TRADISI perfilman di Lampung belum kuat dan mengakar. Para movie maker pemula dan senior jarang sekali menggelar diskusi bersama untuk membahas tentang film yang bagus. Kondisi itu diperparah dengan minimnya workshop soal film.
Penikmat film, Juperta Panji Utama, menilai festival film di Lampung sangat jarang. Walaupun ada, periodenya sangat lama, hanya setahun sekali. Padahal bila banyak kompetisi, makin terasah untuk membuat film.
Selain kompetisi yang jarang, kata dia, diskusi soal film pun hampir tidak ada. Walaupun ada, terkadang para movie maker tidak mau ikut dalam diskusi. Padahal diskusi dan sharing sangat penting untuk saling mengkritisi karya yang ada.
Dia mengatakan dalam dunia kreatif tidak ada istilah senior dan junior. Siapa pun yang punya karya yang bagus layak untuk tampil. Jadi, jangan ragu jika memiliki karya untuk dikritik dan diberi masukan.
Juri FFI Darmajaya ini mengatakan perlu dibangun tradisi yang kuat tentang film. Meskipun di Lampung belum memiliki institut seni, sudah ada jurusan komunikasi yang juga berkaitan dengan film.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa keberadaan institut seni akan membawa pengaruh yang besar dalam perkembangan film. Misalnya seperti di Jakarta dan Yogyakarta yang sudah lama memiliki institut seni. “Pelajar yang berprestasi dalam film tidak perlu ke luar Lampung untuk menimba ilmu,” kata dia.
Panji mengusulkan agar ada pertemuan bulanan yang menjadi ajang untuk para pembuat film menampilkan karyanya. Bila ada panggung untuk menampilkan karya, para sineas pun tidak perlu khawatir untuk terus berkarya karena sudah ada media untuk menampilkan film.
Dede dan Panji pun sepakat jika misalnya bioskop 21 memberi ruang kepada para pembuat film lokal untuk menampilkan karyanya. Hal ini pernah dilakukan beberapa bioskop di daerah Jawa.
Dede mengungkapkan perlu ada pelatihan dan workshop bagi para sineas muda untuk terus mengembangkan potensinya. Misalnya untuk mengasah kemampuan praproduksi film.
Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengatakan sangat jarang sekali ada pelatihan dan workshop tentang film. Terakhir kali dia ikut workshop tahun lalu di IAIN Raden Intan. Dengan biaya sendiri, dia ikut pelatihan tersebut. “Padahal yang yang berminat dalam film sangat banyak, tapi semua kebanyakan belajar sendiri,” kata dia.
Wildan menilai Lampung miskin kompetisi film. Padahal lewat kompetisilah para pembuat film saling unjuk kemampuan. Orang-orang dari daerah pun ingin sekali bisa bersaing dengan movie maker di kota.
Danar Yudhistira dari MP Film dan Ahmad Suhari dari Komunitas Jatisariku berharap Lampung memiliki satu komunitas besar yang menaungi semua pembuat film yang ada di bumi khua jurai. Dalam komunitas inilah kemudian para pembuat film handar berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa mengangkat nama Lampung.
Danar mengatakan beberapa komunitas memiliki kemampuan yang lebih dalam hal pengambilan gambar, editing, naskah, dan sutradara. Orang-orang yang jago dari setiap komunitas ini kemudian menyatukan ide untuk menghasilkan sebuah film yang berkualitas.
Suhardi mengungkapkan komunitas besar yang menyatukan semua pembuat film penting untuk saling melengkapi. Jika semua unsur pembuat film sudah bersatu, mimpi untuk menghasilkan film layar lebar yang menasional bisa terwujud. “Perlu ada orang yang harus menggerakkan komunitas besar tersebut,” kata dia.
Danar mengatakan pembuat film indie di Lampung sudah cukup bagus dan bisa bersaing dengan kota lain. Untuk bisa memenangkan persaingan, maka perlu kerja keras dan ide kreatif supaya film yang dibuat bisa berbicara banyak di kompetisi nasional.
