Oleh Udo Z. Karzi
(MAHA)SISWA Indonesia adalah generasi yang rabun membaca, pincang menulis! Penyair Taufiq Ismail tentu tidak main-main ketika mengeluarkan pernyataan itu dalam sebuah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia di FMIPA UPI, Bandung, 25 Oktober lalu. Dia telah melakukan kajian dengan membandingkan jumlah buku sastra yang telah dibaca di 13 negara.
Sebanyak 270 siswa antusias mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, 28-29 Oktober lalu. (LAMPUNG POST/KRISTIANTO)
Masih menurut Taufiq, siswa kita di sekolah tidak satu pun dibekali dengan kewajiban untuk membaca karya sastra. Berbeda dengan siswa di Amerika Serikat yang harus membaca 32 judul karya sastra selama siswa duduk di bangku SMA. "Malaysia dan Brunei saja mewajibkan siswanya membaca 6 karya sastra kepada siswa selama dia duduk di bangku sekolah, sedangkan di Indonesia tidak ada alias 0," kata Taufiq.
Fakta yang diungkapkan Taufiq Ismail ini semakin membenarkan asumsi bahwa selama ini kaum terpelajar negeri ini semakin jauh dari bahasa dan sastranya sendiri, bahasa dan sastra Indonesia—apatah lagi bahasa dan sastra daerah. Jangan heran jika kemampuan menulis siswa payah. Jangankan siswa, gurunya pun bukan kelompok profesi yang bisa menulis. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan mengingat peran sastra dalam kehidupan manusia tidak dapat disepelekan.
Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto pun sampai kepada kesimpulan, pelajar-pelajar Indonesia, termasuk mahasiswa mengalami "kekeringan" imajinasi, gagasan, dan pemikiran. Masalahnya, (maha)siswa jauh dari dunia sastra, sebuah dunia yang sesungguhnya sangat menarik dan menawarkan keindahan sekaligus menyelami hidup dan kehidupan dalam dituangkan para sastrawan. Sastra juga melatih pembacanya (siswa) berpikir logis dan sistematis, sehingga kemudian memudahkan mereka berperan sebagai pemberi solusi (problem solving).
Kritik terhadap pola pembelajaran di sekolah—utamanya dalam bidang studi bahasa dan sastra Indonesia—adalah bagaimana siswa hampir-hampir tidak termotivasi untuk mengenal sastra apalagi menyelaminya. Apalagi sistem pendidikan nasional yang terbaru justru meminggirkan bahasa Indonesia karena "dianggap" tidak mampu menjadi bahasa sains dan berupaya menggantinya dengan bahasa asing (bahasa Inggris) yang "dianggap" lebih mampu menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan. Semakin jauhlah siswa dengan bahasa dan sastra Indonesia.
Oleh karena itu, penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra Se-Provinsi Lampung di Gadingrejo, Pringsewu, 28-30 Oktober, yang diselenggarakan atas SMAN 1 Gadingrejo, UKI, dan Lampung Post menjadi oasis bagi kehidupan sastra yang selama ini seolah kesepian dan pelajar yang selama ini jauh (dijauhkan) dari sastra. Pembicara-pembicara seperti budayawan Arswendo Atmowiloto, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, akademisi Unila Mulyanto Widodo, dan Ali Imron, serta seniman-sastrawan-jurnalis seperti Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Hermansyah G.A., Syafril Yamin, dan Udo Z. Karzi bisa menjadi "provokator" untuk menebar bibit-bibit sastra di lahan yang (seharusnya) subur: para siswa.
"Menulis bisa dijadikan sebagai profesi baru tanpa menghalangi cita-cita dan pekerjaan sebelumnya," kata Arswendo. Menurut penulis buku Mengarang Itu Gampang ini, menulis menyenangkan karena segala sesuatu dapat dijadikan sebagai bahan tulisan. Namun, menulis bukan bakat instan yang datang begitu saja. "Menulis merupakan bakat yang diperoleh dengan latihan terus-menerus dan berkelanjutan," kata dia.
Djadjat Sudradjat menegaskan penulis adalah profesi terhormat. Banyak nama besar di Tanah Air karena profesinya sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya.
Pada sesi klinik sastra, siswa secara langsung mendiskusikan dan mempraktekkan bagaimana cara menulis puisi, cerpen, sastra lisan Lampung, dan artikel untuk media massa. Sesi ini terasa lebih menyentuh karena siswa bertemu muka dengan seniman, sastrawan, dan wartawan yang paling tidak karena pengalamannya bisa berbagi ilmu tentang kiat menulis. Wawasan internasional peserta kemah ditambah pula dengan kehadiran tujuh wakil kedutaan besar dalam acara ini.
Memang, hasil Kemah Bahasa dan Sastra tidak langsung terlihat dalam sehari dua atau setahun dua. Sebab, kemampuan menulis memang bukan sesuatu dengan instan mudah didapat, melainkan melalui proses berlatih dan belajar terus-menerus. Paling tidak Kemah Bahasa dan Sastra ini mampu memberi motivasi siswa untuk mulai menyukai sastra.
Semoga Kemah Bahasa dan Sastra ini bisa mendorong tingkat literasi di kalangan siswa.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
October 31, 2010
Sejenak Keluar dari Formalisme Belajar Sastra
Oleh Tri Purna Jaya
DI salah satu ruang kelas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (28-10) pagi, duduk bersimpuh di lantai kelas sekelompok anak-anak SMA yang terlihat serius menyimak penjelasan salah seorang seniman Lampung tentang penulisan puisi.
Sastrawan Iswadi Pratama menyampaikan materi penulis cerpen dalam klinik sastra Kemah Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (29/10). (LAMPUNG POST/KRISTIANTO)
Pertanyaan-pertanyaan kemudian mengalir seiring dengan teracungnya tangan. "Kak, bagaimana cara membuat puisi kita menjadi indah?" Sang seniman menjawab, "Bukan 'apa' yang mau disampaikan, melainkan 'bagaimana' cara menyampaikannya," kata seniman yang tidak lain yakni Ari Pahala Hutabarat, penggiat seni sastra dan teater dari Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Tidak seperti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah pada umumnya, pengetahuan mengenai bahasa dan sastra disampaikan dalam suasana yang santai. Puisi-puisi atau cerpen dibacakan pemateri, kemudian didiskusikan dengan para peserta pelatihan. Lalu pertanyaan-pertanyaan mengalir lagi.
Pagi itu Ari serta beberapa sastrawan, seniman, dan budayawan Lampung lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai dunia sastra. Sebutlah sastrawan Iswadi Pratama yang memberikan materi coaching clinic (klinik pelatihan) penulisan cerpen. Lalu ada akademisi Unila Ali Imron yang mentransfer pengetahuannya tentang budaya Lampung.
Selain itu, Hermansyah dan Syafril Yamin (seniman tradisi) berbagi ilmu tentang sastra lisan Lampung. Sementara itu, Zulkarnain Zubairi mencoba memperkenalkan kerja jurnalistik dan melatih peserta menulis artikel di media massa.
Klinik pelatihan sastra tersebut merupakan salah satu acara dalam Kemah Bahasa dan Sastra 2010 yang diadakan di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Kamis—Sabtu (28—30 Oktober). Sebuah acara bernuansakan bahasa dan sastra yang dikonsepkan dengan kemah di alam terbuka. Sekitar 270 siswa SMA dari seluruh Lampung mengikuti acara tersebut.
Suka Sastra
Beberapa peserta Kemah Bahasa dan Sastra mengaku sangat antusias dengan acara yang digagas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia, dan Lampung Post itu. Nurkholis Saputra, salah seorang peserta dari SMA 1 Cukuhbalak, misalnya, mengaku kemah itu sangat menarik dan banyak pengetahuan tentang dunia sastra yang bisa ia peroleh. "Saya menjadi lebih mengerti," ujarnya.
Nurkholis sangat menyenangi sastra. Meski mengaku masih kesusahan untuk membuat puisi ataupun cerpen, ia selalu berusaha untuk membuat sebuah karya sastra, khususnya puisi. "Idenya susah. Kalau sudah dapat, biasanya mentok pas mau nulisnya biar kelihatan indah," ujarnya.
Kemah Bahasa dan Sastra, kata dia, memberikan nilai positif baginya, khususnya tentang cara penulisan karya sastra. "Para pemateri bilang, tulis saja, jangan mikir-mikir," ujarnya. Menurut dia, itu merupakan saran yang paling bagus karena ia selalu berpikir panjang, apakah puisinya bagus atau tidak. "Kalau sekarang, ya, saya tulis-tulis saja, enggak peduli deh bagus atau tidak. Yang penting nulis, hehe," kata dia.
Adiansa Hidananta dari SMAN 1 Metro juga mengatakan pendapat yang sama. Menurut dia, Kemah Bahasa dan Sastra sangat membantunya dalam memahami sastra dan cara-cara mengarang. Terlebih lagi, kata dia, ia bisa bertukar pikiran dengan para seniman.
Mentah
Sastra barangkali bisa disebut negasi dari formalitas-formalitas. Oleh karena itu, program Kemah Sastra didesain untuk menerabas formalitas dan kekakuan proses ajar.
Yang perlu diterabas pertama-tama yakni "meniadakan" benda pembatas semacam dinding yang melingkupi peserta dalam proses pembelajaran. Tetapi, masih terlihat jarak antara peserta dengan para pemateri, seperti masuk sekolah, membuka buku, dan mencatat apa yang dikatakan oleh pemateri.
Meskipun rata-rata mengaku sangat antusias, terlihat sekali para peserta begitu awam dengan dunia sastra dan bahasa. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, baik itu dalam sesi diskusi maupun pelatihan, tampak pengetahuan mereka tentang sastra hanya sekelumit, hanya sebatas apa yang sudah diajarkan melalui buku-buku dan sekolah.
Apriana Fitri, siswi MAN 1 Pringsewu, mengaku sama sekali belum mengetahui sastra. Baginya, sastra merupakan buku cerita atau tulisan-tulisan indah saja. "Yang saya tahu tentang sastra, ya, kalau bukan Marah Roesli, ya Hamka. Karena, itu yang diajarkan di sekolah," ujar dia.
Keterpakuan para peserta dengan hal-hal teoritis seperti yang diajarkan di sekolah terlihat pula dari pelatihan penulisan cerpen. Beberapa peserta mengaku ingin lebih mendalami persoalan teori-teori, seperti struktur atau tema, laiknya pelajaran sekolah.
Padahal, Iswadi Pratama yang mengisi materi penulisan cerpen mengatakan sebaiknya menulis tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan yang ada. "Terlalu memikirkan teori malah akan menghambat proses penulisan. Tulis, tulis, dan tulis," kata Iswadi.
Sumpah Pemuda
Terkait dengan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda, banyak kalangan menyambut positif kegiatan Kemah Sastra tersebut. Pjs. Bupati Pringsewu Sudarno Eddi mengatakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi, terutama di kalangan anak muda, sudah semakin terdistorsi. Menurut dia, Kemah Sastra tersebut menjadi salah satu sarana yang sangat bagus untuk mengajak kembali, khususnya generasi muda, agar kembali menghargai bahasa Indonesia.
Tentang sastra, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi mengungkapkan sastra memiliki peran penting untuk membentuk identitas dan karakter.
Pembantu Dekan I FKIP Unila yang menjadi pembicara dalam dialog kebahasaan Mulyanto Widodo menuturkan hal yang pertama kali dirumuskan dalam Sumpah Pemuda 82 tahun silam yaitu bahasa persatuan. "Saat itu Indonesia masih terpecah-pecah, ada Jong Sunda, Jong Ambon, Jong Jawa, dan lain-lain," kata dia.
Bahasa Indonesia (bahasa Melayu kala itu), kata dia, menjadi satu-satunya solusi bentuk komunikasi agar semua pemikiran para pemuda dari seluruh Indonesia bisa saling dimengerti satu sama lain. "Jadi, sudah sewajarnya pemuda yang melestarikan bahasa Indonesia," kata dia.
Kemah Bahasa dan Sastra itu, menurut Mulyanto, merupakan kegiatan yang sangat bagus sebagai sebuah cara menghormati bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia adalah lambang identitas bangsa," ujarnya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
DI salah satu ruang kelas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (28-10) pagi, duduk bersimpuh di lantai kelas sekelompok anak-anak SMA yang terlihat serius menyimak penjelasan salah seorang seniman Lampung tentang penulisan puisi.
Sastrawan Iswadi Pratama menyampaikan materi penulis cerpen dalam klinik sastra Kemah Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (29/10). (LAMPUNG POST/KRISTIANTO)
Pertanyaan-pertanyaan kemudian mengalir seiring dengan teracungnya tangan. "Kak, bagaimana cara membuat puisi kita menjadi indah?" Sang seniman menjawab, "Bukan 'apa' yang mau disampaikan, melainkan 'bagaimana' cara menyampaikannya," kata seniman yang tidak lain yakni Ari Pahala Hutabarat, penggiat seni sastra dan teater dari Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Tidak seperti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah pada umumnya, pengetahuan mengenai bahasa dan sastra disampaikan dalam suasana yang santai. Puisi-puisi atau cerpen dibacakan pemateri, kemudian didiskusikan dengan para peserta pelatihan. Lalu pertanyaan-pertanyaan mengalir lagi.
Pagi itu Ari serta beberapa sastrawan, seniman, dan budayawan Lampung lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai dunia sastra. Sebutlah sastrawan Iswadi Pratama yang memberikan materi coaching clinic (klinik pelatihan) penulisan cerpen. Lalu ada akademisi Unila Ali Imron yang mentransfer pengetahuannya tentang budaya Lampung.
Selain itu, Hermansyah dan Syafril Yamin (seniman tradisi) berbagi ilmu tentang sastra lisan Lampung. Sementara itu, Zulkarnain Zubairi mencoba memperkenalkan kerja jurnalistik dan melatih peserta menulis artikel di media massa.
Klinik pelatihan sastra tersebut merupakan salah satu acara dalam Kemah Bahasa dan Sastra 2010 yang diadakan di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Kamis—Sabtu (28—30 Oktober). Sebuah acara bernuansakan bahasa dan sastra yang dikonsepkan dengan kemah di alam terbuka. Sekitar 270 siswa SMA dari seluruh Lampung mengikuti acara tersebut.
Suka Sastra
Beberapa peserta Kemah Bahasa dan Sastra mengaku sangat antusias dengan acara yang digagas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia, dan Lampung Post itu. Nurkholis Saputra, salah seorang peserta dari SMA 1 Cukuhbalak, misalnya, mengaku kemah itu sangat menarik dan banyak pengetahuan tentang dunia sastra yang bisa ia peroleh. "Saya menjadi lebih mengerti," ujarnya.
Nurkholis sangat menyenangi sastra. Meski mengaku masih kesusahan untuk membuat puisi ataupun cerpen, ia selalu berusaha untuk membuat sebuah karya sastra, khususnya puisi. "Idenya susah. Kalau sudah dapat, biasanya mentok pas mau nulisnya biar kelihatan indah," ujarnya.
Kemah Bahasa dan Sastra, kata dia, memberikan nilai positif baginya, khususnya tentang cara penulisan karya sastra. "Para pemateri bilang, tulis saja, jangan mikir-mikir," ujarnya. Menurut dia, itu merupakan saran yang paling bagus karena ia selalu berpikir panjang, apakah puisinya bagus atau tidak. "Kalau sekarang, ya, saya tulis-tulis saja, enggak peduli deh bagus atau tidak. Yang penting nulis, hehe," kata dia.
Adiansa Hidananta dari SMAN 1 Metro juga mengatakan pendapat yang sama. Menurut dia, Kemah Bahasa dan Sastra sangat membantunya dalam memahami sastra dan cara-cara mengarang. Terlebih lagi, kata dia, ia bisa bertukar pikiran dengan para seniman.
Mentah
Sastra barangkali bisa disebut negasi dari formalitas-formalitas. Oleh karena itu, program Kemah Sastra didesain untuk menerabas formalitas dan kekakuan proses ajar.
Yang perlu diterabas pertama-tama yakni "meniadakan" benda pembatas semacam dinding yang melingkupi peserta dalam proses pembelajaran. Tetapi, masih terlihat jarak antara peserta dengan para pemateri, seperti masuk sekolah, membuka buku, dan mencatat apa yang dikatakan oleh pemateri.
Meskipun rata-rata mengaku sangat antusias, terlihat sekali para peserta begitu awam dengan dunia sastra dan bahasa. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, baik itu dalam sesi diskusi maupun pelatihan, tampak pengetahuan mereka tentang sastra hanya sekelumit, hanya sebatas apa yang sudah diajarkan melalui buku-buku dan sekolah.
Apriana Fitri, siswi MAN 1 Pringsewu, mengaku sama sekali belum mengetahui sastra. Baginya, sastra merupakan buku cerita atau tulisan-tulisan indah saja. "Yang saya tahu tentang sastra, ya, kalau bukan Marah Roesli, ya Hamka. Karena, itu yang diajarkan di sekolah," ujar dia.
Keterpakuan para peserta dengan hal-hal teoritis seperti yang diajarkan di sekolah terlihat pula dari pelatihan penulisan cerpen. Beberapa peserta mengaku ingin lebih mendalami persoalan teori-teori, seperti struktur atau tema, laiknya pelajaran sekolah.
Padahal, Iswadi Pratama yang mengisi materi penulisan cerpen mengatakan sebaiknya menulis tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan yang ada. "Terlalu memikirkan teori malah akan menghambat proses penulisan. Tulis, tulis, dan tulis," kata Iswadi.
Sumpah Pemuda
Terkait dengan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda, banyak kalangan menyambut positif kegiatan Kemah Sastra tersebut. Pjs. Bupati Pringsewu Sudarno Eddi mengatakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi, terutama di kalangan anak muda, sudah semakin terdistorsi. Menurut dia, Kemah Sastra tersebut menjadi salah satu sarana yang sangat bagus untuk mengajak kembali, khususnya generasi muda, agar kembali menghargai bahasa Indonesia.
Tentang sastra, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi mengungkapkan sastra memiliki peran penting untuk membentuk identitas dan karakter.
Pembantu Dekan I FKIP Unila yang menjadi pembicara dalam dialog kebahasaan Mulyanto Widodo menuturkan hal yang pertama kali dirumuskan dalam Sumpah Pemuda 82 tahun silam yaitu bahasa persatuan. "Saat itu Indonesia masih terpecah-pecah, ada Jong Sunda, Jong Ambon, Jong Jawa, dan lain-lain," kata dia.
Bahasa Indonesia (bahasa Melayu kala itu), kata dia, menjadi satu-satunya solusi bentuk komunikasi agar semua pemikiran para pemuda dari seluruh Indonesia bisa saling dimengerti satu sama lain. "Jadi, sudah sewajarnya pemuda yang melestarikan bahasa Indonesia," kata dia.
Kemah Bahasa dan Sastra itu, menurut Mulyanto, merupakan kegiatan yang sangat bagus sebagai sebuah cara menghormati bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia adalah lambang identitas bangsa," ujarnya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
Kemah Sastra: Nikmati Sastra dengan Akal Budi dan Perasaan
PRINGSEWU—"Aku haus pendidikan//inginku merengguknya//meminumnya dengan rakus//seperti tidak ada lagi hari esok". Penggalan puisi Haus Pendidikan karya seorang siswa SMA tersebut dibacakan pada pentas seni pada puncak Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Kamis (28-10) hingga Jumat (29-10).
Seolah membuka keran air, puisi-puisi berikutnya mengalir deras dari peserta. Kemah Bahasa dan Sastra 2010 menjadi oasis bagi peserta yang terdiri dari siswa SMA se-Lampung. Minat terhadap acara tersebut terlihat dari keseriusan dan banyaknya pertanyaan tentang dunia sastra dan bahasa kepada pemateri.
Arswendo Atmowiloto, pembicara dalam dialog sastra, mengaku kagum terhadap minat peserta. Menurutnya antusiasme itu perlu dijaga agar tidak hanya berjalan di tempat. "Mereka cukup kritis," ujarnya.
Di sisi lain, Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung, pemateri pelatihan penulisan cerpen, mengatakan peserta mempunyai kecerdasan berbahasa dan memiliki minat bagus terhadap sastra. Menurut Iswadi, Kemah Bahasa dan Sastra perlu rutin diadakan jika pendekatannya sebagai sarana agar generasi muda tertarik dan ingin menulis. "Pendekatan teoretis tidak bisa dilakukan jika ingin mamahami sastra secara murni," kata Iswadi.
Lemahnya minat siswa di bidang bahasa dan sastra, menurut dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung, Nurlaksono Eko Rusminto, karena kekakuan belajar. "Guru memandang kaku penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya siswa sulit menikmati bahasa dan sastra," kata dia.
Dia menilai terjadi kesalahan paradigma pendidikan sastra. Sastra diperlakukan sebagai pengetahuan, bukan dinikmati dan dipraktekkan. "Pelajaran sastra lebih menitikberatkan pada penghapalan, karya besar, nama pengarang, resume bukunya, kapan diterbitkan, dan hal-hal yang lebih kepada persoalan pengetahuan," kata dia.
Sesungguhnya esensi pendidikan sastra mengajak anak terlibat dan dapat menikmati sastra. Pendidikan sastra adalah pembelajaran akal budi, rasa, perasaan, human interest. Agar anak tak hanya menjadi pribadi yang pintar tapi juga berbudi luhur.
Ketika ditanya apakah sebaiknya pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengatakan ada baiknya seperti itu. Namun, yang terutama bukan pada soal bertambahnya jumlah jam pelajaran sastra, melainkan bagaimana memandang sastra. (MG13/MG14/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
Seolah membuka keran air, puisi-puisi berikutnya mengalir deras dari peserta. Kemah Bahasa dan Sastra 2010 menjadi oasis bagi peserta yang terdiri dari siswa SMA se-Lampung. Minat terhadap acara tersebut terlihat dari keseriusan dan banyaknya pertanyaan tentang dunia sastra dan bahasa kepada pemateri.
Arswendo Atmowiloto, pembicara dalam dialog sastra, mengaku kagum terhadap minat peserta. Menurutnya antusiasme itu perlu dijaga agar tidak hanya berjalan di tempat. "Mereka cukup kritis," ujarnya.
Di sisi lain, Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung, pemateri pelatihan penulisan cerpen, mengatakan peserta mempunyai kecerdasan berbahasa dan memiliki minat bagus terhadap sastra. Menurut Iswadi, Kemah Bahasa dan Sastra perlu rutin diadakan jika pendekatannya sebagai sarana agar generasi muda tertarik dan ingin menulis. "Pendekatan teoretis tidak bisa dilakukan jika ingin mamahami sastra secara murni," kata Iswadi.
Lemahnya minat siswa di bidang bahasa dan sastra, menurut dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung, Nurlaksono Eko Rusminto, karena kekakuan belajar. "Guru memandang kaku penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya siswa sulit menikmati bahasa dan sastra," kata dia.
Dia menilai terjadi kesalahan paradigma pendidikan sastra. Sastra diperlakukan sebagai pengetahuan, bukan dinikmati dan dipraktekkan. "Pelajaran sastra lebih menitikberatkan pada penghapalan, karya besar, nama pengarang, resume bukunya, kapan diterbitkan, dan hal-hal yang lebih kepada persoalan pengetahuan," kata dia.
Sesungguhnya esensi pendidikan sastra mengajak anak terlibat dan dapat menikmati sastra. Pendidikan sastra adalah pembelajaran akal budi, rasa, perasaan, human interest. Agar anak tak hanya menjadi pribadi yang pintar tapi juga berbudi luhur.
