BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah dinilai setengah hati mengelola Perpustakaan Daerah (Perpusda). Buktinya, selain manajemen kurang bagus, koleksi buku juga minim.
Ketua Harian Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI), Gunawan Handoko, mengungkapkan hal itu pada Seminar Pengembangan Minat Baca dan Pemanfaatan Internet dalam Dunia Pendidikan, di Pondok Rimbawan, Selasa (29-7). Seminar dihadiri oleh seratus pustakawan, diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Lampung.
Menurut dia, perpustakaan seharusnya menjadi tempat bagi pelajar dan masyarakat mencari referensi/literatur untuk tugas belajar, serta menambah wawasan dan pengetahuan dengan membaca buku.
"Coba saja kita lihat ke Perpusda (Perpustakaan Daerah, red), buku yang paling banyak itu buku-buku prajabatan. Sedangkan buku teks pelajaran dan buku umum sangat sedikit," kata Gunawan
Ia mengharapkan Perpustakaan Daerah, selain menyediakan koleksi buku yang lengkap, juga harus menyediakan fasilitas lain untuk merangsang minat baca pengunjung. Misalnya, dengan menyediakan fasilitas internet yang bebas diakses oleh pengunjung.
"Kalau membaca itu kan membosankan, berat. Nah, kalau ada internet atau buku digital kan lebih menarik, pengunjung tidak bosan," kata Gunawan.
Perpustakaan Maya
Sedangkan pemateri dari ICT Center, Harry Anggono, menawarkan salah satu alternatif untuk menarik minat baca pelajar dan mahasiswa, dengan menciptakan perpustakaan maya (perpustakaan digital).
Menurut dia, perpustakaan maya memiliki koleksi artikel, buku dan jurnal tidak terbatas jumlahnya. Pustaka maya tidak hanya menampilkan teks, tapi juga gambar, video, serta animasi. Bahkan, simulasi yang paling rumit pun bisa disajikan dengan baik.
Hal ini memudahkan pembaca atau pengunjung memahaminya. Selain itu, perpustakaan maya juga bisa menjadi dokumentasi bagi guru saat mengajar. Pelajaran bisa diulang-ulang, tanpa menghabiskan energi guru saat pembelajaran berlangsung. Perpustakaan maya itu bisa dirancang dengan sederhana.
Sehingga, tidak hanya bisa digunakan di perpustakaan daerah, tetapi juga untuk perpustakaan sekolah. Dengan modal dua hard disk komputer dan, beberapa monitor, guru dan siswa bisa mengakses 704 CD pembelajaran dan sumber-sumber belajar lain.
"Kalau guru atau siswa selalu men-download lewat internet, cost-nya kan mahal. Agar murah, bisa disiasati dengan men-download sebanyak-banyaknya CD dan buku teks pelajaran, simpan di satu server," kata Harry. Selanjutnya, pihak sekolah menghubungkan server tersebut ke beberapa monitor untuk diakses oleh siswa.
Di sisi lain, bertalian dengan buku elektronik yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah, sampai saat ini Dinas Pendidikan Provinsi Lampung belum melakukan sosialisasi tentang buku tersebut.
Koordinator Humas Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Bambang Joko mengatakan Mendiknas meminta Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menunggu peluncuran buku elektronik pada 2 Agustus mendatang. Informasi itu dia peroleh saat mendampingi Hery Suliyanto (mantan Kadis Pendidikan Lampung, red) dalam rapat koordinasi tingkat nasional, dua bulan lalu.
"Bagaimana selanjutnya setelah peluncuran itu nanti. Sampai sekarang kami belum menerima edaran atau juknis tentang buku elektronik tersebut," kata Bambang Joko saat ditemui di kantornya, Selasa (29-7).
Sebelumnya, Mendiknas Bambang Sudibyo mentargetkan 289 buku pelajaran SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah bisa diakses (situs http://bse.depdiknas.go.id) sebelum masuk ajaran tahun baru. Sehingga, buku elektronik itu bisa didownload oleh guru dan siswa untuk difotokopi atau dicetak dengan harga yang lebih murah, berkisar Rp4.452 dan Rp19.376.
Namun sayang, walaupun buku sudah bisa disearching di situs milik Depdiknas itu, beberapa guru mengaku kesulitan mendownload buku-buku tersebut. Seperti yang dikatakan guru SMKN 2 Bandar Lampung, Harry Anggono. Menurut Harry, sampai kemarin dia hanya bisa mendowload sekitar 90 buku tek pelajaran yang tersedia di buku elektronik. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Juli 2008
July 31, 2008
July 28, 2008
Pelajar, Mahasiswa Diasah Membuat Cerpen
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Para pelajar dan mahasiswa di Lampung, di antaranya finalis dan peserta pemilihan duta bahasa Provinsi Lampung tahun 2008, diasah memiliki kemampuan menulis artikel dan membuat karya sastra (cerpen dan puisi).
Peningkatan apresisasi dan motivasi menulis pelajar dan mahasiswa Lampung itu, menurut Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL), Agus Sri Danardana, di Bandar Lampung, pekan lalu, dapat memberikan bekal kemampuan praktis menulis bagi mereka sekaligus menumbuhkan apresiasi karya sastra yang bermutu.
"Mereka memiliki potensi untuk menjadi penulis artikel di media massa maupun penulis cerita pendek dan karya puisi yang baik," kata Danardana.
Rangkaian kegiatan untuk mengasah kemampuan menulis para duta bahasa daerah Lampung maupun para pelajar dan mahasiswa di daerah itu, di antaranya melalui Wisata Bahasa dengan pelatihan penulisan opini dan features, lomba menulis opini dan features, serta Bengkel dan Kemah Sastra.
