LIWA (Lampost): Pemkab Lampung Barat akan menggelar Festival Teluk Stabas (FTS) Ke-11 pada 18--22 Juli mendatang.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat Gatot Hudi Utomo mengatakan sejauh ini telah dilakukan berbagai persiapan guna menyukseskan festival tahunan itu.
Di antaranya perencanaan promosi bertepatan dengan Tahun Kunjungan Wisatawan. "Yang akan ditonjolkan dalam FTS adalah atraksi budaya," kata dia, Kamis (23-4).
Kegiatan FTS dilaksanakan selama empat hari, yakni sejak tanggal 18--22 Juli, dengan pembagian lokasi wilayah Krui, Sumberjaya, dan Liwa. Untuk wilayah Krui, kegiatan akan dipusatkan di Pantai Labuhan Jukung, dengan bentuk kegiatan Festival Layang-Layang, panjat damar, dan voli pantai. "Jika sebelumnya tempatnya menyebar, tahun ini akan disatukan sehingga konsentrasi penonton fokus di satu tempat, dan kesemarakannya akan lebih terasa," ujarnya.
Dia mencontohkan panjat damar, diupayakan pohon damar yang sudah mati tetapi masih kuat dibawa ke Pantai Labuhan Jukung. Yang dilombakan atraksinya memanjat damar.
Sedangkan untuk kegiatan budaya dipusatkan di Liwa, dengan bentuk kegiatan tari kreasi, atraksi budaya, kesenian tradisional, lomba nyanyi lagu Lampung, olahraga tradisional, dan jelajah alam kubu perahu. "Khusus untuk wilayah Sumberjaya, kegiatannya hanya arung jeram," kata Gatot.
Selain kegiatan tersebut, Dinas Pariwisata juga akan menggelar Gebyar Pesona Lumbok-Ranau, yang dipusatkan di Pekon Lombok, Sukau, dengan objek kegiatan Danau Ranau.
Selain Gebyar Pesona Lumbok-Ranau, juga ada kegiatan Semarak Wisata Pantai Tanjung Setia, yang dipusatkan di daerah pesisir. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 April 2008
April 29, 2008
April 28, 2008
Peduli Lingkungan: Anak-anak Penyelamat Hutan Bakau
-- Helena F Nababan
MINGGU (20/4) jarum jam menunjukkan pukul 15.30. Matahari sore terasa lembut di kulit. Suasana tenang hutan pantai menyambut di Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Namun, tak lama kemudian suasana tenang itu berubah sedikit ribut.
Anak-anak SDN Pulau Puhawang sibuk membersihkan lokasi penanaman bibit bakau di bagian hutan yang rusak di pesisir Pulau Puhawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan, Minggu (20/4). (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bernyanyi. Setelah berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari dermaga pesisir barat pulau menuju bagian kawasan hutan bakau tampak serombongan murid sekolah dasar sibuk menanam bibit bakau sambil bernyanyi di tanah berlumpur.
Syair lagu Di Sini Senang di Sana Senang yang sudah dikenal anak-anak Pramuka itu terdengar janggal di telinga. Anak-anak itu mengucapkan syair lagu itu menjadi di sini senang/ di sana senang/ di APL aku paling senang.
”APL itu singkatan dari anak peduli lingkungan,” kata Yulianti (29), guru SDN Puhawang, yang sore itu sibuk mengawasi dan berpartisipasi bersama 30 siswa kelas IV dan V menanam bibit bakau.
APL merupakan istilah untuk menyebut kelompok siswa SDN Pulau Puhawang yang dilatih menyukai alam dan melestarikan hutan bakau di kawasan pesisir. Sama seperti mahasiswa pencinta alam yang memiliki nama mapala, anak-anak SDN Pulau Puhawang memilih nama APL untuk memperkuat kegiatan mereka.
Saat didirikan tahun 2007, APL terdiri atas 90-an anak siswa kelas IV, V, dan VI SDN Pulau Puhawang. Anak-anak itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri atas empat sampai lima anak.
Apri Sanjaya (12), murid kelas VI SDN Pulau Puhawang, menuturkan, ia dan teman-teman satu kelompok mendapat tugas menanam bibit bakau di areal hutan yang rusak. Setiap dua minggu sekali, ia dan teman-teman satu kelompok datang ke lokasi penanaman bibit.
”Setelah menanam bibit, kami mesti mengawasi bibit itu. Kalau hilang terbawa gelombang laut, kami harus menanam kembali bibit bakau di tempat yang sama,” tuturnya.
Selain mengawasi bibit, anak-anak juga diberi tugas mencatat pertumbuhan tanaman bakau. Mereka mesti membuat laporan perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang mereka tanam. Laporan mengenai perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang berisi pertambahan lebar daun, tinggi batang, hingga jumlah daun, kemudian dilaporkan kepada Ibu Guru Yulianti yang biasa dipanggil Ibu Iyung.
”Awalnya, saya tidak suka di hutan bakau. Ini kan tempat nyamuk,” kata Jumantara (13), siswa kelas V SDN Pulau Puhawang.
Demi melihat keengganan anak-anak didiknya, Iyung memotivasi dengan penjelasan sederhana. ”Kalau kita tidak menanami kembali bakau-bakau yang rusak, nyamuk akan pindah ke rumah kita. Kita akan sakit karena nyamuk-nyamuk itu. Itu sebabnya kita mesti menanami lagi bakau-bakau yang rusak supaya nyamuk tidak pindah ke rumah kita,” jelas Iyung.
Penjelasan sederhana itu rupanya memotivasi anak-anak SD Pulau Puhawang. Mereka bahkan terlihat menikmati hari minggu yang habis untuk menyelamatkan pesisir. ”Sekarang saya selalu ingin hari Minggu cepat datang supaya saya bisa melihat bibit bakau yang saya tanam,” kata Jumantara.
Mengajak orangtua
Kegiatan anak-anak APL tidak hanya menanam bibit bakau, mengawasi, atau menjaga pertumbuhan bibit. Mereka juga diajak mengumpulkan sampah- sampah plastik yang berserakan di pantai karena dibawa gelombang atau dibuang sembarangan oleh warga desa. Sampah plastik kemudian dikeringkan sebelum dibakar.
Tindakan mengumpulkan sampah plastik itu pun lama kelamaan menjadi kebiasaan. Anak yang melihat sampah berceceran akan mengambil dan membuangnya di tempat sampah.
Tindakan sederhana semacam itu rupanya mendorong anak- anak itu untuk memberi tahu orangtua mereka. Anak-anak yang sudah belajar menjaga kebersihan lingkungan itu dengan spontan memberi tahu kedua orangtuanya untuk tidak asal membuang sampah di laut. Anak-anak juga spontan memberi tahu orangtua mereka untuk tidak merusak hutan bakau.
”Meski perubahannya lambat, tindakan-tindakan itu spontan membuat saya bergembira. Berbeda dengan saat saya datang tahun 1998, lingkungan pantai sekarang agak terjaga, sementara kerusakan hutan bakau oleh warga desa jauh berkurang,” kata Iyung.
Bertutur tentang Pulau Puhawang dan APL membuat Iyung kembali ke tahun 1998. Tahun 1998 merupakan tahun saat ia pertama kali tiba di pulau yang memiliki luas 1.020 hektar dan terletak di Teluk Lampung yang termasuk Kabupaten Pesawaran atau pemekaran Lampung Selatan itu.
Saat ia datang, pulau yang sejatinya memiliki keindahan alami berupa pantai pasir putih yang cukup panjang dan potensi kerapu yang luar biasa itu sangat kotor. Masyarakat desa seenaknya membuang sampah di laut dan berperilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup tidak sehat itu masih terlihat dari 1998 hingga sekarang.
Mereka banyak yang membuang hajat sembarangan di pantai. ”WC di Puhawang panjang sekali sehingga pantai sangat kotor dan tidak sehat,” katanya.
Saat itu, untuk mengubah perilaku orangtua yang konservatif adalah hal yang mustahil. Satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan yang benar kepada anak-anak pulau. Dengan cara demikian, Iyung memiliki harapan, anak-anak itu ke depan akan memiliki cara hidup yang benar dan perilaku sehat yang tepat. ”Tidak seperti orangtua mereka yang susah sekali diajak berubah,” katanya.
Upaya Iyung mendapat sambutan baik. Lembaga pendampingan masyarakat (LSM) Mitra Bentala membantu upaya tersebut. Bersama Iyung, program APL disusun secara serius. Aneka kegiatan yang diperkirakan menjadi aneka pembelajaran secara santai namun mendidik digarap.
Supriyanto, aktivis Mitra Bentala, mengatakan bahwa APL awalnya hanya merupakan kegiatan sampingan bagi anak-anak SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Setelah Mitra Bentala terlibat lebih jauh, kegiatan peduli lingkungan berupa penyelamatan bakau dan pesisir menjadi kegiatan ekstra kurikuler sekolah sejak 2007.
Maka, menanam bibit bakau yang dilanjutkan dengan mengawasi dan memelihara bibit bakau merupakan kegiatan mendidik anak-anak bertanggung jawab. Penyusunan laporan secara deskripsi merupakan upaya mendidik anak-anak untuk disiplin. Demikian juga kegiatan mengumpulkan sampah di pantai merupakan upaya mendidik anak-anak menghargai miliknya. ”Mereka dididik untuk merasa memiliki sehingga menghargai tempat mereka tinggal,” kata Iyung.
Tidak mengherankan apabila dalam acara peluncuran Coastal, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pantai melalui konservasi pantai terpadu anak-anak APL tergerak mendedikasikan gerakan mereka. Anak-anak itu berjanji untuk terus menjaga lingkungan mereka.
”Kami berjanji akan selalu bersahabat dengan alam. Berjanji tidak akan merusak alam tempat kami bermain. Berjanji untuk selalu menjaga alam hingga kami dewasa nanti,” ucap Apri Sanjaya, mewakili teman-temannya di hadapan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP dan tamu- tamu undangan yang menghadiri peluncuran Coastal, Senin (21/4). Lebih jauh Senior Program Manager for Field Heifer International Indonesia Budi Rahardjo mengatakan, kegiatan APL secara langsung akan berdampak panjang. Keterlibatan anak-anak itu secara langsung merupakan tindakan mengajak anak-anak menyelamatkan tanah dan pulau yang akan mereka warisi.
Selain itu, tanpa disadari anak-anak itu, upaya peduli lingkungan merupakan upaya menyiapkan masa depan mereka sendiri. ”Upaya penyelamatan pulau sejak dini demikian akan memberi keuntungan bagi mereka di masa mendatang,” kata Budi.
Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008
MINGGU (20/4) jarum jam menunjukkan pukul 15.30. Matahari sore terasa lembut di kulit. Suasana tenang hutan pantai menyambut di Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Namun, tak lama kemudian suasana tenang itu berubah sedikit ribut.
Anak-anak SDN Pulau Puhawang sibuk membersihkan lokasi penanaman bibit bakau di bagian hutan yang rusak di pesisir Pulau Puhawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan, Minggu (20/4). (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bernyanyi. Setelah berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari dermaga pesisir barat pulau menuju bagian kawasan hutan bakau tampak serombongan murid sekolah dasar sibuk menanam bibit bakau sambil bernyanyi di tanah berlumpur.
Syair lagu Di Sini Senang di Sana Senang yang sudah dikenal anak-anak Pramuka itu terdengar janggal di telinga. Anak-anak itu mengucapkan syair lagu itu menjadi di sini senang/ di sana senang/ di APL aku paling senang.
”APL itu singkatan dari anak peduli lingkungan,” kata Yulianti (29), guru SDN Puhawang, yang sore itu sibuk mengawasi dan berpartisipasi bersama 30 siswa kelas IV dan V menanam bibit bakau.
APL merupakan istilah untuk menyebut kelompok siswa SDN Pulau Puhawang yang dilatih menyukai alam dan melestarikan hutan bakau di kawasan pesisir. Sama seperti mahasiswa pencinta alam yang memiliki nama mapala, anak-anak SDN Pulau Puhawang memilih nama APL untuk memperkuat kegiatan mereka.
Saat didirikan tahun 2007, APL terdiri atas 90-an anak siswa kelas IV, V, dan VI SDN Pulau Puhawang. Anak-anak itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri atas empat sampai lima anak.
Apri Sanjaya (12), murid kelas VI SDN Pulau Puhawang, menuturkan, ia dan teman-teman satu kelompok mendapat tugas menanam bibit bakau di areal hutan yang rusak. Setiap dua minggu sekali, ia dan teman-teman satu kelompok datang ke lokasi penanaman bibit.
”Setelah menanam bibit, kami mesti mengawasi bibit itu. Kalau hilang terbawa gelombang laut, kami harus menanam kembali bibit bakau di tempat yang sama,” tuturnya.
Selain mengawasi bibit, anak-anak juga diberi tugas mencatat pertumbuhan tanaman bakau. Mereka mesti membuat laporan perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang mereka tanam. Laporan mengenai perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang berisi pertambahan lebar daun, tinggi batang, hingga jumlah daun, kemudian dilaporkan kepada Ibu Guru Yulianti yang biasa dipanggil Ibu Iyung.
”Awalnya, saya tidak suka di hutan bakau. Ini kan tempat nyamuk,” kata Jumantara (13), siswa kelas V SDN Pulau Puhawang.
Demi melihat keengganan anak-anak didiknya, Iyung memotivasi dengan penjelasan sederhana. ”Kalau kita tidak menanami kembali bakau-bakau yang rusak, nyamuk akan pindah ke rumah kita. Kita akan sakit karena nyamuk-nyamuk itu. Itu sebabnya kita mesti menanami lagi bakau-bakau yang rusak supaya nyamuk tidak pindah ke rumah kita,” jelas Iyung.
Penjelasan sederhana itu rupanya memotivasi anak-anak SD Pulau Puhawang. Mereka bahkan terlihat menikmati hari minggu yang habis untuk menyelamatkan pesisir. ”Sekarang saya selalu ingin hari Minggu cepat datang supaya saya bisa melihat bibit bakau yang saya tanam,” kata Jumantara.
Mengajak orangtua
Kegiatan anak-anak APL tidak hanya menanam bibit bakau, mengawasi, atau menjaga pertumbuhan bibit. Mereka juga diajak mengumpulkan sampah- sampah plastik yang berserakan di pantai karena dibawa gelombang atau dibuang sembarangan oleh warga desa. Sampah plastik kemudian dikeringkan sebelum dibakar.
Tindakan mengumpulkan sampah plastik itu pun lama kelamaan menjadi kebiasaan. Anak yang melihat sampah berceceran akan mengambil dan membuangnya di tempat sampah.
Tindakan sederhana semacam itu rupanya mendorong anak- anak itu untuk memberi tahu orangtua mereka. Anak-anak yang sudah belajar menjaga kebersihan lingkungan itu dengan spontan memberi tahu kedua orangtuanya untuk tidak asal membuang sampah di laut. Anak-anak juga spontan memberi tahu orangtua mereka untuk tidak merusak hutan bakau.
”Meski perubahannya lambat, tindakan-tindakan itu spontan membuat saya bergembira. Berbeda dengan saat saya datang tahun 1998, lingkungan pantai sekarang agak terjaga, sementara kerusakan hutan bakau oleh warga desa jauh berkurang,” kata Iyung.
Bertutur tentang Pulau Puhawang dan APL membuat Iyung kembali ke tahun 1998. Tahun 1998 merupakan tahun saat ia pertama kali tiba di pulau yang memiliki luas 1.020 hektar dan terletak di Teluk Lampung yang termasuk Kabupaten Pesawaran atau pemekaran Lampung Selatan itu.
Saat ia datang, pulau yang sejatinya memiliki keindahan alami berupa pantai pasir putih yang cukup panjang dan potensi kerapu yang luar biasa itu sangat kotor. Masyarakat desa seenaknya membuang sampah di laut dan berperilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup tidak sehat itu masih terlihat dari 1998 hingga sekarang.
Mereka banyak yang membuang hajat sembarangan di pantai. ”WC di Puhawang panjang sekali sehingga pantai sangat kotor dan tidak sehat,” katanya.
Saat itu, untuk mengubah perilaku orangtua yang konservatif adalah hal yang mustahil. Satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan yang benar kepada anak-anak pulau. Dengan cara demikian, Iyung memiliki harapan, anak-anak itu ke depan akan memiliki cara hidup yang benar dan perilaku sehat yang tepat. ”Tidak seperti orangtua mereka yang susah sekali diajak berubah,” katanya.
Upaya Iyung mendapat sambutan baik. Lembaga pendampingan masyarakat (LSM) Mitra Bentala membantu upaya tersebut. Bersama Iyung, program APL disusun secara serius. Aneka kegiatan yang diperkirakan menjadi aneka pembelajaran secara santai namun mendidik digarap.
Supriyanto, aktivis Mitra Bentala, mengatakan bahwa APL awalnya hanya merupakan kegiatan sampingan bagi anak-anak SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Setelah Mitra Bentala terlibat lebih jauh, kegiatan peduli lingkungan berupa penyelamatan bakau dan pesisir menjadi kegiatan ekstra kurikuler sekolah sejak 2007.
Maka, menanam bibit bakau yang dilanjutkan dengan mengawasi dan memelihara bibit bakau merupakan kegiatan mendidik anak-anak bertanggung jawab. Penyusunan laporan secara deskripsi merupakan upaya mendidik anak-anak untuk disiplin. Demikian juga kegiatan mengumpulkan sampah di pantai merupakan upaya mendidik anak-anak menghargai miliknya. ”Mereka dididik untuk merasa memiliki sehingga menghargai tempat mereka tinggal,” kata Iyung.
Tidak mengherankan apabila dalam acara peluncuran Coastal, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pantai melalui konservasi pantai terpadu anak-anak APL tergerak mendedikasikan gerakan mereka. Anak-anak itu berjanji untuk terus menjaga lingkungan mereka.
”Kami berjanji akan selalu bersahabat dengan alam. Berjanji tidak akan merusak alam tempat kami bermain. Berjanji untuk selalu menjaga alam hingga kami dewasa nanti,” ucap Apri Sanjaya, mewakili teman-temannya di hadapan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP dan tamu- tamu undangan yang menghadiri peluncuran Coastal, Senin (21/4). Lebih jauh Senior Program Manager for Field Heifer International Indonesia Budi Rahardjo mengatakan, kegiatan APL secara langsung akan berdampak panjang. Keterlibatan anak-anak itu secara langsung merupakan tindakan mengajak anak-anak menyelamatkan tanah dan pulau yang akan mereka warisi.
Selain itu, tanpa disadari anak-anak itu, upaya peduli lingkungan merupakan upaya menyiapkan masa depan mereka sendiri. ”Upaya penyelamatan pulau sejak dini demikian akan memberi keuntungan bagi mereka di masa mendatang,” kata Budi.
Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008
Tradisi: Ruwat Laut Ramaikan Pantai Sukaraja
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Ruwat laut dengan membuang kepala kerbau juga dilakukan nelayan di Pantai Sukaraja, Telukbetung, Minggu (27-4). Perahu-perahu hias dengan tempelan stiker seorang calon gubernur pun turut memeriahkan kegiatan tersebut.
RUWAT LAUT. Para nelayan menggelar ruwatan laut di Pantai Sukaraja, Telukbetung, Bandar Lampung, Minggu (27-4). Selain memohon doa dan ungkapan syukur, kegiatan itu juga sebagai ajang silaturahmi para nelayan. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
"Tadinya saya bersama keluarga ingin mencari ikan segar di sini, tapi yang ada justru keramaian yang jarang terlihat," kata salah satu warga yang ikut menyaksikan kegiatan ruwat laut itu, Mahyudi.
Bagi warga Bandar Lampung ini, kegiatan ruwat laut dan perahu hias hanya pernah disaksikan lewat televisi, belum pernah melihat langsung. "Apalagi bagi anak-anak. Baru kali ini melihat perahu hias serta lomba dayung perahu secara langsung," kata dia.
Bagi Sarmah (45), pedagang ikan di lokasi itu, kegiatan tersebut membuatnya tidak berdagang, tapi ia pun menikmati hiburan yang sudah lama tidak digelar itu.
"Kalau mau dagang, juga tidak bisa karena para nelayan payang semua mengikuti kegiatan ruwat laut dan relung kepala kerbau itu," kata dia.
Ketua Komunitas Nelayan Sukaraja, Telukbetung, Bandar Lampung, Maryuni, mengatakan ruwat laut dilakukan sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan kepada para nelayan.
"Selain itu, kegiatan tersebut sebagai ajang silaturahmi para nelayan sekaligus berekreasi guna mengurangi kejenuhan dengan rutinitas bekerja," kata dia.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Untung Sugiyatno, mengatakan selain bersyukur, para nelayan juga harus mengintrospeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan.
"Bandingkan pendapatan hingga April 2008 dengan April 2007, apakah ada peningkatan atau sebaliknya. Jika sebaliknya, lihat apa pula penyebabnya. Apakah selama ini dalam mencari ikan melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan, seperti mengebom atau menggunakan jaring trauler," kata Untung.
Hak Pilih
Untung juga mengajak para nelayan di Pantai Sukaraja menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, jangan sampai tidak memilih atau golput.
"Jika tidak memilih atau golput, nelayan pun ikut bertanggung jawab terhadap kepemimpinan Lampung lima tahun ke depan. Sebab itu, gunakan hak pilih secara benar," kata Kadis, ketika berbicara di hadapan nelayan yang sedang mengikuti ruwat laut di pantai tersebut.
Sejumlah nelayan mengatakan bagi mereka yang terpenting calon kepala daerah bisa memfasilitasi untuk tetap eksis melaut. "Bagi kami yang paling penting pantai tidak tertutup atau ditimbun seperti beberapa tempat. Sebab, penghasilan kami hanya dari mayang atau menarik jala dari tepi pantai," kata nelayan di sana.
Kegiatan ruwat laut itu selain disponsori salah satu produk rokok sehingga tertempel stiker pada sejumlah perahu, juga disemarakkan stiker calon kepala daerah berada di perahu-perahu itu. "Kalau saya memang pilihannya ini sehingga senang lah menempelkannya ke perahu," kata seorang nelayan sambil menunjuk ke arah gambar calon tersebut.
Mengenai potensi ikan tangkap, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Untung Sugiyatno, mengatakan baru tergarap sekitar 145 ribu ton atau 45 persen.
"Sebab itu, perlu upaya peningkatkan penangkapan dengan menambah alat, seperti jaring dan bantuan perahu," kata dia.
Ia menyebutkan perlu ada bantuan perahu melalui program fiberisasi, yakni mengganti perahu jukung nelayan dengan perahu yang terbuat dari fiber dan diberi mesin.
"Dengan demikian, nelayan yang menggunakan perahu tersebut bisa lebih cepat dan leluasa menjelajahi beberapa wilayah sebatas jarak tempuh kapal tersebut, yakni sekitar tiga mil," kata Kadis. n K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 April 2008
RUWAT LAUT. Para nelayan menggelar ruwatan laut di Pantai Sukaraja, Telukbetung, Bandar Lampung, Minggu (27-4). Selain memohon doa dan ungkapan syukur, kegiatan itu juga sebagai ajang silaturahmi para nelayan. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
"Tadinya saya bersama keluarga ingin mencari ikan segar di sini, tapi yang ada justru keramaian yang jarang terlihat," kata salah satu warga yang ikut menyaksikan kegiatan ruwat laut itu, Mahyudi.
Bagi warga Bandar Lampung ini, kegiatan ruwat laut dan perahu hias hanya pernah disaksikan lewat televisi, belum pernah melihat langsung. "Apalagi bagi anak-anak. Baru kali ini melihat perahu hias serta lomba dayung perahu secara langsung," kata dia.