Ketika ditanya apakah sebaiknya pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengatakan ada baiknya seperti itu. Namun, yang terutama bukan pada soal bertambahnya jumlah jam pelajaran sastra, melainkan bagaimana memandang sastra. (MG13/MG14/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
October 30, 2010
Otonomi Daerah Lampung (4): Saatnya Bisa Lepas Landas
Oleh M Fajar Marta dan Yulvianus Harjono
PROVINSI Lampung dikaruniai Tuhan kekayaan alam melimpah, mulai dari komoditas perkebunan, hasil laut dan tambang, hingga panorama indah. Sayang, modal kekayaan itu belum bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian warga Lampung masih miskin. Dari 7,6 juta warga, penduduk miskin mencapai 1,5 juta orang (19 persen). Ini di atas angka kemiskinan nasional 13 persen.
Sejumlah upaya pemekaran daerah, yang salah satunya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, ternyata belum membuahkan hasil. Menurut pengamat otonomi daerah Lampung, Syarif Makhya, sejumlah kabupaten hasil pemekaran 10 tahun silam, seperti Way Kanan, Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang, hingga kini masih termasuk kabupaten tertinggal.
Kondisi itu terjadi salah satunya karena pemekaran daerah kerap menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perebutan sumber daya finansial antara lembaga legislatif dan eksekutif. ”Dalam praktiknya, uang yang umumnya berasal dari pemerintah pusat justru dipakai sebagai alat tawar-menawar dan kompromi antara pemerintah daerah dan DPRD, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyat,” ujar Syarif.
Anggota DPRD Lampung, Khamamik, menjelaskan, ketidakmampuan pemda kabupaten menjaring pendapatan asli daerah (PAD) salah satunya karena pemda tidak bisa mengumpulkan retribusi resmi dari pelaku usaha. Salah satunya karena uang setoran dari pelaku usaha masuk ke kantong oknum pejabat pemda.
Menurut Khamamik, anggota DPRD kabupaten umumnya juga tak memiliki kemampuan dalam membuat dan mengawasi anggaran. ”Kalau sudah kebagian ’jatah’, mereka tidak lagi kritis terhadap anggaran yang diajukan bupati. Padahal, anggaran yang dibuat bupati kerap tak memihak kepada rakyat,” ujarnya.
Bupati Pesawaran Aries Sandi, yang baru dilantik sebulan lalu, berencana membuat peraturan daerah tentang penarikan retribusi terhadap dunia usaha. Bahkan, dia juga akan mengatur dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Dana CSR akan diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak.
Akibat ketidakmampuan pemerintah kabupaten mengoptimalkan PAD, mereka pun akhirnya bergantung pada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Minimnya PAD membuat kabupaten di Lampung tidak bisa membangun dirinya sendiri, terutama infrastruktur. Dana perimbangan tentu habis untuk gaji pegawai dan pengeluaran rutin lain. Dampaknya, belanja modal yang merupakan biaya pembangunan menjadi minim.
Dengan dana pas-pasan, pemda pun gagal membangun infrastruktur yang memadai sehingga akhirnya investor enggan masuk membawa modal.
Jika pemerintah daerah secara kreatif bisa menggali PAD, potensi kabupaten untuk berkembang tentu bisa dipercepat. Pasalnya, perekonomian di tingkat masyarakat sebenarnya telah cukup menggeliat.
Kepala Cabang Astra International-Daihatsu Lampung Junaidy Jirajaya mengatakan, penjualan otomotif, terutama mobil niaga, tumbuh pesat dalam dua tahun terakhir. ”Kondisi ini terjadi seiring naiknya harga komoditas, seperti kopi dan sawit, di pasaran internasional,” ujarnya. Penjualan kendaraan niaga produksi Daihatsu meningkat 60 persen dalam kurun waktu Agustus 2009-Agustus 2010.
”Kami merevisi target penjualan untuk tahun 2010. Sebab, target awal untuk keseluruhan tahun 2010 terlampaui dalam setengah tahun,” katanya. Maraknya penjualan kendaraan niaga tak hanya terjadi pada pabrikan Daihatsu, tetapi juga untuk pabrikan lain.
Seiring kuatnya daya beli masyarakat, penjualan otomotif di Lampung untuk pertama kalinya bisa menembus angka 1.000 unit per bulan. ”Meski volumenya masih kecil, peningkatan penjualan di Lampung termasuk tertinggi untuk tingkat nasional,” ujar Junaidy.
Maraknya kegiatan ekonomi juga terlihat dari penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi kredit perbankan untuk Lampung per Agustus 2010 mencapai Rp 27,36 triliun. Angka itu tumbuh 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pemimpin Bank Bukopin Cabang Lampung, Mashuril Hidayat, di Bandar Lampung, pekan lalu, menjelaskan, pelaku usaha di Lampung didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah. Koperasi juga berkembang. Karena itu, untuk meningkatkan pangsa pasar, Bukopin menerapkan strategi dengan menggandeng koperasi membentuk Swamitra, sejenis lembaga keuangan simpan-pinjam.
Swamitra mendapatkan dana dari Bukopin, yang lalu disalurkan kepada anggota koperasi. Hingga kini, Bukopin membentuk tujuh Swamitra di Bandar Lampung dan Lampung Selatan dengan total kredit mencapai Rp 13,3 miliar per September 2010.
Marwan, Manajer Swamitra Bahagia di Natar, Lampung Selatan, mengakui, kredit disalurkan ke usaha mikro yang berkembang di pedesaan, seperti peternakan, pertanian, dan industri pengolahan rumah tangga. Salah satu debitor Swamitra Bahagia yang sukses adalah industri pengolahan limbah plastik. Swamitra di Lampung lainnya, Kendi Artha, ikut membiayai ekspor arang ke Norwegia.
Jelaslah, kata peneliti Lembaga Survei Rakata Institute di Lampung, Eko Kuswanto, untuk membangun Lampung diperlukan pemimpin yang bertipe seperti chief executive officer (CEO) di korporasi swasta sehingga kreatif membangun daerah sesuai peluang yang ada.
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010
PROVINSI Lampung dikaruniai Tuhan kekayaan alam melimpah, mulai dari komoditas perkebunan, hasil laut dan tambang, hingga panorama indah. Sayang, modal kekayaan itu belum bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian warga Lampung masih miskin. Dari 7,6 juta warga, penduduk miskin mencapai 1,5 juta orang (19 persen). Ini di atas angka kemiskinan nasional 13 persen.
Sejumlah upaya pemekaran daerah, yang salah satunya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, ternyata belum membuahkan hasil. Menurut pengamat otonomi daerah Lampung, Syarif Makhya, sejumlah kabupaten hasil pemekaran 10 tahun silam, seperti Way Kanan, Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang, hingga kini masih termasuk kabupaten tertinggal.
Kondisi itu terjadi salah satunya karena pemekaran daerah kerap menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perebutan sumber daya finansial antara lembaga legislatif dan eksekutif. ”Dalam praktiknya, uang yang umumnya berasal dari pemerintah pusat justru dipakai sebagai alat tawar-menawar dan kompromi antara pemerintah daerah dan DPRD, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyat,” ujar Syarif.
Anggota DPRD Lampung, Khamamik, menjelaskan, ketidakmampuan pemda kabupaten menjaring pendapatan asli daerah (PAD) salah satunya karena pemda tidak bisa mengumpulkan retribusi resmi dari pelaku usaha. Salah satunya karena uang setoran dari pelaku usaha masuk ke kantong oknum pejabat pemda.
Menurut Khamamik, anggota DPRD kabupaten umumnya juga tak memiliki kemampuan dalam membuat dan mengawasi anggaran. ”Kalau sudah kebagian ’jatah’, mereka tidak lagi kritis terhadap anggaran yang diajukan bupati. Padahal, anggaran yang dibuat bupati kerap tak memihak kepada rakyat,” ujarnya.
Bupati Pesawaran Aries Sandi, yang baru dilantik sebulan lalu, berencana membuat peraturan daerah tentang penarikan retribusi terhadap dunia usaha. Bahkan, dia juga akan mengatur dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Dana CSR akan diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak.
Akibat ketidakmampuan pemerintah kabupaten mengoptimalkan PAD, mereka pun akhirnya bergantung pada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Minimnya PAD membuat kabupaten di Lampung tidak bisa membangun dirinya sendiri, terutama infrastruktur. Dana perimbangan tentu habis untuk gaji pegawai dan pengeluaran rutin lain. Dampaknya, belanja modal yang merupakan biaya pembangunan menjadi minim.
Dengan dana pas-pasan, pemda pun gagal membangun infrastruktur yang memadai sehingga akhirnya investor enggan masuk membawa modal.
Jika pemerintah daerah secara kreatif bisa menggali PAD, potensi kabupaten untuk berkembang tentu bisa dipercepat. Pasalnya, perekonomian di tingkat masyarakat sebenarnya telah cukup menggeliat.
Kepala Cabang Astra International-Daihatsu Lampung Junaidy Jirajaya mengatakan, penjualan otomotif, terutama mobil niaga, tumbuh pesat dalam dua tahun terakhir. ”Kondisi ini terjadi seiring naiknya harga komoditas, seperti kopi dan sawit, di pasaran internasional,” ujarnya. Penjualan kendaraan niaga produksi Daihatsu meningkat 60 persen dalam kurun waktu Agustus 2009-Agustus 2010.
”Kami merevisi target penjualan untuk tahun 2010. Sebab, target awal untuk keseluruhan tahun 2010 terlampaui dalam setengah tahun,” katanya. Maraknya penjualan kendaraan niaga tak hanya terjadi pada pabrikan Daihatsu, tetapi juga untuk pabrikan lain.
Seiring kuatnya daya beli masyarakat, penjualan otomotif di Lampung untuk pertama kalinya bisa menembus angka 1.000 unit per bulan. ”Meski volumenya masih kecil, peningkatan penjualan di Lampung termasuk tertinggi untuk tingkat nasional,” ujar Junaidy.
Maraknya kegiatan ekonomi juga terlihat dari penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi kredit perbankan untuk Lampung per Agustus 2010 mencapai Rp 27,36 triliun. Angka itu tumbuh 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pemimpin Bank Bukopin Cabang Lampung, Mashuril Hidayat, di Bandar Lampung, pekan lalu, menjelaskan, pelaku usaha di Lampung didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah. Koperasi juga berkembang. Karena itu, untuk meningkatkan pangsa pasar, Bukopin menerapkan strategi dengan menggandeng koperasi membentuk Swamitra, sejenis lembaga keuangan simpan-pinjam.
Swamitra mendapatkan dana dari Bukopin, yang lalu disalurkan kepada anggota koperasi. Hingga kini, Bukopin membentuk tujuh Swamitra di Bandar Lampung dan Lampung Selatan dengan total kredit mencapai Rp 13,3 miliar per September 2010.
Marwan, Manajer Swamitra Bahagia di Natar, Lampung Selatan, mengakui, kredit disalurkan ke usaha mikro yang berkembang di pedesaan, seperti peternakan, pertanian, dan industri pengolahan rumah tangga. Salah satu debitor Swamitra Bahagia yang sukses adalah industri pengolahan limbah plastik. Swamitra di Lampung lainnya, Kendi Artha, ikut membiayai ekspor arang ke Norwegia.
Jelaslah, kata peneliti Lembaga Survei Rakata Institute di Lampung, Eko Kuswanto, untuk membangun Lampung diperlukan pemimpin yang bertipe seperti chief executive officer (CEO) di korporasi swasta sehingga kreatif membangun daerah sesuai peluang yang ada.
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010
[Kemah Sastra]: Sastra: Latihan Menulis Lebih Baik daripada Bakat
GADINGREJO (Lampost): Untuk menghasilkan sebuah karya sastra yang bagus tidak bisa dilakukan secara instan dengan hanya mengandalkan bakat. Latihan terus-menerus adalah kunci utama menghasilkan karya sastra yang baik.
Hal tersebut ditekankan oleh para pemateri coaching clinic penulisan karya sastra di Kemah Bahasa dan Sastra 2010. "Tulislah apa pun yang hendak ditulis," kata Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung saat mengisi coaching clinic penulisan cerpen.
Menurut Iswadi, sebaiknya menulis dengan tidak memerhatikan dengan aturan-aturan yang ada. "Terlalu memikirkan teori malah akan menghambat proses penulisan. Tulis, tulis, dan tulis," kata dia.
Iswadi memberikan pedoman tentang cara termudah untuk bisa menghasilkan cerpen, yakni tulislah tentang apa yang paling diketahui dan tulislah seperti bercerita secara verbal. "Apa yang bisa dilihat, didengar, dibayangkan, dapat ditulis menjadi sebauh cerpen," kata dia.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat, dari Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober), mengatakan puisi-puisi modern sekarang ini sudah lebih lunak dan lebih bebas, karena tidak terikat dengan aturan-aturan baku yang ada pada zaman dahulu, seperti rima atau aturan-aturan bait.
Poin selanjutnya dan yang terpenting, kata Ari, adalah cara menyampaikan ide tersebut. "Bukan 'apa' yang mau disampaikan, melainkan 'bagaimana' cara menyampaikannya," kata dia. Hal tersebut mutlak dikuasai jika ingin membuat sebuah puisi yang bagus. Karena, menurut Ari, tema-tema yang selalu dipakai adalah sama dari waktu ke waktu. Tetapi cara penyampaian tema-tema itu, kata dia, selalu berbeda dan pasti berbeda antara penyair yang satu dengan yang lainnya.
"Hal terpenting untuk membuat sebuah karya seni yang indah itu tergantung dari bagaimana cara menyampaikannya," kata Ari.
Selain coaching clinic penulisan puisi dan cerpen, para peserta Kemah Sastra juga menerima coaching clinic Budaya Lampung dengan pemateri Ali Imron (budayawan dan seniman tradisi Lampung), coaching clinic sastra lisan Lampung, serta coaching clinic jurnalistik dan artikel dengan pemateri Zulkarnaen Zubairi (redaktur Opini Lampung Post). (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
Hal tersebut ditekankan oleh para pemateri coaching clinic penulisan karya sastra di Kemah Bahasa dan Sastra 2010. "Tulislah apa pun yang hendak ditulis," kata Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung saat mengisi coaching clinic penulisan cerpen.
Menurut Iswadi, sebaiknya menulis dengan tidak memerhatikan dengan aturan-aturan yang ada. "Terlalu memikirkan teori malah akan menghambat proses penulisan. Tulis, tulis, dan tulis," kata dia.
Iswadi memberikan pedoman tentang cara termudah untuk bisa menghasilkan cerpen, yakni tulislah tentang apa yang paling diketahui dan tulislah seperti bercerita secara verbal. "Apa yang bisa dilihat, didengar, dibayangkan, dapat ditulis menjadi sebauh cerpen," kata dia.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat, dari Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober), mengatakan puisi-puisi modern sekarang ini sudah lebih lunak dan lebih bebas, karena tidak terikat dengan aturan-aturan baku yang ada pada zaman dahulu, seperti rima atau aturan-aturan bait.
Poin selanjutnya dan yang terpenting, kata Ari, adalah cara menyampaikan ide tersebut. "Bukan 'apa' yang mau disampaikan, melainkan 'bagaimana' cara menyampaikannya," kata dia. Hal tersebut mutlak dikuasai jika ingin membuat sebuah puisi yang bagus. Karena, menurut Ari, tema-tema yang selalu dipakai adalah sama dari waktu ke waktu. Tetapi cara penyampaian tema-tema itu, kata dia, selalu berbeda dan pasti berbeda antara penyair yang satu dengan yang lainnya.
"Hal terpenting untuk membuat sebuah karya seni yang indah itu tergantung dari bagaimana cara menyampaikannya," kata Ari.
Selain coaching clinic penulisan puisi dan cerpen, para peserta Kemah Sastra juga menerima coaching clinic Budaya Lampung dengan pemateri Ali Imron (budayawan dan seniman tradisi Lampung), coaching clinic sastra lisan Lampung, serta coaching clinic jurnalistik dan artikel dengan pemateri Zulkarnaen Zubairi (redaktur Opini Lampung Post). (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
[Kemah Sastra]: Kolaborasi Jawa-Mexicana Dipadu Hanya Dua Jam
GADINGREJO (Lampost): Dua buah komposisi kolaborasi musik yang cukup apik antara musik Mexicana dan Gamelan Jawa membius para penonton di Pentas Seni Kemah Bahasa dan Sastra 2010. Uniknya, kolaborasi tersebut tercipta hanya dua jam sebelum pertunjukan.
Dua buah kompisisi kaloborasi tersebut dimainkan dengan rapi oleh mahasiswa pertukaran pelajar dari Meksiko Daniel�dan guru kesenian SMA Negeri 1 Gadingrejo Sutoto pada malam Pentas Seni Kemah Bahasa dan Sastra 2010, di aula SMA Negeri 1 Gadingrejo, tadi malam (29-10).
Duah buah komposisi tersebut, yakni sebuah lagu Spanyol yang diiringi gamelan Jawa, dan sebuah komposisi untuk mengiri musikalisasi puisi Karya adalah Kita karya Samsul Bahri.
Akor-akor musik bernuansa Spanyol yang bernada minor terdengar menjadi semakin manis dalam iringan gamelan Jawa yang bernuansa magis. Suara gitar dalam nada espanyola mexicana berpadu dinamis dengan pukulan gending dan bonang.
"Agak sulit dicampurnya karena tidak familiar dengan musik Spanyol," kata Sutoto seusai pentas. Menurut Sutoto, salah satu kesulitan tersebut juga disebabkan Daniel lebih paham dengan gamelan Sunda dibandingkan gamelan Jawa. Tetapi karena susunan nada antara gamelan Jawa dengan gamelan Sunda mirip, kata Sutoto, kesulitan kaloborasi itu dapat diminimalisasi.
Daniel mengaku sangat antusias dalam berkaloborasi dengan gamelan Jawa yang baru pertama kalinya ia lakukan tersebut. "Meskipun susah pada awalnya, tetapi saya senang. Musik tradisonal Indonesia memang kaya," kata dia.
Menurut dia, musik tradisional Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibandingkan musik-musik lain. Keunikan tersebut, kata Daniel, susunan nada yang terlihat aneh tapi ternyata begitu indah saat dimainkan.
Daniel menuturkan ketertarikannya terhadap musik tradisional Indonesia berawal dari seorang temannya yang memainkan karawitan Jawa di negara asalnya. "Kawan itu dapat beasiswa untuk sekolah musik di Indonesia," kata dia.
Daniel yang saat ini sedang menempuh pendidikan musik di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung mengatakan seni tradisional lebih dihargai di luar negeri. "Dan Indonesia sangat kaya akan musik jenis ini," kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
Dua buah kompisisi kaloborasi tersebut dimainkan dengan rapi oleh mahasiswa pertukaran pelajar dari Meksiko Daniel�dan guru kesenian SMA Negeri 1 Gadingrejo Sutoto pada malam Pentas Seni Kemah Bahasa dan Sastra 2010, di aula SMA Negeri 1 Gadingrejo, tadi malam (29-10).
Duah buah komposisi tersebut, yakni sebuah lagu Spanyol yang diiringi gamelan Jawa, dan sebuah komposisi untuk mengiri musikalisasi puisi Karya adalah Kita karya Samsul Bahri.
Akor-akor musik bernuansa Spanyol yang bernada minor terdengar menjadi semakin manis dalam iringan gamelan Jawa yang bernuansa magis. Suara gitar dalam nada espanyola mexicana berpadu dinamis dengan pukulan gending dan bonang.
"Agak sulit dicampurnya karena tidak familiar dengan musik Spanyol," kata Sutoto seusai pentas. Menurut Sutoto, salah satu kesulitan tersebut juga disebabkan Daniel lebih paham dengan gamelan Sunda dibandingkan gamelan Jawa. Tetapi karena susunan nada antara gamelan Jawa dengan gamelan Sunda mirip, kata Sutoto, kesulitan kaloborasi itu dapat diminimalisasi.
Daniel mengaku sangat antusias dalam berkaloborasi dengan gamelan Jawa yang baru pertama kalinya ia lakukan tersebut. "Meskipun susah pada awalnya, tetapi saya senang. Musik tradisonal Indonesia memang kaya," kata dia.
Menurut dia, musik tradisional Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibandingkan musik-musik lain. Keunikan tersebut, kata Daniel, susunan nada yang terlihat aneh tapi ternyata begitu indah saat dimainkan.
Daniel menuturkan ketertarikannya terhadap musik tradisional Indonesia berawal dari seorang temannya yang memainkan karawitan Jawa di negara asalnya. "Kawan itu dapat beasiswa untuk sekolah musik di Indonesia," kata dia.
Daniel yang saat ini sedang menempuh pendidikan musik di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung mengatakan seni tradisional lebih dihargai di luar negeri. "Dan Indonesia sangat kaya akan musik jenis ini," kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
[Kemah Sastra]: Generasi Muda Pelestari Bahasa
GADINGREJO (Lampost): Generasi muda mempunyai peran penting dalam melestarikan bahasa Indonesia. Apalagi, bahasa Indonesia mudah tergerus oleh arus perkembangan zaman.
Pakar bahasa Mulyanto Widodo dalam dialog kebahasaan di Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Jumat (29-10), mengatakan peran pelestari itu karena generasi muda berkembang seiring zaman.
Menurut Mulyanto, kecemasan akan makin hilangnya bahasa Indonesia kian terlihat dengan semakin menguatnya anggapan bahwa bahasa asing lebih berprestise. Ia mencontohkan dengan banyaknya penggunaan bahasa asing untuk hal-hal yang bahkan sederhana, seperti papan-papan pengumuman di sekolah. "Bahasa Indonesia itu lambang identitas bangsa," ujarnya.
Mulyanto menyayangkan dengan konsep sekolah berstandar internasional yang sudah salah kaprah dalam pengimplementasiannya. Menurut dia, sekolah berstandar internasional bukan berarti semuanya �serbaasing�. "Standar internasional berarti standar sekolahnya tersebut mengikuti standar kelayakan luar negeri, bukan berarti serbabahasa Inggris," ujarnya.
Hal tersebut, kata dia, bisa menghilangkan identitas sekolah. Bagaimana bisa menjadi identitas, jika bahasa asing yang digunakan. "Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa itu adalah fungsi pertama dan utama dari bahasa Indonesia itu sendiri," kata Mulyanto.
Padahal, lanjutnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang dinamis, yang selalu bisa mengikuti perkembangan zaman. Namun, kata Mulyanto, orang Indonesia sendiri seperti tidak bisa mengikutinya. "Bahasa Indonesia itu bisa beradaptasi dengan bahasa asing, tetapi jika sudah ada padanannya, hendaknya memakai bahasa Indonesia saja."
Menurut Mulyanto, fungsi bahasa asing sebaiknya digunakan harus sesuai dengan porsinya, tidak kurang dan tidak lebih.
Untuk itu, ujarnya, sebaiknya kita memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Caranya, kata Mulyanto, yakni ditujukan dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. "Itu adalah fungsi kedua dari bahasa Indonesia, yakni sebagai lambang kebanggaan nasional," kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
Pakar bahasa Mulyanto Widodo dalam dialog kebahasaan di Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Jumat (29-10), mengatakan peran pelestari itu karena generasi muda berkembang seiring zaman.
