalam keluarga, bahasa daerah juga bisa dilestarikan dalam bentuk arisan keluarga. Pelestarian bahasa daerah melalui cerita-cerita lucu, lagu, kaset, dan CD menjadi suatu hal yang menarik bagi anak-anak dan remaja. Selain itu, media masa, baik media cetak ataupun elektronik, bertanggung jawab menyediakan ruang untuk melestarikan bahasa daerah.
Menurut Nadra, dasar pijakan bahasa sudah ada. Yang perlu diwujudkan adalah upaya nyata untuk melestarikannya sehingga era globalisasi tidak menyebabkan penutur bahasa-bahasa daerah kehilangan ekspresi dan pemahaman terhadap budaya sendiri.
"Hal yang paling penting adalah kesadaran dan upaya penutur itu sendiri untuk tetap mewariskan bahasanya," kata Nadra.
Sementara itu, Prof. Dr. Multama Lauder, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengupas tentang strategi penanganan bahasa daerah yang terancam punah.
Menurut dia, punahnya bahasa daerah berkaitan langsung dengan hilangnya pengetahuan masyarakat mengenai budaya yang menyimpan pandangan hidup, adat, tata krama, teknologi dan kearifan menangani lingkungan. "Untuk itu perlu dilakukan penelusuran wilayah budaya, dalam hal ini bahasa adalah salah satu kunci untuk menelusuri variasi dan wilayah budaya di Indonesia," kata Multamia Lauder.
Dengan adanya data riil tentang variasi dan wilayah budaya, pemerintah juga akan lebih mudah menerapkan kebijakan untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah. RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Prof. Dr. Nadra, dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, yang melakukan penelitian di tengah-tengah masyarakat penutur, mengatakan beberapa kasus menarik tentang pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan informal, dalam Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, Senin (12-11).
Dia mencontohkan pendidikan bahasa daerah dalam keluarga. Ada seorang penutur bahasa Minangkabau yang kawin dengan orang Australia. Pada mulanya pasangan suami-istri itu menetap di Australia dan sekarang tinggal di Jakarta. Dalam keluarga tersebut ada pembagian yang tegas dalam menggunakan bahasa. Di rumah dengan anak-anaknya, ibu tersebut berbahasa Minangkabau dan suaminya berbahasa Inggris. Di sekolah, anak-anak berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Dengan demikian, anak-anak mereka mampu menguasai tiga bahasa. "Jika bahasa itu dituturkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya di rumah, bahasa itu akan dikuasai pula oleh anak-anaknya," kata Nadra.
Selain penuturan dalam keluarga, bahasa daerah juga bisa dilestarikan dalam bentuk arisan keluarga. Pelestarian bahasa daerah melalui cerita-cerita lucu, lagu, kaset, dan CD menjadi suatu hal yang menarik bagi anak-anak dan remaja. Selain itu, media masa, baik media cetak ataupun elektronik, bertanggung jawab menyediakan ruang untuk melestarikan bahasa daerah.
Menurut Nadra, dasar pijakan bahasa sudah ada. Yang perlu diwujudkan adalah upaya nyata untuk melestarikannya sehingga era globalisasi tidak menyebabkan penutur bahasa-bahasa daerah kehilangan ekspresi dan pemahaman terhadap budaya sendiri.
"Hal yang paling penting adalah kesadaran dan upaya penutur itu sendiri untuk tetap mewariskan bahasanya," kata Nadra.
Sementara itu, Prof. Dr. Multama Lauder, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengupas tentang strategi penanganan bahasa daerah yang terancam punah.
Menurut dia, punahnya bahasa daerah berkaitan langsung dengan hilangnya pengetahuan masyarakat mengenai budaya yang menyimpan pandangan hidup, adat, tata krama, teknologi dan kearifan menangani lingkungan. "Untuk itu perlu dilakukan penelusuran wilayah budaya, dalam hal ini bahasa adalah salah satu kunci untuk menelusuri variasi dan wilayah budaya di Indonesia," kata Multamia Lauder.
Dengan adanya data riil tentang variasi dan wilayah budaya, pemerintah juga akan lebih mudah menerapkan kebijakan untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah. RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Kongres Bahasa: Mari Kita Lestarikan Bahasa Daerah
UNTUK melestarikan bahasa daerah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan memasukkan mata pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum. Bagaimana komentar para peserta kongres bahasa tentang bahasa daerah, berikut petikannya.
Sarwit Sarwono, peserta asal Bengkulu
Sebagian besar bahasa daerah di Bengkulu masih aktif, digunakan warga. Namun, ada satu bahasa, yakni bahasa Enggano, yang terancam punah. Karena jumlah penuturnya hanya sekitar 1.000 orang yakni sekitar 50 persen dari penduduk yang bermukim di daerah tersebut.
Kita di Bengkulu terus melestarikan bahasa daerah. Caranya, dengan memasukkannya dalam kurikulum di sekolah mulai dari TK, SD, SMP, bahkan di perguruan tinggi.
Mahasiswa yang kuliah di Bengkulu wajib mengikuti mata kuliah bahasa daerah. Sehingga diharapkan mereka tidak lupa pada akar budayanya.
Aji Aditya Junior, warga perantauan di Lampung
Saya sudah 20 tahun tinggal di Lampung. Tapi sampai sekarang belum juga bisa berbahasa Lampung. Menurut saya hal itu karena warga Lampung sendiri dalam hal itu generasi mudanya gengsi dan malu menggunakan bahasa mereka.
Padahal, kalau warga Lampung menjunjung tinggi bahasa daerahnya, mau tidak mau kita pendatang pasti menggunakan bahasa Lampung. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan.
Selama ini pemerintah sudah berupaya melestarikan budaya dan bahasa Lampung dengan membangun menara Siger, menuliskan nama jalan dengan huruf Lampung. Namun itu saja menurut saya belum cukup, karena baru berupa simbol.
Harus ada upaya yang lebih keras lagi dari semua kalangan baik pemda maupun warga untuk melestarikan bahasa Lampung di daerahnya sendiri.
Nadra, peserta kongres asal Sumatera Barat
Cara paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah adalah melalui keluarga yang dilakukan ibu kepada anaknya. Sebab, sejak masih dalam kandungan, dan mulai mengenal bahasa amak sudah sangat dekat dengan ibu. Berdasarkan data, ada sekitar 1.000 bahasa daerah yang hampir punah karena jumlah penuturnya kurang dari 12 orang. Di Indonesia sendiri penggunaan bahasa daerah saat ini sudah mulai berkurang. Namun, dengan pelestarian melalui keluarga dan lingkungan, bahasa daerah akan bisa terus dilestarikan.
Di Padang, selain melalui keluarga, kita juga melestarikan petatah-petitih Minang melalui arisan-arisan. Melalui kegiatan tersebut diharapkan generasi penerus bisa lebih mencintai dan mengenal bahasa daerahnya.
Evi Maha Kasti, penduduk asli Lampung
Saya merasakan saat ini bahasa Lampung sudah mulai ditinggalkan penuturnya karena sebagian besar generasi muda di Lampung gengsi menggunakan bahasa daerahnya. Saya sendiri kalau di luar lingkungan rumah, agak malu menggunakan bahasa daerah. Sebab suka ditertawakan teman. Padahal, di kantor saya, teman-teman saya yang pendatang, dengan cueknya menggunakan bahasa daerah mereka.
Kalau soal dialek "a" dan dialek "o" menurut saya itu bukan kendala utama bahasa Lampung tidak berkembang. Saya yang berasal dari daerah yang menggunakan dialek "a" dan kemudian menikah dengan warga Lampung yang menggunakan dialek "o" tidak kesulitan belajar bahasanya. Jadi, lebih pada kesadaran masyarakat Lampung dan pendatang untuk menjunjung tinggi bahasa daerahnya agar bisa lestari. Jadi, mari kita cari persamaan untuk melestarikan bahasa Lampung, bukannya memperlebar perbedaan. UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Sarwit Sarwono, peserta asal Bengkulu
Sebagian besar bahasa daerah di Bengkulu masih aktif, digunakan warga. Namun, ada satu bahasa, yakni bahasa Enggano, yang terancam punah. Karena jumlah penuturnya hanya sekitar 1.000 orang yakni sekitar 50 persen dari penduduk yang bermukim di daerah tersebut.
Kita di Bengkulu terus melestarikan bahasa daerah. Caranya, dengan memasukkannya dalam kurikulum di sekolah mulai dari TK, SD, SMP, bahkan di perguruan tinggi.
Mahasiswa yang kuliah di Bengkulu wajib mengikuti mata kuliah bahasa daerah. Sehingga diharapkan mereka tidak lupa pada akar budayanya.
Aji Aditya Junior, warga perantauan di Lampung
Saya sudah 20 tahun tinggal di Lampung. Tapi sampai sekarang belum juga bisa berbahasa Lampung. Menurut saya hal itu karena warga Lampung sendiri dalam hal itu generasi mudanya gengsi dan malu menggunakan bahasa mereka.
Padahal, kalau warga Lampung menjunjung tinggi bahasa daerahnya, mau tidak mau kita pendatang pasti menggunakan bahasa Lampung. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan.
Selama ini pemerintah sudah berupaya melestarikan budaya dan bahasa Lampung dengan membangun menara Siger, menuliskan nama jalan dengan huruf Lampung. Namun itu saja menurut saya belum cukup, karena baru berupa simbol.
Harus ada upaya yang lebih keras lagi dari semua kalangan baik pemda maupun warga untuk melestarikan bahasa Lampung di daerahnya sendiri.
Nadra, peserta kongres asal Sumatera Barat
Cara paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah adalah melalui keluarga yang dilakukan ibu kepada anaknya. Sebab, sejak masih dalam kandungan, dan mulai mengenal bahasa amak sudah sangat dekat dengan ibu. Berdasarkan data, ada sekitar 1.000 bahasa daerah yang hampir punah karena jumlah penuturnya kurang dari 12 orang. Di Indonesia sendiri penggunaan bahasa daerah saat ini sudah mulai berkurang. Namun, dengan pelestarian melalui keluarga dan lingkungan, bahasa daerah akan bisa terus dilestarikan.
