Judul buku: Cerita-Cerita dari Rumah No.9
Penulis : Alexander G.B.
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : 82 halaman
MEMBACA kumpulan cerpen Cerita-Cerita dari Rumah No.9 sama seperti menjumpai kembali lamunan sepintas yang mengusik hati, menggoyang kemapanan cita-cita saya yang ingin punya uang banyak, dikelilingi wanita cantik, dan tampil elegan dengan jabatan penting yang dielu-elukan kerabat dan para sahabat. Sebaliknya, Alexander G.B. justru menyajikan sejumput cerita dengan menu blak-blakan tentang birokrasi yang bobrok, pengusaha yang culas, dan rakyat miskin yang jadi bulan-bulanan keduanya. Golongan masyarakat eksklusif yang serbaglamor, yang warna kehidupan mereka saya damba-dambakan, malah digambarkan sebagai karakter yang rusak, killer, dan kehilangan naluri kemanusiaannya.
Melalui delapan cerita pendek yang tersaji, saya dipaksa untuk meninjau ulang rencana dan tujuan hidup. Sudah baguskah niat saya ingin sukses, masuk ke dalam golongan elite berdasi dengan gaya hidup cenderung hedonis, berhati kapitalis dan bersifat hiperkonservatif? Saya orang muda dan mesti punya cita-cita. Barangkali saya harus menyalahkan Alexander G.B. karena cerita-ceritanya telah menjadi lamunan sepintas yang mengusik cita-cita saya.
Meskipun demikian, patut diakui bahwa karya sastra yang baik tentu melekat di benak pembacanya, walaupun ia hadir bukan sebagai hiburan pengisi waktu luang, melainkan pengusik cita-cita yang telanjur mapan. Sejenak saya berandai-andai semisal kelak menjadi pejabat penting di Dinas PU, apa saya akan tega dengan menutup mata saat banjir kiriman lagi-lagi menyapu bersih kampung Ujang seperti dalam cerpen Mak Koto?
Dalam cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, mulanya saya digelitik oleh keriangan anak-anak bermain di tanah lapang, melingkar dan menari di bawah sinar bulan. Kemudian situasi bergeser ke penggawatan dan komplikasi yang tegang, karena kalangan pejabat dan pengusaha setempat mulai terusik dan tidak senang lalu berupaya membubarkan setiap kelompok yang ingin menggelar permainan hum-ham-hum, Hola-hola-hola. Wali kota sampai terang-terangan melarang warga melakukan permainan ini, mengancam dengan pidana, meskipun makin hari makin banyak saja peminatnya.
Saya jadi teringat kasus The Beatles yang dicintai jutaan rakyat Amerika Serikat, tetapi dimusuhi Presiden Nixon dan segenap kroninya. Kemudian sang narator mengakhiri cerita ini dengan menegaskan kembali bahwa naluri kreativitas manusia tidak akan bisa dibinasakan meskipun dikurung tembok undang-undang pemerintah atau pagar kawat berduri. Melalui cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, saya tertarik untuk menganalogikan para pekerja seni dengan anak-anak dalam cerita ini. Sejatinya seniman juga seperti mereka.
Dari segi gaya bahasa, cerpen-cerpen karya Iskandar G.B. ini cenderung merupakan hasil persilangan antara kemampuan berbahasa metaforis dalam puisi dengan kemampuan menjalin peristiwa dramatik dalam prosa. Selanjutnya, gaya yang ia pilih dominan bernafaskan realisme magis. Dua strategi seperti ini yang sering diterapkan untuk mengolah peristiwa-peristiwa yang tidak wajar menjadi seolah wajar, yang semula hanya mungkin berlangsung dalam mimpi kemudian dihadirkan dalam hidup sehari-hari para tokoh sebagaimana dalam Hum-ham-hum, Hola-hola-hola.
Dari segi alur, beberapa cerita digarap secara fragmentatif seperti yang bisa kita temui pada cerpen Nina, Mawar, dan Senja di Mata Diana. Penggunaan bentuk seperti ini mengingatkan kita pada film-film pendek yang bagi penonton, dalam hal ini pembaca, menjadi lebih sering berimajinasi karena dalam satu cerita bisa berkali-kali ganti setting, menyelami suasana-suasana lain dari sebelumnya.
Cuma saya sedikit merasa janggal pada bagian-bagian percakapan dua tokoh. Bahasa ucap tokoh yang satu dengan yang lainnya cenderung mirip. Ini membuat saya menduga bahwa si penulis belum mempertebal perbedaan karakter masing-masing tokoh dari segi wawasan dan sikap hidupnya. Keduanya kerap hadir dalam penokohan yang tak jauh berbeda, sedangkan konflik itu dibangun bukan antarkeduanya, melainkan dengan subjek lain (pemerintah jahat, pengusaha tega, orang tua lupa diri) yang berkarakter antagonis pada hampir seluruh cerpen-cerpen di sini.
Secara keseluruhan, delapan cerpen yang tersaji dalam buku ini cenderung menghadirkan tokoh-tokoh yang skeptis, putus asa, korban dari kesenjangan sosial, korban dari kongkalingkong pejabat pemkot dengan kaum kapitalis yang berkepentingan, atau korban dari pertengkaran ayah-ibu yang tidak kenal selesai seperti dalam cerpen Maya.
Setidaknya ada dua tema dominan yang diusung: Manusia mencoba eksis dengan melawan tekanan lingkungan yang mengepung, berusaha sekuat tenaga sampai babak-belur, atau Manusia yang bersibuk ria dengan dirinya sendiri sebagai bentuk pesimisme menatap realitas sosial yang ada. Kalau sudah begini, kenapa tidak menempuh jalan kiri sebagai rute selanjutnya bila jalan kanan sudah terlalu menjijikkan untuk dilewati? Apa untuk konsisten dengan cita-cita meraih sukses, kita mesti tega-tegaan hingga menutup telinga dari erangan tertahan rakyat kecil di sekeliling?
Didi Arsandi, aktif di UKM Bidang Seni Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
No comments:
Post a Comment