BANDAR LAMPUNG (Lampost): Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) mendesak DPRD Lampung membahas dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Bahasa Daerah dan Kebudayaan Daerah yang disampaikan eksekutif kepada legislatif awal Februari 2008. Perda ini penting bagi masyarakat di Lampung yang hendak memasuki usia ke-44 pada 8 Maret mendatang.
"Hampir semua daerah di Indonesia sudah memiliki perda yang bertujuan menjaga dan melestarikan warisan leluhur budaya itu," kata Direktur Eksekutif Yayasan SKL Y. Wibowo didampingi Direktur Riset Budi Hutasuhut di Bandar Lampung, Kamis (28-2).
Menurut dia, dengan adanya perda akan makin jelas batasan-batasan tentang nilai-nilai budaya yang mesti direvitalisasi untuk disesuaikan dengan kondisi zaman saat ini.
Wibowo menjelaskan tidak adanya perda serupa menyebabkan setiap orang membuat definisi sendiri tentang nilai budaya masyarakat Lampung, sehingga kebudayaan Lampung menjadi sangat kaya akan versi. Kondisi ini memberikan kesulitan bagi setiap generasi muda untuk mempelajari budayanya masing-masing, yang akhirnya memutuskan untuk tidak mempelajari dan mewariskannya sama sekali.
Budi menambahkan dari sejumlah penelitian yang dilakukan Yayasan SKL menunjukkan tidak jelasnya batasan nilai budaya daerah akibat struktur budaya Lampung dan dibangun oleh ragam nilai budaya yang ada di Indonesia. "Kebudayaan Lampung merupakan hasil asimilasi sejumlah budaya, di mana pengaruh budaya melayu sangat dominan," kata dia.
Fakta ini sangat terasa setelah Yayasan SKL bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Lampung meneliti arsitektur rumah tradisional masyarakat Lampung. Rumah-rumah tua yang ada di Lampung diperkirakan berusi 200--300 tahun, merupakan rumah panggung yang sangat kuat dipengaruhi oleh arsitektur rumah-rumah masyarakat Melayu.
Menurut Budi, perda yang kini ada di DPRD Lampung harus membuat batasan tegas tentang bahasa daerah dan kebudayaan daerah karena pengaruh budaya lain ke dalam budaya Lampung tidak bisa diabaikan. "Struktur budaya masyarakat Lampung sejak ribuan tahun lalu sudah terbentuk dari pengaruh sekian banyak budaya di Indonesia. Pengaruh budaya Jawa, Sunda, dan Bali muncul pada masa kolonialisme sekitar abad ke-20," kata dia. n HES/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Februari 2008
February 28, 2008
Sastra: Imelda A. Sanjaya Luncurkan 'Goran'
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Novelis asal Bumi Ruwa Jurai, Imelda A. Sanjaya, meluncurkan novel perdananya, Goran. Penerbit Serambi, Jakarta, menerbitkan novel alumnus SMAN 2 Tanjungkarang (kini SMAN 2 Bandar Lampung), sekitar akhir tahun lalu dan kini sudah bisa diperoleh di toko buku di Bandar Lampung.
Imelda, Rabu (27-2), mengatakan karya perdana ini dicetak sekitar 3.000 eksemplar. Ia menuturkan menulis novel ini awalnya tidak sengaja. Kesukaannya memang menulis. Hingga pada suatu waktu, saat menulis, ia terinspirasi meneruskan karya dalam bentuk novel.
"Awalnya ya hanya mengetik. Tidak diniatkan khusus menjadi novel. Namun, setelah dapat seratus halaman, saya memutuskan menjadikannya novel. Akhirnya selesai dan saya kirim via surat elektronik ke beberapa penerbit. Alhamdulillah, Penerbit Serambi yang pertama kali merespons karya itu, sehingga mereka yang kemudian menerbitkan," urai Imelda, kemarin.
Kini, Imelda tengah sibuk mempromosikan karyanya itu ke beberapa pihak. Media dunia maya ia jelajahi untuk memberi tahu semua kerabat bahwa ia sudah menerbitkan novel. "Iya nih, sekarang lagi sibuk promosi. Ngasih tahu teman-teman kuliah dan SMA supaya mereka beli. Kalau enggak gitu, khawatir tidak banyak yang tahu. Doain ya supaya novelnya laku," ujar dia.
Secara umum, novel ini hampir mirip dengan Harry Potter. Isinya fantasi, tapi tetap berhubungan dengan dunia luar dan realitas masyarakat sehari-hari. Tokoh utamanya Aniki Kodama, siswa SMA di Jepang yang punya kemampuan luar biasa. Dia punya kesaktian yang pada awalnya tidak dia sadari hingga suatu saat terbukalah rahasia mengapa Aniki punya kemampuan super. Ada lagi tokoh lain seperti Orphann dengan kelompok Theft Ryder-nya dan kendaraan semodel ladakh carp.
"Dijamin asyik deh membacanya," ujar Imelda sembari berpromosi. n */S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Februari 2008
Imelda, Rabu (27-2), mengatakan karya perdana ini dicetak sekitar 3.000 eksemplar. Ia menuturkan menulis novel ini awalnya tidak sengaja. Kesukaannya memang menulis. Hingga pada suatu waktu, saat menulis, ia terinspirasi meneruskan karya dalam bentuk novel.
"Awalnya ya hanya mengetik. Tidak diniatkan khusus menjadi novel. Namun, setelah dapat seratus halaman, saya memutuskan menjadikannya novel. Akhirnya selesai dan saya kirim via surat elektronik ke beberapa penerbit. Alhamdulillah, Penerbit Serambi yang pertama kali merespons karya itu, sehingga mereka yang kemudian menerbitkan," urai Imelda, kemarin.
Kini, Imelda tengah sibuk mempromosikan karyanya itu ke beberapa pihak. Media dunia maya ia jelajahi untuk memberi tahu semua kerabat bahwa ia sudah menerbitkan novel. "Iya nih, sekarang lagi sibuk promosi. Ngasih tahu teman-teman kuliah dan SMA supaya mereka beli. Kalau enggak gitu, khawatir tidak banyak yang tahu. Doain ya supaya novelnya laku," ujar dia.
Secara umum, novel ini hampir mirip dengan Harry Potter. Isinya fantasi, tapi tetap berhubungan dengan dunia luar dan realitas masyarakat sehari-hari. Tokoh utamanya Aniki Kodama, siswa SMA di Jepang yang punya kemampuan luar biasa. Dia punya kesaktian yang pada awalnya tidak dia sadari hingga suatu saat terbukalah rahasia mengapa Aniki punya kemampuan super. Ada lagi tokoh lain seperti Orphann dengan kelompok Theft Ryder-nya dan kendaraan semodel ladakh carp.
"Dijamin asyik deh membacanya," ujar Imelda sembari berpromosi. n */S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Februari 2008
February 27, 2008
Peksipel: SMAN 2 Raih Juara Umum
(Unila): Juri mengumumkan SMA Negeri 2 Bandar Lampung sebagai Juara Umum Pekan Seni Pelajar (Peksipel) 2008, Minggu (24/2).
Salah satu peserta Pekan Seni Pelajar (Peksipel) tengah menampilkan Tari Bedana Kreasi.
Pengumuman yang dilakukan di Gedung Taman Budaya Lampung (TBL) dihadiri Kepada Dinas Pendidikan Lampung Heri Suliyanto, Pembantu Rektor III Drs M Thoha B Sampurna Jaya MS, Pembantu Rektor IV Ir Anshori Djausal MT, serta para peserta pelajar yang menantikan para juara dari 14 tangkai lomba.
Menurut Thoha, even seperti ini (Pelsipel) diharapkan dapat diadakan secara secara berlanjut dan hingga tingkat nasional. "Pekan olaharaga mahasiswa nasional (Pomnas) ada, Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) juga ada, kenapa tidak untuk Peksipel tingkat nasional juga diadakan,"ujar Thoha berharap.
Thoha menjanjikan mereka yang meraih juara pertama akan diterima masuk Unila tanpa tes. "Nantinya mereka akan mendapat tiket gratis masuk Unila dan harus masuk Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS)," kata Thoha.
Sementara itu, Anshori juga berharap agar kegiatan seni seperti ini patut diselenggarakan terus-menerus. "Budaya itu mempersatukan kita semua,"kata Anshori yang juga Ketua Komite Pariwisata Provinsi Lampung ini.
Pada tangkai lomba Tari Bedana Kreasi, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Krui. Sedangkan, secara berturut-turut juara kedua dan ketiga diraih oleh SMA Perintis I Bandar Lampung dan SMAN 1 Liwa Lampung Barat.
Sedangkan pada tangkai lomba Modern Dance, juara pertama direbut oleh SMAN 2 Bandar Lampung. Pada juara kedua dan ketiga, masing-masing direbut oleh SMA YP Unila, dan SMA Perintis 1 Bandar Lampung.
Pada lomba vocal group, menempati juara pertama adalah dari SMAN 1 Liwa, Lampung Barat. Pada juara kedua ditempati oleh SMAK BPK Penabur Bandar Lampung, dan juara ketiga oleh SMA YP Unila.
Pada lomba musik band, SMAN 1 Kalianda Lampung Selatan meraih juara pertama. Secara berturut-turut, juara dua dan ketiga diraih oleh SMA Perintis 1 Bandar Lampung dan SMAN 2 Bandar Lampung.
Lomba Story Telling, SMA Perintis 2 Bandar Lampung, sedangkan juara kedua dan ketiga secara berturut-turut diraih oleh SMAN 1 Liwa, Lampung Barat dan SMAN 9 Bandar Lampung.
Lomba Gambar Poster, juara pertama diraih oleh SMAN 2 Kota Agung, dengan judul "Narkoba Merusak Masa Depan". Sedangkan juara kedua dan ketiga diraih oleh SMAN 10 Bandar Lampung dan SMAN 4 Metro.
Pada lomba Pembaca Puisi Putra, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Kalianda. Juara kedua diraih SMA Al Ahzar 3 Bandar Lampung. Dan juara ketiga diraih oleh SMAN 3 Kotabumi. Sedangkan lomba Pembaca Puisi Putri, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Natar, juara kedua oleh SMA YP Unila, dan juara ketiga oleh SMAN 3 Kotabumi.
Pada lomba Penulis Cerpen, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Metro, juara kedua oleh SMAN 1 Pringsewu, dan juara ketiga oleh SMAN Fransiskus Bandar Lampung.
Lomba Pop putri, juara pertama diraih oleh SMAN2 Bandar Lampung, juara kedua oleh SMAN 1 Kota Gajah dan juara ketiga oleh SMAN 9 Bandar Lampung. Sedangkan Pop putra, juara pertama direbut oleh SMAN 2 Bandar Lampung, juara kedua oleh SMAN 1 Kota Agung, dan juara ketiga oleh SMKN 4 Bandar Lampung. [erik/andhi]
Sumber: http://unila.ac.id, Senin, 25 February 2008
Salah satu peserta Pekan Seni Pelajar (Peksipel) tengah menampilkan Tari Bedana Kreasi.
Pengumuman yang dilakukan di Gedung Taman Budaya Lampung (TBL) dihadiri Kepada Dinas Pendidikan Lampung Heri Suliyanto, Pembantu Rektor III Drs M Thoha B Sampurna Jaya MS, Pembantu Rektor IV Ir Anshori Djausal MT, serta para peserta pelajar yang menantikan para juara dari 14 tangkai lomba.
Menurut Thoha, even seperti ini (Pelsipel) diharapkan dapat diadakan secara secara berlanjut dan hingga tingkat nasional. "Pekan olaharaga mahasiswa nasional (Pomnas) ada, Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) juga ada, kenapa tidak untuk Peksipel tingkat nasional juga diadakan,"ujar Thoha berharap.
Thoha menjanjikan mereka yang meraih juara pertama akan diterima masuk Unila tanpa tes. "Nantinya mereka akan mendapat tiket gratis masuk Unila dan harus masuk Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS)," kata Thoha.
Sementara itu, Anshori juga berharap agar kegiatan seni seperti ini patut diselenggarakan terus-menerus. "Budaya itu mempersatukan kita semua,"kata Anshori yang juga Ketua Komite Pariwisata Provinsi Lampung ini.
Pada tangkai lomba Tari Bedana Kreasi, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Krui. Sedangkan, secara berturut-turut juara kedua dan ketiga diraih oleh SMA Perintis I Bandar Lampung dan SMAN 1 Liwa Lampung Barat.
Sedangkan pada tangkai lomba Modern Dance, juara pertama direbut oleh SMAN 2 Bandar Lampung. Pada juara kedua dan ketiga, masing-masing direbut oleh SMA YP Unila, dan SMA Perintis 1 Bandar Lampung.
Pada lomba vocal group, menempati juara pertama adalah dari SMAN 1 Liwa, Lampung Barat. Pada juara kedua ditempati oleh SMAK BPK Penabur Bandar Lampung, dan juara ketiga oleh SMA YP Unila.
Pada lomba musik band, SMAN 1 Kalianda Lampung Selatan meraih juara pertama. Secara berturut-turut, juara dua dan ketiga diraih oleh SMA Perintis 1 Bandar Lampung dan SMAN 2 Bandar Lampung.
Lomba Story Telling, SMA Perintis 2 Bandar Lampung, sedangkan juara kedua dan ketiga secara berturut-turut diraih oleh SMAN 1 Liwa, Lampung Barat dan SMAN 9 Bandar Lampung.
Lomba Gambar Poster, juara pertama diraih oleh SMAN 2 Kota Agung, dengan judul "Narkoba Merusak Masa Depan". Sedangkan juara kedua dan ketiga diraih oleh SMAN 10 Bandar Lampung dan SMAN 4 Metro.
Pada lomba Pembaca Puisi Putra, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Kalianda. Juara kedua diraih SMA Al Ahzar 3 Bandar Lampung. Dan juara ketiga diraih oleh SMAN 3 Kotabumi. Sedangkan lomba Pembaca Puisi Putri, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Natar, juara kedua oleh SMA YP Unila, dan juara ketiga oleh SMAN 3 Kotabumi.
Pada lomba Penulis Cerpen, juara pertama diraih oleh SMAN 1 Metro, juara kedua oleh SMAN 1 Pringsewu, dan juara ketiga oleh SMAN Fransiskus Bandar Lampung.
Lomba Pop putri, juara pertama diraih oleh SMAN2 Bandar Lampung, juara kedua oleh SMAN 1 Kota Gajah dan juara ketiga oleh SMAN 9 Bandar Lampung. Sedangkan Pop putra, juara pertama direbut oleh SMAN 2 Bandar Lampung, juara kedua oleh SMAN 1 Kota Agung, dan juara ketiga oleh SMKN 4 Bandar Lampung. [erik/andhi]
Sumber: http://unila.ac.id, Senin, 25 February 2008
Rekrutmen PNS: Guru Bahasa Daerah Lowong
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Belasan formasi penerimaan calon pegawai negeri sispil daerah (CPNSD) Lampung 2007 untuk dokter spesialis dan guru bahasa daerah tidak terisi karena persyaratan pelamar yang ditentukan tidak terpenuhi.
"Formasi yang diajukan 10 kabupaten/kota ternyata tidak satu pun yang terisi. Pelamar tidak memenuhi persyaratan," kata Sekretaris Panitia CPNSD Lampung, Helmi Arsyad kepada Lampung Post, Selasa (26-2).
Penyebabnya, lanjut dia, faktor umur dan kategori lulusan calon pelamar. Seperti formasi dokter spesialis, kata Helmi, yang memenuhi persyaratan umur maksimal 35 tahun hanya satu orang, sedangkan sekolah ke jenjang spesialis cukup lama. "Kami minta ke menteri menambah batas umur khusus untuk formasi dokter spesialis."
Sedangkan guru bahasa daerah, tambah dia, formasi yang menjadi persyaratan adalah lulusan sarjana (S-1). Menurut dia, Universitas Lampung (Unila) dan perguruan tinggi lain tidak menyediakan jurusan pendidikan bahasa daerah. Bahkan, Unila sempat membuka jurusan ahli madya bahasa daerah diploma tiga (D-3), tetapi tidak meningkatkan kualifikasi ke sarjana.
Untuk itu, kata dia lag, tim panitia CPNSD akan berkonsultasi dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Mennegpan) untuk melonggarkan persyaratan formasi yang tidak terisi tersebut.
Sementara itu, Dekan FKIP Unila Dr. Sudjarwo mengharapkan Pemerintah Provinsi memiliki tanggung jawab terhadap lulusan Unila, khususnya jurusan bahasa daerah, untuk diterima menjadi PNS. "Buat apa dibuka jika lulusannya tidak tertampung lapangan kerja," kata dia.
Berkaitan dengan pengumuman CPNSD awal Maret mendatang, Ketua Panitia Penerimaan CPNSD 2007 Lampung Irham Jafar Lan Putra menjamin tidak akan ada "permainan" dalam seleksi penerimaan pegawai.
Menurut dia, proses pemeriksaan lembar jawaban komputer (LJK) berjalan transparan dan dilakukan Universitas Indonesia (UI) agar kredibilitas hasilnya terjaga. n AAN/DWI/R-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Februari 2008
"Formasi yang diajukan 10 kabupaten/kota ternyata tidak satu pun yang terisi. Pelamar tidak memenuhi persyaratan," kata Sekretaris Panitia CPNSD Lampung, Helmi Arsyad kepada Lampung Post, Selasa (26-2).
Penyebabnya, lanjut dia, faktor umur dan kategori lulusan calon pelamar. Seperti formasi dokter spesialis, kata Helmi, yang memenuhi persyaratan umur maksimal 35 tahun hanya satu orang, sedangkan sekolah ke jenjang spesialis cukup lama. "Kami minta ke menteri menambah batas umur khusus untuk formasi dokter spesialis."
Sedangkan guru bahasa daerah, tambah dia, formasi yang menjadi persyaratan adalah lulusan sarjana (S-1). Menurut dia, Universitas Lampung (Unila) dan perguruan tinggi lain tidak menyediakan jurusan pendidikan bahasa daerah. Bahkan, Unila sempat membuka jurusan ahli madya bahasa daerah diploma tiga (D-3), tetapi tidak meningkatkan kualifikasi ke sarjana.
Untuk itu, kata dia lag, tim panitia CPNSD akan berkonsultasi dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Mennegpan) untuk melonggarkan persyaratan formasi yang tidak terisi tersebut.
Sementara itu, Dekan FKIP Unila Dr. Sudjarwo mengharapkan Pemerintah Provinsi memiliki tanggung jawab terhadap lulusan Unila, khususnya jurusan bahasa daerah, untuk diterima menjadi PNS. "Buat apa dibuka jika lulusannya tidak tertampung lapangan kerja," kata dia.
Berkaitan dengan pengumuman CPNSD awal Maret mendatang, Ketua Panitia Penerimaan CPNSD 2007 Lampung Irham Jafar Lan Putra menjamin tidak akan ada "permainan" dalam seleksi penerimaan pegawai.
Menurut dia, proses pemeriksaan lembar jawaban komputer (LJK) berjalan transparan dan dilakukan Universitas Indonesia (UI) agar kredibilitas hasilnya terjaga. n AAN/DWI/R-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Februari 2008
February 25, 2008
Seni Rupa: 2 Perupa Ikut Pameran Nasional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dua perupa Lampung, Pulung Swandaru dan Subardjo, terpilih sebagai peserta pameran besar seni rupa Indonesia 2008 yang akan digelar di Galeri Nasional Jakarta, 21 Mei--6 Juni 2008. Pameran tersebut digelar sebagai peringatan satu abad kebangkitan nasional.
Pulung Swandaru mengatakan pemilihan peserta pameran tersebut dilakukan melalui seleksi oleh empat kurator lukisan nasional. Dari seluruh Indonesia, dipilih 100 perupa ikut acara tersebut.
"Saya terpilih karena memiliki kekritisan terhadap fenomena sosial yang mewarnai bangsa Indonesia sejak 1908 hingga sekarang. Kebetulan karya-karya saya selalu berbicara tentang perubahan-perubahan atau fenomena yang terjadi di masyarakat. Mungkin itu salah satu alasan saya dipilih menjadi peserta," kata Pulung, Minggu (24-2) .
Setiap perupa yang terpilih diperbolehkan menampilkan satu karya, baik karya baru maupun karya lama. Pulung merencanakan membawakan sebuah karya baru berjudul Merahnya Merah Putih.
Menurut Pulung, karya tersebut menampilkan visualisasi sebuah batu zamrud yang berlubang menganga dan retak-retak. Sebagai bentuk kritik, kondisi retak-retak mengibaratkan kondisi masyarakat Indonesia yang bersikap acuh tidak acuh, skeptis terhadap segala permasalahan, serta sikap diam masyarakat Indonesia terhadap segala masalah.
Selanjutnya, retak-retak itu akan menimbulkan lubang menganga. "Gambaran ini berarti perpecahan di antara masyarakat sudah tidak terelakkan sehingga di antara masyarakat sendiri muncul lubang yang memisahkan, tidak lagi menyatukan masyarakat Indonesia," ujar Pulung.
Untuk mencegah perpecahan tersebut, disetiap retakan dibalut warna merah. Balutan merah menandakan persatuan. Merahnya Merah Putih ada di balutan itu.
Pulung mengatakan sebelum mengirim karya tersebut, dia dan Subardjo berencana melakukan bedah karya di Bandar Lampung. "Kami juga berencana melakukan diskusi seni rupa untuk mengawali pameran besar di Jakarta tersebut." n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Februari 2008
Pulung Swandaru mengatakan pemilihan peserta pameran tersebut dilakukan melalui seleksi oleh empat kurator lukisan nasional. Dari seluruh Indonesia, dipilih 100 perupa ikut acara tersebut.
"Saya terpilih karena memiliki kekritisan terhadap fenomena sosial yang mewarnai bangsa Indonesia sejak 1908 hingga sekarang. Kebetulan karya-karya saya selalu berbicara tentang perubahan-perubahan atau fenomena yang terjadi di masyarakat. Mungkin itu salah satu alasan saya dipilih menjadi peserta," kata Pulung, Minggu (24-2) .
Setiap perupa yang terpilih diperbolehkan menampilkan satu karya, baik karya baru maupun karya lama. Pulung merencanakan membawakan sebuah karya baru berjudul Merahnya Merah Putih.
Menurut Pulung, karya tersebut menampilkan visualisasi sebuah batu zamrud yang berlubang menganga dan retak-retak. Sebagai bentuk kritik, kondisi retak-retak mengibaratkan kondisi masyarakat Indonesia yang bersikap acuh tidak acuh, skeptis terhadap segala permasalahan, serta sikap diam masyarakat Indonesia terhadap segala masalah.
Selanjutnya, retak-retak itu akan menimbulkan lubang menganga. "Gambaran ini berarti perpecahan di antara masyarakat sudah tidak terelakkan sehingga di antara masyarakat sendiri muncul lubang yang memisahkan, tidak lagi menyatukan masyarakat Indonesia," ujar Pulung.
Untuk mencegah perpecahan tersebut, disetiap retakan dibalut warna merah. Balutan merah menandakan persatuan. Merahnya Merah Putih ada di balutan itu.
Pulung mengatakan sebelum mengirim karya tersebut, dia dan Subardjo berencana melakukan bedah karya di Bandar Lampung. "Kami juga berencana melakukan diskusi seni rupa untuk mengawali pameran besar di Jakarta tersebut." n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Februari 2008
February 24, 2008
Khazanah: Bahasa Lampung, Warisan Leluhur yang kian Dilupakan
-- Budi P Hatees*
SETELAH karya sastra berbahasa Lampung mendapat Hadiah Rancage 2008, adakah yang bisa menjamin bahasa warisan budaya leluhur Lampung ini tetap memperkaya khazanah bahasa-bahasa ibu di negeri ini dan dunia pada puluhan tahun mendatang.