Di Padang, selain melalui keluarga, kita juga melestarikan petatah-petitih Minang melalui arisan-arisan. Melalui kegiatan tersebut diharapkan generasi penerus bisa lebih mencintai dan mengenal bahasa daerahnya.
Evi Maha Kasti, penduduk asli Lampung
Saya merasakan saat ini bahasa Lampung sudah mulai ditinggalkan penuturnya karena sebagian besar generasi muda di Lampung gengsi menggunakan bahasa daerahnya. Saya sendiri kalau di luar lingkungan rumah, agak malu menggunakan bahasa daerah. Sebab suka ditertawakan teman. Padahal, di kantor saya, teman-teman saya yang pendatang, dengan cueknya menggunakan bahasa daerah mereka.
Kalau soal dialek "a" dan dialek "o" menurut saya itu bukan kendala utama bahasa Lampung tidak berkembang. Saya yang berasal dari daerah yang menggunakan dialek "a" dan kemudian menikah dengan warga Lampung yang menggunakan dialek "o" tidak kesulitan belajar bahasanya. Jadi, lebih pada kesadaran masyarakat Lampung dan pendatang untuk menjunjung tinggi bahasa daerahnya agar bisa lestari. Jadi, mari kita cari persamaan untuk melestarikan bahasa Lampung, bukannya memperlebar perbedaan. UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 13 November 2007
Tajuk: Menyelamatkan Bahasa Lampung
BERBANGGALAH seharusnya warga Bumi Ruwa Jurai karena memiliki bahasa dan aksara Lampung. Bahasa dan aksara adalah simbol peradaban. Tidak semua daerah yang memiliki bahasa, otomatis memiliki aksara. Namun, Lampung memiliki keduanya. Ini patut disyukuri dan dibanggakan.
Akan tetapi, kebanggaan saja tidak cukup menyelamatkan bahasa dan aksara Lampung tanpa sebuah kesungguhan melestarikannya. Dalam hal berbahasa misalnya, kini sudah jarang terdengar warga Lampung menggunakan bahasa Lampung, termasuk warga asli Lampung sendiri. Menggunakan bahasanya saja emoh, apalagi aksaranya. Fenomena ini harus menjadi perhatian bersama bagaimana menyelamatkan bahasa daerah Lampung.
Ancaman kepunahan bukan hanya dialami bahasa Lampung, melainkan ratusan bahasa daerah lain di Tanah Air tinggal kenangan. Padahal khazanah budaya daerah yang utama adalah bahasa. Oleh sebab itu, kita menyambut gembira Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo Bandar Lampung pada tanggal 12--13 November 2007 yang bertema Menggali Potensi Lokal sebagai Penapis Budaya Global.
Kongres ini salah satu upaya membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional. Kehadiran 150 peserta dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sangat berarti untuk memperkaya pembahasan problematika bahasa daerah. Kongres ini memiliki makna yang strategis dalam konteks ketahanan budaya di era globalisasi.
Terlebih lagi baru-baru ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Permendagri ini ekspresi kesungguhan pemerintah untuk menyelamatkan bahasa nasional dan daerah.
Salah satu ayat permendagri itu menyebutkan, pemerintah daerah bersama Kantor Bahasa memiliki kewenangan melestarikan, membina, dan mengembangkan bahasa nasional maupun bahasa daerah. Untuk itu kita mengharapkan Kantor Bahasa bersama pemda melakukan berbagai terobosan melestarikan bahasa daerah Lampung maupun bahasa daerah luar Lampung yang digunakan warga Lampung.
Cara yang harus dilakukan adalah dengan memetakan penggunaan bahasa di Lampung. Peta ini nantinya bisa digunakan membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional.
Kongres Bahasa Daerah ini merupakan yang ke-3. Sebelumnya, untuk wilayah timur dan tengah sudah dilaksanakan pada bulan Mei--Juni lalu.
Harian ini berharap kongres mampu menghasilkan berbagai rumusan strategis untuk pelestarian dan pembinaan bahasa baik daerah maupun nasional.
Melestarikan bahasa daerah bukan bermaksud mempertebal sukuisme dan primordialisme di era globalisasi, bukan pula romantisme masa lalu, melainkan agar eksistensi dan jatidiri sebuah daerah tidak hilang. Bahasa nasional dan bahasa daerah tidak perlu dikonfrontasikan mana yang lebih penting.
Keduanya saling melengkapi dan memperkaya. Kita tidak ingin bangsa ini mengalami krisis identitas di era tanpa sekat geografis. Bahasa tidak sekadar ujaran, tetapi juga jiwa sebuah entitas budaya. n
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
Baca juga: Bahasa Lampung Makin Terpinggirkan, Nasib Bahasa Lampung,Problem Kultural Bahasa Lampung, Bahasa Lampung Takkan Mungkin Punah, Bahasa Daerah Terancam Punah, Bahasa Lampung Mulai Ditinggalkan Penuturnya.
Akan tetapi, kebanggaan saja tidak cukup menyelamatkan bahasa dan aksara Lampung tanpa sebuah kesungguhan melestarikannya. Dalam hal berbahasa misalnya, kini sudah jarang terdengar warga Lampung menggunakan bahasa Lampung, termasuk warga asli Lampung sendiri. Menggunakan bahasanya saja emoh, apalagi aksaranya. Fenomena ini harus menjadi perhatian bersama bagaimana menyelamatkan bahasa daerah Lampung.
Ancaman kepunahan bukan hanya dialami bahasa Lampung, melainkan ratusan bahasa daerah lain di Tanah Air tinggal kenangan. Padahal khazanah budaya daerah yang utama adalah bahasa. Oleh sebab itu, kita menyambut gembira Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo Bandar Lampung pada tanggal 12--13 November 2007 yang bertema Menggali Potensi Lokal sebagai Penapis Budaya Global.
Kongres ini salah satu upaya membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional. Kehadiran 150 peserta dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sangat berarti untuk memperkaya pembahasan problematika bahasa daerah. Kongres ini memiliki makna yang strategis dalam konteks ketahanan budaya di era globalisasi.
Terlebih lagi baru-baru ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Permendagri ini ekspresi kesungguhan pemerintah untuk menyelamatkan bahasa nasional dan daerah.
Salah satu ayat permendagri itu menyebutkan, pemerintah daerah bersama Kantor Bahasa memiliki kewenangan melestarikan, membina, dan mengembangkan bahasa nasional maupun bahasa daerah. Untuk itu kita mengharapkan Kantor Bahasa bersama pemda melakukan berbagai terobosan melestarikan bahasa daerah Lampung maupun bahasa daerah luar Lampung yang digunakan warga Lampung.
Cara yang harus dilakukan adalah dengan memetakan penggunaan bahasa di Lampung. Peta ini nantinya bisa digunakan membina dan melestarikan bahasa daerah maupun nasional.
Kongres Bahasa Daerah ini merupakan yang ke-3. Sebelumnya, untuk wilayah timur dan tengah sudah dilaksanakan pada bulan Mei--Juni lalu.
Harian ini berharap kongres mampu menghasilkan berbagai rumusan strategis untuk pelestarian dan pembinaan bahasa baik daerah maupun nasional.
Melestarikan bahasa daerah bukan bermaksud mempertebal sukuisme dan primordialisme di era globalisasi, bukan pula romantisme masa lalu, melainkan agar eksistensi dan jatidiri sebuah daerah tidak hilang. Bahasa nasional dan bahasa daerah tidak perlu dikonfrontasikan mana yang lebih penting.
Keduanya saling melengkapi dan memperkaya. Kita tidak ingin bangsa ini mengalami krisis identitas di era tanpa sekat geografis. Bahasa tidak sekadar ujaran, tetapi juga jiwa sebuah entitas budaya. n
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
Baca juga: Bahasa Lampung Makin Terpinggirkan, Nasib Bahasa Lampung,Problem Kultural Bahasa Lampung, Bahasa Lampung Takkan Mungkin Punah, Bahasa Daerah Terancam Punah, Bahasa Lampung Mulai Ditinggalkan Penuturnya.
Seni Peran: Sulit Melahirkan Aktor Berbakat
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Teater sangat erat hubungannya dengan keaktoran. Namun, menemukan dan melahirkan aktor-aktor berbakat tidaklah gampang dan mudah. Sebab, semuanya harus melalui sebuah proses panjang.
Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL), Ahmad Zilalin, Kamis (8-11), mengatakan aktor harus dibekali kemampuan mengolah tubuh, termasuk vokal, gesture, dan lainnya untuk menjadi aktor yang bisa memerankan lakon dan karakter apa pun dengan sempurna.
"Namun, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya bagi proses kelahiran seorang aktor, yakni sebuah panggung pementasan yang bisa dijadikan satu wadah ekspresi sang aktor," kata Ahmad.
Untuk itulah, Komite Teater DKL tergerak memberikan satu ruang bagi para aktor di Provinsi Lampung untuk tampil dalam sebuah panggung.
"Kami menggelar kegiatan Parade Monolog DKL. Sebab, kegiatan ini merupakan satu bentuk kepedulian Komite Teater terhadap iklim berkesenian di Provinsi Lampung ini," kata dia.
Parade Monolog DKL ini, kata Ahmad, rencananya digelar pada tanggal 19--20 November mendatang dengan bertempat di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.
"Kami mengharapkan ini akan menjadi ajang unjuk kreativitas bagi para pekerja seni yang ada di Lampung. Bentuk kegiatan ini adalah lomba dengan kategori peserta berasal dari umum, yakni pelajar, mahasiswa, dan pekerja seni tanpa batasan usia," ujarnya.
Pendaftarannya, menurut dia, sudah bisa dilakukan hingga penutupan tanggal 16 November mendatang. Pendaftaran bisa dilakukan di Sekretariat DKL di Kompleks PKOR Way Halim. Penampil dalam kegiatan ini dibatasi untuk 15 peserta saja yang berasal dari grup-grup teater di Provinsi Lampung dengan kuota dua orang untuk setiap grup.
Kemudian, kata Ahmad, dari 15 peserta tersebut akan dipilih tiga penampil terbaik. "Mereka yang dipilih dewan juri menjadi yang terbaik tersebut akan mendapatkan uang pembinaan dan piala tetap dari DKL," ujar dia. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL), Ahmad Zilalin, Kamis (8-11), mengatakan aktor harus dibekali kemampuan mengolah tubuh, termasuk vokal, gesture, dan lainnya untuk menjadi aktor yang bisa memerankan lakon dan karakter apa pun dengan sempurna.