Menurut Mulyanto, kecemasan akan makin hilangnya bahasa Indonesia kian terlihat dengan semakin menguatnya anggapan bahwa bahasa asing lebih berprestise. Ia mencontohkan dengan banyaknya penggunaan bahasa asing untuk hal-hal yang bahkan sederhana, seperti papan-papan pengumuman di sekolah. "Bahasa Indonesia itu lambang identitas bangsa," ujarnya.
Mulyanto menyayangkan dengan konsep sekolah berstandar internasional yang sudah salah kaprah dalam pengimplementasiannya. Menurut dia, sekolah berstandar internasional bukan berarti semuanya �serbaasing�. "Standar internasional berarti standar sekolahnya tersebut mengikuti standar kelayakan luar negeri, bukan berarti serbabahasa Inggris," ujarnya.
Hal tersebut, kata dia, bisa menghilangkan identitas sekolah. Bagaimana bisa menjadi identitas, jika bahasa asing yang digunakan. "Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa itu adalah fungsi pertama dan utama dari bahasa Indonesia itu sendiri," kata Mulyanto.
Padahal, lanjutnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang dinamis, yang selalu bisa mengikuti perkembangan zaman. Namun, kata Mulyanto, orang Indonesia sendiri seperti tidak bisa mengikutinya. "Bahasa Indonesia itu bisa beradaptasi dengan bahasa asing, tetapi jika sudah ada padanannya, hendaknya memakai bahasa Indonesia saja."
Menurut Mulyanto, fungsi bahasa asing sebaiknya digunakan harus sesuai dengan porsinya, tidak kurang dan tidak lebih.
Untuk itu, ujarnya, sebaiknya kita memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Caranya, kata Mulyanto, yakni ditujukan dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. "Itu adalah fungsi kedua dari bahasa Indonesia, yakni sebagai lambang kebanggaan nasional," kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
[Kemah Sastra]: Peserta Diminta Berkarya
GADINGREJO (Lampost): Seluruh peserta Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung diminta untuk berkarya. Kegiatan kemah yang diikuti 270 pelajar dari 45 sekolah tingkat menengah atas yang dimulai Kamis (28-10) berakhir Sabtu (30-10) dini hari.
Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto dalam sambutan penutupannya mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra merupakan awal dari siswa untuk menghasilkan karya-karya sastra. "Setelah mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra, saatnya untuk berkarya sesuai talenta masing-masing. Ini adalah angkatan pertama dari Kemah Bahasa dan Sastra," kata Fajar.
Menurut Fajar, kegiatan itu akan dilanjutkan dengan membuat website. "Dengan adanya website, anak-anak bisa saling bertukar hasil karya. Silakan kalian memberikan kritik kepada hasil karya rekan-rekannya," ujarnya.
Dia mengatakan website itu akan dikelola bersama dengan difasilitasi harian umum Lampung Post.
Rencana pembuatan website untuk menindaklanjuti Kemah Bahasa dan Sastra juga disampaikan Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat saat memberikan materi coaching clinic. Dengan website, menurut Djadjat, akan terbentuk jaringan antarpelajar dalam menghasilkan karya sastra.
Sementara saat menyampaikan materi jurnalistik, Djadjat mengatakan seorang jurnalis harus memiliki wawasan dan pengetahuan luas. Sebab, tanpa wawasan dan pengetahuan luas, tulisan yang dibuat menjadi tidak bermakna.
Jurnalis, menurut Djadjat, haruslah seorang yang mau terus belajar dan ingin mengetahui segala sesuatunya. Pernyataan itu disampaikannya setelah menguji coba pengetahuan peserta Kemah Bahasa dan Sastra yang beberapa di antaranya tidak mengetahui lokasi Kota Liwa dan Sukadana.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam sambutan penutupnya mengatakan terlaksananya penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar bersama antara SMA Negeri 1 Gadingrejo, UKI Jakarta, dan Lampung Post, tidak terlepas dari peran serta seluruh masyarakat.
"Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah, TNI Angkatan Laut, serta sponsor yang telah mendukung kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra ini. Harapan kami, akan ada sastrawan-sastrawan yang lahir dari kemah ini," kata Hermin.
Dilanjutkan
Sementara itu, guru pendamping dari SMA Negeri 1 Metro Ketut Darma Swarta mengatakan kemah sastra yang menghadirkan pembicara baik dari lokal, nasional, maupun mancanegara itu sangat bermanfaat bagi anak-anak didik. "Pengetahuan anak-anak bertambah. Saya juga yakin, minat untuk menghasilkan karya sastra setelah mengikuti kegiatan ini akan lebih muncul," kata Ketut.
Demikian juga yang disampaikan guru pendamping SMA Negeri 1 Tumijajar, Tulangbawang Barat, Hendra Yugoswara. Menuru Hendra, selain pengetahuan murid bertambah, guru-guru yang mendampingi juga bisa berinteraksi. "Kami saling kenal dan kemudian bertukar informasi. Sebelum acara ini, kami tidak saling tahu," ujar Hendra yang diangkat sebagai �lurah� itu.
Baik Ketut maupun Hendra, serta beberapa guru pendamping lainnya berharap kegiatan kemah sastra bisa digelar rutin setiap tahun. (KIS/U-3)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto dalam sambutan penutupannya mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra merupakan awal dari siswa untuk menghasilkan karya-karya sastra. "Setelah mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra, saatnya untuk berkarya sesuai talenta masing-masing. Ini adalah angkatan pertama dari Kemah Bahasa dan Sastra," kata Fajar.
Menurut Fajar, kegiatan itu akan dilanjutkan dengan membuat website. "Dengan adanya website, anak-anak bisa saling bertukar hasil karya. Silakan kalian memberikan kritik kepada hasil karya rekan-rekannya," ujarnya.
Dia mengatakan website itu akan dikelola bersama dengan difasilitasi harian umum Lampung Post.
Rencana pembuatan website untuk menindaklanjuti Kemah Bahasa dan Sastra juga disampaikan Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat saat memberikan materi coaching clinic. Dengan website, menurut Djadjat, akan terbentuk jaringan antarpelajar dalam menghasilkan karya sastra.
Sementara saat menyampaikan materi jurnalistik, Djadjat mengatakan seorang jurnalis harus memiliki wawasan dan pengetahuan luas. Sebab, tanpa wawasan dan pengetahuan luas, tulisan yang dibuat menjadi tidak bermakna.
Jurnalis, menurut Djadjat, haruslah seorang yang mau terus belajar dan ingin mengetahui segala sesuatunya. Pernyataan itu disampaikannya setelah menguji coba pengetahuan peserta Kemah Bahasa dan Sastra yang beberapa di antaranya tidak mengetahui lokasi Kota Liwa dan Sukadana.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam sambutan penutupnya mengatakan terlaksananya penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar bersama antara SMA Negeri 1 Gadingrejo, UKI Jakarta, dan Lampung Post, tidak terlepas dari peran serta seluruh masyarakat.
"Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah, TNI Angkatan Laut, serta sponsor yang telah mendukung kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra ini. Harapan kami, akan ada sastrawan-sastrawan yang lahir dari kemah ini," kata Hermin.
Dilanjutkan
Sementara itu, guru pendamping dari SMA Negeri 1 Metro Ketut Darma Swarta mengatakan kemah sastra yang menghadirkan pembicara baik dari lokal, nasional, maupun mancanegara itu sangat bermanfaat bagi anak-anak didik. "Pengetahuan anak-anak bertambah. Saya juga yakin, minat untuk menghasilkan karya sastra setelah mengikuti kegiatan ini akan lebih muncul," kata Ketut.
Demikian juga yang disampaikan guru pendamping SMA Negeri 1 Tumijajar, Tulangbawang Barat, Hendra Yugoswara. Menuru Hendra, selain pengetahuan murid bertambah, guru-guru yang mendampingi juga bisa berinteraksi. "Kami saling kenal dan kemudian bertukar informasi. Sebelum acara ini, kami tidak saling tahu," ujar Hendra yang diangkat sebagai �lurah� itu.
Baik Ketut maupun Hendra, serta beberapa guru pendamping lainnya berharap kegiatan kemah sastra bisa digelar rutin setiap tahun. (KIS/U-3)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
[Kemah Sastra]: Dari 'Tikus', Musikalisasi Puisi, hingga Api Unggun
GADINGREJO -- Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Lampung yang dibuka Kamis (28-10) pagi, resmi ditutup tadi malam. Hari ini seluruh peserta kembali ke daerah masing-masing.
Selama dua hari, sebanyak 270 pelajar dari 45 SMA se-Lampung berkemah di halaman SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu. Mereka tidur di enam tenda besar milik TNI AL. Penutupan hajat pelajar yang digelar SMAN 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dan Lampung Post kemarin menampilkan karya seni dan sastra peserta. Pentas seni diawali penampilan teater tuan rumah yang membawakan lakon Tikus.
Skenario ini mengisahkan para koruptor yang dianalogikan sebagai tikus. Tikus menyajikan lakon bernuansa kritik sosial. Bagaimana efek yang ditimbulkan korupsi dengan menyajikan pandangan realis dan rada nyinyir. Lewat lakon ini, siswa SMAN 1 Gadingrejo berpesan kepada penonton agar berhati-hati dan mewaspadai setiap tindak korupsi.
Lalu, penampilan dua siswa penghuni tenda satu yang membawakan puisi Haus Pendidikan dan Pendidikan dengan Jalan di Lampung Kami. Karya sastra siswa SMAN 1 Kedondong itu menyoroti dunia pendidikan di Lampung yang masih minor di sana-sini.
Tak cuma teater dan baca puisi, peserta juga bebas mengekspresikan kreativitas seni. Ada yang bermusik, drama, atau kolaborasi musik dan puisi. Lagu Pelangi yang diaransemen dengan iringan gamelan pun mampu menandingi grup aslinya, Koes Plus.
Kehadiran anggota DPD asal Lampung, Anang Prihantoro, yang membacakan puisinya berjudul Makna Sebuah Titipan (tentang angan-angan seorang anak desa akan masa depan yang sukses) menambah "bobot" kegiatan itu. "Saya tahu, puisi saya jelek. Saya cuma mau memberi semangat," kata Anang.
Puncak acara, seluruh peserta tadi malam berbaur akrab mengitari api unggun. Dua hari bergumul dengan dunia sastra, diakhiri dengan nyanyian bersama dan lagu-lagu perjuangan.
"Kalau bisa, tahun depan ada lagi," kata Nurkholis Saputra, siswa SMA Cukuhbalak, Tanggamus. Mereka mengaku sangat terkesan dengan kegiatan itu. "Saya mulai paham dunia sastra," kata Nala Rahmawati, siswi SMA Negeri 1 Kedondong. "Adain lagi tahun depan ya?" kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
Selama dua hari, sebanyak 270 pelajar dari 45 SMA se-Lampung berkemah di halaman SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu. Mereka tidur di enam tenda besar milik TNI AL. Penutupan hajat pelajar yang digelar SMAN 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dan Lampung Post kemarin menampilkan karya seni dan sastra peserta. Pentas seni diawali penampilan teater tuan rumah yang membawakan lakon Tikus.
Skenario ini mengisahkan para koruptor yang dianalogikan sebagai tikus. Tikus menyajikan lakon bernuansa kritik sosial. Bagaimana efek yang ditimbulkan korupsi dengan menyajikan pandangan realis dan rada nyinyir. Lewat lakon ini, siswa SMAN 1 Gadingrejo berpesan kepada penonton agar berhati-hati dan mewaspadai setiap tindak korupsi.
Lalu, penampilan dua siswa penghuni tenda satu yang membawakan puisi Haus Pendidikan dan Pendidikan dengan Jalan di Lampung Kami. Karya sastra siswa SMAN 1 Kedondong itu menyoroti dunia pendidikan di Lampung yang masih minor di sana-sini.
Tak cuma teater dan baca puisi, peserta juga bebas mengekspresikan kreativitas seni. Ada yang bermusik, drama, atau kolaborasi musik dan puisi. Lagu Pelangi yang diaransemen dengan iringan gamelan pun mampu menandingi grup aslinya, Koes Plus.
Kehadiran anggota DPD asal Lampung, Anang Prihantoro, yang membacakan puisinya berjudul Makna Sebuah Titipan (tentang angan-angan seorang anak desa akan masa depan yang sukses) menambah "bobot" kegiatan itu. "Saya tahu, puisi saya jelek. Saya cuma mau memberi semangat," kata Anang.
Puncak acara, seluruh peserta tadi malam berbaur akrab mengitari api unggun. Dua hari bergumul dengan dunia sastra, diakhiri dengan nyanyian bersama dan lagu-lagu perjuangan.
"Kalau bisa, tahun depan ada lagi," kata Nurkholis Saputra, siswa SMA Cukuhbalak, Tanggamus. Mereka mengaku sangat terkesan dengan kegiatan itu. "Saya mulai paham dunia sastra," kata Nala Rahmawati, siswi SMA Negeri 1 Kedondong. "Adain lagi tahun depan ya?" kata dia. (MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010
October 29, 2010
Otonomi Daerah Lampung (3): Putra Daerah dan Aristokrasi Politik
PROVINSI Lampung memiliki kondisi geopolitik unik, dikenal sebagai daerah transmigrasi terbesar di Tanah Air selama berpuluh-puluh tahun. Ini mengakibatkan kuatnya tarikan politik antara pribumi dan warga pendatang, khususnya Jawa.
Mayoritas penduduk di Provinsi Lampung adalah transmigran, khususnya dari Jawa. Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, adalah salah satu wilayah yang banyak dihuni pendatang. Keunikan kondisi geopolitik tersebut membuat Lampung dijuluki sebagai miniatur Indonesia. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Tarikan itu kian menguat pada era reformasi dan otonomi daerah, mulai dari percaturan pengurus partai, pertarungan gubernur dan bupati/wali kota, hingga ke urusan aparatur pemerintahan daerah.
Dikenal sebagai ”miniatur” Indonesia, komposisi penduduk di Provinsi Lampung sangatlah heterogen. Dari 7,6 juta penduduknya saat ini, populasi suku Jawa masih sangat mendominasi, yaitu hingga 61 persen, lalu diikuti suku Sunda sekitar 11 persen. Sementara penduduk asli (Lampung) hanya 25 persen.
Kuatnya dominasi masyarakat Jawa membuat Lampung kerap dijuluki ”Jawa Utara”. Mulai dari nama daerah hingga jalan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu pula dengan pemimpin daerahnya. Berpuluh-puluh tahun Lampung dikuasai pemimpin berlatar belakang etnis Jawa.
Kondisi mulai berubah pada era reformasi dan otonomi daerah. Putra-putra daerah mulai berani tampil seiring semangat membangun daerahnya sendiri. Putra daerah macam Alzier Dianis Thabrani, lalu Sjachroedin ZP, tampil mendominasi percaturan politik di Lampung.
Pada masa Sjachroedin ZP menjadi gubernur sejak 2004, banyak perubahan besar yang dilakukan terkait dikotomi pribumi dan nonpribumi. Sjachroedin yang dikelilingi orang-orang berdarah Jawa di dekatnya, seperti istri dan wakilnya, yaitu Joko Umar Said, melakukan gebrakan besar, antara lain mengubah simbol-simbol pemerintahan yang semula bernuansa Jawa kini lebih menapak ke Sang Bumi Ruwai Jurai (Lampung).
Nama rumah dinas gubernur yang dulu dinamai pendapa diubah menjadi Mahan Agung. Begitu pula ruang-ruang kantor sekretariat Pemerintah Provinsi Lampung lainnya, namanya diganti dengan nuansa Lampung. Putra daerah juga lebih berkesempatan berkarier sebagai pejabat di pemerintahan.
Dengan kondisi geopolitik semacam itu, partai-partai bernuansa nasionalis lebih mendapat tempat dalam masyarakat Lampung. Hasil pemilu di Lampung menjadi barometer hasil di nasional. Ini setidaknya dibuktikan sejak 1999. Partai yang menang di Lampung juga akan menang secara nasional.
Dalam percaturan politik di kabupaten/kota, tarikan antara putra daerah dan etnis pendatang terlihat sangat kuat. Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 yang dilangsungkan serentak di lima kabupaten/kota di Lampung membuktikannya. Kombinasi Jawa-Lampung hampir selalu muncul.
Sampai-sampai, karakteristik geopolitik suatu daerah di Lampung bisa direpresentasikan dari kepala daerah yang memenangi pilkada. Di Kota Metro yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa, misalnya, pilkada dimenangi Lukman Hakim dan Saleh Chandra yang berdarah Jawa.
Di Kabupaten Pesawaran yang komposisi etnisnya masih berimbang antara Lampung dan Jawa, pemenangnya adalah Aries Sandi (berdarah Lampung) dan Musiran (berdarah Jawa). Hal sama terlihat di Lampung Timur. Meskipun berstatus tersangka, Satono yang berdarah Jawa mendominasi suara di tengah masyarakat yang 60 persen beretnis Jawa.
Aristokrasi politik
Kondisi masyarakat yang primordial-tradisional juga menyuburkan praktik aristokrasi politik di Lampung. Banyak calon di kabupaten/kota yang mendompleng ketokohan orangtuanya. Di Pesawaran, terpilihnya Aries Sandi (34) sebagai bupati tidak lepas dari pamor ayahnya, Abdurachman Sarbini, yang menjabat Bupati Tulang Bawang dan Ketua DPD Partai Amanat Nasional Lampung.
Lebih unik lagi di Lampung Selatan. Rycko Menoza, anak tertua Sjachroedin ZP, merupakan Bupati Lampung Selatan. Bisa jadi, dia satu-satunya bupati yang dilantik oleh ayahnya sendiri.
Banyak spekulasi beredar, Rycko tengah ”dipersiapkan” ayahnya untuk menjadi gubernur masa depan. Program strategis yang dicanangkan Sjachroedin, yaitu pembangunan Kota Baru Way Hui dan Jembatan Selat Sunda yang berada di wilayah Lampung Selatan, memiliki dua keuntungan pencitraan sekaligus, yaitu manifestasi kepemimpinan Sjachroedin dan putra daerah, sekaligus keberhasilan putranya itu.
Jika itu yang terjadi, selama tiga generasi berturut-turut, keluarga besar Sjachroedin pernah menduduki jabatan gubernur. Ayah Sjahroedin ZP, yaitu Zainal Abidin Pagar Alam, adalah Gubernur Lampung periode 1966- 1972. Kini, Sjachroedin juga tengah mendorong putra ketiganya, Handitya Narapati, untuk maju sebagai calon bupati di Pringsewu. (Yulvianus Harjono/M Fajar Marta)
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010
Mayoritas penduduk di Provinsi Lampung adalah transmigran, khususnya dari Jawa. Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, adalah salah satu wilayah yang banyak dihuni pendatang. Keunikan kondisi geopolitik tersebut membuat Lampung dijuluki sebagai miniatur Indonesia. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Tarikan itu kian menguat pada era reformasi dan otonomi daerah, mulai dari percaturan pengurus partai, pertarungan gubernur dan bupati/wali kota, hingga ke urusan aparatur pemerintahan daerah.
Dikenal sebagai ”miniatur” Indonesia, komposisi penduduk di Provinsi Lampung sangatlah heterogen. Dari 7,6 juta penduduknya saat ini, populasi suku Jawa masih sangat mendominasi, yaitu hingga 61 persen, lalu diikuti suku Sunda sekitar 11 persen. Sementara penduduk asli (Lampung) hanya 25 persen.
Kuatnya dominasi masyarakat Jawa membuat Lampung kerap dijuluki ”Jawa Utara”. Mulai dari nama daerah hingga jalan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu pula dengan pemimpin daerahnya. Berpuluh-puluh tahun Lampung dikuasai pemimpin berlatar belakang etnis Jawa.
Kondisi mulai berubah pada era reformasi dan otonomi daerah. Putra-putra daerah mulai berani tampil seiring semangat membangun daerahnya sendiri. Putra daerah macam Alzier Dianis Thabrani, lalu Sjachroedin ZP, tampil mendominasi percaturan politik di Lampung.
Pada masa Sjachroedin ZP menjadi gubernur sejak 2004, banyak perubahan besar yang dilakukan terkait dikotomi pribumi dan nonpribumi. Sjachroedin yang dikelilingi orang-orang berdarah Jawa di dekatnya, seperti istri dan wakilnya, yaitu Joko Umar Said, melakukan gebrakan besar, antara lain mengubah simbol-simbol pemerintahan yang semula bernuansa Jawa kini lebih menapak ke Sang Bumi Ruwai Jurai (Lampung).
Nama rumah dinas gubernur yang dulu dinamai pendapa diubah menjadi Mahan Agung. Begitu pula ruang-ruang kantor sekretariat Pemerintah Provinsi Lampung lainnya, namanya diganti dengan nuansa Lampung. Putra daerah juga lebih berkesempatan berkarier sebagai pejabat di pemerintahan.
Dengan kondisi geopolitik semacam itu, partai-partai bernuansa nasionalis lebih mendapat tempat dalam masyarakat Lampung. Hasil pemilu di Lampung menjadi barometer hasil di nasional. Ini setidaknya dibuktikan sejak 1999. Partai yang menang di Lampung juga akan menang secara nasional.
Dalam percaturan politik di kabupaten/kota, tarikan antara putra daerah dan etnis pendatang terlihat sangat kuat. Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 yang dilangsungkan serentak di lima kabupaten/kota di Lampung membuktikannya. Kombinasi Jawa-Lampung hampir selalu muncul.
Sampai-sampai, karakteristik geopolitik suatu daerah di Lampung bisa direpresentasikan dari kepala daerah yang memenangi pilkada. Di Kota Metro yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa, misalnya, pilkada dimenangi Lukman Hakim dan Saleh Chandra yang berdarah Jawa.
Di Kabupaten Pesawaran yang komposisi etnisnya masih berimbang antara Lampung dan Jawa, pemenangnya adalah Aries Sandi (berdarah Lampung) dan Musiran (berdarah Jawa). Hal sama terlihat di Lampung Timur. Meskipun berstatus tersangka, Satono yang berdarah Jawa mendominasi suara di tengah masyarakat yang 60 persen beretnis Jawa.
Aristokrasi politik
Kondisi masyarakat yang primordial-tradisional juga menyuburkan praktik aristokrasi politik di Lampung. Banyak calon di kabupaten/kota yang mendompleng ketokohan orangtuanya. Di Pesawaran, terpilihnya Aries Sandi (34) sebagai bupati tidak lepas dari pamor ayahnya, Abdurachman Sarbini, yang menjabat Bupati Tulang Bawang dan Ketua DPD Partai Amanat Nasional Lampung.
Lebih unik lagi di Lampung Selatan. Rycko Menoza, anak tertua Sjachroedin ZP, merupakan Bupati Lampung Selatan. Bisa jadi, dia satu-satunya bupati yang dilantik oleh ayahnya sendiri.
Banyak spekulasi beredar, Rycko tengah ”dipersiapkan” ayahnya untuk menjadi gubernur masa depan. Program strategis yang dicanangkan Sjachroedin, yaitu pembangunan Kota Baru Way Hui dan Jembatan Selat Sunda yang berada di wilayah Lampung Selatan, memiliki dua keuntungan pencitraan sekaligus, yaitu manifestasi kepemimpinan Sjachroedin dan putra daerah, sekaligus keberhasilan putranya itu.
Jika itu yang terjadi, selama tiga generasi berturut-turut, keluarga besar Sjachroedin pernah menduduki jabatan gubernur. Ayah Sjahroedin ZP, yaitu Zainal Abidin Pagar Alam, adalah Gubernur Lampung periode 1966- 1972. Kini, Sjachroedin juga tengah mendorong putra ketiganya, Handitya Narapati, untuk maju sebagai calon bupati di Pringsewu. (Yulvianus Harjono/M Fajar Marta)
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Orang Asing Hargai Budaya Indonesia
GADINGREJO (Lampost): Bahasa dan sastra yang merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia sangat dihargai orang-orang asing. Sebab itu, sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, sepatutnya bangga dengan bahasa dan kesusastraan di Indonesia.