Pertanyaan itu pantas diajukan terhadap masa depan bahasa Lampung dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan PBB setiap 21 Februari. Tentu, masyarakat Lampung-- selaku ahli waris--paling bertanggung jawab untuk menjawabnya sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa bahasa Lampung tidak akan pernah punah.
Namun, sebagai pihak yang punya peran membawa bahasa Lampung menerima Rancage 2008, dalam kapasitas selaku pengelola Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung yang menerbitkan Mak Dawah Mak Dibingi, buku kumpulan sajak dalam bahasa Lampung yang ditulis Udo Z Karzi, tidak berlebihan bila saya meragukan pengakuan serupa akan diterima pada tahun yang akan datang.
Sebab, untuk menghasilkan buku Mak Dawah Mak Dibingi, hampir tidak ada kalangan ahli waris bahasa Lampung yang memberikan perhatian serius terhadap program-program kerja penerbitan buku berbahasa Lampung yang digagas Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung dengan mendirikan Penerbit B-Press dan Penerbit MataKata. Beberapa pihak yang diajak bekerja sama untuk menerbitkan buku-buku dengan teks bahasa Lampung tidak memberi tanggapan yang membuat upaya pelestarian bahasa ibu ini berjalan lancar.
Sebuah keprihatinan layak diungkapkan atas rendahnya kepedulian masyarakat Lampung terhadap masa depan bahasa daerahnya. Rancage 2008 yang diperoleh tidak mendapat tanggapan serius dari masyarakat, padahal ini berdampak serius terhadap penerimaan sekaligus pengakuan masyarakat di berbagai pelosok negeri akan eksistensi bahasa Lampung dalam khazanah bahasa-bahasa daerah internasional.
Sebuah pengakuan
Pemberian Rancage 2008 oleh Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi merupakan bukti betapa bahasa daerah Lampung mendapat pengakuan sebagai bahasa yang masih eksis di lingkungan masyarakatnya. Hadiah ini sekaligus menaikkan gengsi bahasa Lampung menjadi sejajar dengan gengsi bahasa Sunda, Jawa, dan Bali--tiga bahasa daerah yang selama ini menjadi langganan penerima Rancage.
Sejak digulirkan pada 1989, Rancage belum pernah diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa dan Bali. Bahkan, tidak pernah terpikirkan karya sastra berbahasa Lampung akhirnya mengubah tradisi pemberian hadiah itu.
Karena itu, perhatian serius yang diberikan Yayasan Rancage terhadap eksistensi bahasa Lampung mesti ditanggapi masyarakat Lampung dengan menumbuhkan semangat baru untuk menyosialisasikan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat pemiliknya. Dengan begitu, bahasa Lampung tidak akan lagi mengalami persoalan krusial terkait krisis penutur, yang selama ini menjadi masalah serius sehingga berdampak terhadap pengajaran bahasa Lampung di sekolah-sekolah.
Bahasa Lampung masuk dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok) sejak dekade 1980-an. Tetapi persoalan bahasa Lampung terkait krisis penutur semakin lama semakin krusial ditandai sulitnya menjumpai masyarakat yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Anak-anak didik yang belajar bahasa Lampung bisa dibilang tak pernah mempergunakan bahasa yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam proses belajar-mengajar, bahasa Lampung sering disampaikan dalam bahasa Indonesia karena sebagian besar guru bahasa Lampung ternyata bukan orang Lampung.
Penyebabnya, bahasa Lampung diajarkan kepada anak-anak didik bukan sebagai pengetahuan. Bahasa Lampung hanya sekadar memenuhi peraturan tentang pentingnya muatan lokal, namun tujuan dari muatan lokal itu tidak membuat generasi muda mencintai warisan leluhur budayanya. Kondisi ini semakin parah setelah Universitas Lampung menutup Jurusan Bahasa Lampung dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, karena minat generasi muda lulusan SMA untuk memasuki jurusan tersebut sangat rendah.
Di tengah-tengah situasi krisis penutur bahasa Lampung, Yayasan Rancage justru memberikan penghargaan terhadap karya sastra berbahasa Lampung. Penghargaan ini tidak akan berarti banyak apabila sikap masyarakat Lampung dalam memperlakukan bahasa daerahnya masih saja seperti sebelumnya, terpaksa berbahasa Lampung karena tuntutan situasi misalnya saat digelar seremoni-seremoni adat.
Berbahasa Lampung tidak membanggakan bagi masyarakat Lampung. Sebaliknya, orang yang berbahasa Lampung acap dinilai kolot dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di tengah-tengah lingkungan masyarakat Lampung dengan mudah dijumpai masyarakat Jawa yang tetap berbahasa Jawa. Bahkan, di wilayah Kota Metro, bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari masyarakat, tidak saja di kalangan masyarakat Jawa tetapi juga di kalangan masyarakat Lampung, Palembang, Batak, dan etnik lainnya yang membentuk Kota Metro.
Sebuah tantangan
Rancage 2008 bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Membudayakan berbahasa Lampung harus menjadi satu-satunya cara untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa warisan leluhur budayanya ini.
Jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Pulau Sumatra, sebetulnya bahasa Lampung tidak layak mendapat Rancage 2008. Jangankan menjadi bahan cetakan, yang merupakan salah satu syarat pemberian Rancage, sebagai kelisanan saja bahasa Lampung sukar ditemukan. Penutur bahasa warisan leluhur budaya Lampung ini tidak sebanyak penutur bahasa Batak atau Minangkabau.
Masyarakat Batak dan masyarakat Minangkabau memiliki fanatisme luar biasa dalam berbahasa daerah. Bagi masyarakat Batak, berbahasa daerah berarti menunjukkan bangsa. Sebab itu, di mana pun mereka, bahasa Batak tidak akan pernah diabaikan, senantiasa dituturkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat Minangkabau, selalu akan berbahasa Minangkabau. Konon lagi di daerah masing-masing, yang bahasa warisan leluhur masih menjadi bahasa pengantar dalam percakapan sehari-hari, bukan cuma dalam kegiatan-kegiatan seremonial kebudayaan.
Hal yang hampir sama juga terjadi di lingkungan masyarakat Aceh. Fanatisme masyarakat Aceh dalam berbahasa daerah bukan saja menunjukkan kecintaan dan kepedulian atas pelestarian bahasa ibu, tetapi juga menunjukkan eksistensi suku bangsa Aceh. Sebagai daerah yang lama hidup dalam tekanan rezim Orde Baru, sangat penting bagi masyarakat Aceh untuk menunjukkan eksistensi kedaerahannya sebagai bagian terpenting dari wilayah Nusantara.
Berbeda dengan bahasa daerah yang berkembang di wilayah Sumatra Selatan, Jambi, dan Riau. Pada ketiga daerah di Pulau Sumatra yang merupakan wilayah pesisir ini, bahasa Melayu berkembang sangat pesat, sehingga menghasilkan dialek-dialek yang khas daerah masing-masing. Memang, di beberapa daerah di Sumatra Selatan, ada bahasa daerah yang sangat khas seperti bahasa Rejang yang bisa ditemukan jejak-jejaknya di lingkungan masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Musi. Tapi, nasib bahasa-bahasa daerah khas Sumatra Selatan ini tidak berbeda jauh dengan nasib bahasa Lampung, sama-sama mengalami krisis penutur.
Sebab itu, karya sastra dalam bahasa Batak maupun Minangkabau jauh lebih pantas mendapatkan Hadiah Rancage ketimbang karya sastra berbahasa Lampung. Karena, fanatisme masyarakat Batak dan Minangkabau dalam berbahasa daerah hampir sebanding dengan fanatisme masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali. Bukan persoalan bagi mereka berada dalam lingkungan siapa, yang terpenting berbahasa daerah mengandung spirit kedaerahan yang mesti dijaga dan dilestarikan. Karena itu, tidak sulit menemukan masyarakat penutur bahasa Batak di lingkungan masyarakat yang bukan dominan masyarakat Batak. Sama mudahnya dengan menemukan penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau di berbagai pelosok negeri ini.
Sebaliknya, di Lampung sulit menemukan penutur bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya sendiri, seolah-olah bahasa warisan budaya leluhur ini bukanlah bahasa ibu yang lahir dan berkembang dalam lingkungan budaya Lampung. Konon lagi mengharapkan ada barang cetakan dalam bahasa Lampung yang secara kontinu akan muncul tiap tahun, sehingga Yayasan Rancage merasa layak memberi hadiah kepada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Lampung ini.
Inilah tantangan yang harus dihadapi masyarakat Lampung. Agar Rancage bisa diperoleh setiap tahun yang akhirnya berdampak pada pelestarian bahasa Lampung, sebuah keharusan jika setiap tahun ada buku teks berbahasa Lampung yang dicetak dan diterbitkan. Buku-buku ini dapat menjadi bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga anak didik menjadi yakin bahwa bahasa daerah yang mereka pelajari telah menjadi pengetahuan bagi masyarakat di negeri ini.
* Budi P Hatees, Peneliti di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008
SETELAH karya sastra berbahasa Lampung mendapat Hadiah Rancage 2008, adakah yang bisa menjamin bahasa warisan budaya leluhur Lampung ini tetap memperkaya khazanah bahasa-bahasa ibu di negeri ini dan dunia pada puluhan tahun mendatang.
Pertanyaan itu pantas diajukan terhadap masa depan bahasa Lampung dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan PBB setiap 21 Februari. Tentu, masyarakat Lampung-- selaku ahli waris--paling bertanggung jawab untuk menjawabnya sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa bahasa Lampung tidak akan pernah punah.
Namun, sebagai pihak yang punya peran membawa bahasa Lampung menerima Rancage 2008, dalam kapasitas selaku pengelola Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung yang menerbitkan Mak Dawah Mak Dibingi, buku kumpulan sajak dalam bahasa Lampung yang ditulis Udo Z Karzi, tidak berlebihan bila saya meragukan pengakuan serupa akan diterima pada tahun yang akan datang.
Sebab, untuk menghasilkan buku Mak Dawah Mak Dibingi, hampir tidak ada kalangan ahli waris bahasa Lampung yang memberikan perhatian serius terhadap program-program kerja penerbitan buku berbahasa Lampung yang digagas Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung dengan mendirikan Penerbit B-Press dan Penerbit MataKata. Beberapa pihak yang diajak bekerja sama untuk menerbitkan buku-buku dengan teks bahasa Lampung tidak memberi tanggapan yang membuat upaya pelestarian bahasa ibu ini berjalan lancar.
Sebuah keprihatinan layak diungkapkan atas rendahnya kepedulian masyarakat Lampung terhadap masa depan bahasa daerahnya. Rancage 2008 yang diperoleh tidak mendapat tanggapan serius dari masyarakat, padahal ini berdampak serius terhadap penerimaan sekaligus pengakuan masyarakat di berbagai pelosok negeri akan eksistensi bahasa Lampung dalam khazanah bahasa-bahasa daerah internasional.
Sebuah pengakuan
Pemberian Rancage 2008 oleh Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi merupakan bukti betapa bahasa daerah Lampung mendapat pengakuan sebagai bahasa yang masih eksis di lingkungan masyarakatnya. Hadiah ini sekaligus menaikkan gengsi bahasa Lampung menjadi sejajar dengan gengsi bahasa Sunda, Jawa, dan Bali--tiga bahasa daerah yang selama ini menjadi langganan penerima Rancage.
Sejak digulirkan pada 1989, Rancage belum pernah diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa dan Bali. Bahkan, tidak pernah terpikirkan karya sastra berbahasa Lampung akhirnya mengubah tradisi pemberian hadiah itu.
Karena itu, perhatian serius yang diberikan Yayasan Rancage terhadap eksistensi bahasa Lampung mesti ditanggapi masyarakat Lampung dengan menumbuhkan semangat baru untuk menyosialisasikan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat pemiliknya. Dengan begitu, bahasa Lampung tidak akan lagi mengalami persoalan krusial terkait krisis penutur, yang selama ini menjadi masalah serius sehingga berdampak terhadap pengajaran bahasa Lampung di sekolah-sekolah.
Bahasa Lampung masuk dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok) sejak dekade 1980-an. Tetapi persoalan bahasa Lampung terkait krisis penutur semakin lama semakin krusial ditandai sulitnya menjumpai masyarakat yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Anak-anak didik yang belajar bahasa Lampung bisa dibilang tak pernah mempergunakan bahasa yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam proses belajar-mengajar, bahasa Lampung sering disampaikan dalam bahasa Indonesia karena sebagian besar guru bahasa Lampung ternyata bukan orang Lampung.
Penyebabnya, bahasa Lampung diajarkan kepada anak-anak didik bukan sebagai pengetahuan. Bahasa Lampung hanya sekadar memenuhi peraturan tentang pentingnya muatan lokal, namun tujuan dari muatan lokal itu tidak membuat generasi muda mencintai warisan leluhur budayanya. Kondisi ini semakin parah setelah Universitas Lampung menutup Jurusan Bahasa Lampung dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, karena minat generasi muda lulusan SMA untuk memasuki jurusan tersebut sangat rendah.
Di tengah-tengah situasi krisis penutur bahasa Lampung, Yayasan Rancage justru memberikan penghargaan terhadap karya sastra berbahasa Lampung. Penghargaan ini tidak akan berarti banyak apabila sikap masyarakat Lampung dalam memperlakukan bahasa daerahnya masih saja seperti sebelumnya, terpaksa berbahasa Lampung karena tuntutan situasi misalnya saat digelar seremoni-seremoni adat.
Berbahasa Lampung tidak membanggakan bagi masyarakat Lampung. Sebaliknya, orang yang berbahasa Lampung acap dinilai kolot dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di tengah-tengah lingkungan masyarakat Lampung dengan mudah dijumpai masyarakat Jawa yang tetap berbahasa Jawa. Bahkan, di wilayah Kota Metro, bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari masyarakat, tidak saja di kalangan masyarakat Jawa tetapi juga di kalangan masyarakat Lampung, Palembang, Batak, dan etnik lainnya yang membentuk Kota Metro.
Sebuah tantangan
Rancage 2008 bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Membudayakan berbahasa Lampung harus menjadi satu-satunya cara untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa warisan leluhur budayanya ini.
Jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Pulau Sumatra, sebetulnya bahasa Lampung tidak layak mendapat Rancage 2008. Jangankan menjadi bahan cetakan, yang merupakan salah satu syarat pemberian Rancage, sebagai kelisanan saja bahasa Lampung sukar ditemukan. Penutur bahasa warisan leluhur budaya Lampung ini tidak sebanyak penutur bahasa Batak atau Minangkabau.
Masyarakat Batak dan masyarakat Minangkabau memiliki fanatisme luar biasa dalam berbahasa daerah. Bagi masyarakat Batak, berbahasa daerah berarti menunjukkan bangsa. Sebab itu, di mana pun mereka, bahasa Batak tidak akan pernah diabaikan, senantiasa dituturkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat Minangkabau, selalu akan berbahasa Minangkabau. Konon lagi di daerah masing-masing, yang bahasa warisan leluhur masih menjadi bahasa pengantar dalam percakapan sehari-hari, bukan cuma dalam kegiatan-kegiatan seremonial kebudayaan.
Hal yang hampir sama juga terjadi di lingkungan masyarakat Aceh. Fanatisme masyarakat Aceh dalam berbahasa daerah bukan saja menunjukkan kecintaan dan kepedulian atas pelestarian bahasa ibu, tetapi juga menunjukkan eksistensi suku bangsa Aceh. Sebagai daerah yang lama hidup dalam tekanan rezim Orde Baru, sangat penting bagi masyarakat Aceh untuk menunjukkan eksistensi kedaerahannya sebagai bagian terpenting dari wilayah Nusantara.
Berbeda dengan bahasa daerah yang berkembang di wilayah Sumatra Selatan, Jambi, dan Riau. Pada ketiga daerah di Pulau Sumatra yang merupakan wilayah pesisir ini, bahasa Melayu berkembang sangat pesat, sehingga menghasilkan dialek-dialek yang khas daerah masing-masing. Memang, di beberapa daerah di Sumatra Selatan, ada bahasa daerah yang sangat khas seperti bahasa Rejang yang bisa ditemukan jejak-jejaknya di lingkungan masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Musi. Tapi, nasib bahasa-bahasa daerah khas Sumatra Selatan ini tidak berbeda jauh dengan nasib bahasa Lampung, sama-sama mengalami krisis penutur.
Sebab itu, karya sastra dalam bahasa Batak maupun Minangkabau jauh lebih pantas mendapatkan Hadiah Rancage ketimbang karya sastra berbahasa Lampung. Karena, fanatisme masyarakat Batak dan Minangkabau dalam berbahasa daerah hampir sebanding dengan fanatisme masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali. Bukan persoalan bagi mereka berada dalam lingkungan siapa, yang terpenting berbahasa daerah mengandung spirit kedaerahan yang mesti dijaga dan dilestarikan. Karena itu, tidak sulit menemukan masyarakat penutur bahasa Batak di lingkungan masyarakat yang bukan dominan masyarakat Batak. Sama mudahnya dengan menemukan penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau di berbagai pelosok negeri ini.
Sebaliknya, di Lampung sulit menemukan penutur bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya sendiri, seolah-olah bahasa warisan budaya leluhur ini bukanlah bahasa ibu yang lahir dan berkembang dalam lingkungan budaya Lampung. Konon lagi mengharapkan ada barang cetakan dalam bahasa Lampung yang secara kontinu akan muncul tiap tahun, sehingga Yayasan Rancage merasa layak memberi hadiah kepada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Lampung ini.
Inilah tantangan yang harus dihadapi masyarakat Lampung. Agar Rancage bisa diperoleh setiap tahun yang akhirnya berdampak pada pelestarian bahasa Lampung, sebuah keharusan jika setiap tahun ada buku teks berbahasa Lampung yang dicetak dan diterbitkan. Buku-buku ini dapat menjadi bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga anak didik menjadi yakin bahwa bahasa daerah yang mereka pelajari telah menjadi pengetahuan bagi masyarakat di negeri ini.
* Budi P Hatees, Peneliti di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008
Apresiasi: Peksipel, Hajat Besar Para Pelajar
SEBUAH hajatan seni bagi pelajar terbesar di Provinsi Lampung yang pertama kali digelar, Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel), hari ini Minggu (24-2) akan usai. Sebuah ajang yang diharapkan bisa melahirkan bakat-bakat baru dalam bidang seni yang akan membawa nama Lampung dalam kancah nasional bahkan internasional.
Mengapa Peksipel disebut sebagai hajatan terbesar bagi pelajar Lampung? Tentu saja ini bisa dilihat dari item tangkai perlombaan yang digelar yang mencapai 14 tangkai lomba yakni tari kreasi bedana daerah Lampung, modern dance, penulisan puisi, penulisan cerita pendek, pembacaan puisi putra, pembacaan puisi putri, lomba story telling, lomba poster, lomba nyanyi tunggal pop hiburan putra, lomba nyanyi tunggal pop hiburan putri, lomba nyanyi tunggal dangdut putra, lomba nyanyi tunggal dangdut putri, lomba vokal grup, dan musik band.
Selain itu, gelaran yang diselenggarakan selama sepekan ini diikuti sebanyak 1686 pelajar yang berasal dari 101 sekolah setaraf SMA atau sederajat se-Provinsi Lampung. Dan ini bisa jadi merupakan ajang perlombaan seni yang pertama kali di Lampung yang melibatkan hingga ribuan pelajar. Tentu saja ini merupakan satu prestasi tersendiri yang perlu mendapatkan apresiasi.
Terlebih lagi, saat ini begitu banyak cap buruk yang melekat pada diri seorang pelajar yang kesemuanya dikarenakan sebuah proses pencarian jati diri yang salah kaprah. Sebab, biasanya usia remaja kerap melakukan berbagai tindakan yang hanya betujuan agar diterima oleh teman atau eksis pada satu kelompok (peer group) atau mendapatkan perhatian dari keluarga yang telah hilang.
Sehingga dengan masih banyaknya pelajar yang mengikuti gelaran ini, berarti menunjukan bahwa ternyata anak muda Lampung masih banyak juga jumlahnya yang aktif dalam berbagai kegiatan yang positif. Terlebih lagi aktivitas yang dilakukan bergerak di bidang seni yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan pikiran seorang pelajar sehingga kelak diharapkan bisa mendapatkan keseimbangan kecerdasan antara otak kanan dan kirinya.
Oleh sebab itu, tidak salah apabila Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung M. Thoha Sampurnajaya mengemukakan bahwa Peksipel diharapkan bisa menjadi ajang tahunan yang bisa menunjang seni budaya daerah. "Sehingga ke depannya selain seni modern yang bisa digelar, harapannya juga bisa mengembangkan lomba baca dan tulis puisi berbahasa Lampung, pop daerah Lampung, dan dangdut daerah Lampung."
Bahkan dia mengharapkan acara ini bisa menjadi salah satu pendukung pengembangan dan penggalian budaya daerah terutama berkaitan dengan bahasa Lampung. "Sehingga ini bisa menjadi salah satu wadah bagi para guru bahasa daerah Lampung serta pelajar Lampung untuk berapresiasi dan menuangkan karyanya, dengan harapan bahasa Lampung bisa berkembang dengan baik," kata Thoha.
Selain itu juga, dia mengemukakan kegiatan ini diharapkan bisa melahirkan seniman-seniman baru yang bisa membawa nama Lampung pada kancah nasional bahkan internasional. "Makanya kami akan memberikan peluang bagi yang berprestasi untuk bisa diprioritaskan masuk Unila tanpa tes. Sebab selama ini UKMBS sudah dikenal sebagai sebagai salah satu kawah candradimuka Lampung dalam melahirkan seniman."
Thoha juga mengemukakan kegiatan ini merupakan salah satu penunjang dari sistem pembelajaran yang ada. "Karena proses pendidikan tidak hanya mengembangkan pada penilaian akademik semata-mata saja. Tapi juga dibutuhkan keterlibatan para siswa dan mahasiswa dalam berbagai ajang kegiatan ekstrakurikuler, sehingga ketika lulus dia akan memiliki kemampuan akademik dan emosional," ujarnya.
Sebab kata dia, saat ini pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan otak kiri saja, tapi juga perlu ada keseimbangan dengan otak kanan. "Untuk itulah, Unila sangat concern dan mendukung berbagai kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa."
Hal yang tak jauh berbeda juga dikemukkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tibrizi Asmarantaka yang mengemukakan Pemprov sangat mendukung kegiatan positif yang digelar bagi anak muda. "Terlebih kegiatannya bertujuan untuk pengembangan seni budaya di daerah. Sehingga harapannya akan muncul anak muda yang bisa berprestasi dengan bersaing dengan daerah lain."
Dan dia menilai kegiatan ini bisa menjadi ajang silaturahmi bagi pelajar se-Provinsi Lampung. "Selain juga sebagai ajang untuk adu prestasi dengan membawa nama pribadi dan sekolah masing-masing. Sehingga harapannya nanti bisa membanggakan Provinsi Lampung," tambah Tibrizi lagi.
Berkaitan dengan animo yang begitu besar dari pelajar yang mengikuti kegiatan ini juga dirasakan Ketua Pelaksana Peksipel, Aan Primadona Roza. Dia mengaku tidak menyangka dengan jumlah peserta yang mencapai ribuan orang. "Padahal panitia hanya menargetkan sekolah yang mengikuti ajang ini hanya sekitar 50 sekolah, tapi ternyata jumlahnya mencapai 101 sekolah."
Peksipel, Sebuah Kritikan Membangun
Bila kita mau ingat sekitar tahun 90-an awal, di Jakarta, kegiatan sejenis digelar dengan mengangkat nama Bursa Orang Muda (BOM). Kegiatan yang digelar pun hampir sama, yakni menggelar berbagai lomba seni untuk anak-anak muda. Namun memang tangkai seninya sendiri tak sebanyak dengan Peksipel.