"Namun, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya bagi proses kelahiran seorang aktor, yakni sebuah panggung pementasan yang bisa dijadikan satu wadah ekspresi sang aktor," kata Ahmad.
Untuk itulah, Komite Teater DKL tergerak memberikan satu ruang bagi para aktor di Provinsi Lampung untuk tampil dalam sebuah panggung.
"Kami menggelar kegiatan Parade Monolog DKL. Sebab, kegiatan ini merupakan satu bentuk kepedulian Komite Teater terhadap iklim berkesenian di Provinsi Lampung ini," kata dia.
Parade Monolog DKL ini, kata Ahmad, rencananya digelar pada tanggal 19--20 November mendatang dengan bertempat di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.
"Kami mengharapkan ini akan menjadi ajang unjuk kreativitas bagi para pekerja seni yang ada di Lampung. Bentuk kegiatan ini adalah lomba dengan kategori peserta berasal dari umum, yakni pelajar, mahasiswa, dan pekerja seni tanpa batasan usia," ujarnya.
Pendaftarannya, menurut dia, sudah bisa dilakukan hingga penutupan tanggal 16 November mendatang. Pendaftaran bisa dilakukan di Sekretariat DKL di Kompleks PKOR Way Halim. Penampil dalam kegiatan ini dibatasi untuk 15 peserta saja yang berasal dari grup-grup teater di Provinsi Lampung dengan kuota dua orang untuk setiap grup.
Kemudian, kata Ahmad, dari 15 peserta tersebut akan dipilih tiga penampil terbaik. "Mereka yang dipilih dewan juri menjadi yang terbaik tersebut akan mendapatkan uang pembinaan dan piala tetap dari DKL," ujar dia. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
Kongres Bahasa: Bahasa Lampung Mulai Ditinggalkan Penuturnya
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bahasa Lampung mulai ditinggalkan penuturnya. Hal ini disebabkan era globalisasi yang memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, termasuk perilaku berbahasa.
Dosen Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Universitas Lampung A. Effendi Sanusi mengatakan bahasa daerah kini banyak ditinggalkan, dan tidak mendapat perhatian, termasuk bahasa daerah dan sastra Lampung. "Perubahan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan pada era global berpengaruh pula terhadap sikap dan perilaku etnik Lampung, termasuk dalam berbahasa. Bahasa Lampung mulai ditinggalkan masyarakat penuturnya karena dianggap tidak lagi memberikan kebanggaan," kata Effendi Sanusi kepada Lampung Post, Minggu (11-11).
Effendi mengatakan hal itu ketika dimintai tanggapan tentang Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat yang akan dibuka hari ini sampai esok di Hotel Marcopolo Bandar Lampung. "Kami berharap dari kongres akan dihasilkan strategi yang tepat untuk menangani permasalahan bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Lampung," ujarnya.
Menurut Effendi, bahasa Lampung salah satu bahasa daerah yang ada di Nusantara. Dahulu, katanya, bahasa Lampung berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat. "Bahasa Lampung memiliki fungsi pendukung bahasa Indonesia dan sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia." katanya.
Effendi mengaku prihatin dengan eksistensi bahasa Lampung kini. Dari pengalamannya sebagai dosen Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP Universitas Lampung dan STKIP PGRI Bandar Lampung, ujarnya, banyak mahasiswa etnik Lampung yang tidak lagi bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Lampung. "Mereka juga tidak lagi mengenal sastra Lampung. Apakah kondisi ini harus dibiarkan," katanya.
Sementara itu, Staf Ahli Depdiknas Prof. Dr. Hasanuddin W.S. mengatakan kondisi Indonesia kini dalam dilema ketika menghadapi persoalan bahasa daerah. "Karena ketika memajukan bahasa Indonsia, bahasa daerah harus mengalah. Dan ketika bahasa daerah dimunculkan, bahasa Indonesia harus mengalah," katanya. Oleh sebab itu, ujarnya, ada kebijakan pemerintah yang mengatur tentang penempatan bahasa yang harus digunakan. Daerah harus memberdayakan forum-forum untuk menghidupakan bahas daerah, sehingga tidak punah dan tetap lestari. n JUN/X-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
Dosen Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Universitas Lampung A. Effendi Sanusi mengatakan bahasa daerah kini banyak ditinggalkan, dan tidak mendapat perhatian, termasuk bahasa daerah dan sastra Lampung. "Perubahan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan pada era global berpengaruh pula terhadap sikap dan perilaku etnik Lampung, termasuk dalam berbahasa. Bahasa Lampung mulai ditinggalkan masyarakat penuturnya karena dianggap tidak lagi memberikan kebanggaan," kata Effendi Sanusi kepada Lampung Post, Minggu (11-11).
Effendi mengatakan hal itu ketika dimintai tanggapan tentang Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat yang akan dibuka hari ini sampai esok di Hotel Marcopolo Bandar Lampung. "Kami berharap dari kongres akan dihasilkan strategi yang tepat untuk menangani permasalahan bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Lampung," ujarnya.
Menurut Effendi, bahasa Lampung salah satu bahasa daerah yang ada di Nusantara. Dahulu, katanya, bahasa Lampung berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat. "Bahasa Lampung memiliki fungsi pendukung bahasa Indonesia dan sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia." katanya.
Effendi mengaku prihatin dengan eksistensi bahasa Lampung kini. Dari pengalamannya sebagai dosen Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP Universitas Lampung dan STKIP PGRI Bandar Lampung, ujarnya, banyak mahasiswa etnik Lampung yang tidak lagi bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Lampung. "Mereka juga tidak lagi mengenal sastra Lampung. Apakah kondisi ini harus dibiarkan," katanya.
Sementara itu, Staf Ahli Depdiknas Prof. Dr. Hasanuddin W.S. mengatakan kondisi Indonesia kini dalam dilema ketika menghadapi persoalan bahasa daerah. "Karena ketika memajukan bahasa Indonsia, bahasa daerah harus mengalah. Dan ketika bahasa daerah dimunculkan, bahasa Indonesia harus mengalah," katanya. Oleh sebab itu, ujarnya, ada kebijakan pemerintah yang mengatur tentang penempatan bahasa yang harus digunakan. Daerah harus memberdayakan forum-forum untuk menghidupakan bahas daerah, sehingga tidak punah dan tetap lestari. n JUN/X-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 November 2007
November 10, 2007
Bahasa Daerah Terancam Punah
Bandar Lampung, Kompas - Keberadaan bahasa-bahasa daerah di wilayah Indonesia kurang terpelihara, bahkan terancam punah, termasuk di Lampung dan wilayah Sumatera pada umumnya. Hal itu terjadi karena derasnya pengaruh suatu budaya atau pengaruh luar terhadap penggunaan bahasa daerah.
Dampaknya, bahasa daerah mulai dipinggirkan masyarakat penuturnya karena dianggap tak lagi memberikan kebanggaan. Padahal, beberapa bahasa daerah di wilayah Indonesia bagian barat bisa dikatakan menjadi bahasa yang mendukung perkembangan bahasa Indonesia dan turut serta dalam perkembangan budaya Nusantara.
Merujuk pada persoalan itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Lampung akan menggelar Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, 12-13 November 2007.
"Kongres akan mengusung tema menggali potensi lokal sebagai penapis budaya global," kata Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardhana, Kamis (8/11).
Kegiatan tersebut direncanakan diikuti 300 peserta dari berbagai unsur yang berasal dari provinsi-provinsi di wilayah Jawa dan Sumatera. Mereka di antaranya pejabat, peneliti, budayawan, dosen, guru, mahasiswa, dan peminat bahasa daerah.
Hadirkan pakar
Hadir sebagai pembicara dalam kongres tersebut adalah para pakar bahasa dan sastra daerah, perwakilan pemerintah, serta pencinta dan peminat bahasa dan sastra daerah. Mereka di antaranya dosen bahasa dari Universitas Indonesia Prof Dr Multamia Lauder, Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono, dosen dari Universitas Sriwijaya Latifah Ratnawati, dan tim pemetaan bahasa daerah dari Sumatera Selatan.
Menurut Agus, dalam kongres itu diharapkan dapat teridentifikasi berbagai persoalan yang menyebabkan makin terpinggirkannya atau punahnya bahasa daerah. Selain itu, kongres juga diharapkan bisa mengungkap berbagai masalah yang dihadapi bahasa daerah dalam menghadapi pengaruh budaya luar dan perubahan pada masyarakat.
Dengan kenyataan makin tergusurnya bahasa daerah di daerah sendiri, kongres diharapkan akan merumuskan strategi yang tepat untuk menangani bahasa daerah dalam memasuki era global. "Strategi diperoleh dari masukan-masukan setiap peserta," katanya. (hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 November 2007
Dampaknya, bahasa daerah mulai dipinggirkan masyarakat penuturnya karena dianggap tak lagi memberikan kebanggaan. Padahal, beberapa bahasa daerah di wilayah Indonesia bagian barat bisa dikatakan menjadi bahasa yang mendukung perkembangan bahasa Indonesia dan turut serta dalam perkembangan budaya Nusantara.
Merujuk pada persoalan itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Lampung akan menggelar Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, 12-13 November 2007.
"Kongres akan mengusung tema menggali potensi lokal sebagai penapis budaya global," kata Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardhana, Kamis (8/11).
Kegiatan tersebut direncanakan diikuti 300 peserta dari berbagai unsur yang berasal dari provinsi-provinsi di wilayah Jawa dan Sumatera. Mereka di antaranya pejabat, peneliti, budayawan, dosen, guru, mahasiswa, dan peminat bahasa daerah.
Hadirkan pakar
Hadir sebagai pembicara dalam kongres tersebut adalah para pakar bahasa dan sastra daerah, perwakilan pemerintah, serta pencinta dan peminat bahasa dan sastra daerah. Mereka di antaranya dosen bahasa dari Universitas Indonesia Prof Dr Multamia Lauder, Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono, dosen dari Universitas Sriwijaya Latifah Ratnawati, dan tim pemetaan bahasa daerah dari Sumatera Selatan.