Bagi Sarmah (45), pedagang ikan di lokasi itu, kegiatan tersebut membuatnya tidak berdagang, tapi ia pun menikmati hiburan yang sudah lama tidak digelar itu.
"Kalau mau dagang, juga tidak bisa karena para nelayan payang semua mengikuti kegiatan ruwat laut dan relung kepala kerbau itu," kata dia.
Ketua Komunitas Nelayan Sukaraja, Telukbetung, Bandar Lampung, Maryuni, mengatakan ruwat laut dilakukan sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan kepada para nelayan.
"Selain itu, kegiatan tersebut sebagai ajang silaturahmi para nelayan sekaligus berekreasi guna mengurangi kejenuhan dengan rutinitas bekerja," kata dia.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Untung Sugiyatno, mengatakan selain bersyukur, para nelayan juga harus mengintrospeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan.
"Bandingkan pendapatan hingga April 2008 dengan April 2007, apakah ada peningkatan atau sebaliknya. Jika sebaliknya, lihat apa pula penyebabnya. Apakah selama ini dalam mencari ikan melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan, seperti mengebom atau menggunakan jaring trauler," kata Untung.
Hak Pilih
Untung juga mengajak para nelayan di Pantai Sukaraja menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, jangan sampai tidak memilih atau golput.
"Jika tidak memilih atau golput, nelayan pun ikut bertanggung jawab terhadap kepemimpinan Lampung lima tahun ke depan. Sebab itu, gunakan hak pilih secara benar," kata Kadis, ketika berbicara di hadapan nelayan yang sedang mengikuti ruwat laut di pantai tersebut.
Sejumlah nelayan mengatakan bagi mereka yang terpenting calon kepala daerah bisa memfasilitasi untuk tetap eksis melaut. "Bagi kami yang paling penting pantai tidak tertutup atau ditimbun seperti beberapa tempat. Sebab, penghasilan kami hanya dari mayang atau menarik jala dari tepi pantai," kata nelayan di sana.
Kegiatan ruwat laut itu selain disponsori salah satu produk rokok sehingga tertempel stiker pada sejumlah perahu, juga disemarakkan stiker calon kepala daerah berada di perahu-perahu itu. "Kalau saya memang pilihannya ini sehingga senang lah menempelkannya ke perahu," kata seorang nelayan sambil menunjuk ke arah gambar calon tersebut.
Mengenai potensi ikan tangkap, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Untung Sugiyatno, mengatakan baru tergarap sekitar 145 ribu ton atau 45 persen.
"Sebab itu, perlu upaya peningkatkan penangkapan dengan menambah alat, seperti jaring dan bantuan perahu," kata dia.
Ia menyebutkan perlu ada bantuan perahu melalui program fiberisasi, yakni mengganti perahu jukung nelayan dengan perahu yang terbuat dari fiber dan diberi mesin.
"Dengan demikian, nelayan yang menggunakan perahu tersebut bisa lebih cepat dan leluasa menjelajahi beberapa wilayah sebatas jarak tempuh kapal tersebut, yakni sekitar tiga mil," kata Kadis. n K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 April 2008
April 24, 2008
Musik: Belum Dirilis, Lagu Kangen Band Dibajak
KANGEN Band sepertinya memang benar-benar dirindukan para pencinta musik. Belum juga dirilis, lagu andalan Kangen Band dari album terbarunya telah dibajak.
Lagu Doi dari album kedua Kangen bertajuk Bintang 14 Hari kini bisa diunduh via internet. Lirik lagu itu pun telah tersebar luas.
"Aduh kasihan kami dong kalau dibajak. Ya kalau dibajak pastinya sedih, tapi mau gimana lagi," ujar Thama, sang gitaris, belum lama ini.
Tidak bisa dimungkiri, nama band asal Lampung itu melejit setelah karya mereka laris sebagai band bajakan. Setelah karya bajakan mereka merebak, Kangan Band baru berkesempatan dirangkul major label.
"Tapi ya alhamdulillah lagi kita didengar, ditunggu. Padahal butuh waktu lama bikinnya, bahaya bener bikinnya. Soalnya ini kan album kedua, supaya masyarakat masih suka sama kami," jelas Thama.
Berbeda dengan album pertama yang hanya butuh waktu dua pekan untuk proses penggarapannya, kali ini mereka berkutat selama lima bulan di studio. Di album keduanya ini, Kangen Band menambahkan sedikit unsur akustik.
"Ya biasanya Kangen kan ada Melayu gitu. Ada yang dikit-dikit keluar dari itu. Kami lagi pengin aja," tandas Thama ramah.
Proses pengerjaan album ini berlangsung di Studio Aluna milik Erwin Gutawa. Tapi, tidak berarti Andika (vokal), Thama (gitar), Bebe (bas), Iim (drum), Dodhy (gitar), dan Izzy (keyboards) mendapat bantuan dari Erwin. Keseluruhan album ini murni digarap Kangen Band sendiri.
Dengan nada-nada lagu Melayu, album Aku, Kau dan Dia, Kangen Band menuai sukses di pasaran, terlepas dari banyaknya suara sumbang mengenai Kangen Band. Nama mereka pun bergaung hingga ke negara tetangga. n M-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 April 2008
Lagu Doi dari album kedua Kangen bertajuk Bintang 14 Hari kini bisa diunduh via internet. Lirik lagu itu pun telah tersebar luas.
"Aduh kasihan kami dong kalau dibajak. Ya kalau dibajak pastinya sedih, tapi mau gimana lagi," ujar Thama, sang gitaris, belum lama ini.
Tidak bisa dimungkiri, nama band asal Lampung itu melejit setelah karya mereka laris sebagai band bajakan. Setelah karya bajakan mereka merebak, Kangan Band baru berkesempatan dirangkul major label.
"Tapi ya alhamdulillah lagi kita didengar, ditunggu. Padahal butuh waktu lama bikinnya, bahaya bener bikinnya. Soalnya ini kan album kedua, supaya masyarakat masih suka sama kami," jelas Thama.
Berbeda dengan album pertama yang hanya butuh waktu dua pekan untuk proses penggarapannya, kali ini mereka berkutat selama lima bulan di studio. Di album keduanya ini, Kangen Band menambahkan sedikit unsur akustik.
"Ya biasanya Kangen kan ada Melayu gitu. Ada yang dikit-dikit keluar dari itu. Kami lagi pengin aja," tandas Thama ramah.
Proses pengerjaan album ini berlangsung di Studio Aluna milik Erwin Gutawa. Tapi, tidak berarti Andika (vokal), Thama (gitar), Bebe (bas), Iim (drum), Dodhy (gitar), dan Izzy (keyboards) mendapat bantuan dari Erwin. Keseluruhan album ini murni digarap Kangen Band sendiri.
Dengan nada-nada lagu Melayu, album Aku, Kau dan Dia, Kangen Band menuai sukses di pasaran, terlepas dari banyaknya suara sumbang mengenai Kangen Band. Nama mereka pun bergaung hingga ke negara tetangga. n M-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 April 2008
Reklamasi: Teluk Lampung Harus Diselamatkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tanpa adanya transparansi dalam melaksanakan program dan melibatkan semua unsur masyarakat yang ada, reklamasi pantai sebagai konsekuensi penataan pesisir Teluk Lampung sulit diwujudkan. Untuk itu, semua pihak harus satu kata: Selamatkan Teluk Lampung dari kehancuran.
Sekretaris Komisi C DPRD Bandar Lampung, Khairul Bakti, mengatakan sebenarnya penataan kawasan pesisir yang sangat identik dengan reklamasi pantai untuk kedua kalinya akan dilaksanakan. Yang pertama, reklamasi pantai sudah dilakukan tiga perusahaan yang sampai kini tidak ada kelanjutannya.
"Di sinilah peran Pemkot yang memiliki regulasi kebijakan untuk membenahi. Izin reklamasi pantai yang sudah diberikan kepada tiga perusahaan swasta sebelumnya harus ditinjau ulang. Apakah sudah sesuai dengan konsep awal dan bagaimana tindaklanjutnya," kata Khairul, terkait penataan kawasan pesisir, di ruang kerjanya, Rabu (23-4).
Jika sekarang Bandar Lampung sudah mencanangkan pembangunan kawasan pesisir, lanjut Khairul, Pemkot harus melibatkan semua pihak dan mengajar pengusaha yang sudah lebih dulu melakukan reklamasi pantai untuk duduk satu meja. Tujuannya, untuk membahas rencana pengembangan kawasan pesisir Teluk Lampung.
"Jika pihak swasta yang sudah lebih dulu melaksanakan reklamasi pantai tidak mau diajak terlibat, Pemkot tinggal melihat perizinan yang sudah dikeluarkan. Jika tidak sesuai dengan MoU yang sudah disepakati, beri penalti dan cabut izinnya," kata politisi Partai Golkar itu.
Selain itu, lanjut Khairul, peran serta masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan dalam penataan kawasan pesisir. Sehingga, reklamasi pantai jangan lagi menjadi wilayah kekuasaan pihak ketiga.
Namun, reklamasi pantai yang dilakukan harus menjadi milik publik yang pengelolaannya bisa dilakukan oleh pemerintah atau swasta. "Harus ada aturan main yang menguntungkan masyarakat dalam melakukan penataan kawasan pesisir," kata dia.
Anggota Komisi C lainnya, Syarif Hidayat, menjelaskan Pemkot juga harus transparan dalam menjalankan program penataan kawasan pesisir kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat Teluk Lampung akan sangat mendukung penataan kawasan seperti masyarakat Pantai Losari. Terlebih, konsep yang akan dibangun Pemkot adalah penataan tanpa harus menggusur.
"Bila perlu, dibentuk UPTD dalam pelaksanaan kegiatan penataan kawasan pesisir dan pengelolaannya. Hal itu demi mengatur secara tegas di mana kewenangan Pemkot, kewenangan pengusaha, dan kewenangan masyarakat. Jangan sampai, setelah dilakukan reklamasi, pengusaha dapat menjual lahan seenaknya tanpa ada yang mengontrol," kata dia.
Terlebih, sejauh ini, reklamasi pantai yang dilakukan telah menutup akses masyarakat dalam mendapatkan ruang publik di pinggir pantai. "Lihat saja, reklamasi yang dilakukan selama ini, menutup ruang publik bagi masyarakat," kata politisi PKS itu.
Sedangkan anggota Komisi C lainnya, A. Farid Riza, mengatakan Dewan sangat mendukung dengan rencana Pemkot dalam melaksanakan penataan kawasan pesisir. Hanya saja, jika di Pantai Losari penguasaan lahan hasil reklamasi tetap berada di tangan Pemkot, di Bandar Lampung hasil reklamasi dikuasi pihak ketiga. n KIM/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 April 2008
Sekretaris Komisi C DPRD Bandar Lampung, Khairul Bakti, mengatakan sebenarnya penataan kawasan pesisir yang sangat identik dengan reklamasi pantai untuk kedua kalinya akan dilaksanakan. Yang pertama, reklamasi pantai sudah dilakukan tiga perusahaan yang sampai kini tidak ada kelanjutannya.
"Di sinilah peran Pemkot yang memiliki regulasi kebijakan untuk membenahi. Izin reklamasi pantai yang sudah diberikan kepada tiga perusahaan swasta sebelumnya harus ditinjau ulang. Apakah sudah sesuai dengan konsep awal dan bagaimana tindaklanjutnya," kata Khairul, terkait penataan kawasan pesisir, di ruang kerjanya, Rabu (23-4).
Jika sekarang Bandar Lampung sudah mencanangkan pembangunan kawasan pesisir, lanjut Khairul, Pemkot harus melibatkan semua pihak dan mengajar pengusaha yang sudah lebih dulu melakukan reklamasi pantai untuk duduk satu meja. Tujuannya, untuk membahas rencana pengembangan kawasan pesisir Teluk Lampung.
"Jika pihak swasta yang sudah lebih dulu melaksanakan reklamasi pantai tidak mau diajak terlibat, Pemkot tinggal melihat perizinan yang sudah dikeluarkan. Jika tidak sesuai dengan MoU yang sudah disepakati, beri penalti dan cabut izinnya," kata politisi Partai Golkar itu.
Selain itu, lanjut Khairul, peran serta masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan dalam penataan kawasan pesisir. Sehingga, reklamasi pantai jangan lagi menjadi wilayah kekuasaan pihak ketiga.
Namun, reklamasi pantai yang dilakukan harus menjadi milik publik yang pengelolaannya bisa dilakukan oleh pemerintah atau swasta. "Harus ada aturan main yang menguntungkan masyarakat dalam melakukan penataan kawasan pesisir," kata dia.
Anggota Komisi C lainnya, Syarif Hidayat, menjelaskan Pemkot juga harus transparan dalam menjalankan program penataan kawasan pesisir kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat Teluk Lampung akan sangat mendukung penataan kawasan seperti masyarakat Pantai Losari. Terlebih, konsep yang akan dibangun Pemkot adalah penataan tanpa harus menggusur.
"Bila perlu, dibentuk UPTD dalam pelaksanaan kegiatan penataan kawasan pesisir dan pengelolaannya. Hal itu demi mengatur secara tegas di mana kewenangan Pemkot, kewenangan pengusaha, dan kewenangan masyarakat. Jangan sampai, setelah dilakukan reklamasi, pengusaha dapat menjual lahan seenaknya tanpa ada yang mengontrol," kata dia.
Terlebih, sejauh ini, reklamasi pantai yang dilakukan telah menutup akses masyarakat dalam mendapatkan ruang publik di pinggir pantai. "Lihat saja, reklamasi yang dilakukan selama ini, menutup ruang publik bagi masyarakat," kata politisi PKS itu.
Sedangkan anggota Komisi C lainnya, A. Farid Riza, mengatakan Dewan sangat mendukung dengan rencana Pemkot dalam melaksanakan penataan kawasan pesisir. Hanya saja, jika di Pantai Losari penguasaan lahan hasil reklamasi tetap berada di tangan Pemkot, di Bandar Lampung hasil reklamasi dikuasi pihak ketiga. n KIM/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 April 2008
April 23, 2008
Lingkungan: Masyarakat Puhawang Lindungi Hutan Bakau
Bandar Lampung, Kompas - Kawasan hutan bakau seluas 141 hektar di pesisir Pulau Puhawang yang terletak di wilayah Kabupaten Pesawaran, Lampung, terus mengalami ancaman penebangan dan perusakan oleh pencari cacing merah. Oleh karena itu, warga setempat membentuk Badan Pengelola Daerah Penyelamatan Mangrove atau BPDPM Pulau Puhawang untuk menyelamatkan mangrove di sekeliling pulau tersebut.
Mantan Kepala Desa Pulau Puhawang Syahril Karim pada pertemuan warga, Senin (21/4), mengatakan, BPDPM Pulau Puhawang dikukuhkan pada November 2006 melalui peraturan desa dan beranggotakan 18 pengurus. Warga desa seluruhnya menjadi anggota BPDPM dan bertanggung jawab terhadap pelestarian hutan bakau.
Syahril Karim mengatakan, ancaman terhadap kelestarian hutan bakau di pulau itu sudah terjadi sejak 1975. Pada kurun waktu 1975 hingga 1996, hutan bakau di Pulau Puhawang banyak ditebangi oleh pencari kayu bakau dari luar negeri.
Kapal-kapal asing dari dua Negara tersebut memasuki wilayah Pulau Puhawang di Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran, secara ilegal. Untuk menebang kayu pohon bakau, mereka membawa tenaga kerja dari luar pulau dan sama sekali tidak melibatkan warga desa.
Kegiatan penebangan secara ilegal sudah merusak 60 persen kawasan hutan mangrove Pulau Puhawang seluas 141 hektar itu, sehingga hanya 40 persen yang tersisa agak baik.
Seiring hilangnya penebangan ilegal pada 1996, ancaman kerusakan hutan bakau justru muncul dari para pencari cacing merah yang berasal dari daratan Lampung di Kecamatan Punduh Pidada dan Bandar Lampung.
Cacing merah itu diketahui banyak diminta petambak udang untuk dijadikan sebagai pakan udang. Petambak udang menghargai cacing merah itu dengan harga mahal, sekitar Rp 25.000 per kilogram. ”Hal itu juga menjadi daya tarik tersendiri,” kata Karim yang saat ini menjabat Ketua BPDPM Pulau Puhawang.
Untuk menekan angka kerusakan hutan bakau, BPDPM mendapat bantuan pendampingan dan pelatihan pelestarian hutan bakau dari Lembaga Pendampingan Masyarakat Mitra Bentala Lampung. Mereka bersama-sama mengupayakan penyelamatan bakau melalui kerja sama personal Mitra Bentala dan masyarakat.
Melalui BPDPM tersebut, warga juga menyetujui pembagian wilayah hutan bakau menjadi zona pemanfaatan, zona penyangga, dan zona inti. Pembagian zonasi itu tertuang dalam peraturan desa (perdes), dan harus dipatuhi oleh semua warga desa.
Selain membagi zonasi hutan, warga juga mendukung pelestarian dengan pendirian kebun bibit bakau. Saat ini, Desa Pulau Puhawang memiliki kebun bibit bakau seluas setengah hektar.
”Dari kebun itulah kami mengupayakan bibit-bibit bakau yang kami tanam di zona-zona itu,” kata Karim.
Selama tiga tahun terakhir, kawasan hutan bakau yang mulai membaik terpantau sekitar 30 hektar. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 April 2008
Mantan Kepala Desa Pulau Puhawang Syahril Karim pada pertemuan warga, Senin (21/4), mengatakan, BPDPM Pulau Puhawang dikukuhkan pada November 2006 melalui peraturan desa dan beranggotakan 18 pengurus. Warga desa seluruhnya menjadi anggota BPDPM dan bertanggung jawab terhadap pelestarian hutan bakau.
Syahril Karim mengatakan, ancaman terhadap kelestarian hutan bakau di pulau itu sudah terjadi sejak 1975. Pada kurun waktu 1975 hingga 1996, hutan bakau di Pulau Puhawang banyak ditebangi oleh pencari kayu bakau dari luar negeri.
Kapal-kapal asing dari dua Negara tersebut memasuki wilayah Pulau Puhawang di Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran, secara ilegal. Untuk menebang kayu pohon bakau, mereka membawa tenaga kerja dari luar pulau dan sama sekali tidak melibatkan warga desa.
Kegiatan penebangan secara ilegal sudah merusak 60 persen kawasan hutan mangrove Pulau Puhawang seluas 141 hektar itu, sehingga hanya 40 persen yang tersisa agak baik.
Seiring hilangnya penebangan ilegal pada 1996, ancaman kerusakan hutan bakau justru muncul dari para pencari cacing merah yang berasal dari daratan Lampung di Kecamatan Punduh Pidada dan Bandar Lampung.
Cacing merah itu diketahui banyak diminta petambak udang untuk dijadikan sebagai pakan udang. Petambak udang menghargai cacing merah itu dengan harga mahal, sekitar Rp 25.000 per kilogram. ”Hal itu juga menjadi daya tarik tersendiri,” kata Karim yang saat ini menjabat Ketua BPDPM Pulau Puhawang.
Untuk menekan angka kerusakan hutan bakau, BPDPM mendapat bantuan pendampingan dan pelatihan pelestarian hutan bakau dari Lembaga Pendampingan Masyarakat Mitra Bentala Lampung. Mereka bersama-sama mengupayakan penyelamatan bakau melalui kerja sama personal Mitra Bentala dan masyarakat.
Melalui BPDPM tersebut, warga juga menyetujui pembagian wilayah hutan bakau menjadi zona pemanfaatan, zona penyangga, dan zona inti. Pembagian zonasi itu tertuang dalam peraturan desa (perdes), dan harus dipatuhi oleh semua warga desa.
Selain membagi zonasi hutan, warga juga mendukung pelestarian dengan pendirian kebun bibit bakau. Saat ini, Desa Pulau Puhawang memiliki kebun bibit bakau seluas setengah hektar.
”Dari kebun itulah kami mengupayakan bibit-bibit bakau yang kami tanam di zona-zona itu,” kata Karim.
Selama tiga tahun terakhir, kawasan hutan bakau yang mulai membaik terpantau sekitar 30 hektar. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 April 2008
Pariwisata: Pulau Pahawang-Legundi Objek Wisata Potensial
PUNDUH PIDADA (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan Pemprov akan memberikan perhatian terhadap pengembangan objek wisata Pulau Pahawang dan Pulau Legundi. Kedua objek wisata bahari itu menarik minat wisatawan untuk berkunjung.
Ketika berada di dua lokasi tersebut kemarin (22-4), Gubernur didampingi Penjabat Bupati Pesawaran, Harris Fadilah dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pesawaran, Afrudin.
"Kedua pulau tersebut mempunyai nilai lebih di sektor pariwisata, terlebih pada 2009, tahun kunjungan wisata ke Provinsi Lampung. Saya yakin daerah ini akan menarik minat wisatawan untuk datang ke sini karena keindahan alamnya sangat menarik," kata Sjachroedin.
Selama di Kabupaten Pesawaran, Gubernur Lampung memberikan bantuan kepada masyarakat dan masjid setempat serta bantuan berupa ternak, dan alat-alat olahraga.
"Bantuan ini untuk perkembangan daerah dan untuk memaksimalkan hasil tangkapan," ujar dia.
Sementara itu, Harris Fadilah mengatakan Kabupaten Pesawaran berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata, khususnya di Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Punduh Pidada yang memiliki keindahan alam yang menunjang untuk pengembangan kepariwisataan khususnya di Kabupaten Pesawaran.
Dia mengakui daerah ini dikenal memiliki keindahan alam yang eksotis karena bentang alamnya yang memiliki gunung dan pantai sehingga memberi nilai lebih di bidang kepariwisataan.
"Kami akan membenahi infrastruktur sebagai penunjang daerah ini sebagai tujuan wisata andalan dan secara bertahap akan mengembangkan daerah ini," jelas Harris.
Harris juga memberikan bantuan berupa perahu kepada nelayan yang tinggal di Pulau Pahawang. Selain sebagai penunjang mata pencarian, dia berharap bantuan perahu Pemkab Pesawaran ini bisa dijadikan sebagai sarana transportasi untuk masyarakat khususnya para guru yang mengajar di Pulau Pahawang. "Kami berharap bantuan ini menjadi semacam akses untuk masyarakat yang tinggal di Pulau Pahawang agar tidak terkesan terisolasi."
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesawaran, Afrudin, menjelaskan kunjungan Gubernur juga dalam rangka peluncuran program Coastal berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di daerah pantai melalui konservasi pantai terpadu. n SWA/D-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 April 2008
Ketika berada di dua lokasi tersebut kemarin (22-4), Gubernur didampingi Penjabat Bupati Pesawaran, Harris Fadilah dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pesawaran, Afrudin.
"Kedua pulau tersebut mempunyai nilai lebih di sektor pariwisata, terlebih pada 2009, tahun kunjungan wisata ke Provinsi Lampung. Saya yakin daerah ini akan menarik minat wisatawan untuk datang ke sini karena keindahan alamnya sangat menarik," kata Sjachroedin.
Selama di Kabupaten Pesawaran, Gubernur Lampung memberikan bantuan kepada masyarakat dan masjid setempat serta bantuan berupa ternak, dan alat-alat olahraga.
"Bantuan ini untuk perkembangan daerah dan untuk memaksimalkan hasil tangkapan," ujar dia.
Sementara itu, Harris Fadilah mengatakan Kabupaten Pesawaran berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata, khususnya di Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Punduh Pidada yang memiliki keindahan alam yang menunjang untuk pengembangan kepariwisataan khususnya di Kabupaten Pesawaran.
Dia mengakui daerah ini dikenal memiliki keindahan alam yang eksotis karena bentang alamnya yang memiliki gunung dan pantai sehingga memberi nilai lebih di bidang kepariwisataan.