Setidaknya hal itu terungkap saat dialog kebudayaan antarbangsa dalam Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung, Kamis (28-10). Dialog tersebut menghadirkan dua pembicara, yaitu First Secretary Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina Taher Hamad, Pelaksana Tugas Kerja Sama Pendidikan Bahasa Kedubes Prancis Magali Defleur, dan Daniel Antonio Milan Cabrera (29) dari Meksiko.
Taher mengaku sangat kagum dengan keanekaragaman adat dan budaya di Indonesia. "Ya secara umum saya sangat terkesan dengan Indonesia yang sangat kaya dengan budaya," kata Taher.
Menurut Taher, banyak warga Palestina yang kini belajar di Indonesia. Bahkan, hasil dari belajar dari Indonesia saat ini banyak yang sudah menjadi doktor, dokter, dan insinyur. Menjadi pembicara pada Kemah Bahasa dan Sastra yang diikuti ratusan pelajar, menurut Taher, sangat membanggakan bagi dirinya.
Sedangkan Magali Defleur mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra dengan menghadirkan pembicara asing, dapat membuka wawasan dan menghargai perbedaan. "Kedatangan saya ke sini, bisa saling membuka informasi tentang nilai-nilai budaya di Indonesia," kata Magali. Dia juga mengatakan, kesempatan belajar bagi orang-orang Indonesia di Prancis sangat terbuka.
Daniel Antonio Milan Cabrera yang mewakili Kedubes Meksiko mengatakan baru satu tahun di Indonesia, tapi sudah sangat terkesan dengan budaya Indonesia. Daniel yang kini menempuh studi seni di Bandung, mengaku akan menularkan kebudayaan Indonesia, jika telah pulang ke Meksiko. (WID/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
Setidaknya hal itu terungkap saat dialog kebudayaan antarbangsa dalam Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung, Kamis (28-10). Dialog tersebut menghadirkan dua pembicara, yaitu First Secretary Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina Taher Hamad, Pelaksana Tugas Kerja Sama Pendidikan Bahasa Kedubes Prancis Magali Defleur, dan Daniel Antonio Milan Cabrera (29) dari Meksiko.
Taher mengaku sangat kagum dengan keanekaragaman adat dan budaya di Indonesia. "Ya secara umum saya sangat terkesan dengan Indonesia yang sangat kaya dengan budaya," kata Taher.
Menurut Taher, banyak warga Palestina yang kini belajar di Indonesia. Bahkan, hasil dari belajar dari Indonesia saat ini banyak yang sudah menjadi doktor, dokter, dan insinyur. Menjadi pembicara pada Kemah Bahasa dan Sastra yang diikuti ratusan pelajar, menurut Taher, sangat membanggakan bagi dirinya.
Sedangkan Magali Defleur mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra dengan menghadirkan pembicara asing, dapat membuka wawasan dan menghargai perbedaan. "Kedatangan saya ke sini, bisa saling membuka informasi tentang nilai-nilai budaya di Indonesia," kata Magali. Dia juga mengatakan, kesempatan belajar bagi orang-orang Indonesia di Prancis sangat terbuka.
Daniel Antonio Milan Cabrera yang mewakili Kedubes Meksiko mengatakan baru satu tahun di Indonesia, tapi sudah sangat terkesan dengan budaya Indonesia. Daniel yang kini menempuh studi seni di Bandung, mengaku akan menularkan kebudayaan Indonesia, jika telah pulang ke Meksiko. (WID/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Bahasa Bangun Percaya Diri Bangsa
GADINGREJO�Dekan Fakultas Sastra UKI Jakarta Fajar S. Roekminto menjelaskan pengunaan bahasa daerah dan nasional akan membangun percaya bangsa.
Pernyataan itu dikemukakan saat dalam acara kemah sastra dan bahasa di Gadingrejo, Kamis (28-10). Menurut dia, penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia menjadi sangat penting. Terutama dalam kondisi saat ini pengunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda yang sangat memprihatinkan. "Kita sulit berbahasa asing dengan benar sebab kita juga tidak pernah serius dalam menggunakan bahasa Indonesia," kata dia.
Dia menjelaskan bahasa Indonesia kini hanya menjadi mata pelajaran nomor kesekian. Menurut dia, belajar bahasa dan sastra akan bisa mengasah batin. Dengan belajar bahasa asing, kita akan malu jika melakukan penistaan dengan bangsa lain. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
Pernyataan itu dikemukakan saat dalam acara kemah sastra dan bahasa di Gadingrejo, Kamis (28-10). Menurut dia, penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia menjadi sangat penting. Terutama dalam kondisi saat ini pengunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda yang sangat memprihatinkan. "Kita sulit berbahasa asing dengan benar sebab kita juga tidak pernah serius dalam menggunakan bahasa Indonesia," kata dia.
Dia menjelaskan bahasa Indonesia kini hanya menjadi mata pelajaran nomor kesekian. Menurut dia, belajar bahasa dan sastra akan bisa mengasah batin. Dengan belajar bahasa asing, kita akan malu jika melakukan penistaan dengan bangsa lain. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Bahasa Lampung Harus Dijaga dari Kepunahan
GADINGREJO (Lampost): Indonesia tercatat memiliki 612 dari 746 bahasa daerah yang aktif dipakai oleh masyarakat. Namun, karena jarang dipakai dalam pergaulan sehari-hari, bahasa daerah itu lambat laun akan punah karena tidak ada penuturnya.
Hal itu disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dalam sambutan yang dibacakan Asisten III Sekretaris Provinsi Lampung Arinal Djunaidi saat membuka Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu, Kamis (28-10).
Menurut Arinal, dalam kurun waktu tertentu sekitar 100 bahasa daerah terancam punah. Bahkan, sekitar 14 bahasa daerah dinyatakan telah punah. Dia menjelaskan pada abad ke-21 bahasa daerah hanya tinggal 10 persen yang bertahan. Selebihnya hampir dinyatakan punah. Punahnya bahasa berarti punahnya juga kebudayaan, kata Arinal.
Untuk menjaga kelestarian bahasa Lampung itu, ujarnya, dilakukan dengan pembelajaran di sekolah. "Kita harus sama-sama menjaga agar bahasa Lampung harus tetap terpelihara," kata Arinal.
Kegiatan yang diikuti 300 pelajar SMA, SMK, dan MAN tersebut digelar oleh SMA Negeri 1 Gadingrejo bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), serta harian umum Lampung Post.
Sementara Penjabat Bupati Pringsewu Sudarno Eddi menjelaskan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi terutama di kalangan generasi muda, terasa telah sangat berkurang.
Dia mengatakan perkembangan bahasa dan sastra Indonesia telah diperkaya oleh berbagai bahasa serta sastra daerah dan asing. "Sebagai pemilik, kita harusnya bangga akan bahasa dan sastra di Lampung. Ini harus kita jaga sebagai harta yang tak ternilai," kata Sudarno.
Komunitas Sastra
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam sambutannya mengungkapkan bahwa sastra memiliki peran penting untuk menemukan kembali identitas kebangsaan serta menguatkan karakter jiwa muda.
Kemah Sastra, kata Hermin, dapat menjadi batu tumpuan untuk membentuk komunitas-komunitas sastra siswa sehingga dapat muncul sastrawan-sastrawan muda di Sang Bumi Ruwa Jurai.
Senada dengan Hermin, Dekan Fakultas Sastra UKI Jakarta Fajar S. Roekminto mengatakan dengan terciptanya komunitas sastra, khususnya siswa-siswa SMA, dapat menjadi kekuatan budaya dan sastra lisan, terlebih bahasa daerah Lampung.
Fajar juga berpendapat Kemah Sastra yang diikuti oleh 300 pelajar SMA se-Lampung itu adalah titik tolak untuk pembaruan kekuatan budaya tersebut. "Kegiatan-kegiatan sastra masih sangat jarang. Padahal karya-karya sastra dapat mengasah batin dan membuat perkembangan bahasa dan sastra Indonesia menjadi baik," ujarnya.
Pembukaan Kemah Sastra yang baru pertama kali diadakan di Lampung tersebut juga menampilkan pentas karya budaya Meksiko yang dimainkan oleh mahasiswa utusan Kedubes Meksiko, Daniel Antonio Milan Cabrera, yang membawakan sebuah lagu berbahasa Spanyol dan sebuah tembang daerah Sunda. (WID/MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
Hal itu disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dalam sambutan yang dibacakan Asisten III Sekretaris Provinsi Lampung Arinal Djunaidi saat membuka Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu, Kamis (28-10).
Menurut Arinal, dalam kurun waktu tertentu sekitar 100 bahasa daerah terancam punah. Bahkan, sekitar 14 bahasa daerah dinyatakan telah punah. Dia menjelaskan pada abad ke-21 bahasa daerah hanya tinggal 10 persen yang bertahan. Selebihnya hampir dinyatakan punah. Punahnya bahasa berarti punahnya juga kebudayaan, kata Arinal.
Untuk menjaga kelestarian bahasa Lampung itu, ujarnya, dilakukan dengan pembelajaran di sekolah. "Kita harus sama-sama menjaga agar bahasa Lampung harus tetap terpelihara," kata Arinal.
Kegiatan yang diikuti 300 pelajar SMA, SMK, dan MAN tersebut digelar oleh SMA Negeri 1 Gadingrejo bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), serta harian umum Lampung Post.
Sementara Penjabat Bupati Pringsewu Sudarno Eddi menjelaskan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi terutama di kalangan generasi muda, terasa telah sangat berkurang.
Dia mengatakan perkembangan bahasa dan sastra Indonesia telah diperkaya oleh berbagai bahasa serta sastra daerah dan asing. "Sebagai pemilik, kita harusnya bangga akan bahasa dan sastra di Lampung. Ini harus kita jaga sebagai harta yang tak ternilai," kata Sudarno.
Komunitas Sastra
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam sambutannya mengungkapkan bahwa sastra memiliki peran penting untuk menemukan kembali identitas kebangsaan serta menguatkan karakter jiwa muda.
Kemah Sastra, kata Hermin, dapat menjadi batu tumpuan untuk membentuk komunitas-komunitas sastra siswa sehingga dapat muncul sastrawan-sastrawan muda di Sang Bumi Ruwa Jurai.
Senada dengan Hermin, Dekan Fakultas Sastra UKI Jakarta Fajar S. Roekminto mengatakan dengan terciptanya komunitas sastra, khususnya siswa-siswa SMA, dapat menjadi kekuatan budaya dan sastra lisan, terlebih bahasa daerah Lampung.
Fajar juga berpendapat Kemah Sastra yang diikuti oleh 300 pelajar SMA se-Lampung itu adalah titik tolak untuk pembaruan kekuatan budaya tersebut. "Kegiatan-kegiatan sastra masih sangat jarang. Padahal karya-karya sastra dapat mengasah batin dan membuat perkembangan bahasa dan sastra Indonesia menjadi baik," ujarnya.
Pembukaan Kemah Sastra yang baru pertama kali diadakan di Lampung tersebut juga menampilkan pentas karya budaya Meksiko yang dimainkan oleh mahasiswa utusan Kedubes Meksiko, Daniel Antonio Milan Cabrera, yang membawakan sebuah lagu berbahasa Spanyol dan sebuah tembang daerah Sunda. (WID/MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
Kemah Sastra: Menulis Bisa Dijadikan Profesi Baru
GADINGREJO (Lampost): Menulis bisa dijadikan sebagai profesi baru tanpa menghalangi cita-cita dan pekerjaan sebelumnya.
"Menulis dapat menjadi profesi baru, tetapi harus dilatih terus-menerus," kata penulis Arswendo Atmowiloto dalam Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, Kamis (28-10).
Menurut Arswendo, menulis itu mudah dan menyenangkan karena segala sesuatu dapat dijadikan sebagai bahan tulisan. Namun, menulis bukan bakat instan yang datang begitu saja. "Menulis merupakan bakat yang diperoleh dengan latihan terus-menerus dan berkelanjutan," kata dia.
Pengalaman, kata Arswendo, adalah salah satu materi yang menarik untuk dituliskan. "Pengalaman apa pun bisa dituliskan," ujar dia.
Arswendo memberi beberapa pedoman umum untuk membuat tulisan yang baik. Untuk semua karangan, mulai cerita pendek sampai puisi ada tiga unsur penting yang harus ada, yakni tokoh serta lokasi (waktu dan tempat, dan konflik. "Konflik selalu terjadi dari dua hal yang dibenturkan, contohnya laki-laki dan perempuan," jelasnya.
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat yang juga menjadi pembicara mengatakan penulis adalah profesi terhormat. Banyak nama besar di Tanah Air karena profesinya sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya. Taufik Ismail, misalnya. Paus Sastra Indonesia itu lebih dikenal sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya yang sebagai dokter hewan.
Djadjat memberikan kiat menulis sebuah karangan yang baik, antara lain tidak memperhatikan segala macam penilaian agar tidak terbebani saat mengarang. "Penilaian diserahkan kepada pembaca karena pembaca menilai dari sudut pandang masing-masing," kata dia.
Tetapi, Djadjat menekankan bahwa menulis akan jauh lebih sulit jika tidak memiliki pengetahuan. "Pengetahuan dapat diperoleh dengan banyak membaca," ujarnya.
Tentang momentum menulis, Djadjat menjelaskan hal itu dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. "Senang atau sedih dapat menjadi bahan untuk dijadikan sebagai sebuah karya," kata dia. (MG13/U-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
"Menulis dapat menjadi profesi baru, tetapi harus dilatih terus-menerus," kata penulis Arswendo Atmowiloto dalam Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, Kamis (28-10).
Menurut Arswendo, menulis itu mudah dan menyenangkan karena segala sesuatu dapat dijadikan sebagai bahan tulisan. Namun, menulis bukan bakat instan yang datang begitu saja. "Menulis merupakan bakat yang diperoleh dengan latihan terus-menerus dan berkelanjutan," kata dia.
Pengalaman, kata Arswendo, adalah salah satu materi yang menarik untuk dituliskan. "Pengalaman apa pun bisa dituliskan," ujar dia.
Arswendo memberi beberapa pedoman umum untuk membuat tulisan yang baik. Untuk semua karangan, mulai cerita pendek sampai puisi ada tiga unsur penting yang harus ada, yakni tokoh serta lokasi (waktu dan tempat, dan konflik. "Konflik selalu terjadi dari dua hal yang dibenturkan, contohnya laki-laki dan perempuan," jelasnya.
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat yang juga menjadi pembicara mengatakan penulis adalah profesi terhormat. Banyak nama besar di Tanah Air karena profesinya sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya. Taufik Ismail, misalnya. Paus Sastra Indonesia itu lebih dikenal sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya yang sebagai dokter hewan.
Djadjat memberikan kiat menulis sebuah karangan yang baik, antara lain tidak memperhatikan segala macam penilaian agar tidak terbebani saat mengarang. "Penilaian diserahkan kepada pembaca karena pembaca menilai dari sudut pandang masing-masing," kata dia.
Tetapi, Djadjat menekankan bahwa menulis akan jauh lebih sulit jika tidak memiliki pengetahuan. "Pengetahuan dapat diperoleh dengan banyak membaca," ujarnya.
Tentang momentum menulis, Djadjat menjelaskan hal itu dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. "Senang atau sedih dapat menjadi bahan untuk dijadikan sebagai sebuah karya," kata dia. (MG13/U-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Oktober 2010
October 28, 2010
Otonomi Daerah Lampung (2): Masyarakat Masih Mendambakan Sejahtera
Oleh Yulvianus Harjono dan M Fajar Marta
WAJAH Waras (38) terlihat amat letih. Sesekali ia melirik lengan kanannya yang berdarah. ”Awakku iki rasana koyo digebuki (badan ini rasanya seperti dipukuli),” keluh warga Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, ini.
Kepadatan Kota Bandar Lampung terlihat dari Bukit Randu, awal Oktober lalu. Semakin pa d a t ny a permukiman penduduk dan tidak terkendalinya pembangunan menjadi salah satu alasan Pemerintah Provinsi Lampung merancang kota baru sebagai pusat pemerintahannya. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Petambak plasma ini baru saja menempuh sembilan jam perjalanan, 250 kilometer jalan, dari tempat tinggalnya ke ibu kota provinsi, Bandar Lampung. Bukan jauhnya perjalanan, melainkan buruknya jalan yang dia keluhkan.
Untuk mencapai Bandar Lampung, dia harus melewati ruas jalan Simpang Penawar-Rawajitu sepanjang 70 kilometer, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Kondisi jalan hancur total. Tanah bercampur batu dan penuh debu.
Kendaraan hanya bisa berjalan merayap, dengan kecepatan rata-rata 15 kilometer per jam, di ruas jalan ini. ”Kalau di sana (Rawajitu Timur), malas ke luar. Juga sebaliknya, kalau berada di luar, malas kembali untuk melewati jalan itu,” tutur Syukri J Bintoro, warga Rawajitu lainnya.
Sudah belasan tahun jalan itu dibiarkan rusak parah, tanpa sentuhan perbaikan memadai dari pemerintah setempat. Padahal, jalan ini menghubungkan ke sentra tambak udang raksasa PT Aruna Wijaya Sakti (eks Dipasena) dan sejumlah perusahaan pengolah minyak sawit mentah.
Mayoritas jalan provinsi dan kabupaten di daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara tahun 1996 ini dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Begitu pula di daerah baru yang berbatasan dengan wilayah ini, antara lain Kabupaten Mesuji dan Tulang Bawang Barat.
Kemiskinan di Mesuji
Erwansyah (49), warga Talang Batu, Mesuji, juga harus rela berpuluh-puluh tahun hidup di tengah berbagai kondisi keterbatasan infrastruktur. Sudah jalannya buruk, aliran listrik dan air bersih pun tidak tersedia di desanya.
Tak hanya itu, tanah garapannya pun terampas. Hingga saat ini, dia dan ratusan warga Talang Batu terlibat sengketa pengelolaan tanah di hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani. Konflik pertanahan itu berjalan cukup lama dan sangat melelahkan.
Sebagai warga negara, khususnya di daerah pemekaran baru (Mesuji dimekarkan dari Tulang Bawang tahun 2009), dia pun tak berharap hak atas tanahnya yang sempat terampas dikembalikan lagi. Ketiadaan tanah garapan, ditambah buruknya infrastruktur, membuat mayoritas warga Mesuji hidup dalam kemiskinan.
Mesuji adalah salah satu dari tiga daerah di Lampung yang banyak terdapat warga miskin. Apalagi, kabupaten ini dikelilingi perkebunan besar yang memegang hak pengelolaan hutan tanaman industri. Namun, perusahaan itu seret menyerap tenaga kerja.
Jumlah penduduk miskin di Lampung, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional per Maret 2010, mencapai 1,479 juta orang atau 18,94 persen dari total penduduk sekitar 7,4 juta jiwa. Meskipun angka kemiskinan itu turun sebesar 5,03 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, patut dicatat, angka kemiskinan di Lampung masih jauh di atas rata-rata nasional, yaitu 13 persen.
Tingkat elektrifikasi baru 71 persen dari total desa atau baru 43 persen keluarga yang telah mendapat layanan aliran listrik. Buruknya infrastruktur jalan menjadi momok di Lampung. Ditengarai, 50 persen jalan provinsi dan 65 persen jalan nasional di provinsi ujung selatan Sumatera ini dalam kondisi rusak.
”Jangankan mau berobat gratis kalau jalan saja tidak bisa dilewati. Jangankan pula mau sekolah kalau jalan masih susah dilalui. Persoalan infrastruktur harus jadi prioritas ke depan,” tutur Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Hasan menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur dasar.
Belum maksimalnya kinerja daerah otonomi baru di Lampung ini juga pernah mendapat sorotan tajam dari tim Komisi II DPR saat kunjungan kerja, Agustus lalu. Kritik ini salah satunya datang dari Amrun Daulay, anggota Fraksi Partai Demokrat DPR.
Ia melihat mayoritas daerah pemekaran baru di Lampung belum optimal menggali potensi daerahnya. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD mayoritas masih di bawah 3 persen. Sebagian daerah otonomi baru itu, seperti Kabupaten Pesawaran dan Mesuji, hanya memiliki PAD sekitar Rp 2 miliar.
Namun, yang disesalkan, sebagian besar daerah itu justru lebih banyak menghabiskan APBD hanya untuk belanja rutin. Kabupaten Lampung Tengah, misalnya, dari total APBD Rp 932,781 miliar, sebanyak 86,58 persen dihabiskan untuk belanja pegawai. Sementara dari Rp 158,92 miliar APBD Tulang Bawang Barat, 78,61 persen untuk belanja pegawai.
Sumber: Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010
WAJAH Waras (38) terlihat amat letih. Sesekali ia melirik lengan kanannya yang berdarah. ”Awakku iki rasana koyo digebuki (badan ini rasanya seperti dipukuli),” keluh warga Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, ini.
Kepadatan Kota Bandar Lampung terlihat dari Bukit Randu, awal Oktober lalu. Semakin pa d a t ny a permukiman penduduk dan tidak terkendalinya pembangunan menjadi salah satu alasan Pemerintah Provinsi Lampung merancang kota baru sebagai pusat pemerintahannya. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Petambak plasma ini baru saja menempuh sembilan jam perjalanan, 250 kilometer jalan, dari tempat tinggalnya ke ibu kota provinsi, Bandar Lampung. Bukan jauhnya perjalanan, melainkan buruknya jalan yang dia keluhkan.
Untuk mencapai Bandar Lampung, dia harus melewati ruas jalan Simpang Penawar-Rawajitu sepanjang 70 kilometer, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Kondisi jalan hancur total. Tanah bercampur batu dan penuh debu.
Kendaraan hanya bisa berjalan merayap, dengan kecepatan rata-rata 15 kilometer per jam, di ruas jalan ini. ”Kalau di sana (Rawajitu Timur), malas ke luar. Juga sebaliknya, kalau berada di luar, malas kembali untuk melewati jalan itu,” tutur Syukri J Bintoro, warga Rawajitu lainnya.
Sudah belasan tahun jalan itu dibiarkan rusak parah, tanpa sentuhan perbaikan memadai dari pemerintah setempat. Padahal, jalan ini menghubungkan ke sentra tambak udang raksasa PT Aruna Wijaya Sakti (eks Dipasena) dan sejumlah perusahaan pengolah minyak sawit mentah.
Mayoritas jalan provinsi dan kabupaten di daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara tahun 1996 ini dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Begitu pula di daerah baru yang berbatasan dengan wilayah ini, antara lain Kabupaten Mesuji dan Tulang Bawang Barat.
Kemiskinan di Mesuji
Erwansyah (49), warga Talang Batu, Mesuji, juga harus rela berpuluh-puluh tahun hidup di tengah berbagai kondisi keterbatasan infrastruktur. Sudah jalannya buruk, aliran listrik dan air bersih pun tidak tersedia di desanya.
Tak hanya itu, tanah garapannya pun terampas. Hingga saat ini, dia dan ratusan warga Talang Batu terlibat sengketa pengelolaan tanah di hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani. Konflik pertanahan itu berjalan cukup lama dan sangat melelahkan.