Panji pun sepakat bahwa banyak pembuat film di Lampung yang bagus. Lampung pun sudah bisa menunjukkan kualitasnya di tingkatan nasional. Hal itu dibuktikan dengan juara film di Yogyakarta yang diraih pelajar SMKN 5 Bandar Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012
Penikmat film, Juperta Panji Utama, menilai festival film di Lampung sangat jarang. Walaupun ada, periodenya sangat lama, hanya setahun sekali. Padahal bila banyak kompetisi, makin terasah untuk membuat film.
Selain kompetisi yang jarang, kata dia, diskusi soal film pun hampir tidak ada. Walaupun ada, terkadang para movie maker tidak mau ikut dalam diskusi. Padahal diskusi dan sharing sangat penting untuk saling mengkritisi karya yang ada.
Dia mengatakan dalam dunia kreatif tidak ada istilah senior dan junior. Siapa pun yang punya karya yang bagus layak untuk tampil. Jadi, jangan ragu jika memiliki karya untuk dikritik dan diberi masukan.
Juri FFI Darmajaya ini mengatakan perlu dibangun tradisi yang kuat tentang film. Meskipun di Lampung belum memiliki institut seni, sudah ada jurusan komunikasi yang juga berkaitan dengan film.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa keberadaan institut seni akan membawa pengaruh yang besar dalam perkembangan film. Misalnya seperti di Jakarta dan Yogyakarta yang sudah lama memiliki institut seni. “Pelajar yang berprestasi dalam film tidak perlu ke luar Lampung untuk menimba ilmu,” kata dia.
Panji mengusulkan agar ada pertemuan bulanan yang menjadi ajang untuk para pembuat film menampilkan karyanya. Bila ada panggung untuk menampilkan karya, para sineas pun tidak perlu khawatir untuk terus berkarya karena sudah ada media untuk menampilkan film.
Dede dan Panji pun sepakat jika misalnya bioskop 21 memberi ruang kepada para pembuat film lokal untuk menampilkan karyanya. Hal ini pernah dilakukan beberapa bioskop di daerah Jawa.
Dede mengungkapkan perlu ada pelatihan dan workshop bagi para sineas muda untuk terus mengembangkan potensinya. Misalnya untuk mengasah kemampuan praproduksi film.
Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengatakan sangat jarang sekali ada pelatihan dan workshop tentang film. Terakhir kali dia ikut workshop tahun lalu di IAIN Raden Intan. Dengan biaya sendiri, dia ikut pelatihan tersebut. “Padahal yang yang berminat dalam film sangat banyak, tapi semua kebanyakan belajar sendiri,” kata dia.
Wildan menilai Lampung miskin kompetisi film. Padahal lewat kompetisilah para pembuat film saling unjuk kemampuan. Orang-orang dari daerah pun ingin sekali bisa bersaing dengan movie maker di kota.
Danar Yudhistira dari MP Film dan Ahmad Suhari dari Komunitas Jatisariku berharap Lampung memiliki satu komunitas besar yang menaungi semua pembuat film yang ada di bumi khua jurai. Dalam komunitas inilah kemudian para pembuat film handar berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa mengangkat nama Lampung.
Danar mengatakan beberapa komunitas memiliki kemampuan yang lebih dalam hal pengambilan gambar, editing, naskah, dan sutradara. Orang-orang yang jago dari setiap komunitas ini kemudian menyatukan ide untuk menghasilkan sebuah film yang berkualitas.
Suhardi mengungkapkan komunitas besar yang menyatukan semua pembuat film penting untuk saling melengkapi. Jika semua unsur pembuat film sudah bersatu, mimpi untuk menghasilkan film layar lebar yang menasional bisa terwujud. “Perlu ada orang yang harus menggerakkan komunitas besar tersebut,” kata dia.
Danar mengatakan pembuat film indie di Lampung sudah cukup bagus dan bisa bersaing dengan kota lain. Untuk bisa memenangkan persaingan, maka perlu kerja keras dan ide kreatif supaya film yang dibuat bisa berbicara banyak di kompetisi nasional.
Panji pun sepakat bahwa banyak pembuat film di Lampung yang bagus. Lampung pun sudah bisa menunjukkan kualitasnya di tingkatan nasional. Hal itu dibuktikan dengan juara film di Yogyakarta yang diraih pelajar SMKN 5 Bandar Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012