Menurut Agus, dalam kongres itu diharapkan dapat teridentifikasi berbagai persoalan yang menyebabkan makin terpinggirkannya atau punahnya bahasa daerah. Selain itu, kongres juga diharapkan bisa mengungkap berbagai masalah yang dihadapi bahasa daerah dalam menghadapi pengaruh budaya luar dan perubahan pada masyarakat.
Dengan kenyataan makin tergusurnya bahasa daerah di daerah sendiri, kongres diharapkan akan merumuskan strategi yang tepat untuk menangani bahasa daerah dalam memasuki era global. "Strategi diperoleh dari masukan-masukan setiap peserta," katanya. (hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 November 2007
Kongres: Bahasa Daerah Terancam Punah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Keberadaan bahasa daerah di Indonesia sampai kini belum terjaga, seperti yang terjadi di Lampung serta daerah lain di Sumatera. Yang lebih menyedihkan, bahasa daerah di beberapa daerah terancam punah.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardhana, Kamis (8-11), mengatakan ancaman yang harus dihadapi bahasa daerah tersebut makin besar karena era globalisasi.
"Karena dengan kondisi tersebut, keberadaan bahasa daerah makin terancam berbagai perubahan yang bisa saja terjadi. Akibatnya, posisi bahasa nasional makin tertinggal," kata Agus.
Terlebih lagi, kata dia, kini bahasa daerah banyak yang mulai ditinggalkan masyarakat penuturnya karena dianggap tidak lagi memberikan kebanggan.
"Kondisi ini tentu saja tidak seharusnya dibiarkan. Apalagi pemerintah telah menjamin hak hidup bagi bahasa-bahasa daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 32 UUD 1945," kata dia.
Untuk itulah, menurut Agus, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama Kantor Bahasa Provinsi Lampung dan Pemprov Lampung menggelar perhelatan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, tanggal 12--13 November.
"Kegiatan yang penting dan strategis ini diharapkan akan diikuti sekitar 300 peserta yang berasal dari berbagai unsur seperti pejabat, peneliti, budayawan, dosen, guru, mahasiswa, dan peminat bahasa daerah," ujarnya.
Adapun tema yang diusung dalam kegiatan tersebut, kata dia, adalah Menggali Potensi Lokal sebagai Penapis Budaya Global.
Tujuan kegiatan ini untuk merumuskan strategi yang tepat untuk menangani bahasa-bahasa daerah dalam memasuki era global. Selain itu, kongres ini juga dimaksudkan menggali masukan guna mengatasi berbagai persoalan bahasa-bahasa daerah di wilayah Barat.
Dalam kongres tersebut, ujar Agus, diharapkan mampu teridentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi bahasa daerah. "Nantinya diperoleh masukan masyarakat dalam menangani persoalan bahasa daerah dan ditemukan solusi dan strategi yang tepat guna dalam mengatasi persoalan penanganan bahasa daerah," ujar dia.
Adapun pemateri yang bakal tampil dalam kegiatan tersebut, di antaranya pakar bahasa dan sastra daerah, perwakilan pemda, pencinta dan peminat bahasa dan sastra daerah seluruh Indonesia.
"Bagi peminat yang ingin mengikuti kongres bisa mendaftarkan diri ke panitia pusat, Pusat Bahasa Deparetemen Pendidikan Nasional, Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta Timur atau di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Gubernuran, Telukbetung," katanya. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 November 2007
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardhana, Kamis (8-11), mengatakan ancaman yang harus dihadapi bahasa daerah tersebut makin besar karena era globalisasi.
"Karena dengan kondisi tersebut, keberadaan bahasa daerah makin terancam berbagai perubahan yang bisa saja terjadi. Akibatnya, posisi bahasa nasional makin tertinggal," kata Agus.
Terlebih lagi, kata dia, kini bahasa daerah banyak yang mulai ditinggalkan masyarakat penuturnya karena dianggap tidak lagi memberikan kebanggan.
"Kondisi ini tentu saja tidak seharusnya dibiarkan. Apalagi pemerintah telah menjamin hak hidup bagi bahasa-bahasa daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 32 UUD 1945," kata dia.
Untuk itulah, menurut Agus, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama Kantor Bahasa Provinsi Lampung dan Pemprov Lampung menggelar perhelatan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Hotel Marcopolo, tanggal 12--13 November.
"Kegiatan yang penting dan strategis ini diharapkan akan diikuti sekitar 300 peserta yang berasal dari berbagai unsur seperti pejabat, peneliti, budayawan, dosen, guru, mahasiswa, dan peminat bahasa daerah," ujarnya.
Adapun tema yang diusung dalam kegiatan tersebut, kata dia, adalah Menggali Potensi Lokal sebagai Penapis Budaya Global.
Tujuan kegiatan ini untuk merumuskan strategi yang tepat untuk menangani bahasa-bahasa daerah dalam memasuki era global. Selain itu, kongres ini juga dimaksudkan menggali masukan guna mengatasi berbagai persoalan bahasa-bahasa daerah di wilayah Barat.
Dalam kongres tersebut, ujar Agus, diharapkan mampu teridentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi bahasa daerah. "Nantinya diperoleh masukan masyarakat dalam menangani persoalan bahasa daerah dan ditemukan solusi dan strategi yang tepat guna dalam mengatasi persoalan penanganan bahasa daerah," ujar dia.
Adapun pemateri yang bakal tampil dalam kegiatan tersebut, di antaranya pakar bahasa dan sastra daerah, perwakilan pemda, pencinta dan peminat bahasa dan sastra daerah seluruh Indonesia.
"Bagi peminat yang ingin mengikuti kongres bisa mendaftarkan diri ke panitia pusat, Pusat Bahasa Deparetemen Pendidikan Nasional, Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta Timur atau di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Gubernuran, Telukbetung," katanya. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 November 2007
November 9, 2007
Pustaka: 'Setengah Abad Alzier' Diluncurkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ketua DPD I Partai Golkar Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie, di Hotel Sheraton, Bandar Lampung, Kamis (8-11), meluncurkan buku berjudul Setengah Abad Alzier.
Sejumlah tokoh antara lain Farhat Abbas, Andy Achmad Sampurna Jaya, dan Bambang Eka Wijaya mengomentari buku perjalanan Alzier yang sangat fenomenal karena pemerintahan di era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak melantikanya sebagai gubernur Lampung pada tahun 2002.
Pengacara Farhat mengomentari kalau seorang politisi itu siap mati, siap masuk penjara, dan siap berkuasa. "Alzier sebenarnya adalah matahari yang terbit di Lampung. Lampung akan dipimpin gubernur yang sempat tertunda," kata Farhat yang disambut tepuk tangan pengunjung.
Sementara itu, Bupati Lampung Tengah Andy Achmad menyebut Alzier sebagai sosok yang jenius dan pemaaf. "Bersikap spontanitas dan pemaaf. Alzier banyak menolong sehingga disukai banyak orang," kata Andy.
Selain itu, Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menilai buku itu layak dibaca karena memiliki gaya bahasa yang cukup baik dan tidak kalah dengan buku yang diterbitkan secara nasional.
Bambang mengibaratkan perjalanan hidup dan karier politik Alzier seperti orang memanjat pinang. "Alzier selalu berusaha naik, tetapi merosot. Orang-orang yang di sekitarnya terus menopangnya. Itulah sosok Alzier, memperhitungkan benar apa yang dibutuhkan orang lain," kata Bambang. Dia menyarankan Alzier perlu memperbaiki suratan kaki dan melangkah ke arah yang lebih baik.
Alzier mengatakan buku ini merupakan catatan perjalanan hidupnya mulai kecil hingga menjadi politisi. "Saya bersyukur buku ini menjadi salah satu pengalaman pribadi dan pelajaran yang sangat berharga bagi pendidikan politik di daerah ini," katanya.
Buku setebal 312 halaman itu disusun Himawan Ali Imron, Hasanuddin Z. Arifin, dan Hermansyah. Peluncuran buku yang juga perayaan ulang tahun ke-50 Alzier dihadiri Wakil Ketua DPRD Lampung Gufron Azis Fuadi, anggota Dewan M.C. Iman Santoso, sejumlah politisi partai berlambang pohon beringin dari provinsi, kabupaten/kota se-Lampung.
Acara itu juga diisi pembacaan puisi oleh seniman Isbedy Stiawan Z.S., dan Oyos Saroso juga menampilkan artis Ibu Kota, antara lain Wulan Kwok, Jean Salimar, Angel Lelga, Cut Memey, Dewi Yul, Nia Daniati, Iga Mawarni, Vina Panduwinata, dan MC Olga. n KIS/R-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 November 2007
Sejumlah tokoh antara lain Farhat Abbas, Andy Achmad Sampurna Jaya, dan Bambang Eka Wijaya mengomentari buku perjalanan Alzier yang sangat fenomenal karena pemerintahan di era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak melantikanya sebagai gubernur Lampung pada tahun 2002.
Pengacara Farhat mengomentari kalau seorang politisi itu siap mati, siap masuk penjara, dan siap berkuasa. "Alzier sebenarnya adalah matahari yang terbit di Lampung. Lampung akan dipimpin gubernur yang sempat tertunda," kata Farhat yang disambut tepuk tangan pengunjung.
Sementara itu, Bupati Lampung Tengah Andy Achmad menyebut Alzier sebagai sosok yang jenius dan pemaaf. "Bersikap spontanitas dan pemaaf. Alzier banyak menolong sehingga disukai banyak orang," kata Andy.
Selain itu, Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menilai buku itu layak dibaca karena memiliki gaya bahasa yang cukup baik dan tidak kalah dengan buku yang diterbitkan secara nasional.
Bambang mengibaratkan perjalanan hidup dan karier politik Alzier seperti orang memanjat pinang. "Alzier selalu berusaha naik, tetapi merosot. Orang-orang yang di sekitarnya terus menopangnya. Itulah sosok Alzier, memperhitungkan benar apa yang dibutuhkan orang lain," kata Bambang. Dia menyarankan Alzier perlu memperbaiki suratan kaki dan melangkah ke arah yang lebih baik.
