Liwa, Lampung Barat, 31/3 (ANTARA)- Pemerintah segera membentuk desa wisata di Kabupaten Lampung Barat, karena berpotensi dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata nasional.
"Kami sedang merancang desa wisata tersebut, dan telah menentukan tiga desa wisata yang menjadi akses wisata yakni Pekon (desa) Tanjungsetia, Danau Ranau, dan Hujung," kata Kepala Perhubungan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Lampung Barat, Sudirman, di Liwa, Rabu (31-3).
Ia mengatakan, desa wisata yang dibentuk akan melibatkan masyarakat setempat.
"Tiga desa wisata yang dibentuk nanti melibatkan masyarakat setempat, dengan memanfaatkan tempat tinggalnya menjadi penginapan bagi pengunjung yang datang," kata dia.
Menurutnya, desa wisata akan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat.
Sudirman menjelaskan, selain tempat tinggal, kerajinan asli masyarakat akan mendapat akses pemasaran.
"Banyak hal positif diwujudkan di desa wisata ini, selain dapat memanfaatkan masyarakat setempat, progam ini juga dapat membantu memasarkan produk kerajinan masyarkat, yang saat ini masih mengalami kesulitan," kata dia.
Dia juga berharap Pemerintah Provinsi Lampung dapat fokus membantu wisata di Lampung Barat.
Sumber: Antara, 31 Maret 2010
March 31, 2010
Konservasi Satwa: Penyu di Lampung Kian Terancam
Bandar Lampung, Kompas - Tanpa upaya penyelamatan konkret, populasi penyu di Tanah Air, khususnya Provinsi Lampung, bisa punah. Induk penyu di pesisir Lampung Barat, salah satu kawasan habitat terbesar penyu, tinggal 308 ekor.
”Ini sangat sedikit jika dibandingkan panjang garis pantai tempat habitat penyu di Lampung Barat, yaitu 221 kilometer,” kata Kepala Seksi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur Naznan Meureka di Seminar Kolaborasi Kebijakan Konservasi Penyu yang diadakan LSM Mitra Bentala, Selasa (30/3).
Dari 7 spesies penyu yang tersisa di dunia, 6 di antaranya berada di Indonesia. Empat di antaranya kerap bertelur di Lampung Barat, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Erethmochyelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacca) dan penyu belimbing (Dermochelys coreacea).
Populasi penyu belimbing berkurang drastis, yaitu 97 persen dalam 22 tahun terakhir. Kini kurang dari 3.000 ekor di seluruh dunia. ”Ini spesies penyu terbesar. Ukuran penyu dewasa bisa sebesar Honda Jazz,” tuturnya.
Herawati Soekardi, pemerhati satwa dari Universitas Lampung, mengungkapkan, aktivitas manusia adalah ancaman terbesar bagi penyu. Meski termasuk satwa dilindungi, perburuan penyu ataupun telurnya masih terjadi dengan sembunyi-sembunyi. ”Belum lagi, berubahnya fungsi pantai dan tata ruang yang tidak mengindahkan konservasi,” ujarnya.
Di Lampung Barat, telur penyu dijual bebas di pasar-pasar, Rp 3.000 per kg. Menurut Ari Rakatama dari BKSDA Lampung, beberapa spesies penyu perlu siklus 35 tahun untuk bertelur. ”Di Pulau Betuah, pulau terluar Indonesia, banyak sarang penyu. Telur-telur ini kerap diambil nelayan besar yang singgah dari Bandar Lampung, Tanggamus, dan Bagan (Riau) sebagai cenderamata,” kata Naznan.
Wakil Bupati Lampung Barat Dimyati Amin, yang hadir di acara tentang konservasi penyu, mengungkapkan, ”Sering timbul dilema. Di satu sisi masyarakat butuh hidup, tetapi di lain pihak jangan sampai merusak. Lampung Barat salah satu daerah termiskin, 76 persen wilayah kami adalah areal konservasi.”
Sosialisasi penyelamatan penyu akhir-akhir ini terus digencarkan. ”Setiap warga yang menemukan telur penyu terus lapor ke aparat desa dan camat, kami bayar Rp 2.000 per butir,” ujarnya. Pemkab Lampung Barat juga akan mengeluarkan perda agar sanksi lebih jelas dan realistis. ”Dendanya misal Rp 10 juta. Kalau di Undang-Undang (No 31/2004) denda Rp 250 juta, ini sulit diterapkan,” ungkapnya.
Rizani, aktivis Mitra Bentala mengungkapkan, konsep ekowisata bisa menjadi solusi benturan kepentingan ekonomi dan konservasi di wilayah ini. ”Keuntungan ekonominya bisa lebih besar ketimbang menjual telur Rp 3.000 yang bisa memusnahkan penyu,” tuturnya. (JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 31 Maret 2010
”Ini sangat sedikit jika dibandingkan panjang garis pantai tempat habitat penyu di Lampung Barat, yaitu 221 kilometer,” kata Kepala Seksi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur Naznan Meureka di Seminar Kolaborasi Kebijakan Konservasi Penyu yang diadakan LSM Mitra Bentala, Selasa (30/3).
Dari 7 spesies penyu yang tersisa di dunia, 6 di antaranya berada di Indonesia. Empat di antaranya kerap bertelur di Lampung Barat, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Erethmochyelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacca) dan penyu belimbing (Dermochelys coreacea).
Populasi penyu belimbing berkurang drastis, yaitu 97 persen dalam 22 tahun terakhir. Kini kurang dari 3.000 ekor di seluruh dunia. ”Ini spesies penyu terbesar. Ukuran penyu dewasa bisa sebesar Honda Jazz,” tuturnya.
Herawati Soekardi, pemerhati satwa dari Universitas Lampung, mengungkapkan, aktivitas manusia adalah ancaman terbesar bagi penyu. Meski termasuk satwa dilindungi, perburuan penyu ataupun telurnya masih terjadi dengan sembunyi-sembunyi. ”Belum lagi, berubahnya fungsi pantai dan tata ruang yang tidak mengindahkan konservasi,” ujarnya.
Di Lampung Barat, telur penyu dijual bebas di pasar-pasar, Rp 3.000 per kg. Menurut Ari Rakatama dari BKSDA Lampung, beberapa spesies penyu perlu siklus 35 tahun untuk bertelur. ”Di Pulau Betuah, pulau terluar Indonesia, banyak sarang penyu. Telur-telur ini kerap diambil nelayan besar yang singgah dari Bandar Lampung, Tanggamus, dan Bagan (Riau) sebagai cenderamata,” kata Naznan.
Wakil Bupati Lampung Barat Dimyati Amin, yang hadir di acara tentang konservasi penyu, mengungkapkan, ”Sering timbul dilema. Di satu sisi masyarakat butuh hidup, tetapi di lain pihak jangan sampai merusak. Lampung Barat salah satu daerah termiskin, 76 persen wilayah kami adalah areal konservasi.”
Sosialisasi penyelamatan penyu akhir-akhir ini terus digencarkan. ”Setiap warga yang menemukan telur penyu terus lapor ke aparat desa dan camat, kami bayar Rp 2.000 per butir,” ujarnya. Pemkab Lampung Barat juga akan mengeluarkan perda agar sanksi lebih jelas dan realistis. ”Dendanya misal Rp 10 juta. Kalau di Undang-Undang (No 31/2004) denda Rp 250 juta, ini sulit diterapkan,” ungkapnya.
Rizani, aktivis Mitra Bentala mengungkapkan, konsep ekowisata bisa menjadi solusi benturan kepentingan ekonomi dan konservasi di wilayah ini. ”Keuntungan ekonominya bisa lebih besar ketimbang menjual telur Rp 3.000 yang bisa memusnahkan penyu,” tuturnya. (JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 31 Maret 2010
March 29, 2010
Naskah Kuno: Dari Mantra Pengasih sampai Resep Obat
ALKISAH, pada masa silam, gadis-gadis asli Lampung memiliki kemampuan memikat lawan jenisnya. Memang (mantra-mantra) pengasih ini ditorehkan dalam aksara Lampung kaganga di atas media kulit kayu.
Naskah kuno yang merepresentasikan campur aduk kepercayaan animisme, agama Hindu, dan Islam ini merupakan salah satu benda koleksi Pameran Pelangi Aksara Nusantara 2010 yang digelar Senin hingga Sabtu (27/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.
Koleksi naskah kuno dari sembilan provinsi yang memiliki aksara dipamerkan di sini adalah Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Lampung, Bali, Jawa Barat, Sumatera Selatan, DIY, dan Bengkulu. Total ada 59 koleksi filologika yang dipamerkan.
Naskah-naskah kuno dan aksara ini merupakan kekayaan khazanah budaya di Nusantara hasil dari pemikiran, ilmu pengetahuan, dan kepercayaan masyarakat adat pada masa lalu. Lewat pameran ini, kita dikenalkan betapa kayanya budaya bangsa ini, termasuk yang dimiliki masyarakat adat di Sumatera, seperti Lampung.
Naskah-naskah kuno itu bukan hanya berupa kertas, melainkan juga bambu, kulit kayu, bilah bambu, daun lontar, sampai tanduk hewan. Museum Negeri Lampung memiliki salah satu koleksi naskah dari bahan tanduk kerbau yang eksotik, tetapi isinya belum diketahui.
Provinsi Jambi juga memiliki koleksi serupa, yaitu dari Kerinci. Tanduk ini ditulisi aksara incung dengan bahasa Kerinci kuno. Isinya tentang tata cara sesajian, petuah-petuah, dan syarat menjadi pemimpin.
Beberapa naskah lain bahkan menceritakan kearifan lokal yang masih relevan dengan kondisi sekarang. Salah satunya koleksi Lontar Usada Manak dari Bali. Naskah setebal 75 lembar ini bercerita tentang berbagai macam penyakit anak-anak dan obat penyembuhannya.
Menurut Edi Sedyawati, filolog dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pameran ini sangat bermanfaat untuk melestarikan aksara dan naskah kuno Nusantara. Sebab, lambat laun bukan tidak mungkin aksara tradisional yang pernah ada di bumi Nusantara ini suatu hari akan punah.
”Dari segi artefak, sudah banyak naskah kuno kita yang hilang, dimiliki asing. Di lain pihak, penggunanya semakin berkurang,” ujarnya. Berdasarkan data KE Holle, peneliti asal Belanda, pada tahun 1877, tercatat 161 aksara daerah yang ada di seluruh Nusantara. (JON)
Sumber: Kompas, Senin, 29 Maret 2010
Naskah kuno yang merepresentasikan campur aduk kepercayaan animisme, agama Hindu, dan Islam ini merupakan salah satu benda koleksi Pameran Pelangi Aksara Nusantara 2010 yang digelar Senin hingga Sabtu (27/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.
Koleksi naskah kuno dari sembilan provinsi yang memiliki aksara dipamerkan di sini adalah Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Lampung, Bali, Jawa Barat, Sumatera Selatan, DIY, dan Bengkulu. Total ada 59 koleksi filologika yang dipamerkan.
Naskah-naskah kuno dan aksara ini merupakan kekayaan khazanah budaya di Nusantara hasil dari pemikiran, ilmu pengetahuan, dan kepercayaan masyarakat adat pada masa lalu. Lewat pameran ini, kita dikenalkan betapa kayanya budaya bangsa ini, termasuk yang dimiliki masyarakat adat di Sumatera, seperti Lampung.
Naskah-naskah kuno itu bukan hanya berupa kertas, melainkan juga bambu, kulit kayu, bilah bambu, daun lontar, sampai tanduk hewan. Museum Negeri Lampung memiliki salah satu koleksi naskah dari bahan tanduk kerbau yang eksotik, tetapi isinya belum diketahui.
Provinsi Jambi juga memiliki koleksi serupa, yaitu dari Kerinci. Tanduk ini ditulisi aksara incung dengan bahasa Kerinci kuno. Isinya tentang tata cara sesajian, petuah-petuah, dan syarat menjadi pemimpin.
Beberapa naskah lain bahkan menceritakan kearifan lokal yang masih relevan dengan kondisi sekarang. Salah satunya koleksi Lontar Usada Manak dari Bali. Naskah setebal 75 lembar ini bercerita tentang berbagai macam penyakit anak-anak dan obat penyembuhannya.
Menurut Edi Sedyawati, filolog dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pameran ini sangat bermanfaat untuk melestarikan aksara dan naskah kuno Nusantara. Sebab, lambat laun bukan tidak mungkin aksara tradisional yang pernah ada di bumi Nusantara ini suatu hari akan punah.
”Dari segi artefak, sudah banyak naskah kuno kita yang hilang, dimiliki asing. Di lain pihak, penggunanya semakin berkurang,” ujarnya. Berdasarkan data KE Holle, peneliti asal Belanda, pada tahun 1877, tercatat 161 aksara daerah yang ada di seluruh Nusantara. (JON)
Sumber: Kompas, Senin, 29 Maret 2010
March 28, 2010
Peluncuran Buku: Sebuah Ruang Jeda Inggit
BANDAR LAMPUNG--Tidaklah mudah menafsir sajak-sajak Inggit Putria Marga yang terhimpun dalam Penyeret Babi (Anahata, Bandar Lampung, 2010). Puisi Penyeret Babi yang kemudian menjadi judul kumpulan sajak perdana Inggit pun menjadi sebuah ambiguitas tersendiri.
PELUNCURAN BUKU. Penyair Inggit Putria Marga (tengah) menanggapi peserta dalam peluncuran buku puisinya, Penyeret Babi, di Unila, Sabtu (27-3).
Menurut penyair Ahmad Yulden Erwin, yang menjadi pembahas bersama Iswadi Pratama dalam peluncuran buku ini di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Sabtu (27-3) malam, judul yang sebenarnya biasa saja. "Nggak aneh, tetapi menarik," kata Erwin.
Bagi Inggit sendiri, sajak Penyeret Babi menjadi pintu masuk untuk menemukan benang merah dari 72 sajak dalam kumpulan yang terbagi ke dalam dua bagian ini: Mantra Petani dan Pemuja Api. Selain itu, "Saya berharap dengan judul ini, buku ini bisa berada di ruang jeda," kata Inggit dalam acara yang diselenggarakan Komunitas Berkat Yakin (Kober) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila ini.
Dalam pembacaan Iswadi Pratama sajak-sajak Inggit dapat dilihat dalam tiga hal: cenderung metafisik, sosok penyair sebagai hermes (penafsir), dan mengisyaratkan laku "meditatif" atau laku wu wei.
Kalau dalam kebanyakan sajak liris, posisi "aku liris" dalam teks hampir selalu dikenali dengan serta merta, menurut Iswadi, justru Inggit melakukan elaborasi. "Aku lirik" tak selalu diaktualkan secara jelas apalagi dominan dalam sajak-sajak Inggit.
Sedangkan Ahmad Yulden Erwin memandang sajak-sajak Inggit seperti arkitipe, semacam gurauan-gurauan. "Aku yang dimaksudkan Inggit bukan pribadi. Aku dalam sajak Inggit adalah segalanya. Harus hati-hati membaca sajak Inggit, siapa sesungguhnya penafsir dalam sebuah sajak yang tengah kita baca," ujarnya.
Menurut Erwin, dalam sajaknya, Inggit ingin menafsirkan, tetapi juga ingin berkomunikasi. "Dari keseluruhan komunikasi itu menciptakan irama dari gerak tubuh. Tarian itu akan menarik yang lain, menjadi pusaran, menjadi pasangan, dan kemudian menjelma cinta."
Satu yang menarik dari penyair perempuan terkuat yang dimiliki Lampung dan termasuk 100 Tokoh Terkemuka Lampung versi Lampung Post ini, adalah bagaimana Inggit tampil dengan gaya ucap yang berbeda dari perempuan penyair kebanyakan. "Ini kekuatan Inggit yang tidak dipunyai penyair perempuan lain. Diksi, bunyi, citra, dan lain-lain berpadu harmonis dalam sajak-sajak Inggit," kata Erwin lagi. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2010
PELUNCURAN BUKU. Penyair Inggit Putria Marga (tengah) menanggapi peserta dalam peluncuran buku puisinya, Penyeret Babi, di Unila, Sabtu (27-3).
Menurut penyair Ahmad Yulden Erwin, yang menjadi pembahas bersama Iswadi Pratama dalam peluncuran buku ini di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Sabtu (27-3) malam, judul yang sebenarnya biasa saja. "Nggak aneh, tetapi menarik," kata Erwin.
Bagi Inggit sendiri, sajak Penyeret Babi menjadi pintu masuk untuk menemukan benang merah dari 72 sajak dalam kumpulan yang terbagi ke dalam dua bagian ini: Mantra Petani dan Pemuja Api. Selain itu, "Saya berharap dengan judul ini, buku ini bisa berada di ruang jeda," kata Inggit dalam acara yang diselenggarakan Komunitas Berkat Yakin (Kober) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila ini.
Dalam pembacaan Iswadi Pratama sajak-sajak Inggit dapat dilihat dalam tiga hal: cenderung metafisik, sosok penyair sebagai hermes (penafsir), dan mengisyaratkan laku "meditatif" atau laku wu wei.
Kalau dalam kebanyakan sajak liris, posisi "aku liris" dalam teks hampir selalu dikenali dengan serta merta, menurut Iswadi, justru Inggit melakukan elaborasi. "Aku lirik" tak selalu diaktualkan secara jelas apalagi dominan dalam sajak-sajak Inggit.
Sedangkan Ahmad Yulden Erwin memandang sajak-sajak Inggit seperti arkitipe, semacam gurauan-gurauan. "Aku yang dimaksudkan Inggit bukan pribadi. Aku dalam sajak Inggit adalah segalanya. Harus hati-hati membaca sajak Inggit, siapa sesungguhnya penafsir dalam sebuah sajak yang tengah kita baca," ujarnya.
Menurut Erwin, dalam sajaknya, Inggit ingin menafsirkan, tetapi juga ingin berkomunikasi. "Dari keseluruhan komunikasi itu menciptakan irama dari gerak tubuh. Tarian itu akan menarik yang lain, menjadi pusaran, menjadi pasangan, dan kemudian menjelma cinta."
Satu yang menarik dari penyair perempuan terkuat yang dimiliki Lampung dan termasuk 100 Tokoh Terkemuka Lampung versi Lampung Post ini, adalah bagaimana Inggit tampil dengan gaya ucap yang berbeda dari perempuan penyair kebanyakan. "Ini kekuatan Inggit yang tidak dipunyai penyair perempuan lain. Diksi, bunyi, citra, dan lain-lain berpadu harmonis dalam sajak-sajak Inggit," kata Erwin lagi. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2010
March 26, 2010
Pendidikan: Bahasa dan Aksara Lampung Terancam Punah
Bandar Lampung, Kompas - Bahasa dan aksara Lampung terancam punah apabila lambat laun masyarakatnya tidak lagi terbiasa menggunakan dalam kehidupan setiap hari. Untuk itu, pendidikan formal perlu menggalakkan muatan lokal bahasa dan aksara Lampung selalu terpelihara.
Effendi Sanusi, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, mengusulkan sejumlah cara untuk mencegah hal ini. ”Salah satu yang terpenting adalah peranan pendidikan muatan lokal di sekolah,” kata Effendi, Kamis (25/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.
”Jika ini (bahasa dan aksara) lenyap, generasi yang bertanggung jawab atas musibah ini adalah generasi sekarang. Jangan sampai aksara daerah mati tidak terurus,” kata Effendi.
Usulan penyelamatan bahasa dan aksara daerah Lampung ini yang disampaikannya kepada pemerintah daerah antara lain pemuatan peraturan daerah tentang penulisan nama-nama jalan, fasilitas umum, dan kantor pemerintah dengan dwiaksara, serta membuka laman (situs web) yang terkait aksara daerah.
”Jalur formal lewat pendidikan di sekolah bisa menjadi langkah efektif. Bahasa daerah dan aksara Lampung mesti terus diperkenalkan di sekolah sehingga akhirnya bisa difungsikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Effendi.
Menurut dia, media massa, baik elektronik maupun cetak, khususnya yang lokal, juga memiliki peran tak kalah penting. Ia mengimbau pengelola media lokal agar lebih membuat rubrik atau program yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung.
Aksara Lampung, menurut filolog dari Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dikenal pula dengan istilah kaganga. Ia mencatat, setidaknya ada enam macam bentuk khat (aksara) Lampung yang ragamnya dipengaruhi perubahan kebudayaan, termasuk datangnya agama.
Terancam punah
Menurut dia, penggunaan aksara maupun bahasa Lampung memang sudah demikian jarang. Penuturnya terus berkurang. Bukan tidak mungkin kebudayaan itu bisa punah suatu hari jika tidak ada lagi pelestarian. Ini misalnya terjadi pada aksara Kerinci dari Jambi yang kini diperkirakan sudah punah.
”Di Metro (kota di lampung), waktu saya ke sana 20 tahun lalu penuturnya (bahasa Lampung) sudah jarang, apalagi kini. Padahal, tahun 1940-an, bahasa dan aksara Lampung masih dipakai luas baik oleh muda-mudi maupun orang tua,” ungkapnya.
Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat mayoritas penduduk di Lampung saat ini adalah pendatang. Dari sekitar 7,3 juta warga Lampung, hanya 25 persen di antaranya yang merupakan penduduk asli. Mereka pun, berdasarkan data Dinas Kependudukan Lampung, mayoritas menetap di daerah pinggiran.
Berdasarkan pemantauan Kompas, di Bandar Lampung, penutur bahasa Lampung hampir tidak ditemui lagi. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, baik para pelajar maupun orang dewasa, bahasa pergaulan dari Jakarta sering diadopsi, misalnya ”lo” untuk penyebutan kamu dan ”gue” (saya).
Jika bahasa daerah terabaikan terus, berarti kematiannya hanya menunggu waktu. Karena itu, perlu segera diantisipasi. (Jon)
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Maret 2010
Effendi Sanusi, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, mengusulkan sejumlah cara untuk mencegah hal ini. ”Salah satu yang terpenting adalah peranan pendidikan muatan lokal di sekolah,” kata Effendi, Kamis (25/3) di Museum Negeri Ruwa Jurai, Lampung.
”Jika ini (bahasa dan aksara) lenyap, generasi yang bertanggung jawab atas musibah ini adalah generasi sekarang. Jangan sampai aksara daerah mati tidak terurus,” kata Effendi.
Usulan penyelamatan bahasa dan aksara daerah Lampung ini yang disampaikannya kepada pemerintah daerah antara lain pemuatan peraturan daerah tentang penulisan nama-nama jalan, fasilitas umum, dan kantor pemerintah dengan dwiaksara, serta membuka laman (situs web) yang terkait aksara daerah.
”Jalur formal lewat pendidikan di sekolah bisa menjadi langkah efektif. Bahasa daerah dan aksara Lampung mesti terus diperkenalkan di sekolah sehingga akhirnya bisa difungsikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Effendi.
Menurut dia, media massa, baik elektronik maupun cetak, khususnya yang lokal, juga memiliki peran tak kalah penting. Ia mengimbau pengelola media lokal agar lebih membuat rubrik atau program yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung.
Aksara Lampung, menurut filolog dari Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dikenal pula dengan istilah kaganga. Ia mencatat, setidaknya ada enam macam bentuk khat (aksara) Lampung yang ragamnya dipengaruhi perubahan kebudayaan, termasuk datangnya agama.
Terancam punah
Menurut dia, penggunaan aksara maupun bahasa Lampung memang sudah demikian jarang. Penuturnya terus berkurang. Bukan tidak mungkin kebudayaan itu bisa punah suatu hari jika tidak ada lagi pelestarian. Ini misalnya terjadi pada aksara Kerinci dari Jambi yang kini diperkirakan sudah punah.
”Di Metro (kota di lampung), waktu saya ke sana 20 tahun lalu penuturnya (bahasa Lampung) sudah jarang, apalagi kini. Padahal, tahun 1940-an, bahasa dan aksara Lampung masih dipakai luas baik oleh muda-mudi maupun orang tua,” ungkapnya.
Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat mayoritas penduduk di Lampung saat ini adalah pendatang. Dari sekitar 7,3 juta warga Lampung, hanya 25 persen di antaranya yang merupakan penduduk asli. Mereka pun, berdasarkan data Dinas Kependudukan Lampung, mayoritas menetap di daerah pinggiran.
Berdasarkan pemantauan Kompas, di Bandar Lampung, penutur bahasa Lampung hampir tidak ditemui lagi. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, baik para pelajar maupun orang dewasa, bahasa pergaulan dari Jakarta sering diadopsi, misalnya ”lo” untuk penyebutan kamu dan ”gue” (saya).
Jika bahasa daerah terabaikan terus, berarti kematiannya hanya menunggu waktu. Karena itu, perlu segera diantisipasi. (Jon)
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Maret 2010
Membumikan Bahasa Lampung
Oleh Muslim
TULISAN Agus Sri Danardana (ASD), Bahasa Lampung Kini (Lampung Post, [18-02]), menarik diapresiasi secara positif dan kritis. Menurut dia, bisa jadi bahasa Lampung akan punah dalam beberapa abad mendatang. Sebab, dengan menyitir penelitian Andrew Dalby dalam Language in Danger (2003), setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa.
Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, lanjut ASD, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kondisi seperti itu, ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, yang memungkinkan komunikasi mereka berjalan lebih lancar.
Namun, ASD masih memberikan optimistis. Dalam telaahnya, dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah sekitar 17% atau 1,190 juta. Ini menunjukkan bahasa Lampung masih berada di zona aman dari ancaman kematian dan kepunahan, karena masih digunakan lebih dari sejuta orang. Dan, baris demi baris dalam tulisan ini, akan mencoba mengembangkan diskursus yang dilontarkan ASD itu dari perspektif yang berbeda.
Geliat pembangunanisme yang terus dijalankan di negeri ini ternyata tak hanya membawa dampak positif berupa perubahan dalam struktur masyarakat menjadi lebih maju. Tapi juga menimbulkan dampak negatif dengan menurunnya kuriositas masyarakat pribumi dalam melestarikan budaya dan bahasanya sendiri. Bukanlah hal baru jika kebudayaan nasional menjadi kurang berkembang. Sebab, seperti dikemukakan di atas, laju perkembangan dunia yang terbingkai dalam arus besar globalisasi dan modernisasi memiliki pengaruh yang kuat untuk menghambat itu semua.
Demikian pula yang terjadi di Lampung. Kian ramainya masyarakat pendatang yang bermukim di sini, tak pelak membuat bahasa Lampung semakin bergeser dan terancam punah. Terbukanya peluang bagi masyarakat daerah lain, khususnya Jawa, untuk masuk ke Lampung setidaknya disebabkan letak geografis Provinsi Lampung sebagai pintu gerbang pulau Sumatera. Dampaknya, banyak dari orang Lampung, khususnya yang bermukim di daerah perkotaan, menjadi minoritas. Artinya, walaupun mereka ulun Lampung, tetapi tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya yang jelas-jelas tidak bisa berbahasa Lampung. Wajar, jika mereka tidak pernah menggunakan bahasa Lampung.
Dalam dunia pendidikan, bahasa Lampung tidak menjadi mata pelajaran yang tetap, tetapi hanya masuk dalam muatan lokal, sehingga setiap sekolah tidak berkewajiban mengadakannya. Ujung-ujungnya, banyak siswa yang notabenenya orang Lampung tidak (pernah) mempelajari bahasa dan adat Lampung secara utuh. Pada aras ini, kondisi bahasa Lampung dapatlah dikatakan mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Sebab, banyak dari generasi muda suku Lampung yang enggan mempelajari seni budayanya sendiri, bahkan sudah sangat jarang menggunakan bahasa Lampung dalam interaksi sosial sehari-hari.
Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan dan penanganan yang intensif melalui sentuhan tangan kreatif dari para pemangku adat dan pejabat pemerintah daerah dalam merawat seni budaya Lampung. Hal utama yang mesti digalakkan adalah mencari metode yang atraktif agar bahasa Lampung tetap eksis dalam masyarakat Lampung sendiri.
Kemudian, seluruh elemen masyarakat suku Lampung juga harus senantiasa aktif menyosialisasikan seni budaya Lampung kepada generasi muda, serta mendukung segala bentuk kegiatan yang mengarah padanya. Sarana sosialisasi yang paling efektif, menurut penulis, dapatlah dilakukan melalui media massa dan lembaga pendidikan.
Dalam ranah pendidikan, sosialisasi bahasa dan seni budaya Lampung dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk mengadakan mata pelajaran Bahasa Lampung. Dengan begitu, seluruh pelajar dan mahasiswa yang ada di Lampung setidaknya bisa mengerti dan memahami ihwal bahasa dan adat Lampung.
Hal ini setidaknya bersandar pada sebuah fakta bahwa banyak dari pemuda suku Lampung yang berpendidikan tinggi, tapi anehnya, kebanyakan dari mereka enggan dan malas untuk memakai bahasa Lampung dengan baik. Jadi, proses peningkatan kecerdasan pemuda Lampung harus juga dibarengi dengan adanya "pemaksaan" untuk mempelajari dan menerapkan bahasa Lampung dalam pergaulan mereka. Sebab, di tangan para pemudalah bahasa dan seni budaya ini akan beralih.
Realitas kebudayaan Lampung yang kian hari kian membuat kita mengernyitkan dahi. Sebab, arus kuat modernisasi menjadikan setiap individu lebih condong untuk mengikuti gaya Barat.
Ujung-ujungnya, tari sembah dan menabuh tala tak menarik untuk dipelajari, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Tragisnya lagi, memakai bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan sesama ulun Lampung, merupakan perilaku yang sangat "memalukan".
Alhasil, kita semua berharap agar pemuda Lampung, tokoh adat, dan aparat pemerintah daerah bisa mengambil langkah yang efektif dan kreatif untuk lebih memasyarakatkan bahasa dan budaya Lampung. Jika tidak, seperti yang ditegaskan ASD, dalam beberapa dekade mendatang, bahasa Lampung akan benar-benar punah.
* Muslim, Alumnus IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 Maret 2010
TULISAN Agus Sri Danardana (ASD), Bahasa Lampung Kini (Lampung Post, [18-02]), menarik diapresiasi secara positif dan kritis. Menurut dia, bisa jadi bahasa Lampung akan punah dalam beberapa abad mendatang. Sebab, dengan menyitir penelitian Andrew Dalby dalam Language in Danger (2003), setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa.
Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, lanjut ASD, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kondisi seperti itu, ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, yang memungkinkan komunikasi mereka berjalan lebih lancar.
Namun, ASD masih memberikan optimistis. Dalam telaahnya, dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah sekitar 17% atau 1,190 juta. Ini menunjukkan bahasa Lampung masih berada di zona aman dari ancaman kematian dan kepunahan, karena masih digunakan lebih dari sejuta orang. Dan, baris demi baris dalam tulisan ini, akan mencoba mengembangkan diskursus yang dilontarkan ASD itu dari perspektif yang berbeda.
Geliat pembangunanisme yang terus dijalankan di negeri ini ternyata tak hanya membawa dampak positif berupa perubahan dalam struktur masyarakat menjadi lebih maju. Tapi juga menimbulkan dampak negatif dengan menurunnya kuriositas masyarakat pribumi dalam melestarikan budaya dan bahasanya sendiri. Bukanlah hal baru jika kebudayaan nasional menjadi kurang berkembang. Sebab, seperti dikemukakan di atas, laju perkembangan dunia yang terbingkai dalam arus besar globalisasi dan modernisasi memiliki pengaruh yang kuat untuk menghambat itu semua.
Demikian pula yang terjadi di Lampung. Kian ramainya masyarakat pendatang yang bermukim di sini, tak pelak membuat bahasa Lampung semakin bergeser dan terancam punah. Terbukanya peluang bagi masyarakat daerah lain, khususnya Jawa, untuk masuk ke Lampung setidaknya disebabkan letak geografis Provinsi Lampung sebagai pintu gerbang pulau Sumatera. Dampaknya, banyak dari orang Lampung, khususnya yang bermukim di daerah perkotaan, menjadi minoritas. Artinya, walaupun mereka ulun Lampung, tetapi tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya yang jelas-jelas tidak bisa berbahasa Lampung. Wajar, jika mereka tidak pernah menggunakan bahasa Lampung.
Dalam dunia pendidikan, bahasa Lampung tidak menjadi mata pelajaran yang tetap, tetapi hanya masuk dalam muatan lokal, sehingga setiap sekolah tidak berkewajiban mengadakannya. Ujung-ujungnya, banyak siswa yang notabenenya orang Lampung tidak (pernah) mempelajari bahasa dan adat Lampung secara utuh. Pada aras ini, kondisi bahasa Lampung dapatlah dikatakan mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Sebab, banyak dari generasi muda suku Lampung yang enggan mempelajari seni budayanya sendiri, bahkan sudah sangat jarang menggunakan bahasa Lampung dalam interaksi sosial sehari-hari.
Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan dan penanganan yang intensif melalui sentuhan tangan kreatif dari para pemangku adat dan pejabat pemerintah daerah dalam merawat seni budaya Lampung. Hal utama yang mesti digalakkan adalah mencari metode yang atraktif agar bahasa Lampung tetap eksis dalam masyarakat Lampung sendiri.
Kemudian, seluruh elemen masyarakat suku Lampung juga harus senantiasa aktif menyosialisasikan seni budaya Lampung kepada generasi muda, serta mendukung segala bentuk kegiatan yang mengarah padanya. Sarana sosialisasi yang paling efektif, menurut penulis, dapatlah dilakukan melalui media massa dan lembaga pendidikan.
Dalam ranah pendidikan, sosialisasi bahasa dan seni budaya Lampung dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk mengadakan mata pelajaran Bahasa Lampung. Dengan begitu, seluruh pelajar dan mahasiswa yang ada di Lampung setidaknya bisa mengerti dan memahami ihwal bahasa dan adat Lampung.
Hal ini setidaknya bersandar pada sebuah fakta bahwa banyak dari pemuda suku Lampung yang berpendidikan tinggi, tapi anehnya, kebanyakan dari mereka enggan dan malas untuk memakai bahasa Lampung dengan baik. Jadi, proses peningkatan kecerdasan pemuda Lampung harus juga dibarengi dengan adanya "pemaksaan" untuk mempelajari dan menerapkan bahasa Lampung dalam pergaulan mereka. Sebab, di tangan para pemudalah bahasa dan seni budaya ini akan beralih.
Realitas kebudayaan Lampung yang kian hari kian membuat kita mengernyitkan dahi. Sebab, arus kuat modernisasi menjadikan setiap individu lebih condong untuk mengikuti gaya Barat.
Ujung-ujungnya, tari sembah dan menabuh tala tak menarik untuk dipelajari, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Tragisnya lagi, memakai bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan sesama ulun Lampung, merupakan perilaku yang sangat "memalukan".
Alhasil, kita semua berharap agar pemuda Lampung, tokoh adat, dan aparat pemerintah daerah bisa mengambil langkah yang efektif dan kreatif untuk lebih memasyarakatkan bahasa dan budaya Lampung. Jika tidak, seperti yang ditegaskan ASD, dalam beberapa dekade mendatang, bahasa Lampung akan benar-benar punah.
* Muslim, Alumnus IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 Maret 2010
March 25, 2010
Penyelamatan Bahasa Lampung Perlu Upaya Konkret
Bandarlampung, 25/3 (ANTARA)- Penyelamatan bahasa Lampung sebagai aset budaya daerah memerlukan peran aktif dari pemerintah setempat, mulai dari pembuatan aturan hingga pelaksanaan langkah konkretnya.
Menurut Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, Effendi Sanusi, di Bandarlampung, Kamis, upaya pemerintah dalam rangka penyelamatan dan pemeliharaan bahasa dan aksara daerah itu meliputi upaya edukasi, dan upaya sosialisasi dalam bentuk aturan tertulis.
"Hal yang paling mendasar adalah, Pemerintah Provinsi Lampung dalam kembali menjalankan Pasal 8 Perda Provinsi Lampung nomor 2 tahun 2008, tentang Sosialisasi Bahasa dan Aksara Lampung," kata dia.
Pemeliharaan dan pelestarian aksara yang tercantum dalam perda tersebut, memuat langkah-langkah seperti penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan, mengajar, forum pertemuan resmi pemda dan kegiatan masyarakat, juga penggunaan bahasa dan aksara Lampung untuk nama tempat, bangunan, dan jalan.
Selain itu, perda tersebut juga mewajibkan sosialisasi bahasa daerah dan aksara Lampung pada media massa, penyediaan bahan pengajaran untuk sekolah dan non sekolah, serta pengenalan bahasa Lampung mengenai pengajaran bahasa dan aksara, sejak dini.
Menurut Effendi, aplikasi dari aturan tersebut belum dilakukan maksimal oleh pemerintah, dibuktikan dengan banyaknya anak muda usia sekolah yang tidak menguasai bahasa dan aksara Lampung saat ini. Padahal, dia melanjutkan, kedudukan dan peran aksara daerah dalam pendidikan dan kemajuan zaman sangat penting, mengingat fungsi mereka sebagai dokumentasi budaya, pola pikir, dan keyakinan.
"Pemahaman budaya suatu bangsa dapat efektif apabila dilakukan atas dasar perspektif budaya mereka sendiri, melalui bahasa , sastra, dan aksara yang dimiliki daerah tersebut," dia menerangkan.
Bahasa dan aksara daerah, memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan, identitas, dan alat penghubung antar masyarakat di daerah tersebut, yang akan punah apabila tidak diperhatikan pengembangan dan upaya mempertahankannya.
"Mempertahankan budaya dan identitas daerah otomatis memperkuat identitas dan budaya nasional, dan keberadaannya menjadi kewajiban generasi sekarang," ujar dia.
Sumber: Antara, 25 Maret 2010
Menurut Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, Effendi Sanusi, di Bandarlampung, Kamis, upaya pemerintah dalam rangka penyelamatan dan pemeliharaan bahasa dan aksara daerah itu meliputi upaya edukasi, dan upaya sosialisasi dalam bentuk aturan tertulis.
"Hal yang paling mendasar adalah, Pemerintah Provinsi Lampung dalam kembali menjalankan Pasal 8 Perda Provinsi Lampung nomor 2 tahun 2008, tentang Sosialisasi Bahasa dan Aksara Lampung," kata dia.
Pemeliharaan dan pelestarian aksara yang tercantum dalam perda tersebut, memuat langkah-langkah seperti penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan, mengajar, forum pertemuan resmi pemda dan kegiatan masyarakat, juga penggunaan bahasa dan aksara Lampung untuk nama tempat, bangunan, dan jalan.
Selain itu, perda tersebut juga mewajibkan sosialisasi bahasa daerah dan aksara Lampung pada media massa, penyediaan bahan pengajaran untuk sekolah dan non sekolah, serta pengenalan bahasa Lampung mengenai pengajaran bahasa dan aksara, sejak dini.
Menurut Effendi, aplikasi dari aturan tersebut belum dilakukan maksimal oleh pemerintah, dibuktikan dengan banyaknya anak muda usia sekolah yang tidak menguasai bahasa dan aksara Lampung saat ini. Padahal, dia melanjutkan, kedudukan dan peran aksara daerah dalam pendidikan dan kemajuan zaman sangat penting, mengingat fungsi mereka sebagai dokumentasi budaya, pola pikir, dan keyakinan.
"Pemahaman budaya suatu bangsa dapat efektif apabila dilakukan atas dasar perspektif budaya mereka sendiri, melalui bahasa , sastra, dan aksara yang dimiliki daerah tersebut," dia menerangkan.
Bahasa dan aksara daerah, memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan, identitas, dan alat penghubung antar masyarakat di daerah tersebut, yang akan punah apabila tidak diperhatikan pengembangan dan upaya mempertahankannya.
"Mempertahankan budaya dan identitas daerah otomatis memperkuat identitas dan budaya nasional, dan keberadaannya menjadi kewajiban generasi sekarang," ujar dia.
Sumber: Antara, 25 Maret 2010
Isbedy Stiawan Luncurkan 'Anjing Dini Hari'
BANDAR LAMPUNG--Penyair Lampung Isbedy Stiawan Z.S. kembali meluncurkan buku puisi bertajuk Anjing Dini Hari terbitan Rumah Aspirasi, Februari 2010. Buku ini berisi 83 puisi yang ditulis pada tahun 2008--2009. "Puisi-puisi dalam buku ini banyak yang saya tulis ke dalam Facebook. Juga di antaranya sudah dipublikasikan di berbagai media massa lokal dan Jakarta," ujar penyair yang berjuluk Paus Sastra Lampung ini, kemarin (24-3).
Isbedy mengungkapkan kendati buku puisi terbarunya belum diluncurkan secara khusus, tapi sudah dijual melalui Facebook. "Alhamdulillah, manfaat Facebook sangat besar untuk penjualan buku sastra," ujarnya.
Sedikitnya sudah 30 buku terjual melalu situs jejaring sosial ini.
Caranya dengan mengirimkan kover buku dan harganya ke sejumlah Facebooker. Plus mencantumkan kutipan bagian-bagian puisi dalam buku dan mengubah statusnya dalam beberapa hari. "Ternyata cara ini cukup ampuh. Banyak Facebooker yang memesan," ujarnya.
Untuk mempercantik wajah, sampul buku ini didesain secara apik bergambar copy lukisan karya Dirot Kadirah, pelukis Jakarta, yang karyanya masuk bursa pelukis termahal. "Saya bangga bisa bekerja sama dengan Dirot. Dia mau menyumbangkan karya lukisnya untuk sampul buku saya dengan gratis. Saya anggap inilah bagian dari pertemanan, sebuah kolaborasi," kata dia.
Sementara mengenai puisi-puisi Isbedy, kritikus dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Sunu Wasono menilai secara keseluruhan sajak-sajak Isbedy bernada serius. Mungkin hal itu disebabkan Isbedy cenderung menjadi seorang perenung sehingga di matanya persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjelma sajak-sajak serius yang jauh dari nada humor atau main-main. "Dengan pilihannya itu, Isbedy telah menunjukkan sebagai penyair berkelas yang laik diperhitungkan," kata Sunu.
Buku puisi Anjing Dini Hari rencananya diluncurkan di Bandar Lampung. Namun, kepastian tanggal dan waktunya belum ditentukan. "Saya masih menjajaki kerja sama atau ada orang yang mau menjadi funding dalam peluncuran ini. Saya tak memilih orang dari lingkungan mana: pengusaha, politisi, aktivis, ataupun pemerintah," ujarnya.
Setelah peluncuran, Isbedy promosi ke Palembang dan Lubuklinggau. "Tapi tak menutup kemungkinan juga disosialisasikan di Jambi dan Babel," kata Isbedy yang terakhir menerbitkan buku puisi pada 2008 Setiap Baris Hujan ini. (AST/L-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 25 Maret 2010
Isbedy mengungkapkan kendati buku puisi terbarunya belum diluncurkan secara khusus, tapi sudah dijual melalui Facebook. "Alhamdulillah, manfaat Facebook sangat besar untuk penjualan buku sastra," ujarnya.
Sedikitnya sudah 30 buku terjual melalu situs jejaring sosial ini.
Caranya dengan mengirimkan kover buku dan harganya ke sejumlah Facebooker. Plus mencantumkan kutipan bagian-bagian puisi dalam buku dan mengubah statusnya dalam beberapa hari. "Ternyata cara ini cukup ampuh. Banyak Facebooker yang memesan," ujarnya.
Untuk mempercantik wajah, sampul buku ini didesain secara apik bergambar copy lukisan karya Dirot Kadirah, pelukis Jakarta, yang karyanya masuk bursa pelukis termahal. "Saya bangga bisa bekerja sama dengan Dirot. Dia mau menyumbangkan karya lukisnya untuk sampul buku saya dengan gratis. Saya anggap inilah bagian dari pertemanan, sebuah kolaborasi," kata dia.
Sementara mengenai puisi-puisi Isbedy, kritikus dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Sunu Wasono menilai secara keseluruhan sajak-sajak Isbedy bernada serius. Mungkin hal itu disebabkan Isbedy cenderung menjadi seorang perenung sehingga di matanya persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjelma sajak-sajak serius yang jauh dari nada humor atau main-main. "Dengan pilihannya itu, Isbedy telah menunjukkan sebagai penyair berkelas yang laik diperhitungkan," kata Sunu.
Buku puisi Anjing Dini Hari rencananya diluncurkan di Bandar Lampung. Namun, kepastian tanggal dan waktunya belum ditentukan. "Saya masih menjajaki kerja sama atau ada orang yang mau menjadi funding dalam peluncuran ini. Saya tak memilih orang dari lingkungan mana: pengusaha, politisi, aktivis, ataupun pemerintah," ujarnya.
Setelah peluncuran, Isbedy promosi ke Palembang dan Lubuklinggau. "Tapi tak menutup kemungkinan juga disosialisasikan di Jambi dan Babel," kata Isbedy yang terakhir menerbitkan buku puisi pada 2008 Setiap Baris Hujan ini. (AST/L-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 25 Maret 2010
HUT Lampung DKL Gelar Festival Lagu Keroncong Lampung
JAKARTA--Sebanyak 8 grup musik keroncong yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Kalimantan, Surabaya, Yogyakarta, DKI, Bandung, dan Bogor mengikuti Festival Lagu Lampung versi Keroncong tingkat nasional. Kegiatan dalam rangka memeriahkan HUT ke-46 Lampung tersebut digelar di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Sabtu (20-3) lalu.
Menurut koordinator pelaksana, Entus Alrafi, selain lagu keroncong juga menggelar festival lagu pop Lampung tingkat anak-anak dan remaja, yang diikuti 30 peserta yang berasal dari Jabodetabek.
Entus menjelaskan kegiatan yang baru kali pertama ini digelar Sekretariat Badan Perwakilan Pemerintah Provinsi Lampung bekerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL), Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri), dan Anjungan TMII. Tujuannya untuk melestarikan keanekaragaman seni budaya Lampung dan memperkenalkan lagu Lampung ke tingkat nasional.
Sekaligus menjadikan lagu Lampung sebagai salah satu ragam lagu daerah nusantara yang dikenal masyarakat luas. "Kegiatan ini rencananya menjadi agenda tahunan," kata Entus, kemarin (24-3).
Entus mengatakan peserta festival terdiri dari 8 grup (10 orang dalam satu grup). Sebelumnya, setiap grup diwajibkan menyanyikan lagu khas daerah Lampung seperti Tungkung dan Pangli Panggang. Selanjutnya peserta menyanyikan lagu bebas seperti Keroncong Nusantara, Tanah Airku, dan sebagainya. "Semua lagu diiramakan dengan keroncong," ujar Entus.
Ia bersyukur kegiatan ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Dihadiri oleh 20 duta besar negara sahabat di antaranya Suriname, Afghanistan, Rusia, Belanda, Polandia, Slovakia, Jepang, Atase Perdagangan Jepang, Atase Perdagangan Taiwan, Asisten Bidang Administrasi Sekretaris Provinsi Lampung Irham Jafar Lan Putra.
Namun, Entus menyayangkan dalam festival tersebut perwakilan dari Lampung sendiri tidak ikut berpartisispasi. Hal tersebut, kata Entus, karena adanya hambatan mengenai masalah pendanaan. "Mudah-mudahan, untuk kegiatan selanjutnya, Lampung bisa berperan serta dan mampu merebut piala bergilir dari DKI Jakarta," ujarnya. (*/L-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 25 Maret 2010
Menurut koordinator pelaksana, Entus Alrafi, selain lagu keroncong juga menggelar festival lagu pop Lampung tingkat anak-anak dan remaja, yang diikuti 30 peserta yang berasal dari Jabodetabek.
Entus menjelaskan kegiatan yang baru kali pertama ini digelar Sekretariat Badan Perwakilan Pemerintah Provinsi Lampung bekerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL), Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri), dan Anjungan TMII. Tujuannya untuk melestarikan keanekaragaman seni budaya Lampung dan memperkenalkan lagu Lampung ke tingkat nasional.
Sekaligus menjadikan lagu Lampung sebagai salah satu ragam lagu daerah nusantara yang dikenal masyarakat luas. "Kegiatan ini rencananya menjadi agenda tahunan," kata Entus, kemarin (24-3).
Entus mengatakan peserta festival terdiri dari 8 grup (10 orang dalam satu grup). Sebelumnya, setiap grup diwajibkan menyanyikan lagu khas daerah Lampung seperti Tungkung dan Pangli Panggang. Selanjutnya peserta menyanyikan lagu bebas seperti Keroncong Nusantara, Tanah Airku, dan sebagainya. "Semua lagu diiramakan dengan keroncong," ujar Entus.
Ia bersyukur kegiatan ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Dihadiri oleh 20 duta besar negara sahabat di antaranya Suriname, Afghanistan, Rusia, Belanda, Polandia, Slovakia, Jepang, Atase Perdagangan Jepang, Atase Perdagangan Taiwan, Asisten Bidang Administrasi Sekretaris Provinsi Lampung Irham Jafar Lan Putra.
Namun, Entus menyayangkan dalam festival tersebut perwakilan dari Lampung sendiri tidak ikut berpartisispasi. Hal tersebut, kata Entus, karena adanya hambatan mengenai masalah pendanaan. "Mudah-mudahan, untuk kegiatan selanjutnya, Lampung bisa berperan serta dan mampu merebut piala bergilir dari DKI Jakarta," ujarnya. (*/L-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 25 Maret 2010
March 24, 2010
Sejarah: Perlindungan Naskah Melayu di Malaysia Minim
Bandar Lampung, Kompas - Upaya pemerintah untuk melindungi benda-benda bersejarah, khususnya naskah-naskah kuno, dinilai masih minim. Akibatnya, beberapa naskah kuno melayu Tanah Air kini dikoleksi Malaysia.
