Penulis: Siti Nuryani | Editor: Yaspen Martinus
SEJAK dulu hingga sekarang, Pasar Bambu Kuning (BK) bagaikan pasar legendaris di Bandar Lampung. Pusat keramaian ini tak hanya menjadi lokasi favorit bagi para pedagang untuk berniaga, tapi juga sebagai tempat belanja yang banyak didatangi para pembeli.
Salah satu sudut di Pasar Bambu Kuning. (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/ MARZULI)
Selain karena barang-barangnya tersedia dalam banyak pilihan, Pasar BK pun terkenal karena harga-harga barangnya yang murah, dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan tempat lainnya.
Dari waktu ke waktu, tempat ini berkembang hingga mengalami banyak perubahan. Mulai dari bentuk bangunan hingga jumlah kios. Tapi, yang tidak berubah adalah keberadaan para pedagang kaki lima (PKL).
Para PKL di BK saat ini tergabung dalam sebuah perkumpulan yang menamakan dirinya Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning atau HPKLBK. Himpunan yang lahir secara informal pada 1998 ini memiliki anggota sebanyak 210 PKL.
PKL ini menempati selasar bangunan, tepatnya di depan kios pedagang lantai satu. Selain mereka, terdapat 270 kios pedagang lain yang masih menggantungkan kelangsungan hidupnya di pasar tradisional yang terletak di Jalan Imam Bonjol No 1, Bandar Lampung ini.
Zulkarnain, salah satu pedagang yang juga menjabat sebagai Ketua HPKLBK menuturkan, perang dingin biasa terjadi di pasar tradisional berlantai tiga ini. Baik antara PKL dan pemilik kios, antarsesama pemilik kios, pedagang dan pengembang, hingga pedagang dan pemerintah.
“Dulu hampir setiap hari ada yang ribut. Entah karena dagangan menutupi kios, atau lapaknya bergeser sedikit, pasti ada saja. Tapi, sekarang kondisi ini sudah jarang terjadi,” kata lelaki yang berjualan celana pendek ini.
Biasanya, para pedagang juga terlibat konflik dengan pemerintah, dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Zulkarnain mengisahkan, di era kepemimpinan Wali Kota Nurdin Muhayat pada 1990-1994, PKL dilarang eksis.
“Kami harus kucing-kucingan dengan pamong untuk berjualan. Dalam kurun waktu satu tahun kemudian, akhirnya PKL muncul kembali,” kenangnya kepada Tribunlampung.co.id.
Sekarang hal tersebut tidak ia alami lagi. Ia kini bisa berjualan dengan tenang. Karena, di era kepemimpinan Wali Kota Eddy Sutrisno, HPKLBK mendapatkan izin untuk berjualan di selasar bangunan kios.
Kenikmatan berbelanja di BK adalah melakukan tawar-menawar harga. Ini diakui oleh Rahma, warga Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Ia mengatakan, mampu mendapatkan setengah dari harga penjualan dari proses tawar-menawar.
“Di situ kenikmatannya, bisa dapat harga murah dibandingkan supermarket. Meskipun pengap, tapi seru aja Mbak,” katanya.
Hal lain yang juga menjadi ciri khas BK adalah keberadaan preman dan copet. Menurut Zulkarnain, ada dua macam preman di tempat itu, yang legal dan ilegal.
Sumber: Tribun Lampung, Selasa, 12 April 2011
No comments:
Post a Comment