"Kami akan membenahi infrastruktur sebagai penunjang daerah ini sebagai tujuan wisata andalan dan secara bertahap akan mengembangkan daerah ini," jelas Harris.
Harris juga memberikan bantuan berupa perahu kepada nelayan yang tinggal di Pulau Pahawang. Selain sebagai penunjang mata pencarian, dia berharap bantuan perahu Pemkab Pesawaran ini bisa dijadikan sebagai sarana transportasi untuk masyarakat khususnya para guru yang mengajar di Pulau Pahawang. "Kami berharap bantuan ini menjadi semacam akses untuk masyarakat yang tinggal di Pulau Pahawang agar tidak terkesan terisolasi."
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesawaran, Afrudin, menjelaskan kunjungan Gubernur juga dalam rangka peluncuran program Coastal berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di daerah pantai melalui konservasi pantai terpadu. n SWA/D-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 April 2008
April 20, 2008
Apresiasi: Menakar Vitalitas Bahasa Lampung
-- Muhammad Sukirlan*
TANGGAL 10 sampai 12 Maret 2003 badan dunia UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) mengadakan pertemuan internasional yang membahas tentang program penyelamatan bahasa-bahasa yang terancam kepunahannya. Topik pertemuan tersebut mengerucut pada pembahasan yang terkait dengan vitalitas dan ancaman bahasa yang ada di dunia.
Pertemuan tersebut menjadi bukti bahwa persoalan bahasa daerah sudah menjadi isu internasional. Masyarakat internasional menyadari bahwa keragaman bahasa merupakan warisan budaya leluhur yang sangat berharga sehingga upaya untuk melestarikan bahasa daerah harus ditangani secara serius. Mereka juga menyadari bahwa hilangnya suatu bahasa pada hakikatnya merupakan hilangnya warisan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan jati diri penuturya. Oleh sebab itu Bahasa Lampung (BL) bisa juga disebut sebagai cerminan nilai-nilai budaya daerah yang sedari dulu sudah berlaku di daerah Lampung. Johnson (2002) mengatakan I speak my favorite language because that's who I am (Saya menggunakan bahasa kesukaan saya karena itulah jati diri saya) dan We teach our children our favorite language because we want them to know who they are (Kita mengajarkan bahasa kesukaan kita karena kita ingin mereka mengetahui jati dirinya).
Pernyataan tersebut setidaknya mengandung dua pesan. Pertama, bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan latar belakang sosial budaya dan tata nilai penuturnya. Kedua, mengajarkan BL kepada generasi muda merupakan salah satu bentuk usaha melestarikan nilai-nilai luhur budaya daerah sehingga generasi sekarang dan yang akan datang mampu mengenali jati dirinya.
Hal ini penting karena dengan mengenali jati dirinya secara utuh, suatu generasi akan mampu menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya dan modal dasar yang dimilikinya. Dan, inilah yang sejatinya merupakan salah satu wujud dari pembangunan daerah yang manusiawi, suatu pembangunan yang mampu menyentuh segala kebutuhan sosial budaya masyarakat setempat
Vitalitas BL
Suatu bahasa dikatakan terancam vitalitasnya apabila bahasa itu cenderung atau sedang menuju ke arah kepunahan. Tanda-tanda kepunahan suatu bahasa bisa dilihat dari beberapa gejala antara lain (1) masyarakat penuturnya berhenti menggunakan bahasa tersebut, (2) bahasa itu digunakan hanya dalam domain komunikasi tertentu yang sangat terbatas, dan (3) bahasa itu berhenti diwariskan (diajarkan) dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga tidak ada lagi penutur baru bahasa itu baik di tingkat orang dewasa maupun anak-anak.
Berpijak pada ketiga tanda kepunahan bahasa tersebut di atas maka BL tampaknya belum menunjukkan adanya tanda-tanda kepunahan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, usaha pewarisan BL semakin gencar dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun informal dan masyarakat penuturnya masih relatif banyak tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Lampung. Kedua, menurut hasil survei Litbang Media Group (Media Indonesia, 23 Februari 2008) ditemukan ada 32 bahasa daerah yang tersebar di Kalimantan, Maluku, Papua dan Sumatra yang dalam katagori mendekati kepunahan, dan BL tidak termasuk di dalamnya. Ketiga, menurut Muadz (1998) bahasa dikategorikan terancam punah apabila jumlah penuturnya di bawah 100 ribu orang. Walaupun belum ada angka statistik yang pasti, penutur BDL sudah pasti melebihi dari angka kritis tersebut.
Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi. Bahasa tertentu memiliki vitalitas tinggi, sedang atau rendah. Umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah pengetahuan.
Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan besar bagi BL untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.
Pemberdayaan Bahasa Daerah
Pemberdayaan bahasa daerah seharusnya juga menjadi bagian dari strategi pembangunan budaya untuk menciptakan keunggulan daerah dalam bidang seni dan budaya. Langkah ini tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan isu fanatisme daerah atau separatisme karena sejarah menunjukkan bahwa keinginan suatu daerah untuk memisahkan diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi misalnya distribusi kue pembangunan yang tidak merata, pembangunan yang terkonsentrasi hanya pada satu atau beberapa daerah tertentu saja sehingga menimbulkan ketidakpuasan kolektif.
Mengapa harus bahasa daerah? Bahasa daerah sering juga disebut sebagai bahasa ibu (mother tongue). Sebagai gambaran mungkin bahwa tanpa kehadiran seorang perempuan yang kita sebut "ibu", keberadaan kita di muka bumi ini sangat musykil terjadi. Dengan bahasa ibulah pertama kali kita diperkenalkan dengan kesantunan dalam mengungkapkan suatu pendapat dalam kultur terdekat kita. Bahasa ibulah yang pertama kali membentuk konsep kita berpikir dan memahami tentang dunia. Manusia terlahir di dalam lingkungan kulturalnya, dan bahasa ibulah yang menjadi perantara kita mengenali lingkungan tersebut.
Menurut Alwasilah (2000) setidaknya ada tiga keistimewaan bahasa ibu dibandingkan dengan bahasa kedua atau bahasa asing. Pertama, secara psikologis bahasa ibu telah terbatinkan (internalized) dalam pikiran sebagai simbol-simbol yang bergerak secara otomatis untuk berekspresi dan memahami alam sekitar. Kedua, perasaan personal yang mendalam seringkali hanya dapat diucapkan dalam bahasa ibu. Ketiga, secara sosiologis bahasa ibu juga menjadi simbol identitas habitatnya, atau jati diri kelompoknya.
Keunggulan lainnya yaitu, bahasa ibu diperoleh dalam lingkungan primer sedangkan bahasa kedua atau asing diperoleh dalam lingkungan sekunder yang biasanya hanya digunakan untuk komunikasi yang bukan personal sifatnya. Dalam banyak hal, akumulasi dorongan personal dari seseorang atau kelompok bisa menjadi pemicu hebat untuk mewujudkan sebuah impian antara lain yaitu memiliki bahasa Lampung yang mempunyai vitalitas tinggi. Semoga!
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendididkan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
TANGGAL 10 sampai 12 Maret 2003 badan dunia UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) mengadakan pertemuan internasional yang membahas tentang program penyelamatan bahasa-bahasa yang terancam kepunahannya. Topik pertemuan tersebut mengerucut pada pembahasan yang terkait dengan vitalitas dan ancaman bahasa yang ada di dunia.
Pertemuan tersebut menjadi bukti bahwa persoalan bahasa daerah sudah menjadi isu internasional. Masyarakat internasional menyadari bahwa keragaman bahasa merupakan warisan budaya leluhur yang sangat berharga sehingga upaya untuk melestarikan bahasa daerah harus ditangani secara serius. Mereka juga menyadari bahwa hilangnya suatu bahasa pada hakikatnya merupakan hilangnya warisan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan jati diri penuturya. Oleh sebab itu Bahasa Lampung (BL) bisa juga disebut sebagai cerminan nilai-nilai budaya daerah yang sedari dulu sudah berlaku di daerah Lampung. Johnson (2002) mengatakan I speak my favorite language because that's who I am (Saya menggunakan bahasa kesukaan saya karena itulah jati diri saya) dan We teach our children our favorite language because we want them to know who they are (Kita mengajarkan bahasa kesukaan kita karena kita ingin mereka mengetahui jati dirinya).
Pernyataan tersebut setidaknya mengandung dua pesan. Pertama, bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan latar belakang sosial budaya dan tata nilai penuturnya. Kedua, mengajarkan BL kepada generasi muda merupakan salah satu bentuk usaha melestarikan nilai-nilai luhur budaya daerah sehingga generasi sekarang dan yang akan datang mampu mengenali jati dirinya.
Hal ini penting karena dengan mengenali jati dirinya secara utuh, suatu generasi akan mampu menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya dan modal dasar yang dimilikinya. Dan, inilah yang sejatinya merupakan salah satu wujud dari pembangunan daerah yang manusiawi, suatu pembangunan yang mampu menyentuh segala kebutuhan sosial budaya masyarakat setempat
Vitalitas BL
Suatu bahasa dikatakan terancam vitalitasnya apabila bahasa itu cenderung atau sedang menuju ke arah kepunahan. Tanda-tanda kepunahan suatu bahasa bisa dilihat dari beberapa gejala antara lain (1) masyarakat penuturnya berhenti menggunakan bahasa tersebut, (2) bahasa itu digunakan hanya dalam domain komunikasi tertentu yang sangat terbatas, dan (3) bahasa itu berhenti diwariskan (diajarkan) dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga tidak ada lagi penutur baru bahasa itu baik di tingkat orang dewasa maupun anak-anak.
Berpijak pada ketiga tanda kepunahan bahasa tersebut di atas maka BL tampaknya belum menunjukkan adanya tanda-tanda kepunahan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, usaha pewarisan BL semakin gencar dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun informal dan masyarakat penuturnya masih relatif banyak tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Lampung. Kedua, menurut hasil survei Litbang Media Group (Media Indonesia, 23 Februari 2008) ditemukan ada 32 bahasa daerah yang tersebar di Kalimantan, Maluku, Papua dan Sumatra yang dalam katagori mendekati kepunahan, dan BL tidak termasuk di dalamnya. Ketiga, menurut Muadz (1998) bahasa dikategorikan terancam punah apabila jumlah penuturnya di bawah 100 ribu orang. Walaupun belum ada angka statistik yang pasti, penutur BDL sudah pasti melebihi dari angka kritis tersebut.
Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi. Bahasa tertentu memiliki vitalitas tinggi, sedang atau rendah. Umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah pengetahuan.
Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan besar bagi BL untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.
Pemberdayaan Bahasa Daerah
Pemberdayaan bahasa daerah seharusnya juga menjadi bagian dari strategi pembangunan budaya untuk menciptakan keunggulan daerah dalam bidang seni dan budaya. Langkah ini tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan isu fanatisme daerah atau separatisme karena sejarah menunjukkan bahwa keinginan suatu daerah untuk memisahkan diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi misalnya distribusi kue pembangunan yang tidak merata, pembangunan yang terkonsentrasi hanya pada satu atau beberapa daerah tertentu saja sehingga menimbulkan ketidakpuasan kolektif.
Mengapa harus bahasa daerah? Bahasa daerah sering juga disebut sebagai bahasa ibu (mother tongue). Sebagai gambaran mungkin bahwa tanpa kehadiran seorang perempuan yang kita sebut "ibu", keberadaan kita di muka bumi ini sangat musykil terjadi. Dengan bahasa ibulah pertama kali kita diperkenalkan dengan kesantunan dalam mengungkapkan suatu pendapat dalam kultur terdekat kita. Bahasa ibulah yang pertama kali membentuk konsep kita berpikir dan memahami tentang dunia. Manusia terlahir di dalam lingkungan kulturalnya, dan bahasa ibulah yang menjadi perantara kita mengenali lingkungan tersebut.
Menurut Alwasilah (2000) setidaknya ada tiga keistimewaan bahasa ibu dibandingkan dengan bahasa kedua atau bahasa asing. Pertama, secara psikologis bahasa ibu telah terbatinkan (internalized) dalam pikiran sebagai simbol-simbol yang bergerak secara otomatis untuk berekspresi dan memahami alam sekitar. Kedua, perasaan personal yang mendalam seringkali hanya dapat diucapkan dalam bahasa ibu. Ketiga, secara sosiologis bahasa ibu juga menjadi simbol identitas habitatnya, atau jati diri kelompoknya.
Keunggulan lainnya yaitu, bahasa ibu diperoleh dalam lingkungan primer sedangkan bahasa kedua atau asing diperoleh dalam lingkungan sekunder yang biasanya hanya digunakan untuk komunikasi yang bukan personal sifatnya. Dalam banyak hal, akumulasi dorongan personal dari seseorang atau kelompok bisa menjadi pemicu hebat untuk mewujudkan sebuah impian antara lain yaitu memiliki bahasa Lampung yang mempunyai vitalitas tinggi. Semoga!
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendididkan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
Apresiasi: Menikmati 'Wanci' Teater Satu
TEATER Satu terus meneguhkan posisinya sebagai kelompok seni peran nasional. Mementaskan monolog berjudul Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu, Jakarta, penampilan Ruth Marini (Uthe) mendapat apresiasi baik para penikmat teater.
Di sebuah areal prostitusi kumuh yang terletak di pinggir rel kereta api, di sela-sela gerbong-gerbong tua, tampak seorang perempuan setengah baya mengenakan pakaian compang-camping serta kacamata gelap. Di bibirnya mengepul asap rokok yang diisapnya dalam-dalam. Sesekali di bibirnya keluar sapaan genit yang tidak lama kemudian berubah menjadi sumpah serapah yang keji.
Itulah penampilan Ruth Marini atau yang biasa disapa Uthe dari Teater Satu Lampung yang berhasil membius penonton yang menyaksikan pertujukan monolog Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta, selama dua hari berturut-turut, 28--29 Maret lalu. Bahkan, pada pertunjukan tersebut, jumlah pengunjung membeludak hingga banyak yang tidak dapat masuk menyaksikan pertujukan.
Dan ini tentu saja satu prestasi tersendiri yang bisa diraih grup teater asal Lampung. Karena selain tetap bisa eksis dengan selalu menunjukkan karya terbaru serta prestasinya di tingkat lokal, mereka juga sudah mampu "berbicara" hingga ranah nasional dan internasional.
Bahkan, menurut Imas Sobariah dari Teater Satu, pihaknya sangat tidak menyangka dengan animo yang begitu besar yang ditunjukkan masyarakat Ibu Kota. "Kami sangat surprise sekali ketika pada hari pertama pertunjukan saja, jumlah penonton yang menyaksikan sangat membeludak. Bahkan di hari kedua pertunjukan, banyak mereka yang tidak bisa masuk karena tempat sudah penuh."
Malahan, menurut dia, banyak penonton yang mengharapkan pementasan kali ini digelar selama tiga hari. "Tapi kami tidak mewujudkan permintaan tersebut karena meneken kontrak dengan TUK untuk dua hari pertunjukan," kata Imas.
Dan lagi yang menyaksikan pertunjukan kami tidak hanya seniman dan masyarakat Indonesia, tapi ada warga negara China yang sangat antusias menyaksikan pertunjukan kami dengan datang pada dua hari pertunjukan. "Mereka datang dua hari berturut-turut. Pada hari keduanya, mereka mengajak keluarganya."
Menjadi sangat spesial, kata Imas, apresiasi tersebut ternyata tidak hanya ditunjukkan masyarakat awam. Para selebriti, seperti Ria dari grup vokal Warna juga ternyata sangat mengapresiasi pertunjukan ini. "Dia menyatakan sangat tertarik dengan dialog-dialog yang ada pada naskah karena begitu riil. Makanya dia langsung mengolekasi naskah skenario yang dibuat Teater Satu yang memang kami jual kepada khalayak," ujarnya.
Namun, apa yang diraih ini bukanlah datang dengan tiba-tiba ataupun instan. Karena proses latihan dan pengembangan naskah yang dilakukan terus-menerus oleh Teater Satu. Meskipun Uthe pada ajang Parade Monolog Dewan Kesenian Lampung (DKL) yang digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, November 2007, berhasil menjadi Aktris Terbaik dengan membawa naskah yang sama, perbaikan terus saja dilakukan.
Imas mengemukakan pada pertunjukan kali ini, ada beberapa adegan dan dialog yang dibuat berbeda dari pertunjukan Wanci beberapa waktu lalu. "Ya, kesemuanya dilakukan demi perbaikan lakon dan naskah yang dibawakan. Dan alhamdulillah, ternyata mendapatkan apresiasi yang baik."
Hal yang sama juga dikemukakan Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama yang mengatakan apa yang disuguhkan Uthe pada pertunjukan Parade Monolog DKL 2007 itu baru 50 persennya dari yang ditampilkan di TUK. "Sehingga memang banyak sekali perbaikan yang dilakukan Teater Satu. Misalnya pada perubahan dialog dan adegan yang dibuat menjadi sangat realis."
Selain itu, kemampuan Uthe sebagai seorang aktris yang sangat baik dan prima. Ritme penampilan sangat dijaga sehingga penonton terbawa atas kisah Icih, tokoh dalam naskah, yang sangat memilukan dan miris. Pun dengan mimik, gesture, hingga dialog-dialog yang sarat sindiran dan kritik sosial yang mampu dibawakan dengan baiknya.
Hebatnya lagi, di sini, Uthe tidak hanya tampil sempurna sebagai Icih, tapi juga seluruh peran yang ada dalam naskah. Meksipun itu menjadi seorang laki-laki dengan berbagai profesi dan karakter. Semuanya mampu disuguhkan dengan akting yang tetap terjaga.
Selain juga kemampuan Uthe dalam memanfaatkan setiap ruang yang ada dan mampu dimanfaatkan dan digunakan dengan maksimal. Makanya penonton yang hadir selama dua hari tampak terperangkap pada kisah Icih yang memilukan sekaligus satir.
Teater Satu Tapak 'Go' Nasional
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengatakan Teater Satu terutama dengan tokohnya, Iswadi Pratama, diibaratkannya sebagai sebuah pohon tersendiri yang memiliki batang dan akar yang dalam dan kuat. "Iswadi memiliki murid yang terus memberikan pengajaran di sekolah-sekolah. Sehingga dunia teater terus bergeliat dengan aktivitas para penggiat Teater Satu ini."
Teater Satu sudah berkiprah selama 12 tahun. Teater Satu berdiri pada 18 Oktober 1996. "Awalnya keterlibatan Teater Satu dalam merekrut para pelajar untuk menggeluti dunia teater berawal dari Forum Teater Halaman yang ketika itu berdiri usai kegiatan Liga Teater Pelajar pertama tahun 2000," kata Imas.
Lalu para pelajar dikumpulkan menjadi Teater Rindang Pohon yang digelar di Teater Terbuka Taman Budaya Lampung hingga arisan teater. Di arisan ini, para pelajar mulai diajarkan berbagai hal dalam dunia pertunjukan. Tidak hanya seni peran, tapi juga manajemen pertunjukan pementasan, yakni dari persiapan panggung, kostum, ruangan, hingga penjualan tiket.
Hingga kini, keterlibatan Teater Satu dalam mengenalkan dunia teater kepada para pelajar juga diberikan lewat penempatan para personel Teater Satu yang notabene adalah mahasiswa untuk mulai mengajar teater di sekolah-sekolah.
Sementara itu, berbicara mengenai kerja sama dengan berbagai lembaga lokal, nasional, maupun dunia internasional, Teater Satu bisa dikatakan sudah banyak melakoninya. Sebut saja pada 1999--2000 dengan USAID, The Ford Foundation, Teater Utan Kayu (TUK), Masyarakat Uni Eropa, Yayasan Kantata Bangsa, AJI, Yayasan Kelola, Taman Budaya Lampung, dan Desentralization Spot and Facilities, World Bank, and British Council.
Sedangkan berkaitan dengan pementasan yang telah digelar, sudah lebih puluhan pementasan telah dijalaninya. Di antaranya pementasan Nostalgia Sebuah Kota atawa Kenangan tentang Tanjung Karang yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, TUK, Bandung, dan Makasar serta Solo. Baru-baru ini melakonkan Nyai Ontosoroh yang juga dipentaskan di 10 kota lain.
Untuk prestasi, sudah begitu banyak yang bisa diraih Teater Satu. Di antaranya adalah Artis Terbaik dalam Parade Monolog Nasional, Perempuan Pilihan. Bahkan, dalam Parade Monolog DKL 2007, dua aktris dan aktor Teater Satu Lampung, yakni Ruth Marini dan Sugianto (Giant) berhasil meraih juara I dan II di ajang tersebut.
Bahkan, hingga kini Teater Satu sedang mengupayakan pementasan teater di Malaysia. Begitu juga dengan pementasan di Festival Berlin, yang gagal karena bertabrakan dengan penyelenggaraan Piala Dunia, akhirnya penyelenggaraannya ditunda. Lalu rencana pementasan di Jepang yang sempat tertunda. Namun, Teater Satu juga pernah mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke Australia yang diwakili sang sutradara Iswadi Pratama serta Hamidah.
Selain itu, Imas juga mengemukakan pada Juli 2008 akan menggelar Teater Satu Expo yang akan digelar di Jakarta selama satu pekan. "Jadi kami akan melakukan tujuh pementasan monolog selama sepekan di TUK serta pementasan teater di Gothe Institute."
Semoga saja, jalan yang telah dirintis Teater Satu dalam mengangkat nama teater di Lampung ke ranah nasional bahkan internasional bisa diikuti grup-grup teater lain yang ada sehingga Lampung tidak hanya subur dengan penyair, tapi juga aktor, aktris, sutradara, serta grup teater yang mumpuni. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
Di sebuah areal prostitusi kumuh yang terletak di pinggir rel kereta api, di sela-sela gerbong-gerbong tua, tampak seorang perempuan setengah baya mengenakan pakaian compang-camping serta kacamata gelap. Di bibirnya mengepul asap rokok yang diisapnya dalam-dalam. Sesekali di bibirnya keluar sapaan genit yang tidak lama kemudian berubah menjadi sumpah serapah yang keji.
Itulah penampilan Ruth Marini atau yang biasa disapa Uthe dari Teater Satu Lampung yang berhasil membius penonton yang menyaksikan pertujukan monolog Wanci karya Imas Sobariah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta, selama dua hari berturut-turut, 28--29 Maret lalu. Bahkan, pada pertunjukan tersebut, jumlah pengunjung membeludak hingga banyak yang tidak dapat masuk menyaksikan pertujukan.
Dan ini tentu saja satu prestasi tersendiri yang bisa diraih grup teater asal Lampung. Karena selain tetap bisa eksis dengan selalu menunjukkan karya terbaru serta prestasinya di tingkat lokal, mereka juga sudah mampu "berbicara" hingga ranah nasional dan internasional.
Bahkan, menurut Imas Sobariah dari Teater Satu, pihaknya sangat tidak menyangka dengan animo yang begitu besar yang ditunjukkan masyarakat Ibu Kota. "Kami sangat surprise sekali ketika pada hari pertama pertunjukan saja, jumlah penonton yang menyaksikan sangat membeludak. Bahkan di hari kedua pertunjukan, banyak mereka yang tidak bisa masuk karena tempat sudah penuh."
Malahan, menurut dia, banyak penonton yang mengharapkan pementasan kali ini digelar selama tiga hari. "Tapi kami tidak mewujudkan permintaan tersebut karena meneken kontrak dengan TUK untuk dua hari pertunjukan," kata Imas.
Dan lagi yang menyaksikan pertunjukan kami tidak hanya seniman dan masyarakat Indonesia, tapi ada warga negara China yang sangat antusias menyaksikan pertunjukan kami dengan datang pada dua hari pertunjukan. "Mereka datang dua hari berturut-turut. Pada hari keduanya, mereka mengajak keluarganya."