”Naskah-naskah dari Riau, Padang, Kalimantan, sebagian telah dibeli Malaysia. Uang yang mereka tawarkan sangat banyak sehingga mudah membeli naskah-naskah itu. Kadang, bisa sekarung (uang),” ungkap Titik Pudjiastuti, filolog-kodikologi dari Universitas Indonesia di sela-sela Seminar Penelusuran Sejarah Lampung di Museum Negeri Lampung, Selasa (23/3).
”Yang dicari biasanya naskah-naskah sejarah melayu dan kesusatraan. Yang soal keagamaan macam fikih biasanya tidak dilirik,” ujarnya. Naskah-naskah ini banyak tersimpan di Perpustakaan Negara Malaysia.
Ia mengungkapkan, praktik jual beli benda cagar budaya, termasuk naskah-naskah kuno, meski jelas dilarang, tetapi kenyataannya terjadi. Tidak jarang ditawarkan terbuka. ”Pernah saya ditugasi Kementerian Budaya dan Pariwisata untuk menengok naskah Serat Centhini yang mau dijual di Aceh Rp 3 miliar. Iklannya di koran,” ujarnya.
Pemerintah, melalui Perpustakaan Nasional, akhir-akhir ini berupaya keras melindungi naskah-naskah kuno ini dengan cara membelinya. Namun, dananya tidak sebanding dengan uang dari pihak asing, terutama Malaysia.
”Di kita, satu naskah biasanya hanya Rp 2 juta-Rp 3 juta. Itu pun dilihat kondisinya,” ujarnya. Ia mengatakan, langkah terbaik adalah memberikan pengertian akan pentingnya benda-benda itu bagi negara. ”Tidak bisa main kasar, diminta paksa. Tetapi, harus dengan pendekatan. Disampaikan bahwa lebih baik benda ini disimpan di museum dan mendapat penggantian secukupnya daripada dikoleksi negara luar yang berakibat kehilangan harga diri dan tidak bisa dilihat lagi,” ungkapnya.
Dalam kesempatan sama, Prof Edi Sedyawati, filolog lainnya dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, lambat laun bukan tidak mungkin aksara-aksara Nusantara yang pernah ada akan punah. ”Dari segi artefak, sudah banyak naskah kuno kita yang hilang, dimiliki asing. Di lain pihak, penggunanya semakin berkurang,” ujarnya. (JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Maret 2010
”Naskah-naskah dari Riau, Padang, Kalimantan, sebagian telah dibeli Malaysia. Uang yang mereka tawarkan sangat banyak sehingga mudah membeli naskah-naskah itu. Kadang, bisa sekarung (uang),” ungkap Titik Pudjiastuti, filolog-kodikologi dari Universitas Indonesia di sela-sela Seminar Penelusuran Sejarah Lampung di Museum Negeri Lampung, Selasa (23/3).
”Yang dicari biasanya naskah-naskah sejarah melayu dan kesusatraan. Yang soal keagamaan macam fikih biasanya tidak dilirik,” ujarnya. Naskah-naskah ini banyak tersimpan di Perpustakaan Negara Malaysia.
Ia mengungkapkan, praktik jual beli benda cagar budaya, termasuk naskah-naskah kuno, meski jelas dilarang, tetapi kenyataannya terjadi. Tidak jarang ditawarkan terbuka. ”Pernah saya ditugasi Kementerian Budaya dan Pariwisata untuk menengok naskah Serat Centhini yang mau dijual di Aceh Rp 3 miliar. Iklannya di koran,” ujarnya.
Pemerintah, melalui Perpustakaan Nasional, akhir-akhir ini berupaya keras melindungi naskah-naskah kuno ini dengan cara membelinya. Namun, dananya tidak sebanding dengan uang dari pihak asing, terutama Malaysia.
”Di kita, satu naskah biasanya hanya Rp 2 juta-Rp 3 juta. Itu pun dilihat kondisinya,” ujarnya. Ia mengatakan, langkah terbaik adalah memberikan pengertian akan pentingnya benda-benda itu bagi negara. ”Tidak bisa main kasar, diminta paksa. Tetapi, harus dengan pendekatan. Disampaikan bahwa lebih baik benda ini disimpan di museum dan mendapat penggantian secukupnya daripada dikoleksi negara luar yang berakibat kehilangan harga diri dan tidak bisa dilihat lagi,” ungkapnya.
Dalam kesempatan sama, Prof Edi Sedyawati, filolog lainnya dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, lambat laun bukan tidak mungkin aksara-aksara Nusantara yang pernah ada akan punah. ”Dari segi artefak, sudah banyak naskah kuno kita yang hilang, dimiliki asing. Di lain pihak, penggunanya semakin berkurang,” ujarnya. (JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Maret 2010
March 23, 2010
Lomba 1001 Buah 'Berenuk': Buah 'Sumpah Palapa'
BANDAR LAMPUNG--Hari beranjak siang saat teras berubin marmer merah tua yang mengelilingi Museum Lampung mulai dipenuhi anak-anak berseragam sekolah duduk bersimpuh. Sebelah tangan mereka memegang benda bulat berwarna cokelat, tangan satunya memegang kuas.
"Bu, gajah ini bagusnya warna apa, ya?" kata seorang anak kepada ibu di sebelahnya yang berpakaian seragam PNS.
Dengan serius sang anak menyapu bidang demi bidang kosong pada benda bulat itu dengan berbagai cat warna. Sedikit demi sedikit, sebuah motif khas Lampung--tapis dan gajah, menghiasi benda bulat warna cokelat yang ternyata buah berenuk (crescentia cujete).
Demikian susana lomba lukis 1001 Buah Berenuk yang digelar Museum Lampung pada launching Tahun Kunjung Museum 2010, Senin (22-3). Ribuan siswa SD, SMP, dan SMA yang menjadi peserta memadati kompleks museum dengan aktivitas serupa, melukis buah berenuk. Untuk acara lomba lukis tersebut, panitia menyiapkan lebih dari 1100 buah berenuk.
Buah berenuk secara historis akrab dengan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Tak terkecuali Lampung, buah berenuk itu dikenal dengan nama yabaw kayau.
Namun, ternyata melukis dengan media buah berenuk tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu diakui sejumlah peserta, misalnya Mayang, yang duduk di kelas V SD 1 Pringsewu. Dia mengikuti lomba bersama empat orang teman satu sekolahnya. "Susah gambarnya. Bulet, sih. Saya biasa melukis di kertas," kata Mayang sambil terus melukis buah berenuk dengan serius.
Sisna, pelukis asal Pringsewu, menjadi pembimbing Mayang dan teman-temannya, mengatakan buah berenuk memiliki karakter khas untuk menjadi media lukisan. Disebabkan bulat dan tidak rata, anak-anak agak kesulitan melukisnya.
Bahkan untuk latihan, Mayang dan teman-temannya yang mengikuti lomba sudah menghabiskan sekitar lima puluh berenuk. "Satu hari sepuluh buah. Anak-anak latihan selama lima hari. Kami nyari di kuburan, karena tidak ada yang jual," kata Sisna.
Hal serupa juga dikatakan oleh Sasya, murid kelas XI SMA 1 Bandar Lampung. Sasya bersama delapan orang teman satu sekolah mengikuti lomba tersebut. Untuk mengikuti lomba itu, Sasya tidak berlatih pada buah berenuk dahulu. "Susah nyari buahnya. Mau nyari di kuburan ngeri," ujar Sasya sambil tertawa kecil.
Buah yang tidak lazim dimakan itu, kata Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, jika diolah baik bisa menjadi barang bernilai seni tinggi, seperti topeng, hiasan dinding, atau alat musik. "Dengan lomba lukisan buah berenuk ini, kami coba membuat buah berenuk menjadi salah satu kerajinan khas Lampung. Karena pohon buah berenuk banyak ditemui di Lampung ini," kata Pulung.
Sebenarnya, kata Pulung, lomba lukis 1001 Buah Berenuk hendak dimasukkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Karena jumlahnya yang terlalu sedikit untuk masuk catatan rekor--minimal 15 ribu peserta, maka Pulung lebih berharap kepada keunikannya.
Buah berenuk yang juga kerap dianggap buah maja, jika dilihat secara antropologis sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan nenek moyang dahulu. Sedangkan dari segi filosofis, buah berenuk, kata Pulung, sangat kental dengan sikap-sikap adilihung yang dijunjung oleh bangsa Indonesia. Tergambar dari sumpah Mahapatih Majapahit Gadjah Mada denagn Sumpah Palapa yang diucapkan terkait dengan buah itu. (TRI PURNA JAYA/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Maret 2010
"Bu, gajah ini bagusnya warna apa, ya?" kata seorang anak kepada ibu di sebelahnya yang berpakaian seragam PNS.
Dengan serius sang anak menyapu bidang demi bidang kosong pada benda bulat itu dengan berbagai cat warna. Sedikit demi sedikit, sebuah motif khas Lampung--tapis dan gajah, menghiasi benda bulat warna cokelat yang ternyata buah berenuk (crescentia cujete).
Demikian susana lomba lukis 1001 Buah Berenuk yang digelar Museum Lampung pada launching Tahun Kunjung Museum 2010, Senin (22-3). Ribuan siswa SD, SMP, dan SMA yang menjadi peserta memadati kompleks museum dengan aktivitas serupa, melukis buah berenuk. Untuk acara lomba lukis tersebut, panitia menyiapkan lebih dari 1100 buah berenuk.
Buah berenuk secara historis akrab dengan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Tak terkecuali Lampung, buah berenuk itu dikenal dengan nama yabaw kayau.
Namun, ternyata melukis dengan media buah berenuk tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu diakui sejumlah peserta, misalnya Mayang, yang duduk di kelas V SD 1 Pringsewu. Dia mengikuti lomba bersama empat orang teman satu sekolahnya. "Susah gambarnya. Bulet, sih. Saya biasa melukis di kertas," kata Mayang sambil terus melukis buah berenuk dengan serius.
Sisna, pelukis asal Pringsewu, menjadi pembimbing Mayang dan teman-temannya, mengatakan buah berenuk memiliki karakter khas untuk menjadi media lukisan. Disebabkan bulat dan tidak rata, anak-anak agak kesulitan melukisnya.
Bahkan untuk latihan, Mayang dan teman-temannya yang mengikuti lomba sudah menghabiskan sekitar lima puluh berenuk. "Satu hari sepuluh buah. Anak-anak latihan selama lima hari. Kami nyari di kuburan, karena tidak ada yang jual," kata Sisna.
Hal serupa juga dikatakan oleh Sasya, murid kelas XI SMA 1 Bandar Lampung. Sasya bersama delapan orang teman satu sekolah mengikuti lomba tersebut. Untuk mengikuti lomba itu, Sasya tidak berlatih pada buah berenuk dahulu. "Susah nyari buahnya. Mau nyari di kuburan ngeri," ujar Sasya sambil tertawa kecil.
Buah yang tidak lazim dimakan itu, kata Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, jika diolah baik bisa menjadi barang bernilai seni tinggi, seperti topeng, hiasan dinding, atau alat musik. "Dengan lomba lukisan buah berenuk ini, kami coba membuat buah berenuk menjadi salah satu kerajinan khas Lampung. Karena pohon buah berenuk banyak ditemui di Lampung ini," kata Pulung.
Sebenarnya, kata Pulung, lomba lukis 1001 Buah Berenuk hendak dimasukkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Karena jumlahnya yang terlalu sedikit untuk masuk catatan rekor--minimal 15 ribu peserta, maka Pulung lebih berharap kepada keunikannya.
Buah berenuk yang juga kerap dianggap buah maja, jika dilihat secara antropologis sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan nenek moyang dahulu. Sedangkan dari segi filosofis, buah berenuk, kata Pulung, sangat kental dengan sikap-sikap adilihung yang dijunjung oleh bangsa Indonesia. Tergambar dari sumpah Mahapatih Majapahit Gadjah Mada denagn Sumpah Palapa yang diucapkan terkait dengan buah itu. (TRI PURNA JAYA/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Maret 2010
HUT KE-46 Provinsi Lampung: Gubernur Imbau Benda Purbakala Diserahkan ke Museum
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengimbau masyarakat yang menyimpan benda purbakala khas Lampung agar menyerahkan ke Museum Lampung. Hal itu disampaikan Gubernur saat membuka Tahun Kunjungan Museum 2010 di Bandar Lampung, Senin (22-3).
Selain bisa menambah keanekaragaman, kata dia, hal ini juga dapat melindungi benda purbakala dari kepunahan. "Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Benda purbakala bagian dari sejarah Lampung. Kalau benda disimpan di museum dapat lebih terpelihara bentuk aslinya dibandingkan di rumah," kata Sjachroedin.
Adapun tema acara itu ialah Museum di hatiku, cinta budaya peduli museum. Pencanangan itu juga sekaligus memperingati HUT ke-46 Provinsi Lampung.
Sementara itu, sembilan provinsi di Indonesia ikut memamerkan aksara tradisionalnya dalam ajang tersebut hingga Sabtu (27-3). Aksara yang dipamerkan itu yang digunakan masyarakat sejak abad VI--IX. Kesembilan provinsi adalah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Dalam pameran tersebut, Lampung menampilkan aksara tradisional yang dituangkan dalam beberapa naskah seperti kulit kayu, tanduk, dan bilah bambu.
Sekretaris Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso mengatakan kegiatan sejarah ini harus sering digelar agar masyarakat mengetahui bagaimana aksara aslinya.
"Kita jangan menganggap remeh aksara tradisional. Aksara ini menjadi rumusan beragam bahasa sebagai media dalam mengembangkan informasi dan pengetahuan masyarakat dari setiap zaman," kata Soeroso kemarin.
Berbagai kegiatan digelar dalam acara itu di antaranya lomba melukis yang diikuti 1.001 siswa SD/SMP dan SMA se-Lampung dengan menggunakan media buah maja. Buah maja dapat dibuat beberapa suvenir, seperti biola, gitar kecil, dan stupa.
Selain itu, panitia juga menggelar lomba dongeng cerita rakyat Lampung, lomba menulis indah aksara Lampung, dan seminar sehari dengan tema Penelusuran sejarah aksara Lampung dan korelasinya dengan daerah lain di Indonesia. (MG3/R-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Maret 2010
Selain bisa menambah keanekaragaman, kata dia, hal ini juga dapat melindungi benda purbakala dari kepunahan. "Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Benda purbakala bagian dari sejarah Lampung. Kalau benda disimpan di museum dapat lebih terpelihara bentuk aslinya dibandingkan di rumah," kata Sjachroedin.
Adapun tema acara itu ialah Museum di hatiku, cinta budaya peduli museum. Pencanangan itu juga sekaligus memperingati HUT ke-46 Provinsi Lampung.
Sementara itu, sembilan provinsi di Indonesia ikut memamerkan aksara tradisionalnya dalam ajang tersebut hingga Sabtu (27-3). Aksara yang dipamerkan itu yang digunakan masyarakat sejak abad VI--IX. Kesembilan provinsi adalah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Dalam pameran tersebut, Lampung menampilkan aksara tradisional yang dituangkan dalam beberapa naskah seperti kulit kayu, tanduk, dan bilah bambu.
Sekretaris Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso mengatakan kegiatan sejarah ini harus sering digelar agar masyarakat mengetahui bagaimana aksara aslinya.
"Kita jangan menganggap remeh aksara tradisional. Aksara ini menjadi rumusan beragam bahasa sebagai media dalam mengembangkan informasi dan pengetahuan masyarakat dari setiap zaman," kata Soeroso kemarin.
Berbagai kegiatan digelar dalam acara itu di antaranya lomba melukis yang diikuti 1.001 siswa SD/SMP dan SMA se-Lampung dengan menggunakan media buah maja. Buah maja dapat dibuat beberapa suvenir, seperti biola, gitar kecil, dan stupa.
Selain itu, panitia juga menggelar lomba dongeng cerita rakyat Lampung, lomba menulis indah aksara Lampung, dan seminar sehari dengan tema Penelusuran sejarah aksara Lampung dan korelasinya dengan daerah lain di Indonesia. (MG3/R-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Maret 2010
March 22, 2010
Unila Panggil Ahli Madya Bahasa Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Unila akan memanggil kembali 600-an ahli madya (lulusan D-3) Bahasa Lampung untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa daerah di sekolah.
Admi Syarif, salah satu pengelola Pusat Studi Budaya Lampung yang bernaung di bawah Lembaga Penelitian (LP) Unila, mengatakan hal itu kepada Lampung Post, Minggu (21-3).
Menurut Admi, pemanggilan kembali ahli madya Bahasa Lampung tersebut disepakati usai dengar pendapat Komisi V DPRD Provinsi Lampung, pekan lalu.
"Saat itu hadir Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung Yandri Nazir, Sekretaris Achmad Nyerupa, Rektor Unila Sugeng P. Harianto, dan Pembantu Rektor IV Satria Bangsawan," kata Admi.
Ia menjelaskan pertemuan itu bertujuan meningkatkan peran Unila dalam pelestarian bahasa dan budaya Lampung. Para ahli madya Bahasa Daerah diharapkan menjadi guru di sekolah yang membutuhkan pendidik bahasa daerah.
Menurut Admi, sejak dibuka Program Studi (Prodi) Bahasa Lampung pada 1989--1999, Unila sudah meluluskan sekitar 800 orang. Namun, hingga saat ini, lulusan itu belum terserap optimal.
Apalagi, prodi tersebut berbeda dengan prodi lain, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Sejarah yang lulusannya bisa diterima hampir di setiap provinsi. Sementara lulusan Prodi Bahasa dan Sastra Lampung hanya untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Lampung.
Admi menjelaskan sebetulnya Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila tidak menerima mahasiswa baru sejak tiga tahun, tepatnya tahun akademik 2005/2006.
Menurut dia, ditutupnya prodi ini bukan lantaran minimnya peminat. "Karena setiap tahun kuota kami hanya mampu menampung 40 mahasiswa, sementara yang mendaftar mencapai sekitar 300 orang."
Yang menyebabkan ditutupnya prodi ini salah satunya karena alumni jarang terserap sebagai tenaga pendidik bahasa Lampung lantaran formasinya minim.
Untuk itu, Komisi V DPRD Provinsi Lampung bersedia menjembatani terserapnya alumni D-3 Bahasa Lampung. Caranya, DPRD akan mempertemukan seluruh kepala dinas, baik provinsi maupun kabupaten kota.
"Sementara Unila akan mengupayakan kembali pembentukan program studi sarjana (S-1) bahasa Lampung di FKIP Unila. Seraya memanggil kembali para lulusannya," kata dia.
Admi mengatakan mereka nantinya dipanggil, didata, dan dididik kembali selama enam bulan. Sementara Komisi V DPRD dan dinas akan mengupayakan formasi guru bahasa Lampung tahun ini juga.
"Sepertinya beberapa kali ekspose di media tentang krisis budaya, terutama bahasa Lampung, cukup mendapat perhatian Dewan, dan kini telah menghasilkan beberapa aksi konkret untuk pengembangan bahasa Lampung ke depan," kata dia. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Maret 2010
Admi Syarif, salah satu pengelola Pusat Studi Budaya Lampung yang bernaung di bawah Lembaga Penelitian (LP) Unila, mengatakan hal itu kepada Lampung Post, Minggu (21-3).
Menurut Admi, pemanggilan kembali ahli madya Bahasa Lampung tersebut disepakati usai dengar pendapat Komisi V DPRD Provinsi Lampung, pekan lalu.
"Saat itu hadir Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung Yandri Nazir, Sekretaris Achmad Nyerupa, Rektor Unila Sugeng P. Harianto, dan Pembantu Rektor IV Satria Bangsawan," kata Admi.
Ia menjelaskan pertemuan itu bertujuan meningkatkan peran Unila dalam pelestarian bahasa dan budaya Lampung. Para ahli madya Bahasa Daerah diharapkan menjadi guru di sekolah yang membutuhkan pendidik bahasa daerah.
Menurut Admi, sejak dibuka Program Studi (Prodi) Bahasa Lampung pada 1989--1999, Unila sudah meluluskan sekitar 800 orang. Namun, hingga saat ini, lulusan itu belum terserap optimal.
Apalagi, prodi tersebut berbeda dengan prodi lain, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Sejarah yang lulusannya bisa diterima hampir di setiap provinsi. Sementara lulusan Prodi Bahasa dan Sastra Lampung hanya untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Lampung.
Admi menjelaskan sebetulnya Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila tidak menerima mahasiswa baru sejak tiga tahun, tepatnya tahun akademik 2005/2006.
Menurut dia, ditutupnya prodi ini bukan lantaran minimnya peminat. "Karena setiap tahun kuota kami hanya mampu menampung 40 mahasiswa, sementara yang mendaftar mencapai sekitar 300 orang."
Yang menyebabkan ditutupnya prodi ini salah satunya karena alumni jarang terserap sebagai tenaga pendidik bahasa Lampung lantaran formasinya minim.
Untuk itu, Komisi V DPRD Provinsi Lampung bersedia menjembatani terserapnya alumni D-3 Bahasa Lampung. Caranya, DPRD akan mempertemukan seluruh kepala dinas, baik provinsi maupun kabupaten kota.
"Sementara Unila akan mengupayakan kembali pembentukan program studi sarjana (S-1) bahasa Lampung di FKIP Unila. Seraya memanggil kembali para lulusannya," kata dia.
Admi mengatakan mereka nantinya dipanggil, didata, dan dididik kembali selama enam bulan. Sementara Komisi V DPRD dan dinas akan mengupayakan formasi guru bahasa Lampung tahun ini juga.
"Sepertinya beberapa kali ekspose di media tentang krisis budaya, terutama bahasa Lampung, cukup mendapat perhatian Dewan, dan kini telah menghasilkan beberapa aksi konkret untuk pengembangan bahasa Lampung ke depan," kata dia. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Maret 2010
Pendidikan: Pemkot Kesulitan Guru Bahasa Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemkot Bandar Lampung kesulitan mendapatkan guru Bahasa Lampung. Sehingga, pada penerimaan calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) 2010, formasi itu bakal masuk lagi.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bandar Lampung Kusmardiyantio, saat ditemui, Jumat (19-3), mengatakan kebutuhan itu masih data sementara. Saat ini pihaknya masih menunggu data kepastian jumlah PNS yang dibutuhkan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.
"Kami juga masih perlu rapat dengan BKD Provinsi," kata dia.
Pemkot, kata Kusmardiyanto, membutuhkan banyak guru, terutama guru Bahasa Lampung. Sudah dua tahun Pemkot mencari guru Bahasa Lampung, tidak pernah dapat. Pemkot juga membutuhkan guru Penjaskes dan guru mesin kapal. "Mengenai guru bahasa Lampung, bagusnya apa. Apa perlu diturunkan standarnya jadi D-3," kata Kusmardiyanto.
Selain itu, kata Kusmardiyanto, Pemkot juga banyak membutuhkan tenaga kesehatan. Mereka akan ditempatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung, termasuk juga kebutuhan tenaga administrasi kesehatan pada rumah sakit itu. "Mengenai jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan, masih menunggu informasi dari Dinas Kesehatan," kata Kusmardiyanto.
Pada penerimaan PNS tahun 2009 lalu ada tiga dokter gigi yang tidak mendaftar ulang. Untuk itu, Pemkot akan menyampaikan ulang kebutuhan dokter pada penerimaan CPNSD 2010. (MG2/U-3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Maret 2010
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bandar Lampung Kusmardiyantio, saat ditemui, Jumat (19-3), mengatakan kebutuhan itu masih data sementara. Saat ini pihaknya masih menunggu data kepastian jumlah PNS yang dibutuhkan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.
"Kami juga masih perlu rapat dengan BKD Provinsi," kata dia.
Pemkot, kata Kusmardiyanto, membutuhkan banyak guru, terutama guru Bahasa Lampung. Sudah dua tahun Pemkot mencari guru Bahasa Lampung, tidak pernah dapat. Pemkot juga membutuhkan guru Penjaskes dan guru mesin kapal. "Mengenai guru bahasa Lampung, bagusnya apa. Apa perlu diturunkan standarnya jadi D-3," kata Kusmardiyanto.
Selain itu, kata Kusmardiyanto, Pemkot juga banyak membutuhkan tenaga kesehatan. Mereka akan ditempatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung, termasuk juga kebutuhan tenaga administrasi kesehatan pada rumah sakit itu. "Mengenai jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan, masih menunggu informasi dari Dinas Kesehatan," kata Kusmardiyanto.
Pada penerimaan PNS tahun 2009 lalu ada tiga dokter gigi yang tidak mendaftar ulang. Untuk itu, Pemkot akan menyampaikan ulang kebutuhan dokter pada penerimaan CPNSD 2010. (MG2/U-3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Maret 2010
Sembilan Provinsi Ikut Pameran Aksara Nusantara
Bandarlampung (ANTARA News) - Sembilan provinsi di Tanah Air mengikuti pameran pelangi aksara nusantara di Museum Negeri Provinsi Lampung, pada 22 hingga 27 Maret 2010.
Kepala Museum Negeri Provinsi Lampung, Pulung Suwandaru, di Bandarlampung, Senin, mengatakan bahwa kesembilan provinsi itu Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan dan Lampung sebagai tuan rumah.
