BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hasil penelitian dan karya ilmiah berbagai pakar dunia yang menyebutkan Kota Mekah Al Mukaromah, Arab Saudi, sebagai titik pusat bumi perlu dimasyarakatkan agar koreksi waktu dan penanggalan bisa dilakukan. Namun, sosialisasi ini harus cermat dilakukan agar tidak terjadi keresahan dan kesalahpahaman.
PELUNCURAN BUKU. Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya bersama penerjemah buku Kabah Pusat Dunia Iwan Nurdaya-Djafar (kedua dari kiri) dan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Prof. M.A. Achlami H.S. menjadi pembicara dalam diskusi publik dan peluncuran buku Kabah Pusat Dunia di Wisma Unila, Jumat (29-4). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Kesimpulan itu terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Kakbah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah dengan pembicara budayawan Iwan Nurdaya Djafar, Dekan II IAIN Lampung Achlami, dan Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya di Wisma Dahlia Universitas Lampung, Jumat (29-4).
Buku yang ditulis Saad Muhammad Al-Marsafy dan diterjemahkan Iwan Nurdaya Djafar itu menyebutkan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Husain Kamaluddin dan dipublikasikan The Egyptian Scholars of The Sun and Space Research Center, Kairo, Mesir, memuat peta dunia baru. Peta ini menunjukkan Mekah dan kota-kota dunia.
Dengan penggunaan perkiraan matematika dan kaidah spherical triangle, Husain menyimpulkan kedudukan Mekah betul-betul di tengah-tengah deratan bumi. Buku ini memuat bukti bumi berkembang dari Mekah.
Buku terbitan Ilagaligo Publisher ini sekaligus mematahkan asumsi yang ratusan tahun dipakai dunia yakni Greenwich, kota kecil di pinggiran Kota London, Inggris, berada di garis bujur 0 derajat.
Penetapan Greenwich sebagai patokan waktu dunia, menurut Iwan Nurdaya, tidak berdasarkan penelitian ilmiah, hanya resolusi kedua Konferensi Garis Bujur Internasional di Washington DC, pada Oktober 1884.
"Banyak dampak dari koreksi waktu ini. Jika berpatokan pada waktu Mekah, seharusnya salat Jumat dilakukan Sabtu. Kemudian, perbedaan waktu puasa, Idulfitri, dan Iduladha, bisa dihindari. Namun, koreksi ini tentu butuh waktu lama dan kesepakatan bersama. Kami berharap buku ini dapat memberikan pemahaman bagi umat Islam terhadap karya ilmiah ini," kata Iwan.
Perubahan standar waktu ini, menurut Bambang Eka Wijaya, bukan hal yang harus diributkan. "Dalam mengukur suhu saja bisa beda. Ada yang pakai Celsius dan Fahrenheit. Kenapa tak berani pakai Kakbah Mean Time untuk menggantikan Greenwich Mean Time (GMT)," kata Bambang. (MIN/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 April 20
No comments:
Post a Comment