Alzier mengatakan buku ini merupakan catatan perjalanan hidupnya mulai kecil hingga menjadi politisi. "Saya bersyukur buku ini menjadi salah satu pengalaman pribadi dan pelajaran yang sangat berharga bagi pendidikan politik di daerah ini," katanya.
Buku setebal 312 halaman itu disusun Himawan Ali Imron, Hasanuddin Z. Arifin, dan Hermansyah. Peluncuran buku yang juga perayaan ulang tahun ke-50 Alzier dihadiri Wakil Ketua DPRD Lampung Gufron Azis Fuadi, anggota Dewan M.C. Iman Santoso, sejumlah politisi partai berlambang pohon beringin dari provinsi, kabupaten/kota se-Lampung.
Acara itu juga diisi pembacaan puisi oleh seniman Isbedy Stiawan Z.S., dan Oyos Saroso juga menampilkan artis Ibu Kota, antara lain Wulan Kwok, Jean Salimar, Angel Lelga, Cut Memey, Dewi Yul, Nia Daniati, Iga Mawarni, Vina Panduwinata, dan MC Olga. n KIS/R-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 November 2007
November 8, 2007
Undangan: 8 Penyair Muda Baca Karya
BANYAK penyair baru bermunculan dalam khazanah sastra Indonesia, dengan berbagai corak pengucapan dan tema. Kita dapat menyimak kehadiran karya mereka di berbagai media massa, merasakan gairah, kegagapan maupun kefasihan mereka, pun tak jarang menikmati kesegaran yang mereka tawarkan. Dan tak sedikit di antara mereka yang telah memasuki tingkat kematangan. Bulan ini Teater Utan Kayu mengundang beberapa nama yang barangkali bisa dibilang termasuk gelombang baru dalam kepenyairan Indonesia untuk membacakan karya-karya mereka: Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Nganjuk), dan Pranita Dewi (Bali). Kami mengundang anda untuk menyimak dan menikmat bersama penampilan mereka, 9-10 November 2007.
Sumber: http://utankayu.org
Sumber: http://utankayu.org
November 5, 2007
Musik: Lagu Lampung Sulit 'Go' Nasional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Daerah Lampung memiliki potensi dan ragam kekayaan budaya untuk modal menumbuhkembangkan lagu daerah Lampung. Namun, hingga kini lagu-lagu Lampung sulit menjadi tuan rumah di daerah sendiri apalagi bisa go nasional.
Musisi Lampung, Syaiful Anwar, mengemukakan hal tersebut dalam pembinaan dan orientasi lagu daerah Lampung untuk pelajar yang digelar Dinas Pendidikan Provinsi Lampung di Hotel Panghegar Bandar Lampung, Senin (5-11).
Dia mengatakan kondisi tersebut terkendala dengan minimnya pencipta lagu daerah yang berkualitas serta apresiasi masyarakat yang rendah.
"Selain faktor apresiasi masyarakat Lampung yang masih rendah terhadap lagu Lampung, jumlah komunitas orang Lampung yang menurut survei hanya tinggal 17 persen juga menjadi salah satu penyebab," kata Syaiful.
Jadi, ujar dia, sangat tidak adil jika membandingkan antara lagu Lampung dan lagu Jawa, Minang, Batak atau Sunda. "Meskipun perkembangan lagu Lampung sebenarnya sudah sangat signifikan. Tolok ukurnya adalah banyak kalangan muda Lampung serta para pelajar yang mengenal lagu Lampung."
Misal saja, ujar Syaiful, ketika digelar satu festival atau perlombaan band lagu-lagu Lampung, jumlah pesertanya lumayan banyak. "Sebenarnya perkembangan lagu daerah Lampung sangat baik. Sebab, remaja dan anak muda sudah mulai mengenal bahkan membawakannya dengan baik."
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Hermansyah, M.U.R.P., mengatakan jika lagu Lampung dikembangkan lebih baik, bisa menjadi ikon daerah. "Salah satu wadah yang potensial dan efektif mengembangkan adalah dunia pendidikan."
Kasubdin Kebudayaan Diknas, Khaidarmansyah, mengatakan kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pelajar serta mengenal jauh lagu daerah Lampung. Kegiatannya yang berlangsung lima hari diikuti 50 peserta SMA dan SMKN serta swasta. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya melestarikan dan mengembangkan potensi kebudayaan Lampung di era global. Materi yang diberikan berupa teori musik, ilmu harmoni, pernik-pernik lagu Lampung, tinjauan lagu daerah Lampung, dan mengenal lagu gambus lunik serta gambus balak. Pemateri terdiri dari Syaiful Anwar, Naning Widiaty, M. Effendi, Edi Pulampas, dan Agus Salim. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2007
Musisi Lampung, Syaiful Anwar, mengemukakan hal tersebut dalam pembinaan dan orientasi lagu daerah Lampung untuk pelajar yang digelar Dinas Pendidikan Provinsi Lampung di Hotel Panghegar Bandar Lampung, Senin (5-11).
Dia mengatakan kondisi tersebut terkendala dengan minimnya pencipta lagu daerah yang berkualitas serta apresiasi masyarakat yang rendah.
"Selain faktor apresiasi masyarakat Lampung yang masih rendah terhadap lagu Lampung, jumlah komunitas orang Lampung yang menurut survei hanya tinggal 17 persen juga menjadi salah satu penyebab," kata Syaiful.
Jadi, ujar dia, sangat tidak adil jika membandingkan antara lagu Lampung dan lagu Jawa, Minang, Batak atau Sunda. "Meskipun perkembangan lagu Lampung sebenarnya sudah sangat signifikan. Tolok ukurnya adalah banyak kalangan muda Lampung serta para pelajar yang mengenal lagu Lampung."
Misal saja, ujar Syaiful, ketika digelar satu festival atau perlombaan band lagu-lagu Lampung, jumlah pesertanya lumayan banyak. "Sebenarnya perkembangan lagu daerah Lampung sangat baik. Sebab, remaja dan anak muda sudah mulai mengenal bahkan membawakannya dengan baik."
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Hermansyah, M.U.R.P., mengatakan jika lagu Lampung dikembangkan lebih baik, bisa menjadi ikon daerah. "Salah satu wadah yang potensial dan efektif mengembangkan adalah dunia pendidikan."
Kasubdin Kebudayaan Diknas, Khaidarmansyah, mengatakan kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pelajar serta mengenal jauh lagu daerah Lampung. Kegiatannya yang berlangsung lima hari diikuti 50 peserta SMA dan SMKN serta swasta. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya melestarikan dan mengembangkan potensi kebudayaan Lampung di era global. Materi yang diberikan berupa teori musik, ilmu harmoni, pernik-pernik lagu Lampung, tinjauan lagu daerah Lampung, dan mengenal lagu gambus lunik serta gambus balak. Pemateri terdiri dari Syaiful Anwar, Naning Widiaty, M. Effendi, Edi Pulampas, dan Agus Salim. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2007
November 4, 2007
Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
-- Udo Z. Karzi*
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 November 2007
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 November 2007
Apresiasi: Pencarian Cinta Syaiful Irba
-- Oyos Saroso HN*
SETELAH lama tidak lama terdengar aktivitasnya di dunia kepenyairan, Syaiful Irba Tanpaka tiba-tiba meluncurkan buku antologi puisi terbarunya berjudul Karena Bola Matamu. Kali ini, Syaiful benar-benar memberikan kejutan sekaligus mempertegas klaimnnya selama ini sebagai "penyair cinta": Lebih dari 90 persen puisi-puisinya bertema cinta anak remaja!
Bagi saya, kejutan itu mengandung dua pertanyaan: Pertama, apakah kumpulan puisi Syaiful kali ini sebuah kompromi terhadap selera pasar, mengingat sasaran yang akan dibidiknya adalah para pelajar SMA? Kedua, mengapa Syaiful begitu mudah merelakan dirinya menciptakan puisi-puisi yang relatif lebih cair, yang dari sisi kualitas kurang bagus dibanding puisi-puisinya terdahulunya?
Tema cinta bukanlah dominasi Syaiful. Sebelumnya sudah banyak penyair dunia dan penyair Indonesia yang menulis puisi-puisi cinta, baik dibukukan maupun tidak. Jejak awal kepenyairan Sitok Srengenge, misalnya, diawali dengan puisi-puisi cinta ("Persetubuhan Liar"). Dalam buku puisi karya Sitok itu terdapat banyak wanita, yang menurut Sitok, sebenarnya satu orang.
Saya harus berdebat semalam dengan Sitok di rumahnya yang sempit di kompleks Bengkel Teater Rendra awal tahun 1990-an sebelum kumpulan puisi itu terbit. Saya tahu kumpulan puisi tunggal pertama Sitok itu diterbitkan dengan penuh perjuangan. Dan nyatanya "Persetubuhan Liar" kemudian mendapat sambutan hangat, bukan saja oleh kalangan remaja, tetapi juga pembaca dewasa.
Bagi seorang penyair cinta (maksudnya penyair yang menghasilkan puisi-puisi cinta), puisi-puisi cinta bisa memantulkan ekspresi kedalaman batin. Meskipun bersifat pribadi, seorang penyair cinta yang baik akan mampu melahirkan puisi-puisi yang bisa dijadikan pengalaman bersama pembacanya. Ketika membaca puisi-puisi cinta, pembaca bisa mengidentifikasikan diri di dalamnya. Oleh sebab itu, tak mengherankan kalau beberapa puisi cinta karya penyair ternama Indonesia banyak yang menjadi "bacaan wajib" bagi para penyair pemula.
Tema cinta memang selalu menarik untuk digali. Itulah sebabnya, hampir semua penyair di dunia pernah menulis puisi cinta. Pablo Neruda pernah menghasilkan puisi-puisi cinta yang terkumpul dalam 20 Love Poetry. Octavio Paz menghasilkan An Erotic Beyond The Sade. Shakespeare juga menulis soneta-soneta dengan tema cinta. Bahkan, seorang Chairil Anwar yang gaya kesehariannya dikenal urakan dan liar juga pernah disergap rasa romantis dan sentimental ketika berurusan dengan perempuan yang dicintainya.