"Digelarnya pameran aksara itu menunjukkan adanya satu keinginan, satu tekad dan satu tujuan utama untuk melestarikan budaya lokal sekaligus menyelamtkan budaya nasional," katanya.
Ia menyebutkan, gelaran pameran aksara kuno itu juga dalam rangka pencanangan tahun kunjungan museum 2010.
Selain itu, Museum Lampung juga menggelar seminar sehari (22/3) bertema "Penelusuran sejarah aksara Lampung dan korelasinya dengan daerah lain".
Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, mengatakan bahwa pameran pelangi aksara nusantara sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya melestarikan seni budaya bangsa.
Ia mengharapkan, pameran itu akan menjadi sarana yang efektif untuk mengaplikasikan aksara nusantara dalam kehidupan masyarakat di daerah masing-masing.
"Aksara kuno nusantara perlu dilestarikan dengan komitmen bersama agar nilai budaya itu dapat dipelajari," ujar gubernur Lampung.
Pada kesempatan itu juga dicanangkan tahun kunjungan museum Provinsi Lampung 2010 dengan tema "Museum dihatiku, cinta budaya peduli museum".
Acara pencanangan kunjungan museum itu juga sekaligus memperingati HUT ke-46 Provinsi Lampung.
Berbagai kegiatan digelar dalam acara itu diantaranya lomba melukis yang diikuti 1.001 siswa SD/SMP dan SMA se-Lampung dengan menggunakan media buah bernuk atau maja.
Buah maja dapat dibuat beberapa alat kesenian seperti, biola, gitar kecil, stupa, dan bentuk bentuk cendera mata unik lainnya.
Sumber: Antara, Senin, 22 Maret 2010
Kepala Museum Negeri Provinsi Lampung, Pulung Suwandaru, di Bandarlampung, Senin, mengatakan bahwa kesembilan provinsi itu Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan dan Lampung sebagai tuan rumah.
"Digelarnya pameran aksara itu menunjukkan adanya satu keinginan, satu tekad dan satu tujuan utama untuk melestarikan budaya lokal sekaligus menyelamtkan budaya nasional," katanya.
Ia menyebutkan, gelaran pameran aksara kuno itu juga dalam rangka pencanangan tahun kunjungan museum 2010.
Selain itu, Museum Lampung juga menggelar seminar sehari (22/3) bertema "Penelusuran sejarah aksara Lampung dan korelasinya dengan daerah lain".
Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, mengatakan bahwa pameran pelangi aksara nusantara sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya melestarikan seni budaya bangsa.
Ia mengharapkan, pameran itu akan menjadi sarana yang efektif untuk mengaplikasikan aksara nusantara dalam kehidupan masyarakat di daerah masing-masing.
"Aksara kuno nusantara perlu dilestarikan dengan komitmen bersama agar nilai budaya itu dapat dipelajari," ujar gubernur Lampung.
Pada kesempatan itu juga dicanangkan tahun kunjungan museum Provinsi Lampung 2010 dengan tema "Museum dihatiku, cinta budaya peduli museum".
Acara pencanangan kunjungan museum itu juga sekaligus memperingati HUT ke-46 Provinsi Lampung.
Berbagai kegiatan digelar dalam acara itu diantaranya lomba melukis yang diikuti 1.001 siswa SD/SMP dan SMA se-Lampung dengan menggunakan media buah bernuk atau maja.
Buah maja dapat dibuat beberapa alat kesenian seperti, biola, gitar kecil, stupa, dan bentuk bentuk cendera mata unik lainnya.
Sumber: Antara, Senin, 22 Maret 2010
Museum Lampung Dayagunakan Nilai Budaya Buah Brenuk
Bandarlampung, 22/3 (ANTARA) - Museum Lampung bertekad mendayagunakan nilai budaya dari buah brenuk atau buah maja (Aegle Marmelos Correa), sekaligus meningkatkan nilai ekonomi masyarakat melalui kreasi dengan media buah tersebut.
"Saya bercita-cita menjadikan buah brenuk sebagai 'trademark' khas Lampung, yang dapat dijadikan berbagai macam kerajinan, dan museum dapat menjadi pionir untuk mewujudkan cita-cita tersebut," kata Kepala Museum Lampung, Pulung Suwandaru, di Bandarlampung, Senin.
Lomba melukis pada 1001 buah brenuk merupakan bagian kegiatan dari rangkaian acara Pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010, yang dilakukan oleh Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP.
Dia berharap, lomba lukis 1001 buah brenuk itu dapat dijadikan momentum, dan didukung oleh instansi lain yang lain, seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, dan Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan.
"Saya harap Gubernur Lampung dapat menangkap visi ini, dan meneruskannya kepada instansi-instansi tersebut," kata dia.
Visi untuk meningkatkan nilai budaya buah brenuk itu, berawal dari keprihatinan Pulung terhadap banyaknya buah brenuk tumbuh di Lampung, yang menurutnya belum termanfaatkan dengan baik.
"Saya mencoba membuatnya menjadi alat musik, dan menjadikannya sebagai media melukis, ternyata bisa, saya kemudian berfikir, kenapa tidak sekalian dijadikan komoditi untuk meningkatkan hasrat hidup orang banyak," kata dia.
Pulung menerangkan, di Lampung, buah brenuk banyak tumbuh di semua kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Melalui kreativitas Pulung, yang juga seniman itu, buah brenuk dapat dijadikan sebagai kap lampu, tempat tisu, vas bunga, topeng, berbagai alat musik seperti gambus, balak, rebab, kendang, biola, dan gitar petik.
"Ternyata buah tersebut dapat dijadikan berbagai macam kreasi seni, atas dasar pemikiran itu saya berfikir untuk menjadikan brenuk sebagai bahan yang dapat menjadi ikon Lampung, yang momennya saya dapatkan pada peluncuran Tahun Kunjungan Museum 2010 itu," kata Pulung.
Museum Lampung mencanangkan "Tahun Kunjung Museum 2010", untuk mendukung pencanangan gerakan nasional cinta museum 2010-2014.
Selain pencanangan, acara juga diisi dengan perkenalan lagu jingle "Museum di hatiku", pembukaan Pameran pelangi aksara nusantara, lomba melukis pada 1001 buah bernuk, pameran kreasi seni buah bernuk, dan tarian persembahan tentang brenuk.
Pameran Pelangi Aksara Nusantara, yang dilaksanakan selama lima hari, hingga Sabtu (27/3), diikuti oleh Museum Aceh, Sumatra Utara, bengkulu, Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan, yang memiliki aksara tradisional.
"Kami menargetkan pengunjung museum akan mencapai 10 ribu orang selama pameran berlangsung," kata Pulung.
Pameran tersebut akan menampilkan koleksi filologi terbaik sembilan museum dengan ciri khas aksara yang ditulis pada media kayu, tanduk, bilah bambu, prasasti, kulit hewan, rotan, bambu, dan kertas; Informasi sejarah perkembangan dan fungsi aksara lokal dan nusantara, yang disajikan dalam bentuk tabes, dan katalog, yang jumlahya mencapai 59 koleksi.
Selain itu, panitia juga melakukan lomba dongeng cerita rakyat Lampung dan lomba menulis indah aksara Lampung, dan Seminar sehari dengan tema penelusuran sejarah aksara lampung dan korelasinya dengan daerah lain di Indonesia.
Sumber: Antara, 22 Maret 2010
"Saya bercita-cita menjadikan buah brenuk sebagai 'trademark' khas Lampung, yang dapat dijadikan berbagai macam kerajinan, dan museum dapat menjadi pionir untuk mewujudkan cita-cita tersebut," kata Kepala Museum Lampung, Pulung Suwandaru, di Bandarlampung, Senin.
Lomba melukis pada 1001 buah brenuk merupakan bagian kegiatan dari rangkaian acara Pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010, yang dilakukan oleh Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP.
Dia berharap, lomba lukis 1001 buah brenuk itu dapat dijadikan momentum, dan didukung oleh instansi lain yang lain, seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, dan Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan.
"Saya harap Gubernur Lampung dapat menangkap visi ini, dan meneruskannya kepada instansi-instansi tersebut," kata dia.
Visi untuk meningkatkan nilai budaya buah brenuk itu, berawal dari keprihatinan Pulung terhadap banyaknya buah brenuk tumbuh di Lampung, yang menurutnya belum termanfaatkan dengan baik.
"Saya mencoba membuatnya menjadi alat musik, dan menjadikannya sebagai media melukis, ternyata bisa, saya kemudian berfikir, kenapa tidak sekalian dijadikan komoditi untuk meningkatkan hasrat hidup orang banyak," kata dia.
Pulung menerangkan, di Lampung, buah brenuk banyak tumbuh di semua kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Melalui kreativitas Pulung, yang juga seniman itu, buah brenuk dapat dijadikan sebagai kap lampu, tempat tisu, vas bunga, topeng, berbagai alat musik seperti gambus, balak, rebab, kendang, biola, dan gitar petik.
"Ternyata buah tersebut dapat dijadikan berbagai macam kreasi seni, atas dasar pemikiran itu saya berfikir untuk menjadikan brenuk sebagai bahan yang dapat menjadi ikon Lampung, yang momennya saya dapatkan pada peluncuran Tahun Kunjungan Museum 2010 itu," kata Pulung.
Museum Lampung mencanangkan "Tahun Kunjung Museum 2010", untuk mendukung pencanangan gerakan nasional cinta museum 2010-2014.
Selain pencanangan, acara juga diisi dengan perkenalan lagu jingle "Museum di hatiku", pembukaan Pameran pelangi aksara nusantara, lomba melukis pada 1001 buah bernuk, pameran kreasi seni buah bernuk, dan tarian persembahan tentang brenuk.
Pameran Pelangi Aksara Nusantara, yang dilaksanakan selama lima hari, hingga Sabtu (27/3), diikuti oleh Museum Aceh, Sumatra Utara, bengkulu, Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan, yang memiliki aksara tradisional.
"Kami menargetkan pengunjung museum akan mencapai 10 ribu orang selama pameran berlangsung," kata Pulung.
Pameran tersebut akan menampilkan koleksi filologi terbaik sembilan museum dengan ciri khas aksara yang ditulis pada media kayu, tanduk, bilah bambu, prasasti, kulit hewan, rotan, bambu, dan kertas; Informasi sejarah perkembangan dan fungsi aksara lokal dan nusantara, yang disajikan dalam bentuk tabes, dan katalog, yang jumlahya mencapai 59 koleksi.
Selain itu, panitia juga melakukan lomba dongeng cerita rakyat Lampung dan lomba menulis indah aksara Lampung, dan Seminar sehari dengan tema penelusuran sejarah aksara lampung dan korelasinya dengan daerah lain di Indonesia.
Sumber: Antara, 22 Maret 2010
March 21, 2010
Ironis, Jejak Sejarah Lampung Banyak di Luar Negeri
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Sebagian naskah kuno dari Provinsi Lampung diketahui justru tersimpan di lembaga-lembaga asing di luar negeri. Penambahan koleksi benda-benda bersejarah di museum negeri Lampung terkendala terbatasnya dana.
Hal itu diungkapkan Pulung Swandaru, Kepala Museum Negeri Lampung Ruwai Jurai. Ia prihatin dengan kenyataan, ternyata banyak naskah kuno Lampung serta benda bersejarah lainnya yang dikoleksi bangsa asing.
"Terus terang, kita (Lampung) sangat miskin akan data-data mengenai sejarahnya. Sementara, sebagian naskah-naskah kuno kita justru ada di luar negeri, misalnya di Leiden (Belanda). Kalau seperti ini, ke depan, anak cucu kita tidak akan kebagian apa pun tentang kearifan lokal," ungkap Pulung khawatir.
Berdasarkan data Pemprov Lampung, naskah-nashah kuno ini tersebar di Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman. Di Amsterdam, belanda, misalnya, tercatat disimpan 40 buah naskah kuno dari bahan kulit kayu, rotan, dan kertas.
Di Leiden, setidaknya ada 5 buah naskah kuno yang disimpan bersama-sama koleksi dari Sumatera Selatan. Lalu, di Inggris, disimpan sepuluh buah naskah kuno Lampung yang dikumpulkan penelitinya, MA. Jaspan.
"Betapa, kita tidak berdaya untuk menambah koleksi, melindungi barang-barang bersejarah, dengan anggaran yang ada," ungkap Pulung. Anggaran pengadaan koleksi baru benda bersejarah di museum ini hanya Rp 40 70 juta pe tahun.
Ia mencontohkan, pernah suatu ketika pihaknya berniat membeli uang akuan eks karesidenan Lampung tahun 1958. Namun, si pemiliknya meminta uang ganti dengan harga yang sangat mencengangkan, yaitu Rp 200 juta.
"Padahal, dia itu PNS. Beginilah, orang asing dapat beli door to door ini (barang-barang bersejarah) kepada pemiliknya, karena punya dana yang banyak. Kadang, pemilik bersedia tukar dengan barang elektronik," tutur Bambang Sigit, Kepala Seksi Pelayanan Museum Ruwai Jurai Lampung.
Sumber: Oase Kompas.com, Minggu, 21 Maret 2010
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Sebagian naskah kuno dari Provinsi Lampung diketahui justru tersimpan di lembaga-lembaga asing di luar negeri. Penambahan koleksi benda-benda bersejarah di museum negeri Lampung terkendala terbatasnya dana.
Hal itu diungkapkan Pulung Swandaru, Kepala Museum Negeri Lampung Ruwai Jurai. Ia prihatin dengan kenyataan, ternyata banyak naskah kuno Lampung serta benda bersejarah lainnya yang dikoleksi bangsa asing.
"Terus terang, kita (Lampung) sangat miskin akan data-data mengenai sejarahnya. Sementara, sebagian naskah-naskah kuno kita justru ada di luar negeri, misalnya di Leiden (Belanda). Kalau seperti ini, ke depan, anak cucu kita tidak akan kebagian apa pun tentang kearifan lokal," ungkap Pulung khawatir.
Berdasarkan data Pemprov Lampung, naskah-nashah kuno ini tersebar di Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman. Di Amsterdam, belanda, misalnya, tercatat disimpan 40 buah naskah kuno dari bahan kulit kayu, rotan, dan kertas.
Di Leiden, setidaknya ada 5 buah naskah kuno yang disimpan bersama-sama koleksi dari Sumatera Selatan. Lalu, di Inggris, disimpan sepuluh buah naskah kuno Lampung yang dikumpulkan penelitinya, MA. Jaspan.
"Betapa, kita tidak berdaya untuk menambah koleksi, melindungi barang-barang bersejarah, dengan anggaran yang ada," ungkap Pulung. Anggaran pengadaan koleksi baru benda bersejarah di museum ini hanya Rp 40 70 juta pe tahun.
Ia mencontohkan, pernah suatu ketika pihaknya berniat membeli uang akuan eks karesidenan Lampung tahun 1958. Namun, si pemiliknya meminta uang ganti dengan harga yang sangat mencengangkan, yaitu Rp 200 juta.
"Padahal, dia itu PNS. Beginilah, orang asing dapat beli door to door ini (barang-barang bersejarah) kepada pemiliknya, karena punya dana yang banyak. Kadang, pemilik bersedia tukar dengan barang elektronik," tutur Bambang Sigit, Kepala Seksi Pelayanan Museum Ruwai Jurai Lampung.
Sumber: Oase Kompas.com, Minggu, 21 Maret 2010
March 18, 2010
Gubernur Lampung Beri Penghargaan Seniman
JAKARTA, KOMPAS.com- Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Kamis (18/3/2010), memberikan penghargaan kepada enam seniman Lampung, yang dinilai berprestasi dan berdedikasi tinggi menumbuhkembangkan seni-budaya. Penghargaan berupa piagam dan uang senilai Rp 2 juta ini merupakan yang pertama di Lampung.
"Penghargaan diberikan karena keenam seniman itu telah berbuat untuk kemajuan seni-budaya di Lampung dan di Indonesia, sekurang-kurangnya 10 tahun terakhir," kata Sjachroedin ZP.
Keenam seniman yang menerima penghargaan adalah Iswadi Pratama (teater), Edy Samudra Kertagama (sastra), Joko Irianta (lukis), Entus Alrafi (musik), Nani Rahayu (tari), dan Syapril Yamin (tradisi).
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti didampingi Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka, kepada Kompas mengatakan, penghargaan seniman Lampung didasari atas dedikasi dan prestasi selama 10 tahun terakhir, selain karya-karyanya mampu memberikan konstribusi bagi perkembangan seni budaya di daerah Lampung.
Untuk memilih para nomine penerima penghargaan, DKL menunjuk tim kurasi terdiri dari Dr Khaidarmansyah (Ketua merangkap anggota/Ketua Litbang DKL), Harry Jayaningrat, S.Sos, MM (Sekum DKL/sekretaris dan anggota), Dra Maysari Berty, Msi, Syaiful Irba Tanpaka, Isbedy Stiawan ZS, Dana E. Rachmat, dan Hermansyah GA sebagai anggota.
Tim kurasi memilih para nomine seniman yang akan memeroleh penghargaan berdasarkan bobot penilaian, yaitu kriteria umum seperti berdomisili di Provinsi Lampung, menekuni kesenian di bidangnya secara kerkelanjutan sekurangnya 10 tahun, memiliki karya sekurangnya karya, pernah mengikuti workshop/pelatihan/seminar/pertemuan minimal 3 kali dibuktikan dengan sertifikat/piagam di tingkat lokal/nasiona/internasional, memiliki karya yang tel ah dipublikasikan, dan mendapat apresiasi dari publik.
Kemudian, karya-karyanya mampu memberi kontribusi dalam memperkaya senibudaya Lampung dan memotivasi perkembangan di bidang seninya masing-masing. Selain itu ada kriteria khusus yang dinilai oleh kurasi. "Dalam mengkurasi itu, kami bertolok ukur dengan bobot nilai atau persentasi," jelas Khaidarmansyah.
Dia menjelaskan, penghargaan bagi seniman dari Gubernur Lampung dengan diberi nominal uang memang baru pertama kali ini. Karena itu dia berharap penghargaan seperti ini bisa berkesinambungan pada tahun-tahun mendatang. "Kami juga akan memverifikasi ulang kriteria penilaian supaya lebih sempurna. Sehingga tidak mengundang polemik setelah ditetapkan," lanjut Khaidar.
Sementara itu, Syaiful Irba Tanpaka menganggap penghargaan bagi seniman yang memiliki dedikasi dan prestasi di daerah ini sepatutnya masuk dalam program pemerintah setiap tahun pada HUT Provinsi Lampung yang dianggarkan melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. "Penghargaan itu setidaknya dapat memantik kreativitas para seniman, yang harus diakui memiliki kontribusi bagi pembangunan di daerah ini," ujar dia.
Melalui penghargaan seniman ini juga, Syaiful mengatakan, sekaligus menyadarkan seluruh seniman betapa pentingnya dokumentasi, seperti piagam/sertifikat serta kliping karya maupun pemberitaan media massa, di samping pemberian penghargaan diperluas dengan memberikan penghargaan pada Birokrat Peduli Kesenian, Pengusaha Peduli Kesenian dan penghargaan khusus kepada seniman berupa Life Achievement.
Sebab, dari sejumlah nomine yang dikurasi untuk mendapatkan penghargaan, hanya sedikit yang menyertakan bukti dengan penyertaan sertifikat/piagam atau pun pemberitaan media massa, dan audiovisual seperti DVD/VCD. Para kurator menjadikan pembuktian sebagai kewajiban. Karena itulah, dari bidang film untuk tahun ini belum diberikan, sebab masih di bawah 10 tahun dan para nominenya tidak menyerahkan curriculum vita e (CV).
Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 18 Maret 2010
"Penghargaan diberikan karena keenam seniman itu telah berbuat untuk kemajuan seni-budaya di Lampung dan di Indonesia, sekurang-kurangnya 10 tahun terakhir," kata Sjachroedin ZP.
Keenam seniman yang menerima penghargaan adalah Iswadi Pratama (teater), Edy Samudra Kertagama (sastra), Joko Irianta (lukis), Entus Alrafi (musik), Nani Rahayu (tari), dan Syapril Yamin (tradisi).
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti didampingi Ketua Harian Syaiful Irba Tanpaka, kepada Kompas mengatakan, penghargaan seniman Lampung didasari atas dedikasi dan prestasi selama 10 tahun terakhir, selain karya-karyanya mampu memberikan konstribusi bagi perkembangan seni budaya di daerah Lampung.
Untuk memilih para nomine penerima penghargaan, DKL menunjuk tim kurasi terdiri dari Dr Khaidarmansyah (Ketua merangkap anggota/Ketua Litbang DKL), Harry Jayaningrat, S.Sos, MM (Sekum DKL/sekretaris dan anggota), Dra Maysari Berty, Msi, Syaiful Irba Tanpaka, Isbedy Stiawan ZS, Dana E. Rachmat, dan Hermansyah GA sebagai anggota.
Tim kurasi memilih para nomine seniman yang akan memeroleh penghargaan berdasarkan bobot penilaian, yaitu kriteria umum seperti berdomisili di Provinsi Lampung, menekuni kesenian di bidangnya secara kerkelanjutan sekurangnya 10 tahun, memiliki karya sekurangnya karya, pernah mengikuti workshop/pelatihan/seminar/pertemuan minimal 3 kali dibuktikan dengan sertifikat/piagam di tingkat lokal/nasiona/internasional, memiliki karya yang tel ah dipublikasikan, dan mendapat apresiasi dari publik.
Kemudian, karya-karyanya mampu memberi kontribusi dalam memperkaya senibudaya Lampung dan memotivasi perkembangan di bidang seninya masing-masing. Selain itu ada kriteria khusus yang dinilai oleh kurasi. "Dalam mengkurasi itu, kami bertolok ukur dengan bobot nilai atau persentasi," jelas Khaidarmansyah.
Dia menjelaskan, penghargaan bagi seniman dari Gubernur Lampung dengan diberi nominal uang memang baru pertama kali ini. Karena itu dia berharap penghargaan seperti ini bisa berkesinambungan pada tahun-tahun mendatang. "Kami juga akan memverifikasi ulang kriteria penilaian supaya lebih sempurna. Sehingga tidak mengundang polemik setelah ditetapkan," lanjut Khaidar.
Sementara itu, Syaiful Irba Tanpaka menganggap penghargaan bagi seniman yang memiliki dedikasi dan prestasi di daerah ini sepatutnya masuk dalam program pemerintah setiap tahun pada HUT Provinsi Lampung yang dianggarkan melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. "Penghargaan itu setidaknya dapat memantik kreativitas para seniman, yang harus diakui memiliki kontribusi bagi pembangunan di daerah ini," ujar dia.
Melalui penghargaan seniman ini juga, Syaiful mengatakan, sekaligus menyadarkan seluruh seniman betapa pentingnya dokumentasi, seperti piagam/sertifikat serta kliping karya maupun pemberitaan media massa, di samping pemberian penghargaan diperluas dengan memberikan penghargaan pada Birokrat Peduli Kesenian, Pengusaha Peduli Kesenian dan penghargaan khusus kepada seniman berupa Life Achievement.
Sebab, dari sejumlah nomine yang dikurasi untuk mendapatkan penghargaan, hanya sedikit yang menyertakan bukti dengan penyertaan sertifikat/piagam atau pun pemberitaan media massa, dan audiovisual seperti DVD/VCD. Para kurator menjadikan pembuktian sebagai kewajiban. Karena itulah, dari bidang film untuk tahun ini belum diberikan, sebab masih di bawah 10 tahun dan para nominenya tidak menyerahkan curriculum vita e (CV).
Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 18 Maret 2010
Masa Depan Bahasa Lampung
Oleh Muhammad Muis
ADA suatu realitas kebahasaan di Lampung yang kiranya kita sepakati bersama, yakni bahwa di dalam komunikasi sehari-hari jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, kekerapannya—boleh dikatakan--sangat kecil atau sangat jarang. Penggunanya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati, agak jarang terdengar anak muda atau generasi muda--orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung, menggunakan bahasa daerah Lampung.
Perbedaan yang mencolok akan kita peroleh pada provinsi lain yang dianggap kuat akar penggunaan bahasa daerahnya, misalnya di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur (untuk wilayah penggunaan bahasa Jawa), di Provinsi Jawa Barat dan sebagian Provinsi Banten (wilayah penggunaan bahasa Sunda), di Provinsi Sumatera Barat (untuk bahasa Minang), dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (untuk penggunaan bahasa Melayu Bangka). Di beberapa provinsi itu penggunaan bahasa daerah masing-masing terasa sangat kental.
Kenyataan lain yang cukup mencengangkan juga adalah bahwa banyak pendatang yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung tidak memahami atau tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Bandingkanlah jika Anda sudah bertahun-tahun bermukim di Yogyakarta, di Bandung, di Bukittinggi, atau di Pangkalpinang. Akan bagaimanakah tingkat penguasaan bahasa daerah Anda di wilayah itu? Boleh jadi, penguasaan bahasa daerah Anda hampir sama baiknya dengan penutur asli bahasa daerah itu.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu dan bagaimana mengatasinya?
