di negeri permai ini/berjuta rakyat bersimbah luka/anak kurus tak sekolah/pemuda desa tak kerja/mereka dirampas haknya/tergusur dan lapar/Bunda, relakan darah juang kami/tuk membebaskan rakyat.
KUMANDANG lagu Darah Juang terdengar pilu di pelataran terminal kargo Bandara Radin Inten II. Puluhan aktivis senior bernyanyi dengan mengepalkan tangan kiri ke atas. Sebagian dari mereka tak kuasa membendung tangis.
Para aktivis itu, di antaranya Dedi Mawardi (mantan direktur LBH), SN Laila (Damar), Idhan Januwardhana (mantan sekjen DRL), Ahmad Yulden Erwin (KoAK), Grace P Nugroho dan Aldi (KBH), Mahendra Utama, dan Rifki Indrawan.
Tampak pula Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri Lampung Yulius Agung dan Wakil Pemred Lampung Post Heri Wardoyo. Dengan mata basah, mereka terpekur mengelilingi peti jenazah yang segera diterbangkan ke Pulau Bangka, tempat kelahiran sosok di dalam peti: Achmad Imam Ghazali.
"Selamat jalan sahabat. Selamat jalan pejuang rakyat. Hidup rakyat! Hidup rakyat!" ujar Rifki sebelum Darah Juang dinyanyikan.
Achmad Imam Ghazali, biasa dipanggil Imam oleh sahabat- sahabatnya, tokoh aktivis, mantan direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH), pengacara, ditemukan meninggal di kediamannya di kawasan Jalan Untung Suropati, Kedaton, Senin (25/4) siang, sekitar pukul 11.00 WIB. Imam yang tinggal sendirian di rumahnya, diduga sudah meninggal satu atau dua hari sebelumnya.
"Hasil visum dokter RSU Abdul Moeloek menyatakan, Imam meninggal karena sakit lever dan jantung. Polisi tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya," ujar Ahmad Yulden Erwin.
Koordinator Komite Anti Korupsi (KoAK) ini salah satu yang sangat terpukul atas meninggalnya Imam yang terkesan tiba-tiba. Bukan semata karena sahabat. Bagi Erwin, pria kelahiran Juni 1972 itu adalah pejuang yang konsisten dan gigih membela kepentingan rakyat kecil.
Beberapa hari jelang meninggal, alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu pun masih menegaskan visinya memperjuangkan nasib rakyat kecil, membantu masyarakat yang tidak punya akses terhadap keadilan. "Kamis malam, kami teleponan. Dia masih bicara soal rakyat. Mengajak bergerak bersama membangun advokasi hukum untuk rakyat kecil. Hukum sudah penuh dengan mafia. Ke mana lagi masyarakat harus mengadu," ujar Erwin mengisahkan dialognya dengan Imam.
Di banding rekan-rekannya sesama aktivis, Imam terbilang jarang tampil di media atau forum-forum yang riuh publikasi. Imam, lebih banyak berjuang dalam 'sunyi'. Ia bergerak di kalangan akar rumput, membangun jaringan, menghimpun basis- basis rakyat dan mengorganisasikan massa di desa-desa.
Lewat KBH yang didirikannya September 1998, ayah dua anak ini, membela ratusan kasus hukum masyarakat miskin yang terbelit persoalan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan. Ia juga mendorong gagasan jaringan paralegal, sebuah model advokasi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat yang rentan secara hukum dengan proses mediasi resolusi konflik.
Menurut Grace P Nugroho, rekannya di KBH, Imam membangun KBH sebagai alat untuk menstimulasi pergerakan rakyat di berbagai daerah di Lampung yang kala itu tengah bergejolak. "Pada 1999, dia memprakarsai Serikat Petani Lampung dan Serikat Mahasiswa Lampung. Tahun 2000, ia membangun Serikat Nelayan Lampung dan Serikat Buruh Lampung, yang kini berhasil masuk anggota Dewan Pengupahan," jelas Grace.
Terakhir, Imam membentuk dan memimpin Parsyarikatan Rakyat (PR), sebuah organisasi yang memayungi seluruh serikat-serikat tersebut. Selain KBH, jejak Imam juga terekam lewat Gerakan Perempuan Lampung (GPL), yang selama dua tahun, sejak 2007, diinisiasinya bersama SN Laila.
"Almarhum selalu optimistik dalam perjuangan. Ia juga rela berkorban. Bahkan, dia pernah meninggalkan pacarnya demi membela rakyat," imbuh Grace.
Meski jauh dari publisitas, di kalangan aktivis dan kelompok pergerakan, Imam adalah sosok yang dikenal luas. Ia adalah salah satu senior yang berada pada kotak yang sama dengan, misalnya, Idhan Januwardhana, SN Laila, atau AY Erwin. "Dia pandai bergaul, senang becanda, dan humoris," lanjut Erwin.
Menurut Grace, sikap dan pemikiran Imam diilhami tiga tokoh pergerakan yang dikaguminya: Soekarno, Che Guevarra, dan Tan Malaka. "Dia selalu bilang, dirinya romantis seperti Soekarno, gigih dalam perjuangan seperti Che Guevarra, dan cerdas serta bersahaja seperti Tan Malaka," tuturnya.
Keteladan ketiga tokoh itu pula yang tampaknya terus menyertai Imam hingga akhir hayatnya. Terlebih Tan Malaka. Dan, seperti halnya Malaka, Imam yang cerdas dan bersahaja, pun meninggal dalam sendiri dan sunyi. Selamat jalan Bung Imam! (juwendra/reza gunadha)
Sumber: Tribun Lampung, Rabu, 27 April 2011
Turut berbela sungkawa atas pulangnya Bang Imam kepadaNya. Semoga perjuangannya selama ini memiliki penerus yang gigih dan berhasil sampai ke tujuan.
ReplyDeleteSelamat jalan bang Imam.