Sebagai warga negara, khususnya di daerah pemekaran baru (Mesuji dimekarkan dari Tulang Bawang tahun 2009), dia pun tak berharap hak atas tanahnya yang sempat terampas dikembalikan lagi. Ketiadaan tanah garapan, ditambah buruknya infrastruktur, membuat mayoritas warga Mesuji hidup dalam kemiskinan.
Mesuji adalah salah satu dari tiga daerah di Lampung yang banyak terdapat warga miskin. Apalagi, kabupaten ini dikelilingi perkebunan besar yang memegang hak pengelolaan hutan tanaman industri. Namun, perusahaan itu seret menyerap tenaga kerja.
Jumlah penduduk miskin di Lampung, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional per Maret 2010, mencapai 1,479 juta orang atau 18,94 persen dari total penduduk sekitar 7,4 juta jiwa. Meskipun angka kemiskinan itu turun sebesar 5,03 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, patut dicatat, angka kemiskinan di Lampung masih jauh di atas rata-rata nasional, yaitu 13 persen.
Tingkat elektrifikasi baru 71 persen dari total desa atau baru 43 persen keluarga yang telah mendapat layanan aliran listrik. Buruknya infrastruktur jalan menjadi momok di Lampung. Ditengarai, 50 persen jalan provinsi dan 65 persen jalan nasional di provinsi ujung selatan Sumatera ini dalam kondisi rusak.
”Jangankan mau berobat gratis kalau jalan saja tidak bisa dilewati. Jangankan pula mau sekolah kalau jalan masih susah dilalui. Persoalan infrastruktur harus jadi prioritas ke depan,” tutur Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Hasan menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur dasar.
Belum maksimalnya kinerja daerah otonomi baru di Lampung ini juga pernah mendapat sorotan tajam dari tim Komisi II DPR saat kunjungan kerja, Agustus lalu. Kritik ini salah satunya datang dari Amrun Daulay, anggota Fraksi Partai Demokrat DPR.
Ia melihat mayoritas daerah pemekaran baru di Lampung belum optimal menggali potensi daerahnya. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD mayoritas masih di bawah 3 persen. Sebagian daerah otonomi baru itu, seperti Kabupaten Pesawaran dan Mesuji, hanya memiliki PAD sekitar Rp 2 miliar.
Namun, yang disesalkan, sebagian besar daerah itu justru lebih banyak menghabiskan APBD hanya untuk belanja rutin. Kabupaten Lampung Tengah, misalnya, dari total APBD Rp 932,781 miliar, sebanyak 86,58 persen dihabiskan untuk belanja pegawai. Sementara dari Rp 158,92 miliar APBD Tulang Bawang Barat, 78,61 persen untuk belanja pegawai.
Sumber: Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Kebanggaan Berbahasa Daerah Menurun
GADINGREJO (Lampost): Kemah Bahasa dan Sastra pelajar SMA se-Provinsi Lampung dilatarbelakangi keprihatinan atas menurunnya perasaan bangga untuk menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari.
Menurunnya rasa bangga itu lambat laun mengakibatkan bahasa daerah punah. Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta Fajar S. Roekminto yang ditemui di sela-sela persiapan penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Rabu (27-10).
Menurut Fajar, Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar pertama kalinya di Lampung itu untuk menumbuhkan kembali rasa cinta dan bangga kaum muda untuk menggunakan bahasa daerah dan bahasa nasional. "Pelajar punya andil besar untuk melestarikan bahasa dan budaya yang tumbuh kembang di tengah masyarakat. Karena itu, pelajar diajak untuk mencintai dan bangga untuk berbahasa daerah. Hal ini sesuai tema yang diambil, yaitu Cinta bahasa dan sastra," kata Fajar.
Selain itu, Kemah Bahasa dan Sastra yang diikuti 300-an pelajar juga untuk menemukan kembali identitas kebangsaan dan menguatkan karakter generasi muda melalui bahasa dan sastra serta memiliki sikap terbuka terhadap keberadaan kebudayaan asing lewat bahasa dan sastra guna memperkaya khazanah budaya.
Fajar mengatakan kurangnya minat generasi muda pada bahasa dan sastra juga disebabkan kekurangpahaman akan keberadaan bahasa dan sastra daerah. Selain itu, kebanggaan itu bisa ditumbuhkan melalui pengenalan budaya dan bahasa asing. "Karena itu, Kemah Bahasa dan Sastra juga diisi pengenalan budaya dan bahasa asing melalui pemutaran film dan dialog dengan budayawan asing," ujarnya. (WID/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Oktober 2010
Menurunnya rasa bangga itu lambat laun mengakibatkan bahasa daerah punah. Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta Fajar S. Roekminto yang ditemui di sela-sela persiapan penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Rabu (27-10).
Menurut Fajar, Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar pertama kalinya di Lampung itu untuk menumbuhkan kembali rasa cinta dan bangga kaum muda untuk menggunakan bahasa daerah dan bahasa nasional. "Pelajar punya andil besar untuk melestarikan bahasa dan budaya yang tumbuh kembang di tengah masyarakat. Karena itu, pelajar diajak untuk mencintai dan bangga untuk berbahasa daerah. Hal ini sesuai tema yang diambil, yaitu Cinta bahasa dan sastra," kata Fajar.
Selain itu, Kemah Bahasa dan Sastra yang diikuti 300-an pelajar juga untuk menemukan kembali identitas kebangsaan dan menguatkan karakter generasi muda melalui bahasa dan sastra serta memiliki sikap terbuka terhadap keberadaan kebudayaan asing lewat bahasa dan sastra guna memperkaya khazanah budaya.
Fajar mengatakan kurangnya minat generasi muda pada bahasa dan sastra juga disebabkan kekurangpahaman akan keberadaan bahasa dan sastra daerah. Selain itu, kebanggaan itu bisa ditumbuhkan melalui pengenalan budaya dan bahasa asing. "Karena itu, Kemah Bahasa dan Sastra juga diisi pengenalan budaya dan bahasa asing melalui pemutaran film dan dialog dengan budayawan asing," ujarnya. (WID/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Gubernur Buka Kemah Sastra
GADINGREJO (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. membuka Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Provinsi Lampung hari ini (28-10). Kegiatan di SMA Negeri 1 Gadingrejo tersebut diikuti 300 pelajar serta beberapa atase kebudayaan asing yang berlangsung hingga Sabtu (30-10).
Pembukaan Kemah Bahasa dan Sastra yang dipusatkan di aula sekolah akan diisi dengan pergelaran seni dan budaya yang ditampilkan para siswa SMA Negeri 1 Gadingrejo. "Pak Gubernur yang akan membuka. Salah satu siswa kami nanti akan membawakan sastra lisan Lampung," kata Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra Sumarno, Rabu (27-10).
Selain itu, Sumarno mengatakan ditampilkan juga tari sigeh penguten yang dibawakan oleh pelajar SMAN 1 Gadingrejo. Tarian tersebut akan diiringi oleh instrumen musik tradisional, yaitu gamelan Lampung dan gamelan Jawa, yang juga dibawakan oleh pelajar Sekolah tersebut.
Untuk lebih menyemarakkan pembukaan, Sumarno mengatakan seniman dari Meksiko Daniel Antonio Milan Cabrera akan membawakan musik kolaborasi gitar dipadu suling Sunda. Daniel yang juga mahasiswa seni musik itu sejak kemarin sudah berada di lokasi dan berbaur dengan seluruh peserta.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi berharap pelajar yang mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra nantinya bisa membentuk jaringan kebudayaan dan sastra, baik tingkat daerah, nasional, ataupun internasional. "Seluruh peserta akan berinteraksi satu sama lain. Peserta juga akan menerima pemaparan tentang kebudayaan dan sastra dari mancanegara," kata Hermin.
Menurut Hermin, pembuatan jaringan kebudayaan dan sastra itu dapat dilakukan melalui jejaring internet. "Kemah Bahasa dan Sastra ini merupakan kegiatan yang pertama kali dilakukan. Harapan kami, kegiatan ini bisa terus digelar sebagai agenda tahunan," kata dia.
Hermin mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra bertujuan menanamkan minat dan kecintaan serta mengembangkan sastra dan bahasa Indonesia di kalangan pelajar. Selain itu juga bertujuan mencari dan menggali potensi-potensi sastra di kalangan pelajar. "Banyak pelajar yang memiliki potensi sastra yang besar dan ini perlu dicari dan dimunculkkan," ujar Hermin.
Perkembangan Sastra
Sementara itu, sebagian besar peserta sejak kemarin sudah hadir. Mereka berasal dari Lampung Barat, Way Kanan, Lampung Utara, Metro, Lampung Selatan, dan Lampung Timur. Didampingi guru pendamping masing-masing sekolah, mereka mendaftar ulang.
Salah satu guru pendamping dari SMAN 1 Sukadana, Lampung Timur, Suheri, mengatakan sekolahnya sangat antusias mengikuti kegiatan ini karena penting untuk perkembangan sastra di Lampung. Selain itu, siswa-siswinya juga terpacu untuk belajar bahasa dan sastra. “Siswa akan mencintai sastra dan kebudayaan. Siswa yang ikut dapat memotivasi siswa yang lain untuk mencintai sastra,” ujar Suheri.
Mengawali kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra, tadi malam peserta disuguhi film yang berjudul Iron Wall dari Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina.
Setelah pembukaan, kegiatan peserta hari ini akan diisi dialog Sastra dengan narasumber budayawan Arswendo Atmowiloto. Pada malam harinya, akan diputar film dan diskusi budaya dan sastra asing.
Pada hari kedua, kegiatan peserta diisi dengan dialog bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Lampung Muhammad Muis. Selanjutnya pada siang hari akan digelar coaching clinic yang meliputi penulisan puisi, budaya Lampung, penulisan cerita pendek serta penulisan jurnalistik dan artikel. (KIS/MG17/WID/ONO/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Oktober 2010
Pembukaan Kemah Bahasa dan Sastra yang dipusatkan di aula sekolah akan diisi dengan pergelaran seni dan budaya yang ditampilkan para siswa SMA Negeri 1 Gadingrejo. "Pak Gubernur yang akan membuka. Salah satu siswa kami nanti akan membawakan sastra lisan Lampung," kata Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra Sumarno, Rabu (27-10).
Selain itu, Sumarno mengatakan ditampilkan juga tari sigeh penguten yang dibawakan oleh pelajar SMAN 1 Gadingrejo. Tarian tersebut akan diiringi oleh instrumen musik tradisional, yaitu gamelan Lampung dan gamelan Jawa, yang juga dibawakan oleh pelajar Sekolah tersebut.
Untuk lebih menyemarakkan pembukaan, Sumarno mengatakan seniman dari Meksiko Daniel Antonio Milan Cabrera akan membawakan musik kolaborasi gitar dipadu suling Sunda. Daniel yang juga mahasiswa seni musik itu sejak kemarin sudah berada di lokasi dan berbaur dengan seluruh peserta.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi berharap pelajar yang mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra nantinya bisa membentuk jaringan kebudayaan dan sastra, baik tingkat daerah, nasional, ataupun internasional. "Seluruh peserta akan berinteraksi satu sama lain. Peserta juga akan menerima pemaparan tentang kebudayaan dan sastra dari mancanegara," kata Hermin.
Menurut Hermin, pembuatan jaringan kebudayaan dan sastra itu dapat dilakukan melalui jejaring internet. "Kemah Bahasa dan Sastra ini merupakan kegiatan yang pertama kali dilakukan. Harapan kami, kegiatan ini bisa terus digelar sebagai agenda tahunan," kata dia.
Hermin mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra bertujuan menanamkan minat dan kecintaan serta mengembangkan sastra dan bahasa Indonesia di kalangan pelajar. Selain itu juga bertujuan mencari dan menggali potensi-potensi sastra di kalangan pelajar. "Banyak pelajar yang memiliki potensi sastra yang besar dan ini perlu dicari dan dimunculkkan," ujar Hermin.
Perkembangan Sastra
Sementara itu, sebagian besar peserta sejak kemarin sudah hadir. Mereka berasal dari Lampung Barat, Way Kanan, Lampung Utara, Metro, Lampung Selatan, dan Lampung Timur. Didampingi guru pendamping masing-masing sekolah, mereka mendaftar ulang.
Salah satu guru pendamping dari SMAN 1 Sukadana, Lampung Timur, Suheri, mengatakan sekolahnya sangat antusias mengikuti kegiatan ini karena penting untuk perkembangan sastra di Lampung. Selain itu, siswa-siswinya juga terpacu untuk belajar bahasa dan sastra. “Siswa akan mencintai sastra dan kebudayaan. Siswa yang ikut dapat memotivasi siswa yang lain untuk mencintai sastra,” ujar Suheri.
Mengawali kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra, tadi malam peserta disuguhi film yang berjudul Iron Wall dari Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina.
Setelah pembukaan, kegiatan peserta hari ini akan diisi dialog Sastra dengan narasumber budayawan Arswendo Atmowiloto. Pada malam harinya, akan diputar film dan diskusi budaya dan sastra asing.
Pada hari kedua, kegiatan peserta diisi dengan dialog bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Lampung Muhammad Muis. Selanjutnya pada siang hari akan digelar coaching clinic yang meliputi penulisan puisi, budaya Lampung, penulisan cerita pendek serta penulisan jurnalistik dan artikel. (KIS/MG17/WID/ONO/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Oktober 2010
October 27, 2010
Kopi Luwak: Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Primadona
WAHYU Anggoro (25) tidak pernah menyangka jika biji-biji kopi berupa kotoran luwak ternyata mampu menjadi komoditas primadona. Bahkan, kopi yang harganya ”selangit” ini sekarang banyak diburu dan digemari publik mancanegara.
Kotoran luwak yang berisi biji-biji kopi dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi kopi luwak di Way Mengaku, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Kopi luwak memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi karena banyak digemari penikmat kopi di mancanegara. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
”Terus terang, dulu kami memandang itu (kopi luwak) menjijikkan. Kami baru tahu itu memiliki nilai jual setelah ada peneliti dari Hongkong masuk ke sini. Dia (peneliti) bilang, kopi luwak Lampung Barat adalah salah satu yang terbaik,” ujar produsen kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lambar, baru-baru ini.
Kompleks Gang Pekonan, Way Mengaku, merupakan sentra penghasil kopi luwak di Lambar. Di sini terdapat sekitar 10 produsen kopi luwak yang seluruhnya merupakan usaha kecil menengah. Secara kasat- mata, dari luar, tidak tampak jika mereka memproduksi kopi luwak.
Rumah-rumah para produsen kopi luwak ini, dari luar, terlihat layaknya rumah penduduk biasa di daerah perkotaan. Namun, jika kita melongok ke dalam, di pekarangan samping atau belakang rumah, baru tampak aktivitas itu. Puluhan kandang luwak berjajar rapi.
Di rumah-rumah yang berukuran tak besar itu, kopi-kopi luwak diproduksi. Mulai dari mengumpulkan gelondongan kotoran luwak, menjemur, menyangrai (menggoreng biji kopi), hingga mengemas bubuk kopi, semuanya dilakukan di rumah masing-masing.
Kopi luwak memiliki keunggulan, antara lain kadar kafeinnya jauh lebih rendah, hingga 85 persen dari kopi umumnya. Dengan demikian, mereka yang memiliki penyakit lambung pun relatif aman jika mengonsumsi kopi ini berkali-kali.
Kopi luwak juga memiliki aroma dan rasa yang sangat kuat sehingga banyak digemari pencinta kopi. ”Rasanya dahsyat, aromanya sangat terasa. Ini betul-betul kopi kualitas tinggi yang tidak ada tandingannya,” ujar Andy S (30), seorang penggemar kopi.
Harga mahal
Keunggulan inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal, yaitu Rp 750.000- Rp 1 juta per kilogram (bentuk bubuk) di tingkat produsen. Sementara, dalam bentuk gelondongan, harganya Rp 200.000 per kg. Di luar negeri, bahkan harganya (bubuk) bisa mencapai Rp 3 juta-Rp 5 juta per kg.
”Makanya, pembeli dari luar negeri tidak jarang datang ke sini,” tutur Sapri (39), produsen lainnya. Saat musim panen, setiap produsen di wilayah tersebut mampu memproduksi kopi luwak 10 kg hingga 15 kg per hari.
Kopi luwak dihasilkan oleh luwak atau musang. Namun, hanya ada dua jenis luwak yang mau memakan biji kopi, salah satunya musang bulan (Paradoxurus hermaphrodirus). Musang liar yang berukuran besar ini banyak hidup di areal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan hutan-hutan penyangga.
Menurut Wahyu, musang bulan ini dapat tumbuh besar. ”Saya pernah liat yang bobotnya bisa sampai 30 kg, postur tubuhnya hampir sebesar anjing, karena sering diberi susu,” ujarnya.
Hewan nokturnal (beraktivitas di malam hari) ini hanya memakan kopi-kopi segar terbaik dan yang sudah matang atau berwarna merah. ”Dari 5 kg kopi terbaik, paling hanya 1 kg yang dimakan. Itulah yang mengakibatkan rasa (kopi luwak) lebih nikmat. Secara tidak langsung ia (musang) menyeleksi kopi-kopi terbaik,” ujarnya.
Musuh petani kopi
Dari kebiasaannya itu, di masa lalu, luwak merupakan musuh petani kopi. Ia dianggap sebagai hama tanaman kopi. Akibatnya, luwak sering dijerat, bahkan dibunuh. Saat ini, luwak pun semakin dicari-cari. Harga seekor luwak liar bisa mencapai Rp 700.000.
”Jadinya, luwak liar semakin jarang saat ini. Saya pun sudah jarang menemui kotoran luwak di kebun-kebun,” ujar Burzan Barnau (45), salah seorang petani kopi di Lombok Seminung, Lambar. Padahal, pada masa kecilnya, luwak dan kotorannya sering dijumpai di kebun-kebun kopi.
Inilah yang mengancam populasi luwak. Tidak sedikit pula luwak yang mati di kandang. Apalagi, hewan liar itu hingga saat ini belum bisa dikembangbiakkan oleh manusia. ”Pernah dulu lahir di kandang, tetapi akhirnya mati,” kenang Wahyu kemudian.
Meskipun awalnya terlihat cerah, bisnis kopi luwak pun ternyata tidaklah seindah yang dibayangkan. Para produsen kopi luwak terkendala sertifikasi keaslian produk. Maka, pemesanan tidak berjalan secara rutin dan lancar. Banyak stok kopi yang masih menumpuk di rumah produsen.
Sapri (39), salah seorang produsen kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, di gudangnya saat ini menumpuk tujuh kuintal biji kopi mentah gelondongan yang belum bisa terjual. Padahal, ia membutuhkan pemasukan untuk membiayai pakan 30 ekor luwaknya.
Akibatnya, kini dirinya terpaksa mengurangi jumlah luwak yang dipelihara. Dari sebelumnya 100, kini tersisa 30 ekor. Sebagian produsen memilih menutup produksinya. Dari 10 produsen kopi luwak di Way Mengaku, hanya empat di antaranya yang masih bertahan.(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010
Kotoran luwak yang berisi biji-biji kopi dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi kopi luwak di Way Mengaku, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Kopi luwak memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi karena banyak digemari penikmat kopi di mancanegara. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
”Terus terang, dulu kami memandang itu (kopi luwak) menjijikkan. Kami baru tahu itu memiliki nilai jual setelah ada peneliti dari Hongkong masuk ke sini. Dia (peneliti) bilang, kopi luwak Lampung Barat adalah salah satu yang terbaik,” ujar produsen kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lambar, baru-baru ini.
Kompleks Gang Pekonan, Way Mengaku, merupakan sentra penghasil kopi luwak di Lambar. Di sini terdapat sekitar 10 produsen kopi luwak yang seluruhnya merupakan usaha kecil menengah. Secara kasat- mata, dari luar, tidak tampak jika mereka memproduksi kopi luwak.
Rumah-rumah para produsen kopi luwak ini, dari luar, terlihat layaknya rumah penduduk biasa di daerah perkotaan. Namun, jika kita melongok ke dalam, di pekarangan samping atau belakang rumah, baru tampak aktivitas itu. Puluhan kandang luwak berjajar rapi.
Di rumah-rumah yang berukuran tak besar itu, kopi-kopi luwak diproduksi. Mulai dari mengumpulkan gelondongan kotoran luwak, menjemur, menyangrai (menggoreng biji kopi), hingga mengemas bubuk kopi, semuanya dilakukan di rumah masing-masing.
Kopi luwak memiliki keunggulan, antara lain kadar kafeinnya jauh lebih rendah, hingga 85 persen dari kopi umumnya. Dengan demikian, mereka yang memiliki penyakit lambung pun relatif aman jika mengonsumsi kopi ini berkali-kali.
Kopi luwak juga memiliki aroma dan rasa yang sangat kuat sehingga banyak digemari pencinta kopi. ”Rasanya dahsyat, aromanya sangat terasa. Ini betul-betul kopi kualitas tinggi yang tidak ada tandingannya,” ujar Andy S (30), seorang penggemar kopi.
Harga mahal
Keunggulan inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal, yaitu Rp 750.000- Rp 1 juta per kilogram (bentuk bubuk) di tingkat produsen. Sementara, dalam bentuk gelondongan, harganya Rp 200.000 per kg. Di luar negeri, bahkan harganya (bubuk) bisa mencapai Rp 3 juta-Rp 5 juta per kg.
”Makanya, pembeli dari luar negeri tidak jarang datang ke sini,” tutur Sapri (39), produsen lainnya. Saat musim panen, setiap produsen di wilayah tersebut mampu memproduksi kopi luwak 10 kg hingga 15 kg per hari.
Kopi luwak dihasilkan oleh luwak atau musang. Namun, hanya ada dua jenis luwak yang mau memakan biji kopi, salah satunya musang bulan (Paradoxurus hermaphrodirus). Musang liar yang berukuran besar ini banyak hidup di areal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan hutan-hutan penyangga.
Menurut Wahyu, musang bulan ini dapat tumbuh besar. ”Saya pernah liat yang bobotnya bisa sampai 30 kg, postur tubuhnya hampir sebesar anjing, karena sering diberi susu,” ujarnya.
Hewan nokturnal (beraktivitas di malam hari) ini hanya memakan kopi-kopi segar terbaik dan yang sudah matang atau berwarna merah. ”Dari 5 kg kopi terbaik, paling hanya 1 kg yang dimakan. Itulah yang mengakibatkan rasa (kopi luwak) lebih nikmat. Secara tidak langsung ia (musang) menyeleksi kopi-kopi terbaik,” ujarnya.
Musuh petani kopi
Dari kebiasaannya itu, di masa lalu, luwak merupakan musuh petani kopi. Ia dianggap sebagai hama tanaman kopi. Akibatnya, luwak sering dijerat, bahkan dibunuh. Saat ini, luwak pun semakin dicari-cari. Harga seekor luwak liar bisa mencapai Rp 700.000.
”Jadinya, luwak liar semakin jarang saat ini. Saya pun sudah jarang menemui kotoran luwak di kebun-kebun,” ujar Burzan Barnau (45), salah seorang petani kopi di Lombok Seminung, Lambar. Padahal, pada masa kecilnya, luwak dan kotorannya sering dijumpai di kebun-kebun kopi.
Inilah yang mengancam populasi luwak. Tidak sedikit pula luwak yang mati di kandang. Apalagi, hewan liar itu hingga saat ini belum bisa dikembangbiakkan oleh manusia. ”Pernah dulu lahir di kandang, tetapi akhirnya mati,” kenang Wahyu kemudian.