Menjadi sangat spesial, kata Imas, apresiasi tersebut ternyata tidak hanya ditunjukkan masyarakat awam. Para selebriti, seperti Ria dari grup vokal Warna juga ternyata sangat mengapresiasi pertunjukan ini. "Dia menyatakan sangat tertarik dengan dialog-dialog yang ada pada naskah karena begitu riil. Makanya dia langsung mengolekasi naskah skenario yang dibuat Teater Satu yang memang kami jual kepada khalayak," ujarnya.
Namun, apa yang diraih ini bukanlah datang dengan tiba-tiba ataupun instan. Karena proses latihan dan pengembangan naskah yang dilakukan terus-menerus oleh Teater Satu. Meskipun Uthe pada ajang Parade Monolog Dewan Kesenian Lampung (DKL) yang digelar di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, November 2007, berhasil menjadi Aktris Terbaik dengan membawa naskah yang sama, perbaikan terus saja dilakukan.
Imas mengemukakan pada pertunjukan kali ini, ada beberapa adegan dan dialog yang dibuat berbeda dari pertunjukan Wanci beberapa waktu lalu. "Ya, kesemuanya dilakukan demi perbaikan lakon dan naskah yang dibawakan. Dan alhamdulillah, ternyata mendapatkan apresiasi yang baik."
Hal yang sama juga dikemukakan Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama yang mengatakan apa yang disuguhkan Uthe pada pertunjukan Parade Monolog DKL 2007 itu baru 50 persennya dari yang ditampilkan di TUK. "Sehingga memang banyak sekali perbaikan yang dilakukan Teater Satu. Misalnya pada perubahan dialog dan adegan yang dibuat menjadi sangat realis."
Selain itu, kemampuan Uthe sebagai seorang aktris yang sangat baik dan prima. Ritme penampilan sangat dijaga sehingga penonton terbawa atas kisah Icih, tokoh dalam naskah, yang sangat memilukan dan miris. Pun dengan mimik, gesture, hingga dialog-dialog yang sarat sindiran dan kritik sosial yang mampu dibawakan dengan baiknya.
Hebatnya lagi, di sini, Uthe tidak hanya tampil sempurna sebagai Icih, tapi juga seluruh peran yang ada dalam naskah. Meksipun itu menjadi seorang laki-laki dengan berbagai profesi dan karakter. Semuanya mampu disuguhkan dengan akting yang tetap terjaga.
Selain juga kemampuan Uthe dalam memanfaatkan setiap ruang yang ada dan mampu dimanfaatkan dan digunakan dengan maksimal. Makanya penonton yang hadir selama dua hari tampak terperangkap pada kisah Icih yang memilukan sekaligus satir.
Teater Satu Tapak 'Go' Nasional
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengatakan Teater Satu terutama dengan tokohnya, Iswadi Pratama, diibaratkannya sebagai sebuah pohon tersendiri yang memiliki batang dan akar yang dalam dan kuat. "Iswadi memiliki murid yang terus memberikan pengajaran di sekolah-sekolah. Sehingga dunia teater terus bergeliat dengan aktivitas para penggiat Teater Satu ini."
Teater Satu sudah berkiprah selama 12 tahun. Teater Satu berdiri pada 18 Oktober 1996. "Awalnya keterlibatan Teater Satu dalam merekrut para pelajar untuk menggeluti dunia teater berawal dari Forum Teater Halaman yang ketika itu berdiri usai kegiatan Liga Teater Pelajar pertama tahun 2000," kata Imas.
Lalu para pelajar dikumpulkan menjadi Teater Rindang Pohon yang digelar di Teater Terbuka Taman Budaya Lampung hingga arisan teater. Di arisan ini, para pelajar mulai diajarkan berbagai hal dalam dunia pertunjukan. Tidak hanya seni peran, tapi juga manajemen pertunjukan pementasan, yakni dari persiapan panggung, kostum, ruangan, hingga penjualan tiket.
Hingga kini, keterlibatan Teater Satu dalam mengenalkan dunia teater kepada para pelajar juga diberikan lewat penempatan para personel Teater Satu yang notabene adalah mahasiswa untuk mulai mengajar teater di sekolah-sekolah.
Sementara itu, berbicara mengenai kerja sama dengan berbagai lembaga lokal, nasional, maupun dunia internasional, Teater Satu bisa dikatakan sudah banyak melakoninya. Sebut saja pada 1999--2000 dengan USAID, The Ford Foundation, Teater Utan Kayu (TUK), Masyarakat Uni Eropa, Yayasan Kantata Bangsa, AJI, Yayasan Kelola, Taman Budaya Lampung, dan Desentralization Spot and Facilities, World Bank, and British Council.
Sedangkan berkaitan dengan pementasan yang telah digelar, sudah lebih puluhan pementasan telah dijalaninya. Di antaranya pementasan Nostalgia Sebuah Kota atawa Kenangan tentang Tanjung Karang yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, TUK, Bandung, dan Makasar serta Solo. Baru-baru ini melakonkan Nyai Ontosoroh yang juga dipentaskan di 10 kota lain.
Untuk prestasi, sudah begitu banyak yang bisa diraih Teater Satu. Di antaranya adalah Artis Terbaik dalam Parade Monolog Nasional, Perempuan Pilihan. Bahkan, dalam Parade Monolog DKL 2007, dua aktris dan aktor Teater Satu Lampung, yakni Ruth Marini dan Sugianto (Giant) berhasil meraih juara I dan II di ajang tersebut.
Bahkan, hingga kini Teater Satu sedang mengupayakan pementasan teater di Malaysia. Begitu juga dengan pementasan di Festival Berlin, yang gagal karena bertabrakan dengan penyelenggaraan Piala Dunia, akhirnya penyelenggaraannya ditunda. Lalu rencana pementasan di Jepang yang sempat tertunda. Namun, Teater Satu juga pernah mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke Australia yang diwakili sang sutradara Iswadi Pratama serta Hamidah.
Selain itu, Imas juga mengemukakan pada Juli 2008 akan menggelar Teater Satu Expo yang akan digelar di Jakarta selama satu pekan. "Jadi kami akan melakukan tujuh pementasan monolog selama sepekan di TUK serta pementasan teater di Gothe Institute."
Semoga saja, jalan yang telah dirintis Teater Satu dalam mengangkat nama teater di Lampung ke ranah nasional bahkan internasional bisa diikuti grup-grup teater lain yang ada sehingga Lampung tidak hanya subur dengan penyair, tapi juga aktor, aktris, sutradara, serta grup teater yang mumpuni. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2008
Pesisir Kota: Pemkot Adopsi Cara Makassar
MAKASSAR (Lampost): Pemkot Bandar Lampung akan mengadopsi penataan kawasan pesisir di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang dinilai cukup berhasil.
"Pemkot telah menyusun rencana strategis dan masterplan kawasan pesisir seperti yang dilakukan Makassar," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maryono di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (18-4).
Wartawan Lampung Post Lukman Hakim yang mengikuti kunjungan kerja Pemkot Bandar Lampung ke Makassar melaporkan penataan kawasan pesisir di Bandar Lampung, tahap awal dilaksanakan 2008 ini.
Keberhasilan penataan kawasan pesisir di Pantai Losari, Makassar tersebut, membuat Pemkot turut pula tergerak menata kawasan pesisirnya.
Bahkan, konsultan penataan kawasan pesisir juga berasal dari Makassar dengan menggandeng perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi pembangunan, yaitu PT Dann Bintang Gallarancana.
Penataan kawasan pesisir tersebut, menurut Maryono, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah menyetujui pembangunan penataan kawasan pesisir Bandar Lampung. DKP juga telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan penataan pesisir.
Dana yang dianggarkan Rp20 miliar, tapi hingga kini yang telah digulirkan baru Rp1,5 miliar. Maryono yakin pada akhirnya DKP akan tetap menggulirkan seluruh dana tersebut.
Menurut dia, pembangunan pelataran pesisir akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Konsultan Perusahaan Dann Bintang Galarancana, Dani Pamanto, menyebutkan kondisi kawasan pesisir Kota Bandar Lampung lebih indah dibanding Pantai Losari.
Menurut dia, kawasan pantai di Bandar Lampung berbentuk teluk atau seperti tapal kuda dan terlihat cukup indah. Sedangkan Pantai Losari berbentuk memanjang atau lurus. n K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 April 2008
"Pemkot telah menyusun rencana strategis dan masterplan kawasan pesisir seperti yang dilakukan Makassar," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maryono di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (18-4).
Wartawan Lampung Post Lukman Hakim yang mengikuti kunjungan kerja Pemkot Bandar Lampung ke Makassar melaporkan penataan kawasan pesisir di Bandar Lampung, tahap awal dilaksanakan 2008 ini.
Keberhasilan penataan kawasan pesisir di Pantai Losari, Makassar tersebut, membuat Pemkot turut pula tergerak menata kawasan pesisirnya.
Bahkan, konsultan penataan kawasan pesisir juga berasal dari Makassar dengan menggandeng perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi pembangunan, yaitu PT Dann Bintang Gallarancana.
Penataan kawasan pesisir tersebut, menurut Maryono, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah menyetujui pembangunan penataan kawasan pesisir Bandar Lampung. DKP juga telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan penataan pesisir.
Dana yang dianggarkan Rp20 miliar, tapi hingga kini yang telah digulirkan baru Rp1,5 miliar. Maryono yakin pada akhirnya DKP akan tetap menggulirkan seluruh dana tersebut.
Menurut dia, pembangunan pelataran pesisir akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Konsultan Perusahaan Dann Bintang Galarancana, Dani Pamanto, menyebutkan kondisi kawasan pesisir Kota Bandar Lampung lebih indah dibanding Pantai Losari.
Menurut dia, kawasan pantai di Bandar Lampung berbentuk teluk atau seperti tapal kuda dan terlihat cukup indah. Sedangkan Pantai Losari berbentuk memanjang atau lurus. n K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 April 2008
April 18, 2008
Pendidikan: DPRD Minta Unila Buka Lagi Jurusan Bahasa Lampung
Bandarlampung, 18/4 (ANTARA) - DPRD Lampung meminta Universitas Lampung (Unila) untuk membuka kembali Jurusan Bahasa Daerah mengingat perlu penguatan, pengajaran dan pelestarian bahasa Lampung kepada masyarakat setempat.
Jurubicara Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) DPRD Lampung, Hamami Nurdin, dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Lampung, Jumat, mengingatkan bahwa keputusan DPRD Lampung untuk menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelestarian Kebudayaan Lampung hendaknya segera ditindaklanjuti secara serius oleh Pemdaprov Lampung.
"Perda Pelestarian Kebudayaan Lampung itu mencakup adat, seni dan budaya daerah Lampung, aksara dan bahasa daerah Lampung serta tradisi masyarakat Lampung yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan," kata Hamami dalam Paripurna yang dihadiri Sekdaprov Lampung Irham Jafar Lan Putra dan dipimpin Wakil Ketua DPRD Ghufron Azis Fuadi.
FPP mengingatkan agar Pemda Provinsi Lampung memberikan perhatian yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan program pelestarian kebudayaan Lampung itu.
Karena itu, FPP juga meminta agar Unila dapat kembali membuka Jurusan Bahasa Daerah Lampung guna menopang program pelestarian kebudayaan Lampung itu dengan dukungan penuh dari Pemda setempat.
Sejumlah fraksi lainnya di DPRD Lampung juga memberikan perhatian pada upaya pelestarian adat dan tradisi serta budaya dan bahasa Lampung itu, termasuk dengan mengembangkan penelitian dan riset ilmiah untuk menggali temuan benda-benda bersejarah di daerahnya.
Berkaitan sikap dan keputusan DPRD Lampung itu, secara terpisah Dekan FKIP Unila, Prof Dr Sudjarwo MS menegaskan, Jurusan Bahasa Daerah di fakultas itu yang sempat dibuka sebelumnya, terpaksa ditutup sejak beberapa tahun terakhir.
Salah satu penyebabnya adalah adanya kecenderungan Pemda di Lampung yang tidak peduli dengan nasib lulusannya, yakni tidak lagi dapat diserap menjadi pegawai (PNS) untuk mengajar di sekolah-sekolah.
"Sejak Pemda tidak peduli dengan lulusannya, program pengajaran bahasa Lampung itu terpaksa kami tutup. Peluang untuk dibuka kembali bisa saja kalau ada permintaan dari Pemda," kata Sudjarwo pula.
Menurut dia, pihak FKIP Unila menunggu keseriusan Pemda sejalan dengan keputusan DPRD Lampung itu, dan tindaklanjutnya bukan hanya di atas kertas saja, tetapi harus disertai kebijakan yang kongkrit.
Di Lampung saat ini, terutama di sekolah dasar (SD), pengajaran bahasa Lampung menjadi muatan lokal (mulok) yang diajarkan oleh guru-guru, yang sebagian di antaranya bukan guru khusus bahasa daerah Lampung itu.
Padahal, banyak pemerhati bahasa dan kebudayaan Lampung mengakui, semenjak diterapkan pengajaran bahasa Lampung di sekolah itu, tren penggunaan bahasa daerah itu meningkat.
Para pakar linguistik telah mengingatkan bahwa bahasa Lampung terancam punah kalau tidak segera diupayakan perlindungan, pengembangan dan pelestariannya, terutama di kalangan masyarakat Lampung itu sendiri.
Sumber: Antara, 18 April 2008
Jurubicara Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) DPRD Lampung, Hamami Nurdin, dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Lampung, Jumat, mengingatkan bahwa keputusan DPRD Lampung untuk menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelestarian Kebudayaan Lampung hendaknya segera ditindaklanjuti secara serius oleh Pemdaprov Lampung.
"Perda Pelestarian Kebudayaan Lampung itu mencakup adat, seni dan budaya daerah Lampung, aksara dan bahasa daerah Lampung serta tradisi masyarakat Lampung yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan," kata Hamami dalam Paripurna yang dihadiri Sekdaprov Lampung Irham Jafar Lan Putra dan dipimpin Wakil Ketua DPRD Ghufron Azis Fuadi.
FPP mengingatkan agar Pemda Provinsi Lampung memberikan perhatian yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan program pelestarian kebudayaan Lampung itu.
Karena itu, FPP juga meminta agar Unila dapat kembali membuka Jurusan Bahasa Daerah Lampung guna menopang program pelestarian kebudayaan Lampung itu dengan dukungan penuh dari Pemda setempat.
Sejumlah fraksi lainnya di DPRD Lampung juga memberikan perhatian pada upaya pelestarian adat dan tradisi serta budaya dan bahasa Lampung itu, termasuk dengan mengembangkan penelitian dan riset ilmiah untuk menggali temuan benda-benda bersejarah di daerahnya.
Berkaitan sikap dan keputusan DPRD Lampung itu, secara terpisah Dekan FKIP Unila, Prof Dr Sudjarwo MS menegaskan, Jurusan Bahasa Daerah di fakultas itu yang sempat dibuka sebelumnya, terpaksa ditutup sejak beberapa tahun terakhir.
Salah satu penyebabnya adalah adanya kecenderungan Pemda di Lampung yang tidak peduli dengan nasib lulusannya, yakni tidak lagi dapat diserap menjadi pegawai (PNS) untuk mengajar di sekolah-sekolah.
"Sejak Pemda tidak peduli dengan lulusannya, program pengajaran bahasa Lampung itu terpaksa kami tutup. Peluang untuk dibuka kembali bisa saja kalau ada permintaan dari Pemda," kata Sudjarwo pula.
Menurut dia, pihak FKIP Unila menunggu keseriusan Pemda sejalan dengan keputusan DPRD Lampung itu, dan tindaklanjutnya bukan hanya di atas kertas saja, tetapi harus disertai kebijakan yang kongkrit.
Di Lampung saat ini, terutama di sekolah dasar (SD), pengajaran bahasa Lampung menjadi muatan lokal (mulok) yang diajarkan oleh guru-guru, yang sebagian di antaranya bukan guru khusus bahasa daerah Lampung itu.
Padahal, banyak pemerhati bahasa dan kebudayaan Lampung mengakui, semenjak diterapkan pengajaran bahasa Lampung di sekolah itu, tren penggunaan bahasa daerah itu meningkat.
Para pakar linguistik telah mengingatkan bahwa bahasa Lampung terancam punah kalau tidak segera diupayakan perlindungan, pengembangan dan pelestariannya, terutama di kalangan masyarakat Lampung itu sendiri.
Sumber: Antara, 18 April 2008
Khazanah Budaya: Kain Tapis Lampung Harus Segera Dipatenkan
Bandarlampung, 18/4 (ANTARA) - Kain Tapis khas Lampung, yang merupakan salah satu kekayaan seni budaya daerah setempat secara turun temurun, harus tetap dipelihara dan dilestarikan, serta perlu segera dipatenkan untuk melindunginya.
"Kain Tapis Lampung itu harus segera dipatenkan, agar tidak menjadi klaim daerah atau negara lain, seperti terjadi pada sejumlah kekayaan tradisi negara kita," kata jurubicara FKB DPRD Lampung, KH A Zuhri, pada paripurna penetapan sembilan Raperda menjadi Perda, termasuk Perda tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung, di Bandarlampung, Jumat (18/4).
Dalam rapat paripurna itu, FKB meminta Pemda Provinsi Lampung untuk lebih serius melakukan upaya pengembangan, perlindungan dan pelestarian kekayaan adat, tradisi dan seni budaya daerahnya.
"Karena itu, Kain Tapis Lampung harus dipatenkan untuk melindunginya," kata Zuhri.
Kain Tapis Lampung merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya, baik terhadap lingkungan maupun Sang Pencipta.
Proses pembentukan kain Tapis itu ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara pemberian ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut beberapa ahli sejarah, orang Lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad kedua Masehi.
Motif kain itu ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), serta pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati.
Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain.
Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini dengan memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.
Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.
Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup.
Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas.
Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam.
Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun.
Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Di Museum "Ruwa Jurai" Provinsi Lampung disimpan sejumlah jenis dan motif kain Tapis Lampung yang telah berusia ratusan tahun.
Diperkirakan di kalangan masyarakat adat dan warga asli secara turun temurun masih menyimpan koleksi kain Tapis khas Lampung berusia ratusan tahun yang bernilai sejarah sangat tinggi itu.
Para kolektor benda seni dan budaya, termasuk dari luar negeri, kerapmengincar koleksi kain Tapis Lampung berusia tua untuk dibeli dengan harga sangat tinggi.
Hingga kini tradisi menenun kain Tapis masih berlanjut di sejumlah daerah di Lampung, bahkan telah berkembang menjadi kerajinan seni tenun tradisional yang bersifat komersial.
Sumber: Antara, 18 April 2008
"Kain Tapis Lampung itu harus segera dipatenkan, agar tidak menjadi klaim daerah atau negara lain, seperti terjadi pada sejumlah kekayaan tradisi negara kita," kata jurubicara FKB DPRD Lampung, KH A Zuhri, pada paripurna penetapan sembilan Raperda menjadi Perda, termasuk Perda tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung, di Bandarlampung, Jumat (18/4).
Dalam rapat paripurna itu, FKB meminta Pemda Provinsi Lampung untuk lebih serius melakukan upaya pengembangan, perlindungan dan pelestarian kekayaan adat, tradisi dan seni budaya daerahnya.
"Karena itu, Kain Tapis Lampung harus dipatenkan untuk melindunginya," kata Zuhri.
Kain Tapis Lampung merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya, baik terhadap lingkungan maupun Sang Pencipta.
Proses pembentukan kain Tapis itu ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara pemberian ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut beberapa ahli sejarah, orang Lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad kedua Masehi.
Motif kain itu ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), serta pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati.
Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain.
Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini dengan memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.
Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.
Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup.
Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas.
Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam.
Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun.
Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Di Museum "Ruwa Jurai" Provinsi Lampung disimpan sejumlah jenis dan motif kain Tapis Lampung yang telah berusia ratusan tahun.
Diperkirakan di kalangan masyarakat adat dan warga asli secara turun temurun masih menyimpan koleksi kain Tapis khas Lampung berusia ratusan tahun yang bernilai sejarah sangat tinggi itu.
Para kolektor benda seni dan budaya, termasuk dari luar negeri, kerapmengincar koleksi kain Tapis Lampung berusia tua untuk dibeli dengan harga sangat tinggi.
Hingga kini tradisi menenun kain Tapis masih berlanjut di sejumlah daerah di Lampung, bahkan telah berkembang menjadi kerajinan seni tenun tradisional yang bersifat komersial.
Sumber: Antara, 18 April 2008
Lingkungan: Pesisir Bandar Lampung Lebih Mudah Ditata
MAKASSAR (Lampost): Pembangunan dan penataan kawasan pesisir Bandar Lampung dinilai jauh lebih mudah dibandingkan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan.
Revitalisasi Pantai Losari bukan tanpa hambatan, tetapi dengan semangat budaya malu sebagai kota kumuh dan berkomitmen "Selamatkan Losarita", penataan dapat dilaksanakan dengan baik.
Wartawan Lampung Post Lukman Hakim yang mengikuti kunjungan kerja Pemkot Bandar Lampung ke Makassar melaporkan, Kamis (17-4), pengembangan kawasan pesisir itu mengandalkan APBN dan APBD hingga terlaksana kegiatan Rp55 miliar dan komitmen dari PU Rp30 miliar. Saat ini, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tidak lagi konsentrasi ke Makassar, tapi beralih ke penataan pesisir Bandar Lampung.
"Sekarang, kami ditanya masyarakat, mengapa sampai kini belum selesai. Jika tidak ada anggaran untuk menyelesaikan, masyarakat siap membantu pemkot dalam penataan kawasan Pantai Losari," kata konsultan penataan kawasan pesisir Pantai Losari, PT Dann Bintang Galarrancana, Dani Pomanto.
Pada 2002, saat pertama sosialisasi dilakukan, reklamasi Pantai Losari sempat tidak mendapat persetujuan banyak pihak. Bahkan, sejumlah media massa di Makassar menulis reklamasi Pantai Losari sama dengan menjual Makassar.
Hal itu lebih disebabkan penataan kawasan pesisir sangat minim sosialisasi. Untuk itu, dibutuhkan transpransi dalam penataan kawasan pesisir Bandar Lampung.
"Kami dituduh, dicurigai. Padahal, dalam mengantisipasi bencana, reklamasi merupakan salah satu solusi. Akibat dari reklamasi, berapa investasi muncul. Hasil survei Bank Indonesia (BI) Rp8,9 triliun, setelah dilakukan reklamasi penataan kawasan pesisir. Bahkan, pemerintah pusat pun memberikan dukungan," kata Dani.
Untuk itu, sangat dibutuhkan adanya peran serta media massa menyosialisasikan penataan kawasan pesisir yang semula hanya 1,1 hektare. "Jumlah penduduk semula hanya 4.400 KK. Sekarang kami membangun 2 unit rusunawa dengan 6 twin block. Pedagang kaki lima (PKL) di Pantai Losari dapat ditertibkan," kata dia.
Sehingga, penataan kawasan pesisir dilakukan menata tanpa menggusur. Yaitu, dengan melakukan reklamasi. "Alhamdulillah, di Bandar Lampung itu sudah mencanangkan penataan tanpa menggusur. Dan, kami sudah memiliki Perda RT/RW yang melegalkan reklamasi pantai. Akhirnya, persentase tahun 2006, tahun itu juga anggaran pembangunan rusunawa direalisasikan," kata dia.
Bahkan, setelah pantai Losari mampu ditata dengan indah, investasi di Makassar meningkat. "Penataan dan reklamasi yang hanya 1,1 hektare, justru menghasilkan investasi yang muncul, bahwa pemkot konsentrasi dalam penataan kota. Dan, mampu memberikan masukan PAD kepada Pemkot sebesar Rp36 miliar/tahun. Bahkan, Bakrie Group sudah menginvestasikan ratusan hektare reklamasi," kata Dani.
