Dari penelitiannya, Dr Husain Kamaluddin, ilmuwan asal Mesir menyatakan, Makkah Al-Mukarramah merupakan pusat daratan bumi. Dengan begitu, waktu dunia seharusnya tidak lagi berpusat di Greenwich. Namun, meski sudah digulirkan sejak 1997, bukti ilmiah ini tidak serta merta membuat jam Hijriah dijadikan rujukan penentu waktu.
PUSAT DUNIA - Iwan Nurdaya Djafar (kiri) penerjemah buku Kabah Pusat Dunia dan Prof Dr MA Achlami HAS (kanan) saat diskusi di Wisma Dahlia Unila, Jumat (29/4). (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/MARZULIA)
Aneka pendapat mengemuka dalam acara bedah buku "Kabah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah", yang digelar Yayasan Wakaf Lampung Peduli, di Wisma Dahlia Universitas Lampung, Jumat (29/4/2011).
Sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, dan agamawan, silih berganti urun komentar atas buku karangan Saad Muhamad Al- Marsafy yang diterjemahkan dari versi Inggris-nya oleh budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar.
Husain Kamaluddin mendasarkan teorinya dengan pendekatan matematika dan kaidah yang disebut spherical triangle. Dengan perkiraan itu, maka kedudukan Makkah berada tepat di pusat daratan bumi. Husain juga menggambarkan proyeksi peta menggunakan program komputer tentang arah kiblat, dan hasilnya menunjukkan Makkah merupakan pusat dari suatu lingkaran yang melintasi semua benua.
Penelitian ini sekaligus membantah asumsi selama lebih seratus tahun bahwa Greenwich, kota kecil di pinggiran London, Inggris, berada di garis bujur nol derajat. Penasbihan Greenwich sebagai pusat dunia tercantum secara resmi pada resolusi kedua Konperensi Garis Bujur Internasional di Washington DC pada Oktober 1884.
"Jika para pemegang otoritas memang meyakini Makkah sebagai pusat daratan dunia, maka mestinya ada penyesuaian waktu yang sejak 1884 sudah digunakan umat Islam di dunia," kata Iwan Nurdaya Djafar. Iwan menjelaskan, dengan kesepakatan di Washington DC, sejak itu waktu di Indonesia mundur 28 jam.
Fakta ini juga memunculkan gagasan untuk membuat dan menerapkan jam Hijriah. "Kalau jam Hijriah ditetapkan, dan Makkah sebagai pusatnya berada di titik nol derajat, maka ibadah shaum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri bisa berlangsung di hari yang sama di seluruh dunia," terus Iwan.
Namun, persoalan tentu tidak sesederhana itu. Jika jam Hijriah diterapkan, maka waktu-waktu ibadah yang selama ini merujuk jam konvensional, harus disesuaikan. Mulai dari waktu salat wajib, salat Jumat, salat-salat sunah, hingga waktu puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah seperti puasa Senin-Kamis.
Selama ini, waktu Jakarta lebih cepat empat jam daripada Makkah. Dengan menempatkan Makkah di titik nol derajat, maka posisi Jakarta menjadi 19 jam 36 menit di belakang Kota Makkah.
Tokoh Nahdatul Ulama (NU) Arief Mahya mengatakan, penerapan jam Hijriah sebaiknya jangan terlalu tergesa-gesa. Selain cukup sensitif, hal ini juga dapat membingungkan umat muslim di dunia, terutama terkait penyesuaian waktu ibadah.
"Saya juga kurang setuju ada kata mukjizat dalam judul buku tersebut. Karena yang menerima mukjizat hanya lah nabi dan rasul-Nya," ujarnya.
Anshori Djausal, akademisi dari Univeristas Lampung, menuturkan, penerapan jam Hijriah memerlukan pengkajian lebih lanjut dan harus berhati-hati. Menurut dia, selama ini Indonesia sudah tidak asing dengan penanggalan Hijriah, di samping sistem Masehi. "Makkah sebagai pusat bumi, tidak mesti hanya bermakna fisik. Hati dan pikiran kita yang dipusatkan ke Makkah," terang Anshori.
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya mengatakan, umat Islam seharusnya bisa menerima keberadaan jam Hijriah, karena selama ini pun bisa menerima kalender atau penanggalan Hijriah. "Saatnya umat Islam memiliki jam Hijriah.
Namun hal ini memang perlu dikaji kembali karena menyangkut pelaksanaan ibadah," imbuh wartawan senior yang menjadi salah satu pembicara diskusi yang dimoderatori Koordinator Liputan Tribun Lampung Juwendra Asdiansyah ini.
Pembicara lainnya, Dekan Fakultas Dakwah IAIN Lampung Prof Dr MA Achlami berpendapat serupa. Menurutnya, yang terpenting adalah memulai mewacanakan kepada masyarakat tentang keberadaan Makkah sebagai pusat dunia. "Kalau bisa diterima masyarakat dengan baik, tidak masalah," katanya.
Untuk pembuatan jam Hijriah ini, Kepala Bank Syariah Mandiri cabang Lampung Yulius Agung memberi tawaran konkrit. Ia menyatakan kesanggupan untuk menfasilitasi pendanaan pembuatan jam yang arah putaran jamnya dari kanan ke kiri tersebut.
Menurut Iwan Nurdaya, jam konvensional dan jam Hijriah memang tidak bisa disamakan, karena acuan titik bujur yang berbeda jauh. "Ini memang perlu pengkajian lebih dalam, karena menyangkut unsur keyakinan seseorang," tukasnya.(tika rochmawatie)
Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 30 April 2011
blog anda bagus>>>
ReplyDeletesaya ajungi jempol!!!!
dan saya hanya sekedar mampir ya sekalian blogwalking!!!
jika bernit liat blog saya kunjungin balik jja!!!!