Meskipun awalnya terlihat cerah, bisnis kopi luwak pun ternyata tidaklah seindah yang dibayangkan. Para produsen kopi luwak terkendala sertifikasi keaslian produk. Maka, pemesanan tidak berjalan secara rutin dan lancar. Banyak stok kopi yang masih menumpuk di rumah produsen.
Sapri (39), salah seorang produsen kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, di gudangnya saat ini menumpuk tujuh kuintal biji kopi mentah gelondongan yang belum bisa terjual. Padahal, ia membutuhkan pemasukan untuk membiayai pakan 30 ekor luwaknya.
Akibatnya, kini dirinya terpaksa mengurangi jumlah luwak yang dipelihara. Dari sebelumnya 100, kini tersisa 30 ekor. Sebagian produsen memilih menutup produksinya. Dari 10 produsen kopi luwak di Way Mengaku, hanya empat di antaranya yang masih bertahan.(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010
Otonomi Daerah Lampung (1): Adu Cepat Kapling Lahan dengan Kerusakan Lingkungan
Oleh Yulvianus Harjono dan M Fajar Marta
KAWASAN perairan Teluk Lampung di pesisir timur Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, sungguh sedap dipandang mata. Air lautnya jernih, berwarna kebiru-biruan, sangat tenang, dan dikelilingi perbukitan.
Kawasan pesisir di Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, beberapa waktu lalu, dipenuhi tambak skala intensif. Alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di kabupaten pemekaran baru ini berlangsung masif. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Namun, siapa sangka, sebagian besar kawasan pesisir di daerah otonomi baru itu ternyata telah dikapling-kapling. Pantai-pantai berpasir putih nan indah di Kecamatan Padang Cermin, misalnya Pantai Mutun, telah dimiliki perorangan.
Begitu pula pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sebagian besar dikuasai perorangan. Ada yang dimiliki warga asing asal Perancis, ada pula yang dikuasai pengusaha ternama, Artalyta Suryani, terpidana kasus suap terhadap jaksa. Cengkeraman pemilik-pemilik modal begitu terasa di daerah itu.
Wilayah di pesisir Kecamatan Punduh Pedada, Pesawaran, yang terpencil dan dahulu masih berupa hutan mangrove pun tidak luput dari jeratan pemodal. Hutan mangrove ditebangi, lambat laun beralih menjadi kawasan tambak udang intensif.
Direktur Eksekutif Mitra Bentala Herza Yulianto menuturkan, alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di Pesawaran berlangsung masif, terutama pada era otonomi daerah dan semenjak digencarkannya program peningkatan budidaya perikanan tahun 1990-an.
”Kalau kita lihat, alih fungsi (mangrove) ini semakin bergerak terus ke selatan hingga ke pelosok-pelosok,” ujarnya. Berdasarkan catatan LSM Mitra Bentala, kawasan mangrove di Pesawaran yang masih baik hanya tersisa 25 persen dari total 96 kilometer garis pantai.
Terdapat sekitar 70 kawasan tambak di Pesawaran dengan potensi produksi udang 15.000 ton per tahun. Usaha tambak udang di daerah ini memang menjadi ”gula” bagi para pengusaha. Perizinannya pun mudah, tidak perlu ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Izin kedaluwarsa
Penambakan udang selama ini memang menjadi salah satu tulang punggung pendapatan asli daerah (PAD) di Pesawaran, terutama sebelum dimekarkan (masih berada di wilayah Lampung Selatan). Namun, selama masa peralihan pemekaran wilayah, potensi itu justru tidak tergarap maksimal. Total PAD hanya sekitar Rp 2 miliar dari target Rp 5 miliar setiap tahun.
Mayoritas izin tambak di Pesawaran kedaluwarsa. Supriyadi, anggota Komisi B DPRD Pesawaran, mengungkapkan, berdasarkan pantauan, didapati hampir separuh tambak di Pesawaran tidak lagi berizin. ”Atau surat sudah mati. Mayoritas izin pada masa Lampung Selatan,” tuturnya.
Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang kini justru kena getahnya. Sudah tidak mendapatkan retribusi, lingkungan pesisir mereka pun rusak akibat laju alih fungsi. Masyarakat di sekitarnya pun belum merasakan manfaat yang setimpal dari usaha-usaha tambak yang ada di wilayah mereka tersebut.
”Lihat saja, jalan-jalan dibiarkan rusak parah. Tidak ada niat dari mereka untuk memperbaikinya,” ujar Mursalin, Camat Punduh Pedada. Beberapa waktu lalu, masyarakat di Punduh Pedada ramai-ramai mengancam memblokir akses ke areal tambak di wilayah mereka.
Lingkungan
Ancaman kerusakan lingkungan memang menjadi tantangan terbesar bagi Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang belum seumur jagung. Di wilayah perbukitan, misalnya di Kecamatan Kedondong, warga terancam oleh aktivitas pertambangan emas milik perorangan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Agustus lalu, ratusan warga Dusun Cikantor, Kecamatan Kedondong, keracunan sianida yang diduga berasal dari limbah sebuah pertambangan emas yang terbawa aliran Sungai Cikantor. Lagi-lagi, ”ketidakberesan” dokumen amdal dan pengawasannya diyakini kuat menjadi pemicunya.
Padahal, baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Pesawaran justru telah memberikan izin prinsip perluasan areal tambang emas seluas ratusan hektar di kawasan yang sama. Tanpa pengawasan yang baik, dengan menjadikan PAD sebagai satu-satunya faktor, kerusakan lingkungan dan kesehatan warga pun kian menjadi ancaman yang besar.
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010
KAWASAN perairan Teluk Lampung di pesisir timur Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, sungguh sedap dipandang mata. Air lautnya jernih, berwarna kebiru-biruan, sangat tenang, dan dikelilingi perbukitan.
Kawasan pesisir di Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, beberapa waktu lalu, dipenuhi tambak skala intensif. Alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di kabupaten pemekaran baru ini berlangsung masif. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Namun, siapa sangka, sebagian besar kawasan pesisir di daerah otonomi baru itu ternyata telah dikapling-kapling. Pantai-pantai berpasir putih nan indah di Kecamatan Padang Cermin, misalnya Pantai Mutun, telah dimiliki perorangan.
Begitu pula pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sebagian besar dikuasai perorangan. Ada yang dimiliki warga asing asal Perancis, ada pula yang dikuasai pengusaha ternama, Artalyta Suryani, terpidana kasus suap terhadap jaksa. Cengkeraman pemilik-pemilik modal begitu terasa di daerah itu.
Wilayah di pesisir Kecamatan Punduh Pedada, Pesawaran, yang terpencil dan dahulu masih berupa hutan mangrove pun tidak luput dari jeratan pemodal. Hutan mangrove ditebangi, lambat laun beralih menjadi kawasan tambak udang intensif.
Direktur Eksekutif Mitra Bentala Herza Yulianto menuturkan, alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di Pesawaran berlangsung masif, terutama pada era otonomi daerah dan semenjak digencarkannya program peningkatan budidaya perikanan tahun 1990-an.
”Kalau kita lihat, alih fungsi (mangrove) ini semakin bergerak terus ke selatan hingga ke pelosok-pelosok,” ujarnya. Berdasarkan catatan LSM Mitra Bentala, kawasan mangrove di Pesawaran yang masih baik hanya tersisa 25 persen dari total 96 kilometer garis pantai.
Terdapat sekitar 70 kawasan tambak di Pesawaran dengan potensi produksi udang 15.000 ton per tahun. Usaha tambak udang di daerah ini memang menjadi ”gula” bagi para pengusaha. Perizinannya pun mudah, tidak perlu ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Izin kedaluwarsa
Penambakan udang selama ini memang menjadi salah satu tulang punggung pendapatan asli daerah (PAD) di Pesawaran, terutama sebelum dimekarkan (masih berada di wilayah Lampung Selatan). Namun, selama masa peralihan pemekaran wilayah, potensi itu justru tidak tergarap maksimal. Total PAD hanya sekitar Rp 2 miliar dari target Rp 5 miliar setiap tahun.
Mayoritas izin tambak di Pesawaran kedaluwarsa. Supriyadi, anggota Komisi B DPRD Pesawaran, mengungkapkan, berdasarkan pantauan, didapati hampir separuh tambak di Pesawaran tidak lagi berizin. ”Atau surat sudah mati. Mayoritas izin pada masa Lampung Selatan,” tuturnya.
Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang kini justru kena getahnya. Sudah tidak mendapatkan retribusi, lingkungan pesisir mereka pun rusak akibat laju alih fungsi. Masyarakat di sekitarnya pun belum merasakan manfaat yang setimpal dari usaha-usaha tambak yang ada di wilayah mereka tersebut.
”Lihat saja, jalan-jalan dibiarkan rusak parah. Tidak ada niat dari mereka untuk memperbaikinya,” ujar Mursalin, Camat Punduh Pedada. Beberapa waktu lalu, masyarakat di Punduh Pedada ramai-ramai mengancam memblokir akses ke areal tambak di wilayah mereka.
Lingkungan
Ancaman kerusakan lingkungan memang menjadi tantangan terbesar bagi Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang belum seumur jagung. Di wilayah perbukitan, misalnya di Kecamatan Kedondong, warga terancam oleh aktivitas pertambangan emas milik perorangan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Agustus lalu, ratusan warga Dusun Cikantor, Kecamatan Kedondong, keracunan sianida yang diduga berasal dari limbah sebuah pertambangan emas yang terbawa aliran Sungai Cikantor. Lagi-lagi, ”ketidakberesan” dokumen amdal dan pengawasannya diyakini kuat menjadi pemicunya.
Padahal, baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Pesawaran justru telah memberikan izin prinsip perluasan areal tambang emas seluas ratusan hektar di kawasan yang sama. Tanpa pengawasan yang baik, dengan menjadikan PAD sebagai satu-satunya faktor, kerusakan lingkungan dan kesehatan warga pun kian menjadi ancaman yang besar.
Sumber: Kompas, Rabu, 27 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Jelang Acara: Siapkan Lokasi, Panitia dan Warga Bahu-Membahu
PRINGSEWU (Lampost): Kesibukan panitia Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Lampung yang akan berlangsung di SMAN 1 Gadingrejo mulai 28�31 Oktober 2010 sangat terasa. Kemarin (26-10) panitia dan warga setempat bahu-membahu menyiapkan lokasi untuk acara itu.
Ketua Panitia Pelaksana Sumarno dan Kepala SMAN 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi pun ikut terlihat bersama panitia lainnya dalam mempersiapkan acara itu. Enam unit tenda bantuan TNI AL telah terpasang sejak Senin (25-10), memadati halaman sekolah. "Kami optimistis acara ini sukses meski dengan keterbatasan yang dimiliki," kata Hermin yang diamini Sumarno ketika ditemui kemarin.
Sumarno menjelaskan pihaknya meminjam tenda dari TNI AL yang kapasitasnya lebih dari 50 orang. "Jadi, 6 tenda diperkirakan cukup," ujarnya.
Selain tenda, panitia juga telah menyiapkan sarana mandi cuci kakus (MCK) yang sebelumnya sebanyak 20 unit yang dilengkapi saluran air bersih. Bahkan, untuk mengantisipasi hal tersebut, panitia telah bekerja sama dengan masyarakat sekitarnya untuk bisa membantu menyiapkan MCK di rumah warga. "Warga sangat mendukung acara itu. Warga dengan iklas menawarkan bantuannya," ujarnya.
Air bersih, kata Sumarno, juga sudah siap. Saat ini sekolah telah memiliki satu unit sumur bor dan TNI AL akan menyiapkan satu unit mobil tangki air untuk menyuplai air.
Kemudian, seorang warga/pengusaha juga siap memberikan bantuan air bersih. Jika kekurangan, air akan disuplainya. "Warga dan pengusaha yang memiliki sumur bor dengan kapasitas besar di luar pagar sekolah siap menyalurkan air ke lokasi kemah jika terjadi kekurangan air," kata Sumarno.
Sementara itu, Hermin Budiarsi menyatakan kegiatan ini�apa pun risikonya�harus sukses karena sudah dirancang jauh-jauh hari. "Kalau soal kendala, ya tentu ada, tetapi bukan menjadi penghalang," ujarnya.
Dia menjelaskan terus memberi semangat kepada panitia dan seluruh masyarakat yang terlibat dalam event ini. "Alhamdulillah, saat ini sudah berdiri tenda. Fasilitas umum sudah selesai. Kami siap menyambut tamu-tamu peserta dan siap memberi yang terbaik," ujar dia. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
Ketua Panitia Pelaksana Sumarno dan Kepala SMAN 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi pun ikut terlihat bersama panitia lainnya dalam mempersiapkan acara itu. Enam unit tenda bantuan TNI AL telah terpasang sejak Senin (25-10), memadati halaman sekolah. "Kami optimistis acara ini sukses meski dengan keterbatasan yang dimiliki," kata Hermin yang diamini Sumarno ketika ditemui kemarin.
Sumarno menjelaskan pihaknya meminjam tenda dari TNI AL yang kapasitasnya lebih dari 50 orang. "Jadi, 6 tenda diperkirakan cukup," ujarnya.
Selain tenda, panitia juga telah menyiapkan sarana mandi cuci kakus (MCK) yang sebelumnya sebanyak 20 unit yang dilengkapi saluran air bersih. Bahkan, untuk mengantisipasi hal tersebut, panitia telah bekerja sama dengan masyarakat sekitarnya untuk bisa membantu menyiapkan MCK di rumah warga. "Warga sangat mendukung acara itu. Warga dengan iklas menawarkan bantuannya," ujarnya.
Air bersih, kata Sumarno, juga sudah siap. Saat ini sekolah telah memiliki satu unit sumur bor dan TNI AL akan menyiapkan satu unit mobil tangki air untuk menyuplai air.
Kemudian, seorang warga/pengusaha juga siap memberikan bantuan air bersih. Jika kekurangan, air akan disuplainya. "Warga dan pengusaha yang memiliki sumur bor dengan kapasitas besar di luar pagar sekolah siap menyalurkan air ke lokasi kemah jika terjadi kekurangan air," kata Sumarno.
Sementara itu, Hermin Budiarsi menyatakan kegiatan ini�apa pun risikonya�harus sukses karena sudah dirancang jauh-jauh hari. "Kalau soal kendala, ya tentu ada, tetapi bukan menjadi penghalang," ujarnya.
Dia menjelaskan terus memberi semangat kepada panitia dan seluruh masyarakat yang terlibat dalam event ini. "Alhamdulillah, saat ini sudah berdiri tenda. Fasilitas umum sudah selesai. Kami siap menyambut tamu-tamu peserta dan siap memberi yang terbaik," ujar dia. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
[Kemah Sastra] Animo Siswa: Jumlah Peserta Kemah Sastra Membeludak
PRINGSEWU (Lampost): Animo siswa untuk belajar sastra dan jurnalistik di Lampung cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari antusiasme siswa untuk mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar SMA Negeri 1 Gadingrejo bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan harian umum Lampung Post.
"Sampai hari ini (kemarin) masih banyak sekolah-sekolah yang menghubungi kami, mau mendaftarkan siswa-siswinya sebagai peserta. Tetapi karena kemampuan kami, jumlah peserta kami batasi sampai target 300 orang saja," kata Sekretaris Panitia Kemah Bahasa dan Sastra, Marikun, Selasa (26-10).
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pringsewu Rimir Mirhadi saat ditemui di ruang kerjanya menjelaskan program SMAN 1 Gadingrejo sangat membanggakan. Dia berharap dengan adanya kegiatan Kemah Sastra dan Bahasa tingkat SMA se-Lampung tentu akan memberikan nilai tambah bagi para siswa, guru, dan penggiat sastra dan bahasa di Lampung, khususnya di Kabupaten Pringsewu.
Rimir Mirhadi menjelaskan dengan penyelenggaraan besar bahkan sampai ada tamu dari atase kebudayaan asing, adalah sesuatu yang sangat berarti bagi pembelajaran sastra dan bahasa di Pringsewu di masa-masa mendatang. Pihaknya mengakui semangat belajar sastra dan bahasa di kalangan SMA di Pringsewu masih sangat rendah dan terbata. "Kegiatan ini diharapkan mampu motivasi penggiat sastra dan bahasa baik para guru dan siswa sekolah," kata Rimir.
Ia juga berharap dengan kegiatan tersebut akan membuka kepekaan di kalangan para guru sehingga kegiatan itu diharapkan akan membuka kepekaan guru terhadap kondisi sastra dan bahasa identik dengan belajar rasa dan budi. Belajar sastra dan bahasa juga akan mempu membuka kepeduliaan siswa dan masyarakat terutama guru, bisa meningkatkan humaniora.
Menurut dia, untuk bisa melahirkan seorang sastrawan salah satunya ialah dengan mengadakan event seperti ini. "Mudah-mudahan ke depan di Pringsewu akan lahir sastrawan-sastrawan muda," kata dia. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
"Sampai hari ini (kemarin) masih banyak sekolah-sekolah yang menghubungi kami, mau mendaftarkan siswa-siswinya sebagai peserta. Tetapi karena kemampuan kami, jumlah peserta kami batasi sampai target 300 orang saja," kata Sekretaris Panitia Kemah Bahasa dan Sastra, Marikun, Selasa (26-10).
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pringsewu Rimir Mirhadi saat ditemui di ruang kerjanya menjelaskan program SMAN 1 Gadingrejo sangat membanggakan. Dia berharap dengan adanya kegiatan Kemah Sastra dan Bahasa tingkat SMA se-Lampung tentu akan memberikan nilai tambah bagi para siswa, guru, dan penggiat sastra dan bahasa di Lampung, khususnya di Kabupaten Pringsewu.
Rimir Mirhadi menjelaskan dengan penyelenggaraan besar bahkan sampai ada tamu dari atase kebudayaan asing, adalah sesuatu yang sangat berarti bagi pembelajaran sastra dan bahasa di Pringsewu di masa-masa mendatang. Pihaknya mengakui semangat belajar sastra dan bahasa di kalangan SMA di Pringsewu masih sangat rendah dan terbata. "Kegiatan ini diharapkan mampu motivasi penggiat sastra dan bahasa baik para guru dan siswa sekolah," kata Rimir.
Ia juga berharap dengan kegiatan tersebut akan membuka kepekaan di kalangan para guru sehingga kegiatan itu diharapkan akan membuka kepekaan guru terhadap kondisi sastra dan bahasa identik dengan belajar rasa dan budi. Belajar sastra dan bahasa juga akan mempu membuka kepeduliaan siswa dan masyarakat terutama guru, bisa meningkatkan humaniora.
Menurut dia, untuk bisa melahirkan seorang sastrawan salah satunya ialah dengan mengadakan event seperti ini. "Mudah-mudahan ke depan di Pringsewu akan lahir sastrawan-sastrawan muda," kata dia. (WID/U-3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
[Kemah Sastra] 7 Kedubes Isi Dialog Budaya Mancanegara
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kemah Bahasa dan Sastra pelajar SMA se-Provinsi Lampung tidak melulu berisi paparan akademis. Acara yang diikuti 300 siswa tersebut juga diisi dialog kebudayaan mancanegara untuk memperkuat sastra dan kebudayaan Indonesia.
Salah satu bentuk dialog kebudayaan yang akan ditampilkan pada Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar di SMA Negeri 1 Gadingrejo mulai Kamis (28-10) adalah kolaborasi permainan alat musik Sunda dan Meksiko.
Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Lampung Sumarno, Selasa (26-10), mengatakan kolaborasi alat musik Sunda dan Meksiko itu akan dibawakan utusan dari Kedutaan Besar Meksiko, Daniel Antonio Milan Cabrera.
"Kolaborasi ini sebagai pertunjukan menghibur peserta. Jadi bukan pelatihan. Kemah ini berkaitan erat dengan sastra. Tetapi diharapkan suguhan itu bisa membuat anak-anak SMA/SMK lebih mencintai dan bangga dengan budaya lokal," kata Sumarno.
Pada acara dialog sastra, Sumarno menjelaskan akan diisi oleh budayawan Arswendo Atmowiloto. Selain itu juga ditampilkan dialog sastra dari mancanegara, antara lain disampaikan Direktur Pusat Kebudayaan India sekaligus perwakilan dari Kedutaan Besar (Kedubes) India M.K. Singh, staf atase kebudayaan Kedubes Prancis Magali Deuffluer, dan perwakilan dari Kedubes Palestina Taher Hamed.
Tujuh negara, menurut Sumarno, juga telah menyiapkan stan untuk memperkenalkan budayanya masing-masing kepada peserta. Tujuh negara itu adalah Prancis, Rusia, Palestina, Meksiko, Belanda, India, dan Jepang (Japan Foundation). Stan budaya juga diisi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Perpustakaan Daerah Lampung.
Pada coaching clinic, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dan Isbedi Setiawan Z.S akan mengisi materi seputar puisi. Pelatihan mengenai budaya Lampung diisi oleh Ali Imron dan Syafril Yamin. Sastra lisan Lampung oleh Hermansyah G.A, Susi, dan Stan Purnama. Cerpen oleh Arman A.Z dan Ari Pahala Hutabarat, serta mengenai jurnalistik dan artikel oleh Zulkarnain Zubairi dan Iswadi Pratama.
Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Lampung M. Muis beserta Dr. Mulyanto Widodo akan mengisi sesi dialog bahasa Indonesia.
Tuan Rumah
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam kesempatan terpisah menyatakan harapannya agar pergelaran yang baru pertama kali diadakan itu bisa diselenggarakan dengan baik. "Sebagai tuan rumah, kami harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Apalagi sekolah kami menyandang sekolah internasional. Walaupun di kampung, sekolah kami mampu menggelar kegiatan yang boleh dikatakan berskala internasional karena keterlibatan negara-negara lain," kata Hermin.
Sedangkan Pemimpin Redaksi Lampung Post Sabam Sinaga mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra diharapkan mampu membentuk pelajar dengan nilai-nilai budaya dan bahasa Indonesia yang baik. "Kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini. Nantinya, pelajar yang telah ikut Kemah Bahasa dan Sastra akan menjadi budayawan ataupun sastrawan yang andal di masa depan," ujar Sabam. (KIS/MG11/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
Salah satu bentuk dialog kebudayaan yang akan ditampilkan pada Kemah Bahasa dan Sastra yang digelar di SMA Negeri 1 Gadingrejo mulai Kamis (28-10) adalah kolaborasi permainan alat musik Sunda dan Meksiko.
Ketua Panitia Kemah Bahasa dan Sastra SMA se-Lampung Sumarno, Selasa (26-10), mengatakan kolaborasi alat musik Sunda dan Meksiko itu akan dibawakan utusan dari Kedutaan Besar Meksiko, Daniel Antonio Milan Cabrera.
"Kolaborasi ini sebagai pertunjukan menghibur peserta. Jadi bukan pelatihan. Kemah ini berkaitan erat dengan sastra. Tetapi diharapkan suguhan itu bisa membuat anak-anak SMA/SMK lebih mencintai dan bangga dengan budaya lokal," kata Sumarno.
Pada acara dialog sastra, Sumarno menjelaskan akan diisi oleh budayawan Arswendo Atmowiloto. Selain itu juga ditampilkan dialog sastra dari mancanegara, antara lain disampaikan Direktur Pusat Kebudayaan India sekaligus perwakilan dari Kedutaan Besar (Kedubes) India M.K. Singh, staf atase kebudayaan Kedubes Prancis Magali Deuffluer, dan perwakilan dari Kedubes Palestina Taher Hamed.