Upaya untuk Mengatasi Permasalahan: Beberapa Alternatif Jalan Keluar
Persoalan rendahnya frekuensi penggunaan bahasa daerah Lampung itu, dengan itikad baik dan kemauan keras, dapat diatasi asalkan dilakukan secara rasional, berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan pelbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat. Beberapa usulan berikut mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Pertama, tanggung jawab terhadap penggunaan, pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama. Artinya, semua unsur dalam masyarakat Lampung: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, tokoh adat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus terlibat secara sinergis bahu-membahu untuk itu.
Kedua, program pencantuman bahasa daerah Lampung di dalam sistem kurikulum sekolah, misalnya di SD dan SMP, sebagai muatan lokal (mulok) sebenarnya—menurut hemat saya—adalah terobosan dan lompatan besar. Hal itu, pada satu sisi, sudah sangat menguntungkan posisi bahasa Lampung—yang eksistensinya amat diakui, baik oleh masyarakat penuturnya maupun—secara yuridis—oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Lampung. Pada sisi lain, program itu berimbas pada terbukanya pasar kerja bagi guru/tenaga pengajar bahasa Lampung (baik PNS maupun tenaga honorer), penulis buku bahasa dan sastra Lampung—terutama buku ajar bahasa itu, penggerakan roda ekonomi Lampung oleh penerbit dan toko buku/penjual buku yang menjual buku-buku itu, dan pembukaan peluang baru perencanaan kebudayaan—dalam hal itu bahasa dan budaya Lampung—di jajaran birokrasi Pemerintah Daerah Lampung, khususnya mengenai bagaimana dan apa sebaiknya yang akan dilakukan untuk masa depan bahasa Lampung.
Ketiga, berbagai kelompok masyarakat--pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, peneliti, akademisi, tokoh adat, dan guru--perlu duduk bersama untuk membahas masalah bahasa (dan sastra) Lampung. Musyawarah mencari mufakat yang terbaik seperti itu diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa (dan sastra) daerah Lampung.
Keempat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan II Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja harus memberikan apresiasi atau perhatian kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung. Keterserapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, saya duga, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung. Pada gilirannya, jika hal ini telah berhasil dilakukan—sebagaimana alumni bahasa dan sastra daerah (Sunda, Jawa, dan Batak)—yang telah banyak yang berhasil menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta, akan memacu semangat generasi muda, khususnya lulusan SMTA untuk belajar bahasa Lampung lebih lanjut. Langkah ini kelak berimplikasi pada pembukaan kembali Program Bahasa dan Sastra Lampung pada level D-3 atau bahkan S-1, misalnya di Universitas Lampung. Nanti, di Indonesia akan terdapat
setidaknya lima bidang studi bahasa dan sastra daerah yang utama yang berakar kuat di beberapa perguruan tinggi Indonesia: bahasa dan sastra Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Lampung—yang juga laris di pasar kerja.
Kelima, harus segera direncanakan untuk rekrutmen atau penerimaan CPNS guru bahasa (dan sastra) Lampung pada level SD, SMP (untuk mengisi kekurangan guru agar rencana besar muatan lokal bahasa Lampung di dunia persekolahan di Provinsi Lampung dapat tercapai lebih cepat), dan CPNS dosen bahasa (dan sastra) Lampung. Perealisasian semua ini untuk kepentingan pembangunan, khususnya pembangunan dunia pendidikan kebahasaan dan kesastraan, mestinya dapat dilakukan secepat mungkin. Penambahan guru bahasa (dan sastra) Lampung di dunia persekolahan haruslah menjadi perhatian serius pelbagai pihak yang terkait untuk itu.
Keenam, menggencarkan penerbitan karya sastra (cerita ataupun puisi) dalam bahasa daerah serta menerbitkan media komunikasi pada tataran daerah, seperti surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah, mungkin dapat juga ditempuh.
Ketujuh, penutur bahasa Lampung harus bersikap lebih positif terhadap bahasa Lampung dan harus bangga menggunakannya dalam aktivitas komunikasi sehari-hari yang tidak bersifat resmi.
Kedelapan, untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Bahasa Lampung Menatap Masa Depan
Upaya pelestarian, pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan harus dilakukan secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan. Usaha-usaha yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan menghasilkan capaian yang maksimal.
Mengingat tanggung jawab untuk pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung adalah tanggung jawab bersama, pelbagai upaya positif harus terus diusahakan untuk menuju masa depan bahasa Lampung yang lebih baik.
* Muhammad Muis, Mantan peneliti pada Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra, Subbidang Pengkajian Bahasa, Pusat Bahasa, Kemendiknas, Jakarta, dan kini kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Maret 2010
ADA suatu realitas kebahasaan di Lampung yang kiranya kita sepakati bersama, yakni bahwa di dalam komunikasi sehari-hari jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, kekerapannya—boleh dikatakan--sangat kecil atau sangat jarang. Penggunanya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati, agak jarang terdengar anak muda atau generasi muda--orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung, menggunakan bahasa daerah Lampung.
Perbedaan yang mencolok akan kita peroleh pada provinsi lain yang dianggap kuat akar penggunaan bahasa daerahnya, misalnya di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur (untuk wilayah penggunaan bahasa Jawa), di Provinsi Jawa Barat dan sebagian Provinsi Banten (wilayah penggunaan bahasa Sunda), di Provinsi Sumatera Barat (untuk bahasa Minang), dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (untuk penggunaan bahasa Melayu Bangka). Di beberapa provinsi itu penggunaan bahasa daerah masing-masing terasa sangat kental.
Kenyataan lain yang cukup mencengangkan juga adalah bahwa banyak pendatang yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung tidak memahami atau tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Bandingkanlah jika Anda sudah bertahun-tahun bermukim di Yogyakarta, di Bandung, di Bukittinggi, atau di Pangkalpinang. Akan bagaimanakah tingkat penguasaan bahasa daerah Anda di wilayah itu? Boleh jadi, penguasaan bahasa daerah Anda hampir sama baiknya dengan penutur asli bahasa daerah itu.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu dan bagaimana mengatasinya?
Upaya untuk Mengatasi Permasalahan: Beberapa Alternatif Jalan Keluar
Persoalan rendahnya frekuensi penggunaan bahasa daerah Lampung itu, dengan itikad baik dan kemauan keras, dapat diatasi asalkan dilakukan secara rasional, berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan pelbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat. Beberapa usulan berikut mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Pertama, tanggung jawab terhadap penggunaan, pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama. Artinya, semua unsur dalam masyarakat Lampung: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, tokoh adat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus terlibat secara sinergis bahu-membahu untuk itu.
Kedua, program pencantuman bahasa daerah Lampung di dalam sistem kurikulum sekolah, misalnya di SD dan SMP, sebagai muatan lokal (mulok) sebenarnya—menurut hemat saya—adalah terobosan dan lompatan besar. Hal itu, pada satu sisi, sudah sangat menguntungkan posisi bahasa Lampung—yang eksistensinya amat diakui, baik oleh masyarakat penuturnya maupun—secara yuridis—oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Lampung. Pada sisi lain, program itu berimbas pada terbukanya pasar kerja bagi guru/tenaga pengajar bahasa Lampung (baik PNS maupun tenaga honorer), penulis buku bahasa dan sastra Lampung—terutama buku ajar bahasa itu, penggerakan roda ekonomi Lampung oleh penerbit dan toko buku/penjual buku yang menjual buku-buku itu, dan pembukaan peluang baru perencanaan kebudayaan—dalam hal itu bahasa dan budaya Lampung—di jajaran birokrasi Pemerintah Daerah Lampung, khususnya mengenai bagaimana dan apa sebaiknya yang akan dilakukan untuk masa depan bahasa Lampung.
Ketiga, berbagai kelompok masyarakat--pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, peneliti, akademisi, tokoh adat, dan guru--perlu duduk bersama untuk membahas masalah bahasa (dan sastra) Lampung. Musyawarah mencari mufakat yang terbaik seperti itu diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa (dan sastra) daerah Lampung.
Keempat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan II Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja harus memberikan apresiasi atau perhatian kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung. Keterserapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, saya duga, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung. Pada gilirannya, jika hal ini telah berhasil dilakukan—sebagaimana alumni bahasa dan sastra daerah (Sunda, Jawa, dan Batak)—yang telah banyak yang berhasil menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta, akan memacu semangat generasi muda, khususnya lulusan SMTA untuk belajar bahasa Lampung lebih lanjut. Langkah ini kelak berimplikasi pada pembukaan kembali Program Bahasa dan Sastra Lampung pada level D-3 atau bahkan S-1, misalnya di Universitas Lampung. Nanti, di Indonesia akan terdapat
setidaknya lima bidang studi bahasa dan sastra daerah yang utama yang berakar kuat di beberapa perguruan tinggi Indonesia: bahasa dan sastra Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Lampung—yang juga laris di pasar kerja.
Kelima, harus segera direncanakan untuk rekrutmen atau penerimaan CPNS guru bahasa (dan sastra) Lampung pada level SD, SMP (untuk mengisi kekurangan guru agar rencana besar muatan lokal bahasa Lampung di dunia persekolahan di Provinsi Lampung dapat tercapai lebih cepat), dan CPNS dosen bahasa (dan sastra) Lampung. Perealisasian semua ini untuk kepentingan pembangunan, khususnya pembangunan dunia pendidikan kebahasaan dan kesastraan, mestinya dapat dilakukan secepat mungkin. Penambahan guru bahasa (dan sastra) Lampung di dunia persekolahan haruslah menjadi perhatian serius pelbagai pihak yang terkait untuk itu.
Keenam, menggencarkan penerbitan karya sastra (cerita ataupun puisi) dalam bahasa daerah serta menerbitkan media komunikasi pada tataran daerah, seperti surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah, mungkin dapat juga ditempuh.
Ketujuh, penutur bahasa Lampung harus bersikap lebih positif terhadap bahasa Lampung dan harus bangga menggunakannya dalam aktivitas komunikasi sehari-hari yang tidak bersifat resmi.
Kedelapan, untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Bahasa Lampung Menatap Masa Depan
Upaya pelestarian, pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan harus dilakukan secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan. Usaha-usaha yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan menghasilkan capaian yang maksimal.
Mengingat tanggung jawab untuk pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung adalah tanggung jawab bersama, pelbagai upaya positif harus terus diusahakan untuk menuju masa depan bahasa Lampung yang lebih baik.
* Muhammad Muis, Mantan peneliti pada Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra, Subbidang Pengkajian Bahasa, Pusat Bahasa, Kemendiknas, Jakarta, dan kini kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Maret 2010
March 15, 2010
Sastra: Pengalaman Syarat Jadi Penulis Andal
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengalaman yang banyak dengan perspektif yang luas nerupakan salah satu syarat menjadi penulis andal.
Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat yang juga novelis, Izzatul Jannah, mengemukakan itu dalam Seminar Kepenulisan bertema Dengan sastra mengukir dunia yang digelar FLP Lampung di aula Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Minggu (14-3).
Izzatul Jannah mengatakan dengan memiliki banyak pengalaman, seorang penulis akan mudah merangkai kata saat menyelesaikan karya fiksinya. Penulis juga akan mudah menemukan alur dan tepat menentukan diksi dalam karyanya.
Izzatul menuturkan pengalaman yang banyak membantu penulis menguraikan cerita yang logis. Sebab itu, pengalaman adalah hal mutlak agar penulis punya banyak perspektif.
"Kalau ada tawaran melakukan suatu hal yang baru, ambil. Sebab, itu akan berguna memperkaya bahan yang akan kita tulis," kata penulis yang punya nama asli Setiawati Intan Savitri.
Izzatul menambahkan selain pengalaman, penulis juga harus sensitif terhadap diri dan lingkungan. Penulis yang baik harus skeptis dengan sesuatu yang tidak berjalan pada relnya.
"Kalau ada yang tidak sesuai dengan aturan atau penyimpangan, penulis harus bergegas menanggapinya dengan menulis hal yang ideal," kata dia.
Acara seminar itu dilanjutkan dengan pelantikan pengurus FLP masa bakti 2010-2012 yang diketuai Agus Utomo.
Pelatihan Jurnalistik
Sementara itu, Redaktur Opini dan Budaya Lampung Post Zulkarnain Zubairi saat menjadi pembicara pada Diklat Jurnalistik di STKIP PGRI mengatakan satu-satunya cara untuk menjadi penulis andal adalah rajin menulis. "Bisa dipastikan seorang penulis itu seorang kutu buku atau mereka yang gila membaca," kata dia di hadapan 90-an peserta diklat jurnalistik di Gedung C STKIP PGRI, Minggu (14-3).
Menurut Zulkarnain, menulis sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, asalkan rajin belajar dan selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk membaca dan kemudian menuliskannya kembali. Maka, siapa pun bisa menjadi penulis andal.
Ketua Pelaksana Pelatihan Jurnalistik STKIP PGRI Bandar Lampung Deby Pramono mengatakan kegiatan ini bertujuan menumbuhkan minat sebagai penulis di kalangan mahasiswa. "Kami mengundang narasumber dari Lampung Post sebagai pembicara dan dari IBI Darmajaya untuk memberikan pelatihan mengenai lay out," kata dia.
Dengan demikian diharapkan usai mengikuti pelatihan peserta bisa menjadi penulis dan mengerti bagaimana menyiapkan sebuah penerbitan. (UNI/S-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 Maret 2010
Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat yang juga novelis, Izzatul Jannah, mengemukakan itu dalam Seminar Kepenulisan bertema Dengan sastra mengukir dunia yang digelar FLP Lampung di aula Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Minggu (14-3).
Izzatul Jannah mengatakan dengan memiliki banyak pengalaman, seorang penulis akan mudah merangkai kata saat menyelesaikan karya fiksinya. Penulis juga akan mudah menemukan alur dan tepat menentukan diksi dalam karyanya.
Izzatul menuturkan pengalaman yang banyak membantu penulis menguraikan cerita yang logis. Sebab itu, pengalaman adalah hal mutlak agar penulis punya banyak perspektif.
"Kalau ada tawaran melakukan suatu hal yang baru, ambil. Sebab, itu akan berguna memperkaya bahan yang akan kita tulis," kata penulis yang punya nama asli Setiawati Intan Savitri.
Izzatul menambahkan selain pengalaman, penulis juga harus sensitif terhadap diri dan lingkungan. Penulis yang baik harus skeptis dengan sesuatu yang tidak berjalan pada relnya.
"Kalau ada yang tidak sesuai dengan aturan atau penyimpangan, penulis harus bergegas menanggapinya dengan menulis hal yang ideal," kata dia.
Acara seminar itu dilanjutkan dengan pelantikan pengurus FLP masa bakti 2010-2012 yang diketuai Agus Utomo.
Pelatihan Jurnalistik
Sementara itu, Redaktur Opini dan Budaya Lampung Post Zulkarnain Zubairi saat menjadi pembicara pada Diklat Jurnalistik di STKIP PGRI mengatakan satu-satunya cara untuk menjadi penulis andal adalah rajin menulis. "Bisa dipastikan seorang penulis itu seorang kutu buku atau mereka yang gila membaca," kata dia di hadapan 90-an peserta diklat jurnalistik di Gedung C STKIP PGRI, Minggu (14-3).
Menurut Zulkarnain, menulis sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, asalkan rajin belajar dan selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk membaca dan kemudian menuliskannya kembali. Maka, siapa pun bisa menjadi penulis andal.
Ketua Pelaksana Pelatihan Jurnalistik STKIP PGRI Bandar Lampung Deby Pramono mengatakan kegiatan ini bertujuan menumbuhkan minat sebagai penulis di kalangan mahasiswa. "Kami mengundang narasumber dari Lampung Post sebagai pembicara dan dari IBI Darmajaya untuk memberikan pelatihan mengenai lay out," kata dia.
Dengan demikian diharapkan usai mengikuti pelatihan peserta bisa menjadi penulis dan mengerti bagaimana menyiapkan sebuah penerbitan. (UNI/S-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 Maret 2010
March 14, 2010
Ikhwal M. Aruk Gelar Segalakena
Oleh Sudarmono
TEATER Satu Lampung mementaskan Aruk Gugat karya Iswadi Pratama, 11--13 Maret, di Taman Budaya Lampung. Persepsi Iswadi begitu benderang mengeja detail kecenderungan sirat miring Lampung yang kental.
Aruk Gugat, Teater Satu, 2010 (LAMPUNG POST/M. REZA)
Keluarga Rustam Abdul Gani gelar Tiang Dirangkuman bin Datuk di Ulu Sungai. Gelar amat prestisius di kampung itu didapat dengan menggiring tujuh kerbau dari kandang ayahnya ke arena jagal adat untuk pesta masyarakat. Syair-syair tua dibacakan, pantun-pantun kearifan dialunkan, dan sanjung-hormat dipersembahkan. Mendesirlah darah biru dalam tubuhnya, dan kerja kasar bukan lagi bagiannya.
Kini, kesehariannya adalah prosesi, menghafal narasi, dan membahas setiap butir masalah secara filosofi. Kegiatan baru ini menjadi selimur untuk menghindar dari kewajibannya sebagai istri bagi Hindun, juga bagi Muhammad Aruk, anak semata wayangnya. Ini juga yang menjadikan dua manusia subordinat Rustam itu berkelahi dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pertunjukan Aruk Gugat karya dan sutradara Iswadi Pratama ini sangat reflektif. Mengadobsi warahan, teater rakyat Lampung, Iswadi begitu nakal dengan memilih sisi-sisi getir pada keluarga atau masyarakat Lampung. Agak tidak berimbang. Sebab, menonton Aruk Gugat dan memaknainya sebagai budaya Lampung dapat mengarahkan penonton mempunyai persepsi tentang orang Lampung.
Gelar yang terlalu dibanggakan oleh Rustam (Budi Laksana) telah mengubah hidupnya menjadi tidak produktif sebagai orang kampung. Tugas mencari nafkah terpaksa berpindah kepada Hindun (Ruth Marini). Keterbatasan Hindun yang tak mungkin memaksa suaminya berubah membuat ia mencari "korban" lain, yakni Aruk (Sugianto), anak semata wayangnya.
"Bangun dulu, kamu Aruk! Woi, matahari sudah melotot, kamu masih molor aja!"
Di atas dipan beralas tikar, Aruk masih meneruskan tidurnya. Bahkan, Rustam membela anaknya untuk tetap tidur dulu karena semalaman tadi harus menghafalkan ayat-ayat mantra yang ia ajarkan.
"Biar, dulu Hindun! Anak kita itu capek! Semalaman dia menghafal mantra dari saya. Mantra itu penting untuk dia mengejar cita-citanya nanti."
Namun, waktu terus berjalan. Lauk makan hari itu belum terbaca; dengan apa. Maka, dengan judesnya, Hindun menghardik Aruk sambil menyodorkan bubu untuk memasangnya di sungai. "Kamu pasang bubu ini di sungai. Cari ikan untuk makan kita hari ini. Jangan lupa, ikan di bubu yang kemarin kamu ambil, bawa pulang."
Aruk berangkat. Lalu pulang sambil membawa bubu kemarin. Ia mengabarkan bubunya dapat udang besar dan banyak. Tetapi, karena yang diminta ibunya adalah ikan, udang yang tertangkap ia lepaskan.
Kepandiran Aruk menjadi titik getir lakon ini. Berusaha bijak, Iswadi menyebut ketololan ini sebagai kepolosan, bahkan kejujuran. Ia berusaha mempertanyakan, apakah kepolosan semacam ini sudah tidak ada tempat lagi di dunia sekarang? Kurang pas, memang. Tetapi Iswadi hanya ingin membandingkan dengan sangat kontras, betapa kedunguan itu amat tidak laku.
Tak ada pilihan lain bagi Rustam, Aruk yang pandir itu dikirim ke kota untuk mendaftar jadi polisi. Berbekal mantra dari ayahnya; "pit kopat kapit, kuda lari kejepit...," lalu menjejak kaki ke bumi tiga kali, Aruk berangkat.
Seluruh tahapan seleksi masuk polisi diikuti dengan baik. Tinggal selangkah lagi, satu tes terakhir ia tolak. Yakni, tes menembak.
"Mengapa kamu menolak ujian menembak?" tanya komandan.
Aruk menjawab, "Saya tidak sanggup. Saya tidak tega. Nanti, kalau saya pegang senjata, semua orang bisa saya tembak!"
Pesan kemanusiaan dimasukkan Iswadi pada episode ini. Namun, absurditas yang ditampakkan sama sekali tidak mengakomodasi kebutuhan perut yang faktanya masih melilit tembolok Aruk dan masa depannya. Kembali lagi, Aruk terpuruk.
Babak berikutnya, setelah berdiskusi dengan seorang pelayar, Aruk memutuskan menjadi penulis fiksi. Cerpen adalah spesialisasinya. Beberapa karya cerpen telah dimuat koran lokal. Namun, empat cerpen terbarunya ditolak karena sejak karya perdana hingga yang terakhir, ceritanya semua tentang ikan. Judulnya, Ayat-Ayat Ikan, Ketika Ikan Bertasbih, Ikan Berkalung Sorban, bahkan yang terakhir, Siapa Suruh Jadi Ikan.
Di rol terakhir, Aruk berhasil menjadi kepala desa. Demi memajukan desanya, ia menggelar rapat setiap hari. Tiada hari tanpa rapat. Akan ada hajatan, rapat, anak lahir, rapat, ulang tahun, rapat, bahkan Aruk hendak bercukur, rapat.
Dua tahun Aruk jadi pamong. Terakhir, ketulusan dan kepolosannya mengerjakan tugas tidak membuat orang percaya. Bahkan, ia ditinggalkan rakyatnya. Ia frustasi dan membakar balai desa.
Ibarat petai, lakon ini benar-benar getir dan berbau menyedak, tetapi mampu memberi kesegaran pikir tentang kehidupan. Pertunjukan dengan kekuatan aktor yang oleh tubuh dan vokalnya kaliber nasional itu, meskipun menyedak, ia mampu membangkitkan selera menonton dengan kuatnya.
Satu lagi, warahan dengan seting kampung Lampung udik, dengan properti minimalis, yakni hanya 11 meja kecil pendek yang digeser-geser, enam genter dijejer, Teater Satu tampil memukau. Penggunaan dialek Lampung yang kental, dengan penekanan lafal l yang ditasdid, pementasan ini membuat ger-geran. Padahal, pesan-pesannya amat dalam. Getir, tapi jenaka.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
TEATER Satu Lampung mementaskan Aruk Gugat karya Iswadi Pratama, 11--13 Maret, di Taman Budaya Lampung. Persepsi Iswadi begitu benderang mengeja detail kecenderungan sirat miring Lampung yang kental.
Aruk Gugat, Teater Satu, 2010 (LAMPUNG POST/M. REZA)
Keluarga Rustam Abdul Gani gelar Tiang Dirangkuman bin Datuk di Ulu Sungai. Gelar amat prestisius di kampung itu didapat dengan menggiring tujuh kerbau dari kandang ayahnya ke arena jagal adat untuk pesta masyarakat. Syair-syair tua dibacakan, pantun-pantun kearifan dialunkan, dan sanjung-hormat dipersembahkan. Mendesirlah darah biru dalam tubuhnya, dan kerja kasar bukan lagi bagiannya.
Kini, kesehariannya adalah prosesi, menghafal narasi, dan membahas setiap butir masalah secara filosofi. Kegiatan baru ini menjadi selimur untuk menghindar dari kewajibannya sebagai istri bagi Hindun, juga bagi Muhammad Aruk, anak semata wayangnya. Ini juga yang menjadikan dua manusia subordinat Rustam itu berkelahi dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pertunjukan Aruk Gugat karya dan sutradara Iswadi Pratama ini sangat reflektif. Mengadobsi warahan, teater rakyat Lampung, Iswadi begitu nakal dengan memilih sisi-sisi getir pada keluarga atau masyarakat Lampung. Agak tidak berimbang. Sebab, menonton Aruk Gugat dan memaknainya sebagai budaya Lampung dapat mengarahkan penonton mempunyai persepsi tentang orang Lampung.
Gelar yang terlalu dibanggakan oleh Rustam (Budi Laksana) telah mengubah hidupnya menjadi tidak produktif sebagai orang kampung. Tugas mencari nafkah terpaksa berpindah kepada Hindun (Ruth Marini). Keterbatasan Hindun yang tak mungkin memaksa suaminya berubah membuat ia mencari "korban" lain, yakni Aruk (Sugianto), anak semata wayangnya.
"Bangun dulu, kamu Aruk! Woi, matahari sudah melotot, kamu masih molor aja!"
Di atas dipan beralas tikar, Aruk masih meneruskan tidurnya. Bahkan, Rustam membela anaknya untuk tetap tidur dulu karena semalaman tadi harus menghafalkan ayat-ayat mantra yang ia ajarkan.
"Biar, dulu Hindun! Anak kita itu capek! Semalaman dia menghafal mantra dari saya. Mantra itu penting untuk dia mengejar cita-citanya nanti."