Wisata bahasa diakhiri dengan kunjungan sekaligus sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di objek wisata Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas di Kabupaten Lampung Timur, Minggu (20-7), sekaligus mengumumkan para juara lomba menulis.
Kegiatan lanjutan berupa rangkaian Bengkel dan Kemah Sastra dipusatkan di halaman KBPL di Bandar Lampung, Selasa--Kamis (22--24-7), diikuti 45 pelajar dan mahasiswa.
Dalam Bengkel dan Kemah Sastra itu, peserta diberikan pembekalan materi penulisan cerita pendek (cerpen) dan apresiasi cerpen untuk kemudian dapat menulis dan akan dilombakan (lomba baca puisi dan baca cerpen).
Sepuluh cerpen terbaik dari peserta akan diikutikan pada lomba dalam kegiatan serupa di Jakarta pada Oktober 2008 dalam memeriahkan peringatan Bulan Bahasa tahun 2008.
Menurut Danardana, potensi menulis pada diri para pelajar dan mahasiswa di Lampung perlu terus diasah, sekaligus sebagai bagian kampanye penggunaan bahasa Indonesia baik dan benar yang dapat langsung diterapkan mereka melalui tulisannya.
Bagi para duta bahasa daerah Lampung, kemampuan menulis itu diharapkan menjadi pelengkap aktivitas mereka terus menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia di tengah masyarakat. n S-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Juli 2008
Peningkatan apresisasi dan motivasi menulis pelajar dan mahasiswa Lampung itu, menurut Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL), Agus Sri Danardana, di Bandar Lampung, pekan lalu, dapat memberikan bekal kemampuan praktis menulis bagi mereka sekaligus menumbuhkan apresiasi karya sastra yang bermutu.
"Mereka memiliki potensi untuk menjadi penulis artikel di media massa maupun penulis cerita pendek dan karya puisi yang baik," kata Danardana.
Rangkaian kegiatan untuk mengasah kemampuan menulis para duta bahasa daerah Lampung maupun para pelajar dan mahasiswa di daerah itu, di antaranya melalui Wisata Bahasa dengan pelatihan penulisan opini dan features, lomba menulis opini dan features, serta Bengkel dan Kemah Sastra.
Wisata bahasa diakhiri dengan kunjungan sekaligus sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di objek wisata Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas di Kabupaten Lampung Timur, Minggu (20-7), sekaligus mengumumkan para juara lomba menulis.
Kegiatan lanjutan berupa rangkaian Bengkel dan Kemah Sastra dipusatkan di halaman KBPL di Bandar Lampung, Selasa--Kamis (22--24-7), diikuti 45 pelajar dan mahasiswa.
Dalam Bengkel dan Kemah Sastra itu, peserta diberikan pembekalan materi penulisan cerita pendek (cerpen) dan apresiasi cerpen untuk kemudian dapat menulis dan akan dilombakan (lomba baca puisi dan baca cerpen).
Sepuluh cerpen terbaik dari peserta akan diikutikan pada lomba dalam kegiatan serupa di Jakarta pada Oktober 2008 dalam memeriahkan peringatan Bulan Bahasa tahun 2008.
Menurut Danardana, potensi menulis pada diri para pelajar dan mahasiswa di Lampung perlu terus diasah, sekaligus sebagai bagian kampanye penggunaan bahasa Indonesia baik dan benar yang dapat langsung diterapkan mereka melalui tulisannya.
Bagi para duta bahasa daerah Lampung, kemampuan menulis itu diharapkan menjadi pelengkap aktivitas mereka terus menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia di tengah masyarakat. n S-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Juli 2008
July 27, 2008
Bingkai: Memelihara Bahasa dan Aksara Lampung
-- Agus Sri Danardana*
DALAM upaya menciptakan masyarakat Lampung yang berjati diri, berakhlak mulia, dan berperadaban, pada 29 April 2008 telah diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung. Perda Nomor 2 Tahun 2008 itu antara lain mengatur pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung (bab IV, bagian kedua) dalam dua pasal yang berbunyi: Bahasa dan aksara Lampung sebagai unsur kekayaan budaya wajib dikembangkan (Pasal 7). Pasal 8 berbunyi: Pelestarian bahasa dan atau aksara Lampung dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut.
Ada dua catatan yang dapat diberikan atas bunyi bagian perda itu. Pertama, dilihat dari segi bahasa, pengalimatan bagian perda itu tidak efektif sehingga memberi peluang salah tafsir. Kedua, dilihat dari segi substansi, bagian perda itu terdapat beberapa konsep yang masih perlu dikaji, baik kebenaran maupun kelayakan kemungkinan implementasi.
Terlepas dari dua catatan itu, tulisan ini hendak menyajikan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung.
Bahasa Standar
Salah satu upaya pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung yang diamanatkan perda itu melalui jalur pendidikan. Maksudnya, selain sebagai bahasa pengantar, bahasa Lampung (dan aksaranya) juga harus diajarkan sebagai salah satu mata ajar di sekolah.
Di sinilah masalahnya. Selama ini bahasa Lampung sudah menjadi mata ajar muatan lokal di sekolah, setidaknya di tingkat dasar (SD dan SMP). Namun, pada kenyataannya itu belum dapat mengangkat "kemeranaan" bahasa Lampung.
Penyebab utama, di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak orang: Keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada aksara. Kegagalan pengajaran bahasa Lampung belum adanya bahasa standar bahasa Lampung yang harus diajarkan. Selama ini perbedaan dialek nyo dan api masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Penutur dua dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (mengklaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran bahasa Lampung pun berbeda-beda.