Banyak perempuan mampir dalam kehidupan Chairil Anwar. Ada yang hanya ditaksirnya tetapi tak berbalas, dipacarinya, bahkan ada perempuan yang sangat mencintai dan dicintai Chairil, tetapi tidak pernah sampai pada tahap perkawinan. Chairil akhirnya justru menikah dan memiliki anak dengan perempuan yang tidak begitu digila-gilainya.
Nama-nama wanita yang pernah singgah dalam hidup Chairil Anwar dan kemudian melahirkan beberapa puisi antara lain Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, penyair dan kritikus sastra Sapardi Djoko Damono mengatakan pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keautentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun. Eksperimen bahasa itulah yang dilakukan Chairil Anwar sehingga melahirkan puisi-puisi cinta yang menurut saya sangat bagus dan menyentuh hati pembaca.
Dalam puisi "Buat Gadis Rasid", misalnya, Chairil menulis: Kita terapit, cintaku/-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—/Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati/Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/-the only possible non-stop flight/tidak mendapat//.
Dengan sangat halus Chairil mengungkapkan perasaan hatinya yang terjepit (tercepit) cinta. Sederhana saja bahasanya, tetapi lewat proses pemilihan kata yang matang. Hampir tidak ada kata-kata bombatiss yang muncul dari desakan perasaan yang menyesak di dada.
Saat Chairil patah hati dengan Sri Aryati, ia berubah menjadi sosok sendu yang sentimental. Hal itu tergambar dalam puisinya "Senja di Pelabuhan Kecil" berikut ini: Ini kali tiada yang mencari cinta/Di antara gudang, rumah tua, pada cerita/Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut/Gerimis mempercepat kelam//Ada juga kelepak elang/Menyinggung muram/, desir hari lari berenang/Menemu bujuk pangkal akanan// Tidak bergerak/Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak/Tiada lagi//Aku sendiri// (Chairil Anwar: "Senja di Pelabuhan Kecil").
Kata-kata yang membangun puisi di atas bagaikan sebuah komposisi yang sangat padu. Diksi-diksi dan frase seperti gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut, gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan merupakan komposisi yang disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah hati. Semua itu jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Puisi Cinta Syaiful Irba Tanpaka
"Jangan menganggap membuat puisi cinta itu gampang!"
Peringatan tersebut bukan dilontarkan orang sembarangan. Peringatan itu datang dari penyair Jerman, Rainer Maria Rilke. Menurut Rilke, untuk menulis puisi cinta perlu kedalaman menuliskannya. Itu kalau sang penyair ingin menghasilkan sajak yang istimewa. Kenapa? Alasannya sederhana saja: sebab sajak bertema cinta sudah terlalu banyak ditulis penyair. Penyair yang baru belajar menjadi penyair menulis puisi cinta, anak SMA yang sedang memasuki masa adolesens menulis puisi cinta dalam buku hariannya, penyair-penyair terkenal nan hebat pun menulis puisi cinta.
Makanya, Rilke berpesan agar penyair muda menghindari tema cinta. Sebab, kalau memaksakan diri, akan ada kesan terlalu gampangan dan terlalu biasa. Padahal, sejatinya puisi cinta sangat sulit dibuat. Puisi cinta mensyaratkan kekuatan penuh penyairnya untuk mendayagunakan bahasa. Penulisnya harus matang, sehingga benar-benar menghasilkan puisi yang orisinal, individual, dan kaya rasa.
Bagaimana dengan puisi-puisi cinta karya Syaiful Irba Tanpaka? Syaiful mengakui puisi-puisinya kali ini memang khusus ditujukan bagi para remaja. Dia tak mau peduli apakah akan dicibir orang atau tidak. "Puisi cinta yang ditulis penyair yang sudah berusia 40-an tahun akan lebih legit. Ibarat kelapa, makin tua makin bersantan," ujarnya.
Membaca puisi-puisi Syaiful Irba Tanpaka dalam antologi puisi Karena Bola Matamu, saya seperti diajak bernostalgia ke masa lalu. Dua puluh tahun hingga lima belas tahun lalu kira-kira (1986--1995), ketika saya tergila-gila pada sajak nan rancak, puisi-puisi yang menggetarkan, yang dilahirkan para penyair sufi dari khazanah sastra Arab klasik dan sastrawan ternama Indonesia. Mereka mendendangkan cinta dengan puisi.
Saya suka dengan sebagian puisi-puisi Syaiful yang dikumpulkan dalam buku Karena Bola Matamu. Mungkin karena saya bisa bernostalgia dengan masa-masa kenakalan sekaligus masa-masa kreatif dan produktif saya. Mungkin juga karena sudah merasa tak bisa menulis puisi cinta lagi. Membaca puisi-puisi cinta Syaiful Irba Tanpaka, bagi saya akhirnya menjadi sebuah rekreasi. Sebagai sebuah rekreasi, ada banyak hal yang ditawarkan Syaiful.
Sungguh, saya merasa iri dengan Syaiful Irba, yang dalam usia di atas saya (40-an tahun) masih punya energi untuk menulis puisi-puisi cinta, seperti seorang remaja menulis puisi-puisi cinta untuk gadis pujaannya. Keirian itu bukan semata-mata disebabkan soal umur Syaiful yang jauh di atas saya, tetapi lebih karena memang menulis puisi cinta sejatinya bukan hal yang gampang.
Ya, siapa yang tidak iri menyaksikan (atau mendengarkan dan menikmati?) ungkapan seperti ini: waktu kosong.kau entah ke mana. aku lengang memecah/bayang berlarian. di jalan radin intan.100 pertanyaantumpah/dalam gairah sopkambing. gelombang elektromagnetik/ach! HP-mu gak aktif//kau entah ke mana/aku kerinduan membuncah. /di jalan radin intan/malam minggu terbakar. 100 percintaan// Mengenang/romeo dan juliet. mahkota biru kita//. (Syaiful Irba Tanpaka, puisi "Kau Entah ke Mana").
Sebagai pembaca, saya sering membayangkan apa yang ditulis penyair dialami saya sendiri. Maka, ketika membaca puisi tersebut di atas, saya pun membayangkan diri saya sedang menunggu seorang gadis di sebuah restoran pada suatu penggal malam minggu di Jalan Radin Intan Bandar Lampung. Mungkin ada menu sop kambing di restoran itu. Sambil bersiap menyantap seporsi sop kambing, saya pun mencoba menghubungi telepon genggam kekasih saya. Saya disergap kemasygulan karena nomor HP pujaan hati saya itu dimatikan. Jadilah malam minggu itu saya tak bernafsu menyantap sop kambing. Malam minggu jadi seperti neraka karena tidak ada "kau" (kekasihku) yang kini entah ada di mana.
Sebagai pembaca, saya seharusnya tidak memiliki "problem" pembacaan ketika berhadapan dengan puisi-puisi cinta Syaiful. Juga, semestinya, ketika saya membaca puisi-puisi karya penyair lainnya. Namun, sayang, saya mengenal secara pribadi Syaiful Irba, setelah jauh sebelumnya mengenal beberapa puisinya yang dipublikasikannya di media pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Maka, ketika membaca puisi-puisi Bang Ipul, pertanyaan yang tiba-tiba menyergap saya adalah: mengapa puisi-puisi Bang Ipul sekarang jauh lebih cair dibanding dengan puisi-puisi lamanya?
* Oyos Saroso H.N., Penikmat puisi dan pengamat sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007
SETELAH lama tidak lama terdengar aktivitasnya di dunia kepenyairan, Syaiful Irba Tanpaka tiba-tiba meluncurkan buku antologi puisi terbarunya berjudul Karena Bola Matamu. Kali ini, Syaiful benar-benar memberikan kejutan sekaligus mempertegas klaimnnya selama ini sebagai "penyair cinta": Lebih dari 90 persen puisi-puisinya bertema cinta anak remaja!
Bagi saya, kejutan itu mengandung dua pertanyaan: Pertama, apakah kumpulan puisi Syaiful kali ini sebuah kompromi terhadap selera pasar, mengingat sasaran yang akan dibidiknya adalah para pelajar SMA? Kedua, mengapa Syaiful begitu mudah merelakan dirinya menciptakan puisi-puisi yang relatif lebih cair, yang dari sisi kualitas kurang bagus dibanding puisi-puisinya terdahulunya?
Tema cinta bukanlah dominasi Syaiful. Sebelumnya sudah banyak penyair dunia dan penyair Indonesia yang menulis puisi-puisi cinta, baik dibukukan maupun tidak. Jejak awal kepenyairan Sitok Srengenge, misalnya, diawali dengan puisi-puisi cinta ("Persetubuhan Liar"). Dalam buku puisi karya Sitok itu terdapat banyak wanita, yang menurut Sitok, sebenarnya satu orang.
Saya harus berdebat semalam dengan Sitok di rumahnya yang sempit di kompleks Bengkel Teater Rendra awal tahun 1990-an sebelum kumpulan puisi itu terbit. Saya tahu kumpulan puisi tunggal pertama Sitok itu diterbitkan dengan penuh perjuangan. Dan nyatanya "Persetubuhan Liar" kemudian mendapat sambutan hangat, bukan saja oleh kalangan remaja, tetapi juga pembaca dewasa.
Bagi seorang penyair cinta (maksudnya penyair yang menghasilkan puisi-puisi cinta), puisi-puisi cinta bisa memantulkan ekspresi kedalaman batin. Meskipun bersifat pribadi, seorang penyair cinta yang baik akan mampu melahirkan puisi-puisi yang bisa dijadikan pengalaman bersama pembacanya. Ketika membaca puisi-puisi cinta, pembaca bisa mengidentifikasikan diri di dalamnya. Oleh sebab itu, tak mengherankan kalau beberapa puisi cinta karya penyair ternama Indonesia banyak yang menjadi "bacaan wajib" bagi para penyair pemula.
Tema cinta memang selalu menarik untuk digali. Itulah sebabnya, hampir semua penyair di dunia pernah menulis puisi cinta. Pablo Neruda pernah menghasilkan puisi-puisi cinta yang terkumpul dalam 20 Love Poetry. Octavio Paz menghasilkan An Erotic Beyond The Sade. Shakespeare juga menulis soneta-soneta dengan tema cinta. Bahkan, seorang Chairil Anwar yang gaya kesehariannya dikenal urakan dan liar juga pernah disergap rasa romantis dan sentimental ketika berurusan dengan perempuan yang dicintainya.