Tujuh negara, menurut Sumarno, juga telah menyiapkan stan untuk memperkenalkan budayanya masing-masing kepada peserta. Tujuh negara itu adalah Prancis, Rusia, Palestina, Meksiko, Belanda, India, dan Jepang (Japan Foundation). Stan budaya juga diisi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Perpustakaan Daerah Lampung.
Pada coaching clinic, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dan Isbedi Setiawan Z.S akan mengisi materi seputar puisi. Pelatihan mengenai budaya Lampung diisi oleh Ali Imron dan Syafril Yamin. Sastra lisan Lampung oleh Hermansyah G.A, Susi, dan Stan Purnama. Cerpen oleh Arman A.Z dan Ari Pahala Hutabarat, serta mengenai jurnalistik dan artikel oleh Zulkarnain Zubairi dan Iswadi Pratama.
Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Lampung M. Muis beserta Dr. Mulyanto Widodo akan mengisi sesi dialog bahasa Indonesia.
Tuan Rumah
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi dalam kesempatan terpisah menyatakan harapannya agar pergelaran yang baru pertama kali diadakan itu bisa diselenggarakan dengan baik. "Sebagai tuan rumah, kami harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Apalagi sekolah kami menyandang sekolah internasional. Walaupun di kampung, sekolah kami mampu menggelar kegiatan yang boleh dikatakan berskala internasional karena keterlibatan negara-negara lain," kata Hermin.
Sedangkan Pemimpin Redaksi Lampung Post Sabam Sinaga mengatakan Kemah Bahasa dan Sastra diharapkan mampu membentuk pelajar dengan nilai-nilai budaya dan bahasa Indonesia yang baik. "Kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini. Nantinya, pelajar yang telah ikut Kemah Bahasa dan Sastra akan menjadi budayawan ataupun sastrawan yang andal di masa depan," ujar Sabam. (KIS/MG11/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Oktober 2010
October 26, 2010
Kemah Sastra: 264 Pelajar 'Bercinta' dengan Prosa dan Puisi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sebanyak 264 peserta dari 44 SMA dan SMK se-Lampung mengikuti Kemah Sastra. Mereka diajak �bercinta� dengan prosa dan puisi di SMA Negeri I Gadingrejo, Pringsewu, 28-30 Oktober 2010.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Panitia Kemah Sastra Sumarsono, Senin (25-10). Sumarsono mengatakan panitia menargetkan peserta Kemah Sastra berasal dari 50 sekolah se-Lampung. Masing-masing sekolah mengirimkan tiga siswa dan tiga siswi serta seorang pendamping.
"Kegiatan ini diadakan untuk menumbuhkan minat dan menggali bakat peserta. Selain itu sebagai bentuk keprihatinan rendahnya kecintaan pada sastra Indonesia dan lokal," kata Sumarno.
Menurut Sumarno, para peserta akan diajak berdiskusi, berlatih membuat karya sastra, dan mengikuti sesi pemutaran film. Selama perkemahan, peserta akan mengikuti kegiatan yang padat, mulai pukul 04.30 hingga 22.00.
Meskipun disebut perkemahan, para peserta tidak akan tinggal di kemah seperti pada umumnya. Para peserta akan tinggal di bawah tenda komando dengan kapasitas 50 orang yang dipinjamkan TNI Angkatan Laut. Menurut dia TNI AL meminjamkan enam buah tenda. "Kemah Sastra digagas seorang dosen sastra dari Universitas Kristen Indonesia yang pernah datang ke SMA Negeri 1 Gadingrejo beberapa waktu lalu," kata dia.
Panitia Penyelenggara Kemah Sastra dari unsur siswa, Rofi, mengatakan peserta kemah akan diajak menonton bersama film sastra dari Jepang, Palestina, Prancis, dan Meksiko. Perwakilan dari negara-negara tersebut juga akan hadir pada sesi pemutaran film.
Sementara itu, pada sesi pelatihan sastra, peserta akan dilatih membuat puisi, novel, cerpen, dan karya sastra yang lain. Pelatihan diisi pembicara dari India, juga sastrawan Indonesia yang akan memberikan ilmunya, yakni Arswendo Atmowiloto.
"Pada intinya peserta akan dilatih agar lebih mengenal sastra Indonesia maupun luar negeri. Kegiatan ini disebut Kemah Sastra karena hampir setiap kegiatannya berhubungan dengan upaya untuk mengenal sastra, dari berbagai segi," kata dia. (MG11/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Oktober 2010
Hal ini disampaikan Ketua Umum Panitia Kemah Sastra Sumarsono, Senin (25-10). Sumarsono mengatakan panitia menargetkan peserta Kemah Sastra berasal dari 50 sekolah se-Lampung. Masing-masing sekolah mengirimkan tiga siswa dan tiga siswi serta seorang pendamping.
"Kegiatan ini diadakan untuk menumbuhkan minat dan menggali bakat peserta. Selain itu sebagai bentuk keprihatinan rendahnya kecintaan pada sastra Indonesia dan lokal," kata Sumarno.
Menurut Sumarno, para peserta akan diajak berdiskusi, berlatih membuat karya sastra, dan mengikuti sesi pemutaran film. Selama perkemahan, peserta akan mengikuti kegiatan yang padat, mulai pukul 04.30 hingga 22.00.
Meskipun disebut perkemahan, para peserta tidak akan tinggal di kemah seperti pada umumnya. Para peserta akan tinggal di bawah tenda komando dengan kapasitas 50 orang yang dipinjamkan TNI Angkatan Laut. Menurut dia TNI AL meminjamkan enam buah tenda. "Kemah Sastra digagas seorang dosen sastra dari Universitas Kristen Indonesia yang pernah datang ke SMA Negeri 1 Gadingrejo beberapa waktu lalu," kata dia.
Panitia Penyelenggara Kemah Sastra dari unsur siswa, Rofi, mengatakan peserta kemah akan diajak menonton bersama film sastra dari Jepang, Palestina, Prancis, dan Meksiko. Perwakilan dari negara-negara tersebut juga akan hadir pada sesi pemutaran film.
Sementara itu, pada sesi pelatihan sastra, peserta akan dilatih membuat puisi, novel, cerpen, dan karya sastra yang lain. Pelatihan diisi pembicara dari India, juga sastrawan Indonesia yang akan memberikan ilmunya, yakni Arswendo Atmowiloto.
"Pada intinya peserta akan dilatih agar lebih mengenal sastra Indonesia maupun luar negeri. Kegiatan ini disebut Kemah Sastra karena hampir setiap kegiatannya berhubungan dengan upaya untuk mengenal sastra, dari berbagai segi," kata dia. (MG11/U-3)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Oktober 2010
Batuputu Dijadikan Objek Wisata Terpadu
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kawasan Batuputu, Telukbetung Utara, akan dijadikan daerah wisata terpadu. Pemkot Bandar Lampung sudah mengajukan surat kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sekretaris Bandar Lampung Badri Tamam, Senin (25-10), mengatakan Pemkot sudah mengirimkan surat ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bulan lalu. Luas kawasan Batuputu yang akan dikembangkan menjadi wisata terpadu mencapai 20 hektare. "Semua lahan tersebut milik Pemkot."
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Pola Pardede, menuturkan dana yang diajukan ke kementerian sebesar Rp20 miliar.
Badri menambahkan Pemkot siap mengeluarkan dana pendamping jika memang diperlukan. Menurut dia, konsep wisata terpadu dengan mengembangkan potensi alam yang ada di Batuputu. Di lokasi itu ada kebun durian, air terjun, dan potensi alam lain.
Ia menjelaskan rencana pengembangan wisata terpadu Batuputu sudah masuk dalam progran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai zona wisata yang akan dikembangkan.
Badri juga mengatakan visi misi Kota Bandar Lampung adalah pusat perdagangan dan jasa. Perdagangan dan jasa akan digarap dengan serius. Pariwisata akan dikembangkan untuk menunjang kota jasa.
Pemkot juga terus mengembangkan wisata pantai. "Pariwisata harus menjadi pendongkrak pendapatan asli daerah," ujarnya. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Oktober 2010
Sekretaris Bandar Lampung Badri Tamam, Senin (25-10), mengatakan Pemkot sudah mengirimkan surat ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bulan lalu. Luas kawasan Batuputu yang akan dikembangkan menjadi wisata terpadu mencapai 20 hektare. "Semua lahan tersebut milik Pemkot."
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Pola Pardede, menuturkan dana yang diajukan ke kementerian sebesar Rp20 miliar.
Badri menambahkan Pemkot siap mengeluarkan dana pendamping jika memang diperlukan. Menurut dia, konsep wisata terpadu dengan mengembangkan potensi alam yang ada di Batuputu. Di lokasi itu ada kebun durian, air terjun, dan potensi alam lain.
Ia menjelaskan rencana pengembangan wisata terpadu Batuputu sudah masuk dalam progran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai zona wisata yang akan dikembangkan.
Badri juga mengatakan visi misi Kota Bandar Lampung adalah pusat perdagangan dan jasa. Perdagangan dan jasa akan digarap dengan serius. Pariwisata akan dikembangkan untuk menunjang kota jasa.
Pemkot juga terus mengembangkan wisata pantai. "Pariwisata harus menjadi pendongkrak pendapatan asli daerah," ujarnya. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Oktober 2010
Penyair Lampung Ikuti TSI di Tanjungpinang
Bandarlampung, 26/10 (ANTARA) - Penyair Lampung Isbedy Stiawan ZS memehuni undangan Temu Sastra Indonesia (TSI) ketiga di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 28-31 Oktober 2010.
"Saya diundang ke TSI bukan hanya mengikuti kegiatan itu saja, tapi saya diundang khusus untuk menulis puisi bertema tentang Tanjungpinang. Sehingga, beberapa fasilitas untuk saya sudah dipenuhi panitia," ujar dia, di Bandarlampung, Selasa.
Namun, lanjut dia, keberangkatannya ke TSI tersebut atas dukungan Pemprov Lampung, Dewan Kesenian Lampung, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisatawa (Disbudpar) Lampung.
Isbedy menambahkan, tentang Tanjungpinang baginya sudah tidak asing. Sebab, ia sudah beberapa kali bertandang ke pusat Ibu kota Provinsi Kepri itu, diundang kegiatan sastra.
"Jadi, saya mahfum kalau kemudian panitia mengundang saya secara khusus agar menulis puisi tentang Tanjungpinang. Ada dua puisi yang sudah saya kirim, yaitu 'Penyengat' dan 'Bintan'," ujarnya menjelaskan.
Selain tampil pada malam pembacaan puisi, Isbedy juga akan mengikuti berbagai sesi dari TSI tersebut, seperti diskusi dan pentas sastra, serta "workshop" sastra.
"Insya Allah saya juga akan mampir di Rumahhitam, Batam, untuk suatu acara sastra," tutur sastrawan Lampung ini yang baru saja menerbitkan dua buku sastra digital ("e-book") yakni kumpulan cerpen "Mata Ibu" dan kumpulan puisi "Perempuan Berpayung Merah [Di Kota Petuah]" oleh penerbit Evolitera-Jakarta.
Menyinggung TSI ketiga itu, Isbedy menjelaskan, pertama digagas di Jambi pada tahun 2008. Setahun kemudian TSI berlangsung di Pangkalpinang, Bangka Belitung.
"Pada TSI ketiga ini dikelola oleh Disbudpar Kota Tanjungpinang. Sejumlah sastrawan dari berbagai daerah/provinsi dipastikan akan hadir," imbuh dia.
Sementara itu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyambut baik aktivitas seniman di daerahnya, bahka akan mendukung beragam kegiatan.
Menurut dia, Isbedy itu adalah seniman daerah yang sudah terkenal. Jangankan ke Tanjungpinang, ke luar negeri pun akan diupayakan dibantu.
Isbedy Stiawan selain aktif berkarya dalam menciptakan puisi, juga sering membuat cerpen dan karyanya pun dipublikasikan berbagai media.
Selain itu, ia kerap membuat tulisan opini guna mengkritisi kebijakan atau memberikan solusi atas berbagai persoalan di Lampung.
Sumber: Antara, Selasa, 26 Oktober 2010
"Saya diundang ke TSI bukan hanya mengikuti kegiatan itu saja, tapi saya diundang khusus untuk menulis puisi bertema tentang Tanjungpinang. Sehingga, beberapa fasilitas untuk saya sudah dipenuhi panitia," ujar dia, di Bandarlampung, Selasa.
Namun, lanjut dia, keberangkatannya ke TSI tersebut atas dukungan Pemprov Lampung, Dewan Kesenian Lampung, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisatawa (Disbudpar) Lampung.
Isbedy menambahkan, tentang Tanjungpinang baginya sudah tidak asing. Sebab, ia sudah beberapa kali bertandang ke pusat Ibu kota Provinsi Kepri itu, diundang kegiatan sastra.
"Jadi, saya mahfum kalau kemudian panitia mengundang saya secara khusus agar menulis puisi tentang Tanjungpinang. Ada dua puisi yang sudah saya kirim, yaitu 'Penyengat' dan 'Bintan'," ujarnya menjelaskan.
Selain tampil pada malam pembacaan puisi, Isbedy juga akan mengikuti berbagai sesi dari TSI tersebut, seperti diskusi dan pentas sastra, serta "workshop" sastra.
"Insya Allah saya juga akan mampir di Rumahhitam, Batam, untuk suatu acara sastra," tutur sastrawan Lampung ini yang baru saja menerbitkan dua buku sastra digital ("e-book") yakni kumpulan cerpen "Mata Ibu" dan kumpulan puisi "Perempuan Berpayung Merah [Di Kota Petuah]" oleh penerbit Evolitera-Jakarta.
Menyinggung TSI ketiga itu, Isbedy menjelaskan, pertama digagas di Jambi pada tahun 2008. Setahun kemudian TSI berlangsung di Pangkalpinang, Bangka Belitung.
"Pada TSI ketiga ini dikelola oleh Disbudpar Kota Tanjungpinang. Sejumlah sastrawan dari berbagai daerah/provinsi dipastikan akan hadir," imbuh dia.
Sementara itu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyambut baik aktivitas seniman di daerahnya, bahka akan mendukung beragam kegiatan.
Menurut dia, Isbedy itu adalah seniman daerah yang sudah terkenal. Jangankan ke Tanjungpinang, ke luar negeri pun akan diupayakan dibantu.
Isbedy Stiawan selain aktif berkarya dalam menciptakan puisi, juga sering membuat cerpen dan karyanya pun dipublikasikan berbagai media.
Selain itu, ia kerap membuat tulisan opini guna mengkritisi kebijakan atau memberikan solusi atas berbagai persoalan di Lampung.
Sumber: Antara, Selasa, 26 Oktober 2010
October 25, 2010
Kata Mutiara Rangsang Terjadinya Simulasi Intelektual
Waykanan, Lampung, 25/10 (ANTARA) - Budayawan Iman Budhi Santosa mengatakan, kata mutiara merangsang terjadinya simulasi intelektual karena memunculkan wawasan yang datang setelah menghayati arti makna dan latar belakangnya secara tuntas.
"Wawasan yang terkandung dalam kata-kata mutiara berbeda dengan fakta yang umum dibakukan. Sebab tak sekadar menggambarkan, namun memberikan ide dan wawasan yang lebih dalam. Sehingga dapat dipahami kelemahan, ketakutan, cita-cita, atau hakikat manusia lebih dari yang disajikan dalam teks psikologi, sosiologi, maupun antropologi," ujarnya di Waykanan, Lampung, Senin.
Ia menambahkan, di samping menstimulasi imajinasi, kata-kata mutiara juga dapat merupakan sarana reaktualisasi warisan budaya masa lalu, di mana Indonesia mempunyai banyak sekali kata-kata mutiara dari berbagai suku bangsa yang ada.
"Kata-kata mutiara lahir dan digali dari simpul-simpul pandangan hidup yang bersumber pada agama, kepercayaan, mitos, religi, falsafah, serta ajaran para cerdik pandai, pujangga, wali, raja atau datu di masa lalu yang terbukti ampuh menjadi pedoman hidup mereka," kata dia.
Dengan demikian, lanjut dia, mereka yang menikmati dan mempelajarinya sedikit banyak akan memperoleh kontak dengan impian, harapan, dan aspirasi, sebagai akar dari kebudayaan suatu masyarakat.
"Lewat kata-kata mutiara seseorang dapat menilai kehidupan berdasarkan pengalamannya dengan banyak individu. Sebab kata-kata mutiara juga memberi banyak kesempatan bagi pembaca untuk memilih respon emosional atau rangkaian aksi yang mungkin sangat berbeda dengan yang tersaji oleh kehidupan sendiri," terang dia.
Ia melanjutkan, menikmati kata-kata mutiara dapat memberikan keseimbangan wawasan. Dengan kata lain, rangkaian aksi tersebut mungkin tak pernah ada atau tak pernah terjadi dalam kehidupan faktual.
"Dan yang terpenting, kata-kata mutiara ternyata memiliki kesanggupan dan daya pukau yang luar biasa dalam menembus pikiran dan emosi pembaca sehingga menimbulkan pengaruh terhadap wawasan, sikap dan perilaku," paparnya.
Dengan tersedianya beragam kata-kata mutiara dari berbagai etnis di Indonesia lanjut dia, kita dapat mempelajari nilai budaya saudara sebangsa dan setanah air guna membangun wawasan keindonesiaan yang lebih komprehensif.
"Akan terjadi pembelajaran secara tidak langsung melalui wujud dan makna yang terkandung dalam berbagai kata-kata mutiara yang ada di Indonesia. Dan manakala proses itu terjadi, pemahaman kita terhadap nilai keindonesiaan tentunya juga akan bertambah," ujarnya.
Artinya, kata dia, sesama etnis (suku bangsa) bukan lagi hanya duduk sama tinggi dan saling menghormati kebersamaan tersebut, namun juga terjadi dialog yang lebih intens (semacam tegur-sapa) serta proses edukasi.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
"Wawasan yang terkandung dalam kata-kata mutiara berbeda dengan fakta yang umum dibakukan. Sebab tak sekadar menggambarkan, namun memberikan ide dan wawasan yang lebih dalam. Sehingga dapat dipahami kelemahan, ketakutan, cita-cita, atau hakikat manusia lebih dari yang disajikan dalam teks psikologi, sosiologi, maupun antropologi," ujarnya di Waykanan, Lampung, Senin.
Ia menambahkan, di samping menstimulasi imajinasi, kata-kata mutiara juga dapat merupakan sarana reaktualisasi warisan budaya masa lalu, di mana Indonesia mempunyai banyak sekali kata-kata mutiara dari berbagai suku bangsa yang ada.
"Kata-kata mutiara lahir dan digali dari simpul-simpul pandangan hidup yang bersumber pada agama, kepercayaan, mitos, religi, falsafah, serta ajaran para cerdik pandai, pujangga, wali, raja atau datu di masa lalu yang terbukti ampuh menjadi pedoman hidup mereka," kata dia.
Dengan demikian, lanjut dia, mereka yang menikmati dan mempelajarinya sedikit banyak akan memperoleh kontak dengan impian, harapan, dan aspirasi, sebagai akar dari kebudayaan suatu masyarakat.
"Lewat kata-kata mutiara seseorang dapat menilai kehidupan berdasarkan pengalamannya dengan banyak individu. Sebab kata-kata mutiara juga memberi banyak kesempatan bagi pembaca untuk memilih respon emosional atau rangkaian aksi yang mungkin sangat berbeda dengan yang tersaji oleh kehidupan sendiri," terang dia.
Ia melanjutkan, menikmati kata-kata mutiara dapat memberikan keseimbangan wawasan. Dengan kata lain, rangkaian aksi tersebut mungkin tak pernah ada atau tak pernah terjadi dalam kehidupan faktual.
"Dan yang terpenting, kata-kata mutiara ternyata memiliki kesanggupan dan daya pukau yang luar biasa dalam menembus pikiran dan emosi pembaca sehingga menimbulkan pengaruh terhadap wawasan, sikap dan perilaku," paparnya.
Dengan tersedianya beragam kata-kata mutiara dari berbagai etnis di Indonesia lanjut dia, kita dapat mempelajari nilai budaya saudara sebangsa dan setanah air guna membangun wawasan keindonesiaan yang lebih komprehensif.
"Akan terjadi pembelajaran secara tidak langsung melalui wujud dan makna yang terkandung dalam berbagai kata-kata mutiara yang ada di Indonesia. Dan manakala proses itu terjadi, pemahaman kita terhadap nilai keindonesiaan tentunya juga akan bertambah," ujarnya.
Artinya, kata dia, sesama etnis (suku bangsa) bukan lagi hanya duduk sama tinggi dan saling menghormati kebersamaan tersebut, namun juga terjadi dialog yang lebih intens (semacam tegur-sapa) serta proses edukasi.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
Pendidikan Tinggi Jurusan Bahasa Lampung Dibutuhkan
Bandarlampung, 25/10 (ANTARA) - Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung tingkat SMP Kota Bandarlampung meminta kepada penyelenggara pendidikan tinggi di daerah itu untuk membuka jurusan bahasa Lampung setingkat strata satu demi regenerasi guru bidang tersebut.
"Sejak jurusan Diploma III Bahasa Lampung di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung ditutup tiga tahun lalu, kita nyaris mengalami krisis tenaga pengajar bahasa Lampung yang berkompeten, sehingga pengadaan jurusan bahasa lokal tersebut pada institusi perguruan tinggi sangat dibutuhkan," kata Ketua MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, Laurena Elfa, di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan, dari pengajar bahasa Lampung di seluruh sekolah Kota Bandarlampung saat ini, hampir 60 persennya tidak memiliki dasar pendidikan yang berkompeten dengan mata pelajaran tersebut, bahkan sebagian merupakan guru mata pelajaran lain di sekolah tempat dia mengajar.
"Apalagi dengan kewajiban memegang gelar S-1 bagi tenaga pengajar, makin sulit saja bagi kita untuk memiliki tenaga guru bahasa Lampung yang profesional dengan materi ajarnya," kata dia.
Laurena menjelaskan, demi memenuhi kredit dan persyaratan, sebagian besar anggotanya terpaksa mengambil gelar S-1 keguruan yang bidangnya bukan bahasa Lampung, karena ketiadaan institusi resmi yang membuka jurusan tersebut.
"Hampir 90 persen mereka memiliki gelar S-1 non-bahasa Lampung, padahal mata pelajaran yang diajarkan tidak ringan karena menuntut pengetahuan bahasa, sastra, aksara, dan budaya Lampung yang mumpuni," kata dia.
Sementara itu, minat siswa, khususnya di daerah perkotaan, dalam mendalami dan mempelajari aksara dan bahasa Lampung saat ini sangat rendah, selain didorong oleh lemahnya metode pengajaran terhadap mata pelajaran tersebut, juga didorong oleh faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Menurut guru yang juga mengajar mata pelajaran bahasa Lampung di SMP 14 Bandarlampung itu, jumlah siswa yang mampu membaca aksara dan berbahasa Lampung di sekolah saat ini sangat sedikit, tidak sampai 50 persen dari jumlah keseluruhan penghuni kelas yang berjumlah 32 orang.
Pada kesempatan sebelumnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, mengatakan, posisi aksara dan bahasa Lampung yang termasuk sebagai salah satu aset nasional.
"Hanya ada empat daerah di Indonesia yang memiliki potensi bahasa dan aksara khas sekaligus, salah satunya Lampung," kata dia.
Selain Lampung, tiga daerah yang memiliki potensi serupa adalah Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan.