Pada dasarnya, masalah pengajaran bahasa (baik bahasa nasional, daerah, ataupun asing) selalu berkutat dengan persoalan bahasa standar. Ini penting karena untuk mengukur capaian keberhasilan proses pengajaran harus didasarkan pada kriteria penilaian yang baku atau standar. Karena itu, penentuan standar evaluasi capaian hasil belajar akan berpedoman pada satu kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar. Itulah yang disebut bahasa standar.
Standardisasi bahasa mencakup dua hal: Standardisasi bahasa dalam pengertian penentuan bahasa standar (baku) dan standardisasi bahasa dalam pengertian pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan. Dalam suatu bahasa, apakah itu bahasa nasional, bahasa asing, atau bahasa daerah, dalam praktik pemakaiannya tidak pernah hadir dalam suatu sosok homogen. Ia hadir dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis). Karena itu, untuk penentuan bahasa standar bahasa Lampung haruslah dilakukan kajian sosiolinguistis dan melakukan musyawarah penentuan bahasa standar yang melibatkan berbagai stakeholder dengan bertumpu pada hasil kajian sosiolinguistis tersebut.
Penentuan varian tertentu sebagai representasi berbahasa secara baik dan benar pada bahasa Lampung harus didahului suatu kajian komprehensif tentang jumlah varian, jumlah penutur serta daerah sebaran geografis dari penggunaan varian-varian tersebut.
Setelah bahasa standar ditentukan, standardisasi bahasa berikutnya adalah pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan, seperti standardisasi aspek ejaan (tata tulis) dan tata bahasa. Standardisasi dalam pengertian yang terakhir ini akan memanfaatkan hasil kajian linguistis teoretis, seperti kajian fonologi untuk dasar penentuaan standardisasi ejaan, hasil kajian bidang morfologi, dan sintaksis untuk standardisasi tata bahasa.
Selanjutnya, karena dalam pengajaran bahasa tercakup pula pengajaran kesastraan, diperlukan pula bahan-bahan yang menyangkut kesastraan Lampung. Dalam hal ini, informasi yang menyangkut bentuk, jenis, sikap masyarakat pendukung, kapan karya itu digunakan, serta kira-kira berapa jumlah peminat dan pencipta sastra yang masih hidup dalam komunitas tutur bahasa Lampung dapat dijadikan bahan materi pengajaran.
Untuk itu, kajian yang menyangkut persoalan distribusi bentuk dan jenis karya sastra yang masih tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur yang menjadi objek pengembangan materi muatan lokal harus dilakukan komprehensif serta diarahkan pada kebutuhan dalam mendesain materi pengajaran yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikehendaki. Harus tergambar misalnya bentuk dan jenis sastra yang relevan bagi materi untuk tingkat TK berbeda dengan untuk tingkat SD.
Perbedaan itu tidak hanya materi kebahasaan dan kesastraan yang akan dijadikan bahan pengembangan Garis-garis Besar Program Pengajaran dan pengembangan materi pengajaran bahasa Lampung yang sesuai dengan jenjang pendidikan tempat materi itu akan diajarkan. Pada akhirnya, materi yang tersusun itu haruslah diuji coba tentang kelayakannya, kesesuaiannya dengan tujuan pengajaran, mengevaluasi pelaksanaanya, serta membuat rekomendasi. Tentunya, kegiatan ini haruslah diawali dengan kegiatan pelatihan calon guru yang akan mengajarkan materi bahasa Lampung.
Keegoisan Daerah
Benar, keberagaman bahasa (dialek dan subdialek) semestinya tidak jadi kendala pelestarian suatu bahasa. Namun, ketiadaan bahasa standar sebagai garis haluan pengajaran dan perencanaan bahasa jelas menyulitkan pengodifikasian, pengelaborasian, dan pengimplementasian.
Bisa dilihat bahasa Jawa. Meskipun memiliki banyak dialek dan subdialek--Banyumas, Tegal, Surabaya, dll., sama dengan bahasa Lampung--bahasa Jawa yang disepakati sebagai bahasa standar adalah dialek Yogyakarta-Surakarta. Bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah sehingga secara umum pengetahuan dan keterampilan berbahasa Jawa anak didik relatif sama dan merata. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari mereka (anak didik) tetap menggunakan bahasa Jawa dialek masing-masing, tanpa dibayangi perasaan apa pun.
Bagi mereka (orang Jawa), perbedaan dialek adalah sebuah keniscayaan yang pantas disyukuri. Mereka meyakini betul bunyi pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya sehingga menganggap perbedaan (dalam hal ini dialek) hanyalah sebagai variasi (bahasa).
Pertanyaan sekarang, sudah siapkah ulun Lampung meninggalkan keegoisan daerahnya untuk duduk bersama, berdialog, menggagas ancangan alternatif perencanaan bahasa Lampung? Hadirnya Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung tidak menjamin bahasa Lampung eksis di daerah sendiri tanpa didahului upaya nyata yang dapat membangkitkan rasa memiliki masyarakat (baik ulun Lampung maupun pendatang) terhadap bahasa Lampung. Upaya nyata itu, salah satunya, melalui jalur pendidikan. Semoga.
* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
DALAM upaya menciptakan masyarakat Lampung yang berjati diri, berakhlak mulia, dan berperadaban, pada 29 April 2008 telah diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung. Perda Nomor 2 Tahun 2008 itu antara lain mengatur pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung (bab IV, bagian kedua) dalam dua pasal yang berbunyi: Bahasa dan aksara Lampung sebagai unsur kekayaan budaya wajib dikembangkan (Pasal 7). Pasal 8 berbunyi: Pelestarian bahasa dan atau aksara Lampung dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut.