Pun juga di akhir tahun 90-an, di Provinsi Lampung pun pernah digelar acara sejenis yakni Pesta Pelajar yang digelar setiap Minggu selama satu bulan lamanya. Kegiatannya sendiri diisi dengan berbagai event lomba seperti lomba basket, cheers leader, band, dan masih banyak lainnya. Malahan di puncak acara, panitia menyuguhkan bintang tamu Base Jam yang ketika itu sedang naik daun. Bahkan acara ini dimeriahkan dengan liputan secara langsung oleh tim Planet Remaja Anteve. Sehingga acara ini menjadi sangat gebyar dan berkelas.
Dan bila berkaca dengan penyelenggaraan Peksipel, sebenarnya sangat disayangkan bila penyelenggaraannya terlihat tidak ada gaungnya. Padahal perlombaan yang digelar sangat banyak dan begitu besar jumlah pesertanya. Sehingga seharusnya gaungnya bisa mengalahkan kegiatan BOM ataupun Pesta Pelajar, tetapi kenyataannya?
Tentu saja, salah satu kelemahan yang terlihat dari penyelenggaraan Peksipel adalah penempatan lokasi perlombaan yang sangat tidak pas. Misalnya saja untuk perlombaan modern dance ataupun lomba menyanyi dangdut putra dan putri penyelenggaraannya digelar di Aula Islamic Center yang tentu saja sangat tidak pas. Pun dengan pemilihan aula tersebut dan gedung KNPI di Jalan Pramuka, Rajabasa, sebagai tempat penyelenggaraan lomba menyanyi lagu pop putra dan putri.
Permasalahan yang melekat dari kedua tempat tersebut adalah sangat jauh yang sulit dijangkau para pelajar yang ingin mendukung atau menyaksikan perlombaan tersebut. Meskipun mungkin saja dipilihnya gedung tersebut karena berada di dekat Unila, sehingga tidak terlalu jauh dengan sekretariat. Namun tentu saja ini akhirnya berkonsekuensi dengan kurang semaraknya kegiatan ini. Apalagi penyelenggaraan modern dance dan menyanyi dangdut, yang maaf, sangat tidak pas digelar di Islamic Center dengan pertimbangan kepatutan.
Padahal bisa saja berbagai kegiatan ini digelar dalam satu areal. Misalnya di Taman Budaya Lampung yang memiliki Gedung Teater Tertutup, Gedung Olah Seni, Gedung Pameran Lukisan, hingga Panggung Terbuka. Sehingga tidak hanya menggunakan Gedung Teater Tertutup saja untuk lomba. Sehingga sangat terasa saat lomba telling story digelar, penonton yang hadir sangat sepi karena terpecahnya kegiatan. Sementara saat lomba tari kreasi bedana, penonton sangat banyak. Mungkin saja kalau kegiatan ini dipusatkan, bisa jadi jumlah penontonnya sangat banyak.
Selain itu juga, kelemahan yang terasa dari sosialisasi panitia berkaitan dengan tangkai lomba yang masih minim. Ini terlihat dari lomba telling story di mana banyak pesertanya malahan lebih menyerapnya seperti lomba monolog. Pun juga dengan keluhan peserta telling story yang harus menunggu lama untuk dilakukannya orientasi panggung pada malam hari sebelum perlombaan karena keterlambatan panitia.
Namun tentu saja sebagai satu ajang perdana, apa pun yang dilakukan panitia merupakan satu kerja keras yang patut dihargai dan sebagai proses pembelajaran untuk penyelenggaraan selanjutnya. Sebab kegiatan ini adalah kali pertama digelar.
Terlebih lagi panitia yang terlibat adalah hampir seluruhnya para mahasiswa yang tergabung dalam UKMBS, sehingga keterlibatan dan keinginannya menggelar kegiatan bagi para pelajar saja sudah seharusnya mendapatkan ancungan jempol. Karena ternyata mahasiswa tidak lagi berada pada menara gading saja.
Tapi, tentu saja ini harus menjadi satu pembelajaran yang serius dari panitia bila memang kegiatan ini akan menjadi satu agenda tetap bagi pelajar. Sebab, tentu saja peserta yang mengikuti kegiatan ini tidak mau tahu apa pun alasan yang diberikan panitia. Karena mereka akan menjadi public relation atas kegiatan ini kepada teman-temannya bahkan adik kelasnya yang mungkin saja tahun depan akan mengikuti kegiatan ini. Sehingga kepuasan peserta serta keprofesionalan penyelenggaraan harus tetap dikedepankan. Terlebih lagi banyak peserta yang berasal dari luar kota. Sudah selayaknya pengorbanan yang sudah dikeluarkan mendapatkan penghargaan yang setimpal. Selamat kepada para juara dan selamat sukses kepada panitia. n Teguh Prasetyo/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
Mengapa Peksipel disebut sebagai hajatan terbesar bagi pelajar Lampung? Tentu saja ini bisa dilihat dari item tangkai perlombaan yang digelar yang mencapai 14 tangkai lomba yakni tari kreasi bedana daerah Lampung, modern dance, penulisan puisi, penulisan cerita pendek, pembacaan puisi putra, pembacaan puisi putri, lomba story telling, lomba poster, lomba nyanyi tunggal pop hiburan putra, lomba nyanyi tunggal pop hiburan putri, lomba nyanyi tunggal dangdut putra, lomba nyanyi tunggal dangdut putri, lomba vokal grup, dan musik band.
Selain itu, gelaran yang diselenggarakan selama sepekan ini diikuti sebanyak 1686 pelajar yang berasal dari 101 sekolah setaraf SMA atau sederajat se-Provinsi Lampung. Dan ini bisa jadi merupakan ajang perlombaan seni yang pertama kali di Lampung yang melibatkan hingga ribuan pelajar. Tentu saja ini merupakan satu prestasi tersendiri yang perlu mendapatkan apresiasi.
Terlebih lagi, saat ini begitu banyak cap buruk yang melekat pada diri seorang pelajar yang kesemuanya dikarenakan sebuah proses pencarian jati diri yang salah kaprah. Sebab, biasanya usia remaja kerap melakukan berbagai tindakan yang hanya betujuan agar diterima oleh teman atau eksis pada satu kelompok (peer group) atau mendapatkan perhatian dari keluarga yang telah hilang.
Sehingga dengan masih banyaknya pelajar yang mengikuti gelaran ini, berarti menunjukan bahwa ternyata anak muda Lampung masih banyak juga jumlahnya yang aktif dalam berbagai kegiatan yang positif. Terlebih lagi aktivitas yang dilakukan bergerak di bidang seni yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan pikiran seorang pelajar sehingga kelak diharapkan bisa mendapatkan keseimbangan kecerdasan antara otak kanan dan kirinya.
Oleh sebab itu, tidak salah apabila Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung M. Thoha Sampurnajaya mengemukakan bahwa Peksipel diharapkan bisa menjadi ajang tahunan yang bisa menunjang seni budaya daerah. "Sehingga ke depannya selain seni modern yang bisa digelar, harapannya juga bisa mengembangkan lomba baca dan tulis puisi berbahasa Lampung, pop daerah Lampung, dan dangdut daerah Lampung."
Bahkan dia mengharapkan acara ini bisa menjadi salah satu pendukung pengembangan dan penggalian budaya daerah terutama berkaitan dengan bahasa Lampung. "Sehingga ini bisa menjadi salah satu wadah bagi para guru bahasa daerah Lampung serta pelajar Lampung untuk berapresiasi dan menuangkan karyanya, dengan harapan bahasa Lampung bisa berkembang dengan baik," kata Thoha.
Selain itu juga, dia mengemukakan kegiatan ini diharapkan bisa melahirkan seniman-seniman baru yang bisa membawa nama Lampung pada kancah nasional bahkan internasional. "Makanya kami akan memberikan peluang bagi yang berprestasi untuk bisa diprioritaskan masuk Unila tanpa tes. Sebab selama ini UKMBS sudah dikenal sebagai sebagai salah satu kawah candradimuka Lampung dalam melahirkan seniman."
Thoha juga mengemukakan kegiatan ini merupakan salah satu penunjang dari sistem pembelajaran yang ada. "Karena proses pendidikan tidak hanya mengembangkan pada penilaian akademik semata-mata saja. Tapi juga dibutuhkan keterlibatan para siswa dan mahasiswa dalam berbagai ajang kegiatan ekstrakurikuler, sehingga ketika lulus dia akan memiliki kemampuan akademik dan emosional," ujarnya.
Sebab kata dia, saat ini pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan otak kiri saja, tapi juga perlu ada keseimbangan dengan otak kanan. "Untuk itulah, Unila sangat concern dan mendukung berbagai kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa."
Hal yang tak jauh berbeda juga dikemukkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tibrizi Asmarantaka yang mengemukakan Pemprov sangat mendukung kegiatan positif yang digelar bagi anak muda. "Terlebih kegiatannya bertujuan untuk pengembangan seni budaya di daerah. Sehingga harapannya akan muncul anak muda yang bisa berprestasi dengan bersaing dengan daerah lain."
Dan dia menilai kegiatan ini bisa menjadi ajang silaturahmi bagi pelajar se-Provinsi Lampung. "Selain juga sebagai ajang untuk adu prestasi dengan membawa nama pribadi dan sekolah masing-masing. Sehingga harapannya nanti bisa membanggakan Provinsi Lampung," tambah Tibrizi lagi.
Berkaitan dengan animo yang begitu besar dari pelajar yang mengikuti kegiatan ini juga dirasakan Ketua Pelaksana Peksipel, Aan Primadona Roza. Dia mengaku tidak menyangka dengan jumlah peserta yang mencapai ribuan orang. "Padahal panitia hanya menargetkan sekolah yang mengikuti ajang ini hanya sekitar 50 sekolah, tapi ternyata jumlahnya mencapai 101 sekolah."
Peksipel, Sebuah Kritikan Membangun
Bila kita mau ingat sekitar tahun 90-an awal, di Jakarta, kegiatan sejenis digelar dengan mengangkat nama Bursa Orang Muda (BOM). Kegiatan yang digelar pun hampir sama, yakni menggelar berbagai lomba seni untuk anak-anak muda. Namun memang tangkai seninya sendiri tak sebanyak dengan Peksipel.
Pun juga di akhir tahun 90-an, di Provinsi Lampung pun pernah digelar acara sejenis yakni Pesta Pelajar yang digelar setiap Minggu selama satu bulan lamanya. Kegiatannya sendiri diisi dengan berbagai event lomba seperti lomba basket, cheers leader, band, dan masih banyak lainnya. Malahan di puncak acara, panitia menyuguhkan bintang tamu Base Jam yang ketika itu sedang naik daun. Bahkan acara ini dimeriahkan dengan liputan secara langsung oleh tim Planet Remaja Anteve. Sehingga acara ini menjadi sangat gebyar dan berkelas.
Dan bila berkaca dengan penyelenggaraan Peksipel, sebenarnya sangat disayangkan bila penyelenggaraannya terlihat tidak ada gaungnya. Padahal perlombaan yang digelar sangat banyak dan begitu besar jumlah pesertanya. Sehingga seharusnya gaungnya bisa mengalahkan kegiatan BOM ataupun Pesta Pelajar, tetapi kenyataannya?
Tentu saja, salah satu kelemahan yang terlihat dari penyelenggaraan Peksipel adalah penempatan lokasi perlombaan yang sangat tidak pas. Misalnya saja untuk perlombaan modern dance ataupun lomba menyanyi dangdut putra dan putri penyelenggaraannya digelar di Aula Islamic Center yang tentu saja sangat tidak pas. Pun dengan pemilihan aula tersebut dan gedung KNPI di Jalan Pramuka, Rajabasa, sebagai tempat penyelenggaraan lomba menyanyi lagu pop putra dan putri.
Permasalahan yang melekat dari kedua tempat tersebut adalah sangat jauh yang sulit dijangkau para pelajar yang ingin mendukung atau menyaksikan perlombaan tersebut. Meskipun mungkin saja dipilihnya gedung tersebut karena berada di dekat Unila, sehingga tidak terlalu jauh dengan sekretariat. Namun tentu saja ini akhirnya berkonsekuensi dengan kurang semaraknya kegiatan ini. Apalagi penyelenggaraan modern dance dan menyanyi dangdut, yang maaf, sangat tidak pas digelar di Islamic Center dengan pertimbangan kepatutan.
Padahal bisa saja berbagai kegiatan ini digelar dalam satu areal. Misalnya di Taman Budaya Lampung yang memiliki Gedung Teater Tertutup, Gedung Olah Seni, Gedung Pameran Lukisan, hingga Panggung Terbuka. Sehingga tidak hanya menggunakan Gedung Teater Tertutup saja untuk lomba. Sehingga sangat terasa saat lomba telling story digelar, penonton yang hadir sangat sepi karena terpecahnya kegiatan. Sementara saat lomba tari kreasi bedana, penonton sangat banyak. Mungkin saja kalau kegiatan ini dipusatkan, bisa jadi jumlah penontonnya sangat banyak.
Selain itu juga, kelemahan yang terasa dari sosialisasi panitia berkaitan dengan tangkai lomba yang masih minim. Ini terlihat dari lomba telling story di mana banyak pesertanya malahan lebih menyerapnya seperti lomba monolog. Pun juga dengan keluhan peserta telling story yang harus menunggu lama untuk dilakukannya orientasi panggung pada malam hari sebelum perlombaan karena keterlambatan panitia.
Namun tentu saja sebagai satu ajang perdana, apa pun yang dilakukan panitia merupakan satu kerja keras yang patut dihargai dan sebagai proses pembelajaran untuk penyelenggaraan selanjutnya. Sebab kegiatan ini adalah kali pertama digelar.
Terlebih lagi panitia yang terlibat adalah hampir seluruhnya para mahasiswa yang tergabung dalam UKMBS, sehingga keterlibatan dan keinginannya menggelar kegiatan bagi para pelajar saja sudah seharusnya mendapatkan ancungan jempol. Karena ternyata mahasiswa tidak lagi berada pada menara gading saja.
Tapi, tentu saja ini harus menjadi satu pembelajaran yang serius dari panitia bila memang kegiatan ini akan menjadi satu agenda tetap bagi pelajar. Sebab, tentu saja peserta yang mengikuti kegiatan ini tidak mau tahu apa pun alasan yang diberikan panitia. Karena mereka akan menjadi public relation atas kegiatan ini kepada teman-temannya bahkan adik kelasnya yang mungkin saja tahun depan akan mengikuti kegiatan ini. Sehingga kepuasan peserta serta keprofesionalan penyelenggaraan harus tetap dikedepankan. Terlebih lagi banyak peserta yang berasal dari luar kota. Sudah selayaknya pengorbanan yang sudah dikeluarkan mendapatkan penghargaan yang setimpal. Selamat kepada para juara dan selamat sukses kepada panitia. n Teguh Prasetyo/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
February 23, 2008
Bingkai: Rindu Saya pada Puisi Lampung
-- Udo Z. Karzi*
bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"
"APA artinya," tanya Pak Dian Komarsyah, pembimbing saya ketika membaca bait puisi ini dalam lembar halaman motto di skripsi berjudul "Hubungan Komitmen dengan Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil" sebagai tugas akhir di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996).
Pak Dian wajar tidak mengerti petikan sajak Kehaga I (Damba I) yang saya cantumkan itu karena ia memang tidak beretnis Lampung. Dan, saya juga yakin meski sudah lama di Lampung, dia sangat jarang mendengar orang bertutur dengan bahasa Lampung.
Tapi, yang terjadi ini: Ayah-ibu saya Lampung yang paseh berbahasa Lampung. Tapi, saya tidak bisa berbahasa Lampung. Di rumah sehari-hari berbahasa Indonesia. Dan, saya tengah memperdalam kemampuan berbahasa Inggris saya.
Ah, itulah yang terjadi pada anak saya, keponakan-keponakan saya, dan beberapa generasi tahun 1980-an hingga kini.
Meskipun tulisan ini jauh dari ilmiah, tetapi saya perlu menyampaikan beberapa istilah yang saya pakai dalam tulisan ini.
Sastra Lampung merujuk pada sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa Lampung. Sebab, sastra adalah seni berbahasa. Sastra Lampung berbahan baku bahasa Lampung. Karena itu tidak saya tulis dengan "sastra berbahasa Lampung". Dengan begitu, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung dalam kerja kesesusastraan (proses kreatif)-nya.
Turunan dari (sebagai bagian dari/salah satu jenis) sastra Lampung adalah puisi/sajak Lampung. Puisi Lampung jelas ditulis dengan bahasa Lampung, sehingga tidak harus dipanjangkan "puisi berbahasa Lampung" atau "sajak berbahasa Lampung". Dan karena itu, penyair Lampung adalah penulis puisi yang menuliskan syair (sajak/puisi) dalam bahasa Lampung.
Batasan ini saya pakai hanya dalam tulisan ini.
Sekarang saya hanya mau bercerita bagaimana saya bersentuhan dengan sastra Lampung atau lebih spesifiknya puisi Lampung sejak masih lahir. Orang Lampung harusnya bisa bersyukur karena nenek moyang yang sangat kreatif. Mereka mewariskan suku Lampung dengan sistem budaya, bahasa, sastra, dan aksara.
Sebuah warisan yang tidak ternilai harganya sebenarnya. Tapi, kebanyakan kita orang Lampung atau setidaknya yang mengaku Lampung (soalnya banyak juga yang malu menyatakan diri Lampung) tidak menyadari ini.
Tapi, saya beruntung (atau malah sebuah 'kesialan') lahir di Liwa, sebuah tempat yang -- kata istri saya sendiri -- terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dulu, seingat saya saya, hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di ruang kelas sekolah.
Saya mendengar semua orang berbicara dalam bahasa Lampung, meski ada sedikit saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, apa pun profesi mereka, tetap berbahasa Lampung. Di pasar, di kantor, di sekolah, di ladang, di terminal, di mana saja yang terdengar bahasa Lampung.
Dalam setiap ucapan orang-orang itu -- sungguh baru saya sadari beberapa tahun kemudian -- saya menemukan puisi. Puisi Lampung!
Jangankan di upacara-upacara adat yang menuntut kemampuan berbahasa Lampung yang mumpuni; dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya orang Lampung seperti tengah berpuisi.
Masih di SMP saya menemukan sebuah buku tua yang hampir terbuang. Sebuah buku tentang aksara Lampung (Kaganga) karangan Moehammad Noeh. Waktu itu bahasa Lampung belum lagi menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga saya pun tidak pernah belajar secara resmi membaca dan menulis huruf Lampung itu di sekolah.
Saya penasaran. Secara otodidak, saya pelajari sendiri buku itu, bagaimana membaca dan menuliskannya. Karena jarang saya pergunakan, saya tidak terlalu mahir menggunakan huruf Kaganga ini.
Tapi, huruf Lampung ini cukup membekas dalam ingatan saya. Apalagi ketika Pemerintah Provinsi Lampung kemudian menjadikan bahasa Lampung -- sebenarnya cuma huruf Lampung -- sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Saya jelas, tidak bersekolah lagi.
Dalam ingatan saya, puisi Lampung bisa kita dengar ketika muli-meranai segata (berbalas pantun) dalam nyambai (di tempat lain nama yang mirip: miyah damar, cangget bara, dan sebagainya). Puisi juga saya dengar ketika orang-orang tua burasan (melamar), buhimpun (bermusyawarah), butetah (pemberian adok), serta dalam rangkaian berbagai upacara adat dari lahir, sunat, menikah hingga meninggal.
Ada pula setekut/sesiah (berbicara dengan batas dinding antara muli dan meranai di tengah malam) yang penuh bahasa puisi.
Seorang yang hendak menikah tetapi melangkahi kakaknya mampu melahirkan puisi. Seorang yang ditinggal orang yang sangat ia kasihi menghadirkan puisi. Seseorang yang tengah bergembira membuahkan puisi. Seseorang yang jatuh cinta menelurkan puisi. Orang sakit diobati dengan memmang (mantera). Pendeknya, puisi lahir kapan dan dimana, dan oleh siapa saja.
Tapi, tidak ada yang berani berani berkata, "Saya penyair." Sebab, puisi lahir sebagai sebuah spontanitas saja. Untuk merayu seorang muli yang sedang lewat, misalnya. Puisi lahir seperti angin lewat saja. Setelah itu, dilupakan tidak apa.
Lain waktu akan lahir puisi baru lagi.
Tibalah saatnya saya memasuki kehidupan urban Bandar Lampung selepas SMP. Bandar Lampung! Saya tidak perlu bercerita lagi tentang bagaimana kehidupan di Bandar Lampung. Yang jelas, saya semakin sulit menemukan puisi Lampung dalam keseharian di kota ini, kecuali di komunitas yang sangat kecil di tempat tinggal saya di Pakis Kawat dulu.
Rindu saya terhadap puisi Lampung sesekali memang terobati saat pulang pekon mengikuti rangkaian nayuh (pesta pernikahan) dan acara muli-meranai (nyambai).
Tapi, kini acara-acara penuh puisi itu sudah semakin jarang. Berganti dengan organ tunggal, dangdut, dan kesibukan kaum muda berkunjung ke tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Anehnya, meski sering mendatangi tempat-tempat indah, kita tetap tak mampu berpuisi. Hahahaa….
Ada lebih dari 30 jenis sastra lisan Lampung, kata pengamat sastra Lampung.
Wah, buat sastrawan Lampung atau penyair Lampung, jelas ini (seharusnya) menjadi stok bahan bakar yang banyak untuk berpuisi ria. Saya merindukan puisi Lampung. Tapi, rasanya tidak mungkin saya selalu hadir ketika orang-orang Lampung tengah berpesta puisi.
Maka, tidak ada jalan lain, puisi Lampung itu harus ditulis, dikreasi ulang, diperkaya dengan imaji baru. Ya, puisi Lampung atau sastra Lampung harus memasuki era yang lebih modern dengan ciri utama: keberaksaraan, tidak anonim, kebaruan (walau tetap tidak melupakan ruh kelampungannya), dan mungkin juga semangat perlawanan (pemberontakan atas kemapanan).
Semoga.
* Udo Z. Karzi, perantau yang selalu merindui puisi Lampung
Dimuat di Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"
"APA artinya," tanya Pak Dian Komarsyah, pembimbing saya ketika membaca bait puisi ini dalam lembar halaman motto di skripsi berjudul "Hubungan Komitmen dengan Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil" sebagai tugas akhir di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (1996).
Pak Dian wajar tidak mengerti petikan sajak Kehaga I (Damba I) yang saya cantumkan itu karena ia memang tidak beretnis Lampung. Dan, saya juga yakin meski sudah lama di Lampung, dia sangat jarang mendengar orang bertutur dengan bahasa Lampung.
Tapi, yang terjadi ini: Ayah-ibu saya Lampung yang paseh berbahasa Lampung. Tapi, saya tidak bisa berbahasa Lampung. Di rumah sehari-hari berbahasa Indonesia. Dan, saya tengah memperdalam kemampuan berbahasa Inggris saya.
Ah, itulah yang terjadi pada anak saya, keponakan-keponakan saya, dan beberapa generasi tahun 1980-an hingga kini.
***
Meskipun tulisan ini jauh dari ilmiah, tetapi saya perlu menyampaikan beberapa istilah yang saya pakai dalam tulisan ini.
Sastra Lampung merujuk pada sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa Lampung. Sebab, sastra adalah seni berbahasa. Sastra Lampung berbahan baku bahasa Lampung. Karena itu tidak saya tulis dengan "sastra berbahasa Lampung". Dengan begitu, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung dalam kerja kesesusastraan (proses kreatif)-nya.
Turunan dari (sebagai bagian dari/salah satu jenis) sastra Lampung adalah puisi/sajak Lampung. Puisi Lampung jelas ditulis dengan bahasa Lampung, sehingga tidak harus dipanjangkan "puisi berbahasa Lampung" atau "sajak berbahasa Lampung". Dan karena itu, penyair Lampung adalah penulis puisi yang menuliskan syair (sajak/puisi) dalam bahasa Lampung.