Sumber pembangunan Pantai Losari ada empat sumber. Pemerintah pusat, Pemkot, Pemda Provinsi, dan investor. Pemerintah pusat menangani kontruksi, Pemkot menangani timbunan, Pemprov menangani saluran tangkap. "Semua terfokus pada kawasan prioritas Pantai Losari yang dilengkapi dengan adanya payung hukum di segala tingkatan dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat," kata dia.
Asisten I Pemkot Bandar Lampung Amami Amila menjelaskan penataan kawasan pesisir sudah dilakukan sejak tahun 2006. Saat ini, sudah dalam tahap pembuatan masterplan dan detail engineering design (DED). Bahkan, Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah pusat sudah sangat menyetujui pembangunan tersebut.
Penataan kawasan pesisir yang banyak penolakan masyarakat, akhirnya pun banyak yang mendukung, diperlukan adanya persamaan persepsi. Sehingga, komunikasi merupakan salah satu faktor dalam melaksanakan kebijakan pemerintah. "Untuk itu, kami mengajak teman-teman wartawan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam penataan kawasan pesisir," kata Amami.
Sehingga, infomasi kepada masyarakat tidak menjadi hambatan dan tantangan bagi penataan kawasan pesisir. "Justru, bagaimana membuat masyarakat menuntut agar penataan kawasan pesisir dapat cepat dilaksanakan dan dapat berhasil dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat," kata dia. n KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 April 2008
Revitalisasi Pantai Losari bukan tanpa hambatan, tetapi dengan semangat budaya malu sebagai kota kumuh dan berkomitmen "Selamatkan Losarita", penataan dapat dilaksanakan dengan baik.
Wartawan Lampung Post Lukman Hakim yang mengikuti kunjungan kerja Pemkot Bandar Lampung ke Makassar melaporkan, Kamis (17-4), pengembangan kawasan pesisir itu mengandalkan APBN dan APBD hingga terlaksana kegiatan Rp55 miliar dan komitmen dari PU Rp30 miliar. Saat ini, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tidak lagi konsentrasi ke Makassar, tapi beralih ke penataan pesisir Bandar Lampung.
"Sekarang, kami ditanya masyarakat, mengapa sampai kini belum selesai. Jika tidak ada anggaran untuk menyelesaikan, masyarakat siap membantu pemkot dalam penataan kawasan Pantai Losari," kata konsultan penataan kawasan pesisir Pantai Losari, PT Dann Bintang Galarrancana, Dani Pomanto.
Pada 2002, saat pertama sosialisasi dilakukan, reklamasi Pantai Losari sempat tidak mendapat persetujuan banyak pihak. Bahkan, sejumlah media massa di Makassar menulis reklamasi Pantai Losari sama dengan menjual Makassar.
Hal itu lebih disebabkan penataan kawasan pesisir sangat minim sosialisasi. Untuk itu, dibutuhkan transpransi dalam penataan kawasan pesisir Bandar Lampung.
"Kami dituduh, dicurigai. Padahal, dalam mengantisipasi bencana, reklamasi merupakan salah satu solusi. Akibat dari reklamasi, berapa investasi muncul. Hasil survei Bank Indonesia (BI) Rp8,9 triliun, setelah dilakukan reklamasi penataan kawasan pesisir. Bahkan, pemerintah pusat pun memberikan dukungan," kata Dani.
Untuk itu, sangat dibutuhkan adanya peran serta media massa menyosialisasikan penataan kawasan pesisir yang semula hanya 1,1 hektare. "Jumlah penduduk semula hanya 4.400 KK. Sekarang kami membangun 2 unit rusunawa dengan 6 twin block. Pedagang kaki lima (PKL) di Pantai Losari dapat ditertibkan," kata dia.
Sehingga, penataan kawasan pesisir dilakukan menata tanpa menggusur. Yaitu, dengan melakukan reklamasi. "Alhamdulillah, di Bandar Lampung itu sudah mencanangkan penataan tanpa menggusur. Dan, kami sudah memiliki Perda RT/RW yang melegalkan reklamasi pantai. Akhirnya, persentase tahun 2006, tahun itu juga anggaran pembangunan rusunawa direalisasikan," kata dia.
Bahkan, setelah pantai Losari mampu ditata dengan indah, investasi di Makassar meningkat. "Penataan dan reklamasi yang hanya 1,1 hektare, justru menghasilkan investasi yang muncul, bahwa pemkot konsentrasi dalam penataan kota. Dan, mampu memberikan masukan PAD kepada Pemkot sebesar Rp36 miliar/tahun. Bahkan, Bakrie Group sudah menginvestasikan ratusan hektare reklamasi," kata Dani.
Sumber pembangunan Pantai Losari ada empat sumber. Pemerintah pusat, Pemkot, Pemda Provinsi, dan investor. Pemerintah pusat menangani kontruksi, Pemkot menangani timbunan, Pemprov menangani saluran tangkap. "Semua terfokus pada kawasan prioritas Pantai Losari yang dilengkapi dengan adanya payung hukum di segala tingkatan dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat," kata dia.
Asisten I Pemkot Bandar Lampung Amami Amila menjelaskan penataan kawasan pesisir sudah dilakukan sejak tahun 2006. Saat ini, sudah dalam tahap pembuatan masterplan dan detail engineering design (DED). Bahkan, Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah pusat sudah sangat menyetujui pembangunan tersebut.
Penataan kawasan pesisir yang banyak penolakan masyarakat, akhirnya pun banyak yang mendukung, diperlukan adanya persamaan persepsi. Sehingga, komunikasi merupakan salah satu faktor dalam melaksanakan kebijakan pemerintah. "Untuk itu, kami mengajak teman-teman wartawan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam penataan kawasan pesisir," kata Amami.
Sehingga, infomasi kepada masyarakat tidak menjadi hambatan dan tantangan bagi penataan kawasan pesisir. "Justru, bagaimana membuat masyarakat menuntut agar penataan kawasan pesisir dapat cepat dilaksanakan dan dapat berhasil dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat," kata dia. n KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 April 2008
April 17, 2008
Opini: Taman Enggal, Taman Kota
-- Jauhari Zailani*
INI malam keempat. Ia bingsal tidak keruan. Jarum jam menunjuk angka dua, tapi mata masih terang, masih nanar. Guling sudah beberapa kali dipeluk dan dibanting. Di tempat tidur salah. Di kursi salah. Ia tidak ingin bed dan kursi menjadi kambing hitam. Sepeda, ia tahu persis ini menyangkut persoalan cinta, boleh jadi menjadi pi'il, harga diri. Jika keliru, ia akan kehilangan gadis idamannya.
Sabar ia menunggu jawaban dari sang buah hati. Tidaklah elok, jika ia menolak pinta Roro Jonggrang, dan ia ingat ketika gadis pujaannya mengajukan syarat: "Kakanda, sebagai gadis sungguh aku tersanjung. Di kawedanaan ini, banyak gadis cantik dan ningrat menanti pinangan Kakanda. Tapi izinkanlah saya gadis yang bodoh ini mengajukan syarat". Tidak sabar menunggu, sang Pangeran menyela. "Jangan ragu Adinda, silakan kemukakan apa syaratnya. Kalau harus menyeberang laut dan melintas gunung, kan suka hati kujalani. Kalau Adinda inginkan gunung atau pulau, pasti kubeli".
Dalam benak sang Pangeran, terpikir. Kian banyak permintaan, sang Putri akan menjeratnya. Tapi, ia ingin memastikan bahwa syarat itu bukan alasan untuk menolaknya. "...tapi, apakah syaratnya itu, Diajeng?"
Setelah menarik napas berkali-kali akhirnya sang Putri berkata "...Kakanda, maafkanlah patik, jika tidak elok pintaku. Kakanda, elok nian jika Lapangan Enggal dapat menjadi taman kota."
Bak disambar guntur di siang bolong, sang Pangeran terdiam mlongo. Pasalnya lapangan itulah yang menjadi modalnya. Jika sukses ruilslag, ia dapat membeli pulau atau pergi ke mana saja, ke mana sang Putri mau. Tapi menolak syarat itu, jelas mustahil. Tapi ingin mengetahui alasannya, "Kenapa taman?"
"Ya Kakanda, lapangan itu menyimpan kenangan bagi komunitas kita. Sejak empat keturunan, Lapangan Enggal menjadi bagian kita. Kita semua tidak bisa dipisahkan dengan lapangan itu. Kakek kita, lahir, tumbuh dan mati di sini. Dan sejak sono-nya memang dirancang sebagai ruang publik. Jika kita mengubah menjadi milik privat, bisnis, saya khawatir para leluhur menyebut kita sebagai pengkhianat. Bukankah kita selalu mengeluhkan macetnya lalu lintas, bukankah mal itu pasar, dan pasar identik dengan kemacetan?"
Sang Pangeran tidak bisa hanya mendengar, "Bukankah zaman telah berubah. Zaman kita dan anak-anak kita, mereka main di mal. Bersama mereka kita dapat main di mal yang akan segera dibangun dengan semua fasilitasnya".
Sang Putri tersenyum sabar mendengar argumen sang Pangeran. Kemudian ia meneruskan, "Iya Kakanda, kita lahir dan besar di kota ini. Sejak tahun delapan puluhan, supermaket muncul yang baru, mematikan yang lama. Supermarket Flora di Radin Intan, ia mati menyusul hadirnya King. Kehadiran Artomoro membunuh King, bahkan Queen. Dan Artomoro mati seiring hadirnya Moka."
Sembari tetap tersenyum, dia melanjutkan, "Kakanda, daya beli kita lemah sekali. Betapa tidak? Kini, kecuali Chandra, semua dimiliki orang Jakarta. Artinya uang kita tersedot ke Jakarta. Lengkap sudah derita rakyat Lampung. Sistem ekonomi kita, uang tersedot ke Jakarta. Orang kaya, pejabat kita kalau belanja ke Jakarta. Orang setengah kaya atau yang sok kaya belanja di supermarket. Linear banget kan, kalau menjamurnya mart itu mematikan pasar tradisional."
Mengubah Enggal menjadi ruang bisnis tidak saja menggerogoti ruang publik, tetapi juga menyakiti perasaan kolektif warga Lampung. GOR Saburai, menjadi tempat alternatif selain mal bagi anak-anak remaja karena di sana menjadi ajang kompetisi olahraga dan pentas seni. Pembangunan tidak berdimensi tunggal, ekonomi saja. Masih ada sisi lain; perspektif lingkungan, humanisme, budaya, sosial, dan memori kolektif orang Lampung. Kecuali kita menuruti nafsu hewani yang yang menggelegak buas pada dada pengusaha dan penguasa kita.
Sang Pangeran kini puyeng, antara cinta dan kekuasaan. Dia sadar sesadar-sadarnya, simbol kekuasaan yang melekat pada dirinya adalah daya tariknya. Sebagai anak demang, ia terlahir gagah nan rupawan. Seluruh fasilitas yang dimiliki eksekutif muda Jakarta ada padanya. Sudah lusinan ia tundukkan dara di kota dan desa hingga mancanegara. Tapi kini ia dibuat tak berkutik oleh gadis Enggal; Roro Jonggrang. Ego telah mendorongnya hingga ke jurang dilema. Dia tidak mungkin surut. Sebagai laki-laki ia pantang kalah. Tapi gimana caranya?
Mulailah ia gunakan otaknya hasil besutan Universitas London dan Melbourne. Mulailah ia menganalisis, tanganya mencatat dan memilah; pertama, bisnis saling memakan, rakyat kecil yang terjepit. Jadi, jika dibuat mal benarkah rakyat diuntungkan? Dua, birokrasi dan politisi lebih melayani kepentingan saudagar sehingga tak memihak rakyat kecil dan rakyat banyak. Jelas, Ki Demang, ayahnya, telah bersekongkol dengan pengusaha. Apa pun dalihnya. Tiga, tidak ada pihak yang dirugikan jika Lapangan Enggal dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Kemudian dia teringat, setiap event pameran bunga, selalu rame. Maka, inilah ide yang membuatnya cerah itu; Pameran Bunga.
Pameran Bunga
Setelah panitia dibentuk, iklan dipasang; di koran lokal dan nasional, televisi lokal dan televisi nasional, tidak lupa di internet. Pameran dan bursa bunga terbesar di Lampung. Berlangsung sepanjang 2008. Syarat mengikuti pemeran; harus mengikuti sepanjang tahun, setiap stan membuat taman sebagai pajangan dan contoh kembang yang dijual, setiap stan harus memadukan jenis tanaman keras dan tanaman hias. Ini yang terpenting; setiap stan tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi sedemikian rupa agar pengunjung merasa seperti di taman, bukan di pasar. Usai pameran, pohon dan kembang yang sudah ditanam menjadi milik panitia. Lokasi pameran; Lapangan Enggal, Bandar Lampung, Indonesia.
Pembukaan pameran soal mudah apalagi menjelang pilkada. Pagi itu, tanggal 5 Januari 2008, pameran dibuka ibu demang Lampung. Lapangan Enggal tumpah ruah. Peserta datang dari penjuru negeri. Kembang tidak kepalang elok variasi rupa, jenis, dan harganya. Karena menjelang pikada, pameran adalah ajang kampanye. Psikologi inilah yang dimanfaatkan sang Pangeran.
Pameran dibuka sang Ibunda Nyi Demang. Pas betul karena Ki Demang ingin bertarung dalam pilkada. Dalam sambutanya Nyi Demang menyatakan, "...Pameran ini diadakan anak-anak muda yang peduli dengan keindahan. Ketika mereka menghadap saya, saya sambut dengan sukacita ide yang luar biasa ini. (gayanya kampanye) Karena sesuai dengan program Pak Demang, sebagai pemimpin yang berpihak pada pengusaha kecil, dan peduli pada keindahan kota."
"Melalui pameran ini, kami mendukung ide sang Pangeran, bahwa pameran bunga ini akan berlangsung sepanjang tahun, bahkan saya punya usul, kenapa tidak sepanjang massa? Setelah menggeser kacamatanya yang aduhai, ia menarik napas dan melanjutkan lagi, bahkan saya setuju sekali jika lapangan ini menjadi taman kota."
Maka, gemuruhlah tepuk tangan hadirin, tanpa menyimak apa yang diucapkan Nyi Demang. Pak Demang dan tim suksesnya senyum simpul. Meski mukanya saling pandang penuh tanda tanya.
Peserta dan pengunjung datang dari berbagai negara dan daerah. Pameran berlangsung aman, preman tidak berani bertingkah karena tidak mau berurusan dengan sang Pangeran yang terkenal pemurah dan terlebih lagi sebagai ketua organisasi pemuda. Anggotanya mengamankan stan dengan baju loreng dan aksesorinya, khas paramiliter. Bahkan, aparat keamanan pun dikerahkan.
Hari-hari selanjutnya, sepanjang hari Taman Enggal menjadi tempat pertemuan yang nyaman bagi segala orang dari semua lapisan. Kaya, miskin, tua, muda. Apalagi hari Minggu dan hari libur. Gedung olahraga, di sebelahnya, bukan saja untuk olahraga, melainkan berbagai pertunjukan kesenian berkembang marak dan semarak. Olahraga Lampung pun maju.
Pagi-pagi sekali, pada 21 April 2008, rombongan ibu-ibu berkebaya berkumpul, mereka merayakan Hari Kartini di lapangan eh di Taman Enggal. Setelah kumpul hingga ribuan orang, mereka bergerak menuju gedung PKK ingin menyaksikan perkawinan agung abad XXI, perkawinan Putri Roro Jonggrang dengan Pangeran, Putra Ki Demang. Apa emas kawinnya? Dengan mantap Pangeran menjawab, "Taman Enggal sebagai maharnya."
Sejak itu, Enggal menjadi taman kota. Semua senang, dan bahagia. Selamat menempuh hidup baru.
* Jauhari Zailani, Dosen UBL, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 April 2008
INI malam keempat. Ia bingsal tidak keruan. Jarum jam menunjuk angka dua, tapi mata masih terang, masih nanar. Guling sudah beberapa kali dipeluk dan dibanting. Di tempat tidur salah. Di kursi salah. Ia tidak ingin bed dan kursi menjadi kambing hitam. Sepeda, ia tahu persis ini menyangkut persoalan cinta, boleh jadi menjadi pi'il, harga diri. Jika keliru, ia akan kehilangan gadis idamannya.
Sabar ia menunggu jawaban dari sang buah hati. Tidaklah elok, jika ia menolak pinta Roro Jonggrang, dan ia ingat ketika gadis pujaannya mengajukan syarat: "Kakanda, sebagai gadis sungguh aku tersanjung. Di kawedanaan ini, banyak gadis cantik dan ningrat menanti pinangan Kakanda. Tapi izinkanlah saya gadis yang bodoh ini mengajukan syarat". Tidak sabar menunggu, sang Pangeran menyela. "Jangan ragu Adinda, silakan kemukakan apa syaratnya. Kalau harus menyeberang laut dan melintas gunung, kan suka hati kujalani. Kalau Adinda inginkan gunung atau pulau, pasti kubeli".
Dalam benak sang Pangeran, terpikir. Kian banyak permintaan, sang Putri akan menjeratnya. Tapi, ia ingin memastikan bahwa syarat itu bukan alasan untuk menolaknya. "...tapi, apakah syaratnya itu, Diajeng?"
Setelah menarik napas berkali-kali akhirnya sang Putri berkata "...Kakanda, maafkanlah patik, jika tidak elok pintaku. Kakanda, elok nian jika Lapangan Enggal dapat menjadi taman kota."
Bak disambar guntur di siang bolong, sang Pangeran terdiam mlongo. Pasalnya lapangan itulah yang menjadi modalnya. Jika sukses ruilslag, ia dapat membeli pulau atau pergi ke mana saja, ke mana sang Putri mau. Tapi menolak syarat itu, jelas mustahil. Tapi ingin mengetahui alasannya, "Kenapa taman?"
"Ya Kakanda, lapangan itu menyimpan kenangan bagi komunitas kita. Sejak empat keturunan, Lapangan Enggal menjadi bagian kita. Kita semua tidak bisa dipisahkan dengan lapangan itu. Kakek kita, lahir, tumbuh dan mati di sini. Dan sejak sono-nya memang dirancang sebagai ruang publik. Jika kita mengubah menjadi milik privat, bisnis, saya khawatir para leluhur menyebut kita sebagai pengkhianat. Bukankah kita selalu mengeluhkan macetnya lalu lintas, bukankah mal itu pasar, dan pasar identik dengan kemacetan?"
Sang Pangeran tidak bisa hanya mendengar, "Bukankah zaman telah berubah. Zaman kita dan anak-anak kita, mereka main di mal. Bersama mereka kita dapat main di mal yang akan segera dibangun dengan semua fasilitasnya".
Sang Putri tersenyum sabar mendengar argumen sang Pangeran. Kemudian ia meneruskan, "Iya Kakanda, kita lahir dan besar di kota ini. Sejak tahun delapan puluhan, supermaket muncul yang baru, mematikan yang lama. Supermarket Flora di Radin Intan, ia mati menyusul hadirnya King. Kehadiran Artomoro membunuh King, bahkan Queen. Dan Artomoro mati seiring hadirnya Moka."
Sembari tetap tersenyum, dia melanjutkan, "Kakanda, daya beli kita lemah sekali. Betapa tidak? Kini, kecuali Chandra, semua dimiliki orang Jakarta. Artinya uang kita tersedot ke Jakarta. Lengkap sudah derita rakyat Lampung. Sistem ekonomi kita, uang tersedot ke Jakarta. Orang kaya, pejabat kita kalau belanja ke Jakarta. Orang setengah kaya atau yang sok kaya belanja di supermarket. Linear banget kan, kalau menjamurnya mart itu mematikan pasar tradisional."
Mengubah Enggal menjadi ruang bisnis tidak saja menggerogoti ruang publik, tetapi juga menyakiti perasaan kolektif warga Lampung. GOR Saburai, menjadi tempat alternatif selain mal bagi anak-anak remaja karena di sana menjadi ajang kompetisi olahraga dan pentas seni. Pembangunan tidak berdimensi tunggal, ekonomi saja. Masih ada sisi lain; perspektif lingkungan, humanisme, budaya, sosial, dan memori kolektif orang Lampung. Kecuali kita menuruti nafsu hewani yang yang menggelegak buas pada dada pengusaha dan penguasa kita.
Sang Pangeran kini puyeng, antara cinta dan kekuasaan. Dia sadar sesadar-sadarnya, simbol kekuasaan yang melekat pada dirinya adalah daya tariknya. Sebagai anak demang, ia terlahir gagah nan rupawan. Seluruh fasilitas yang dimiliki eksekutif muda Jakarta ada padanya. Sudah lusinan ia tundukkan dara di kota dan desa hingga mancanegara. Tapi kini ia dibuat tak berkutik oleh gadis Enggal; Roro Jonggrang. Ego telah mendorongnya hingga ke jurang dilema. Dia tidak mungkin surut. Sebagai laki-laki ia pantang kalah. Tapi gimana caranya?
Mulailah ia gunakan otaknya hasil besutan Universitas London dan Melbourne. Mulailah ia menganalisis, tanganya mencatat dan memilah; pertama, bisnis saling memakan, rakyat kecil yang terjepit. Jadi, jika dibuat mal benarkah rakyat diuntungkan? Dua, birokrasi dan politisi lebih melayani kepentingan saudagar sehingga tak memihak rakyat kecil dan rakyat banyak. Jelas, Ki Demang, ayahnya, telah bersekongkol dengan pengusaha. Apa pun dalihnya. Tiga, tidak ada pihak yang dirugikan jika Lapangan Enggal dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Kemudian dia teringat, setiap event pameran bunga, selalu rame. Maka, inilah ide yang membuatnya cerah itu; Pameran Bunga.
Pameran Bunga
Setelah panitia dibentuk, iklan dipasang; di koran lokal dan nasional, televisi lokal dan televisi nasional, tidak lupa di internet. Pameran dan bursa bunga terbesar di Lampung. Berlangsung sepanjang 2008. Syarat mengikuti pemeran; harus mengikuti sepanjang tahun, setiap stan membuat taman sebagai pajangan dan contoh kembang yang dijual, setiap stan harus memadukan jenis tanaman keras dan tanaman hias. Ini yang terpenting; setiap stan tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi sedemikian rupa agar pengunjung merasa seperti di taman, bukan di pasar. Usai pameran, pohon dan kembang yang sudah ditanam menjadi milik panitia. Lokasi pameran; Lapangan Enggal, Bandar Lampung, Indonesia.
Pembukaan pameran soal mudah apalagi menjelang pilkada. Pagi itu, tanggal 5 Januari 2008, pameran dibuka ibu demang Lampung. Lapangan Enggal tumpah ruah. Peserta datang dari penjuru negeri. Kembang tidak kepalang elok variasi rupa, jenis, dan harganya. Karena menjelang pikada, pameran adalah ajang kampanye. Psikologi inilah yang dimanfaatkan sang Pangeran.
Pameran dibuka sang Ibunda Nyi Demang. Pas betul karena Ki Demang ingin bertarung dalam pilkada. Dalam sambutanya Nyi Demang menyatakan, "...Pameran ini diadakan anak-anak muda yang peduli dengan keindahan. Ketika mereka menghadap saya, saya sambut dengan sukacita ide yang luar biasa ini. (gayanya kampanye) Karena sesuai dengan program Pak Demang, sebagai pemimpin yang berpihak pada pengusaha kecil, dan peduli pada keindahan kota."