Ada dua catatan yang dapat diberikan atas bunyi bagian perda itu. Pertama, dilihat dari segi bahasa, pengalimatan bagian perda itu tidak efektif sehingga memberi peluang salah tafsir. Kedua, dilihat dari segi substansi, bagian perda itu terdapat beberapa konsep yang masih perlu dikaji, baik kebenaran maupun kelayakan kemungkinan implementasi.
Terlepas dari dua catatan itu, tulisan ini hendak menyajikan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung.
Bahasa Standar
Salah satu upaya pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung yang diamanatkan perda itu melalui jalur pendidikan. Maksudnya, selain sebagai bahasa pengantar, bahasa Lampung (dan aksaranya) juga harus diajarkan sebagai salah satu mata ajar di sekolah.
Di sinilah masalahnya. Selama ini bahasa Lampung sudah menjadi mata ajar muatan lokal di sekolah, setidaknya di tingkat dasar (SD dan SMP). Namun, pada kenyataannya itu belum dapat mengangkat "kemeranaan" bahasa Lampung.
Penyebab utama, di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak orang: Keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada aksara. Kegagalan pengajaran bahasa Lampung belum adanya bahasa standar bahasa Lampung yang harus diajarkan. Selama ini perbedaan dialek nyo dan api masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Penutur dua dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (mengklaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran bahasa Lampung pun berbeda-beda.
Pada dasarnya, masalah pengajaran bahasa (baik bahasa nasional, daerah, ataupun asing) selalu berkutat dengan persoalan bahasa standar. Ini penting karena untuk mengukur capaian keberhasilan proses pengajaran harus didasarkan pada kriteria penilaian yang baku atau standar. Karena itu, penentuan standar evaluasi capaian hasil belajar akan berpedoman pada satu kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar. Itulah yang disebut bahasa standar.
Standardisasi bahasa mencakup dua hal: Standardisasi bahasa dalam pengertian penentuan bahasa standar (baku) dan standardisasi bahasa dalam pengertian pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan. Dalam suatu bahasa, apakah itu bahasa nasional, bahasa asing, atau bahasa daerah, dalam praktik pemakaiannya tidak pernah hadir dalam suatu sosok homogen. Ia hadir dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis). Karena itu, untuk penentuan bahasa standar bahasa Lampung haruslah dilakukan kajian sosiolinguistis dan melakukan musyawarah penentuan bahasa standar yang melibatkan berbagai stakeholder dengan bertumpu pada hasil kajian sosiolinguistis tersebut.
Penentuan varian tertentu sebagai representasi berbahasa secara baik dan benar pada bahasa Lampung harus didahului suatu kajian komprehensif tentang jumlah varian, jumlah penutur serta daerah sebaran geografis dari penggunaan varian-varian tersebut.
Setelah bahasa standar ditentukan, standardisasi bahasa berikutnya adalah pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan, seperti standardisasi aspek ejaan (tata tulis) dan tata bahasa. Standardisasi dalam pengertian yang terakhir ini akan memanfaatkan hasil kajian linguistis teoretis, seperti kajian fonologi untuk dasar penentuaan standardisasi ejaan, hasil kajian bidang morfologi, dan sintaksis untuk standardisasi tata bahasa.
Selanjutnya, karena dalam pengajaran bahasa tercakup pula pengajaran kesastraan, diperlukan pula bahan-bahan yang menyangkut kesastraan Lampung. Dalam hal ini, informasi yang menyangkut bentuk, jenis, sikap masyarakat pendukung, kapan karya itu digunakan, serta kira-kira berapa jumlah peminat dan pencipta sastra yang masih hidup dalam komunitas tutur bahasa Lampung dapat dijadikan bahan materi pengajaran.
Untuk itu, kajian yang menyangkut persoalan distribusi bentuk dan jenis karya sastra yang masih tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur yang menjadi objek pengembangan materi muatan lokal harus dilakukan komprehensif serta diarahkan pada kebutuhan dalam mendesain materi pengajaran yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikehendaki. Harus tergambar misalnya bentuk dan jenis sastra yang relevan bagi materi untuk tingkat TK berbeda dengan untuk tingkat SD.
Perbedaan itu tidak hanya materi kebahasaan dan kesastraan yang akan dijadikan bahan pengembangan Garis-garis Besar Program Pengajaran dan pengembangan materi pengajaran bahasa Lampung yang sesuai dengan jenjang pendidikan tempat materi itu akan diajarkan. Pada akhirnya, materi yang tersusun itu haruslah diuji coba tentang kelayakannya, kesesuaiannya dengan tujuan pengajaran, mengevaluasi pelaksanaanya, serta membuat rekomendasi. Tentunya, kegiatan ini haruslah diawali dengan kegiatan pelatihan calon guru yang akan mengajarkan materi bahasa Lampung.
Keegoisan Daerah
Benar, keberagaman bahasa (dialek dan subdialek) semestinya tidak jadi kendala pelestarian suatu bahasa. Namun, ketiadaan bahasa standar sebagai garis haluan pengajaran dan perencanaan bahasa jelas menyulitkan pengodifikasian, pengelaborasian, dan pengimplementasian.
Bisa dilihat bahasa Jawa. Meskipun memiliki banyak dialek dan subdialek--Banyumas, Tegal, Surabaya, dll., sama dengan bahasa Lampung--bahasa Jawa yang disepakati sebagai bahasa standar adalah dialek Yogyakarta-Surakarta. Bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah sehingga secara umum pengetahuan dan keterampilan berbahasa Jawa anak didik relatif sama dan merata. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari mereka (anak didik) tetap menggunakan bahasa Jawa dialek masing-masing, tanpa dibayangi perasaan apa pun.