Batasan ini saya pakai hanya dalam tulisan ini.
***
Sekarang saya hanya mau bercerita bagaimana saya bersentuhan dengan sastra Lampung atau lebih spesifiknya puisi Lampung sejak masih lahir. Orang Lampung harusnya bisa bersyukur karena nenek moyang yang sangat kreatif. Mereka mewariskan suku Lampung dengan sistem budaya, bahasa, sastra, dan aksara.
Sebuah warisan yang tidak ternilai harganya sebenarnya. Tapi, kebanyakan kita orang Lampung atau setidaknya yang mengaku Lampung (soalnya banyak juga yang malu menyatakan diri Lampung) tidak menyadari ini.
Tapi, saya beruntung (atau malah sebuah 'kesialan') lahir di Liwa, sebuah tempat yang -- kata istri saya sendiri -- terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dulu, seingat saya saya, hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di ruang kelas sekolah.
Saya mendengar semua orang berbicara dalam bahasa Lampung, meski ada sedikit saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, apa pun profesi mereka, tetap berbahasa Lampung. Di pasar, di kantor, di sekolah, di ladang, di terminal, di mana saja yang terdengar bahasa Lampung.
Dalam setiap ucapan orang-orang itu -- sungguh baru saya sadari beberapa tahun kemudian -- saya menemukan puisi. Puisi Lampung!
Jangankan di upacara-upacara adat yang menuntut kemampuan berbahasa Lampung yang mumpuni; dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya orang Lampung seperti tengah berpuisi.
***
Masih di SMP saya menemukan sebuah buku tua yang hampir terbuang. Sebuah buku tentang aksara Lampung (Kaganga) karangan Moehammad Noeh. Waktu itu bahasa Lampung belum lagi menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga saya pun tidak pernah belajar secara resmi membaca dan menulis huruf Lampung itu di sekolah.
Saya penasaran. Secara otodidak, saya pelajari sendiri buku itu, bagaimana membaca dan menuliskannya. Karena jarang saya pergunakan, saya tidak terlalu mahir menggunakan huruf Kaganga ini.
Tapi, huruf Lampung ini cukup membekas dalam ingatan saya. Apalagi ketika Pemerintah Provinsi Lampung kemudian menjadikan bahasa Lampung -- sebenarnya cuma huruf Lampung -- sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Saya jelas, tidak bersekolah lagi.
***
Dalam ingatan saya, puisi Lampung bisa kita dengar ketika muli-meranai segata (berbalas pantun) dalam nyambai (di tempat lain nama yang mirip: miyah damar, cangget bara, dan sebagainya). Puisi juga saya dengar ketika orang-orang tua burasan (melamar), buhimpun (bermusyawarah), butetah (pemberian adok), serta dalam rangkaian berbagai upacara adat dari lahir, sunat, menikah hingga meninggal.
Ada pula setekut/sesiah (berbicara dengan batas dinding antara muli dan meranai di tengah malam) yang penuh bahasa puisi.
Seorang yang hendak menikah tetapi melangkahi kakaknya mampu melahirkan puisi. Seorang yang ditinggal orang yang sangat ia kasihi menghadirkan puisi. Seseorang yang tengah bergembira membuahkan puisi. Seseorang yang jatuh cinta menelurkan puisi. Orang sakit diobati dengan memmang (mantera). Pendeknya, puisi lahir kapan dan dimana, dan oleh siapa saja.
Tapi, tidak ada yang berani berani berkata, "Saya penyair." Sebab, puisi lahir sebagai sebuah spontanitas saja. Untuk merayu seorang muli yang sedang lewat, misalnya. Puisi lahir seperti angin lewat saja. Setelah itu, dilupakan tidak apa.
Lain waktu akan lahir puisi baru lagi.
***
Tibalah saatnya saya memasuki kehidupan urban Bandar Lampung selepas SMP. Bandar Lampung! Saya tidak perlu bercerita lagi tentang bagaimana kehidupan di Bandar Lampung. Yang jelas, saya semakin sulit menemukan puisi Lampung dalam keseharian di kota ini, kecuali di komunitas yang sangat kecil di tempat tinggal saya di Pakis Kawat dulu.
Rindu saya terhadap puisi Lampung sesekali memang terobati saat pulang pekon mengikuti rangkaian nayuh (pesta pernikahan) dan acara muli-meranai (nyambai).
Tapi, kini acara-acara penuh puisi itu sudah semakin jarang. Berganti dengan organ tunggal, dangdut, dan kesibukan kaum muda berkunjung ke tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Anehnya, meski sering mendatangi tempat-tempat indah, kita tetap tak mampu berpuisi. Hahahaa….
***
Ada lebih dari 30 jenis sastra lisan Lampung, kata pengamat sastra Lampung.
Wah, buat sastrawan Lampung atau penyair Lampung, jelas ini (seharusnya) menjadi stok bahan bakar yang banyak untuk berpuisi ria. Saya merindukan puisi Lampung. Tapi, rasanya tidak mungkin saya selalu hadir ketika orang-orang Lampung tengah berpesta puisi.
Maka, tidak ada jalan lain, puisi Lampung itu harus ditulis, dikreasi ulang, diperkaya dengan imaji baru. Ya, puisi Lampung atau sastra Lampung harus memasuki era yang lebih modern dengan ciri utama: keberaksaraan, tidak anonim, kebaruan (walau tetap tidak melupakan ruh kelampungannya), dan mungkin juga semangat perlawanan (pemberontakan atas kemapanan).
Semoga.
* Udo Z. Karzi, perantau yang selalu merindui puisi Lampung
Dimuat di Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008
February 22, 2008
Peksipel: Guru Sulit Sosialisasikan Sastra
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Guru Bahasa Indonesia kini cukup sulit menyosialisasikan sastra, terutama puisi dan metode penulisan puisi di sekolah, sehingga pemahaman pelajar terhadap puisi sangat terbatas hanya pada pengungkapan perasaan.
Penyair Inggit Putria Marga mengemukakan hal tersebut usai melakukan penjurian lomba penulisan puisi yang digelar dalam rangka Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di Universitas Lampung, Rabu (20-2). Kondisi tersebut terlihat dari karya-karya puisi yang dikirimkan para siswa. "Secara kuantitas, jumlah peserta yang mengikuti lomba penulisan puisi ini sangat banyak karena mencapai jumlah ratusan karya. Namun memang bila berbicara kualitas, masih sangat jauh dari yang diharapkan," kata Inggit.
Dia menjelaskan pada umumnya karya puisi para siswa yang ikut lomba tersebut masih terbatas pada pengungkapan perasaan mereka. "Karya mereka masih 'telanjang' dan sangat remaja. Diksi-diksi yang digunakan masih verbal, bahkan kalau bisa dikatakan lebih mirip seperti curahan hati atau curhat," ujar dia.
Belum lagi bila itu berkaitan dengan penyusunan dan penggunaan kalimat yang terlihat masih sangat lemah. "Tidak hanya pada pemilihan metafora terhadap karya yang diambil, tapi juga kesalahan dasar bahasa. Misalnya, masih bingungnya pelajar pada persoalan imbuhan, penempatan kata sifat dan benda, awalan yang semuanya masih sangat berantakan," ujarnya.
Padahal bila melihat dari kuantitas peserta, penulisan puisi mendapatkan apresiasi yang besar dari para pelajar. "Artinya pihak sekolah mesti melihat minat dari para pelajar dalam penulisan puisi yang lebih kreatif dan mengarah pada sastra lumayan besar. Sehingga membutuhkan sosialisasi dan pembelajaran yang lebih terhadap dunia sastra, terutama puisi lewat pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah." n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
Penyair Inggit Putria Marga mengemukakan hal tersebut usai melakukan penjurian lomba penulisan puisi yang digelar dalam rangka Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di Universitas Lampung, Rabu (20-2). Kondisi tersebut terlihat dari karya-karya puisi yang dikirimkan para siswa. "Secara kuantitas, jumlah peserta yang mengikuti lomba penulisan puisi ini sangat banyak karena mencapai jumlah ratusan karya. Namun memang bila berbicara kualitas, masih sangat jauh dari yang diharapkan," kata Inggit.
Dia menjelaskan pada umumnya karya puisi para siswa yang ikut lomba tersebut masih terbatas pada pengungkapan perasaan mereka. "Karya mereka masih 'telanjang' dan sangat remaja. Diksi-diksi yang digunakan masih verbal, bahkan kalau bisa dikatakan lebih mirip seperti curahan hati atau curhat," ujar dia.
Belum lagi bila itu berkaitan dengan penyusunan dan penggunaan kalimat yang terlihat masih sangat lemah. "Tidak hanya pada pemilihan metafora terhadap karya yang diambil, tapi juga kesalahan dasar bahasa. Misalnya, masih bingungnya pelajar pada persoalan imbuhan, penempatan kata sifat dan benda, awalan yang semuanya masih sangat berantakan," ujarnya.
Padahal bila melihat dari kuantitas peserta, penulisan puisi mendapatkan apresiasi yang besar dari para pelajar. "Artinya pihak sekolah mesti melihat minat dari para pelajar dalam penulisan puisi yang lebih kreatif dan mengarah pada sastra lumayan besar. Sehingga membutuhkan sosialisasi dan pembelajaran yang lebih terhadap dunia sastra, terutama puisi lewat pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah." n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
Peksipel: Pelajar Makin Cinta Tari Tradisional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kecintaan pelajar di Lampung terhadap seni tari tradisional, seperti tari Bedana, cukup baik. Tidak hanya siswa dari kabupaten, tapi juga Kota Bandar Lampung, mereka menyukai seni dari adiluhung dari nenek moyang Sang Bumi Ruwa Jurai.
Hal ini terlihat dari meriahnya penyelenggaraan Lomba Kreasi Tari Bedana dalam rangkaian Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di Taman Budaya Lampung, Kamis (21-2). Dalam lomba ini, 20 grup seni dari berbagai sekolah unjuk kebolehan dengan menampilkan kreasi tari Bedana.
Bahkan di ruang Teater Tertutup yang tengah digelar lomba telling story (mendongeng) tampak sepi penonton. Pada hari pertama, pengunjungnya sangat banyak. Sehingga bisa diyakini pertandingan hari kedua yang akan digelar hari ini, Jumat (22-2), juga tidak kalah meriah.
Rusli Syukur, salah seorang juri perlombaan, menjelaskan tari Bedana ini sudah dikenal masyarakat Lampung sejak lama. "Bahkan diyakini tarian ini ada saat periode masuknya Islam di Lampung. Sebab tarian seperti ini juga ditemui di daerah Riau, Sumatera Barat, bahkan Kalimantan dengan sebutan tari Japin," kata dia.
Awal perkembangan tari Bedana ini, menurut dia, digunakan sebagai syiar Islam. "Awalnya penarinya para pria dengan gerakan-gerakan sederhana. Sedang yang perempuan hanya bernyanyi dan tidak tampil di muka umum," ujar Rusli.
Sehingga tarian ini memiliki kekhasan gerak bila dibandingkan dengan tari lain. "Ya gerakannya itu sangat sederhana karena lebih banyak meluapkan kegembiraan. Karena dahulu tarian ini digelar sebagai acara hiburan pada suatu kegiatan," tutur dia.
Sesuai dengan perkembangan zaman, kini tari Bedana makin berkembang dan penarinya pun banyak dari kaum perempuan.
Meski ada kebebasan untuk mengkreasikan karya, tari Bedana tetap memiliki pakem-pakem yang mesti ada. "Ada sekitar sembilan gerakan yang mesti ada pada tari Bedana. Di antaranya adalah tayuhan, surabaya I, surabaya II, dan sebagainya, sehingga memang tidak sembarangan memasukan gerakan baru dalam tarian ini."
Novrida Juwita yang juga juri mengemukakan tari Bedana sebagai tari muda-mudi atau tari pergaulan. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
Hal ini terlihat dari meriahnya penyelenggaraan Lomba Kreasi Tari Bedana dalam rangkaian Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di Taman Budaya Lampung, Kamis (21-2). Dalam lomba ini, 20 grup seni dari berbagai sekolah unjuk kebolehan dengan menampilkan kreasi tari Bedana.
Bahkan di ruang Teater Tertutup yang tengah digelar lomba telling story (mendongeng) tampak sepi penonton. Pada hari pertama, pengunjungnya sangat banyak. Sehingga bisa diyakini pertandingan hari kedua yang akan digelar hari ini, Jumat (22-2), juga tidak kalah meriah.
Rusli Syukur, salah seorang juri perlombaan, menjelaskan tari Bedana ini sudah dikenal masyarakat Lampung sejak lama. "Bahkan diyakini tarian ini ada saat periode masuknya Islam di Lampung. Sebab tarian seperti ini juga ditemui di daerah Riau, Sumatera Barat, bahkan Kalimantan dengan sebutan tari Japin," kata dia.
Awal perkembangan tari Bedana ini, menurut dia, digunakan sebagai syiar Islam. "Awalnya penarinya para pria dengan gerakan-gerakan sederhana. Sedang yang perempuan hanya bernyanyi dan tidak tampil di muka umum," ujar Rusli.
Sehingga tarian ini memiliki kekhasan gerak bila dibandingkan dengan tari lain. "Ya gerakannya itu sangat sederhana karena lebih banyak meluapkan kegembiraan. Karena dahulu tarian ini digelar sebagai acara hiburan pada suatu kegiatan," tutur dia.
Sesuai dengan perkembangan zaman, kini tari Bedana makin berkembang dan penarinya pun banyak dari kaum perempuan.
Meski ada kebebasan untuk mengkreasikan karya, tari Bedana tetap memiliki pakem-pakem yang mesti ada. "Ada sekitar sembilan gerakan yang mesti ada pada tari Bedana. Di antaranya adalah tayuhan, surabaya I, surabaya II, dan sebagainya, sehingga memang tidak sembarangan memasukan gerakan baru dalam tarian ini."
Novrida Juwita yang juga juri mengemukakan tari Bedana sebagai tari muda-mudi atau tari pergaulan. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
Wisata: Batuputu akan Disulap seperti Puncak
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Warga luar Bandar Lampung yang ingin berlibur akhir pekan kini bisa melirik kawasan Sukadanaham sebagai tempat tujuan. Soalnya, Pemkot Bandar Lampung berencana menata kawasan Batuputu dan Suakdanaham seperti Puncak, Jawa Barat.
"Daerah tersebut akan ditata dan diberikan penerangan, sehingga masyarakat sekitar bisa memanfaatkan untuk berdagang pada malam hari, seperti jagung bakar," kata Wakil Wali Kota Kherlani, kemarin.
Dengan penataan seperti itu, nantinya warga Kota Bandar Lampung atau dari luar daerah yang ingin menikmati suasana lain, seperti Puncak, Jawa Barat, pada malam hari tidak begitu jauh, apalagi daerah tersebut suasananya pun dingin.
Soal kenyamanan dan keamanan pengunjung, Kherlani menegaskan jika listrik atau penerangan sudah masuk, ia akan menjelaskan kepada warga sekitar agar sama-sama menjaganya dan sebenarnya yang mendapat keuntungan ganda adalah warga setempat.
Upaya mengoptimalkan kawasan wisata alam di pinggiran Kota Bandar Lampung itu karena kota tersebut pendapatannya mayoritas mengandalkan dari sektor jasa.
"Sebab itu, perlu pengembangan pariwisata dan jasa lainnya seperti hotel," kata dia.
Salah satu ikon Sukadanaham yakni air terjun, diupayakan lebih ditingkatkan pemanfaatannya, yakni dengan membuat kolam renang air alami yang selalu mengalir.
"Belum ada kolam renang dengan air yang selalu berganti dan alami. Dan di Sukadanaham bisa memanfaatkan air yang mengalir di lokasi tersebut. Ini akan jadi daya tarik tersendiri," kata dia.
Pantaun Lampung Post, dari kawasan Sukadanaham dan Batuputu yang berada di dataran tinggi bisa menikmati indahnya panorama alam laut dan wajah kota Bandar Lampung. Saat Gunung Krakatau aktif beberapa waktu lalu, semburan laharnya juga tampak dari kawasan ini pada malam hari.
Selain berudara sejuk, masyarakat yang berkunjung ke kawasan ini juga bisa menikmati jernihnya air Kali Akar, selain pohon buah-buahan seperti durian dan manggis. Di tempat ini pula terdapat pohon langka, misalnya, pohon jamblang. n UDA/ANT/U-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
"Daerah tersebut akan ditata dan diberikan penerangan, sehingga masyarakat sekitar bisa memanfaatkan untuk berdagang pada malam hari, seperti jagung bakar," kata Wakil Wali Kota Kherlani, kemarin.
Dengan penataan seperti itu, nantinya warga Kota Bandar Lampung atau dari luar daerah yang ingin menikmati suasana lain, seperti Puncak, Jawa Barat, pada malam hari tidak begitu jauh, apalagi daerah tersebut suasananya pun dingin.
Soal kenyamanan dan keamanan pengunjung, Kherlani menegaskan jika listrik atau penerangan sudah masuk, ia akan menjelaskan kepada warga sekitar agar sama-sama menjaganya dan sebenarnya yang mendapat keuntungan ganda adalah warga setempat.
Upaya mengoptimalkan kawasan wisata alam di pinggiran Kota Bandar Lampung itu karena kota tersebut pendapatannya mayoritas mengandalkan dari sektor jasa.
"Sebab itu, perlu pengembangan pariwisata dan jasa lainnya seperti hotel," kata dia.
Salah satu ikon Sukadanaham yakni air terjun, diupayakan lebih ditingkatkan pemanfaatannya, yakni dengan membuat kolam renang air alami yang selalu mengalir.
"Belum ada kolam renang dengan air yang selalu berganti dan alami. Dan di Sukadanaham bisa memanfaatkan air yang mengalir di lokasi tersebut. Ini akan jadi daya tarik tersendiri," kata dia.
Pantaun Lampung Post, dari kawasan Sukadanaham dan Batuputu yang berada di dataran tinggi bisa menikmati indahnya panorama alam laut dan wajah kota Bandar Lampung. Saat Gunung Krakatau aktif beberapa waktu lalu, semburan laharnya juga tampak dari kawasan ini pada malam hari.
Selain berudara sejuk, masyarakat yang berkunjung ke kawasan ini juga bisa menikmati jernihnya air Kali Akar, selain pohon buah-buahan seperti durian dan manggis. Di tempat ini pula terdapat pohon langka, misalnya, pohon jamblang. n UDA/ANT/U-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Februari 2008
February 21, 2008
Opini: Revitalisasi Bahasa Daerah Lampung
-- Muhammad Sukirlan*
TANGGALl 21 Februari ditetapkan Unesco (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Secara eksplisit, hal ini mengandung arti bahwa bahasa ibu (bahasa daerah) harus terus-menerus diingat seluruh anggota lapisan masyarakat di daerah setempat. Keberadaan bahasa daerah harus dipertahankan secara konstan dan pemakainnya serta diberdayakan fungsinya.
Di Provinsi Lampung, keberadaan bahasa daerah Lampung (BDL) berhadapan dengan bahasa Indonesia (BI) yang pemakaiannya merambah di ranah horizontal (keluarga, sekolah, media masa, dan perdagangan) dan vertikal (pejabat pemerintah, pengusaha, dan rakyat biasa). Selain berhadapan dengan bahasa Indonesia, BDL juga berhadapan dengan bahasa-bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya barangkali secara akumulatif jauh lebih banyak daripada jumlah penutur BDL itu sendiri.
Padahal, sejak 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah. Bahasa daerah memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan bahasa Indonesia. Pertama, secara psikologis bahasa daerahlah yang telah membentuk pola pikir seseorang sejak dini karena dengan bahasa daerah seseorang (anak) diperkenalkan ibunya mengenali berbagai objek dan peristiwa di lingkungannya sehingga seorang anak dapat berkomunikasi untuk mengungkapkan berbagai hal dan maksud.
Kedua, secara sosial, bahasa daerah memiliki vitalitas yang tinggi bagi penuturnya karena sesama penutur telah memiliki semacam ikatan emosionl sehingga komunikasi yang dijalin akan berjalan dengan lebih efektif. Bahasa daerah telah sejak lama digunakan penuturnya untuk berkomunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya.
Ketiga, setiap bahasa derah memiliki keraifan lokal (local wisdom) yang tentunya tidak dimiliki (berbeda) dengan bahasa-bahasa daerah lain. Dengan menggunakan bahasa daerah, sesama penutur akan lebih dapat mengungkapkan suatu konsep (sosial, budaya) secara lebih jelas, ringkas, dan.
Keempat, secara edukasional, bahasa daerah mempermudah penuturnya memperoleh pengetahuan yang dapat memperlancar program pendidikan. Sebagai contoh, program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan pendekatan bahasa Sunda di Cibago, Cisalak, Subang, Jawa Barat, yang disponsori UNESCO berhasil dengan baik. Warga setempat belajar membaca dan menulis menggunakan bahasa Sunda. Salah satu keuntungannya adalah pembelajar tidak dipusingkan lagi dengan makna kata sehingga peserta lebih terkonsentrasi pada kegiatan belajar (Kompas, 20 September 2007).
Revitalisasi Bahasa Daerah Lampung
Salah satu cara yang digunakan untuk merevitalisasi bahasa BDL adalah dengan mengadakan perencanaan bahasa (language planning). Perencanaan bahasa merupakan usaha menyeluruh, pengerahan segala upaya dan potensi yang dilakukan berbagai komponen masyarakat seperti pemerintah, akademisi, tokoh adat, tokoh seni dan budaya, pengusaha dan lainnya agar BDL dapat dipertahankan dan difungsikan dalam berbagai ranah. Perencanaan ini meliputi tiga kegiatan yakni perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan korpus (corpus planning), dan perencanaan pembelajaran (acquisition planning).
Di tingkat perencanaan kebijakan inilah peran pemerintah daerah sangat penting mengeluarkan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan status BDL. Dengan dimasukkannya BDL dalam kurikulum muatan lokal di berbagai tingkat pendidikan formal merupakan bentuk usaha awal pemerintah daerah mempertahankan keberadaan dan fungsi BDL. Perencanaan korpus meliputi standardisasi tubuh bahasa yang meliputi berbagai aspek yakni jumlah kosakata, sistem ejaan, unsur serapan, tata bahasa, penulisan dan lain-lain.
Keunggulan bahasa juga dapat ditentukan bobot internalnya yang antara lain melalui kosakata yang dimilikinya. Sebagai contoh bahasa Inggris (Webster, 1981) memiliki sekitar 450 ribu kata, sedangkan bahasa Indonesia (Dardjowijoyo, 1991) mencatat sekitar 72 ribu kata. Bagaimana dengan BDL? Dan perencanaan pembelajaran dapat ditempuh melalui berbagai jalur yakni sekolah, karya sastra, buku-buku agama, media cetak dan elektronik, lingkungan kerja, artefak budaya, dan lain-lain.
Di tingkat ketiga inilah yang barangkali memerlukan bujet, langkah perencanaan operasional dan teknis yang lebih rumit yang melibatkan pendekatan metode pengajaran bahasa, pemberdayaan penulisan sastra daerah Lampung, pemberdayaan pelaku seni atau kerajainan sehingga orang-orang yang telah mengabdikan diri dalam kesenian daerah dapat menggantungkan hidup dari profesi yang telah dipilihnya.
Langkah antisipatif perlu dilakukan mumpung belum diserobot dan dipatenkan negara lain! Bahasa daerah Lampung adalah salah satu warisan leluhur yang bernilai sangat tinggi dan patut mendapatkan cinta dari generasi kini dan selanjutnya.
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Februari 2008
TANGGALl 21 Februari ditetapkan Unesco (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Secara eksplisit, hal ini mengandung arti bahwa bahasa ibu (bahasa daerah) harus terus-menerus diingat seluruh anggota lapisan masyarakat di daerah setempat. Keberadaan bahasa daerah harus dipertahankan secara konstan dan pemakainnya serta diberdayakan fungsinya.