Banyak perempuan mampir dalam kehidupan Chairil Anwar. Ada yang hanya ditaksirnya tetapi tak berbalas, dipacarinya, bahkan ada perempuan yang sangat mencintai dan dicintai Chairil, tetapi tidak pernah sampai pada tahap perkawinan. Chairil akhirnya justru menikah dan memiliki anak dengan perempuan yang tidak begitu digila-gilainya.
Nama-nama wanita yang pernah singgah dalam hidup Chairil Anwar dan kemudian melahirkan beberapa puisi antara lain Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, penyair dan kritikus sastra Sapardi Djoko Damono mengatakan pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keautentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun. Eksperimen bahasa itulah yang dilakukan Chairil Anwar sehingga melahirkan puisi-puisi cinta yang menurut saya sangat bagus dan menyentuh hati pembaca.
Dalam puisi "Buat Gadis Rasid", misalnya, Chairil menulis: Kita terapit, cintaku/-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—/Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati/Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/-the only possible non-stop flight/tidak mendapat//.
Dengan sangat halus Chairil mengungkapkan perasaan hatinya yang terjepit (tercepit) cinta. Sederhana saja bahasanya, tetapi lewat proses pemilihan kata yang matang. Hampir tidak ada kata-kata bombatiss yang muncul dari desakan perasaan yang menyesak di dada.
Saat Chairil patah hati dengan Sri Aryati, ia berubah menjadi sosok sendu yang sentimental. Hal itu tergambar dalam puisinya "Senja di Pelabuhan Kecil" berikut ini: Ini kali tiada yang mencari cinta/Di antara gudang, rumah tua, pada cerita/Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut/Gerimis mempercepat kelam//Ada juga kelepak elang/Menyinggung muram/, desir hari lari berenang/Menemu bujuk pangkal akanan// Tidak bergerak/Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak/Tiada lagi//Aku sendiri// (Chairil Anwar: "Senja di Pelabuhan Kecil").
Kata-kata yang membangun puisi di atas bagaikan sebuah komposisi yang sangat padu. Diksi-diksi dan frase seperti gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut, gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan merupakan komposisi yang disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah hati. Semua itu jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Puisi Cinta Syaiful Irba Tanpaka
"Jangan menganggap membuat puisi cinta itu gampang!"
Peringatan tersebut bukan dilontarkan orang sembarangan. Peringatan itu datang dari penyair Jerman, Rainer Maria Rilke. Menurut Rilke, untuk menulis puisi cinta perlu kedalaman menuliskannya. Itu kalau sang penyair ingin menghasilkan sajak yang istimewa. Kenapa? Alasannya sederhana saja: sebab sajak bertema cinta sudah terlalu banyak ditulis penyair. Penyair yang baru belajar menjadi penyair menulis puisi cinta, anak SMA yang sedang memasuki masa adolesens menulis puisi cinta dalam buku hariannya, penyair-penyair terkenal nan hebat pun menulis puisi cinta.
Makanya, Rilke berpesan agar penyair muda menghindari tema cinta. Sebab, kalau memaksakan diri, akan ada kesan terlalu gampangan dan terlalu biasa. Padahal, sejatinya puisi cinta sangat sulit dibuat. Puisi cinta mensyaratkan kekuatan penuh penyairnya untuk mendayagunakan bahasa. Penulisnya harus matang, sehingga benar-benar menghasilkan puisi yang orisinal, individual, dan kaya rasa.
Bagaimana dengan puisi-puisi cinta karya Syaiful Irba Tanpaka? Syaiful mengakui puisi-puisinya kali ini memang khusus ditujukan bagi para remaja. Dia tak mau peduli apakah akan dicibir orang atau tidak. "Puisi cinta yang ditulis penyair yang sudah berusia 40-an tahun akan lebih legit. Ibarat kelapa, makin tua makin bersantan," ujarnya.
Membaca puisi-puisi Syaiful Irba Tanpaka dalam antologi puisi Karena Bola Matamu, saya seperti diajak bernostalgia ke masa lalu. Dua puluh tahun hingga lima belas tahun lalu kira-kira (1986--1995), ketika saya tergila-gila pada sajak nan rancak, puisi-puisi yang menggetarkan, yang dilahirkan para penyair sufi dari khazanah sastra Arab klasik dan sastrawan ternama Indonesia. Mereka mendendangkan cinta dengan puisi.
Saya suka dengan sebagian puisi-puisi Syaiful yang dikumpulkan dalam buku Karena Bola Matamu. Mungkin karena saya bisa bernostalgia dengan masa-masa kenakalan sekaligus masa-masa kreatif dan produktif saya. Mungkin juga karena sudah merasa tak bisa menulis puisi cinta lagi. Membaca puisi-puisi cinta Syaiful Irba Tanpaka, bagi saya akhirnya menjadi sebuah rekreasi. Sebagai sebuah rekreasi, ada banyak hal yang ditawarkan Syaiful.
Sungguh, saya merasa iri dengan Syaiful Irba, yang dalam usia di atas saya (40-an tahun) masih punya energi untuk menulis puisi-puisi cinta, seperti seorang remaja menulis puisi-puisi cinta untuk gadis pujaannya. Keirian itu bukan semata-mata disebabkan soal umur Syaiful yang jauh di atas saya, tetapi lebih karena memang menulis puisi cinta sejatinya bukan hal yang gampang.
Ya, siapa yang tidak iri menyaksikan (atau mendengarkan dan menikmati?) ungkapan seperti ini: waktu kosong.kau entah ke mana. aku lengang memecah/bayang berlarian. di jalan radin intan.100 pertanyaantumpah/dalam gairah sopkambing. gelombang elektromagnetik/ach! HP-mu gak aktif//kau entah ke mana/aku kerinduan membuncah. /di jalan radin intan/malam minggu terbakar. 100 percintaan// Mengenang/romeo dan juliet. mahkota biru kita//. (Syaiful Irba Tanpaka, puisi "Kau Entah ke Mana").
Sebagai pembaca, saya sering membayangkan apa yang ditulis penyair dialami saya sendiri. Maka, ketika membaca puisi tersebut di atas, saya pun membayangkan diri saya sedang menunggu seorang gadis di sebuah restoran pada suatu penggal malam minggu di Jalan Radin Intan Bandar Lampung. Mungkin ada menu sop kambing di restoran itu. Sambil bersiap menyantap seporsi sop kambing, saya pun mencoba menghubungi telepon genggam kekasih saya. Saya disergap kemasygulan karena nomor HP pujaan hati saya itu dimatikan. Jadilah malam minggu itu saya tak bernafsu menyantap sop kambing. Malam minggu jadi seperti neraka karena tidak ada "kau" (kekasihku) yang kini entah ada di mana.
Sebagai pembaca, saya seharusnya tidak memiliki "problem" pembacaan ketika berhadapan dengan puisi-puisi cinta Syaiful. Juga, semestinya, ketika saya membaca puisi-puisi karya penyair lainnya. Namun, sayang, saya mengenal secara pribadi Syaiful Irba, setelah jauh sebelumnya mengenal beberapa puisinya yang dipublikasikannya di media pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Maka, ketika membaca puisi-puisi Bang Ipul, pertanyaan yang tiba-tiba menyergap saya adalah: mengapa puisi-puisi Bang Ipul sekarang jauh lebih cair dibanding dengan puisi-puisi lamanya?
* Oyos Saroso H.N., Penikmat puisi dan pengamat sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007
Traveling: Menikmati Sensasi Anak Krakatau yang 'Batuk'
ALAM sedang menunjukkan keseimbangan lewat berbagai geliat yang oleh manusia disebut bencana. Sejumlah gunung berapi di Nusantara kini tengah bergolak mencapai suatu keseimbangan. Setelah Gunung Merapi dan Kelud di Jawa yang tengah bergejolak, kini Gunung Anak Krakatau pun menggeliat.
Geliat Anak Krakatau merupakan satu fenomena tersendiri. Terlebih lagi legenda Gunung Krakatau yang terletak di tengah Selat Sunda ini sudah dikenal di seluruh dunia karena ledakan dahsyatnya pada tahun 1883 yang mampu mengetarkan hampir seluruh masyarakat dunia.
Dan kini, Gunung Anak Krakatau yang telah menjadi salah satu world natural heritage atau salah satu warisan dunia dalam kondisi "batuk-batuk". Tentu saja aktivitas gunung berapi yang memang tidak bisa ditebak sama sekali ini, menjadi satu fenomena alam yang sangat langka untuk disaksikan. Hal itu membuat begitu banyak orang yang ingin menyaksikan aktivitas Anak Krakatau saat mengeluarkan kepulan asap dan abu.
Namun, memang tidak sembarangan bisa menyaksikan fenomena tersebut. Sebab, pihak BMG telah mengeluarkan larangan bagi siapa pun yang ingin mengabadikan dan menyaksikan fenomena hanya dalam radius 3 kilometer saja. Sebab, lontaran material ditakutkan bersamaan dengan keluarnya zat beracun yang mematikan atau mofet, terdiri atas C12, HCl, SO2, CO, CO2, H2, dan N2.
Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang ingin menyaksikan aktivitas vulkanis tersebut, tidak hanya para jurnalis yang memang berlomba ingin mengabadikan fenomena langka tersebut, tapi wisatawan asing maupun dalam negeri pun ikut ambil bagian.
Bagi masyarakat Lampung yang ingin melihat aktivitas gunung yang menjadi ikon pariwisata provinsi ini, bisa dilakukan dengan berkunjung ke Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Karena dari sini kita bisa melihat aktivitas gunung berapi ini, sehingga tidaK perlu ke Anyer, Banten.
Dan di Hargopancuran ini pengunjung bisa menyaksikan geliat Anak Krakatau menggunakan teropong milik pos pemantau. Dari alat inilah pengunjung seakan-akan begitu dekat melihat fenomena tersebut. Namun, untuk menggunakan alat ini tentu saja harus mendapatkan izin petugas lebih dahulu.