Bagi mereka (orang Jawa), perbedaan dialek adalah sebuah keniscayaan yang pantas disyukuri. Mereka meyakini betul bunyi pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya sehingga menganggap perbedaan (dalam hal ini dialek) hanyalah sebagai variasi (bahasa).
Pertanyaan sekarang, sudah siapkah ulun Lampung meninggalkan keegoisan daerahnya untuk duduk bersama, berdialog, menggagas ancangan alternatif perencanaan bahasa Lampung? Hadirnya Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung tidak menjamin bahasa Lampung eksis di daerah sendiri tanpa didahului upaya nyata yang dapat membangkitkan rasa memiliki masyarakat (baik ulun Lampung maupun pendatang) terhadap bahasa Lampung. Upaya nyata itu, salah satunya, melalui jalur pendidikan. Semoga.
* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
Apresiasi: Teater dan Usaha Menjadi Lebih Rasional
Catatan dari Parade Monolog 2 Dewan Kesenian Lampung
-- Ari Pahala Huatabarat*
1. "Seni mensyaratkan aturan, disiplin, presisi, dan pengakhiran yang sempurna." (Constantin Stanislavski)
PERHELATAN Parade Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12-13 Juli 2008 lalu menyisakan pertanyaan mendesak: Mengapa banyak aktor di provinsi ini begitu malas berpikir?
Mungkin ini sebentuk pertanyaan yang gegabah atau terlalu terburu-buru. Tapi, bila kita melihat sebelas pertunjukan di acara itu, mau tak mau mesti akan muncul pertanyaa itu. Mengapa?
Mayoritas pemeran dalam acara itu secara nyata terlihat bertindak serampangan ketika berperan. Pertunjukan teater yang semestinya puncak dari sekian banyak cabang karya seni menjadi begitu miskin dan terkesan tanpa perhitungan sama sekali.
Banyak aktor terlihat tak membaca teks atau naskah yang menjadi lakonnya dengan saksama. Fase memahami saja belum sampai--apatah lagi untuk sampai pada tahap melampaui. Melampaui dalam artian memberi semacam tafsir baru, yang tentunya lebih segar, kontekstual, dan memperdalam makna intrinsik teks.
Yang terjadi malah sebaliknya--bukannya melampaui--banyak aktor justru melakukan kesalahan menafsir naskah yang lumayan parah. Nah, kalau pembacaan dan penafsiran teks saja, yang merupakan langkah pertama dari proses penggarapan pertunjukan teater telah miskin, bisa dipastikan akan terjadi pula pemiskinan (kalau enggan menyebutnya kekeliruan) penokohan atau karakterisasi. Kalau karakter tokoh telah miskin atau keliru maka bisa dipastikan sekian banyak atribut lahiriah ataupun batiniah tokoh, seperti kemampuan wicara atau vokal dengan segala seluk beluknya serta tempo-ritme psikis dan fisik tokoh juga akan keliru.
Aktor Teater Kurusetra UKMBS Unila, Andika Ikranegara, yang tampil pada pertunjukan pertama membawakan lakon Koruptor, adaptasi dari karya Seno Gumira Adjidarma, melakukan kesalahan tafsir yang sangat parah. Sosok koruptor dengan bilangan korupsi mencapai angka miliaran rupiah plus gaya hidup yang mewah ditampilkan Andika lewat sosok pria kurus, lusuh berkain sarung, peci, dan lumpuh di atas kursi roda tanpa jelas juntrungan penyebab kelumpuhanya. Secara semena-mena Andika memerkosa rasionalitas yang ada pada naskah dan hidup sehari-hari.
Tipikal tokoh yang mampu korupsi ratusan miliaran sama sekali lenyap dari panggung. Di atas panggung yang hadir justru seperti kakek-kakek di kampung Sumatera, yang mulai pikun dan mendekati ajal karena sedikit-sedikit ia kesal dengan kepala yang agak dicondongkan ke samping atas--stereotip khas orang tua yang mulai menjadi anak-anak kembali.
Demikian pula penampilan Ahmad Pinang, aktor dari KSS FKIP Unila, yang juga membawakan lakon Koruptor. Di atas panggung, Pinang yang semula mengenakan celana panjang, tanpa motivasi yang jelas, berganti dengan kain sarung dan baju koko.
Yang jadi soal, bukanlah mungkin tidaknya koruptor menggunakan sarung dan baju koko. Yang jadi soal, kalau sarung dan baju koko itu sedemikian lusuh, sehingga ketimbang menampilkan sosok koruptor yang kaya raya, Pinang lebih mirip guru ngaji kelas langgar di kampung-kampung dan sedang kurang duit. Sebentuk penataan kostum yang serampangan. Dan ini adalah buah pembacaan teks yang tak tuntas. Efeknya, karakterisasi tokoh menjadi lemah. Pinang membuat persoalan utama yang ironik dari teks tersebut menjadi menjauh. Sindiran dan kritikan yang tajam menjadi lamur oleh bentakan dan makian tokoh terhadap anak-anaknya--dan dialog tersebut sama sekali tak terdapat di teks. Apakah ini sebentuk eksplorasi teks? Bukan. Ini pendangkalan.
Hanya aktor dari Komunitas Wong Apik, Sugeng Purwanto, yang terlihat prima memainkan lakon Koruptor. Sugeng bisa dikatakan satu-satunya aktor yang paling siap alat-alat ekspresinya; vokalnya lantang dengan artikulasi dan intonasi yang pas, gesturnya terkendali dengan sikap yang percaya diri, tak grasa-grusu, semua gerak seperti tertata perencanaannya, irama pertunjukan terjaga, cuma imajinasi ruang saja yang agak tak begitu dipikirkan dengan sabar, sehingga "ruang" yang dibangun Sugeng terlihat beberapa kebocoran distribusi pergerakan blocking yang tak logis.