Di Provinsi Lampung, keberadaan bahasa daerah Lampung (BDL) berhadapan dengan bahasa Indonesia (BI) yang pemakaiannya merambah di ranah horizontal (keluarga, sekolah, media masa, dan perdagangan) dan vertikal (pejabat pemerintah, pengusaha, dan rakyat biasa). Selain berhadapan dengan bahasa Indonesia, BDL juga berhadapan dengan bahasa-bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya barangkali secara akumulatif jauh lebih banyak daripada jumlah penutur BDL itu sendiri.
Padahal, sejak 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah. Bahasa daerah memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan bahasa Indonesia. Pertama, secara psikologis bahasa daerahlah yang telah membentuk pola pikir seseorang sejak dini karena dengan bahasa daerah seseorang (anak) diperkenalkan ibunya mengenali berbagai objek dan peristiwa di lingkungannya sehingga seorang anak dapat berkomunikasi untuk mengungkapkan berbagai hal dan maksud.
Kedua, secara sosial, bahasa daerah memiliki vitalitas yang tinggi bagi penuturnya karena sesama penutur telah memiliki semacam ikatan emosionl sehingga komunikasi yang dijalin akan berjalan dengan lebih efektif. Bahasa daerah telah sejak lama digunakan penuturnya untuk berkomunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya.
Ketiga, setiap bahasa derah memiliki keraifan lokal (local wisdom) yang tentunya tidak dimiliki (berbeda) dengan bahasa-bahasa daerah lain. Dengan menggunakan bahasa daerah, sesama penutur akan lebih dapat mengungkapkan suatu konsep (sosial, budaya) secara lebih jelas, ringkas, dan.
Keempat, secara edukasional, bahasa daerah mempermudah penuturnya memperoleh pengetahuan yang dapat memperlancar program pendidikan. Sebagai contoh, program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan pendekatan bahasa Sunda di Cibago, Cisalak, Subang, Jawa Barat, yang disponsori UNESCO berhasil dengan baik. Warga setempat belajar membaca dan menulis menggunakan bahasa Sunda. Salah satu keuntungannya adalah pembelajar tidak dipusingkan lagi dengan makna kata sehingga peserta lebih terkonsentrasi pada kegiatan belajar (Kompas, 20 September 2007).
Revitalisasi Bahasa Daerah Lampung
Salah satu cara yang digunakan untuk merevitalisasi bahasa BDL adalah dengan mengadakan perencanaan bahasa (language planning). Perencanaan bahasa merupakan usaha menyeluruh, pengerahan segala upaya dan potensi yang dilakukan berbagai komponen masyarakat seperti pemerintah, akademisi, tokoh adat, tokoh seni dan budaya, pengusaha dan lainnya agar BDL dapat dipertahankan dan difungsikan dalam berbagai ranah. Perencanaan ini meliputi tiga kegiatan yakni perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan korpus (corpus planning), dan perencanaan pembelajaran (acquisition planning).
Di tingkat perencanaan kebijakan inilah peran pemerintah daerah sangat penting mengeluarkan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan status BDL. Dengan dimasukkannya BDL dalam kurikulum muatan lokal di berbagai tingkat pendidikan formal merupakan bentuk usaha awal pemerintah daerah mempertahankan keberadaan dan fungsi BDL. Perencanaan korpus meliputi standardisasi tubuh bahasa yang meliputi berbagai aspek yakni jumlah kosakata, sistem ejaan, unsur serapan, tata bahasa, penulisan dan lain-lain.
Keunggulan bahasa juga dapat ditentukan bobot internalnya yang antara lain melalui kosakata yang dimilikinya. Sebagai contoh bahasa Inggris (Webster, 1981) memiliki sekitar 450 ribu kata, sedangkan bahasa Indonesia (Dardjowijoyo, 1991) mencatat sekitar 72 ribu kata. Bagaimana dengan BDL? Dan perencanaan pembelajaran dapat ditempuh melalui berbagai jalur yakni sekolah, karya sastra, buku-buku agama, media cetak dan elektronik, lingkungan kerja, artefak budaya, dan lain-lain.
Di tingkat ketiga inilah yang barangkali memerlukan bujet, langkah perencanaan operasional dan teknis yang lebih rumit yang melibatkan pendekatan metode pengajaran bahasa, pemberdayaan penulisan sastra daerah Lampung, pemberdayaan pelaku seni atau kerajainan sehingga orang-orang yang telah mengabdikan diri dalam kesenian daerah dapat menggantungkan hidup dari profesi yang telah dipilihnya.
Langkah antisipatif perlu dilakukan mumpung belum diserobot dan dipatenkan negara lain! Bahasa daerah Lampung adalah salah satu warisan leluhur yang bernilai sangat tinggi dan patut mendapatkan cinta dari generasi kini dan selanjutnya.
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Februari 2008
February 20, 2008
Peksipel: Pelajar 'Demen' Pakai Bahasa Gaul
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelajar di Indonesia, khususnya di Lampung sulit berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pasalnya, pelajar terbiasa menggunakan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari.
Penyair Lampung, Ari Pahala Hutabarat, mengemukakan hal tersebut usai menjadi dewan juri dalam lomba telling story (mendongeng) dalam Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung, Selasa (19-2). Hal itu tampak saat peserta tampil di panggung untuk bercerita. "Terlihat sekali kelemahan para pelajar yang tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam bahasa tuturnya. Sebab, mereka terbiasa menggunakan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari."
Dengan demikian, menurut Ari, banyak pelajar yang sepertinya terasing dengan diri sendiri saat membacakan cerita yang menggunakan bahasa Indonesia. "Mereka menjadi sangat kaku dan canggung. Ini sangat terlihat dari kesulitan menggunakan diksi, irama, hingga tanda baca yang ada."
Padahal, para pelajar seharusnya tidak lagi canggung dalam berucap dan berbahasa Indonesia. "Kondisi ini sangat berbeda jika dibanding dengan yang terjadi di luar negeri. Para pelajar di luar negeri memiliki kemampuan bertutur dengan baik ketika di panggung dan tidak canggung," ujar Ari.
Menurut dia, banyak pelajar SMA yang tidak percaya diri (PD) saat berbicara di hadapan banyak orang. Selain itu, berkaitan dengan penilaian peserta telling story, dia mengemukakan banyak guru bahasa selaku pengajar atau pembimbing peserta yang belum mengetahui telling story. "Seharusnya telling story itu adalah berkisah bukan memainkan peran yang ada di cerita yang dibacakan. Jadi, ada perbedaan dengan monolog yang biasa dilakukan."
Sebab, dari delapan peserta yang tampil di hari pertama perlombaan, kata Ari, rata-rata banyak yang mencoba memainkan peran dan melakukan improvisasi yang keluar dari naskah. "Yang lebih parah lagi ada beberapa peserta yang mengompilasi naksah yang ada. Jadi, setiap naskah diambil sepotong-sepotong. Padahal ini sangat dilarang. Harus konsisten dengan satu naskah yang dibawakan."
Sementara itu, lomba mendongeng diikuti 20 pelajar. Hari ini (20-2) akan tampil 12 pelajar yang akan membawakan cerita karya Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Iswadi Pratama, Sapardi Joko Damono, Gabriel Garcia Marquez, dan Mario Levrero.
Selain telling story, digelar lomba menyanyi pop putri yang diikuti 59 peserta. Juga lomba modern dance, penyisihan baca puisi putra dan putri, serta lomba membuat poster. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 Februari 2008
Penyair Lampung, Ari Pahala Hutabarat, mengemukakan hal tersebut usai menjadi dewan juri dalam lomba telling story (mendongeng) dalam Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung, Selasa (19-2). Hal itu tampak saat peserta tampil di panggung untuk bercerita. "Terlihat sekali kelemahan para pelajar yang tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam bahasa tuturnya. Sebab, mereka terbiasa menggunakan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari."
Dengan demikian, menurut Ari, banyak pelajar yang sepertinya terasing dengan diri sendiri saat membacakan cerita yang menggunakan bahasa Indonesia. "Mereka menjadi sangat kaku dan canggung. Ini sangat terlihat dari kesulitan menggunakan diksi, irama, hingga tanda baca yang ada."
Padahal, para pelajar seharusnya tidak lagi canggung dalam berucap dan berbahasa Indonesia. "Kondisi ini sangat berbeda jika dibanding dengan yang terjadi di luar negeri. Para pelajar di luar negeri memiliki kemampuan bertutur dengan baik ketika di panggung dan tidak canggung," ujar Ari.
Menurut dia, banyak pelajar SMA yang tidak percaya diri (PD) saat berbicara di hadapan banyak orang. Selain itu, berkaitan dengan penilaian peserta telling story, dia mengemukakan banyak guru bahasa selaku pengajar atau pembimbing peserta yang belum mengetahui telling story. "Seharusnya telling story itu adalah berkisah bukan memainkan peran yang ada di cerita yang dibacakan. Jadi, ada perbedaan dengan monolog yang biasa dilakukan."
Sebab, dari delapan peserta yang tampil di hari pertama perlombaan, kata Ari, rata-rata banyak yang mencoba memainkan peran dan melakukan improvisasi yang keluar dari naskah. "Yang lebih parah lagi ada beberapa peserta yang mengompilasi naksah yang ada. Jadi, setiap naskah diambil sepotong-sepotong. Padahal ini sangat dilarang. Harus konsisten dengan satu naskah yang dibawakan."
Sementara itu, lomba mendongeng diikuti 20 pelajar. Hari ini (20-2) akan tampil 12 pelajar yang akan membawakan cerita karya Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Iswadi Pratama, Sapardi Joko Damono, Gabriel Garcia Marquez, dan Mario Levrero.
Selain telling story, digelar lomba menyanyi pop putri yang diikuti 59 peserta. Juga lomba modern dance, penyisihan baca puisi putra dan putri, serta lomba membuat poster. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 Februari 2008
February 19, 2008
Peksipel: Siswa Berprestasi Seni Masuk Unila tanpa Tes
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Universitas Lampung (Unila) memberikan peluang bagi siswa berprestasi di bidang seni masuk tanpa tes.
"Kami akan memprioritaskan siswa berprestasi baik di bidang olahraga maupun seni masuk Unila tanpa ujian," kata Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila M. Thoha Sampurnajaya dalam pembukaan Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di GSG Unila, Senin (18-2). Kegiatan ini diikuti 1.686 pelajar dari 101 SMA sederajat se-Provinsi Lampung.
Ia menjelaskan untuk mewadahi minat dan bakat mahasiswa di bidang seni, perguruan tinggi ini memiliki unit kegiatan mahasiswa bidang seni (UKMBS). "Selama ini UKMBS dikenal sebagai salah satu kawah candradimuka Lampung yang banyak melahirkan seniman," ujar dia.
Sebab, kegiatan ini merupakan salah satu penunjang dari sistem pembelajaran yang ada. "Proses pendidikan tidak hanya semata-mata mengembangkan penilaian akademik, tapi juga kemampuan emosional, dan spiritual. Ketika lulus nanti, mereka memiliki kemampuan yang seimbang," ujarnya.
Karena pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan otak kiri, tapi juga perlu ada keseimbangan dengan otak kanan. "Untuk itulah, Unila sangat concern dan mendukung berbagai kegiatan UKM," kata dia.
Oleh sebab itu, ia menyambut positif kegiatan tersebut. "Mudah-mudahan kegiatan ini akan melahirkan seniman-seniman baru yang bisa membawa nama Lampung pada kancah nasional bahkan internasional," ujar dia.
Peksipel juga diharapkan bisa menjadi event tahunan yang bisa menunjang seni budaya daerah. Ke depan, selain seni modern, juga perlu dikembangkan lomba baca dan tulis puisi berbahasa Lampung, pop daerah Lampung, dan dangdut daerah Lampung. Event ini sekaligus salah satu pendukung pengembangan dan penggalian budaya daerah khususnya bahasa Lampung. "Kegiatan ini bisa menjadi salah satu wadah bagi para guru bahasa daerah Lampung serta pelajar Lampung untuk mengapresiasi dan menuangkan karyanya," ujar Thoha.
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tibrizi Asmarantaka, yang mewakili Gubernur Lampung mengemukakan Pemerintah Provinsi sangat mendukung kegiatan positif anak muda. "Selain untuk mengembangkan seni budaya di daerah, kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi bagi pelajar Lampung."
Sementara itu, Peksipel berlangsung semarak dengan menggelar lomba tari kreasi bedana Lampung, modern dance, penulisan puisi, penulisan cerita pendek, pembacaan puisi, story telling, poster, nyanyi tunggal pop, lomba nyanyi tunggal dangdut, dan kompetisi band. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 19 Februari 2008
"Kami akan memprioritaskan siswa berprestasi baik di bidang olahraga maupun seni masuk Unila tanpa ujian," kata Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila M. Thoha Sampurnajaya dalam pembukaan Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) di GSG Unila, Senin (18-2). Kegiatan ini diikuti 1.686 pelajar dari 101 SMA sederajat se-Provinsi Lampung.
Ia menjelaskan untuk mewadahi minat dan bakat mahasiswa di bidang seni, perguruan tinggi ini memiliki unit kegiatan mahasiswa bidang seni (UKMBS). "Selama ini UKMBS dikenal sebagai salah satu kawah candradimuka Lampung yang banyak melahirkan seniman," ujar dia.
Sebab, kegiatan ini merupakan salah satu penunjang dari sistem pembelajaran yang ada. "Proses pendidikan tidak hanya semata-mata mengembangkan penilaian akademik, tapi juga kemampuan emosional, dan spiritual. Ketika lulus nanti, mereka memiliki kemampuan yang seimbang," ujarnya.
Karena pendidikan seyogianya tidak hanya mengembangkan otak kiri, tapi juga perlu ada keseimbangan dengan otak kanan. "Untuk itulah, Unila sangat concern dan mendukung berbagai kegiatan UKM," kata dia.
Oleh sebab itu, ia menyambut positif kegiatan tersebut. "Mudah-mudahan kegiatan ini akan melahirkan seniman-seniman baru yang bisa membawa nama Lampung pada kancah nasional bahkan internasional," ujar dia.
Peksipel juga diharapkan bisa menjadi event tahunan yang bisa menunjang seni budaya daerah. Ke depan, selain seni modern, juga perlu dikembangkan lomba baca dan tulis puisi berbahasa Lampung, pop daerah Lampung, dan dangdut daerah Lampung. Event ini sekaligus salah satu pendukung pengembangan dan penggalian budaya daerah khususnya bahasa Lampung. "Kegiatan ini bisa menjadi salah satu wadah bagi para guru bahasa daerah Lampung serta pelajar Lampung untuk mengapresiasi dan menuangkan karyanya," ujar Thoha.
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tibrizi Asmarantaka, yang mewakili Gubernur Lampung mengemukakan Pemerintah Provinsi sangat mendukung kegiatan positif anak muda. "Selain untuk mengembangkan seni budaya di daerah, kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi bagi pelajar Lampung."
Sementara itu, Peksipel berlangsung semarak dengan menggelar lomba tari kreasi bedana Lampung, modern dance, penulisan puisi, penulisan cerita pendek, pembacaan puisi, story telling, poster, nyanyi tunggal pop, lomba nyanyi tunggal dangdut, dan kompetisi band. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 19 Februari 2008
February 16, 2008
Pustaka: Apresiasi untuk Sastra Bahasa Lampung
Judul : Mak Dawah Mak Dibingi
Penulis : Udo Z. Karzi
Penerbit: BE Press, Bandar Lampung, 2007
Tebal : xii + 71 halaman
MASYARAKAT Lampung sebenarnya cukup kaya dengan karya sastra berupa adi-adi (pantun), warahan (cerita), hiwang (ratapan yang berirama), wawancan (sejarah), dan sebagainya. Meskipun kebanyakan masih berbentuk sastra lisan yang sering dilantunkan dalam upacara adat, ada beberapa yang sudah ditulis dan diterbitkan berupa buku.
Namun, semua karya sastra dalam bahasa Lampung itu tergolong sastra tradisional yang sangat terikat kepada aturan bait dan rima yang ketat. Satu bait pantun tradisional Lampung (adi-adi) harus terdiri atas empat baris, satu baris harus mengandung tujuh suku kata, dan harus berstruktur a-b-a-b. Sebagai contoh, kita kutip sebuah adi-adi: bayang-bayangmu kundang/ratong di tengah bingi/minjak diguyang hiwang/niku delom hanipi (bayang-bayangmu kasih/datang di tengah malam/bangkit dibangunkan tangis/dikau dalam mimpi).
Adapun karya sastra modern dalam bahasa Lampung selama ini boleh dikatakan belum ada. Sastrawan modern yang tinggal di Lampung memang cukup banyak, tetapi umumnya menuliskan karya sastra mereka dalam bahasa Indonesia. Belum ada yang menggunakan bahasa ibu (mother language), yaitu bahasa Lampung, sebagai wahana atau medium sastra modern.
Akibatnya, dunia sastra Lampung selalu dalam kondisi "hidup segan mati tidak mau', jauh tertinggal dari sastra Sunda, Jawa, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern di samping tetap melestarikan sastra tradisional.
Itulah sebabnya buku kumpulan 50 sajak berbahasa Lampung dari Udo Z. Karzi (nama pena dari Zulkarnain Zubairi), yang berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang tak Malam), merupakan terobosan besar yang mendobrak kebekuan dunia sastra Lampung. Sajak-sajak Udo Z. Karzi betul-betul membebaskan diri dan tidak merasa terikat dengan aturan puisi tradisional Lampung.
Mari kita simak salah satu sajak Udo yang mengalir bebas: pagi ga, kundang/aga minjak jak kedugokmu/bingi juga maseh mesurok ditinggal bulan/pedom, pedom do luwot, kundang/lagi wat masani buhanipi/tentang pattun nyanyianni surga (terlalu pagi, kasih/mau bangkit dari kantukmu/malam juga masih enggan ditinggal bulan/tidur, tidurlah lagi, kasih/masih ada masa untuk bermimpi/tentang pantun nyanyian surga).
Bukan hanya struktur sajak Udo yang modern, isi sajak-sajaknya pun menceritakan hal-hal yang kontemporer, kehidupan rakyat kecil yang terpuruk, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, sempitnya lapangan kerja, penegakan hukum yang belum memuaskan, korupsi yang merajalela, dan para politisi yang tidak memikirkan rakyat.
Ada pula sajak-sajak yang merupakan komtemplasi kehidupan Udo sendiri, di samping sajak-sajak yang melukiskan jiwa resah yang ingin menggapai Sang Pencipta. Dengan kata lain, sajak-sajak Udo Z. Karzi benar-benar mencerminkan semangat zaman.
Ketika penulis resensi ini membacakan terjemahan beberapa sajak Udo Z. Karzi di hadapan Ajip Rosidi, secara spontan sastrawan kondang itu mengatakan, "Telah lahir Chairil Anwar-nya Lampung, meskipun agak terlambat!"
Tidak diragukan lagi, buku Udo Z. Karzi merupakan pelopor lahirnya sastra Lampung modern, sehingga sangat pantas memperoleh Hadiah Sastra Rancage tahun 2008 bagi sastra Lampung untuk pertama kalinya. Diharapkan buku ini mampu merangsang para sastrawan Lampung lain menulis karya-karya sastra dalam bahasa ibunya, bahasa Lampung.
n Irfan Anshory, Putra asli Tanggamus, Lampung, yang tinggal di Bandung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
Lihat juga: Hadiah Rancage untuk Sastra Lampung
In Memoriam Alhusniduki Hamim: Epitaf Dunia Pendidikan Lampung
ALHUSNIDUKI Hamim meninggal dan tiba-tiba kita merasa kosong. Pak Duki, seluruh kolega mendiang menyebutnya demikian, adalah nama yang menggurat cukup dalam di Lampung.
Sebagai pendidik hampir sepanjang hayat dikandung badan, almarhum meninggalkan jejak ilmu yang menerangi ribuan anak didik, jejak yang kelak meluncurkan mantan muridnya duduk di pelataran terbaik di Lampung, bahkan negeri ini.
Rektor Universitas Lampung ini (1990-1994-1998) dikenal karena kesantunannya. Dengan keteladanan itu pulalah dia menghadapi keseharian dunia kemahasiswaan yang hiruk-pikuk. Dengan sikap yang sama, Rektor pertama lulusan Unila ini mengawal kelimun mahasiswa saat kampusnya ikut menghadapi detik-detik "persalinan" reformasi. Berbasis pola serupa, Pak Duki sukses menakhodai kampus besar selama dua periode kepemimpinan.
Komitmen dan perhatian lelaki kelahiran Menggala, 10 Desember 1939 tersebut terhadap universitas terbesar di Lampung tercatat dengan tinta emas. Ketekunannya di bidang pengembangan akademik mewarisi beribu hal baik yang bisa dinikmati hingga sekarang.
Pak Duki termasuk perintis Unila. Sebagai pendidik dan pimpinan, beliau mendorong pendidikan berbasis information and communication tecnology (ICT) di Unila. Beliau punya visi, penguasaan internet menjadi kecakapan tambahan alumni selain TOEFL (test of English as a foreign language). Almarhum ingin menjadikan kampus Unila leading di Sumatera dan masuk kampus papan tengah Indonesia. Almarhum ikut serius mengarahkan DUE Project Unila kala itu untuk investasi di bidang hardware, software, dan humanware.
Hasilnya, sekarang Unila diperhitungkan dan menjadi simpul penting ICT. Unila menjadi koordinator ICT untuk 18 kampus di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. "Kewajiban kami melanjutkan cita-cita beliau," tulis Safarudin, alumnus yang menjadi pengajar di FISIP Unila dan kini studi lanjutan di UGM, dalam pesan singkatnya ke harian ini. n HERI WARDOYO/U-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
Sebagai pendidik hampir sepanjang hayat dikandung badan, almarhum meninggalkan jejak ilmu yang menerangi ribuan anak didik, jejak yang kelak meluncurkan mantan muridnya duduk di pelataran terbaik di Lampung, bahkan negeri ini.
Rektor Universitas Lampung ini (1990-1994-1998) dikenal karena kesantunannya. Dengan keteladanan itu pulalah dia menghadapi keseharian dunia kemahasiswaan yang hiruk-pikuk. Dengan sikap yang sama, Rektor pertama lulusan Unila ini mengawal kelimun mahasiswa saat kampusnya ikut menghadapi detik-detik "persalinan" reformasi. Berbasis pola serupa, Pak Duki sukses menakhodai kampus besar selama dua periode kepemimpinan.
Komitmen dan perhatian lelaki kelahiran Menggala, 10 Desember 1939 tersebut terhadap universitas terbesar di Lampung tercatat dengan tinta emas. Ketekunannya di bidang pengembangan akademik mewarisi beribu hal baik yang bisa dinikmati hingga sekarang.
Pak Duki termasuk perintis Unila. Sebagai pendidik dan pimpinan, beliau mendorong pendidikan berbasis information and communication tecnology (ICT) di Unila. Beliau punya visi, penguasaan internet menjadi kecakapan tambahan alumni selain TOEFL (test of English as a foreign language). Almarhum ingin menjadikan kampus Unila leading di Sumatera dan masuk kampus papan tengah Indonesia. Almarhum ikut serius mengarahkan DUE Project Unila kala itu untuk investasi di bidang hardware, software, dan humanware.
Hasilnya, sekarang Unila diperhitungkan dan menjadi simpul penting ICT. Unila menjadi koordinator ICT untuk 18 kampus di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. "Kewajiban kami melanjutkan cita-cita beliau," tulis Safarudin, alumnus yang menjadi pengajar di FISIP Unila dan kini studi lanjutan di UGM, dalam pesan singkatnya ke harian ini. n HERI WARDOYO/U-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
Musikalisasi Puisi: Bagus, Apresiasi Siswa
BANDAR LAMPUNG--Luar biasa. Demikian kalimat yang meluncur dari Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardana saat menyaksikan penampilan para siswa dalam penutupan Bengkel Sastra: Musikalisasi Puisi untuk Siswa SMA Se-Provinsi Lampung, Kamis (14-2).