"Sayang apabila potensi bagus itu harus punah karena ketidakpopuleran," kata dia.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
"Sejak jurusan Diploma III Bahasa Lampung di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung ditutup tiga tahun lalu, kita nyaris mengalami krisis tenaga pengajar bahasa Lampung yang berkompeten, sehingga pengadaan jurusan bahasa lokal tersebut pada institusi perguruan tinggi sangat dibutuhkan," kata Ketua MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, Laurena Elfa, di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan, dari pengajar bahasa Lampung di seluruh sekolah Kota Bandarlampung saat ini, hampir 60 persennya tidak memiliki dasar pendidikan yang berkompeten dengan mata pelajaran tersebut, bahkan sebagian merupakan guru mata pelajaran lain di sekolah tempat dia mengajar.
"Apalagi dengan kewajiban memegang gelar S-1 bagi tenaga pengajar, makin sulit saja bagi kita untuk memiliki tenaga guru bahasa Lampung yang profesional dengan materi ajarnya," kata dia.
Laurena menjelaskan, demi memenuhi kredit dan persyaratan, sebagian besar anggotanya terpaksa mengambil gelar S-1 keguruan yang bidangnya bukan bahasa Lampung, karena ketiadaan institusi resmi yang membuka jurusan tersebut.
"Hampir 90 persen mereka memiliki gelar S-1 non-bahasa Lampung, padahal mata pelajaran yang diajarkan tidak ringan karena menuntut pengetahuan bahasa, sastra, aksara, dan budaya Lampung yang mumpuni," kata dia.
Sementara itu, minat siswa, khususnya di daerah perkotaan, dalam mendalami dan mempelajari aksara dan bahasa Lampung saat ini sangat rendah, selain didorong oleh lemahnya metode pengajaran terhadap mata pelajaran tersebut, juga didorong oleh faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Menurut guru yang juga mengajar mata pelajaran bahasa Lampung di SMP 14 Bandarlampung itu, jumlah siswa yang mampu membaca aksara dan berbahasa Lampung di sekolah saat ini sangat sedikit, tidak sampai 50 persen dari jumlah keseluruhan penghuni kelas yang berjumlah 32 orang.
Pada kesempatan sebelumnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, mengatakan, posisi aksara dan bahasa Lampung yang termasuk sebagai salah satu aset nasional.
"Hanya ada empat daerah di Indonesia yang memiliki potensi bahasa dan aksara khas sekaligus, salah satunya Lampung," kata dia.
Selain Lampung, tiga daerah yang memiliki potensi serupa adalah Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan.
"Sayang apabila potensi bagus itu harus punah karena ketidakpopuleran," kata dia.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
Puluhan Siswa SMP Ikuti Lomba Berbahasa Lampung
Bandarlampung, 25/10 (ANTARA)- Sebanyak 81 siswa SMP se-Kota Bandarlampung mengkuti lomba berbahasa Lampung yang diselenggarakan oleh "Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung" setempat.
"Kami ingin menumbuhkan kembali minat siswa dalam mempelajari bahasa dan aksara Lampung sebagai identitas kedaerahan, selain untuk memupuk rasa bangga terhadap budaya daerah sendiri," kata Ketua MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, Laurena Elfa, di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan, minat siswa, khususnya di daerah perkotaan, dalam mendalami dan mempelajari aksara dan bahasa Lampung saat ini sangat rendah, selain didorong oleh lemahnya metode pengajaran terhadap mata pelajaran tersebut, juga disebabkan faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Menurut guru yang juga mengajar mata pelajaran bahasa Lampung di SMP 14 Bandarlampung itu, jumlah siswa yang mampu membaca aksara dan berbahasa Lampung di sekolah saat ini sangat sedikit, tidak sampai 50 persen dari jumlah keseluruhan penghuni kelas yang berjumlah 32 orang.
"Saya terpaksa tidak menggunakan seratus persen bahasa Lampung sebagai pengantar untuk mengajar, karena banyak siswa yang tidak mengerti," kata dia.
Padahal, dia melanjutkan, sebagai materi lokal yang berfungsi untuk menjaga kelestarian budaya daerah, penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar dalam mengajar, mutlak dilakukan.
Untuk membangkitkan minat dalam berbahasa Lampung, pihaknya pernah mengeluarkan edaran kepada seluruh sekolah anggota MGMP, yang berisikan kewajiban menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di sekolah setiap satu pekan sekali, pada 2007.
Sayangnya, edaran yang dibuat lebih tiga tahun lalu itu tidak dijalankan oleh hampir seluruh sekolah di kota itu.
Laurena berharap Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dapat menginstruksikan hal yang sama kepada seluruh sekolah demi penyelamatan bahasa Lampung sebagai aset daerah dan nasional.
Upaya lain yang dilakukan, kata dia, adalah dengan membuat perlombaan rutin setiap tahun yang terkait dengan penggunaan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, perlombaan bahasa Lampung yang dilaksanakan oleh MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, di Aula SMP 16 Bandarlampung, Senin, mempertandingkan dua cabang perlombaan, masing-masing "Waraghan" (mendongeng dalam bahasa Lampung), dan kecepatan membaca aksara Lampung.
Acara tersebut diikuti oleh 50 SMP negeri, swasta, dan MTs di Kota Bandarlampung.
"Lumayan tinggi minatnya, karena hampir semua sekolah yang mengajarkan bahasa Lampung sebagai muatan lokal, ikut ambil bagian," kata dia.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, mengatakan, posisi aksara dan bahasa Lampung yang termasuk sebagai salah satu aset nasional.
"Hanya ada empat daerah di Indonesia yang memiliki potensi bahasa dan aksara khas sekaligus, salah satunya Lampung," kata dia.
Selain Lampung, tiga daerah yang memiliki potensi serupa adalah Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan.
"Sayang apabila potensi bagus itu harus punah karena ketidakpopuleran," kata dia.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
"Kami ingin menumbuhkan kembali minat siswa dalam mempelajari bahasa dan aksara Lampung sebagai identitas kedaerahan, selain untuk memupuk rasa bangga terhadap budaya daerah sendiri," kata Ketua MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, Laurena Elfa, di Bandarlampung, Senin.
Dia menjelaskan, minat siswa, khususnya di daerah perkotaan, dalam mendalami dan mempelajari aksara dan bahasa Lampung saat ini sangat rendah, selain didorong oleh lemahnya metode pengajaran terhadap mata pelajaran tersebut, juga disebabkan faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Menurut guru yang juga mengajar mata pelajaran bahasa Lampung di SMP 14 Bandarlampung itu, jumlah siswa yang mampu membaca aksara dan berbahasa Lampung di sekolah saat ini sangat sedikit, tidak sampai 50 persen dari jumlah keseluruhan penghuni kelas yang berjumlah 32 orang.
"Saya terpaksa tidak menggunakan seratus persen bahasa Lampung sebagai pengantar untuk mengajar, karena banyak siswa yang tidak mengerti," kata dia.
Padahal, dia melanjutkan, sebagai materi lokal yang berfungsi untuk menjaga kelestarian budaya daerah, penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar dalam mengajar, mutlak dilakukan.
Untuk membangkitkan minat dalam berbahasa Lampung, pihaknya pernah mengeluarkan edaran kepada seluruh sekolah anggota MGMP, yang berisikan kewajiban menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di sekolah setiap satu pekan sekali, pada 2007.
Sayangnya, edaran yang dibuat lebih tiga tahun lalu itu tidak dijalankan oleh hampir seluruh sekolah di kota itu.
Laurena berharap Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dapat menginstruksikan hal yang sama kepada seluruh sekolah demi penyelamatan bahasa Lampung sebagai aset daerah dan nasional.
Upaya lain yang dilakukan, kata dia, adalah dengan membuat perlombaan rutin setiap tahun yang terkait dengan penggunaan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, perlombaan bahasa Lampung yang dilaksanakan oleh MGMP Bahasa Lampung SMP Kota Bandarlampung, di Aula SMP 16 Bandarlampung, Senin, mempertandingkan dua cabang perlombaan, masing-masing "Waraghan" (mendongeng dalam bahasa Lampung), dan kecepatan membaca aksara Lampung.
Acara tersebut diikuti oleh 50 SMP negeri, swasta, dan MTs di Kota Bandarlampung.
"Lumayan tinggi minatnya, karena hampir semua sekolah yang mengajarkan bahasa Lampung sebagai muatan lokal, ikut ambil bagian," kata dia.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, mengatakan, posisi aksara dan bahasa Lampung yang termasuk sebagai salah satu aset nasional.
"Hanya ada empat daerah di Indonesia yang memiliki potensi bahasa dan aksara khas sekaligus, salah satunya Lampung," kata dia.
Selain Lampung, tiga daerah yang memiliki potensi serupa adalah Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan.
"Sayang apabila potensi bagus itu harus punah karena ketidakpopuleran," kata dia.
Sumber: Antara, Senin, 25 Oktober 2010
October 24, 2010
DKL Adakan Lomba Puisi Bahasa Lampung
Kapanlagi.com - Dewan Kesenian Lampung (DKL) mengadakan lomba baca puisi Bahasa Lampung untuk pelajar SMA dan sederajat di daerah tersebut.
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, di Bandarlampung, Kamis, mengatakan, perlombaan yang akan diadakan pada November itu merupakan upaya pihaknya untuk menjaga kelestarian Bahasa Lampung, sekaligus mengapresiasi karya sastrawan.
"Semua pihak tentu tak ingin Bahasa Lampung punah atau menjadi sesuatu yang asing di rumah sendiri karena tertelan arus deras globalisasi," kata dia.
Acara itu merupakan bagian dari kegiatan Festival Kesenian Lampung (FKL) yang akan diselenggarakan pada 23-25 November.
Selain lomba baca puisi Bahasa Lampung juga digelar beberapa kegiatan, seperti lomba lukis anak-anak, pameran foto, dan pentas seni tradisi.
Untuk lomba baca puisi Bahasa Lampung, panitia menyiapkan 10 puisi dari buku puisi "Mak Dawah Mak Dibingi" karya Udo Z Karzi, sastrawan sekaligus wartawan salah satu harian di daerah itu.
Para peserta dipersilakan memilih satu puisi untuk dibacakan dari buku yang mendapatkan hadiah Sastra Rancage 2008 itu.
Sementara itu, Ketua Harian DKL Syaiful Irba Tanpaka menambahkan kegiatan ini berangkat dari keprihatinan dan kegelisahan bahwa kaum muda di Lampung semakin jarang menggunakan Bahasa Lampung dalam keseharian mereka.
"Semua pihak harus bangga berbahasa Lampung, karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa dan suku," kata dia.
Dia berharap, minat peserta yang akan mengikuti perlombaan itu akan menggembirakan, sehingga dapat menjadi indikator penguasaan generasi terkini terhadap bahasa daerah itu. (antara/mae)
Sumber: Kapanlagi.com, Kamis, 14 Oktober 2010
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, di Bandarlampung, Kamis, mengatakan, perlombaan yang akan diadakan pada November itu merupakan upaya pihaknya untuk menjaga kelestarian Bahasa Lampung, sekaligus mengapresiasi karya sastrawan.
"Semua pihak tentu tak ingin Bahasa Lampung punah atau menjadi sesuatu yang asing di rumah sendiri karena tertelan arus deras globalisasi," kata dia.
Acara itu merupakan bagian dari kegiatan Festival Kesenian Lampung (FKL) yang akan diselenggarakan pada 23-25 November.
Selain lomba baca puisi Bahasa Lampung juga digelar beberapa kegiatan, seperti lomba lukis anak-anak, pameran foto, dan pentas seni tradisi.
Untuk lomba baca puisi Bahasa Lampung, panitia menyiapkan 10 puisi dari buku puisi "Mak Dawah Mak Dibingi" karya Udo Z Karzi, sastrawan sekaligus wartawan salah satu harian di daerah itu.
Para peserta dipersilakan memilih satu puisi untuk dibacakan dari buku yang mendapatkan hadiah Sastra Rancage 2008 itu.
Sementara itu, Ketua Harian DKL Syaiful Irba Tanpaka menambahkan kegiatan ini berangkat dari keprihatinan dan kegelisahan bahwa kaum muda di Lampung semakin jarang menggunakan Bahasa Lampung dalam keseharian mereka.
"Semua pihak harus bangga berbahasa Lampung, karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa dan suku," kata dia.
Dia berharap, minat peserta yang akan mengikuti perlombaan itu akan menggembirakan, sehingga dapat menjadi indikator penguasaan generasi terkini terhadap bahasa daerah itu. (antara/mae)
Sumber: Kapanlagi.com, Kamis, 14 Oktober 2010
October 23, 2010
Kearifan Lokal: Kelekup Gangsa dan Danau Ranau
SEBANYAK 28 pemain teater berdesak-desakan di atas sebuah panggung. Tidak lazimnya panggung, itu terbuat dari ponton. Apalagi, melayang di atas danau yang dalamnya puluhan meter.
Pentas sendratari yang diangkat dari cerita rakyat bertajuk ”Kelekup Gangsa” di atas panggung dadakan terapung itu merupakan pemuncak dari perhelatan Festival Lombok (baca Lumbok) yang diadakan di Danau Ranau, Lampung Barat, 9-10 Oktober lalu.
”Doakan sukses ya, semoga pentasnya lancar dan tidak terjadi apa-apa. Soalnya tidak pakai pengaman nih,” teriak seorang penari kepada seorang rekan di seberangnya sebelum pertunjukan. Meskipun jaraknya hanya 7 meter, suaranya itu terdengar sayup-sayup akibat terbawa angin cukup kencang.
Penonton dipaksa menghela napas ketika peristiwa cukup menegangkan terjadi, saat sebuah papan backstage dadakan terbang tertiup angin. Saat itu, cuaca memang tak terlalu mendukung, banyak angin kencang, terutama di tengah danau. Dapat dibayangkan tingginya risiko para pemain. Apalagi, tidak satu pun dari mereka dilengkapi pelampung.
Namun, bukan suatu kebetulan jika pertunjukan yang berisiko tinggi ini akhirnya bisa berjalan aman. Beberapa hari sebelumnya, warga setempat melakukan tirakatan atau melepas sesajen ke tengah danau. Akarnya adalah legenda dan mistis yang dibawakan dalam sendratari itu.
”Kelekup Gangsa” bercerita tentang kentungan sakti milik warga adat Lampung Way Mengaku yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Kentungan ini lalu dicuri prajurit-prajurit Kerajaan Sriwijaya. Namun, di tangan prajurit Sriwijaya, kentungan ini justru menjadi malapetaka. Mereka yang tak berhak membawa kentungan itu justru tewas. Kentungan ini kemudian jatuh ke danau dan berubah menjadi naga emas.
Naga emas ini dipercaya warga asli sekitar maupun para pendatang masih ”hidup” sebagai ”penunggu” danau. ”Kadang muncul dalam mimpi orang- orang tua,” cerita Ahmadi (56), warga Dusun Sukabangun, Kecamatan Lombok Seminung, Lampung Barat.
Naga emas ini menjadi pelindung warga yang memiliki perilaku dan itikad baik, antara lain menjaga keasrian danau. Sebaliknya menjadi pemicu azab bagi mereka yang tamak, angkuh, atau tidak berperilaku baik.
Menurut Arifulloh (55), warga Pekon Pagaralam, pernah ditemukan korban tewas tenggelam yang diketahui orang yang tidak berbuat senonoh atau sengaja menantang ingin ”berenang” menaklukkan danau.
Menjaga etika
Mereka percaya, alam bukan sesuatu untuk ditaklukkan. Sebaliknya, manusia harus rendah hati, hidup berdampingan selaras dengan alam dan lingkungannya. ”Dongeng ini menjaga etika dan perilaku masyarakat setempat terhadap danau ini,” ujar Nyoman Mulyawan, koreografer sendratari ”Kelekup Gangsa”.
Kepercayaan tersebut yang mengawal keasrian danau terbesar kedua di Sumatera itu hingga kini. Berbeda dengan danau ataupun waduk di daerah lainnya, danau yang airnya bersumber dari 50 sumber mata air itu masih jernih. Danau ini bahkan nyaris tidak pernah surut, malah bertambah ketinggiannya sekitar 1 meter, akhir-akhir ini.
Wilayah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berada di dekat mereka tidak diusik. Beberapa titik hutan penyangga yang berada di punggung danau tidak juga mereka sentuh karena dianggap larangan, sebagai tempat kuburan legenda Si Pahit Lidah. Warga takut dikutuk apabila melanggar.
Padahal, mayoritas dari mereka umumnya adalah petani kopi yang identik dengan ”label” kegiatan merambah hutan. ”Saya berani jamin, mereka ini tidak merambah hutan TNBBS meskipun katanya ada 22.000 penjarah di sana. Di sini ada aturan adat yang membuat warga takut,” ujar Rusman Effendi (39), warga Pekon Lombok yang juga anggota DPRD Lambar.
Kesederhanaan dan kerendahan hati pula yang membuat warga di sekitar Danau Ranau tidak ”teriak” meskipun daerah mereka belum teraliri listrik PLN hingga kini. Sebagian besar tetap teguh mempertahankan adat istiadat, serta membangun rumah-rumah panggung meskipun telah memasuki abad modern.
Gempa
Rumah-rumah dari kayu itu pun mayoritas masih berdiri kokoh meskipun sempat beberapa kali digoyang gempa dahsyat, termasuk Gempa Liwa 1994.
Berkat keteguhan itu, Pekon Lombok kini dijadikan salah satu percontohan desa wisata berbasiskan ekowisata di Lampung Barat. Setiap tahun pula, selama empat tahun terakhir, desa ini menjadi pusat perhelatan Festival Danau Ranau di Lampung Barat.
Perubahan pun pelan-pelan mulai terasa. Jalan menuju ke desa mereka semakin mulus, menara-menara antena telepon seluler pun mulai bermunculan seiring bermunculannya hotel- hotel baru. Bahkan, PLN pun mulai memasang jaringan kabel listrik ke tempat ini.
Ke depan, keteguhan itu akan mendapat cobaan besar seiring pesatnya perkembangan pariwisata dan pembangunan di sana. Namun, sepanjang legenda kolosal itu masih menjadi ingatan kolektif warga setempat, naga emas akan senantiasa menjaga keteguhan hati mereka.
(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010
Pentas sendratari yang diangkat dari cerita rakyat bertajuk ”Kelekup Gangsa” di atas panggung dadakan terapung itu merupakan pemuncak dari perhelatan Festival Lombok (baca Lumbok) yang diadakan di Danau Ranau, Lampung Barat, 9-10 Oktober lalu.
”Doakan sukses ya, semoga pentasnya lancar dan tidak terjadi apa-apa. Soalnya tidak pakai pengaman nih,” teriak seorang penari kepada seorang rekan di seberangnya sebelum pertunjukan. Meskipun jaraknya hanya 7 meter, suaranya itu terdengar sayup-sayup akibat terbawa angin cukup kencang.
Penonton dipaksa menghela napas ketika peristiwa cukup menegangkan terjadi, saat sebuah papan backstage dadakan terbang tertiup angin. Saat itu, cuaca memang tak terlalu mendukung, banyak angin kencang, terutama di tengah danau. Dapat dibayangkan tingginya risiko para pemain. Apalagi, tidak satu pun dari mereka dilengkapi pelampung.
Namun, bukan suatu kebetulan jika pertunjukan yang berisiko tinggi ini akhirnya bisa berjalan aman. Beberapa hari sebelumnya, warga setempat melakukan tirakatan atau melepas sesajen ke tengah danau. Akarnya adalah legenda dan mistis yang dibawakan dalam sendratari itu.
”Kelekup Gangsa” bercerita tentang kentungan sakti milik warga adat Lampung Way Mengaku yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Kentungan ini lalu dicuri prajurit-prajurit Kerajaan Sriwijaya. Namun, di tangan prajurit Sriwijaya, kentungan ini justru menjadi malapetaka. Mereka yang tak berhak membawa kentungan itu justru tewas. Kentungan ini kemudian jatuh ke danau dan berubah menjadi naga emas.
Naga emas ini dipercaya warga asli sekitar maupun para pendatang masih ”hidup” sebagai ”penunggu” danau. ”Kadang muncul dalam mimpi orang- orang tua,” cerita Ahmadi (56), warga Dusun Sukabangun, Kecamatan Lombok Seminung, Lampung Barat.
Naga emas ini menjadi pelindung warga yang memiliki perilaku dan itikad baik, antara lain menjaga keasrian danau. Sebaliknya menjadi pemicu azab bagi mereka yang tamak, angkuh, atau tidak berperilaku baik.
Menurut Arifulloh (55), warga Pekon Pagaralam, pernah ditemukan korban tewas tenggelam yang diketahui orang yang tidak berbuat senonoh atau sengaja menantang ingin ”berenang” menaklukkan danau.
Menjaga etika
Mereka percaya, alam bukan sesuatu untuk ditaklukkan. Sebaliknya, manusia harus rendah hati, hidup berdampingan selaras dengan alam dan lingkungannya. ”Dongeng ini menjaga etika dan perilaku masyarakat setempat terhadap danau ini,” ujar Nyoman Mulyawan, koreografer sendratari ”Kelekup Gangsa”.
Kepercayaan tersebut yang mengawal keasrian danau terbesar kedua di Sumatera itu hingga kini. Berbeda dengan danau ataupun waduk di daerah lainnya, danau yang airnya bersumber dari 50 sumber mata air itu masih jernih. Danau ini bahkan nyaris tidak pernah surut, malah bertambah ketinggiannya sekitar 1 meter, akhir-akhir ini.
Wilayah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berada di dekat mereka tidak diusik. Beberapa titik hutan penyangga yang berada di punggung danau tidak juga mereka sentuh karena dianggap larangan, sebagai tempat kuburan legenda Si Pahit Lidah. Warga takut dikutuk apabila melanggar.
Padahal, mayoritas dari mereka umumnya adalah petani kopi yang identik dengan ”label” kegiatan merambah hutan. ”Saya berani jamin, mereka ini tidak merambah hutan TNBBS meskipun katanya ada 22.000 penjarah di sana. Di sini ada aturan adat yang membuat warga takut,” ujar Rusman Effendi (39), warga Pekon Lombok yang juga anggota DPRD Lambar.
Kesederhanaan dan kerendahan hati pula yang membuat warga di sekitar Danau Ranau tidak ”teriak” meskipun daerah mereka belum teraliri listrik PLN hingga kini. Sebagian besar tetap teguh mempertahankan adat istiadat, serta membangun rumah-rumah panggung meskipun telah memasuki abad modern.
Gempa
Rumah-rumah dari kayu itu pun mayoritas masih berdiri kokoh meskipun sempat beberapa kali digoyang gempa dahsyat, termasuk Gempa Liwa 1994.
Berkat keteguhan itu, Pekon Lombok kini dijadikan salah satu percontohan desa wisata berbasiskan ekowisata di Lampung Barat. Setiap tahun pula, selama empat tahun terakhir, desa ini menjadi pusat perhelatan Festival Danau Ranau di Lampung Barat.
Perubahan pun pelan-pelan mulai terasa. Jalan menuju ke desa mereka semakin mulus, menara-menara antena telepon seluler pun mulai bermunculan seiring bermunculannya hotel- hotel baru. Bahkan, PLN pun mulai memasang jaringan kabel listrik ke tempat ini.
Ke depan, keteguhan itu akan mendapat cobaan besar seiring pesatnya perkembangan pariwisata dan pembangunan di sana. Namun, sepanjang legenda kolosal itu masih menjadi ingatan kolektif warga setempat, naga emas akan senantiasa menjaga keteguhan hati mereka.
(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010