Faktor utama yang membuat Sugeng akhirnya harus menempati urutan kedua setelah aktor Laras Utami dari Teater Satu, yang memainkan lakon Bara di Hamparan Salju, adalah kurangnya kompleksitas karakter tokoh Koruptor ketimbang karakter tokoh yang dimainkan Laras. Kata lainnya, naskah yang dibawakan Laras Utami lebih unggul kompleksitas masalahnya dibandingkan lakon Koruptor. Imbasnya, kemampuan Sugeng untuk lebih jauh mengksplorasi kemampuan aktingnya menjadi terbatas ketimbang kemungkinan eksplorasi akting Laras. Ya, mungkin ini adalah buah dari ketakjelian memilih naskah.
Begitulah, kalau karakter atau tokoh telah pula melenceng dari "kehendak" teks maka sekian banyak "kehendak atau gagasan pemanggungan" seperti suasana, blocking, distribusi, dan arah gerak aktor juga menjadi minim arti. Nah, beginilah yang banyak terjadi.
Kesimpulannya, banyak "aktor" di provinsi ini sesungguhnya belum paham betul dengan hakikat dan teknik pemeranan. Atau jangan-jangan ada alasan lain yang lebih lembut, bijaksana, dan lebih rasional menyikapi fenomena ini? Persoalan waktu yang terbatas untuk berlatih misalnya? Atau tak ada pelatih? Atau tak ada naskah? Atau memang keterbatasan kemauan?
Soal waktu, parade monolog tahun ini mempunyai durasi persiapan lebih lama ketimbang Parade Monolog I tahun lalu. Jika pada Parade Monolog I durasi latihan dari mula sampai lomba hanya dua minggu, parade tahun ini dua bulan setengah.
Dengan durasi yang lumayan cukup itu ternyata kualitas pertunjukan yang berlangsung di tahun ini juga jauh menurun dibandingkan tahun kemarin. Kalau tahun kemarin para juri agak kesulitan menentukan pemenang karena banyak aktor berperan bagus, tahun ini juri sulit menentukan pemenang karena banyak pertunjukan yang belum layak nilai. Sampai akhirnya juri bersepakat, dengan tolok ukur kualitas juara tahun 2007, untuk tahun ini tak seorang aktor pun layak menyandang predikat pemenang pertama.
Laras Utami menjadi pemenang ke-2, Sugeng Purwanto pemenang ke-3, Roby Akbar pemenang harapan ke-1 (lakon Pagi yang Brengsek), Aris Hadianto pemenang harapan ke-2 (lakon Merdeka), dan Basya Dewi pemenang harapan ke-3 (lakon Sang Pengeluh). Lantas, di manakah persoalan teater di lampung ini sebenarnya?
2. Salah satu soal utama dunia perteateran atau keaktoran di Lampung adalah kurangnya kesadaran para seniman mendudukan karya seni pada fondasi rasionalitas keilmuan. Dunia seni pada umumnya atau teater pada khususnya dianggap semata-mata kerja intuitif dan emosi. Kerja seni masih melulu berangkat dari perasaan, sentimental. Kerja seni masih buah dari lamunan kosong plus sedikit kenekatan bersegera "unjuk panggung" demi memuaskan naluri narsistik dan ekshibisionisme. Kerja seni secara mayor masih berlangsung di level subkesadaran, kurang diimbangi "kesadaran" apatah lagi "suprasadar" atau spiritualitas.
Akibatnya, karya seni tak dibangun di atas ilmu. Tak ada metodologi pemeranan yang jelas, terukur, dan teruji dalam praktek penciptaan. Secara gampang seseorang menjadi sutradara tanpa mengetahui apalagi mengikuti secara tepat langkah-langkah dan pendekatan penyutradaraan. Adegan tak tersusun menjadi "peristiwa". Irama laku dan irama watak terberai untuk tak menuju suatu kristalisasi karakter. Lalu, secara serampangan seseorang berperan secagai aktor di panggung dengan hanya mengandalkan naluri tanpa perencanaan pemeranan. Aktor bergerak di panggung tanpa motivasi, blocking tak ditata menurut kehendak psikologis dan visual naskah, tata cahaya yang apa adanya, karakterisasi tokoh yang stereotip seperti orang kebanyakan, suara yang tak lantang serta jernih artikulasi, intonasi, dan rasa bahasanya, dan lain sebagainya.
Buku-buku mengenai langkah pemeranan tak pula kurang dewasa ini. Setiap aktor bisa dengan mudah membaca (dengan benar) langkah menjadi aktor dari Stanislavski, Brecht, Grotowski, atau Rendra dan Suyatna Anirun.
Konsep-konsep penyutradaraan telah pula banyak yang bisa diakses; mulai dari konsep-nya Rendra, Nano Riantiarno, sampai Putu Wijaya. Sehingga menjadi lucu pula bila Aris Hadianto, aktor dari Komunitas Baik Hati Metro, yang membawakan lakon Merdeka karya Putu Wijaya tapi membawakan lakonnya dengan begitu "serius dan berat" seperti kebanyakan cara pemeranan Bengkel Teaternya Rendra. Begitulah.
Maka menjadi perlulah pembinaan berkelanjutan bagi para aktor dan sutradara teater di Lampung. Maka jadi tambah beratlah tugas Iswadi Pratama sebagai Pusaka Teater Lampung untuk mendidik, membimbing, mentransformasi sekian "kupu-kupu" teater di Lampung. Maka harus menjadi tambah sabarlah para pengurus Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) untuk terus mengadakan event-event kompetisi seni semacam Parade Monolog ini, seperti yang pernah dilakukan Taman Budaya Lampung dengan Liga Teater Pelajarnya--yang sekarang telah almarhum itu. Begitulah!