Dalam keharuannya ia menyampaikan pesan kepada seluruh peserta, guru, dan pelatih agar tidak memutuskan tali silaturahmi yang telah terjalin dalam pelatihan ini. "Penampilan mereka sangat luar biasa. Ternyata mereka mampu mengapresiasi musikalisasi puisi dengan baik," ujar dia. Hal senada disampaikan pelatih musikalisasi puisi Fredie Arsie dan putrinya Devi Syahni dari Deavies Sanggar Matahari Jakarta.
Ia mengaku sangat takjub melihat kemauan dan kemampuan para peserta yang masih duduk di bangku sekolah tersebut. "Para peserta memiliki kreativitas sangat baik. Juga semangat tinggi baik saat pelatihan hingga penutupan," kata Devi Syahni.
Ia mengungkapkan musikalisasi sangat lekat dengan persoalan penafsiran, komposisi musikal, keselarasan, serta kekompakan vokal dan suara alat musik. "Yang utama visi musikalisasi puisi ini adalah ingin menyampaikan kesan dan pesan kepada penikmatnya," ujar dia.
Penutupan Bengkel Sastra ini diawali dengan penampilan para peserta yang mengapresiasi karya dalam musikalisasi puisi yang apik. Penampil perdana dari SMA Taman Siswa Bandar Lampung yang menyanyikan puisi bertajuk Ke Mana Ombak akan Menepi karya M. Udaya Syamsudin. Harmonisasi musik yang dijalin sudah sangat baik.
Dilanjutkan SMAN 1 Seputih Agung, Lampung Tengah, yang juga mengusung puisi karya M. Udaya Syamsudin. Meski demikian, harmonisasi serta hasil kreativitas yang ditampilkan sangat berbeda. Tetapi keduanya tampil cukup kompak.
Menyusul SMAN 1 Natar, Lampung Selatan, membawakan puisi berjudul Pesan Bumi karya Munawar Syamsudin. Kemudian dilanjutkan SMAN 2 Bandar Lampung membawakan puisi Nyanyian Seekor Burung karya Pepi Epiyana. Lalu SMAN 11 Bandar Lampung membawakan puisi Ke Mana Ombak akan Menepi karya M. Udaya Syamsudin. Penampil terakhir SMAN 14 Bandar Lampung menyuguhkan puisi Pesan Bumi karya Munawar Syamsudin.
Heru Susanto, guru SMAN 1 Seputih Agung mengaku senang mengikuti kegiatan bengkel sastra. "Ilmu yang saya peroleh selama mengikuti bengkel sastra sangat berguna dan akan ditularkan kepada para siswa agar musikalisasi puisi dapat membumi di Lampung," ujar dia.
Sementara salah seorang peserta Rio Ulfia H. dari SMAN 1 Natar mengharapkan kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini saja. "Mudah-mudahan dapat berlanjut untuk menggali potensi sastra yang lebih dalam lagi," ujar dia. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
Dalam keharuannya ia menyampaikan pesan kepada seluruh peserta, guru, dan pelatih agar tidak memutuskan tali silaturahmi yang telah terjalin dalam pelatihan ini. "Penampilan mereka sangat luar biasa. Ternyata mereka mampu mengapresiasi musikalisasi puisi dengan baik," ujar dia. Hal senada disampaikan pelatih musikalisasi puisi Fredie Arsie dan putrinya Devi Syahni dari Deavies Sanggar Matahari Jakarta.
Ia mengaku sangat takjub melihat kemauan dan kemampuan para peserta yang masih duduk di bangku sekolah tersebut. "Para peserta memiliki kreativitas sangat baik. Juga semangat tinggi baik saat pelatihan hingga penutupan," kata Devi Syahni.
Ia mengungkapkan musikalisasi sangat lekat dengan persoalan penafsiran, komposisi musikal, keselarasan, serta kekompakan vokal dan suara alat musik. "Yang utama visi musikalisasi puisi ini adalah ingin menyampaikan kesan dan pesan kepada penikmatnya," ujar dia.
Penutupan Bengkel Sastra ini diawali dengan penampilan para peserta yang mengapresiasi karya dalam musikalisasi puisi yang apik. Penampil perdana dari SMA Taman Siswa Bandar Lampung yang menyanyikan puisi bertajuk Ke Mana Ombak akan Menepi karya M. Udaya Syamsudin. Harmonisasi musik yang dijalin sudah sangat baik.
Dilanjutkan SMAN 1 Seputih Agung, Lampung Tengah, yang juga mengusung puisi karya M. Udaya Syamsudin. Meski demikian, harmonisasi serta hasil kreativitas yang ditampilkan sangat berbeda. Tetapi keduanya tampil cukup kompak.
Menyusul SMAN 1 Natar, Lampung Selatan, membawakan puisi berjudul Pesan Bumi karya Munawar Syamsudin. Kemudian dilanjutkan SMAN 2 Bandar Lampung membawakan puisi Nyanyian Seekor Burung karya Pepi Epiyana. Lalu SMAN 11 Bandar Lampung membawakan puisi Ke Mana Ombak akan Menepi karya M. Udaya Syamsudin. Penampil terakhir SMAN 14 Bandar Lampung menyuguhkan puisi Pesan Bumi karya Munawar Syamsudin.
Heru Susanto, guru SMAN 1 Seputih Agung mengaku senang mengikuti kegiatan bengkel sastra. "Ilmu yang saya peroleh selama mengikuti bengkel sastra sangat berguna dan akan ditularkan kepada para siswa agar musikalisasi puisi dapat membumi di Lampung," ujar dia.
Sementara salah seorang peserta Rio Ulfia H. dari SMAN 1 Natar mengharapkan kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini saja. "Mudah-mudahan dapat berlanjut untuk menggali potensi sastra yang lebih dalam lagi," ujar dia. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
February 14, 2008
Opini: Unila Dibangun oleh Pejuang
-- Anshori Djausal*
SEMASA saya kecil, kedatangan Prof. Hilman Hadikusuma (alm.) ke rumah kami selalu menciptakan suasana yang penuh semangat. Beliau adalah sepupu orang tua saya. Kedatangannya selalu dengan cerita tentang berbagai hal yang menarik perhatian saya.
Beliau memang salah satu pemuda dan pejuang Lampung pada awal kemerdekaan. Beliau pernah cerita tentang upayanya akan mendirikan sebuah universitas di Lampung bersama beberapa nama yang kemudian saya kenal sebagai pendiri Unila.
Mereka di antaranya Abdoel Moeis Radja Hukum dan Alhusniduki Hamim. Mereka menjadi mahasiswa, sekaligus menangani sekretariat Fakultas Ekonomi, Hukum, Sosial. Alhusniduki Hamim kemudian merupakan alumni pertama menjadi rektor Unila pada awal 1990-an.
Masih tergambar ketika Prof. Hilman bercerita pada awal tahun 1960-an itu selalu disertai semangat pejuang yang sangat melekat pada beliau. Seperti, ketika beliau bercerita tentang masa agresi militer dan cerita lainnya. Setelah saya ikuti jejak beliau di Unila dan mengenal lebih banyak tentang sejarah Unila, saya percaya bahwa Unila didirikan oleh semangat "Pejuang".
Sebutlah nama-nama pendiri Unila seperti Hi. Zainal Abidin Pagar Alam dan Nadirsjah Zaini. Bagi yang pernah mengenal mereka akan sependapat, bahwa Universitas Lampung yang resmi lahir 23 September 1965 ini didirikan oleh semangat pejuang.
Semangat mendirikan sebuah universitas baru di Lampung saat itu jelas didorong oleh keberadaan Provinsi Lampung yang juga baru terbentuk. Pemerintahan Provinsi Lampung yang baru dan Universitas Lampung yang terbentuk setahun kemudian harus dilihat sebagai kebersamaan dalam mewarnai perkembangan daerah dan masyarakat Lampung.
Secara objektif dapat dilihat dari ketelibatan kelembagaan maupun personel, kebersamaan membangun daerah ini baik dari pihak pemerintah daerah maupun sebaliknya saling melengkapi.
Gubernur Lampung H. Zainal Abidin Pagar Alam pernah menjadi Ketua Presidium Universitas Lampung menggantikan Kusno Danupoyo. Sebaliknya, beberapa personel Unila saat itu pun harus berkiprah langsung atau turut membangun pada awal pemerintahan provinsi.
Rektor Unila Prof. Sitanala Arsyad (1973--1981) adalah perintis dibentuknya Badan Perencanaan Daerah. Beberapa nama lain dapat saja disebutkan dalam daftar yang panjang tentang hubungan saling menbangun ini. Awal tahun 1980-an, ketika saya mulai bergabung dengan Unila, saya masih merasakan semangat pejuang dan semangat kebersamaan untuk membangun Unila.
Saat ini, sudah hampir 40 tahun kemudian. Kampusnya berdiri anggun di Gedong Meneng. Mahasiswa lebih dari 24.000. Ada tujuh fakultas, 690 dosen dengan kualifikasi S2, 116 doktor dalam berbagai bidang ilmu, 17 guru besar, puluhan laboratorium.
Unila bukan lagi hanya sebuah universitas daerah, melainkan sudah merupakan universitas yang alumninya sudah berkiprah secara nasional. Unila sudah menjadi universitas nasional. Alumni Unila sampai wisuda yang terakhir, maret 2007 seluruhnya mencapai 54.675 orang.
Secara pasti Unila telah melangkah dalam kiprah yang lebih luas. Mahasiswa yang berminat masuk ke Unila bukan lagi berasal dari Lampung saja, melainkan juga dari daerah lain.
Kerja sama dengan University of Kentucky, terutama untuk pengiriman tugas belajar bagi dosen-dosen muda pada awal tahun 1980-an menandai perkembangan kualitas tenaga pengajar yang sangat berarti. Fakultas Pertanian (FP) yang memanfaatkan kerja sama ini, baik pengiriman dosen maupun pengembangan kelembagaan.
FP menjadi fakultas yang besar mengikuti FE dan FH yang telah lebih dahulu berkiprah. Kerja sama dengan University of Kentucky ini masih berlanjut sampai sekarang.
Awal tahun 1990-an merupakan awal berkembangnya FT dan FMIPA, selanjutnya PS. Kedokteran mulai dikembangkan pada awal 2000. Kemajuan Unila di bawah pimpinan rektor dari yang pertama sampai saat ini telah menempatkan Unila sebagai universitas yang penting di kawasan Indonesia bagian barat.
Berbagai kinerja dengan beberapa indikator dapat dilihat dari tahun ke tahun. Hasil audit kinerja kelembagaan Unila terakhir yang dilakukan Inspektorat Jendral Diknas menunjukkan nilai 3.83 (baik) dari skala 0 hingga 5.
Sejak awal delapan puluhan, Unila telah meletakkan dasar-dasar sistem informasi manajemen berbasis komputer. Unila menempatkan ICT (information, communication and technology) sebagai kebijakan penting dalam pengelolaan universitas secara luas. Sistem informasi akademik (siakad) di Unila sudah lama menjadi acuan bagi universitas lain.
Saat ini, setiap mahasiswa dapat mengakses informasi tentang kemajuan akademisnya, konsultasi dengan jurusannya dari mana saja. Informasi tentang ini lebih jauh dapat dilihat online pada: http://www.unila.ac.id/
Kerja sama tripartit, universitas, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat telah banyak dirintis dengan basis common interest, ketertarikan pada isu yang sama dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Termasuk dengan luar negeri, salah satu contoh adalah antara Unila, Toyohashi University of Technology dan JFE-Techno Research Corporation, Jepang tentang energi yang terbarukan.
Bentuk kerja sama pertukaran mahasiswa dan dosen juga berjalan sejak 2003 dengan CENEARC (Centre National d'Etudes Agronomiques des Regions Chaudes) yang berpusat di Montpellier, Prancis.
Sebuah program studi magister akan dibuka pada tahun 2008 dengan program Management of Natural Resources and Rural Development, dengan bahasa pengantar Inggris dan Indonesia. Program ini dilaksanakan bekerja sama dengan Lembaga Agris Mundus Uni Eropa yang beranggotakan enam negara Eropa dan delapan negara berkembang, Indonesia diwakili Unila.
Sebuah penelitian internasional yang terus menerus, kerja sama dengan negara tropis tentang keanekaragaman biota tanah tropik dan tentang metan serta biomassa. Unila secara nasional telah berhasil mengembangkan TOT (teknologi tanpa olah tanah), benih jagung srikandi dan teknologi lahan kering lainnya.
Sebuah penulisan buku tentang budaya Lampung juga sedang berjalan, yaitu kerja sama Unila dengan Kyoei University, Jepang. Penulisan ini berdasarkan kerja sama penelitian dalam waktu yang panjang.
Dalam waktu dekat, Unila akan mengembangkan pusat keunggulan berbasis biomassa. Pusat keunggulan ini telah menjadi kesepakatan bersama antara seluruh universitas di wilayah barat, Sumatera dan Kalimantan untuk membangun pusat keunggulan lokal dan wilayah.
Empat pusat keunggulan tersebut, pertama, pengelolaan lahan gambut (Unpar, Unsri, Unri, Untan); kedua, tanaman obat tropis (Unsyah, Unand, USU); ketiga, industri biomassa (Unila, Unib); dan keempat, kebakaran hutan (Unsri, Untan, Unpar).
Pusat keunggulan ini segera dibangun bekerja sama dengan berbagai pihak. Pendanaan telah mendapat persetujuan dari pemerinah pusat. Peningkatan kualitas belajar mengajar, penelitian dan pengembangan di Unila akan terus bergulir. Unila membuka jalan untuk berkiprah lebih luas.
Bagi awam mengukur pencapaian sebuah lembaga pendidikan tinggi seperti Unila saat ini tidak dapat melihatnya hanya sebagai sebuah sistem produksi, misalnya saja populernya sebuah lagu pop atau populernya mi instan. Atau seperti menggigit sebuah cabe rawit. Langsung pedas. Suatu proses pendidikan adalah dari generasi ke generasi.
Kiprah dan pencapaian sebuah lembaga pendidikan adalah "membangkitkan sebuah peradaban", merubah cara berpikir, membentuk cara hidup, membangun pengetahuan, membentuk sebuah kebudayaan, kemudian membangun peradaban. Unila dengan kapasitas kelembagaan seperti yang ada sekarang sudah pasti ikut "membangkitkan" daerah dan masyarakat Lampung.
Baru saja, senat Unila meluncurkan visi 2025. Pada tahun itu, Unila menjadi 10 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Memang bukan pekerjaan yang mudah. Memerlukan rencana strategis yang sangat kuat, kerja sama dengan pemerintah, swasta dan masyarakat yang saling melengkapi. Tri dharma kampus memang sesuatu yang utuh yang menempatkan kampus bukan sekedar menara gading.
Visi 2025 harus menginspirasi berbagai komponen di dalam dan di luar Unila untuk kemudian bergerak meraih asa. Sangat relevan untuk kembali mengingatkan, Unila yang awalnya dibangun dengan "semangat pejuang dan kebersamaan" masih diperlukan untuk mencapai visi 2025.
Semangat pejuang ini harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pencapain visi 2025. Pencapaian bukan semata dapat dikejar dengan angka-angka, melainkan nilai-nilai yang penuh semangat juang seperti yang dimiliki para perintis Unila. Tanpa pamrih.
Generasi demi generasi telah tumbuh di Unila, yang harusnya mampu melanjutkan semangat untuk maju, tetapi harus dibarengi dengan sikap menjunjung kebersamaan agar dapat menghadapi rintangan atau hambatan untuk maju.
Pekan-pekan ini akan dilangsungkan pemilihan rektor Unila, menggantikan Prof. Dr. Muhajir Utomo. Hendaknya bukan hanya memilih yang unggul saja, melainkan yang terbaik untuk membawa Unila ke depan.
* Anshori Djausal, Pembantu Rektor Unila Bidang Perencanaan dan Kerja Sama
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2007
SEMASA saya kecil, kedatangan Prof. Hilman Hadikusuma (alm.) ke rumah kami selalu menciptakan suasana yang penuh semangat. Beliau adalah sepupu orang tua saya. Kedatangannya selalu dengan cerita tentang berbagai hal yang menarik perhatian saya.
Beliau memang salah satu pemuda dan pejuang Lampung pada awal kemerdekaan. Beliau pernah cerita tentang upayanya akan mendirikan sebuah universitas di Lampung bersama beberapa nama yang kemudian saya kenal sebagai pendiri Unila.
Mereka di antaranya Abdoel Moeis Radja Hukum dan Alhusniduki Hamim. Mereka menjadi mahasiswa, sekaligus menangani sekretariat Fakultas Ekonomi, Hukum, Sosial. Alhusniduki Hamim kemudian merupakan alumni pertama menjadi rektor Unila pada awal 1990-an.
Masih tergambar ketika Prof. Hilman bercerita pada awal tahun 1960-an itu selalu disertai semangat pejuang yang sangat melekat pada beliau. Seperti, ketika beliau bercerita tentang masa agresi militer dan cerita lainnya. Setelah saya ikuti jejak beliau di Unila dan mengenal lebih banyak tentang sejarah Unila, saya percaya bahwa Unila didirikan oleh semangat "Pejuang".
Sebutlah nama-nama pendiri Unila seperti Hi. Zainal Abidin Pagar Alam dan Nadirsjah Zaini. Bagi yang pernah mengenal mereka akan sependapat, bahwa Universitas Lampung yang resmi lahir 23 September 1965 ini didirikan oleh semangat pejuang.
Semangat mendirikan sebuah universitas baru di Lampung saat itu jelas didorong oleh keberadaan Provinsi Lampung yang juga baru terbentuk. Pemerintahan Provinsi Lampung yang baru dan Universitas Lampung yang terbentuk setahun kemudian harus dilihat sebagai kebersamaan dalam mewarnai perkembangan daerah dan masyarakat Lampung.
Secara objektif dapat dilihat dari ketelibatan kelembagaan maupun personel, kebersamaan membangun daerah ini baik dari pihak pemerintah daerah maupun sebaliknya saling melengkapi.
Gubernur Lampung H. Zainal Abidin Pagar Alam pernah menjadi Ketua Presidium Universitas Lampung menggantikan Kusno Danupoyo. Sebaliknya, beberapa personel Unila saat itu pun harus berkiprah langsung atau turut membangun pada awal pemerintahan provinsi.
Rektor Unila Prof. Sitanala Arsyad (1973--1981) adalah perintis dibentuknya Badan Perencanaan Daerah. Beberapa nama lain dapat saja disebutkan dalam daftar yang panjang tentang hubungan saling menbangun ini. Awal tahun 1980-an, ketika saya mulai bergabung dengan Unila, saya masih merasakan semangat pejuang dan semangat kebersamaan untuk membangun Unila.
Saat ini, sudah hampir 40 tahun kemudian. Kampusnya berdiri anggun di Gedong Meneng. Mahasiswa lebih dari 24.000. Ada tujuh fakultas, 690 dosen dengan kualifikasi S2, 116 doktor dalam berbagai bidang ilmu, 17 guru besar, puluhan laboratorium.
Unila bukan lagi hanya sebuah universitas daerah, melainkan sudah merupakan universitas yang alumninya sudah berkiprah secara nasional. Unila sudah menjadi universitas nasional. Alumni Unila sampai wisuda yang terakhir, maret 2007 seluruhnya mencapai 54.675 orang.
Secara pasti Unila telah melangkah dalam kiprah yang lebih luas. Mahasiswa yang berminat masuk ke Unila bukan lagi berasal dari Lampung saja, melainkan juga dari daerah lain.
Kerja sama dengan University of Kentucky, terutama untuk pengiriman tugas belajar bagi dosen-dosen muda pada awal tahun 1980-an menandai perkembangan kualitas tenaga pengajar yang sangat berarti. Fakultas Pertanian (FP) yang memanfaatkan kerja sama ini, baik pengiriman dosen maupun pengembangan kelembagaan.
FP menjadi fakultas yang besar mengikuti FE dan FH yang telah lebih dahulu berkiprah. Kerja sama dengan University of Kentucky ini masih berlanjut sampai sekarang.
Awal tahun 1990-an merupakan awal berkembangnya FT dan FMIPA, selanjutnya PS. Kedokteran mulai dikembangkan pada awal 2000. Kemajuan Unila di bawah pimpinan rektor dari yang pertama sampai saat ini telah menempatkan Unila sebagai universitas yang penting di kawasan Indonesia bagian barat.
Berbagai kinerja dengan beberapa indikator dapat dilihat dari tahun ke tahun. Hasil audit kinerja kelembagaan Unila terakhir yang dilakukan Inspektorat Jendral Diknas menunjukkan nilai 3.83 (baik) dari skala 0 hingga 5.
Sejak awal delapan puluhan, Unila telah meletakkan dasar-dasar sistem informasi manajemen berbasis komputer. Unila menempatkan ICT (information, communication and technology) sebagai kebijakan penting dalam pengelolaan universitas secara luas. Sistem informasi akademik (siakad) di Unila sudah lama menjadi acuan bagi universitas lain.
Saat ini, setiap mahasiswa dapat mengakses informasi tentang kemajuan akademisnya, konsultasi dengan jurusannya dari mana saja. Informasi tentang ini lebih jauh dapat dilihat online pada: http://www.unila.ac.id/
Kerja sama tripartit, universitas, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat telah banyak dirintis dengan basis common interest, ketertarikan pada isu yang sama dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Termasuk dengan luar negeri, salah satu contoh adalah antara Unila, Toyohashi University of Technology dan JFE-Techno Research Corporation, Jepang tentang energi yang terbarukan.
Bentuk kerja sama pertukaran mahasiswa dan dosen juga berjalan sejak 2003 dengan CENEARC (Centre National d'Etudes Agronomiques des Regions Chaudes) yang berpusat di Montpellier, Prancis.
Sebuah program studi magister akan dibuka pada tahun 2008 dengan program Management of Natural Resources and Rural Development, dengan bahasa pengantar Inggris dan Indonesia. Program ini dilaksanakan bekerja sama dengan Lembaga Agris Mundus Uni Eropa yang beranggotakan enam negara Eropa dan delapan negara berkembang, Indonesia diwakili Unila.
Sebuah penelitian internasional yang terus menerus, kerja sama dengan negara tropis tentang keanekaragaman biota tanah tropik dan tentang metan serta biomassa. Unila secara nasional telah berhasil mengembangkan TOT (teknologi tanpa olah tanah), benih jagung srikandi dan teknologi lahan kering lainnya.
Sebuah penulisan buku tentang budaya Lampung juga sedang berjalan, yaitu kerja sama Unila dengan Kyoei University, Jepang. Penulisan ini berdasarkan kerja sama penelitian dalam waktu yang panjang.
Dalam waktu dekat, Unila akan mengembangkan pusat keunggulan berbasis biomassa. Pusat keunggulan ini telah menjadi kesepakatan bersama antara seluruh universitas di wilayah barat, Sumatera dan Kalimantan untuk membangun pusat keunggulan lokal dan wilayah.
Empat pusat keunggulan tersebut, pertama, pengelolaan lahan gambut (Unpar, Unsri, Unri, Untan); kedua, tanaman obat tropis (Unsyah, Unand, USU); ketiga, industri biomassa (Unila, Unib); dan keempat, kebakaran hutan (Unsri, Untan, Unpar).
Pusat keunggulan ini segera dibangun bekerja sama dengan berbagai pihak. Pendanaan telah mendapat persetujuan dari pemerinah pusat. Peningkatan kualitas belajar mengajar, penelitian dan pengembangan di Unila akan terus bergulir. Unila membuka jalan untuk berkiprah lebih luas.