Namun, waktu terus berjalan. Lauk makan hari itu belum terbaca; dengan apa. Maka, dengan judesnya, Hindun menghardik Aruk sambil menyodorkan bubu untuk memasangnya di sungai. "Kamu pasang bubu ini di sungai. Cari ikan untuk makan kita hari ini. Jangan lupa, ikan di bubu yang kemarin kamu ambil, bawa pulang."
Aruk berangkat. Lalu pulang sambil membawa bubu kemarin. Ia mengabarkan bubunya dapat udang besar dan banyak. Tetapi, karena yang diminta ibunya adalah ikan, udang yang tertangkap ia lepaskan.
Kepandiran Aruk menjadi titik getir lakon ini. Berusaha bijak, Iswadi menyebut ketololan ini sebagai kepolosan, bahkan kejujuran. Ia berusaha mempertanyakan, apakah kepolosan semacam ini sudah tidak ada tempat lagi di dunia sekarang? Kurang pas, memang. Tetapi Iswadi hanya ingin membandingkan dengan sangat kontras, betapa kedunguan itu amat tidak laku.
Tak ada pilihan lain bagi Rustam, Aruk yang pandir itu dikirim ke kota untuk mendaftar jadi polisi. Berbekal mantra dari ayahnya; "pit kopat kapit, kuda lari kejepit...," lalu menjejak kaki ke bumi tiga kali, Aruk berangkat.
Seluruh tahapan seleksi masuk polisi diikuti dengan baik. Tinggal selangkah lagi, satu tes terakhir ia tolak. Yakni, tes menembak.
"Mengapa kamu menolak ujian menembak?" tanya komandan.
Aruk menjawab, "Saya tidak sanggup. Saya tidak tega. Nanti, kalau saya pegang senjata, semua orang bisa saya tembak!"
Pesan kemanusiaan dimasukkan Iswadi pada episode ini. Namun, absurditas yang ditampakkan sama sekali tidak mengakomodasi kebutuhan perut yang faktanya masih melilit tembolok Aruk dan masa depannya. Kembali lagi, Aruk terpuruk.
Babak berikutnya, setelah berdiskusi dengan seorang pelayar, Aruk memutuskan menjadi penulis fiksi. Cerpen adalah spesialisasinya. Beberapa karya cerpen telah dimuat koran lokal. Namun, empat cerpen terbarunya ditolak karena sejak karya perdana hingga yang terakhir, ceritanya semua tentang ikan. Judulnya, Ayat-Ayat Ikan, Ketika Ikan Bertasbih, Ikan Berkalung Sorban, bahkan yang terakhir, Siapa Suruh Jadi Ikan.
Di rol terakhir, Aruk berhasil menjadi kepala desa. Demi memajukan desanya, ia menggelar rapat setiap hari. Tiada hari tanpa rapat. Akan ada hajatan, rapat, anak lahir, rapat, ulang tahun, rapat, bahkan Aruk hendak bercukur, rapat.
Dua tahun Aruk jadi pamong. Terakhir, ketulusan dan kepolosannya mengerjakan tugas tidak membuat orang percaya. Bahkan, ia ditinggalkan rakyatnya. Ia frustasi dan membakar balai desa.
Ibarat petai, lakon ini benar-benar getir dan berbau menyedak, tetapi mampu memberi kesegaran pikir tentang kehidupan. Pertunjukan dengan kekuatan aktor yang oleh tubuh dan vokalnya kaliber nasional itu, meskipun menyedak, ia mampu membangkitkan selera menonton dengan kuatnya.
Satu lagi, warahan dengan seting kampung Lampung udik, dengan properti minimalis, yakni hanya 11 meja kecil pendek yang digeser-geser, enam genter dijejer, Teater Satu tampil memukau. Penggunaan dialek Lampung yang kental, dengan penekanan lafal l yang ditasdid, pementasan ini membuat ger-geran. Padahal, pesan-pesannya amat dalam. Getir, tapi jenaka.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
[Buku] Dari Haiku sampai Puisi prosaik
Judul : Penyeret Babi
Penulis : Inggit Putria Marga
Penerbit : Anahata, Bandar Lampung
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 132 hlm.
Penyair : "seandainya kamu penyair, apa yang kamu tulis?"
Temannya : "Ketidakindahan, sesuatu yang ada pada diriku sukar ditemukan."
(Penyair dan Temannya, hlm. 41).
DIA menjadi Inggit ketika menulis tentang tumbuhan, air, hujan, batu, telur, ayam, laut, lumut, daun, ricik air--dengan sajak-sajak pendek yang kuat. Demikian Oyos Suroso H.N. tentang puisi-puisi Inggit.
Dia menjadi Inggit. Berarti ada periode ia tidak atau belum menjadi Inggit. Agak menarik apakah ia benar-benar Inggit atau bukan Inggit, misalnya, kita mencoba berkenalan lewat puisi-puisinya tanpa melihat orangnya. Bagi saya semuanya adalah Inggit. Ia melakukan serangkaian uji coba, baik gaya penulisan maupun temannya, dan barangkali mungkin ia hanya peduli bagaimana menulis puisi dengan baik. Kadang panjang dan kadang pendek. Seperti pada buku antologi puisi yang ia beri judul Penyeret Babi ini. Judul dan kover buku ini cukup provokatif.
Buku terbagi dua bagian: Mantra Petani berisi 30 puisi dan Pemuja Api berisi 42 puisi.
Pada bagian pertama, sajak-sajak pendek Inggit sepertinya lahir dari dorongan tema yang berbeda. Mungkin sama-sama sublim, tetapi ia ungkapkan dengan cara yang berbeda. Banyak puisi yang sederhana pada bagian ini. Sederhana dalam diksi-diksi dan pola ungkapnya. Boleh jadi tidak bermaksud membuat haiku, tetapi beberapa puisi layaknya haiku: sederhana dan langsung telak ke sasaran.
Pada bagian kedua, puisi-puisi Inggit cenderung panjang--beberapa judul sebentuk puisi prosaik--mungkin karena Inggit tengah menemukan bentuk pengucapan yang berbeda. Atau, sajak pendek sudah tidak memadai lagi untuk mengungkapkan ide-idenya yang mengandung unsur-unsur spiritualitas (secara lebih longgar) itu.
Ini buku puisi pertama Inggit. Sajak-sajak Inggit dimuat berbagai media. Setelah berbagai event nasional dan internasional beberapa kali mencatatkan namanya sebagai salah satu peserta, puisi juga langganan dipilih sebagi salah satu puisi terbaik versi Anugerah Sastra Pena Kencana (2008, 2009). Baru-baru ini ia menjadi salah satu peserta Ubud Writer Festival, setelah sebelumnya menjadi salah satu peserta International Literary Bianalle 2005 dan 2009.
Puisi-puisi pilihan Inggit enak sebagai bacaan, bahan renungan atau menjadi tema diskusi untuk melihat perkembangan sastra yang berkembang di ranah Lampung. Dalam antologi ini, kita juga akan menemukan tipografi puisi yang cantik, agak berbeda dengan tipografi sajak-sajak penyair perempuan umumnya. Boleh dibilang, Inggit memberi warna lain bagi peta perpuisian Indonesia.
Setidaknya larik-larik tipografi, pola ungkap, pemakaian majas, metafora, dan lain-lain terus berjalan seiring dengan dedikasinya yang tak putus-putus dalam sepuluh tahun terakhir, dediksi yang telah menghantarkan Inggit sebagai salah satu penyair wanita yang dimiliki Lampung dan Indonesia. Sebuah proses mencipta yang oleh filsuf Alfred Whitehead sebut sebagai "proses untuk menjadi". Dalam proses "meng-ada", manusia pada dasarnya selalu dalam proses untuk menjadi. Bagaimana Inggit menganyam kata menjadi manik-manik frasa dan frasa-frasa itu membangun sebuah puisi yang utuh-padu dan autentik. Inggit termasuk sedikit dari penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Meskipun pendek, melalui sebuah puisi Inggit, misalnya, kita merasakan ekstase tekstual seperti sebuah tonjokan, lalu tiba-tiba merintih sedih. Atau, seperti orang yang datang dengan banyak cerita tentang pengalaman pribadinya. Puisi yang baik barangkali adalah puisi yang mampu melahirkan ambiguitas, yang memungkinkan tafsir berlapis-lapis sebagaimana pendapat Nirwan Derwanto. Dengan rumpang antar-frasa, kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala.
Puisi menjadi sering menakjubkan--bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri --karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil membuat rasa takjub hadir dalam imajinasi kita. Sebagai manifestasi proses internalisasi penyair terhadap diri, realitas, dan sesuatu yang lain, yang mungkin akan kita sebut sebagai Tuhan.
Buku puisi ini menarik karena banyak rumpang sunyi di dalamnya, atau imajinasi, atau tema, atau majas-majasnya, atau pada benda-benda sekitar kita yang mendapat pemaknaan baru, yang lebih sublim oleh Inggit Putria Marga. Ketajaman dan kelenturan dalam melontarkan ide-idenya seputar eksistensi dan spiritualitas Inggit bisa kita simak dalam puisi-puisinya kali ini. Membaca puisi-puisi Inggit, berarti mencari ketidakindahan yang sukar ditemukan.
Alexander G.B., penikmat puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
Penulis : Inggit Putria Marga
Penerbit : Anahata, Bandar Lampung
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 132 hlm.
Penyair : "seandainya kamu penyair, apa yang kamu tulis?"
Temannya : "Ketidakindahan, sesuatu yang ada pada diriku sukar ditemukan."
(Penyair dan Temannya, hlm. 41).
DIA menjadi Inggit ketika menulis tentang tumbuhan, air, hujan, batu, telur, ayam, laut, lumut, daun, ricik air--dengan sajak-sajak pendek yang kuat. Demikian Oyos Suroso H.N. tentang puisi-puisi Inggit.
Dia menjadi Inggit. Berarti ada periode ia tidak atau belum menjadi Inggit. Agak menarik apakah ia benar-benar Inggit atau bukan Inggit, misalnya, kita mencoba berkenalan lewat puisi-puisinya tanpa melihat orangnya. Bagi saya semuanya adalah Inggit. Ia melakukan serangkaian uji coba, baik gaya penulisan maupun temannya, dan barangkali mungkin ia hanya peduli bagaimana menulis puisi dengan baik. Kadang panjang dan kadang pendek. Seperti pada buku antologi puisi yang ia beri judul Penyeret Babi ini. Judul dan kover buku ini cukup provokatif.
Buku terbagi dua bagian: Mantra Petani berisi 30 puisi dan Pemuja Api berisi 42 puisi.
Pada bagian pertama, sajak-sajak pendek Inggit sepertinya lahir dari dorongan tema yang berbeda. Mungkin sama-sama sublim, tetapi ia ungkapkan dengan cara yang berbeda. Banyak puisi yang sederhana pada bagian ini. Sederhana dalam diksi-diksi dan pola ungkapnya. Boleh jadi tidak bermaksud membuat haiku, tetapi beberapa puisi layaknya haiku: sederhana dan langsung telak ke sasaran.
Pada bagian kedua, puisi-puisi Inggit cenderung panjang--beberapa judul sebentuk puisi prosaik--mungkin karena Inggit tengah menemukan bentuk pengucapan yang berbeda. Atau, sajak pendek sudah tidak memadai lagi untuk mengungkapkan ide-idenya yang mengandung unsur-unsur spiritualitas (secara lebih longgar) itu.
Ini buku puisi pertama Inggit. Sajak-sajak Inggit dimuat berbagai media. Setelah berbagai event nasional dan internasional beberapa kali mencatatkan namanya sebagai salah satu peserta, puisi juga langganan dipilih sebagi salah satu puisi terbaik versi Anugerah Sastra Pena Kencana (2008, 2009). Baru-baru ini ia menjadi salah satu peserta Ubud Writer Festival, setelah sebelumnya menjadi salah satu peserta International Literary Bianalle 2005 dan 2009.
Puisi-puisi pilihan Inggit enak sebagai bacaan, bahan renungan atau menjadi tema diskusi untuk melihat perkembangan sastra yang berkembang di ranah Lampung. Dalam antologi ini, kita juga akan menemukan tipografi puisi yang cantik, agak berbeda dengan tipografi sajak-sajak penyair perempuan umumnya. Boleh dibilang, Inggit memberi warna lain bagi peta perpuisian Indonesia.
Setidaknya larik-larik tipografi, pola ungkap, pemakaian majas, metafora, dan lain-lain terus berjalan seiring dengan dedikasinya yang tak putus-putus dalam sepuluh tahun terakhir, dediksi yang telah menghantarkan Inggit sebagai salah satu penyair wanita yang dimiliki Lampung dan Indonesia. Sebuah proses mencipta yang oleh filsuf Alfred Whitehead sebut sebagai "proses untuk menjadi". Dalam proses "meng-ada", manusia pada dasarnya selalu dalam proses untuk menjadi. Bagaimana Inggit menganyam kata menjadi manik-manik frasa dan frasa-frasa itu membangun sebuah puisi yang utuh-padu dan autentik. Inggit termasuk sedikit dari penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Meskipun pendek, melalui sebuah puisi Inggit, misalnya, kita merasakan ekstase tekstual seperti sebuah tonjokan, lalu tiba-tiba merintih sedih. Atau, seperti orang yang datang dengan banyak cerita tentang pengalaman pribadinya. Puisi yang baik barangkali adalah puisi yang mampu melahirkan ambiguitas, yang memungkinkan tafsir berlapis-lapis sebagaimana pendapat Nirwan Derwanto. Dengan rumpang antar-frasa, kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala.
Puisi menjadi sering menakjubkan--bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri --karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil membuat rasa takjub hadir dalam imajinasi kita. Sebagai manifestasi proses internalisasi penyair terhadap diri, realitas, dan sesuatu yang lain, yang mungkin akan kita sebut sebagai Tuhan.
Buku puisi ini menarik karena banyak rumpang sunyi di dalamnya, atau imajinasi, atau tema, atau majas-majasnya, atau pada benda-benda sekitar kita yang mendapat pemaknaan baru, yang lebih sublim oleh Inggit Putria Marga. Ketajaman dan kelenturan dalam melontarkan ide-idenya seputar eksistensi dan spiritualitas Inggit bisa kita simak dalam puisi-puisinya kali ini. Membaca puisi-puisi Inggit, berarti mencari ketidakindahan yang sukar ditemukan.
Alexander G.B., penikmat puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
Ulubelu dalam Pelukan Pertamina
TAHUN 2007, PT Pertamina Geothermal Energy memulai eksplorasi uap panas bumi di Kecamatan Ulubelu di Kabupaten Tanggamus. Sejak itu, kawasan terisolasi ini berubah wajah dan moncer.
Jumat Legi pada Januari 1991. Beduk di masjid Nur Falah di Pekon (desa) Karangrejo, Ulubelu, bertalu sebagai tanda waktu salat jumat sudah masuk.
Kartini, ibu muda yang rumahnya berada di sisi jalan menanjak itu masih berdiri di depan rumahnya dengan cemas. Ia sedang menunggu suaminya yang sedang dijemput kerabat dan beberapa tetangganya karena dikabarkan mengalami kecelakaan di Desa Gunung Megang, sekitar 15 kilometer dari rumahnya.
Salah satu unit pengeboran panas bumi (rig) di cluster F yang sedang dipersiapkan di tengah kebun kopi di lembah Bukit Rendingan, Ulubelu. Akses Pertamina ke lokasi ini berimbas positif dengan dibangunnya jalan permanen untuk warga sekitar. (LAMPUNG POST/ZAINUDIN)
Tak lama, iring-iringan yang ia tunggu mulai terlihat. Meski ada belasan orang, rombongan itu seperti membisu. Hanya napas terengah-engah yang memburu seolah mereka ingin segera menurunkan beban yang dipikulnya.
"Saya menjerit sekeras-kerasnya. Ternyata, yang ada di dalam karung goni dan dipikul dua orang itu adalah suami saya yang sudah meninggal. Darahnya berceceran," kata Kartini (37), warga Karangrejo, mengisahkan tragisnya kehilangan Budiono, suami pertamanya, Kamis (11-3).
Sepotong cerita fakta itu hanya satu dari puluhan peristiwa memilukan di hampir semua desa di Kecamatan Ulubelu yang terisolasi sejauh sekitar 15 kilo meter. Dipikulnya jenazah Budiono bukan lantaran tidak ada mobil atau kendaraan lain. Tetapi, karena kondisi jalan tanah liat yang mendaki tiga bukit, menyusuri pundak-pundak gunun g, dan memang kondisi ekonomi warga daerah ini sangat miskin.
Cerita Kartini diteguhkan M. Solikin, kepala Desa Karangrejo. Peristiwa terakhir tentang kisah menggotong jenazah itu terjadi pada 2005. Saat itu, kata Solikin, Misriadi, kepala Desa Panantian, Ulubelu, tewas karena jatuh ke jurang. Sementara, keluarga besarnya tinggal di Pringsewu, sekitar 70 kilometer dari lokasi. "Kami menggotong dengan tangga sejauh 17 kilometer untuk sampai ke mobil," kata Solikin.
"Ya, begitulah saat itu. Bukan hanya orang meninggal, orang sakit dan wanita yang mau melahirkan juga digotong begitu kalau mau pergi berobat. Sebab, di sini tidak ada mantri kesehatan. Yang ada hanya dukun dan pengobatannya hanya pakai jampi-jampi," tambah lurah muda itu.
Era pilu itu baru berakhir pada 2007. Meski sekitar dua tahun sebelumnya jalan sudah bisa dilewati, hanya mobil jenis hardtop double gardan yang bisa naik. Itu pun bannya harus dililit rantai dan mesin harus dalam kondisi fit.
Jalan relatif mulus di Pekon Datarajan, Ulubelu ini baru hadir pada 2007, saat PT Pertamina Geothermal Energy mulai mengekplorasi panas bumi di Ulubelu. (LAMPUNG POST/ZAINUDIN)
Kini, wilayah yang berada di lembah Bukit Rendingan dan Gunung Tanggamus itu berubah darastis. Meski untuk menembusnya harus naik-turun tiga bukit, perjalanan cukup lima puluh menit untuk jarak sekitar 40 kilometer. Sepeda motor, mobil, bahkan truk trailer sudah ngglingsir melaju di jalan itu. Tak ada lagi jalan tanah liat yang mblekuk-mbleluk sedalam lutut.
Puskesmas juga telah siap, bidan desa ada di sebilang tempat, bahkan dokter perusahaan stand by di lokasi dan siap direpoti warga sekitar.
Kondisi jalannya aspal cukup baik. Lebarnya lebih dari standar jalan yang dibangun pemda. Panjangnya juga sampai menembus "relung" hutan kopi yang berada di beberapa bukit dan lembah. Yakni, tempat beberapa sumur uap panas (geothermal) yang sedang dibor PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). "Saya nggak mimpi desa ini berubah secepat ini," kata Kartini.
Mengunjungi Ulubelu memang mengagumkan. Dari Talangpadang, ketika mulai menanjak bukit dari Pekon Gunung Megang, suasana alam lestari sudah menyegarkan mata dan pikiran. Dari jalan meliuk-liuk di pinggang-pinggang bukit, terlihat beberapa kota kecil di bawah. Saat berada di sisi barat bukit, terlihat keramaian Talangpadang, Kotaagung, dan daerah lainnya. Saat di sisi timur, tampak daerah Pugung, Pagelaran, dan sekitarnya. Dan ketika mulai menuruni bukit, terlihat permukiman warga Ulubelu yang berkelompok-kelompok. Juga, beberapa kompleks pengeboran uap panas oleh kontraktor rekanan Pertamina yang dikepung kehijauan kebun kopi dan hutan lestari.
Memasuki Kecamatan Ulubelu, satu gapura beton menyambut di tengah belantara. Meski sesungguhnya masih jauh, gapura ini membuat hati serasa perjalanan tinggal sejengkal lagi. Lalu, Pekon Datarajan Patok 10 menjelang dengan permukiman tidak terlalu ramai.
Masih ada beberapa bukit kecil lagi yang harus didaki dan dituruni. Baru kemudian, Pekon Datarajan induk menampakkan ada kehidupan setara dengan daerah lain di Lampung. Di desa ini, beberapa toko berpenampilan modern dan lengkap ada. Pasar, sekolah, masjid, dan properti keramaian lainnya melengkapi.
Jika malam, dari desa-desa di Ulubelu ini dapat menyaksikan gemerlap lampu di lembah nan gulita. Itu adalah unit-unit rig (tempat pengeboran) yang sedang menggangsir bumi untuk mendapatkan abab panas salah satu planet paling bermasalah ini.
Mobil-mobil bagus, terutama jenis double kabin dengan empat penggerak (4 WD) keluaran terbaru lalu lalang. Kadang, serombongan truk trailer 16 ban berbaris datang seperti kereta api. Muatannya yang besar, tinggi, dan panjang membuat jalanan seperti penuh. Truk-truk itu mengangkut perangkat pengeboran (rig) untuk keperluan PT PGE. Untungnya, jalan yang dibangun sudah cukup lebar dan kuat.
"Jalan ini yang membangun Pertamina bersama pemerintah. Saya ingat, waktu itu bupatinya masih Pak Fauzan, bilang kepada pihak Pertamina. Kalau mau mengebor panas bumi di sini, bangun dulu jalannya," kata SOlikin.
Kehidupan warga tampak lebih bergairah. Tanda-tanda peran Pertamina begitu kentara di seantero lokasi. Beberapa masjid terpasang nama masjid dengan desain grafis khas Pertamina dan terdapat tulisan "Sumbangsih Pertamina". Beberapa sekolah juga tampil beda dengan genting biru langit dan ditemboknya terpasang logo Pertamina, Kostrad, dan Yon Zipur. Benar, gedung SD itu bantuan Pertamina yang dikerjakan bersama anggota TNI dari Kostrad dan Yon Zipur.
Ratusan pekerja dari berbagai keahlian, geologi, konstruksi, panas bumi, mesin, air, keamanan khusus gas beracun, bahkan dokter ada di proyek pengeboran itu. Mereka tampak bersosialisasi dengan warga di kala senggang.
Ilmar (35), driller (tenaga pengeboran) dari PT Energy Tata Persada, kontraktor rekanan Pertamina yang mengebor di cluster D dan F, desa Pagaralam, mengaku betah kerja di sini. Pria asal Ternate yang tinggal di Jambi ini merasakan proyek di Ulubelu ini sangat kondusif. "Kami enjoy, di sini. Jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari kota. Aksesnya juga mudah. Masyarakatnya juga welcome," kata bapak dua anak dengan logat Malukunya.
Senada dengan Ilmar, Kisnandar, safety officer rig di cluster F juga mengatakan betah di Ulubelu. "Kami memang sudah biasa hidup di tempat seperti ini. Tetapi, di sini lebih kondusif. Semua fasilitas standar proyek terpenuhi, terutama menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk sarana ibadah, kami ada musala. Setiap waktu salat ada yang azan pakai loud speaker. Salat jumat juga diadakan di dalam sini," kata lelaki yang tinggal di Cirebon ini.
Proyek ekploitasi uap panas bumi (geothermal) oleh Pertamina ini dimulai sejak 2007. Setelah melakukan studi kelayakan panjang, PT Pertamina Geothermal Energy mulai membangun Unit I--IV di Ulubelu. Saat ini, dua unit sudah selesai pengeboran dan pada tanggal 17 Februari 2010 telah ditandatangani perjanjian kerja sama penjualan energi panas bumi dari PT Pertamina dengan PT PLN.
Dengan kerja sama itu, PT PLN akan memanfaatkan panas bumi untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berkapasitas 2 x 55 megawatt. Dalam perjanjian kontrak, PLN akan mulai memanfaatkan uap bumi Ulubelu itu pada 2012. Dengan penambahan pembangkit PLTP baru itu, diharapkan Lampung akan terhindar dari krisis listrik akibat defisit daya.
Energi panas bumi yang melimpah di bumi Indonesia akan menjadi andalan bagi pembangkit listrik di Indonesia. Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh seperti dikutip www.pertamina.com menyebutkan Indonesia mempunyai 265 lokasi yang memiliki kandungan panas bumi. "Ini terbesar di dunia," kata dia.
Energi geothermal memiliki keunggulan dari jenis energi lain. Uap yang ditimbulkan dapat menggerakkan turbin berkapasitas besar tanpa proses pembakaran. Sehingga, tidak ada residu, kecuali CO2 yang risikonya sangat kecil dapat merusak lingkungan. Energi ini juga bersifat terbarukan (renewable) karena setelah menghasilkan energi, air yang keluar akan disuntikkan lagi ke bumi untuk menghasilkan energi kembali.
Kini, warga Ulubelu seolah hidup dalam peluk mesra PT Pertamina Geothermal Energy yang ramah dengan lingkungannya. Kemesraan ini, janganlah sampai berlalu. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
Jumat Legi pada Januari 1991. Beduk di masjid Nur Falah di Pekon (desa) Karangrejo, Ulubelu, bertalu sebagai tanda waktu salat jumat sudah masuk.