3. Kalau saja para aktor itu agak sedikit berendah hati saat berhadapan dengan teks, membacanya dengan perlahan, mencoba menyimak dengan sabar lalu merengkuh pesan-pesan implisit apa yang hendak disampaikan penulis teks itu, lalu menghapal dialog-dialognya, mengikuti dengan telaten petunjuk-petunjuk pemanggungan yang ada—mungkin penonton teater di Lampung akan mendapat banyak hidangan pertunjukan yang tidak saja lezat tapi mungkin mencerahkan saat melihat penampilan para aktor yang berlaga pada Parade Monolog yang diadakan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya, 12--13 Juli 2008 kemarin.
Kalau saja cukup dana di Komite Teater DKL dan Taman Budaya Lampung, sehingga mereka bisa mengadakan paling tidak dua sampai tiga kali/tahun lomba semacam ini, baik monolog ataupun grouping, di Lampung.
Kalau saja dewan-dewan kesenian yang ada di kabupaten-kabupaten, seperti Dewan Kesenian Lampung Utara (DKLU), Dewan Kesenian Lampung Selatan, dewan Kesenian Metro (DKM), Dewan Kesenian Tanggamus, Dewan Kesenian Lampung Timur menjadi lebih waras dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan teater, hingga kelak akan ada aktor atau kelompok teater di Lampung Utara, Tanggamus, Metro, dan Lampung Selatan yang ikut dalam lomba atau Parade Monolog ini.
Kalau saja di Kabupaten Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang membentuk juga dewan-dewan kesenian untuk menyemarakkan dunia seni dan budaya di Lampung ini. Kalau saja para pelaku seni lebih menghargai kesenian dan tak larut dalam seremonial dan sikap narsistik yang tak juntrungan.
Kalau saja kesenian lebih dihargai di negeri ini...
* Ari Pahala Hutabarat, Anggota Dewan Juri Parade Monolog ke-2 Komite Teater DKL, 12-13 Juli 2008
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
-- Ari Pahala Huatabarat*
1. "Seni mensyaratkan aturan, disiplin, presisi, dan pengakhiran yang sempurna." (Constantin Stanislavski)
PERHELATAN Parade Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12-13 Juli 2008 lalu menyisakan pertanyaan mendesak: Mengapa banyak aktor di provinsi ini begitu malas berpikir?
Mungkin ini sebentuk pertanyaan yang gegabah atau terlalu terburu-buru. Tapi, bila kita melihat sebelas pertunjukan di acara itu, mau tak mau mesti akan muncul pertanyaa itu. Mengapa?
Mayoritas pemeran dalam acara itu secara nyata terlihat bertindak serampangan ketika berperan. Pertunjukan teater yang semestinya puncak dari sekian banyak cabang karya seni menjadi begitu miskin dan terkesan tanpa perhitungan sama sekali.
Banyak aktor terlihat tak membaca teks atau naskah yang menjadi lakonnya dengan saksama. Fase memahami saja belum sampai--apatah lagi untuk sampai pada tahap melampaui. Melampaui dalam artian memberi semacam tafsir baru, yang tentunya lebih segar, kontekstual, dan memperdalam makna intrinsik teks.
Yang terjadi malah sebaliknya--bukannya melampaui--banyak aktor justru melakukan kesalahan menafsir naskah yang lumayan parah. Nah, kalau pembacaan dan penafsiran teks saja, yang merupakan langkah pertama dari proses penggarapan pertunjukan teater telah miskin, bisa dipastikan akan terjadi pula pemiskinan (kalau enggan menyebutnya kekeliruan) penokohan atau karakterisasi. Kalau karakter tokoh telah miskin atau keliru maka bisa dipastikan sekian banyak atribut lahiriah ataupun batiniah tokoh, seperti kemampuan wicara atau vokal dengan segala seluk beluknya serta tempo-ritme psikis dan fisik tokoh juga akan keliru.
Aktor Teater Kurusetra UKMBS Unila, Andika Ikranegara, yang tampil pada pertunjukan pertama membawakan lakon Koruptor, adaptasi dari karya Seno Gumira Adjidarma, melakukan kesalahan tafsir yang sangat parah. Sosok koruptor dengan bilangan korupsi mencapai angka miliaran rupiah plus gaya hidup yang mewah ditampilkan Andika lewat sosok pria kurus, lusuh berkain sarung, peci, dan lumpuh di atas kursi roda tanpa jelas juntrungan penyebab kelumpuhanya. Secara semena-mena Andika memerkosa rasionalitas yang ada pada naskah dan hidup sehari-hari.
Tipikal tokoh yang mampu korupsi ratusan miliaran sama sekali lenyap dari panggung. Di atas panggung yang hadir justru seperti kakek-kakek di kampung Sumatera, yang mulai pikun dan mendekati ajal karena sedikit-sedikit ia kesal dengan kepala yang agak dicondongkan ke samping atas--stereotip khas orang tua yang mulai menjadi anak-anak kembali.
Demikian pula penampilan Ahmad Pinang, aktor dari KSS FKIP Unila, yang juga membawakan lakon Koruptor. Di atas panggung, Pinang yang semula mengenakan celana panjang, tanpa motivasi yang jelas, berganti dengan kain sarung dan baju koko.