Bagi awam mengukur pencapaian sebuah lembaga pendidikan tinggi seperti Unila saat ini tidak dapat melihatnya hanya sebagai sebuah sistem produksi, misalnya saja populernya sebuah lagu pop atau populernya mi instan. Atau seperti menggigit sebuah cabe rawit. Langsung pedas. Suatu proses pendidikan adalah dari generasi ke generasi.
Kiprah dan pencapaian sebuah lembaga pendidikan adalah "membangkitkan sebuah peradaban", merubah cara berpikir, membentuk cara hidup, membangun pengetahuan, membentuk sebuah kebudayaan, kemudian membangun peradaban. Unila dengan kapasitas kelembagaan seperti yang ada sekarang sudah pasti ikut "membangkitkan" daerah dan masyarakat Lampung.
Baru saja, senat Unila meluncurkan visi 2025. Pada tahun itu, Unila menjadi 10 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Memang bukan pekerjaan yang mudah. Memerlukan rencana strategis yang sangat kuat, kerja sama dengan pemerintah, swasta dan masyarakat yang saling melengkapi. Tri dharma kampus memang sesuatu yang utuh yang menempatkan kampus bukan sekedar menara gading.
Visi 2025 harus menginspirasi berbagai komponen di dalam dan di luar Unila untuk kemudian bergerak meraih asa. Sangat relevan untuk kembali mengingatkan, Unila yang awalnya dibangun dengan "semangat pejuang dan kebersamaan" masih diperlukan untuk mencapai visi 2025.
Semangat pejuang ini harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pencapain visi 2025. Pencapaian bukan semata dapat dikejar dengan angka-angka, melainkan nilai-nilai yang penuh semangat juang seperti yang dimiliki para perintis Unila. Tanpa pamrih.
Generasi demi generasi telah tumbuh di Unila, yang harusnya mampu melanjutkan semangat untuk maju, tetapi harus dibarengi dengan sikap menjunjung kebersamaan agar dapat menghadapi rintangan atau hambatan untuk maju.
Pekan-pekan ini akan dilangsungkan pemilihan rektor Unila, menggantikan Prof. Dr. Muhajir Utomo. Hendaknya bukan hanya memilih yang unggul saja, melainkan yang terbaik untuk membawa Unila ke depan.
* Anshori Djausal, Pembantu Rektor Unila Bidang Perencanaan dan Kerja Sama
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2007
Sastra: Kantor Bahasa Lampung Kembangkan Musikalisasi Puisi
BANDAR LAMPUNG, RABU- Kantor Balai Bahasa Lampung berupaya mengembangkan bengkel sastra musikalisasi puisi sebagai cara alternatif mengapresiasi puisi. Upaya itu ditempuh untuk mewadahi minat dan kreativitas berkesenian generasi muda Lampung.
Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardana, Rabu (13/2), mengatakan, puisi sebagai salah satu aliran sastra yang tidak begitu diminati sebelumnya hanya tampil konvensional melalui tampilan deklamasi atau pendramaan puisi. Dalam tiga tahun terakhir, kegiatan musikalisasi puisi sebagai cara lain mengapresiasi puisi baik dalam bentuk festival atau pertunjukan makin marak di Lampung.
"Yang menggembirakan, peserta atau pelaku musikalisasi puisi tersebut adalah siswa-siswa SMA se-Lampung. Banyaknya peserta siswa SMA menjadikan pengembangan musikalisasi di Lampung akan lebih panjang dan diharapkan bisa bertahan lama," katanya.
Dalam kurun waktu 2006-2007, para peserta SMA itu tidak hanya mengikuti festival, melainkan juga memenangi festival. Diantaranya Festival Musikalisasi Puisi tingkat provinsi, festival se-Sumatera, dan festival nasional. Dalam pandangan Agus Sri, potensi dan bakat berkesenian tersebut harus diwadahi supaya tidak putus.
Saat ini musikalisasi puisi yang diwadahi dalam bentuk bengkel sastra Kantor Bahasa Lampung tengah melatih 36 siswa SMA se-Lampung yang berminat pada musikalisasi puisi. Pelatihan selama tiga hari mulai Selasa (12/2) hingga Kamis (14/2) dilakukan bekerja sama dengan Deavies Sanggar Matahari yang merupakan penggiat musikalisasi puisi dari Jakarta. Selama pelatihan, para siswa mendapat gemblengan tentang musikalisasi puisi. (HLN)
Sumber: Kompas.com, Rabu, 13 Februari 2008
Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardana, Rabu (13/2), mengatakan, puisi sebagai salah satu aliran sastra yang tidak begitu diminati sebelumnya hanya tampil konvensional melalui tampilan deklamasi atau pendramaan puisi. Dalam tiga tahun terakhir, kegiatan musikalisasi puisi sebagai cara lain mengapresiasi puisi baik dalam bentuk festival atau pertunjukan makin marak di Lampung.
"Yang menggembirakan, peserta atau pelaku musikalisasi puisi tersebut adalah siswa-siswa SMA se-Lampung. Banyaknya peserta siswa SMA menjadikan pengembangan musikalisasi di Lampung akan lebih panjang dan diharapkan bisa bertahan lama," katanya.
Dalam kurun waktu 2006-2007, para peserta SMA itu tidak hanya mengikuti festival, melainkan juga memenangi festival. Diantaranya Festival Musikalisasi Puisi tingkat provinsi, festival se-Sumatera, dan festival nasional. Dalam pandangan Agus Sri, potensi dan bakat berkesenian tersebut harus diwadahi supaya tidak putus.
Saat ini musikalisasi puisi yang diwadahi dalam bentuk bengkel sastra Kantor Bahasa Lampung tengah melatih 36 siswa SMA se-Lampung yang berminat pada musikalisasi puisi. Pelatihan selama tiga hari mulai Selasa (12/2) hingga Kamis (14/2) dilakukan bekerja sama dengan Deavies Sanggar Matahari yang merupakan penggiat musikalisasi puisi dari Jakarta. Selama pelatihan, para siswa mendapat gemblengan tentang musikalisasi puisi. (HLN)
Sumber: Kompas.com, Rabu, 13 Februari 2008
Siswa Enggan Pelajari Bahasa Indonesia
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Para siswa enggan mempelajari bahasa Indonesia. Selain dianggap sebagai bahasa sendiri, juga karena penyajian dan penyampaian materi pelajaran tersebut tidak menarik.
Demikian disampaikan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardana, M. Hum., di sela-sela Pelatihan Musikalisasi Puisi untuk Pelajar SMA Provinsi Lampung yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2).
Akibat minimnya minat siswa mempelajari pelajaran tersebut, banyak siswa mendapatkan nilai minim di rapor pada mata pelajaran ini. "Ini kan lucu. Padahal bahasa sendiri, kenapa mereka mendapatkan nilai minim. Itu semua karena materi penyajiannya tidak menarik sehingga membuat siswa bosan untuk mempelajari pelajaran tersebut," ujar dia.
Yang lebih parah lagi pelajaran Sastra Indonesia. Para siswa sama sekali tidak berminat mempelajari pelajaran tersebut.
Siswa enggan mempelajari bahasa Indonesia dan sastra karena terlalu banyak difokuskan kepada keilmuan bukan bagaimana cara memanfaatkan bahasa san sastra tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Parahnya, sebagian besar guru Bahasa Indonesia enggan mengajarkan sastra kepada siswa. Bahkan, ujar dia, dalam pelajaran sastra yang disatukan pelajaran Bahasa Indonesia tersebut, banyak guru yang enggan "menyentuh" dan justru menghindari pelajaran tersebut. Mereka berpikir yang berkompeten memberikan pelajaran sastra hanya sastrawan bukan guru Bahasa Indonesia.
Dengan demikian, banyak guru "terpaksa" mengajar sastra karena tuntutan kurikulum bukan atas dasar bagaimana meningkatkan pemahaman dan apresiasi siswa terhadap sebuah karya sastra. "Sebab itu, saat mengajar, mereka hanya mengajarkan memperkenalkan, seperti Sutan Takdir Alisyahbana (STA) sebagai angkatan Pujangga Baru, tanpa mencoba bagaimana mengapresiasi karya STA tersebut," ujar dia.
Sebab itu, pemikiran tersebut harus diubah. Dia mencontohkan pelatih sepak bola, belum tentu mereka seorang pemain sepak bola andal. Juga guru Matematika bukan harus mereka ahli matematika.
Untuk meruntuhkan benteng tersebut, kata dia, perlu diberikan penyegaran dan pelatihan para guru Bahasa Indonesia agar mampu meningkatkan apresiasi dan membuat cara jitu dan menarik saat mengajar sehingga siswa mencintai pelajaran tersebut. Supaya pelajaran tersebut dapat menarik siswa harus dikemas dengan baik. Seperti saat mengajar guru sambil bercerita atau diajarkan bagaimana cara membuat karangan, tulisan yang baik, puisi, cara mengapresiasi karya sastra, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia, pihaknya juga akan menggalakkan Gerakan Cinta Bahasa Indonesia (GCBI) kepada para siswa. Tahun ini juga dijadikan sebagai Tahun Bahasa dan Sastra. "Tahun sebelumnya jika setiap bulan Oktober merupakan bulan bahasa, maka tahun ini dijadikan Tahun Bahasa dan Sastra. Tahun ini harus kita jadikan momentum meningkatkan kecintaan terhadap bahasa sendiri," ujar dia.
Selain itu untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap puisi, pihaknya menggelar musikalisasi puisi yang diikuti 36 peserta dari 6 SMA, yaitu SMAN 2, SMAN 4, SMAN 11, dan SMA Taman Siswa Bandar Lampung, SMAN 1 Natar, Lampung Selatan, dan SMAN 1 Seputih Agung, Lampung Tengah. n AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Demikian disampaikan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardana, M. Hum., di sela-sela Pelatihan Musikalisasi Puisi untuk Pelajar SMA Provinsi Lampung yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2).
Akibat minimnya minat siswa mempelajari pelajaran tersebut, banyak siswa mendapatkan nilai minim di rapor pada mata pelajaran ini. "Ini kan lucu. Padahal bahasa sendiri, kenapa mereka mendapatkan nilai minim. Itu semua karena materi penyajiannya tidak menarik sehingga membuat siswa bosan untuk mempelajari pelajaran tersebut," ujar dia.
Yang lebih parah lagi pelajaran Sastra Indonesia. Para siswa sama sekali tidak berminat mempelajari pelajaran tersebut.
Siswa enggan mempelajari bahasa Indonesia dan sastra karena terlalu banyak difokuskan kepada keilmuan bukan bagaimana cara memanfaatkan bahasa san sastra tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Parahnya, sebagian besar guru Bahasa Indonesia enggan mengajarkan sastra kepada siswa. Bahkan, ujar dia, dalam pelajaran sastra yang disatukan pelajaran Bahasa Indonesia tersebut, banyak guru yang enggan "menyentuh" dan justru menghindari pelajaran tersebut. Mereka berpikir yang berkompeten memberikan pelajaran sastra hanya sastrawan bukan guru Bahasa Indonesia.
Dengan demikian, banyak guru "terpaksa" mengajar sastra karena tuntutan kurikulum bukan atas dasar bagaimana meningkatkan pemahaman dan apresiasi siswa terhadap sebuah karya sastra. "Sebab itu, saat mengajar, mereka hanya mengajarkan memperkenalkan, seperti Sutan Takdir Alisyahbana (STA) sebagai angkatan Pujangga Baru, tanpa mencoba bagaimana mengapresiasi karya STA tersebut," ujar dia.
Sebab itu, pemikiran tersebut harus diubah. Dia mencontohkan pelatih sepak bola, belum tentu mereka seorang pemain sepak bola andal. Juga guru Matematika bukan harus mereka ahli matematika.
Untuk meruntuhkan benteng tersebut, kata dia, perlu diberikan penyegaran dan pelatihan para guru Bahasa Indonesia agar mampu meningkatkan apresiasi dan membuat cara jitu dan menarik saat mengajar sehingga siswa mencintai pelajaran tersebut. Supaya pelajaran tersebut dapat menarik siswa harus dikemas dengan baik. Seperti saat mengajar guru sambil bercerita atau diajarkan bagaimana cara membuat karangan, tulisan yang baik, puisi, cara mengapresiasi karya sastra, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia, pihaknya juga akan menggalakkan Gerakan Cinta Bahasa Indonesia (GCBI) kepada para siswa. Tahun ini juga dijadikan sebagai Tahun Bahasa dan Sastra. "Tahun sebelumnya jika setiap bulan Oktober merupakan bulan bahasa, maka tahun ini dijadikan Tahun Bahasa dan Sastra. Tahun ini harus kita jadikan momentum meningkatkan kecintaan terhadap bahasa sendiri," ujar dia.
Selain itu untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap puisi, pihaknya menggelar musikalisasi puisi yang diikuti 36 peserta dari 6 SMA, yaitu SMAN 2, SMAN 4, SMAN 11, dan SMA Taman Siswa Bandar Lampung, SMAN 1 Natar, Lampung Selatan, dan SMAN 1 Seputih Agung, Lampung Tengah. n AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Seni: Musikalisasi Puisi Makin Berkembang
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Musikalisasi puisi di Indonesia makin berkembang, khususnya di daerah-daerah. Terbukti dengan diborongnya penghargaan festival musikalisasi puisi tingkat nasional di Jakarta beberapa waktu lalu, seluruh pemenangnya adalah siswa sekolah menengah atas (SMA) dari daerah.
Pimpinan Deavies Sanggar Matahari Jakarta, Fredie Arsi, mengemukakan hal tersebut saat ditemui di sela-sela kegiatan Pelatihan Musikalisasi Puisi untuk Pelajar SMA Provinsi Lampung yang digelar di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2). Dia mengatakan awal berkembangnya seni musikalisasi puisi sekitar tahun 1990 lalu. "Saat itu pertama kali digelar Festival Musikalisasi Puisi untuk tingkat pelajar SMA yang diadakan Kantor Pusat Bahasa. Setelahnya kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang digelar setiap tahunnya," kata Fredie.
Kemudian pada tahun 1994, Kantor Bahasa mengeluarkan program Bengkel Sastra di mana dilakukan semacam pelatihan bagi guru dan siswa yang semakin peduli mengembangkan musikalisasi puisi. "Barulah pada tahun 1999, Bengkel Sastra mulai didirikan di daerah seperti Medan, Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin. Dan saat ini, hampir di seluruh provinsi di Indonesia sudah ada," ujar dia.
Kemudian oleh Balai Bahasa, program musikalisasi puisi semakin dikenalkan kepada pelajar di setiap daerah. "Meskipun musikalisasi puisi ini sudah ada sejak dulu dan berkembang dalam budaya kita seperti dari Aceh yang memiliki budaya bersyair. Atau budaya di Riau di mana saat akan menangkap madu juga melafalkan mantra seperti bentuk musikalisasi puisi," ujarnya.
Karena itu, perkembangan musikalisasi puisi bagi pelajar SMA di daerah berkembang dengan baik. "Selain juga terjalinnya hubungan yang baik antarpeserta dengan pelatih dan Kantor Bahasa. Sehingga makin memupuk rasa kedekatan emosional yang mendorong perkembangan musikalisasi puisi di daerah berjalan dengan baik," ujar dia. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Pimpinan Deavies Sanggar Matahari Jakarta, Fredie Arsi, mengemukakan hal tersebut saat ditemui di sela-sela kegiatan Pelatihan Musikalisasi Puisi untuk Pelajar SMA Provinsi Lampung yang digelar di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Rabu (13-2). Dia mengatakan awal berkembangnya seni musikalisasi puisi sekitar tahun 1990 lalu. "Saat itu pertama kali digelar Festival Musikalisasi Puisi untuk tingkat pelajar SMA yang diadakan Kantor Pusat Bahasa. Setelahnya kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang digelar setiap tahunnya," kata Fredie.
Kemudian pada tahun 1994, Kantor Bahasa mengeluarkan program Bengkel Sastra di mana dilakukan semacam pelatihan bagi guru dan siswa yang semakin peduli mengembangkan musikalisasi puisi. "Barulah pada tahun 1999, Bengkel Sastra mulai didirikan di daerah seperti Medan, Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin. Dan saat ini, hampir di seluruh provinsi di Indonesia sudah ada," ujar dia.
Kemudian oleh Balai Bahasa, program musikalisasi puisi semakin dikenalkan kepada pelajar di setiap daerah. "Meskipun musikalisasi puisi ini sudah ada sejak dulu dan berkembang dalam budaya kita seperti dari Aceh yang memiliki budaya bersyair. Atau budaya di Riau di mana saat akan menangkap madu juga melafalkan mantra seperti bentuk musikalisasi puisi," ujarnya.
Karena itu, perkembangan musikalisasi puisi bagi pelajar SMA di daerah berkembang dengan baik. "Selain juga terjalinnya hubungan yang baik antarpeserta dengan pelatih dan Kantor Bahasa. Sehingga makin memupuk rasa kedekatan emosional yang mendorong perkembangan musikalisasi puisi di daerah berjalan dengan baik," ujar dia. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Tokoh: Alhusniduki Hamim Berpulang ke Rahmatullah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mantan Rektor Universitas Lampung yang juga Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Wahana Raharja Alhusniduki Hamim, meninggal dunia di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, Rabu (13-2) sekitar pukul 18.50 WIB.
Mantan Rektor Unila periode 1990--1998 itu mengidap kanker usus sejak tiga bulan lalu. Alhusniduki meninggalkan seorang istri, Hj. Dewi Sriyati dan 7 putra-putri.
Menurut Rudi Priya Jaya, menantu Alhusniduki, mertuanya masuk RS Dharmais sejak dua pekan lalu. "Masuk rumah sakit baru dua pekan. Kalau pengobatan sudah ada empat bulanan," ujar Rudi.
Tadi malam, jenazah Ketua Umum Dewan Pendidikan Lampung itu langsung dibawa ke Lampung. Hari ini (14-2), tokoh yang wafat dalam usia 69 tahun itu akan dimakamkan di Menggala, Tulangbawang. "Lokasi pastinya masih menunggu rembukan keluarga," ujar Rudi.
Alhusniduki menjabat rektor Unila selama delapan tahun. Almarhum menjadi PNS sejak 1961--2005. Pada 1978--1981, tokoh yang akrab disapa Pak Duki ini menjabat pembantu rektor (PR) I Unila.
Dekan Fakultas Ekonomi Unila dijabat 1985--1988, kemudian dikukuhkan sebagai rektor 1990--1998.
Terakhir, Duki menjabat direktur utama Perusahaan Daerah Wahana Raharja periode 2005--2009.
Rektor Unila Prof. Sugeng P. Hariyanto dan civitas academica Unila sangat kehilangan dengan kepulangan cendekiawan muslim itu. Menurut rencana, Unila melakukan upacara khusus sebelum pemakaman.
"Kami sudah mengutus PR II untuk meminta kepada keluarga beliau agar Pak Duki dapat disemayamkan di Unila. Kami akan menggelar upacara khusus jika keluarga mengizinkan," kata Sugeng, tadi malam.
Direktur Umum PD Wahana Raharja Ferdi Gunsan mengatakan Alhusniduki tidak aktif sebagai dirut sejak November lalu. "Beliau menjalani pengobatan ke Tokyo, Jepang," ujar Plt. Dirut PD Wahana Raharja itu.
"Bagi saya, Pak Duki itu tokoh besar, akademisi, dan seorang profesional yang membanggakan," ujar Ferdi.
Alhusniduki lahir di Menggala, 10 Desember 1939. Dia menamatkan Sekolah Rakyat pada 1953, SMP (1956), SMA (1959), sarjana muda ekonomi Universitas Sriwijaya (1963), dan sarjana ekonomi Unila (1968). Duki menyelesaikan master of agricultural development economics di Australian National University, Canberra, Australia (1977), master of science in agricultural economics, University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (1984), dan kandidat doktor IPB, Bogor (1985). n KIM/U-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Baca juga: Unila Dibangun oleh Pejuang
Mantan Rektor Unila periode 1990--1998 itu mengidap kanker usus sejak tiga bulan lalu. Alhusniduki meninggalkan seorang istri, Hj. Dewi Sriyati dan 7 putra-putri.
Menurut Rudi Priya Jaya, menantu Alhusniduki, mertuanya masuk RS Dharmais sejak dua pekan lalu. "Masuk rumah sakit baru dua pekan. Kalau pengobatan sudah ada empat bulanan," ujar Rudi.
Tadi malam, jenazah Ketua Umum Dewan Pendidikan Lampung itu langsung dibawa ke Lampung. Hari ini (14-2), tokoh yang wafat dalam usia 69 tahun itu akan dimakamkan di Menggala, Tulangbawang. "Lokasi pastinya masih menunggu rembukan keluarga," ujar Rudi.
Alhusniduki menjabat rektor Unila selama delapan tahun. Almarhum menjadi PNS sejak 1961--2005. Pada 1978--1981, tokoh yang akrab disapa Pak Duki ini menjabat pembantu rektor (PR) I Unila.
Dekan Fakultas Ekonomi Unila dijabat 1985--1988, kemudian dikukuhkan sebagai rektor 1990--1998.
Terakhir, Duki menjabat direktur utama Perusahaan Daerah Wahana Raharja periode 2005--2009.
Rektor Unila Prof. Sugeng P. Hariyanto dan civitas academica Unila sangat kehilangan dengan kepulangan cendekiawan muslim itu. Menurut rencana, Unila melakukan upacara khusus sebelum pemakaman.
"Kami sudah mengutus PR II untuk meminta kepada keluarga beliau agar Pak Duki dapat disemayamkan di Unila. Kami akan menggelar upacara khusus jika keluarga mengizinkan," kata Sugeng, tadi malam.
Direktur Umum PD Wahana Raharja Ferdi Gunsan mengatakan Alhusniduki tidak aktif sebagai dirut sejak November lalu. "Beliau menjalani pengobatan ke Tokyo, Jepang," ujar Plt. Dirut PD Wahana Raharja itu.
"Bagi saya, Pak Duki itu tokoh besar, akademisi, dan seorang profesional yang membanggakan," ujar Ferdi.
Alhusniduki lahir di Menggala, 10 Desember 1939. Dia menamatkan Sekolah Rakyat pada 1953, SMP (1956), SMA (1959), sarjana muda ekonomi Universitas Sriwijaya (1963), dan sarjana ekonomi Unila (1968). Duki menyelesaikan master of agricultural development economics di Australian National University, Canberra, Australia (1977), master of science in agricultural economics, University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (1984), dan kandidat doktor IPB, Bogor (1985). n KIM/U-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Februari 2008
Baca juga: Unila Dibangun oleh Pejuang
February 12, 2008
Suoh Miliki Potensi Wisata Panas Bumi dan Danau
Bandarlampung, 12/2 (ANTARA) - Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat atau sekitar 250 Km dari Bandarlampung memiliki potensi wisata yang cukup bagus berupa panas bumi yang setiap saat airnya mengeluarkan gelembung dan letupan serta empat buah danau berukuran cukup luas.
Mantan Camat Suoh, Rusli Rasyid, mengatakan di Bandarlampung, Selasa (12/2), objek wisata itu terletak di Dusun Kalibata, Desa Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, pada kedua tempat itu potensi panas bumi dan danau belum dikelola secara baik oleh pemerintah kabupaten setempat untuk dijadikan kawasan wisata.
Menurutnya kedua objek wisata itu sangat bagus dan jika dikelola secara baik oleh pemerintah setempat tidak mustahil turis lokal maupun mancanegara akan banyak yang datang untuk melihat keindahan alam di sana.
"Lokasi panas bumi dan danau berada di bawah pegunungan di sekitar kawasan antara hutan lindung dan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS)," katanya.
Ia menyebutkan ada sekitar belasan lubang berbentuk kolam, baik besar maupun kecil mengeluarkan gelembung air yang sedang mendidih dan mengeluarkan bunyi letupan-letupan kecil serta asap yang membumbung ke udara.