"Melalui pameran ini, kami mendukung ide sang Pangeran, bahwa pameran bunga ini akan berlangsung sepanjang tahun, bahkan saya punya usul, kenapa tidak sepanjang massa? Setelah menggeser kacamatanya yang aduhai, ia menarik napas dan melanjutkan lagi, bahkan saya setuju sekali jika lapangan ini menjadi taman kota."
Maka, gemuruhlah tepuk tangan hadirin, tanpa menyimak apa yang diucapkan Nyi Demang. Pak Demang dan tim suksesnya senyum simpul. Meski mukanya saling pandang penuh tanda tanya.
Peserta dan pengunjung datang dari berbagai negara dan daerah. Pameran berlangsung aman, preman tidak berani bertingkah karena tidak mau berurusan dengan sang Pangeran yang terkenal pemurah dan terlebih lagi sebagai ketua organisasi pemuda. Anggotanya mengamankan stan dengan baju loreng dan aksesorinya, khas paramiliter. Bahkan, aparat keamanan pun dikerahkan.
Hari-hari selanjutnya, sepanjang hari Taman Enggal menjadi tempat pertemuan yang nyaman bagi segala orang dari semua lapisan. Kaya, miskin, tua, muda. Apalagi hari Minggu dan hari libur. Gedung olahraga, di sebelahnya, bukan saja untuk olahraga, melainkan berbagai pertunjukan kesenian berkembang marak dan semarak. Olahraga Lampung pun maju.
Pagi-pagi sekali, pada 21 April 2008, rombongan ibu-ibu berkebaya berkumpul, mereka merayakan Hari Kartini di lapangan eh di Taman Enggal. Setelah kumpul hingga ribuan orang, mereka bergerak menuju gedung PKK ingin menyaksikan perkawinan agung abad XXI, perkawinan Putri Roro Jonggrang dengan Pangeran, Putra Ki Demang. Apa emas kawinnya? Dengan mantap Pangeran menjawab, "Taman Enggal sebagai maharnya."
Sejak itu, Enggal menjadi taman kota. Semua senang, dan bahagia. Selamat menempuh hidup baru.
* Jauhari Zailani, Dosen UBL, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 April 2008
April 14, 2008
Duta Bahasa: Pendaftaran Masih Buka
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kantor Bahasa Provinsi Lampung masih menerima pendaftaran peserta Pemilihan Duta Bahasa tingkat Provinsi Lampung yang rencananya digelar Mei mendatang. Kegiatan tersebut digelar dalam rangka menyambut Tahun Bahasa 2008.
Ketua Panitia Kegiatan, Bambang Kartono, Minggu (13-4), mengatakan pihaknya masih menerima pendaftaran peserta. Kegiatan ini pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dan hasilnya telah dikirimkan mewakili Lampung berlomba di tingkat nasional.
"Di ajang Pemilihan Duta Bahasa tahun 2006 tingkat nasional yang diikuti seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan Provinsi Lampung menjadi pemenang II," kata Bambang.
Untuk itulah, menurut Bambang, kegiatan yang bertujuan mendapatkan generasi-generasi muda yang tangguh di bidang kebahasaan sekaligus sebagai ajang pengenalan budaya Lampung di tingkat nasional ini kembali digelar. Kegiatan ini hampir serupa dengan ajang-ajang pengembangan bakat remaja seperti muli-mekhanai yang diselenggarakan Provinsi Lampung.
Bambang menambahkan bagi yang terpilih berkesempatan menjadi ikon dan mitra kerja Kantor Bahasa Provinsi Lampung selama setahun. Selain itu, mereka menjadi wakil Provinsi Lampung pada pemilihan Duta Bahasa tingkat nasional di Pusat Bahasa Jakarta. Apabila memenangkan ajang di tingkat nasional, pemenang akan menjadi ikon dan mitra kerja Pusat Bahasa Jakarta selama setahun.
Pendaftaran peserta dibuka pada 1 April 2008 dan akan berakhir pada 9 Mei 2008. Tempat pendaftaran di Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Persyaratan yang dikenakan di antaranya menguasai bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Lampung secara proporsional, dan berusia antara 17 dan 25 tahun.
"Mereka wajib menyertakan fotokopi KTP atau kartu identitas lain, foto close up, serta memiliki wawasan budaya Lampung yang memadai," tambah dia.
Peserta yang akan mengikuti seleksi di bidang kebahasaan akan dilaksanakan pada 13 Mei 2008. Jenis tes yang akan diberikan berupa tes tertulis uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI), bahasa asing, dan bahasa Lampung.
"Berdasar pada tes inilah nantinya terpilih 30 peserta terdiri dari putra dan putri yang nantinya masuk babak akhir pada 28 Mei 2008," ujarnya. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 April 2008
Ketua Panitia Kegiatan, Bambang Kartono, Minggu (13-4), mengatakan pihaknya masih menerima pendaftaran peserta. Kegiatan ini pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dan hasilnya telah dikirimkan mewakili Lampung berlomba di tingkat nasional.
"Di ajang Pemilihan Duta Bahasa tahun 2006 tingkat nasional yang diikuti seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan Provinsi Lampung menjadi pemenang II," kata Bambang.
Untuk itulah, menurut Bambang, kegiatan yang bertujuan mendapatkan generasi-generasi muda yang tangguh di bidang kebahasaan sekaligus sebagai ajang pengenalan budaya Lampung di tingkat nasional ini kembali digelar. Kegiatan ini hampir serupa dengan ajang-ajang pengembangan bakat remaja seperti muli-mekhanai yang diselenggarakan Provinsi Lampung.
Bambang menambahkan bagi yang terpilih berkesempatan menjadi ikon dan mitra kerja Kantor Bahasa Provinsi Lampung selama setahun. Selain itu, mereka menjadi wakil Provinsi Lampung pada pemilihan Duta Bahasa tingkat nasional di Pusat Bahasa Jakarta. Apabila memenangkan ajang di tingkat nasional, pemenang akan menjadi ikon dan mitra kerja Pusat Bahasa Jakarta selama setahun.
Pendaftaran peserta dibuka pada 1 April 2008 dan akan berakhir pada 9 Mei 2008. Tempat pendaftaran di Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Persyaratan yang dikenakan di antaranya menguasai bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Lampung secara proporsional, dan berusia antara 17 dan 25 tahun.
"Mereka wajib menyertakan fotokopi KTP atau kartu identitas lain, foto close up, serta memiliki wawasan budaya Lampung yang memadai," tambah dia.
Peserta yang akan mengikuti seleksi di bidang kebahasaan akan dilaksanakan pada 13 Mei 2008. Jenis tes yang akan diberikan berupa tes tertulis uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI), bahasa asing, dan bahasa Lampung.
"Berdasar pada tes inilah nantinya terpilih 30 peserta terdiri dari putra dan putri yang nantinya masuk babak akhir pada 28 Mei 2008," ujarnya. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 April 2008
April 13, 2008
Wisata Bahari di Lampung
OBJEK wisata bahari di Lampung tersebar mulai dari Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar Lampung, Tanggamus, hingga ke Kabupaten Lampung Barat.
Salah satu objek wisata yang kini sangat digandrungi oleh wisatawan mancanegara adalah Pantai Tanjung Setia yang terletak di Pekon (Desa) Bumi Agung, Kecamatan Biha Kabupaten, Lampung Barat. Lokasi itu berjarak sekitar 273 km dari Kota Bandar Lampung. Pantai Tanjung Setia sangat diminati turis asing, terutama bagi mereka yang memiliki hobi berselancar. Biasanya pada Mei hingga Agustus ketinggian ombaknya bisa mencapai 7 meter.
Karena melihat begitu banyaknya turis asing yang datang, Pemkab Lampung Barat kini sudah membangun sarana jalan yang dilapisi batu koral sehingga memudahkan pengunjung mendatangi lokasi. Terdapat pula tempat penginapan dan sudah berdiri dua guest house di Karangimbor.
Sebagian besar turis asing yang datang berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Karena ombaknya tinggi dan panjang, wisatawan betah berlama-lama tinggal di sini. Rata-rata mereka tinggal satu hingga dua minggu.
Berdasarkan data yang ada, pada 2005, sebanyak 250 wisatawan asing berkunjung ke Tanjung Setia. Mereka berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Ada juga yang berasal dari Prancis, Italia, dan negara Eropa lainnya.
Guntur, salah seorang pemandu wisata, mengatakan para turis tersebut mengagumi ombak Pantai Tanjung Setia yang begitu menantang dan mengasyikkan untuk berselancar jika dibandingkan dengan ombak di Pantai Nias. Tapi, Tanjung Setia belum begitu dikenal sehingga jika bosan ke Bali, wisatawan masih memilih Nias.
Oleh karena itu, dia berharap Pemkab Lampung Barat meningkatkan promosi Tanjung Setia, termasuk melengkapi sarana dan prasarananya.
''Selama ini kami tahu mengenai Tanjung Setia lebih banyak dari mulut ke mulut,'' ujarnya.
Pantai Tembakak
Bagi pengunjung yang tidak ingin berselancar di Lampung Barat, terdapat pantai dengan hamparan pasir putih dan bentangan laut membiru yakni Pantai Tembakak di Kecamatan Karya Punggawa. Ombak besar tidak henti menyisir pasir-pasir di pantai itu, seperti tidak sabar mengajak pengunjung bermain-main.
Pantai putih dengan laut biru yang terlihat dari pinggir jalan sungguh menarik. Sementara itu, di kejauhan terlihat Pulau Pisang nan hijau yang terlihat begitu kecil. Di sini juga terdapat sebuah pantai dengan batu-batu hitam berukuran besar.
Di Pantai Tembakak, warga setempat juga mengumpulkan batu hitam yang biasa digunakan untuk hiasan taman ataupun bangunan. Pantai Tembakak adalah satu-satunya pantai yang memiliki batu hitam di Indonesia.
Lampung Post/Zukri Fahmi
Selain panorama pantai, ternyata alam di Kabupaten Lampung Barat sangat mengasyikkan dijadikan arena untuk olahraga paralayang.
Menurut Anwar Soerya, penerbang yang memiliki sertifikasi internasional, Lampung Barat sangat layak dan potensial jika dikembangkan kegiatan paralayang sebagai pendukung pariwisata. Apalagi dengan karakteristik wilayah dan topografi tanah yang didominasi perbukitan dan view yang sangat indah, seperti Danau Ranau di Pekon Lumbok dan daerah pesisir. ''Pantai Lampung Barat ini sangat fantastik sekali jika parayalang terus dikembangkan,'' ujarnya.
Ketua Klub Paralayang Lampung Barat Abdul Rosyid mengatakan saat ini pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengembangkan paralayang. Salah satu upayanya adalah pembentukan Klub Paralayang Lampung Barat dan menurut rencana dideklarasikan pada kegiatan Gebyar Pesona Lumbok Ranau sekitar Agustus mendatang.
Selain itu, sesuai dengan potensi pariwisata yang cukup besar di Lampung Barat, diharapkan, paralayang akan berkembang untuk mendukung pemerintah dalam memasarkan dan mengemas pariwisata.
Pulau Sebesi
Sementara itu, di Kabupaten Lampung Selatan beberapa objek wisata bahari yang sudah cukup dikenal dan banyak diminati, di antaranya Pulau Sebesi. Pulau yang memiliki luas sekitar 1600 hektare ini dikenal karena letaknya sangat berdekatan dengan Anak Gunung Krakatau dan tidak kurang dari 700 kepala keluarga tinggal di pulau ini.
Dari Pulau Sebesi, pengunjung dapat mengamati aktivitas gunung berapi yang meletus pada 27 Agustus 1883. Saat itu, letusan Krakatau terdengar hingga 4.500 km dari titik letusan, antara lain Australia, Ceylon, dan negara-negara di Asia Tenggara.
Saat meletus, ketinggian ombak mencapai 40 meter yang menghancurkan sekitar 295 desa dan memakan korban lebih dari 39 ribu orang meninggal, khususnya mereka yang tinggal di sekitar daerah Selat Sunda hingga pantai Teluk Lampung.
Pulau Sebesi juga dikenal dengan daerah wisata buru. Bagi mereka yang memiliki hobi menyelam, bisa menyalurkan hobinya menyelam di Laut Teluk Lampung dengan kedalaman yang mencapai 10 sampai 30 meter. Wisatawan bisa menikmati keindahan pemandangan bawah laut dan mesranya bercumbu dengan berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya.
Wisata di Pantai Pasir Putih, Lampung Selatan (Antara)
Pantai Pasir Putih
Masih di daerah Kabupaten Lampung Selatan, objek wisata yang sudah menjadi kunjungan rutin masyarakat Lampung terutama pada hari-hari libur adalah Pantai Pasir Putih. Pantai ini memiliki pemandangan laut yang indah. Kegiatan yang bisa dilakukan di pantai ini adalah bersantai, berenang, dan berperahu menuju Pulau Condong Sulah yang terkenal dengan kebeningan air lautnya.
Satu lagi objek wisata yang banyak dikunjungi adalah Pantai Wartawan dan sumber air panas. Sebenarnya lokasi pantai ini menempati areal sempit antara jalan lingkar Gunung Rajabasa, lereng gunung, dan laut.
Sebuah sumber air panas berada pada sisi pantai karang bukit gunung botak yang terus-menerus mengeluarkan uap panas (suhu air laut antara 80 sampai 100 derajat celsius). Pantai wartawan dan sekitarnya diharapkan berkembang dan menjadi desa wisata dengan pemandangan lepas ke arah Gunung Krakatau.
Wisata Batu Putu
Di Kota Bandar Lampung, sebagai ibu kota provinsi, banyak juga terdapat objek wisata, salah satunya adalah objek wisata Batu Putu. Di sini, pengunjung dapat menikmati wisata alam dengan keindahan air terjun dan gunung dengan kumandang suara satwa. Kawasan wisata Batu Putu
yang dikelola Pemerintah Kota Bandar Lampung dikelola Yayasan Wisata Alam (Yawisal) ini letaknya di pinggir kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR). Taman Wisata Batu Putu terletak di Kelurahan Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandar Lampung. Lokasi wisata tersebut berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Bandar Lampung didukung dengan kondisi infrastruktur yang representatif.
Gerbang masuk taman wisata itu ditandai sepasang gapura bertuliskan, 'Selamat Datang' dan langsung ditemui sebuah portal masuk. Pengunjung wisata diminta membayar karcis tanda masuk senilai Rp3.000. Namun jika ingin bermalam atau berkemah di alam terbuka, pengunjung dikenai tambahan biaya Rp5.000/orang/malam. Pengelola tempat wisata tidak menyediakan alat kelengkapan kemah.
Di kawasan tersebut juga ditemui kandang kuda dengan enam kuda di setiap pintu kandang. Kuda-kuda tersebut merupakan bantuan Pemerintah Provinsi Lampung. Bahkan, seekor kuda telah melahirkan seekor kuda putih sekitar empat bulan lalu. Selain disediakan makan, kuda-kuda itu juga ditambatkan di areal taman wisata untuk mencari makan sendiri. Di tempat itu juga disediakan lokasi utama penyelenggaraan ajang tahunan Festival Batu Putu, mulai lomba makan durian, seminar, lokakarya, hingga diskusi.
Di arah utara, pengelola menyediakan hamparan luas yang menjadi tempat pemandangan ke kawasan Telukbetung. Yang juga terlihat sampai Pantai Teluk Lampung yakni Pelabuhan Panjang, Srengsem, dan laut lepas. Ke depan, lahan ini akan dijadikan agrowisata dengan ditanamnya beraneka ragam pohon dan buah-buahan.
Kemudian ke arah barat dari lahan parkir utama kendaraan, terdapat objek air terjun Way Pampangan. Dengan jarak sekitar 500 meter dari parkir utama, pengunjung dapat mencapainya melalui jalan setapak.
Jalan menurun tersebut menjadi akses jalan kaki satu-satunya bagi pengujung untuk mencapai air terjun dengan waktu sekitar 15 menit. Namun, jalan itu terhenti sampai di tebing terakhir menuju air terjun sehingga untuk mencapai air terjun harus menuruni tebing yang kemiringannya mencapai sekitar 35 derajat.
Kucuran air terjun dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter berasal dari mata air Way Pampangan. Di bawah air terjun, selain bebatuan besar, terdapat gua selebar 3 meter dan tinggi 1,5 meter. Gua yang tak terlalu dalam itu ternyata banyak dihinggapi kelelawar.
Di hilir air terjun tersebut, ternyata alirannya bertemu dengan aliran sungai kecil. Menurut warga sekitar, sungai tersebut bernama Way Sukamaju, ada juga yang menyebutnya Cimati karena mata airnya hanya dari aliran irigasi masyarakat di lereng Tahura. Namun air di kedua aliran itu terlihat jernih dengan ikan kecil dan keong. (Muhammad Naviandri/Lampung)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 April 2008
Salah satu objek wisata yang kini sangat digandrungi oleh wisatawan mancanegara adalah Pantai Tanjung Setia yang terletak di Pekon (Desa) Bumi Agung, Kecamatan Biha Kabupaten, Lampung Barat. Lokasi itu berjarak sekitar 273 km dari Kota Bandar Lampung. Pantai Tanjung Setia sangat diminati turis asing, terutama bagi mereka yang memiliki hobi berselancar. Biasanya pada Mei hingga Agustus ketinggian ombaknya bisa mencapai 7 meter.
Karena melihat begitu banyaknya turis asing yang datang, Pemkab Lampung Barat kini sudah membangun sarana jalan yang dilapisi batu koral sehingga memudahkan pengunjung mendatangi lokasi. Terdapat pula tempat penginapan dan sudah berdiri dua guest house di Karangimbor.
Sebagian besar turis asing yang datang berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Karena ombaknya tinggi dan panjang, wisatawan betah berlama-lama tinggal di sini. Rata-rata mereka tinggal satu hingga dua minggu.
Berdasarkan data yang ada, pada 2005, sebanyak 250 wisatawan asing berkunjung ke Tanjung Setia. Mereka berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Ada juga yang berasal dari Prancis, Italia, dan negara Eropa lainnya.
Guntur, salah seorang pemandu wisata, mengatakan para turis tersebut mengagumi ombak Pantai Tanjung Setia yang begitu menantang dan mengasyikkan untuk berselancar jika dibandingkan dengan ombak di Pantai Nias. Tapi, Tanjung Setia belum begitu dikenal sehingga jika bosan ke Bali, wisatawan masih memilih Nias.
Oleh karena itu, dia berharap Pemkab Lampung Barat meningkatkan promosi Tanjung Setia, termasuk melengkapi sarana dan prasarananya.
''Selama ini kami tahu mengenai Tanjung Setia lebih banyak dari mulut ke mulut,'' ujarnya.
Pantai Tembakak
Bagi pengunjung yang tidak ingin berselancar di Lampung Barat, terdapat pantai dengan hamparan pasir putih dan bentangan laut membiru yakni Pantai Tembakak di Kecamatan Karya Punggawa. Ombak besar tidak henti menyisir pasir-pasir di pantai itu, seperti tidak sabar mengajak pengunjung bermain-main.
Pantai putih dengan laut biru yang terlihat dari pinggir jalan sungguh menarik. Sementara itu, di kejauhan terlihat Pulau Pisang nan hijau yang terlihat begitu kecil. Di sini juga terdapat sebuah pantai dengan batu-batu hitam berukuran besar.
Di Pantai Tembakak, warga setempat juga mengumpulkan batu hitam yang biasa digunakan untuk hiasan taman ataupun bangunan. Pantai Tembakak adalah satu-satunya pantai yang memiliki batu hitam di Indonesia.
Lampung Post/Zukri Fahmi
Selain panorama pantai, ternyata alam di Kabupaten Lampung Barat sangat mengasyikkan dijadikan arena untuk olahraga paralayang.
Menurut Anwar Soerya, penerbang yang memiliki sertifikasi internasional, Lampung Barat sangat layak dan potensial jika dikembangkan kegiatan paralayang sebagai pendukung pariwisata. Apalagi dengan karakteristik wilayah dan topografi tanah yang didominasi perbukitan dan view yang sangat indah, seperti Danau Ranau di Pekon Lumbok dan daerah pesisir. ''Pantai Lampung Barat ini sangat fantastik sekali jika parayalang terus dikembangkan,'' ujarnya.
Ketua Klub Paralayang Lampung Barat Abdul Rosyid mengatakan saat ini pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengembangkan paralayang. Salah satu upayanya adalah pembentukan Klub Paralayang Lampung Barat dan menurut rencana dideklarasikan pada kegiatan Gebyar Pesona Lumbok Ranau sekitar Agustus mendatang.
Selain itu, sesuai dengan potensi pariwisata yang cukup besar di Lampung Barat, diharapkan, paralayang akan berkembang untuk mendukung pemerintah dalam memasarkan dan mengemas pariwisata.
Pulau Sebesi
Sementara itu, di Kabupaten Lampung Selatan beberapa objek wisata bahari yang sudah cukup dikenal dan banyak diminati, di antaranya Pulau Sebesi. Pulau yang memiliki luas sekitar 1600 hektare ini dikenal karena letaknya sangat berdekatan dengan Anak Gunung Krakatau dan tidak kurang dari 700 kepala keluarga tinggal di pulau ini.
Dari Pulau Sebesi, pengunjung dapat mengamati aktivitas gunung berapi yang meletus pada 27 Agustus 1883. Saat itu, letusan Krakatau terdengar hingga 4.500 km dari titik letusan, antara lain Australia, Ceylon, dan negara-negara di Asia Tenggara.
Saat meletus, ketinggian ombak mencapai 40 meter yang menghancurkan sekitar 295 desa dan memakan korban lebih dari 39 ribu orang meninggal, khususnya mereka yang tinggal di sekitar daerah Selat Sunda hingga pantai Teluk Lampung.
Pulau Sebesi juga dikenal dengan daerah wisata buru. Bagi mereka yang memiliki hobi menyelam, bisa menyalurkan hobinya menyelam di Laut Teluk Lampung dengan kedalaman yang mencapai 10 sampai 30 meter. Wisatawan bisa menikmati keindahan pemandangan bawah laut dan mesranya bercumbu dengan berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya.
Wisata di Pantai Pasir Putih, Lampung Selatan (Antara)
Pantai Pasir Putih
Masih di daerah Kabupaten Lampung Selatan, objek wisata yang sudah menjadi kunjungan rutin masyarakat Lampung terutama pada hari-hari libur adalah Pantai Pasir Putih. Pantai ini memiliki pemandangan laut yang indah. Kegiatan yang bisa dilakukan di pantai ini adalah bersantai, berenang, dan berperahu menuju Pulau Condong Sulah yang terkenal dengan kebeningan air lautnya.
Satu lagi objek wisata yang banyak dikunjungi adalah Pantai Wartawan dan sumber air panas. Sebenarnya lokasi pantai ini menempati areal sempit antara jalan lingkar Gunung Rajabasa, lereng gunung, dan laut.
Sebuah sumber air panas berada pada sisi pantai karang bukit gunung botak yang terus-menerus mengeluarkan uap panas (suhu air laut antara 80 sampai 100 derajat celsius). Pantai wartawan dan sekitarnya diharapkan berkembang dan menjadi desa wisata dengan pemandangan lepas ke arah Gunung Krakatau.
Wisata Batu Putu
Di Kota Bandar Lampung, sebagai ibu kota provinsi, banyak juga terdapat objek wisata, salah satunya adalah objek wisata Batu Putu. Di sini, pengunjung dapat menikmati wisata alam dengan keindahan air terjun dan gunung dengan kumandang suara satwa. Kawasan wisata Batu Putu
yang dikelola Pemerintah Kota Bandar Lampung dikelola Yayasan Wisata Alam (Yawisal) ini letaknya di pinggir kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR). Taman Wisata Batu Putu terletak di Kelurahan Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandar Lampung. Lokasi wisata tersebut berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Bandar Lampung didukung dengan kondisi infrastruktur yang representatif.