Selain itu, pengunjung pun bisa secara langsung melihat aktivitas pencatatan yang dilakukan petugas terhadap aktivitas Anak Krakatau di alat seismograf. Jadi, ketika terlihat banyaknya getaran pada alat seismograf, tidak berselang lama, kita akan melihat aktivitas letusan material ke udara yang membubung.
Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau, Andi Suwardi, mengatakan berdasar pada catatan alat seismograf hari Rabu (31-10), tercatat ada 198 kali letusan. Angka tersebut turun dibanding dengan hari sebelumnya yang mencapai 237 kali. Dan dari 198 kali letusan tersebut terdiri dari letusan vulkanik A (dalam) 31 kali, vulkanik B (dangkal) 38 kali, dan tremor (gempa) 47 kali.
Akibat meningkatnya aktivitas Anak Krakatau ini, menurut dia, banyak pengunjung yang datang ke pos pemantauan. "Tadi ada turis dari Inggris yang ingin menyaksikan fenomena tersebut. Kebetulan dia sedang berlibur musim panas di sini. Makanya dia menyempatkan datang ke pos," ujar Andi.
Bahkan, tidak hanya turis asing yang menyaksikan letusan Gunung Anak Krakatau, masyarakat sekitar pos pemantauan serta masyarakat sekitar Kalianda juga kerap mendatangi pos untuk menyaksikannya.
Pada hari Kamis (1-11) sore, sepuluhan ibu-ibu, remaja, serta anak-anak menyaksikan fenomena tersebut di pos pemantauan.
Pesisir yang Memesona
Selain bisa menikmati aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Hargopancuran, aktivitas vulkanik ini juga bisa disaksikan di pesisir Kalianda, Lampung Selatan, yang membentang begitu indahnya.
Dari pinggir-pinggir pantai seperti Way Muli, Pantai Mujang, Pantai Wartawan, hingga Pantai Canti, aktivitas Gunung Anak Krakatau juga masih terlihat. Meksipun gunung tersebut terletak di balik Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi, masih terlihat secara samar.
Sensasi sangat berbeda ketika hari menjelang sore. Senja langit berwarna jingga yang indah dipandang mata, menemani para nelayan yang tengah mencari ikan. Walaupun tidak bisa menyaksikan sunset (matahari terbenam) karena tertutup Pulau Sebuku, tetap saja panorama itu memberikan keindahan tersendiri.
Selain itu, bagi yang memang ingin menyaksikan lebih dekat lagi, pengunjung bisa mengunjungi Pulau Sebesi yang jaraknya lumayan tidak begitu jauh dengan Gunung Krakatau. Untuk biaya sewa perahu tersedia berbagai harga dari Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta. Dan termurah dengan menumpang angkutan perahu yang hanya beroperasi setiap pagi mengangkut penumpang Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti seharga Rp20 ribu.
Butun, salah seorang nelayan yang tinggal di Desa Way Muli, mengatakan dia bersama para tetangganya yang berprofesi sesama nelayan tidak begitu terpengaruh dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. "Ya kami masih mencari ikan. Dan hasil tangkapan juga tidak berkurang. Jumlah tangkapan berbeda hanya pada saat musim bulan atau tidak. Tapi, ikan tetap saja ada seperti teri, tanjan, simba, dan lainnya."
Dia juga mengatakan aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau tidak memberikan kengerian yang berlebihan. "Biasa saja. Paling waswas kalau-kalau ada tsunami. Karena dahulu, berdasar pada cerita para tetua saat Krakatau meletus, tsunami begitu tinggi dan banyak korban yang berjatuhan. Makanya kami tetap waspada," katanya.
Akan tetapi, untuk aktivitasnya kali ini, Butun mengatakan tidak ngeri seperti ketika ada pemberitaan tsunami serta gelombang pasang beberapa waktu lalu. "Ketika itu banyak warga sini yang menyelamatkan diri ke dataran tinggi dan bukit untuk menghindari tsunami. Tapi kalau ini mah, insya Allah tidak begitu khawatir. Karena memang sudah sering Gunung Anak Krakatau 'batuk-batuk'." n TEGUH PRASETYO/AAN KRIDOLAKSONO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007
Geliat Anak Krakatau merupakan satu fenomena tersendiri. Terlebih lagi legenda Gunung Krakatau yang terletak di tengah Selat Sunda ini sudah dikenal di seluruh dunia karena ledakan dahsyatnya pada tahun 1883 yang mampu mengetarkan hampir seluruh masyarakat dunia.
Dan kini, Gunung Anak Krakatau yang telah menjadi salah satu world natural heritage atau salah satu warisan dunia dalam kondisi "batuk-batuk". Tentu saja aktivitas gunung berapi yang memang tidak bisa ditebak sama sekali ini, menjadi satu fenomena alam yang sangat langka untuk disaksikan. Hal itu membuat begitu banyak orang yang ingin menyaksikan aktivitas Anak Krakatau saat mengeluarkan kepulan asap dan abu.
Namun, memang tidak sembarangan bisa menyaksikan fenomena tersebut. Sebab, pihak BMG telah mengeluarkan larangan bagi siapa pun yang ingin mengabadikan dan menyaksikan fenomena hanya dalam radius 3 kilometer saja. Sebab, lontaran material ditakutkan bersamaan dengan keluarnya zat beracun yang mematikan atau mofet, terdiri atas C12, HCl, SO2, CO, CO2, H2, dan N2.
Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang ingin menyaksikan aktivitas vulkanis tersebut, tidak hanya para jurnalis yang memang berlomba ingin mengabadikan fenomena langka tersebut, tapi wisatawan asing maupun dalam negeri pun ikut ambil bagian.
Bagi masyarakat Lampung yang ingin melihat aktivitas gunung yang menjadi ikon pariwisata provinsi ini, bisa dilakukan dengan berkunjung ke Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Karena dari sini kita bisa melihat aktivitas gunung berapi ini, sehingga tidaK perlu ke Anyer, Banten.
Dan di Hargopancuran ini pengunjung bisa menyaksikan geliat Anak Krakatau menggunakan teropong milik pos pemantau. Dari alat inilah pengunjung seakan-akan begitu dekat melihat fenomena tersebut. Namun, untuk menggunakan alat ini tentu saja harus mendapatkan izin petugas lebih dahulu.
Selain itu, pengunjung pun bisa secara langsung melihat aktivitas pencatatan yang dilakukan petugas terhadap aktivitas Anak Krakatau di alat seismograf. Jadi, ketika terlihat banyaknya getaran pada alat seismograf, tidak berselang lama, kita akan melihat aktivitas letusan material ke udara yang membubung.
Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau, Andi Suwardi, mengatakan berdasar pada catatan alat seismograf hari Rabu (31-10), tercatat ada 198 kali letusan. Angka tersebut turun dibanding dengan hari sebelumnya yang mencapai 237 kali. Dan dari 198 kali letusan tersebut terdiri dari letusan vulkanik A (dalam) 31 kali, vulkanik B (dangkal) 38 kali, dan tremor (gempa) 47 kali.
Akibat meningkatnya aktivitas Anak Krakatau ini, menurut dia, banyak pengunjung yang datang ke pos pemantauan. "Tadi ada turis dari Inggris yang ingin menyaksikan fenomena tersebut. Kebetulan dia sedang berlibur musim panas di sini. Makanya dia menyempatkan datang ke pos," ujar Andi.
Bahkan, tidak hanya turis asing yang menyaksikan letusan Gunung Anak Krakatau, masyarakat sekitar pos pemantauan serta masyarakat sekitar Kalianda juga kerap mendatangi pos untuk menyaksikannya.
Pada hari Kamis (1-11) sore, sepuluhan ibu-ibu, remaja, serta anak-anak menyaksikan fenomena tersebut di pos pemantauan.
Pesisir yang Memesona
Selain bisa menikmati aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Hargopancuran, aktivitas vulkanik ini juga bisa disaksikan di pesisir Kalianda, Lampung Selatan, yang membentang begitu indahnya.
Dari pinggir-pinggir pantai seperti Way Muli, Pantai Mujang, Pantai Wartawan, hingga Pantai Canti, aktivitas Gunung Anak Krakatau juga masih terlihat. Meksipun gunung tersebut terletak di balik Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi, masih terlihat secara samar.
Sensasi sangat berbeda ketika hari menjelang sore. Senja langit berwarna jingga yang indah dipandang mata, menemani para nelayan yang tengah mencari ikan. Walaupun tidak bisa menyaksikan sunset (matahari terbenam) karena tertutup Pulau Sebuku, tetap saja panorama itu memberikan keindahan tersendiri.
Selain itu, bagi yang memang ingin menyaksikan lebih dekat lagi, pengunjung bisa mengunjungi Pulau Sebesi yang jaraknya lumayan tidak begitu jauh dengan Gunung Krakatau. Untuk biaya sewa perahu tersedia berbagai harga dari Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta. Dan termurah dengan menumpang angkutan perahu yang hanya beroperasi setiap pagi mengangkut penumpang Pulau Sebesi ke Pelabuhan Canti seharga Rp20 ribu.
Butun, salah seorang nelayan yang tinggal di Desa Way Muli, mengatakan dia bersama para tetangganya yang berprofesi sesama nelayan tidak begitu terpengaruh dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. "Ya kami masih mencari ikan. Dan hasil tangkapan juga tidak berkurang. Jumlah tangkapan berbeda hanya pada saat musim bulan atau tidak. Tapi, ikan tetap saja ada seperti teri, tanjan, simba, dan lainnya."
Dia juga mengatakan aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau tidak memberikan kengerian yang berlebihan. "Biasa saja. Paling waswas kalau-kalau ada tsunami. Karena dahulu, berdasar pada cerita para tetua saat Krakatau meletus, tsunami begitu tinggi dan banyak korban yang berjatuhan. Makanya kami tetap waspada," katanya.
Akan tetapi, untuk aktivitasnya kali ini, Butun mengatakan tidak ngeri seperti ketika ada pemberitaan tsunami serta gelombang pasang beberapa waktu lalu. "Ketika itu banyak warga sini yang menyelamatkan diri ke dataran tinggi dan bukit untuk menghindari tsunami. Tapi kalau ini mah, insya Allah tidak begitu khawatir. Karena memang sudah sering Gunung Anak Krakatau 'batuk-batuk'." n TEGUH PRASETYO/AAN KRIDOLAKSONO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2007