Bau belerangpun di sekitar kolam-kolam itu sangat menyengat hidung. Warga setempat banyak memberikan nama-nama di lokasi panas bumi tersebut seperti Keramikan, Pasirkuning, gunung goyang, dan nama lainnya.
Sementara di lokasi itu juga terdapat empat danau besar yang cukup indah, yakni Danau Asem, Danau Minyak, Danau Belibis, dan Danau Lebar.
Luas masing-masing danau bisa mencapai ratusan hektare, Danau Asem misalnya memiliki luas kurang lebih 160 ha.
Pengunjung objek wisata itu didominasi oleh warga sekitar sisanya dari kabupaten/kota lain serta turis dan peneliti asing.
Rendahnya kunjungan ke tempat itu akibat sarana dan prasarana jalan kurang baik. Jalan menuju kelokasi wisata itu tidak beraspal melainkan berbatu dan tanah merah.
"Kawasan ini masih terisolasi karena infrastrukturnya belum memadai," tambahnya.
Sementara itu beberapa kalangan juga menilai pemerintah setempat sepertinya kurang peduli dengan objek wisata cukup bagus itu.
"Objek wisata berupa panas bumi sangat jarang ditemui bahkan di dunia pun sangat sedikit," kata Rusli lagi.
Selain itu pemerintah setempat kurang melakukan promosi tentang objek wisata itu, sehingga wajar dunia luar tidak mengetahuinya.
"Turis asing mengetahui lokasi wisata panas bumi ini dari mulut-ke mulut temannya yang telah mengunjungi tempat itu lebih dahulu," katanya.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
Mantan Camat Suoh, Rusli Rasyid, mengatakan di Bandarlampung, Selasa (12/2), objek wisata itu terletak di Dusun Kalibata, Desa Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, pada kedua tempat itu potensi panas bumi dan danau belum dikelola secara baik oleh pemerintah kabupaten setempat untuk dijadikan kawasan wisata.
Menurutnya kedua objek wisata itu sangat bagus dan jika dikelola secara baik oleh pemerintah setempat tidak mustahil turis lokal maupun mancanegara akan banyak yang datang untuk melihat keindahan alam di sana.
"Lokasi panas bumi dan danau berada di bawah pegunungan di sekitar kawasan antara hutan lindung dan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS)," katanya.
Ia menyebutkan ada sekitar belasan lubang berbentuk kolam, baik besar maupun kecil mengeluarkan gelembung air yang sedang mendidih dan mengeluarkan bunyi letupan-letupan kecil serta asap yang membumbung ke udara.
Bau belerangpun di sekitar kolam-kolam itu sangat menyengat hidung. Warga setempat banyak memberikan nama-nama di lokasi panas bumi tersebut seperti Keramikan, Pasirkuning, gunung goyang, dan nama lainnya.
Sementara di lokasi itu juga terdapat empat danau besar yang cukup indah, yakni Danau Asem, Danau Minyak, Danau Belibis, dan Danau Lebar.
Luas masing-masing danau bisa mencapai ratusan hektare, Danau Asem misalnya memiliki luas kurang lebih 160 ha.
Pengunjung objek wisata itu didominasi oleh warga sekitar sisanya dari kabupaten/kota lain serta turis dan peneliti asing.
Rendahnya kunjungan ke tempat itu akibat sarana dan prasarana jalan kurang baik. Jalan menuju kelokasi wisata itu tidak beraspal melainkan berbatu dan tanah merah.
"Kawasan ini masih terisolasi karena infrastrukturnya belum memadai," tambahnya.
Sementara itu beberapa kalangan juga menilai pemerintah setempat sepertinya kurang peduli dengan objek wisata cukup bagus itu.
"Objek wisata berupa panas bumi sangat jarang ditemui bahkan di dunia pun sangat sedikit," kata Rusli lagi.
Selain itu pemerintah setempat kurang melakukan promosi tentang objek wisata itu, sehingga wajar dunia luar tidak mengetahuinya.
"Turis asing mengetahui lokasi wisata panas bumi ini dari mulut-ke mulut temannya yang telah mengunjungi tempat itu lebih dahulu," katanya.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
VLY 2009: Lampung Aktifkan Polisi Pariwisata
Bandarlampung, 12/2 (ANTARA) - Kepolisian Daerah (Polda) Lampung mengaktifkan kembali polisi pariwisata guna menunjang Visit Indonesia Year (VIY) 2008 dan Visit Lampung Year (VLY) 2009.
"Kita akui, kegiatan pariwisata di Lampung tidak sesibuk seperti di Bali atau Jogja, namun ada dua agenda nasional setiap tahun yakni Festival Krakatau dan Festival Way Kambas," kata Kapolda Lampung Brigjen Suharijono K, di Bandarlampung, Selasa (12/2).
Karena itu, lanjut dia, polisi pariwisata yang sudah ada akan dioptimalkan guna menunjang kegiatan tersebut, termasuk menunjang program pemerintah yakni VIY 2008 dan VLY 2009.
Ia menjelaskan, terkait VIY 2008 dan VLY 2009, sudah menyusun rencana pengamanan dan menyiapkan petugasnya.
Terkait kekhawatiran pemilik tempat usaha hiburan dengan kerapnya razia, Kapolda menjamin jika lokasi tersebut memang aman dan tidak disalahgunakan maka tidak akan dirazia.
"Razia ke tempat hiburan karena modus operandi penyalahgunaan narkoba menggunakan tempat-tempat tersebut. Apalagi, pada dasarnya dimana pun tempat jika ditengarai ada kegiatan pelanggaran akan dilakuan operasi," katanya.
Namun, ujar Kapolda Lampung itu, jajarannya tidak akan setiap saat merazia tempat hiburan, karena bisa mengganggu kenyamanan tamu, sehingga razia dilaksanakan tetap dalam koridor kewajaran.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
"Kita akui, kegiatan pariwisata di Lampung tidak sesibuk seperti di Bali atau Jogja, namun ada dua agenda nasional setiap tahun yakni Festival Krakatau dan Festival Way Kambas," kata Kapolda Lampung Brigjen Suharijono K, di Bandarlampung, Selasa (12/2).
Karena itu, lanjut dia, polisi pariwisata yang sudah ada akan dioptimalkan guna menunjang kegiatan tersebut, termasuk menunjang program pemerintah yakni VIY 2008 dan VLY 2009.
Ia menjelaskan, terkait VIY 2008 dan VLY 2009, sudah menyusun rencana pengamanan dan menyiapkan petugasnya.
Terkait kekhawatiran pemilik tempat usaha hiburan dengan kerapnya razia, Kapolda menjamin jika lokasi tersebut memang aman dan tidak disalahgunakan maka tidak akan dirazia.
"Razia ke tempat hiburan karena modus operandi penyalahgunaan narkoba menggunakan tempat-tempat tersebut. Apalagi, pada dasarnya dimana pun tempat jika ditengarai ada kegiatan pelanggaran akan dilakuan operasi," katanya.
Namun, ujar Kapolda Lampung itu, jajarannya tidak akan setiap saat merazia tempat hiburan, karena bisa mengganggu kenyamanan tamu, sehingga razia dilaksanakan tetap dalam koridor kewajaran.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
Hak Anak dan Budaya Lampung akan Diatur dalam Perda
Bandarlampung, 12/2 (ANTARA) - Pemerintah Daerah Provinsi Lampung tengah membahas sembilan rancangan peraturan daerah, diantaranya pelayanan terhadap hak anak, pemeliharaan budaya Lampung dan retribusi penggantian biaya administrasi.
Wakil Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu, di Bandarlampung, Selasa (12/1), mengatakan, perda tersebut dibentuk dalam rangka menyelenggarakan kewajiban pemerintah daerah, khususnya di bidang sosial kemasyarakatan, budaya, dan pelayanan terhadap masyarakat.
Ia menjelaskan, raperda tentang pelayanan terhadap hak-hak anak dan
pemeliharaan kebudayaan Lampung itu merupakan objek baru yang belum pernah diatur sebelumnya di daerah lain dalam bentuk peraturan daerah.
"Pertimbangan pembentukan perda tersebut yakni dalam rangka penyelenggaraan kewajiban pemerintah daerah khususnya di bidang sosial kemasyarakatan dan budaya," kata dia.
Selain itu, agar pelayanan dan upaya perlindungan terhadap hak-hak anak dapat lebih terjamin dan kebudayaan Lampung dapat lebih tergali, terpelihara dan dapat dikembangkan secara optimal, terkoordinasi, berdayaguna dan berhasilguna yang akan menambah khasanah budaya nasional.
Kesembilan raperda tersebut yakni pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi penjualan produksi usaha daerah, retribusi penggantian biaya administrasi.
Kemudian, retribusi pelayanan tera, tera ulang dan kalibrasi alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya serta pengujian barang dalam keadaan terbungkus.
Selain itu adalah Raperda penyertaan modal daerah pada perseroan terbatas, pelayanan terhadap hak-hak anak, dan pemeliharaan kebudayaan Lampung.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
Wakil Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu, di Bandarlampung, Selasa (12/1), mengatakan, perda tersebut dibentuk dalam rangka menyelenggarakan kewajiban pemerintah daerah, khususnya di bidang sosial kemasyarakatan, budaya, dan pelayanan terhadap masyarakat.
Ia menjelaskan, raperda tentang pelayanan terhadap hak-hak anak dan
pemeliharaan kebudayaan Lampung itu merupakan objek baru yang belum pernah diatur sebelumnya di daerah lain dalam bentuk peraturan daerah.
"Pertimbangan pembentukan perda tersebut yakni dalam rangka penyelenggaraan kewajiban pemerintah daerah khususnya di bidang sosial kemasyarakatan dan budaya," kata dia.
Selain itu, agar pelayanan dan upaya perlindungan terhadap hak-hak anak dapat lebih terjamin dan kebudayaan Lampung dapat lebih tergali, terpelihara dan dapat dikembangkan secara optimal, terkoordinasi, berdayaguna dan berhasilguna yang akan menambah khasanah budaya nasional.
Kesembilan raperda tersebut yakni pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi penjualan produksi usaha daerah, retribusi penggantian biaya administrasi.
Kemudian, retribusi pelayanan tera, tera ulang dan kalibrasi alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya serta pengujian barang dalam keadaan terbungkus.
Selain itu adalah Raperda penyertaan modal daerah pada perseroan terbatas, pelayanan terhadap hak-hak anak, dan pemeliharaan kebudayaan Lampung.
Sumber: Antara, 12 Februari 2008
February 11, 2008
Udo Z. Karzi: Rebellious writer from Lampung
-- Oyos Saroso H.N., The Jakarta Post, Bandarlampung
WHEN Lampung literary figure Udo Z. Karzi was named as one of seven winners of the 2008 Rancage Literary Award, it surprised many customary leaders in his hometown of Lampung.
Udo Z. Karzi (JP/Oyos Saroso HN)
They found it hard to believe that a foundation from another province would recognize the work of a writer from Lampung, where the literary world and local language are hardly developed and even are under threat of extinction.
The awards were presented by the West Java-based Rancage Cultural Foundation in Bandung on Jan. 31 to seven people, including Udo, for their creative excellence as well as dedication to preserving local literary traditions.
On its 20th anniversary this year, Rancage gave the awards to Indonesian men and women who write in languages increasingly sidelined by modernization.
Udo Z. Karzi is the pen name of 37-year-old Zulkarnain Zubairi, a journalist who is also a literary figure.
Since 1999, the man, who was born in the West Lampung town of Liwa, has consistently gone against the grain by producing poetry in Lampung language.
One of his books, Mak Dawah Mak Dibingi (No Day and Night), saw him win the award, the brainchild of the chairman of the foundation's board, Ajip Rosidi.
When compiling his works into a book titled Momentum (Moment) back in 2002, Udo became a target of the customary leaders' anger. They believed his work depreciated the Lampung language since he was using the language used by common people, not the formal variety.
They insisted Lampung poetry have its own structure, which should not be violated. They also believed he failed to include Lampung's philosophical values, considered sacred by the customary leaders, in his works.
Through his works, Udo criticizes Lampung's tradition and custom, which he claims is responsible for the slow development of Lampung's literary world.
"Even I was criticized and became a target of people's anger ... I don't care," said the writer, who finished reading Sebatang Kara (On His Own), a novel by Hector Melot, when he was still a third-grader.
Receiving the award, he said, made him excited and nervous at the same time.
"I feel tense considering that the book, Mak Dawah Mak Dibingi, serves as an opening door to fight for Lampung's literary existence. After this, Lampung literary figures, who produce works in Indonesian, should try to produce their works in the Lampung language," he said.
He said the Rancage Literary Award he received should also encourage other Lampung literary figures, who are currently spellbound by oral traditions, to write.
"At least, there should be a kind of resurrection of the Lampung literary world along with a growing confidence among Lampung language speakers that their language can also be stylish, modern and be used as media for creative-imaginative work just like other languages, such as the Sundanese, Javanese and Balinese languages."
Udo said he became tired of trying to publish a compilation of his poetry, as he was continuously rejected by publishers who claimed that Lampung people were not aware of his poetry style.
"I was surprised by these rejections. If poetry written in Javanese, Sundanese and Balinese languages could get published, why can't those in the Lampung language? Fortunately for me, I met 'crazy people' who were willing to publish my work," he said.
He added, however, it would be difficult to develop Lampung's literary world since most young people in Lampung could not speak the language.
"If young Lampung people can not even speak the language, it will be hard for them to write it," he said.
The present reality is, he said, many people turn to Lampung oral traditions, with training even provided on the trend.
"I have no objection to the trend but I regret that many Lampung artists are deeply involved in oral traditions. There are those who have documented the oral traditions into recordings or books but the Lampung literary tradition still gets nowhere.
"With these concerns in mind, I write in the Lampung language in a hope the language will not become completely lost," said the father of one.
Another factor he believed was responsible for diminishing Lampung literary works was the absence of media, such as newspapers or magazines, which carry such works.
"Lampung language is different to Javanese, Sundanese or Balinese languages, which flourished due to the media that publish literary works in those languages.
"In Lampung alone, only 15 percent of some seven million people still speak the language. This is the main problem in developing the Lampung language and literary world," he said.
Aside from getting his work published, Udo has also turned to the Internet, creating his own blog (www.udozkarzi.blogspot.com), which showcases his works and thoughts, all in the Lampung language.
"If Lampung language becomes extinct, at least my writing on the blog can serve as a work of Lampung language that remains."
As of this year, the Rancage Foundation will regularly award literary works in four local languages - Sundanese, Javanese, Balinese and Lampung.
"In another words, there is no excuse. Lampung should publish its own literary books, or at least one book a year. This is good news for Lampung writers and is a big challenge."
Sumber: The Jakarta Post, February 11, 2008
WHEN Lampung literary figure Udo Z. Karzi was named as one of seven winners of the 2008 Rancage Literary Award, it surprised many customary leaders in his hometown of Lampung.
Udo Z. Karzi (JP/Oyos Saroso HN)
They found it hard to believe that a foundation from another province would recognize the work of a writer from Lampung, where the literary world and local language are hardly developed and even are under threat of extinction.
The awards were presented by the West Java-based Rancage Cultural Foundation in Bandung on Jan. 31 to seven people, including Udo, for their creative excellence as well as dedication to preserving local literary traditions.
On its 20th anniversary this year, Rancage gave the awards to Indonesian men and women who write in languages increasingly sidelined by modernization.
Udo Z. Karzi is the pen name of 37-year-old Zulkarnain Zubairi, a journalist who is also a literary figure.
Since 1999, the man, who was born in the West Lampung town of Liwa, has consistently gone against the grain by producing poetry in Lampung language.
One of his books, Mak Dawah Mak Dibingi (No Day and Night), saw him win the award, the brainchild of the chairman of the foundation's board, Ajip Rosidi.
When compiling his works into a book titled Momentum (Moment) back in 2002, Udo became a target of the customary leaders' anger. They believed his work depreciated the Lampung language since he was using the language used by common people, not the formal variety.
They insisted Lampung poetry have its own structure, which should not be violated. They also believed he failed to include Lampung's philosophical values, considered sacred by the customary leaders, in his works.
Through his works, Udo criticizes Lampung's tradition and custom, which he claims is responsible for the slow development of Lampung's literary world.
"Even I was criticized and became a target of people's anger ... I don't care," said the writer, who finished reading Sebatang Kara (On His Own), a novel by Hector Melot, when he was still a third-grader.
Receiving the award, he said, made him excited and nervous at the same time.
"I feel tense considering that the book, Mak Dawah Mak Dibingi, serves as an opening door to fight for Lampung's literary existence. After this, Lampung literary figures, who produce works in Indonesian, should try to produce their works in the Lampung language," he said.
He said the Rancage Literary Award he received should also encourage other Lampung literary figures, who are currently spellbound by oral traditions, to write.
"At least, there should be a kind of resurrection of the Lampung literary world along with a growing confidence among Lampung language speakers that their language can also be stylish, modern and be used as media for creative-imaginative work just like other languages, such as the Sundanese, Javanese and Balinese languages."
Udo said he became tired of trying to publish a compilation of his poetry, as he was continuously rejected by publishers who claimed that Lampung people were not aware of his poetry style.
"I was surprised by these rejections. If poetry written in Javanese, Sundanese and Balinese languages could get published, why can't those in the Lampung language? Fortunately for me, I met 'crazy people' who were willing to publish my work," he said.
He added, however, it would be difficult to develop Lampung's literary world since most young people in Lampung could not speak the language.
"If young Lampung people can not even speak the language, it will be hard for them to write it," he said.
The present reality is, he said, many people turn to Lampung oral traditions, with training even provided on the trend.
"I have no objection to the trend but I regret that many Lampung artists are deeply involved in oral traditions. There are those who have documented the oral traditions into recordings or books but the Lampung literary tradition still gets nowhere.
"With these concerns in mind, I write in the Lampung language in a hope the language will not become completely lost," said the father of one.
Another factor he believed was responsible for diminishing Lampung literary works was the absence of media, such as newspapers or magazines, which carry such works.
"Lampung language is different to Javanese, Sundanese or Balinese languages, which flourished due to the media that publish literary works in those languages.
"In Lampung alone, only 15 percent of some seven million people still speak the language. This is the main problem in developing the Lampung language and literary world," he said.
Aside from getting his work published, Udo has also turned to the Internet, creating his own blog (www.udozkarzi.blogspot.com), which showcases his works and thoughts, all in the Lampung language.
"If Lampung language becomes extinct, at least my writing on the blog can serve as a work of Lampung language that remains."
As of this year, the Rancage Foundation will regularly award literary works in four local languages - Sundanese, Javanese, Balinese and Lampung.
"In another words, there is no excuse. Lampung should publish its own literary books, or at least one book a year. This is good news for Lampung writers and is a big challenge."
Sumber: The Jakarta Post, February 11, 2008
Kepurbakalaan: Museum Ruwa Jurai Kunjungi 150 Desa
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Museum Ruwa Jurai Provinsi Lampung akan mengunjungi 150 desa di kabupaten dan kota yang banyak memiliki benda cagar budaya.
Kepala Museum Ruwai Jurai Pulung Swandaru mengatakan di Bandar Lampung, Minggu (10-2), program kunjungan itu diberi label Museum Masuk Desa mulai tahun ini.
"Kami akan mengunjungi 150 desa dari seluruh daerah kabupaten dan kota, selain Bandar Lampung dan Way Kanan. Yang menjadi prioritas, adalah desa di Tulangbawang, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Selatan, dan Tanggamus," kata Pulung.
Dipilihnya lima kabupaten tersebut sebgai prioritas karena kelimanya banyak memiliki benda cagar budaya dan masih dimiliki masyarakat. "Terutama di Lampung Timur dan Tanggamus, banyak benda-benda cagar budaya yang dimiliki masyarakat, baik berupa bahan tekstil, logam, batu, dan lainnya."
Di Lampung Timur dan Tanggamus banyak memiliki situs bersejarah yang telah dibuka. "Memang, kini baru dilakukan survei ke desa-desa tersebut. Penyelenggaraannya diperkirakan sekitar Maret atau April," ujarnya.
Target yang diinginkan dari kegiatan Museum Masuk Desa tersebut adalah didapatkan kain-kain kuno yang masih dimiliki warga. Kini banyak masyarakat luar Lampung memiliki kain-kain kuno asal Lampung. Seperti Australia, Jakarta, serta negara dan daerah lain.
Begitu juga dengan berbagai senjata tradisional Lampung dan baju besi, yang konon digunakan tentara kerajaan yang ada di Lampung, dan naskah kuno baik di lempengan logam, lontar, atau situs batu. Secara kebiasaan, masyarakat Lampung termasuk suku yang sangat hati-hati melepas barang pusaka karena takut tertulah atau terputus trah-nya. Namun, berbeda ketika mereka diimingi banyak uang dari orang luar, akhirnya banyak barang kuno itu berpindah tangan.
Dia mengatakan dengan kegiatan ini masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan tentang benda cagar budaya dan kemudian merawat serta menjaganya dengan baik. "Paling tidak mereka memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara merawat benda cagar budaya itu, walaupun mereka memiliki pengetahuan secara tradisional tentang cara merawat benda tersebut. Lebih baik lagi, jika mereka mau menyerahkannya ke museum untuk dirawat.
"Kini museum memiliki sekitar 4.500 koleksi dan yang terpajang hanya 2.000. Pemajangan bagi masyarakat pun dilakukan bergantian," kata dia. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 Februari 2008
Kepala Museum Ruwai Jurai Pulung Swandaru mengatakan di Bandar Lampung, Minggu (10-2), program kunjungan itu diberi label Museum Masuk Desa mulai tahun ini.
"Kami akan mengunjungi 150 desa dari seluruh daerah kabupaten dan kota, selain Bandar Lampung dan Way Kanan. Yang menjadi prioritas, adalah desa di Tulangbawang, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Selatan, dan Tanggamus," kata Pulung.
Dipilihnya lima kabupaten tersebut sebgai prioritas karena kelimanya banyak memiliki benda cagar budaya dan masih dimiliki masyarakat. "Terutama di Lampung Timur dan Tanggamus, banyak benda-benda cagar budaya yang dimiliki masyarakat, baik berupa bahan tekstil, logam, batu, dan lainnya."
Di Lampung Timur dan Tanggamus banyak memiliki situs bersejarah yang telah dibuka. "Memang, kini baru dilakukan survei ke desa-desa tersebut. Penyelenggaraannya diperkirakan sekitar Maret atau April," ujarnya.
Target yang diinginkan dari kegiatan Museum Masuk Desa tersebut adalah didapatkan kain-kain kuno yang masih dimiliki warga. Kini banyak masyarakat luar Lampung memiliki kain-kain kuno asal Lampung. Seperti Australia, Jakarta, serta negara dan daerah lain.
Begitu juga dengan berbagai senjata tradisional Lampung dan baju besi, yang konon digunakan tentara kerajaan yang ada di Lampung, dan naskah kuno baik di lempengan logam, lontar, atau situs batu. Secara kebiasaan, masyarakat Lampung termasuk suku yang sangat hati-hati melepas barang pusaka karena takut tertulah atau terputus trah-nya. Namun, berbeda ketika mereka diimingi banyak uang dari orang luar, akhirnya banyak barang kuno itu berpindah tangan.
Dia mengatakan dengan kegiatan ini masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan tentang benda cagar budaya dan kemudian merawat serta menjaganya dengan baik. "Paling tidak mereka memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara merawat benda cagar budaya itu, walaupun mereka memiliki pengetahuan secara tradisional tentang cara merawat benda tersebut. Lebih baik lagi, jika mereka mau menyerahkannya ke museum untuk dirawat.
"Kini museum memiliki sekitar 4.500 koleksi dan yang terpajang hanya 2.000. Pemajangan bagi masyarakat pun dilakukan bergantian," kata dia. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 Februari 2008