Gerbang masuk taman wisata itu ditandai sepasang gapura bertuliskan, 'Selamat Datang' dan langsung ditemui sebuah portal masuk. Pengunjung wisata diminta membayar karcis tanda masuk senilai Rp3.000. Namun jika ingin bermalam atau berkemah di alam terbuka, pengunjung dikenai tambahan biaya Rp5.000/orang/malam. Pengelola tempat wisata tidak menyediakan alat kelengkapan kemah.
Di kawasan tersebut juga ditemui kandang kuda dengan enam kuda di setiap pintu kandang. Kuda-kuda tersebut merupakan bantuan Pemerintah Provinsi Lampung. Bahkan, seekor kuda telah melahirkan seekor kuda putih sekitar empat bulan lalu. Selain disediakan makan, kuda-kuda itu juga ditambatkan di areal taman wisata untuk mencari makan sendiri. Di tempat itu juga disediakan lokasi utama penyelenggaraan ajang tahunan Festival Batu Putu, mulai lomba makan durian, seminar, lokakarya, hingga diskusi.
Di arah utara, pengelola menyediakan hamparan luas yang menjadi tempat pemandangan ke kawasan Telukbetung. Yang juga terlihat sampai Pantai Teluk Lampung yakni Pelabuhan Panjang, Srengsem, dan laut lepas. Ke depan, lahan ini akan dijadikan agrowisata dengan ditanamnya beraneka ragam pohon dan buah-buahan.
Kemudian ke arah barat dari lahan parkir utama kendaraan, terdapat objek air terjun Way Pampangan. Dengan jarak sekitar 500 meter dari parkir utama, pengunjung dapat mencapainya melalui jalan setapak.
Jalan menurun tersebut menjadi akses jalan kaki satu-satunya bagi pengujung untuk mencapai air terjun dengan waktu sekitar 15 menit. Namun, jalan itu terhenti sampai di tebing terakhir menuju air terjun sehingga untuk mencapai air terjun harus menuruni tebing yang kemiringannya mencapai sekitar 35 derajat.
Kucuran air terjun dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter berasal dari mata air Way Pampangan. Di bawah air terjun, selain bebatuan besar, terdapat gua selebar 3 meter dan tinggi 1,5 meter. Gua yang tak terlalu dalam itu ternyata banyak dihinggapi kelelawar.
Di hilir air terjun tersebut, ternyata alirannya bertemu dengan aliran sungai kecil. Menurut warga sekitar, sungai tersebut bernama Way Sukamaju, ada juga yang menyebutnya Cimati karena mata airnya hanya dari aliran irigasi masyarakat di lereng Tahura. Namun air di kedua aliran itu terlihat jernih dengan ikan kecil dan keong. (Muhammad Naviandri/Lampung)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 April 2008
Pergelaran Seni Budaya Lampung 2008: Seremoni Budaya tanpa Penjiwaan Seni
JUMAT (4-4), Lapangan Parkir Gedung Saburai Bandar Lampung tampak meriah. Aneka grup kesenian seolah berebut penonton. Dan, hajat bertajuk Pagelaran Seni Budaya Lampung dalam rangka HUT Provinsi Lampung ke-44 itu menyelesaikan tugasnya; sekadar tampil.
Parade kesenian dari kabupaten dan kota yang ditumplek di satu lokasi itu benar-benar tontonan. Semuanya tampil tak berbeda dengan penampilan yang diberikan dalam setiap event yang digelar pemerintah, baik itu dalam rangka Festival Krakatau, Begawi Kota Bandar Lampung, ataupun kegiatan seni budaya lainnya.
Satu yang membuat suasana berbeda. Yakni, seluruh penampil mengenakan tuping (topeng) sekura, sebuah tradisi dari Lampung Barat. Ini menjadi tema dan mendominasi. Namun, dominasi ini seolah menjadi upaya Melampung Baratkan Lampung.
Pemaksaan tema ini membuat ciri Lampung yang heterogen menjadi tenggelam dalam homogenitas. Ini juga membangun kesan monoton, meskipun gerak dan pakaian yang dikenakan berbeda.
Kota Metro yang mengusung tema Metro Bersih, para penari Tuping yang ada menggenakan pakaian kebersihan lengkap dengan sapu sebagai alat kebersihan. Begitu juga dengan mobil hias milik kota Metro yang menggambarkan tugu Adipura hasil kerja sama seluruh masyarakat kota Metro dalam menjaga kebersihan. Begitu juga dengan daerah lainnya.
Terkecuali memang ada satu tema besar yang diusung dalam kegiatan ini. Misalnya sengaja mengangkat satu seni budaya yang khas yang ada di Lampung untuk diangkat setiap tahunnya dalam penyelenggaraan HUT Provinsi Lampung, dan untuk tahun ini tarian Tuping yang terpilih. Makanya Tuping menjadi satu roh dalam sleuruh penampilan setiap peserta. Tapi ini tidak terjadi. Ataupun kalau memang begitu, ini yang tidak tersosialisasikan.
Meskipun Koordinator Seni Tuping dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, Yusuf Rusman mengatakan tari Tuping yang diusung masing-masing daerah kabupaten dan kota memiliki karakter dan tema yang berlainan sesuai dengan ciri daerah tersebut. Tuping ini menurut dia, menggambarkan menggambarkan berbagai karakter manusia.
Begitu juga dengan parade kesenian dari masyarakat Lampung yang berasal dari luar daerah yang selalu ditampilkan. Meski tujuannya melakukan akulturasi budaya yang ada, hendaknya kegiatan kesenian ini tidak menjadi suatu suguhan yang utama. Karena apa pun yang ditampilkan tetap kalah dengan kesenian asli yang ada di daerahnya. Misalnya, wisatawan ingin menyaksikan tambur minang, mereka akan lebih memilih menyaksikannya di Sumatera Barat, atau juga kesenian kuda lumping, reog ponorogo, barongsai, serta kesenian daerah lainnya. Sebagai penampil penyerta mungkin bisa dilakukan, tapi untuk kegiatan utama, tentu saja mesti disuguhkan yang menjadi khas dari Lampung. Selain itu juga, ada satu kelemahan yang amat terasa dalam penyelenggaraan kegiatan ini serta kegiatan ajang budaya yang ada di Lampung, yakni hanya sekadar menjadi kegiatan seremoni semata-mata. Kegiatan ini hanya digelar untuk menghibur para pejabat serta undangan yang tampil. Tanpa memedulikan apakah masyarakat turut terlibat berpartisipasi ataupun menjadi satu macam kegiatan yang dinanti oleh masyarakat. Sehingga yang terlihat penonton yang menyaksikan adalah para pejabat, undangan, serta masyarakat sekitar tempat penyelenggaraan acara saja. Padahal seharusnya kegiatan ini akan dimeriahkan oleh duyunan masyarakat dari berbagai pelosok yang ingin menyaksikannya. Tapi ini sama sekali tidak terjadi.
Pengamat budaya dari Jung Foundation, Christian Heru, mengatakan penyelenggaraan event kebudayaan yang ada di Lampung selama ini sekaan-akan tidak menyertakan masyarakat. Ajang dan kegiatan yang diambil bukan berasal dari satu budaya yang ada di masyarakat dan rutin digelar agendanya, tapi hanya sebatas seremoni dan menjalankan kegiatan yang sudah diagendakan pemerintah.
"Kesannya selama ini nggak ada gereget bahkan masyarakat kesannya adem-ayem saja. Bahkan yang terlihat hanya kegiatan seremonial. Berbeda halnya dengan kegiatan Sekaten di Yogyakarta yang begitu ditunggu masyarakat. Karena ada satu macam ikatan yang kuat dari masyarakat Yogya, sehingga akhirnya dikenal masyarakat luas dan menjadi suatu yang khas," kata Heru.
Dan dia melihat tidak ada sama sekali terlihat suatu yang khas yang ditawarkan dalam setiap event kebudayaan yang ada di Lampung. "Semuanya sama, tidak berbeda."
Tentu saja ini mesti menjadi perhatian pemerintah daerah, tidak hanya Dinas Pariwisata dan Kebuadayaan semata-mata, tapi juga menjadi pekerjaan rumah seluruh pihak. Apalagi di tahun ini, beberapa core event yang ada di Lampung masuk menjadi agenda nasional dalam rangka Visit Indonesia Year 2008 yakni FK, Festival Teluk Stabas, Festival Way Kambas, dan Begawi Kota Bandar Lampung. Hendaknya ada kekhasan seni budaya yang ditawarkan, tidak hanya sekedar seremonial semata-mata.
Sebab, menurut Wakil Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu saat memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, melestarikan seni budaya Lampung menjadi satu persoalan yang penting terutama dalam rangka menyambut Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009 yang akan datang.
Dia mengatakan persolan pelestarian kebudayaan akan sangat erat hubungannya dengan penyelenggaraan aktivitas kebudayaan. "Kegiatan kebudayaan menjadi sangat penting dalam rangka melakukan promosi budaya dan juga pariwisata yang ada di Lampung kepada masyarakat luas, wisatawan, dan juga dunia usaha," kata Syamsurya.
Untuk itulah, dia mengharapkan adanya penumbuhan nilai-nilai kelokalan khas Lampung sehingga menarik bagi siapa pun yang hadir. "Karena itu, kegiatan ini merupakan satu kegiatan positif dalam mengapresiasikan budaya Lampung."
Hal senada juga dikemukakan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung Tibrizi Asmarantaka, kegiatan pagelaran diadakan sebagai ajang penyaluran bakat menyatukan budaya Lampung sebagai tuan rumah di Provinsi Lampung. "Selain itu juga sebagai acara silaturahmi antarbudaya berbeda di Provinsi Lampung. Dan juga sebagai sarana promosi dan menyukseskan Program Visit Lampung Year 2009," ujar Tibrizi.
Visit Lampung Year 2009
Penyelenggaraan kegiatan parade budaya tersebut, selain digelar dalam rangka HUT ke-44 Provinsi Lampung juga sebagai momentum pencanganan logo dan moto penyelenggaraan Visit Lampung 2009 yang telah dicanangkan Gubernur Lampung sejak FK tahun 2007 yang lalu.
Namun ada beberapa catatan yang sangat mengganggu berkaitan dengan logo dan moto yang ditetapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Misalnya untuk logo, tidak lagi digunakannya gajah yang sudah menjadi ikon Lampung selama ini. Konon menurut sumber yang ada bahwa tidak dipilihnya gajah karena binatang tersebut sudah identik dengan negara Thailand. Makanya yang akan coba dikedepankan adalah rhino atau badak sumatera.
Padahal untuk menjadikan gajah sebagai ikon dari Lampung membutuhkan
waktu yang tak sebentar. Selain itu juga Thailand identik dengan gajah putih karena binatang ini dianggap suci. Jadi bukan pada keseluruhan binatang gajahnya tapi pada sosok gajah putihnya.
Begitu juga dengan moto yang dijual yakni menjadikan Lampung sebagai your second home. Menurut Fransisca, warga Bandar Lampung yang baru saja pulang dari Kuala Lumpur, moto tersebut sudah digunakan Malaysia dalam rangka kunjungan wisata ke negaranya.
"Bahkan moto itu sangat terpampang jelas dan besar di Bandara Internasional Kuala Lumpur yakni Your Second Home. Moto ini digunakan sebagai pengganti moto Malaysia terdahulu The Trully Asia," kata Fransisca.
Karena itu, dia sangat menyesalkan bila moto tersebut yang digunakan Lampung dalam rangka tahun kunjungan wisata. "Terlebih lagi katanya ini dibuat oleh para konsultan. Tapi kok bisa luput begitu saja. Jadinya ini terkesannya mengekor. Makanya moto ini mesti diganti dengan yang lebih menunjukkan kelokalan dan ciri khas Lampung yang dijual. Misalnya Yogya Never Ending Asia, atau lainnya."
Sedangkan Kuasa Usaha at Interim KBRI Kuala Lumpur, Tatang B. Razak pernah mengemukakan dengan moto Malaysia Trully Asia telah berhasil menarik wisatawan asal Indonesia setiap tahunnya sebanyak dua juta orang.
"Selain itu juga, infrastruktur wisata yang ada di Malaysia sudah siap 10 tahun sebelum pencanangannya. Bahkan dana yang dihabiskan untuk promosi ratusan miliar rupiah."
Sementara untuk Lampung menjadi satu pertanyaan tersendiri? Bukan hanya berkaitan dengan kesiapan infrastruktur wisata yang ada di sini, tapi juga kesiapan dari berbagai sektor penunjang lainnya. Sehingga jangan sampai Lampung hanya mengikuti apa yang dilakukan Sumatera Selatan dengan tahun kunjungan wisata 2008 saat ini. Sumatera Selatan memiliki Tantowi dan Helmi Yahya yang bisa menarik banyak pihak bahkan memboyong artis untuk menggelar acara di Palembang guna berpromosi. Sedangkan Lampung punya siapa? Masyarakat Lampung yang sukses di luar akan kembali ke Lampung hanya untuk ikut pilkada ataupun ketika berpulang ingin dikebumikan di tempat asal. Semoga saja anggapan tersebut tak terbukti. Sehingga Lampung bukan sekadar latah. n TEGUH PRESETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2008
Parade kesenian dari kabupaten dan kota yang ditumplek di satu lokasi itu benar-benar tontonan. Semuanya tampil tak berbeda dengan penampilan yang diberikan dalam setiap event yang digelar pemerintah, baik itu dalam rangka Festival Krakatau, Begawi Kota Bandar Lampung, ataupun kegiatan seni budaya lainnya.
Satu yang membuat suasana berbeda. Yakni, seluruh penampil mengenakan tuping (topeng) sekura, sebuah tradisi dari Lampung Barat. Ini menjadi tema dan mendominasi. Namun, dominasi ini seolah menjadi upaya Melampung Baratkan Lampung.
Pemaksaan tema ini membuat ciri Lampung yang heterogen menjadi tenggelam dalam homogenitas. Ini juga membangun kesan monoton, meskipun gerak dan pakaian yang dikenakan berbeda.
Kota Metro yang mengusung tema Metro Bersih, para penari Tuping yang ada menggenakan pakaian kebersihan lengkap dengan sapu sebagai alat kebersihan. Begitu juga dengan mobil hias milik kota Metro yang menggambarkan tugu Adipura hasil kerja sama seluruh masyarakat kota Metro dalam menjaga kebersihan. Begitu juga dengan daerah lainnya.
Terkecuali memang ada satu tema besar yang diusung dalam kegiatan ini. Misalnya sengaja mengangkat satu seni budaya yang khas yang ada di Lampung untuk diangkat setiap tahunnya dalam penyelenggaraan HUT Provinsi Lampung, dan untuk tahun ini tarian Tuping yang terpilih. Makanya Tuping menjadi satu roh dalam sleuruh penampilan setiap peserta. Tapi ini tidak terjadi. Ataupun kalau memang begitu, ini yang tidak tersosialisasikan.
Meskipun Koordinator Seni Tuping dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, Yusuf Rusman mengatakan tari Tuping yang diusung masing-masing daerah kabupaten dan kota memiliki karakter dan tema yang berlainan sesuai dengan ciri daerah tersebut. Tuping ini menurut dia, menggambarkan menggambarkan berbagai karakter manusia.
Begitu juga dengan parade kesenian dari masyarakat Lampung yang berasal dari luar daerah yang selalu ditampilkan. Meski tujuannya melakukan akulturasi budaya yang ada, hendaknya kegiatan kesenian ini tidak menjadi suatu suguhan yang utama. Karena apa pun yang ditampilkan tetap kalah dengan kesenian asli yang ada di daerahnya. Misalnya, wisatawan ingin menyaksikan tambur minang, mereka akan lebih memilih menyaksikannya di Sumatera Barat, atau juga kesenian kuda lumping, reog ponorogo, barongsai, serta kesenian daerah lainnya. Sebagai penampil penyerta mungkin bisa dilakukan, tapi untuk kegiatan utama, tentu saja mesti disuguhkan yang menjadi khas dari Lampung. Selain itu juga, ada satu kelemahan yang amat terasa dalam penyelenggaraan kegiatan ini serta kegiatan ajang budaya yang ada di Lampung, yakni hanya sekadar menjadi kegiatan seremoni semata-mata. Kegiatan ini hanya digelar untuk menghibur para pejabat serta undangan yang tampil. Tanpa memedulikan apakah masyarakat turut terlibat berpartisipasi ataupun menjadi satu macam kegiatan yang dinanti oleh masyarakat. Sehingga yang terlihat penonton yang menyaksikan adalah para pejabat, undangan, serta masyarakat sekitar tempat penyelenggaraan acara saja. Padahal seharusnya kegiatan ini akan dimeriahkan oleh duyunan masyarakat dari berbagai pelosok yang ingin menyaksikannya. Tapi ini sama sekali tidak terjadi.
Pengamat budaya dari Jung Foundation, Christian Heru, mengatakan penyelenggaraan event kebudayaan yang ada di Lampung selama ini sekaan-akan tidak menyertakan masyarakat. Ajang dan kegiatan yang diambil bukan berasal dari satu budaya yang ada di masyarakat dan rutin digelar agendanya, tapi hanya sebatas seremoni dan menjalankan kegiatan yang sudah diagendakan pemerintah.
"Kesannya selama ini nggak ada gereget bahkan masyarakat kesannya adem-ayem saja. Bahkan yang terlihat hanya kegiatan seremonial. Berbeda halnya dengan kegiatan Sekaten di Yogyakarta yang begitu ditunggu masyarakat. Karena ada satu macam ikatan yang kuat dari masyarakat Yogya, sehingga akhirnya dikenal masyarakat luas dan menjadi suatu yang khas," kata Heru.
Dan dia melihat tidak ada sama sekali terlihat suatu yang khas yang ditawarkan dalam setiap event kebudayaan yang ada di Lampung. "Semuanya sama, tidak berbeda."
Tentu saja ini mesti menjadi perhatian pemerintah daerah, tidak hanya Dinas Pariwisata dan Kebuadayaan semata-mata, tapi juga menjadi pekerjaan rumah seluruh pihak. Apalagi di tahun ini, beberapa core event yang ada di Lampung masuk menjadi agenda nasional dalam rangka Visit Indonesia Year 2008 yakni FK, Festival Teluk Stabas, Festival Way Kambas, dan Begawi Kota Bandar Lampung. Hendaknya ada kekhasan seni budaya yang ditawarkan, tidak hanya sekedar seremonial semata-mata.
Sebab, menurut Wakil Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu saat memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, melestarikan seni budaya Lampung menjadi satu persoalan yang penting terutama dalam rangka menyambut Tahun Kunjungan Wisata Lampung 2009 yang akan datang.
Dia mengatakan persolan pelestarian kebudayaan akan sangat erat hubungannya dengan penyelenggaraan aktivitas kebudayaan. "Kegiatan kebudayaan menjadi sangat penting dalam rangka melakukan promosi budaya dan juga pariwisata yang ada di Lampung kepada masyarakat luas, wisatawan, dan juga dunia usaha," kata Syamsurya.
Untuk itulah, dia mengharapkan adanya penumbuhan nilai-nilai kelokalan khas Lampung sehingga menarik bagi siapa pun yang hadir. "Karena itu, kegiatan ini merupakan satu kegiatan positif dalam mengapresiasikan budaya Lampung."
Hal senada juga dikemukakan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung Tibrizi Asmarantaka, kegiatan pagelaran diadakan sebagai ajang penyaluran bakat menyatukan budaya Lampung sebagai tuan rumah di Provinsi Lampung. "Selain itu juga sebagai acara silaturahmi antarbudaya berbeda di Provinsi Lampung. Dan juga sebagai sarana promosi dan menyukseskan Program Visit Lampung Year 2009," ujar Tibrizi.
Visit Lampung Year 2009
Penyelenggaraan kegiatan parade budaya tersebut, selain digelar dalam rangka HUT ke-44 Provinsi Lampung juga sebagai momentum pencanganan logo dan moto penyelenggaraan Visit Lampung 2009 yang telah dicanangkan Gubernur Lampung sejak FK tahun 2007 yang lalu.
Namun ada beberapa catatan yang sangat mengganggu berkaitan dengan logo dan moto yang ditetapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Misalnya untuk logo, tidak lagi digunakannya gajah yang sudah menjadi ikon Lampung selama ini. Konon menurut sumber yang ada bahwa tidak dipilihnya gajah karena binatang tersebut sudah identik dengan negara Thailand. Makanya yang akan coba dikedepankan adalah rhino atau badak sumatera.
Padahal untuk menjadikan gajah sebagai ikon dari Lampung membutuhkan
waktu yang tak sebentar. Selain itu juga Thailand identik dengan gajah putih karena binatang ini dianggap suci. Jadi bukan pada keseluruhan binatang gajahnya tapi pada sosok gajah putihnya.
Begitu juga dengan moto yang dijual yakni menjadikan Lampung sebagai your second home. Menurut Fransisca, warga Bandar Lampung yang baru saja pulang dari Kuala Lumpur, moto tersebut sudah digunakan Malaysia dalam rangka kunjungan wisata ke negaranya.
"Bahkan moto itu sangat terpampang jelas dan besar di Bandara Internasional Kuala Lumpur yakni Your Second Home. Moto ini digunakan sebagai pengganti moto Malaysia terdahulu The Trully Asia," kata Fransisca.
Karena itu, dia sangat menyesalkan bila moto tersebut yang digunakan Lampung dalam rangka tahun kunjungan wisata. "Terlebih lagi katanya ini dibuat oleh para konsultan. Tapi kok bisa luput begitu saja. Jadinya ini terkesannya mengekor. Makanya moto ini mesti diganti dengan yang lebih menunjukkan kelokalan dan ciri khas Lampung yang dijual. Misalnya Yogya Never Ending Asia, atau lainnya."
Sedangkan Kuasa Usaha at Interim KBRI Kuala Lumpur, Tatang B. Razak pernah mengemukakan dengan moto Malaysia Trully Asia telah berhasil menarik wisatawan asal Indonesia setiap tahunnya sebanyak dua juta orang.
"Selain itu juga, infrastruktur wisata yang ada di Malaysia sudah siap 10 tahun sebelum pencanangannya. Bahkan dana yang dihabiskan untuk promosi ratusan miliar rupiah."
Sementara untuk Lampung menjadi satu pertanyaan tersendiri? Bukan hanya berkaitan dengan kesiapan infrastruktur wisata yang ada di sini, tapi juga kesiapan dari berbagai sektor penunjang lainnya. Sehingga jangan sampai Lampung hanya mengikuti apa yang dilakukan Sumatera Selatan dengan tahun kunjungan wisata 2008 saat ini. Sumatera Selatan memiliki Tantowi dan Helmi Yahya yang bisa menarik banyak pihak bahkan memboyong artis untuk menggelar acara di Palembang guna berpromosi. Sedangkan Lampung punya siapa? Masyarakat Lampung yang sukses di luar akan kembali ke Lampung hanya untuk ikut pilkada ataupun ketika berpulang ingin dikebumikan di tempat asal. Semoga saja anggapan tersebut tak terbukti. Sehingga Lampung bukan sekadar latah. n TEGUH PRESETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2008
Landmark: Menara Siger Akhir April Diresmikan
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Peresmian Menara Siger di dekat Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, Lampung Selatan, di Provinsi Lampung yang diharapkan menjadi landmark atau ikon daerah Lampung direncanakan pada akhir April 2008 ini.
"Saat ini panitia terus mempersiapkan dapat mengemas acara sebaik mungkin," kata Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra, di Bandar Lampung, Sabtu (12-4).
Menurut Irham, sebagai ikon Lampung, keberadaan Menara Siger itu diharapkan dapat menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakat daerahnya secara luas.