Kartini, ibu muda yang rumahnya berada di sisi jalan menanjak itu masih berdiri di depan rumahnya dengan cemas. Ia sedang menunggu suaminya yang sedang dijemput kerabat dan beberapa tetangganya karena dikabarkan mengalami kecelakaan di Desa Gunung Megang, sekitar 15 kilometer dari rumahnya.
Salah satu unit pengeboran panas bumi (rig) di cluster F yang sedang dipersiapkan di tengah kebun kopi di lembah Bukit Rendingan, Ulubelu. Akses Pertamina ke lokasi ini berimbas positif dengan dibangunnya jalan permanen untuk warga sekitar. (LAMPUNG POST/ZAINUDIN)
Tak lama, iring-iringan yang ia tunggu mulai terlihat. Meski ada belasan orang, rombongan itu seperti membisu. Hanya napas terengah-engah yang memburu seolah mereka ingin segera menurunkan beban yang dipikulnya.
"Saya menjerit sekeras-kerasnya. Ternyata, yang ada di dalam karung goni dan dipikul dua orang itu adalah suami saya yang sudah meninggal. Darahnya berceceran," kata Kartini (37), warga Karangrejo, mengisahkan tragisnya kehilangan Budiono, suami pertamanya, Kamis (11-3).
Sepotong cerita fakta itu hanya satu dari puluhan peristiwa memilukan di hampir semua desa di Kecamatan Ulubelu yang terisolasi sejauh sekitar 15 kilo meter. Dipikulnya jenazah Budiono bukan lantaran tidak ada mobil atau kendaraan lain. Tetapi, karena kondisi jalan tanah liat yang mendaki tiga bukit, menyusuri pundak-pundak gunun g, dan memang kondisi ekonomi warga daerah ini sangat miskin.
Cerita Kartini diteguhkan M. Solikin, kepala Desa Karangrejo. Peristiwa terakhir tentang kisah menggotong jenazah itu terjadi pada 2005. Saat itu, kata Solikin, Misriadi, kepala Desa Panantian, Ulubelu, tewas karena jatuh ke jurang. Sementara, keluarga besarnya tinggal di Pringsewu, sekitar 70 kilometer dari lokasi. "Kami menggotong dengan tangga sejauh 17 kilometer untuk sampai ke mobil," kata Solikin.
"Ya, begitulah saat itu. Bukan hanya orang meninggal, orang sakit dan wanita yang mau melahirkan juga digotong begitu kalau mau pergi berobat. Sebab, di sini tidak ada mantri kesehatan. Yang ada hanya dukun dan pengobatannya hanya pakai jampi-jampi," tambah lurah muda itu.
Era pilu itu baru berakhir pada 2007. Meski sekitar dua tahun sebelumnya jalan sudah bisa dilewati, hanya mobil jenis hardtop double gardan yang bisa naik. Itu pun bannya harus dililit rantai dan mesin harus dalam kondisi fit.
Jalan relatif mulus di Pekon Datarajan, Ulubelu ini baru hadir pada 2007, saat PT Pertamina Geothermal Energy mulai mengekplorasi panas bumi di Ulubelu. (LAMPUNG POST/ZAINUDIN)
Kini, wilayah yang berada di lembah Bukit Rendingan dan Gunung Tanggamus itu berubah darastis. Meski untuk menembusnya harus naik-turun tiga bukit, perjalanan cukup lima puluh menit untuk jarak sekitar 40 kilometer. Sepeda motor, mobil, bahkan truk trailer sudah ngglingsir melaju di jalan itu. Tak ada lagi jalan tanah liat yang mblekuk-mbleluk sedalam lutut.
Puskesmas juga telah siap, bidan desa ada di sebilang tempat, bahkan dokter perusahaan stand by di lokasi dan siap direpoti warga sekitar.
Kondisi jalannya aspal cukup baik. Lebarnya lebih dari standar jalan yang dibangun pemda. Panjangnya juga sampai menembus "relung" hutan kopi yang berada di beberapa bukit dan lembah. Yakni, tempat beberapa sumur uap panas (geothermal) yang sedang dibor PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). "Saya nggak mimpi desa ini berubah secepat ini," kata Kartini.
Mengunjungi Ulubelu memang mengagumkan. Dari Talangpadang, ketika mulai menanjak bukit dari Pekon Gunung Megang, suasana alam lestari sudah menyegarkan mata dan pikiran. Dari jalan meliuk-liuk di pinggang-pinggang bukit, terlihat beberapa kota kecil di bawah. Saat berada di sisi barat bukit, terlihat keramaian Talangpadang, Kotaagung, dan daerah lainnya. Saat di sisi timur, tampak daerah Pugung, Pagelaran, dan sekitarnya. Dan ketika mulai menuruni bukit, terlihat permukiman warga Ulubelu yang berkelompok-kelompok. Juga, beberapa kompleks pengeboran uap panas oleh kontraktor rekanan Pertamina yang dikepung kehijauan kebun kopi dan hutan lestari.
Memasuki Kecamatan Ulubelu, satu gapura beton menyambut di tengah belantara. Meski sesungguhnya masih jauh, gapura ini membuat hati serasa perjalanan tinggal sejengkal lagi. Lalu, Pekon Datarajan Patok 10 menjelang dengan permukiman tidak terlalu ramai.
Masih ada beberapa bukit kecil lagi yang harus didaki dan dituruni. Baru kemudian, Pekon Datarajan induk menampakkan ada kehidupan setara dengan daerah lain di Lampung. Di desa ini, beberapa toko berpenampilan modern dan lengkap ada. Pasar, sekolah, masjid, dan properti keramaian lainnya melengkapi.
Jika malam, dari desa-desa di Ulubelu ini dapat menyaksikan gemerlap lampu di lembah nan gulita. Itu adalah unit-unit rig (tempat pengeboran) yang sedang menggangsir bumi untuk mendapatkan abab panas salah satu planet paling bermasalah ini.
Mobil-mobil bagus, terutama jenis double kabin dengan empat penggerak (4 WD) keluaran terbaru lalu lalang. Kadang, serombongan truk trailer 16 ban berbaris datang seperti kereta api. Muatannya yang besar, tinggi, dan panjang membuat jalanan seperti penuh. Truk-truk itu mengangkut perangkat pengeboran (rig) untuk keperluan PT PGE. Untungnya, jalan yang dibangun sudah cukup lebar dan kuat.
"Jalan ini yang membangun Pertamina bersama pemerintah. Saya ingat, waktu itu bupatinya masih Pak Fauzan, bilang kepada pihak Pertamina. Kalau mau mengebor panas bumi di sini, bangun dulu jalannya," kata SOlikin.
Kehidupan warga tampak lebih bergairah. Tanda-tanda peran Pertamina begitu kentara di seantero lokasi. Beberapa masjid terpasang nama masjid dengan desain grafis khas Pertamina dan terdapat tulisan "Sumbangsih Pertamina". Beberapa sekolah juga tampil beda dengan genting biru langit dan ditemboknya terpasang logo Pertamina, Kostrad, dan Yon Zipur. Benar, gedung SD itu bantuan Pertamina yang dikerjakan bersama anggota TNI dari Kostrad dan Yon Zipur.
Ratusan pekerja dari berbagai keahlian, geologi, konstruksi, panas bumi, mesin, air, keamanan khusus gas beracun, bahkan dokter ada di proyek pengeboran itu. Mereka tampak bersosialisasi dengan warga di kala senggang.
Ilmar (35), driller (tenaga pengeboran) dari PT Energy Tata Persada, kontraktor rekanan Pertamina yang mengebor di cluster D dan F, desa Pagaralam, mengaku betah kerja di sini. Pria asal Ternate yang tinggal di Jambi ini merasakan proyek di Ulubelu ini sangat kondusif. "Kami enjoy, di sini. Jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari kota. Aksesnya juga mudah. Masyarakatnya juga welcome," kata bapak dua anak dengan logat Malukunya.
Senada dengan Ilmar, Kisnandar, safety officer rig di cluster F juga mengatakan betah di Ulubelu. "Kami memang sudah biasa hidup di tempat seperti ini. Tetapi, di sini lebih kondusif. Semua fasilitas standar proyek terpenuhi, terutama menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk sarana ibadah, kami ada musala. Setiap waktu salat ada yang azan pakai loud speaker. Salat jumat juga diadakan di dalam sini," kata lelaki yang tinggal di Cirebon ini.
Proyek ekploitasi uap panas bumi (geothermal) oleh Pertamina ini dimulai sejak 2007. Setelah melakukan studi kelayakan panjang, PT Pertamina Geothermal Energy mulai membangun Unit I--IV di Ulubelu. Saat ini, dua unit sudah selesai pengeboran dan pada tanggal 17 Februari 2010 telah ditandatangani perjanjian kerja sama penjualan energi panas bumi dari PT Pertamina dengan PT PLN.
Dengan kerja sama itu, PT PLN akan memanfaatkan panas bumi untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berkapasitas 2 x 55 megawatt. Dalam perjanjian kontrak, PLN akan mulai memanfaatkan uap bumi Ulubelu itu pada 2012. Dengan penambahan pembangkit PLTP baru itu, diharapkan Lampung akan terhindar dari krisis listrik akibat defisit daya.
Energi panas bumi yang melimpah di bumi Indonesia akan menjadi andalan bagi pembangkit listrik di Indonesia. Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh seperti dikutip www.pertamina.com menyebutkan Indonesia mempunyai 265 lokasi yang memiliki kandungan panas bumi. "Ini terbesar di dunia," kata dia.
Energi geothermal memiliki keunggulan dari jenis energi lain. Uap yang ditimbulkan dapat menggerakkan turbin berkapasitas besar tanpa proses pembakaran. Sehingga, tidak ada residu, kecuali CO2 yang risikonya sangat kecil dapat merusak lingkungan. Energi ini juga bersifat terbarukan (renewable) karena setelah menghasilkan energi, air yang keluar akan disuntikkan lagi ke bumi untuk menghasilkan energi kembali.
Kini, warga Ulubelu seolah hidup dalam peluk mesra PT Pertamina Geothermal Energy yang ramah dengan lingkungannya. Kemesraan ini, janganlah sampai berlalu. n SUDARMONO
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
March 13, 2010
Budaya Lampung, 'Quo Vadis'?
Oleh Harthoni B.A.Y. Suway Umpu
MINGGU, 24 Januari 2010, terjadi pergulatan pemikiran antara sejarah dan perspektif kebudayaan. Itulah, setidaknya simpul awal dari pertemuan Lappung Jejamou yang dihadiri lebih dari seribu orang. Pertemuan yang digelar di TMII itu dimulai dengan uraian sejarah Sekala Brak.
Yang menjadi pangkal tolak kegalauan penulis adalah kekhawatiran Anshori Djausal dan Abdurrachman Sarbini ketika mereka mengatakan terkikisnya budaya Lampung. Penulis merasakan argumen dua tokoh Lampung ini terasa sumir dan ironi karena mereka berpangkal tolak dari kebanggaan tentang aksara dan bahasa Lampung.
Bagi penulis, perihal aksara cukup membanggakan. Tetapi soal bahasa--karena begitu banyaknya semangat linguistik di provinsi ujung Sumatera itu--wajar jika bahasa Lampung semakin terkikis. Tidak digunakannya bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar dalam dialog tersebut menjadi ambivalen dengan tema yang diusung. Ketiadaan bahasa Lampung dalam sebuah dialog Bagaimana Upaya Melestarikan Budaya Lampung: Sungguh ironi.
Padahal, Anshori Djausal sebagai narasumber pernah menulis Konservasi Kebudayaan Lampung (Lampung Post, 31 Oktober 2010). Pertanyaan besar bagi penulis, apakah buah pikiran Anshori Djausal tersebut merupakan sebuah kegamangan akan kepunahan budaya Lampung atau sebuah retorika usang (klise) dan hanya sebagai lipstick. Mudah-mudahan saya keliru.
Upaya pelestarian budaya Lampung bukanlah hal yang mudah. Karena, pelestarian budaya secara umum (tidak terbatas pelestarian budaya Lampung) merupakan sebuah terminologi yang memuat persoalan yang cukup kompleks. Kompleks, karena berkaitan dengan definisi budaya yang sampai saat ini pun belum mencapai kata akhir. Karena itu, kita harus mengaktualisasikan perspektif budaya pada eksistensi yang faktual.
Lampung terdiri dari beberapa suku dan marga yang setiap suku dan marga mempunyai bahasa dan adat yang berbeda-beda dan telah berinteraksi dengan suku lain akibat adanya transmigrasi pada dasawarsa 1930-an. Itulah sebabnya, kita tidak bisa merepresentasikan budaya Lampung secara keseluruhan, terlebih lagi kompleksitas sosial akibat mobilitas yang tinggi karena jarak antara Lampung dan Jakarta semakin "memperkaya" proses akulturasi budaya.
Di tengah kompleksitas tersebut, celakanya, belum selesai tantangan budaya pada tingkat nasional, impian bagi terwujudnya sebuah kampung global (global village) semakin menjadi kenyataan. Arus informasi dari luar pulau, bahkan dari negara dan kawasan lain, bisa dinikmati lewat layar televisi dan monitor komputer. Masyarakat dunia sudah menjadi masyarakat informasi digital yang bisa melakukan komunikasi dan interaksi budaya tanpa ada lagi batasan jarak dan waktu. Gaya hidup, tren, dan segala pernak-pernik budaya populer bisa begitu mudahnya kita konsumsi lewat berbagai akses. Dengan demikian, perubahan demi perubahan tersebut terjadi begitu cepat dan semakin cepat. Lalu, siapakah di antara kita yang sanggup membendungnya?
Di tengah penetrasi arus global, yang muncul kemudian, orang Lampung bagaikan kehilangan identitas dirinya. Saat ini sangat jarang orang Lampung yang menuliskan nama marganya di belakang nama. Sehingga, penggunaan nama marga semakin tidak populer. Berbeda misalnya apabila kita melakukan komparasi terhadap saudara-saudara kita yang berasal dari tanah Batak. Mereka masih mempertahankan penggunaan nama marganya. Bahkan, ada semacam kebanggan tersendiri bagi mereka ketika menunjukkan nama marganya.
Belum lagi jika kita menyoroti tentang pemakaian gelar pada orang Lampung. Sampai akhir era 60-an, pemakaian adek (adok) pada orang yang sudah menikah masih sangat familiar. Namun, saat ini pemakaian gelar tersebut sangat sedikit sekali kita temui, khususnya di wilayah Tulangbawang. Namun, apakah hal-hal seperti itu harus kita risaukan secara berlebihan?
Dalam lawatan sejarah, kita bisa menyaksikan pasang surut kebudayaan dan peradaban besar di dunia. Ada kebudayaan dan peradaban yang gemilang pada suatu masa, tapi pada masa yang berbeda hilang karena perlahan-lahan tergerus oleh kebudayaan lain. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang lumrah, jika suatu kebudayaan bahkan peradaban hilang pada suatu ketika. Demikian pula halnya bila budaya Lampung kemudian sirna.
Analisis di atas didasarkan pada bahwa budaya dibuat oleh manusia. Merujuk kepada pengertian ini, penulis ingin mengatakan bahwa kebudayaan bukan merupakan sebuah produk jadi. Kebudayaan dihasilkan oleh proses kehidupan itu sendiri dan akan terus berproses. Bahkan, budaya itu sendiri ada pada zamannya. Maka, ketika zaman itu berubah, budaya pun bisa berubah, malah bisa jadi berada di ambang kepunahan.
Kegamangan kita akan hilangnya sebuah budaya (dalam hal ini Budaya Lampung) sebenarnya merupakan kegamangan yang tidak perlu. Yang penting bagi kita justru apakah budaya dan masyarakat Lampung itu sudah terdokumentasikan secara serius? Serius tidak hanya dalam pengertian dimuat dalam studi yang sifatnya akademis, semacam History of Java atau History of Atjeh. Pun, bisa juga dimuat dalam sebuah prosa seperti ditunjukkan oleh cerita-cerita Firman Muntaco tentang keseharian masyarakat Betawi atau model Para Priyayi-nya Umar Kayam tentang orang Jawa dan juga seperti Mak Dawah Mak Dibingi, kumpulan sajak karya Udo Z. Karzi yang telah menasional. Dokumentasi semacam ini penting. Sebab, jangan sampai sejarah pun tidak sempat mencatatnya. Hal ini mungkin berguna bagi generasi yang akan datang (masyarakat Lampung pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya). n
* Harthoni B.A.Y. Suway Umpu, Peminat budaya, tinggal di Jakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010
MINGGU, 24 Januari 2010, terjadi pergulatan pemikiran antara sejarah dan perspektif kebudayaan. Itulah, setidaknya simpul awal dari pertemuan Lappung Jejamou yang dihadiri lebih dari seribu orang. Pertemuan yang digelar di TMII itu dimulai dengan uraian sejarah Sekala Brak.
Yang menjadi pangkal tolak kegalauan penulis adalah kekhawatiran Anshori Djausal dan Abdurrachman Sarbini ketika mereka mengatakan terkikisnya budaya Lampung. Penulis merasakan argumen dua tokoh Lampung ini terasa sumir dan ironi karena mereka berpangkal tolak dari kebanggaan tentang aksara dan bahasa Lampung.
Bagi penulis, perihal aksara cukup membanggakan. Tetapi soal bahasa--karena begitu banyaknya semangat linguistik di provinsi ujung Sumatera itu--wajar jika bahasa Lampung semakin terkikis. Tidak digunakannya bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar dalam dialog tersebut menjadi ambivalen dengan tema yang diusung. Ketiadaan bahasa Lampung dalam sebuah dialog Bagaimana Upaya Melestarikan Budaya Lampung: Sungguh ironi.
Padahal, Anshori Djausal sebagai narasumber pernah menulis Konservasi Kebudayaan Lampung (Lampung Post, 31 Oktober 2010). Pertanyaan besar bagi penulis, apakah buah pikiran Anshori Djausal tersebut merupakan sebuah kegamangan akan kepunahan budaya Lampung atau sebuah retorika usang (klise) dan hanya sebagai lipstick. Mudah-mudahan saya keliru.
Upaya pelestarian budaya Lampung bukanlah hal yang mudah. Karena, pelestarian budaya secara umum (tidak terbatas pelestarian budaya Lampung) merupakan sebuah terminologi yang memuat persoalan yang cukup kompleks. Kompleks, karena berkaitan dengan definisi budaya yang sampai saat ini pun belum mencapai kata akhir. Karena itu, kita harus mengaktualisasikan perspektif budaya pada eksistensi yang faktual.
Lampung terdiri dari beberapa suku dan marga yang setiap suku dan marga mempunyai bahasa dan adat yang berbeda-beda dan telah berinteraksi dengan suku lain akibat adanya transmigrasi pada dasawarsa 1930-an. Itulah sebabnya, kita tidak bisa merepresentasikan budaya Lampung secara keseluruhan, terlebih lagi kompleksitas sosial akibat mobilitas yang tinggi karena jarak antara Lampung dan Jakarta semakin "memperkaya" proses akulturasi budaya.
Di tengah kompleksitas tersebut, celakanya, belum selesai tantangan budaya pada tingkat nasional, impian bagi terwujudnya sebuah kampung global (global village) semakin menjadi kenyataan. Arus informasi dari luar pulau, bahkan dari negara dan kawasan lain, bisa dinikmati lewat layar televisi dan monitor komputer. Masyarakat dunia sudah menjadi masyarakat informasi digital yang bisa melakukan komunikasi dan interaksi budaya tanpa ada lagi batasan jarak dan waktu. Gaya hidup, tren, dan segala pernak-pernik budaya populer bisa begitu mudahnya kita konsumsi lewat berbagai akses. Dengan demikian, perubahan demi perubahan tersebut terjadi begitu cepat dan semakin cepat. Lalu, siapakah di antara kita yang sanggup membendungnya?
Di tengah penetrasi arus global, yang muncul kemudian, orang Lampung bagaikan kehilangan identitas dirinya. Saat ini sangat jarang orang Lampung yang menuliskan nama marganya di belakang nama. Sehingga, penggunaan nama marga semakin tidak populer. Berbeda misalnya apabila kita melakukan komparasi terhadap saudara-saudara kita yang berasal dari tanah Batak. Mereka masih mempertahankan penggunaan nama marganya. Bahkan, ada semacam kebanggan tersendiri bagi mereka ketika menunjukkan nama marganya.
Belum lagi jika kita menyoroti tentang pemakaian gelar pada orang Lampung. Sampai akhir era 60-an, pemakaian adek (adok) pada orang yang sudah menikah masih sangat familiar. Namun, saat ini pemakaian gelar tersebut sangat sedikit sekali kita temui, khususnya di wilayah Tulangbawang. Namun, apakah hal-hal seperti itu harus kita risaukan secara berlebihan?
Dalam lawatan sejarah, kita bisa menyaksikan pasang surut kebudayaan dan peradaban besar di dunia. Ada kebudayaan dan peradaban yang gemilang pada suatu masa, tapi pada masa yang berbeda hilang karena perlahan-lahan tergerus oleh kebudayaan lain. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang lumrah, jika suatu kebudayaan bahkan peradaban hilang pada suatu ketika. Demikian pula halnya bila budaya Lampung kemudian sirna.
Analisis di atas didasarkan pada bahwa budaya dibuat oleh manusia. Merujuk kepada pengertian ini, penulis ingin mengatakan bahwa kebudayaan bukan merupakan sebuah produk jadi. Kebudayaan dihasilkan oleh proses kehidupan itu sendiri dan akan terus berproses. Bahkan, budaya itu sendiri ada pada zamannya. Maka, ketika zaman itu berubah, budaya pun bisa berubah, malah bisa jadi berada di ambang kepunahan.
Kegamangan kita akan hilangnya sebuah budaya (dalam hal ini Budaya Lampung) sebenarnya merupakan kegamangan yang tidak perlu. Yang penting bagi kita justru apakah budaya dan masyarakat Lampung itu sudah terdokumentasikan secara serius? Serius tidak hanya dalam pengertian dimuat dalam studi yang sifatnya akademis, semacam History of Java atau History of Atjeh. Pun, bisa juga dimuat dalam sebuah prosa seperti ditunjukkan oleh cerita-cerita Firman Muntaco tentang keseharian masyarakat Betawi atau model Para Priyayi-nya Umar Kayam tentang orang Jawa dan juga seperti Mak Dawah Mak Dibingi, kumpulan sajak karya Udo Z. Karzi yang telah menasional. Dokumentasi semacam ini penting. Sebab, jangan sampai sejarah pun tidak sempat mencatatnya. Hal ini mungkin berguna bagi generasi yang akan datang (masyarakat Lampung pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya). n
* Harthoni B.A.Y. Suway Umpu, Peminat budaya, tinggal di Jakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010
March 12, 2010
Teater 'Aruk Gugat': Simbol Kehidupan Zaman Sekarang
BANDAR LAMPUNG--"Salahkah menjadi polos atau jujur? Hal itu menjadi semacam gugatan yang dilontarkan tokoh Aruk dalam lakon Aruk Gugat karya Iswadi Pratama pada pentas teater yang digelar Teater Satu Lampung, Jumat (12-3).
'ARUK GUGAT'. Penampilan para aktor Teater Satu berhasil memukau penonton dalam lakon Aruk Gugat di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (11-3). Dalam lakon karya Iswadi Pratama ini, tergambar bagaimana menjadi "orang polos" pada zaman sekarang cenderung tidak mendapatkan tempat di masyarakat. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Dalam lakon Aruk Gugat tersebut tergambar dengan gamblang, menjadi "orang polos" pada zaman sekarang ini yang cenderung tidak mendapatkan tempat, terlebih dalam kehidupan publik.
Aruk seperti menjadi simbol dari dilema dalam kehidupan manusia zaman sekarang yang harus menghadapi kekerasan dalam sistem sosial, politik, ideologi, bahkan ekonomi. Sementara hati nurani tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Sore itu, Aruk Gugat menampilkan sebuah sajian teater yang segar, bernas sekaligus reflektif. Naskah Aruk Gugat--diangkat dari cerita rakyat Lampung dan baru pertama kali dimainkan secara utuh di Lampung tersebut--menceritakan tentang seorang anak bernama Aruk, dimainkan dengan sangat baik oleh Sugianto.
Aruk adalah anak yang agak pandir atau polos tetapi baik hati, di mana ia harus menanggung ambisi ayahnya, untuk meneruskan kejayaan silsilah bangsawan yang mengalir di darahnya.
Cerita kemudian berkembang dengan berbagai kesialan yang menimpa Aruk pada setiap aspek kehidupannya, hanya karena ia terlalu lugu dan jujur dalam menjalani kehidupan tersebut.
Ketika menjadi polisi, Aruk menolak sesuatu hal yang bertentangan dengan nuraninya. Dengan jujur dan tegas, ia menolak untuk memegang pistol. Akhir cerita, Aruk dipecat.