Dia menyebutkan Lampung harus memiliki penanda dan ciri khas monumen seperti telah dikenal di daerah lain, di antaranya Palembang di Sumatera Selatan dengan Jembatan Ampera, atau Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.
Pada Menara Siger, lanjut dia, masing-masing kabupaten/kota akan menempatkan informasi tentang daerahnya, seperti objek dan potensi pariwisata, kebudayaan dan potensi investasi lainnya.
Menara Siger dibangun juga dengan menandakan ciri khas Lampung, seperti di sekitar tugu dibangun ruang-ruang yang menampilkan khazanah budaya daerah serta sarana-prasarana pariwisata lainnya.
Tugu Siger berwarna emas itu dibangun di kawasan bukit yang berada di sebelah kiri (timur) pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni yang dilengkapi dengan ruangan, tempat bagi wisatawan melihat Pelabuhan Bakauheni serta keindahan panorama laut dan alam sekitarnya.
Panjang menara tersebut sekitar 50 meter dengan lebar 11 meter, dan tinggi mencapai 30 meter yang tertulis "Anda Berada di Titik Nol Pulau Sumatera".
Pembangunan Menara Siger menggunakan dana sekitar Rp7,3 miliar itu, sempat menjadi polemik dan kontroversi, baik di kalangan masyarakat, politisi dan lainnya.
Namun Gubernur Lampung Sjachroedin ZP terus melaksanakannya, mengingat konsep tersebut tercetus jauh hari sebelum dirinya menjadi kepala daerah.
"Saya menyampaikan gagasan tersebut kepada Pak Anshori Djausal, pengajar di Fakultas Teknik Unila yang juga pemerhati masalah kebudayaan daerah Lampung yang kemudian merancangnya," kata dia, dalam beberapa kesempatan. n K-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2008
"Saat ini panitia terus mempersiapkan dapat mengemas acara sebaik mungkin," kata Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra, di Bandar Lampung, Sabtu (12-4).
Menurut Irham, sebagai ikon Lampung, keberadaan Menara Siger itu diharapkan dapat menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakat daerahnya secara luas.
Dia menyebutkan Lampung harus memiliki penanda dan ciri khas monumen seperti telah dikenal di daerah lain, di antaranya Palembang di Sumatera Selatan dengan Jembatan Ampera, atau Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.
Pada Menara Siger, lanjut dia, masing-masing kabupaten/kota akan menempatkan informasi tentang daerahnya, seperti objek dan potensi pariwisata, kebudayaan dan potensi investasi lainnya.
Menara Siger dibangun juga dengan menandakan ciri khas Lampung, seperti di sekitar tugu dibangun ruang-ruang yang menampilkan khazanah budaya daerah serta sarana-prasarana pariwisata lainnya.
Tugu Siger berwarna emas itu dibangun di kawasan bukit yang berada di sebelah kiri (timur) pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni yang dilengkapi dengan ruangan, tempat bagi wisatawan melihat Pelabuhan Bakauheni serta keindahan panorama laut dan alam sekitarnya.
Panjang menara tersebut sekitar 50 meter dengan lebar 11 meter, dan tinggi mencapai 30 meter yang tertulis "Anda Berada di Titik Nol Pulau Sumatera".
Pembangunan Menara Siger menggunakan dana sekitar Rp7,3 miliar itu, sempat menjadi polemik dan kontroversi, baik di kalangan masyarakat, politisi dan lainnya.
Namun Gubernur Lampung Sjachroedin ZP terus melaksanakannya, mengingat konsep tersebut tercetus jauh hari sebelum dirinya menjadi kepala daerah.
"Saya menyampaikan gagasan tersebut kepada Pak Anshori Djausal, pengajar di Fakultas Teknik Unila yang juga pemerhati masalah kebudayaan daerah Lampung yang kemudian merancangnya," kata dia, dalam beberapa kesempatan. n K-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2008
April 12, 2008
Seni Peran: Bupati Kagumi Pentas Teater Pierta SMAN 1 Liwa Lambar
Liwa, Lampung Barat, 12/4 (ANTARA) - Penampilan drama tiga babak oleh Teater Pierta, beranggota siswa SMAN 1 Liwa, Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Provinsi Lampung, mengundang decak kagum dan dukungan dari Bupati Mukhlis Basri.
Sebanyak 15 siswa anggota teater SMAN 1 Liwa itu menampilkan kebolehan mereka pada pencanangan Kampanye Anti Bullying (Kekerasan) yang dilaksanakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Lambar bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat di Terminal Pasar Liwa, Jumat (11/4).
Saat para siswa itu tampil berperan dalam drama tiga babak, menggambarkan tindak kekerasan oknum guru kepada siswanya, kekerasan para senior di sekolah kepada juniornya, dan perkelahian massal (tawuran) antar gank (geng) di sekolah, Bupati serius menikmatinya.
Mukhlis yang juga Ketua DPC PDIP Lambar, yang sebelumnya adalah Wakil Bupati di sana, nampak sempat pula tersenyum dan tertawa lepas, menyaksikan adegan demi adegan ditampilkan teater pelajar yang dibina para guru SMAN 1 Liwa dan telah berjalan sekitar setahun ini.
Bupati didampingi Wakilnya, Dimyati Amin dan pejabat lain, termasuk Kepala Dinas Pendidikan Nukman, serta merta menyampaikan kekaguman penampilan teater itu secara terbuka.
Bupati berterima kasih kepada para guru yang telah membimbing dan mendorong anak didiknya mengembangkan aktivitas yang baik dan terpuji seperti itu, selain tugas utama untuk terus belajar dengan baik yang tidak dilupakan.
Bupati minta Dinas Pendidikan Lambar dapat menampilkan teater pelajar itu dalam berbagai event penting di daerahnya, sekaligus mendorong dan membinanya agar bisa berkembang dan berprestasi lebih baik.
Para siswa anggota teater itu, didampingi guru pembinanya, Yunita, menyatakan, selama sekitar setahun berjalan mereka telah beberapa kali tampil dan mengikuti festival teater termasuk pada Pekan Seni Pelajar Lampung di Bandarlampung beberapa waktu lalu.
"Kami akan terus berteater dan berharap bisa mencapai prestasi lebih baik, di sela waktu belajar kami yang juga tidak boleh diabaikan," kata salah satu siswa anggota teater itu pula.
Saat pencanangan Kampanye Anti Bullying itu, ke-15 siswa anggota Teater Pierta itu menutup pula pementasan mereka dengan meneguhkan komitmen "Belajar Yes, Tawuran No!" serta menyatakan bersama-sama mendukung prinsip "Hormatilah Gurumu, Sayangi Temanmu dan Cintai Kekasihmu" serta menjalankan semboyan "Remaja Nggak Oke, Berantem dengan Sesama."
Prinsip dan komitmen itu, diikrarkan di hadapan Bupati dan Ketua PKBI Lambar Helwiyati Komala Dewi, pejabat yang hadir, beserta warga masyarakat yang berada di sekitar Terminal Pasar Liwa yang aktivitasnya tetap berjalan seperti biasa di tengah pencanangan Kampanye Anti Bullying itu.
Sumber: Antara, Sabtu, 12 April 2008
Sebanyak 15 siswa anggota teater SMAN 1 Liwa itu menampilkan kebolehan mereka pada pencanangan Kampanye Anti Bullying (Kekerasan) yang dilaksanakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Lambar bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat di Terminal Pasar Liwa, Jumat (11/4).
Saat para siswa itu tampil berperan dalam drama tiga babak, menggambarkan tindak kekerasan oknum guru kepada siswanya, kekerasan para senior di sekolah kepada juniornya, dan perkelahian massal (tawuran) antar gank (geng) di sekolah, Bupati serius menikmatinya.
Mukhlis yang juga Ketua DPC PDIP Lambar, yang sebelumnya adalah Wakil Bupati di sana, nampak sempat pula tersenyum dan tertawa lepas, menyaksikan adegan demi adegan ditampilkan teater pelajar yang dibina para guru SMAN 1 Liwa dan telah berjalan sekitar setahun ini.
Bupati didampingi Wakilnya, Dimyati Amin dan pejabat lain, termasuk Kepala Dinas Pendidikan Nukman, serta merta menyampaikan kekaguman penampilan teater itu secara terbuka.
Bupati berterima kasih kepada para guru yang telah membimbing dan mendorong anak didiknya mengembangkan aktivitas yang baik dan terpuji seperti itu, selain tugas utama untuk terus belajar dengan baik yang tidak dilupakan.
Bupati minta Dinas Pendidikan Lambar dapat menampilkan teater pelajar itu dalam berbagai event penting di daerahnya, sekaligus mendorong dan membinanya agar bisa berkembang dan berprestasi lebih baik.
Para siswa anggota teater itu, didampingi guru pembinanya, Yunita, menyatakan, selama sekitar setahun berjalan mereka telah beberapa kali tampil dan mengikuti festival teater termasuk pada Pekan Seni Pelajar Lampung di Bandarlampung beberapa waktu lalu.
"Kami akan terus berteater dan berharap bisa mencapai prestasi lebih baik, di sela waktu belajar kami yang juga tidak boleh diabaikan," kata salah satu siswa anggota teater itu pula.
Saat pencanangan Kampanye Anti Bullying itu, ke-15 siswa anggota Teater Pierta itu menutup pula pementasan mereka dengan meneguhkan komitmen "Belajar Yes, Tawuran No!" serta menyatakan bersama-sama mendukung prinsip "Hormatilah Gurumu, Sayangi Temanmu dan Cintai Kekasihmu" serta menjalankan semboyan "Remaja Nggak Oke, Berantem dengan Sesama."
Prinsip dan komitmen itu, diikrarkan di hadapan Bupati dan Ketua PKBI Lambar Helwiyati Komala Dewi, pejabat yang hadir, beserta warga masyarakat yang berada di sekitar Terminal Pasar Liwa yang aktivitasnya tetap berjalan seperti biasa di tengah pencanangan Kampanye Anti Bullying itu.
Sumber: Antara, Sabtu, 12 April 2008
April 10, 2008
Kantor Bahasa Gelar Pemilihan Duta Bahasa
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dalam rangka menyambut Tahun Bahasa 2008, Kantor Bahasa Provinsi Lampung akan menggelar Pemilihan Duta Bahasa tingkat Provinsi Lampung, Mei mendatang.
Ketua Panitia Kegiatan, Bambang Kartono, saat ditemui Selasa (8-4), mengatakan kegiatan ini pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, hasil pemilihan telah diikutkan lomba tingkat nasional.
"Malahan di ajang Pemilihan Duta Bahasa tahun 2006 di tingkat nasional yang diikuti seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan Provinsi Lampung menjadi pemenang kedua," kata Bambang.
Untuk itulah, kata Bambang, kegiatan yang bertujuan mendapatkan generasi-generasi muda yang tangguh di bidang kebahasaan sekaligus sebagai ajang pengenalan budaya Lampung di tingkat nasional ini kembali digelar.
Adapun bentuk kegiatan ini hampir serupa dengan ajang-ajang pengembangan bakat remaja seperti muli mekhanai yang diselenggarakan Provinsi Lampung.
Bambang menambahkan bagi yang terpilih berkesempatan menjadi ikon dan mitra kerja Kantor Bahasa Provinsi Lampung selama setahun. Selain itu juga, mereka menjadi wakil Provinsi Lampung pada Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Nasional di Pusat Bahasa Jakarta. Apabila wakil Lampung menang di tingkat nasional, akan menjadi ikon dan mitra kerja Pusat Bahasa Jakarta selama setahun.
Pendaftaran dibuka pada 1 April 2008 dan akan berakhir pada 9 Mei 2008. "Tempat pendaftaran dilakukan di Kantor Bahasa Provinsi Lampung yang beralamat di Jalan Beringin No. 40 Kompleks Gubernuran, Telukbetung, Bandar Lampung."
Persyaratan yang dikenakan di antaranya menguasai bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Lampung secara proporsional. Lalu berusia antara 17 dan 25 tahun, berpenampilan menarik, serta memiliki tinggi dan berat badan yang ideal, yakni 157 sentimeter untuk putri dan 162 sentimeter untuk putra.
"Mereka wajib menyertakan fotokopi KTP atau kartu identitas lain, foto close up, serta memiliki wawasan budaya Lampung yang memadai," tambah dia.
Peserta yang akan mengikuti seleksi di bidang kebahasaan akan dilaksanakan pada 13 Mei 2008. Jenis tes yang akan diberikan berupa tes tertulis uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI), bahasa asing, dan bahasa Lampung.
"Berdasar pada tes inilah nantinya dipilih 30 peserta terdiri dari putra dan putri yang masuk babak akhir pada 28 Mei 2008," ujarnya. TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 10 April 2008
Ketua Panitia Kegiatan, Bambang Kartono, saat ditemui Selasa (8-4), mengatakan kegiatan ini pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, hasil pemilihan telah diikutkan lomba tingkat nasional.
"Malahan di ajang Pemilihan Duta Bahasa tahun 2006 di tingkat nasional yang diikuti seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan Provinsi Lampung menjadi pemenang kedua," kata Bambang.
Untuk itulah, kata Bambang, kegiatan yang bertujuan mendapatkan generasi-generasi muda yang tangguh di bidang kebahasaan sekaligus sebagai ajang pengenalan budaya Lampung di tingkat nasional ini kembali digelar.
Adapun bentuk kegiatan ini hampir serupa dengan ajang-ajang pengembangan bakat remaja seperti muli mekhanai yang diselenggarakan Provinsi Lampung.
Bambang menambahkan bagi yang terpilih berkesempatan menjadi ikon dan mitra kerja Kantor Bahasa Provinsi Lampung selama setahun. Selain itu juga, mereka menjadi wakil Provinsi Lampung pada Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Nasional di Pusat Bahasa Jakarta. Apabila wakil Lampung menang di tingkat nasional, akan menjadi ikon dan mitra kerja Pusat Bahasa Jakarta selama setahun.
Pendaftaran dibuka pada 1 April 2008 dan akan berakhir pada 9 Mei 2008. "Tempat pendaftaran dilakukan di Kantor Bahasa Provinsi Lampung yang beralamat di Jalan Beringin No. 40 Kompleks Gubernuran, Telukbetung, Bandar Lampung."
Persyaratan yang dikenakan di antaranya menguasai bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Lampung secara proporsional. Lalu berusia antara 17 dan 25 tahun, berpenampilan menarik, serta memiliki tinggi dan berat badan yang ideal, yakni 157 sentimeter untuk putri dan 162 sentimeter untuk putra.
"Mereka wajib menyertakan fotokopi KTP atau kartu identitas lain, foto close up, serta memiliki wawasan budaya Lampung yang memadai," tambah dia.
Peserta yang akan mengikuti seleksi di bidang kebahasaan akan dilaksanakan pada 13 Mei 2008. Jenis tes yang akan diberikan berupa tes tertulis uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI), bahasa asing, dan bahasa Lampung.
"Berdasar pada tes inilah nantinya dipilih 30 peserta terdiri dari putra dan putri yang masuk babak akhir pada 28 Mei 2008," ujarnya. TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 10 April 2008
April 9, 2008
Iin Mutmainah: Promoting importance of story-telling
-- Oyos Saroso H.N., The Jakarta Post, Bandarlampung
TO ensure the survival of their art, theatrical actors and actresses in Indonesia need to explore their creativity.
Iin Mutmainnah (JP/Oyos Saroso HN)
As did Iin Mutmainah, 31, a theatrical actress from Lampung, who since 2002 has performed as story-teller.
Initially, Iin took up story-telling to earn some extra cash so she could continue her theater activities. But eventually Iin decided to set up a story-telling group called "Sanggar Dakocan" (Dakocan Studio).
Through this group, Iin found a channel for her acting talent and has been able to carry out a story-telling campaign for kindergarten pupils and teachers.
"It turns out that the story-telling business has no market. A survey we conducted indicated that many parents were not in the habit of telling stories to their children. Worse still, many kindergarten teachers cannot tell stories. That's why I decided to devote myself to story-telling," said Iin, who is a mother of four.
She said it was not easy for her and her group to convince teachers and parents that story-telling is important for children.
"Once, we offered to do story-telling in schools, one of the teachers thought we were sales promotion girls. Some headmasters even refused our offer on the grounds their teachers were all busy," she said.
The questionnaires that Sanggar Dakocan distributed to the parents of kindergarten and elementary school students in the 23 schools the group have performed at, greatly surprised Iin.
"It turns out that parents very rarely tell stories at home. Generally, their reason is that they have no time to tell stories to their children or that they are too tired or even that they do not know what stories to tell the children and so forth," she said.
Aside from story-telling at schools, Iin and her group also tell stories in outdoor areas, such as on sports fields.
"Listening to stories is very important for kindergarten pupils as story-telling teaches them values and helps build their character. Not surprisingly, children prefer to watch TV than listen to stories. One of the reasons is, perhaps, the way a story is told," said Iin, who is a graduate of the School of Agriculture of Lampung University.
Iin and the Sanggar Dakocan story-tellers ensure their stories are attractive and interactive.
"The story-tellers at Sanggar Dakocan also learn child psychology. We also broaden the minds of our story-tellers by offering various themes."
Iin said story-telling was also very useful in regard to emotional contact between parents and children.
"Regular story-telling will lead to an emotional proximity between children and parents. This emotional proximity will improve the mutual confidence between parents and children. In addition, children will also learn to listen to their parents," she added.
Aside from being useful to a child's emotional development, Iin said, story-telling was also useful in the development of children's imaginations.
"Therefore, I often feel sad when I see kindergarten teachers shout at their pupils when they want them to sit properly while listening to a story. I tell stories to make the kids happy and help develop their imaginations, not to make them afraid.
"One of the books that has influenced me, and members of the group, is a Japanese book called Small Girl at the Window by Tetsuko Kuroyanagi, or better known as Toto Can."
To be able to tell stories attractively, Iin has developed her own gestures and voice, with only a few props and costumes used.
"The purpose is to attract children so they can respond to the emotions evoked by our gestures and voices. The use of props and costumes is limited to accustom the children to giving more of their attention to the story rather than to the costumes and the props," Iin said.
In their story-telling activities, Iin and her group use live music; mostly traditional Lampung music. "We make a theme song for each story that we tell," she said.
Iin said it was very difficult to make children remain seated while they listened to stories. "That's why, as a story-teller, my colleagues and I must be creative. We tell stories interactively. The children are not mere objects that should listen to our stories ... they are also involved in the stories.
"Let's say there is a scene about a fish being chased by a shark -- we will ask the children to pretend to be a coral reef to protect the fish," said Iin.
Iin also provides story-telling training to teachers. In 2007, for example, she gave story-telling training sessions to some 200 kindergarten teachers from Bandarlampung city.
"Nowadays, my colleagues and I at Sanggar Dakocan are conducting story-telling training for kindergarten teachers from all over Lampung. This training will be held over ten sessions and each session will be attended by 50 teachers. The first batch of teachers started their training in January 2008," said Iin, who, as a story-teller, has won several prizes in national-level poetry-reading contests.
"It is necessary to remind teachers of their choice to become educators, which involves a great deal of professional responsibility," said Iin, who is also a member of the executive board of the Lampung Arts Council.
The most difficult thing about her job, Iin said, was telling stories in front of thousands of children or in front of government officials.
"If the audience is made up of thousands of people, my fellow story-tellers and I cannot just remain on the stage. We must move around the arena. We often find ourselves crowded by children, until we can hardly move," she said.
Sumber: The Jakarta Post, Wed, 04/09/2008
TO ensure the survival of their art, theatrical actors and actresses in Indonesia need to explore their creativity.
Iin Mutmainnah (JP/Oyos Saroso HN)
As did Iin Mutmainah, 31, a theatrical actress from Lampung, who since 2002 has performed as story-teller.
Initially, Iin took up story-telling to earn some extra cash so she could continue her theater activities. But eventually Iin decided to set up a story-telling group called "Sanggar Dakocan" (Dakocan Studio).
Through this group, Iin found a channel for her acting talent and has been able to carry out a story-telling campaign for kindergarten pupils and teachers.
"It turns out that the story-telling business has no market. A survey we conducted indicated that many parents were not in the habit of telling stories to their children. Worse still, many kindergarten teachers cannot tell stories. That's why I decided to devote myself to story-telling," said Iin, who is a mother of four.
She said it was not easy for her and her group to convince teachers and parents that story-telling is important for children.
"Once, we offered to do story-telling in schools, one of the teachers thought we were sales promotion girls. Some headmasters even refused our offer on the grounds their teachers were all busy," she said.
The questionnaires that Sanggar Dakocan distributed to the parents of kindergarten and elementary school students in the 23 schools the group have performed at, greatly surprised Iin.
"It turns out that parents very rarely tell stories at home. Generally, their reason is that they have no time to tell stories to their children or that they are too tired or even that they do not know what stories to tell the children and so forth," she said.
Aside from story-telling at schools, Iin and her group also tell stories in outdoor areas, such as on sports fields.
"Listening to stories is very important for kindergarten pupils as story-telling teaches them values and helps build their character. Not surprisingly, children prefer to watch TV than listen to stories. One of the reasons is, perhaps, the way a story is told," said Iin, who is a graduate of the School of Agriculture of Lampung University.
Iin and the Sanggar Dakocan story-tellers ensure their stories are attractive and interactive.
"The story-tellers at Sanggar Dakocan also learn child psychology. We also broaden the minds of our story-tellers by offering various themes."
Iin said story-telling was also very useful in regard to emotional contact between parents and children.
"Regular story-telling will lead to an emotional proximity between children and parents. This emotional proximity will improve the mutual confidence between parents and children. In addition, children will also learn to listen to their parents," she added.
Aside from being useful to a child's emotional development, Iin said, story-telling was also useful in the development of children's imaginations.
"Therefore, I often feel sad when I see kindergarten teachers shout at their pupils when they want them to sit properly while listening to a story. I tell stories to make the kids happy and help develop their imaginations, not to make them afraid.
"One of the books that has influenced me, and members of the group, is a Japanese book called Small Girl at the Window by Tetsuko Kuroyanagi, or better known as Toto Can."
To be able to tell stories attractively, Iin has developed her own gestures and voice, with only a few props and costumes used.
"The purpose is to attract children so they can respond to the emotions evoked by our gestures and voices. The use of props and costumes is limited to accustom the children to giving more of their attention to the story rather than to the costumes and the props," Iin said.
In their story-telling activities, Iin and her group use live music; mostly traditional Lampung music. "We make a theme song for each story that we tell," she said.
Iin said it was very difficult to make children remain seated while they listened to stories. "That's why, as a story-teller, my colleagues and I must be creative. We tell stories interactively. The children are not mere objects that should listen to our stories ... they are also involved in the stories.
"Let's say there is a scene about a fish being chased by a shark -- we will ask the children to pretend to be a coral reef to protect the fish," said Iin.
Iin also provides story-telling training to teachers. In 2007, for example, she gave story-telling training sessions to some 200 kindergarten teachers from Bandarlampung city.
"Nowadays, my colleagues and I at Sanggar Dakocan are conducting story-telling training for kindergarten teachers from all over Lampung. This training will be held over ten sessions and each session will be attended by 50 teachers. The first batch of teachers started their training in January 2008," said Iin, who, as a story-teller, has won several prizes in national-level poetry-reading contests.
"It is necessary to remind teachers of their choice to become educators, which involves a great deal of professional responsibility," said Iin, who is also a member of the executive board of the Lampung Arts Council.
The most difficult thing about her job, Iin said, was telling stories in front of thousands of children or in front of government officials.
"If the audience is made up of thousands of people, my fellow story-tellers and I cannot just remain on the stage. We must move around the arena. We often find ourselves crowded by children, until we can hardly move," she said.
Sumber: The Jakarta Post, Wed, 04/09/2008