Pun begitu dengan cerita kehidupan selanjutnya yang bergulir ketika ia sudah menikah. Aruk menikah dengan Betik Hati (Desi Susan) dan menjadi seorang nelayan.
Namun, selama menjadi nelayan, tak pernah sekalipun Aruk mendapat ikan dikarenakan tak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan lain. Aruk acap pulang hanya dengan membawa rumput laut. Hal itu menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan dengan sang istri.
Kesialan seolah tak pernah lepas dari Aruk. Bahkan ketika akhirnya Aruk memutuskan menjadi seorang cerpenis. Karya-karyanya yang terlalu lugu, acap menjadi bahan tertawaan orang lain.
Terakhir, Aruk terpilih menjadi pamong desa. Dia memimpin desanya dengan menggelar rapat setiap hari. Dua tahun memimpin, rakyatnya mulai menggugat. Akhirnya dia frustrasi dan membakar balai desa. Aruk pun kemudian harus hidup di penjara. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010
'ARUK GUGAT'. Penampilan para aktor Teater Satu berhasil memukau penonton dalam lakon Aruk Gugat di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (11-3). Dalam lakon karya Iswadi Pratama ini, tergambar bagaimana menjadi "orang polos" pada zaman sekarang cenderung tidak mendapatkan tempat di masyarakat. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Dalam lakon Aruk Gugat tersebut tergambar dengan gamblang, menjadi "orang polos" pada zaman sekarang ini yang cenderung tidak mendapatkan tempat, terlebih dalam kehidupan publik.
Aruk seperti menjadi simbol dari dilema dalam kehidupan manusia zaman sekarang yang harus menghadapi kekerasan dalam sistem sosial, politik, ideologi, bahkan ekonomi. Sementara hati nurani tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Sore itu, Aruk Gugat menampilkan sebuah sajian teater yang segar, bernas sekaligus reflektif. Naskah Aruk Gugat--diangkat dari cerita rakyat Lampung dan baru pertama kali dimainkan secara utuh di Lampung tersebut--menceritakan tentang seorang anak bernama Aruk, dimainkan dengan sangat baik oleh Sugianto.
Aruk adalah anak yang agak pandir atau polos tetapi baik hati, di mana ia harus menanggung ambisi ayahnya, untuk meneruskan kejayaan silsilah bangsawan yang mengalir di darahnya.
Cerita kemudian berkembang dengan berbagai kesialan yang menimpa Aruk pada setiap aspek kehidupannya, hanya karena ia terlalu lugu dan jujur dalam menjalani kehidupan tersebut.
Ketika menjadi polisi, Aruk menolak sesuatu hal yang bertentangan dengan nuraninya. Dengan jujur dan tegas, ia menolak untuk memegang pistol. Akhir cerita, Aruk dipecat.
Pun begitu dengan cerita kehidupan selanjutnya yang bergulir ketika ia sudah menikah. Aruk menikah dengan Betik Hati (Desi Susan) dan menjadi seorang nelayan.
Namun, selama menjadi nelayan, tak pernah sekalipun Aruk mendapat ikan dikarenakan tak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan lain. Aruk acap pulang hanya dengan membawa rumput laut. Hal itu menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan dengan sang istri.
Kesialan seolah tak pernah lepas dari Aruk. Bahkan ketika akhirnya Aruk memutuskan menjadi seorang cerpenis. Karya-karyanya yang terlalu lugu, acap menjadi bahan tertawaan orang lain.
Terakhir, Aruk terpilih menjadi pamong desa. Dia memimpin desanya dengan menggelar rapat setiap hari. Dua tahun memimpin, rakyatnya mulai menggugat. Akhirnya dia frustrasi dan membakar balai desa. Aruk pun kemudian harus hidup di penjara. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010
Teater Satu Adaptasi Seni 'Warahan' Lampung
Bandarlampung -- Teater Satu mengadaptasikan seni tradisional Lampung, Warahan, ke dalam pementasan teater modern dalam pentas terbaru mereka, yakni Aruk Gugat.
Menurut penulis naskah sekaligus sutradara pementasan tersebut, Iswadi Pratama, di Bandarlampung, Jumat, Aruk Gugat merupakan bentuk refleksi sifat manusia dan kehidupan, yang disimbolkan dalam tokoh legenda tradisional rakyat Lampung, si Aruk.
"Pementasan ini aslinya merupakan pementasan tradisional Lampung, Warahan, yang kami adaptasi dan padukan dengan bentuk pementasan teater modern," kata dia.
Peleburan Warahan dengan teater modern itu, kata Iswadi, dapat dilihat jelas dalam penggunaan latar yang bersifat minimalis dan simbolik, penggunaan tata cahaya, termasuk penggunaan naskah baku dan adanya penyutradaraan.
"Biasanya apabila kita berbicara tentang teater tradisional, lebih menandalkan spontanitas, tidak ada penyutradaraan dan naskah baku," lanjut Iswadi.
Pementasan yang merupakan kerja sama antara Tater Satu dengan Taman Budaya Lampung itu, ditujukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat Lampung akan warahan.
"Warahan adalah sebuah teater tradisi asli Lampung, perlu diperkenalkan kepada generasi baru dengan pendekatan yang lebih modern, dan itu salah satu target pementasan ini," kata Manajer Teater Satu, Imas Sobariah.
Dia melanjutkan, "Aruk Gugat" sudah teramat sering dipentaskan oleh Teater Satu, namun karena bentuknya yang berupa warahan, sehingga lebih banyak dipentaskan di panggung nongedung pertunjukan.
"Selama ini, pementasannya lebih banyak dipentaskan di lapangan, balai desa, dan lebih merakyat, sekarang kami coba adaptasi dalam bentuk teater modern, dengan tidak mengesampingkan unsur tradisinya," kata Imas.
"Aruk Gugat" merupakan cerita dengan tokoh tradisional Lampung, si Aruk, yang bodoh dan lugu, namun sangat sayang dengan ibunya.
Oleh Iswadi, cerita rakyat Lampung tersebut dikembangkan ke dalam area imajinasi yang lebih luas, dimana Aruk harus berhadapan dengan berbagai intrik dan karakter kehidupan, sehingga terjadi pertentangan dalam diri Aruk yang naif.
Pada ujung pementasan, Iswadi mencoba memberi renungan pada penonton, apakah salah apabila sifat naif dan lugu tersebut tetap dipertahankan dalam menghadapi kehidupan yang keras dengan segala sistematikanya.
"Itulah pertanyaan yang saya bagi kepada seluruh penonton, seperti pembelaan ayahnya Aruk dalam pementasan tadi, satu-satunya kesalahan kita adalah, kehidupan seolah tidak memberi tempat dan pengertian terhadap kepolosan Aruk, apakah itu salah," kata Iswadi menambahkan.
Sumber: Antara, Jumat, 12 Maret 2010
Menurut penulis naskah sekaligus sutradara pementasan tersebut, Iswadi Pratama, di Bandarlampung, Jumat, Aruk Gugat merupakan bentuk refleksi sifat manusia dan kehidupan, yang disimbolkan dalam tokoh legenda tradisional rakyat Lampung, si Aruk.
"Pementasan ini aslinya merupakan pementasan tradisional Lampung, Warahan, yang kami adaptasi dan padukan dengan bentuk pementasan teater modern," kata dia.
Peleburan Warahan dengan teater modern itu, kata Iswadi, dapat dilihat jelas dalam penggunaan latar yang bersifat minimalis dan simbolik, penggunaan tata cahaya, termasuk penggunaan naskah baku dan adanya penyutradaraan.
"Biasanya apabila kita berbicara tentang teater tradisional, lebih menandalkan spontanitas, tidak ada penyutradaraan dan naskah baku," lanjut Iswadi.
Pementasan yang merupakan kerja sama antara Tater Satu dengan Taman Budaya Lampung itu, ditujukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat Lampung akan warahan.
"Warahan adalah sebuah teater tradisi asli Lampung, perlu diperkenalkan kepada generasi baru dengan pendekatan yang lebih modern, dan itu salah satu target pementasan ini," kata Manajer Teater Satu, Imas Sobariah.
Dia melanjutkan, "Aruk Gugat" sudah teramat sering dipentaskan oleh Teater Satu, namun karena bentuknya yang berupa warahan, sehingga lebih banyak dipentaskan di panggung nongedung pertunjukan.
"Selama ini, pementasannya lebih banyak dipentaskan di lapangan, balai desa, dan lebih merakyat, sekarang kami coba adaptasi dalam bentuk teater modern, dengan tidak mengesampingkan unsur tradisinya," kata Imas.
"Aruk Gugat" merupakan cerita dengan tokoh tradisional Lampung, si Aruk, yang bodoh dan lugu, namun sangat sayang dengan ibunya.
Oleh Iswadi, cerita rakyat Lampung tersebut dikembangkan ke dalam area imajinasi yang lebih luas, dimana Aruk harus berhadapan dengan berbagai intrik dan karakter kehidupan, sehingga terjadi pertentangan dalam diri Aruk yang naif.
Pada ujung pementasan, Iswadi mencoba memberi renungan pada penonton, apakah salah apabila sifat naif dan lugu tersebut tetap dipertahankan dalam menghadapi kehidupan yang keras dengan segala sistematikanya.
"Itulah pertanyaan yang saya bagi kepada seluruh penonton, seperti pembelaan ayahnya Aruk dalam pementasan tadi, satu-satunya kesalahan kita adalah, kehidupan seolah tidak memberi tempat dan pengertian terhadap kepolosan Aruk, apakah itu salah," kata Iswadi menambahkan.
Sumber: Antara, Jumat, 12 Maret 2010
March 10, 2010
[Sosok] Sarwit, Peneliti Aksara Kaganga
-- Helena F Nababan*
SEPERTI ungkapan ”tak kenal maka tak sayang”, demikianlah hubungan Sarwit Sarwono (52) dan aksara kaganga. Sebelumnya, dia tak tertarik aksara itu. Kini, dia menjadi salah satu ahli aksara kaganga, aksara asli warga di kawasan hulu Sungai Musi dan beberapa daerah lain di Sumatera Selatan, Lampung, dan Kerinci di Provinsi Jambi. Sarwit adalah peneliti aksara kaganga dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu.
Sarwit Sarwono (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Setelah puluhan tahun Sarwit mengamati, aksara itu ternyata merupakan perkembangan aksara palawa dan kawi yang berkembang di pedalaman Musi hingga disebut juga aksara Ulu. Naskah-naskah kuno berbahasa daerah setempat yang tertulis dalam aksara kaganga juga disebut Naskah Ulu atau Surat Ulu.
Aksara kaganga merupakan aksara yang tergabung dalam rumpun Austronesia. Ia berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Itu sebabnya bentuk kaganga yang seperti paku runcing mirip aksara Batak, Bugis, atau Lampung.
Tahun 1986 di Bengkulu, Sarwit awalnya hanya tertarik sastra Indonesia modern. Perkenalan pertamanya dengan aksara kaganga terjadi pada 1988.
Syukri Hamzah, sesama pengajar di FKIP, adalah sosok yang memperkenalkannya pada kaganga. Ketika itu, Sarwit belum terlalu tertarik pada aksara yang cara penulisannya miring ke kanan hampir 45 derajat itu. Namun, perkenalannya terus berlanjut.
Tahun 1989, Nur Muhammad Syah, mahasiswanya, memberi dia beberapa salinan Surat Ulu dari naskah kuno yang aslinya tercetak di atas kulit kayu (kakhas) milik Abdul Hasani (almarhum), mantan pesirah (kepala marga) di Curup, Bengkulu.
Kesempatan mengenal aksara kaganga makin terbuka saat Sarwit berkesempatan mengikuti program kerja sama Indonesia—Belanda di bidang pengkajian Indonesia. Program itu diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990.
Berawal dari bertemu, berkenalan, dan mengkaji, Sarwit kemudian mengenal lebih dalam aksara yang dinamai dari tiga aksara pertama, yakni ka, ga, nga, dari total 28 aksara itu. Di Leiden, Belanda, ia kaget saat tahu ratusan spesimen Surat Ulu beraksara kaganga tersimpan di sana. Ia juga menemukan belasan spesimen naskah kuno sejenis yang tersimpan di Perancis dan belasan lainnya di Jerman.
”Saat itu saya betul-betul cemburu dalam arti positif. Kenapa orang luar bisa begitu antusias mempelajari naskah-naskah kuno kita, sedangkan kita sendiri sangat kurang peduli?” ujarnya.
Temuan itu menyadarkan dia. Spesimen-spesimen itu adalah kekayaan budaya Indonesia, Bengkulu, dan sekitarnya khususnya. Manuskrip itu menandakan budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia sudah lebih maju pada masa itu.
Belajar dan meneliti
Sarwit yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, tentu lebih terbiasa dengan bahasa dan aksara Jawa daripada aksara kaganga. Namun, ”dendam” positif terhadap banyaknya naskah kuno Bengkulu di Belanda memacu hasratnya. Ia mempelajari betul aksara kaganga.
Ketika itu, penelitian aksara lebih banyak dilakukan pada bahasa Batak, Bugis, dan Jawa. Penelitian tentang kaganga belum ada. Ia ingin penelitian, pembelajaran, dan pelestarian kaganga semaju aksara Batak.
Sarwit juga mempelajari bahasa-bahasa daerah di Bengkulu, seperti bahasa Serawai, Rejang, Lembak, dan Pasemah atau Muko-muko. Hal itu karena sebagian besar naskah kuno yang tersimpan di Belanda berisi tulisan dengan aksara kaganga dalam berbagai bahasa tersebut. Ia juga membaca sejumlah manuskrip dan membuat microfilm dari manuskrip-manuskrip itu.
Di Belanda pula ia bertemu dengan Profesor Petrus Voorhoeve, ahli aksara Batak dan Surat Batak yang juga bisa membaca aksara kaganga. Dengan Voorhoeve, Sarwit bertukar pikiran dan menimba ilmu.
Kembali ke Indonesia tahun 1992, Sarwit menerapkan ilmunya di jurusan tempatnya mengajar. Sampai 1996, dia mendapat tugas membantu Museum Negeri Bengkulu.
Sebagai peneliti, dia diminta mengidentifikasi dan membaca naskah-naskah kuno beraksara kaganga koleksi museum. Sekitar 128 naskah kuno beraksara kaganga terus dia baca, pelajari, dan telaah. Naskah-naskah kuno itu berbentuk kulit kayu, bilah bambu, gelondongan bambu, tanduk, kertas, dan rotan.
Sarwit mendapati banyak kearifan lokal dan ajaran, di antaranya pengobatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan, aturan pernikahan, kesantunan atau etika pergaulan dan berorganisasi, silsilah keluarga, pergaulan muda-mudi, sampai ajaran Islam.
Menurut Sarwit, kearifan lokal itu sebetulnya masih bisa diterapkan. ”Namun, karena kepedulian masyarakat kurang, nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal nenek moyang masyarakat Bengkulu itu kurang dipahami dan diterapkan.”
Naskah-naskah kuno itu biasanya diturunkan dari kepala marga atau pasirah kepada keturunannya. Orang yang menerima lalu menganggapnya sebagai benda pusaka sehingga harus memotong kambing atau mengadakan selamatan bila ingin membuka naskah kuno tersebut.
Karena takut, warga biasanya tak ingin mengetahui isi naskah kuno itu. Mereka menyimpannya asal saja, tanpa teknik penyimpanan yang tepat, sehingga keberadaan naskah kuno itu terancam rusak atau lenyap.
Pelestarian
Dari penelitiannya, Sarwit mendapati tradisi tulis dalam aksara kaganga terhenti awal abad XX. Seharusnya, pemerintah bertindak untuk meneruskan tradisi, atau setidaknya upaya memasukkan aksara kaganga dalam kurikulum sebagai penjagaan sejak dini.
Ia mencatat, tahun 1988 di Kabupaten Rejang Lebong ada upaya memasukkan kaganga dalam kurikulum. Sayang, keterbatasan tenaga pengajar membuat pembelajaran kaganga tak optimal.
Sampai kini, tenaga pengajar di sekolah hanya tahu membaca dan menulis kaganga, tetapi kurang memahami budaya Bengkulu.
”Pengajaran masih sederhana, sekadar bisa menulis dan membaca,” ujarnya.
Kemauan kuat dari pemerintah daerah untuk melestarikan kaganga masih dibutuhkan, di antaranya, dengan menyediakan bahan ajar aksara kaganga dan bahasa daerah yang cukup, serta menyediakan para pengajar yang juga memahami budaya Bengkulu.
Sebagai langkah awal, tahun 2002, Sarwit membuat terobosan dengan menciptakan sistem pembacaan aksara kaganga pada komputer. Aksara kaganga itu dibuat sesuai bahasa daerah yang mengenal aksara kaganga. Maka, ada varian aksara kaganga Ogan, aksara kaganga Lembak, aksara kaganga Ulu, hingga aksara kaganga Serawai.
SARWIT SARWONO
• Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 12 November 1958
• Istri: Ngudining Rahayu (49)
• Anak: - Andika - Himavan - Vidyadhara - Mahendra - Adisvara
• Pendidikan:
- Peserta Program Kerja sama Indonesia-Belanda untuk Pengkajian Indonesia 1990-1992 di Leiden, Belanda
- Tengah mengikuti S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Airlangga, Surabaya
• Pekerjaan:
- Dosen Bahasa dan Sastra Daerah pada Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu
- Ketua Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Maret 2010
SEPERTI ungkapan ”tak kenal maka tak sayang”, demikianlah hubungan Sarwit Sarwono (52) dan aksara kaganga. Sebelumnya, dia tak tertarik aksara itu. Kini, dia menjadi salah satu ahli aksara kaganga, aksara asli warga di kawasan hulu Sungai Musi dan beberapa daerah lain di Sumatera Selatan, Lampung, dan Kerinci di Provinsi Jambi. Sarwit adalah peneliti aksara kaganga dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu.
Sarwit Sarwono (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Setelah puluhan tahun Sarwit mengamati, aksara itu ternyata merupakan perkembangan aksara palawa dan kawi yang berkembang di pedalaman Musi hingga disebut juga aksara Ulu. Naskah-naskah kuno berbahasa daerah setempat yang tertulis dalam aksara kaganga juga disebut Naskah Ulu atau Surat Ulu.
Aksara kaganga merupakan aksara yang tergabung dalam rumpun Austronesia. Ia berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Itu sebabnya bentuk kaganga yang seperti paku runcing mirip aksara Batak, Bugis, atau Lampung.
Tahun 1986 di Bengkulu, Sarwit awalnya hanya tertarik sastra Indonesia modern. Perkenalan pertamanya dengan aksara kaganga terjadi pada 1988.
Syukri Hamzah, sesama pengajar di FKIP, adalah sosok yang memperkenalkannya pada kaganga. Ketika itu, Sarwit belum terlalu tertarik pada aksara yang cara penulisannya miring ke kanan hampir 45 derajat itu. Namun, perkenalannya terus berlanjut.
Tahun 1989, Nur Muhammad Syah, mahasiswanya, memberi dia beberapa salinan Surat Ulu dari naskah kuno yang aslinya tercetak di atas kulit kayu (kakhas) milik Abdul Hasani (almarhum), mantan pesirah (kepala marga) di Curup, Bengkulu.
Kesempatan mengenal aksara kaganga makin terbuka saat Sarwit berkesempatan mengikuti program kerja sama Indonesia—Belanda di bidang pengkajian Indonesia. Program itu diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990.
Berawal dari bertemu, berkenalan, dan mengkaji, Sarwit kemudian mengenal lebih dalam aksara yang dinamai dari tiga aksara pertama, yakni ka, ga, nga, dari total 28 aksara itu. Di Leiden, Belanda, ia kaget saat tahu ratusan spesimen Surat Ulu beraksara kaganga tersimpan di sana. Ia juga menemukan belasan spesimen naskah kuno sejenis yang tersimpan di Perancis dan belasan lainnya di Jerman.
”Saat itu saya betul-betul cemburu dalam arti positif. Kenapa orang luar bisa begitu antusias mempelajari naskah-naskah kuno kita, sedangkan kita sendiri sangat kurang peduli?” ujarnya.
Temuan itu menyadarkan dia. Spesimen-spesimen itu adalah kekayaan budaya Indonesia, Bengkulu, dan sekitarnya khususnya. Manuskrip itu menandakan budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia sudah lebih maju pada masa itu.
Belajar dan meneliti
Sarwit yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, tentu lebih terbiasa dengan bahasa dan aksara Jawa daripada aksara kaganga. Namun, ”dendam” positif terhadap banyaknya naskah kuno Bengkulu di Belanda memacu hasratnya. Ia mempelajari betul aksara kaganga.
Ketika itu, penelitian aksara lebih banyak dilakukan pada bahasa Batak, Bugis, dan Jawa. Penelitian tentang kaganga belum ada. Ia ingin penelitian, pembelajaran, dan pelestarian kaganga semaju aksara Batak.
Sarwit juga mempelajari bahasa-bahasa daerah di Bengkulu, seperti bahasa Serawai, Rejang, Lembak, dan Pasemah atau Muko-muko. Hal itu karena sebagian besar naskah kuno yang tersimpan di Belanda berisi tulisan dengan aksara kaganga dalam berbagai bahasa tersebut. Ia juga membaca sejumlah manuskrip dan membuat microfilm dari manuskrip-manuskrip itu.
Di Belanda pula ia bertemu dengan Profesor Petrus Voorhoeve, ahli aksara Batak dan Surat Batak yang juga bisa membaca aksara kaganga. Dengan Voorhoeve, Sarwit bertukar pikiran dan menimba ilmu.
Kembali ke Indonesia tahun 1992, Sarwit menerapkan ilmunya di jurusan tempatnya mengajar. Sampai 1996, dia mendapat tugas membantu Museum Negeri Bengkulu.
Sebagai peneliti, dia diminta mengidentifikasi dan membaca naskah-naskah kuno beraksara kaganga koleksi museum. Sekitar 128 naskah kuno beraksara kaganga terus dia baca, pelajari, dan telaah. Naskah-naskah kuno itu berbentuk kulit kayu, bilah bambu, gelondongan bambu, tanduk, kertas, dan rotan.
Sarwit mendapati banyak kearifan lokal dan ajaran, di antaranya pengobatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan, aturan pernikahan, kesantunan atau etika pergaulan dan berorganisasi, silsilah keluarga, pergaulan muda-mudi, sampai ajaran Islam.
Menurut Sarwit, kearifan lokal itu sebetulnya masih bisa diterapkan. ”Namun, karena kepedulian masyarakat kurang, nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal nenek moyang masyarakat Bengkulu itu kurang dipahami dan diterapkan.”
Naskah-naskah kuno itu biasanya diturunkan dari kepala marga atau pasirah kepada keturunannya. Orang yang menerima lalu menganggapnya sebagai benda pusaka sehingga harus memotong kambing atau mengadakan selamatan bila ingin membuka naskah kuno tersebut.
Karena takut, warga biasanya tak ingin mengetahui isi naskah kuno itu. Mereka menyimpannya asal saja, tanpa teknik penyimpanan yang tepat, sehingga keberadaan naskah kuno itu terancam rusak atau lenyap.
Pelestarian
Dari penelitiannya, Sarwit mendapati tradisi tulis dalam aksara kaganga terhenti awal abad XX. Seharusnya, pemerintah bertindak untuk meneruskan tradisi, atau setidaknya upaya memasukkan aksara kaganga dalam kurikulum sebagai penjagaan sejak dini.
Ia mencatat, tahun 1988 di Kabupaten Rejang Lebong ada upaya memasukkan kaganga dalam kurikulum. Sayang, keterbatasan tenaga pengajar membuat pembelajaran kaganga tak optimal.
Sampai kini, tenaga pengajar di sekolah hanya tahu membaca dan menulis kaganga, tetapi kurang memahami budaya Bengkulu.
”Pengajaran masih sederhana, sekadar bisa menulis dan membaca,” ujarnya.
Kemauan kuat dari pemerintah daerah untuk melestarikan kaganga masih dibutuhkan, di antaranya, dengan menyediakan bahan ajar aksara kaganga dan bahasa daerah yang cukup, serta menyediakan para pengajar yang juga memahami budaya Bengkulu.
Sebagai langkah awal, tahun 2002, Sarwit membuat terobosan dengan menciptakan sistem pembacaan aksara kaganga pada komputer. Aksara kaganga itu dibuat sesuai bahasa daerah yang mengenal aksara kaganga. Maka, ada varian aksara kaganga Ogan, aksara kaganga Lembak, aksara kaganga Ulu, hingga aksara kaganga Serawai.
SARWIT SARWONO
• Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 12 November 1958
• Istri: Ngudining Rahayu (49)
• Anak: - Andika - Himavan - Vidyadhara - Mahendra - Adisvara
• Pendidikan:
- Peserta Program Kerja sama Indonesia-Belanda untuk Pengkajian Indonesia 1990-1992 di Leiden, Belanda
- Tengah mengikuti S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Airlangga, Surabaya
• Pekerjaan:
- Dosen Bahasa dan Sastra Daerah pada Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu
- Ketua Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Maret 2010