Yang jadi soal, bukanlah mungkin tidaknya koruptor menggunakan sarung dan baju koko. Yang jadi soal, kalau sarung dan baju koko itu sedemikian lusuh, sehingga ketimbang menampilkan sosok koruptor yang kaya raya, Pinang lebih mirip guru ngaji kelas langgar di kampung-kampung dan sedang kurang duit. Sebentuk penataan kostum yang serampangan. Dan ini adalah buah pembacaan teks yang tak tuntas. Efeknya, karakterisasi tokoh menjadi lemah. Pinang membuat persoalan utama yang ironik dari teks tersebut menjadi menjauh. Sindiran dan kritikan yang tajam menjadi lamur oleh bentakan dan makian tokoh terhadap anak-anaknya--dan dialog tersebut sama sekali tak terdapat di teks. Apakah ini sebentuk eksplorasi teks? Bukan. Ini pendangkalan.
Hanya aktor dari Komunitas Wong Apik, Sugeng Purwanto, yang terlihat prima memainkan lakon Koruptor. Sugeng bisa dikatakan satu-satunya aktor yang paling siap alat-alat ekspresinya; vokalnya lantang dengan artikulasi dan intonasi yang pas, gesturnya terkendali dengan sikap yang percaya diri, tak grasa-grusu, semua gerak seperti tertata perencanaannya, irama pertunjukan terjaga, cuma imajinasi ruang saja yang agak tak begitu dipikirkan dengan sabar, sehingga "ruang" yang dibangun Sugeng terlihat beberapa kebocoran distribusi pergerakan blocking yang tak logis.
Faktor utama yang membuat Sugeng akhirnya harus menempati urutan kedua setelah aktor Laras Utami dari Teater Satu, yang memainkan lakon Bara di Hamparan Salju, adalah kurangnya kompleksitas karakter tokoh Koruptor ketimbang karakter tokoh yang dimainkan Laras. Kata lainnya, naskah yang dibawakan Laras Utami lebih unggul kompleksitas masalahnya dibandingkan lakon Koruptor. Imbasnya, kemampuan Sugeng untuk lebih jauh mengksplorasi kemampuan aktingnya menjadi terbatas ketimbang kemungkinan eksplorasi akting Laras. Ya, mungkin ini adalah buah dari ketakjelian memilih naskah.
Begitulah, kalau karakter atau tokoh telah pula melenceng dari "kehendak" teks maka sekian banyak "kehendak atau gagasan pemanggungan" seperti suasana, blocking, distribusi, dan arah gerak aktor juga menjadi minim arti. Nah, beginilah yang banyak terjadi.
Kesimpulannya, banyak "aktor" di provinsi ini sesungguhnya belum paham betul dengan hakikat dan teknik pemeranan. Atau jangan-jangan ada alasan lain yang lebih lembut, bijaksana, dan lebih rasional menyikapi fenomena ini? Persoalan waktu yang terbatas untuk berlatih misalnya? Atau tak ada pelatih? Atau tak ada naskah? Atau memang keterbatasan kemauan?
Soal waktu, parade monolog tahun ini mempunyai durasi persiapan lebih lama ketimbang Parade Monolog I tahun lalu. Jika pada Parade Monolog I durasi latihan dari mula sampai lomba hanya dua minggu, parade tahun ini dua bulan setengah.
Dengan durasi yang lumayan cukup itu ternyata kualitas pertunjukan yang berlangsung di tahun ini juga jauh menurun dibandingkan tahun kemarin. Kalau tahun kemarin para juri agak kesulitan menentukan pemenang karena banyak aktor berperan bagus, tahun ini juri sulit menentukan pemenang karena banyak pertunjukan yang belum layak nilai. Sampai akhirnya juri bersepakat, dengan tolok ukur kualitas juara tahun 2007, untuk tahun ini tak seorang aktor pun layak menyandang predikat pemenang pertama.
Laras Utami menjadi pemenang ke-2, Sugeng Purwanto pemenang ke-3, Roby Akbar pemenang harapan ke-1 (lakon Pagi yang Brengsek), Aris Hadianto pemenang harapan ke-2 (lakon Merdeka), dan Basya Dewi pemenang harapan ke-3 (lakon Sang Pengeluh). Lantas, di manakah persoalan teater di lampung ini sebenarnya?
2. Salah satu soal utama dunia perteateran atau keaktoran di Lampung adalah kurangnya kesadaran para seniman mendudukan karya seni pada fondasi rasionalitas keilmuan. Dunia seni pada umumnya atau teater pada khususnya dianggap semata-mata kerja intuitif dan emosi. Kerja seni masih melulu berangkat dari perasaan, sentimental. Kerja seni masih buah dari lamunan kosong plus sedikit kenekatan bersegera "unjuk panggung" demi memuaskan naluri narsistik dan ekshibisionisme. Kerja seni secara mayor masih berlangsung di level subkesadaran, kurang diimbangi "kesadaran" apatah lagi "suprasadar" atau spiritualitas.
Akibatnya, karya seni tak dibangun di atas ilmu. Tak ada metodologi pemeranan yang jelas, terukur, dan teruji dalam praktek penciptaan. Secara gampang seseorang menjadi sutradara tanpa mengetahui apalagi mengikuti secara tepat langkah-langkah dan pendekatan penyutradaraan. Adegan tak tersusun menjadi "peristiwa". Irama laku dan irama watak terberai untuk tak menuju suatu kristalisasi karakter. Lalu, secara serampangan seseorang berperan secagai aktor di panggung dengan hanya mengandalkan naluri tanpa perencanaan pemeranan. Aktor bergerak di panggung tanpa motivasi, blocking tak ditata menurut kehendak psikologis dan visual naskah, tata cahaya yang apa adanya, karakterisasi tokoh yang stereotip seperti orang kebanyakan, suara yang tak lantang serta jernih artikulasi, intonasi, dan rasa bahasanya, dan lain sebagainya.
Buku-buku mengenai langkah pemeranan tak pula kurang dewasa ini. Setiap aktor bisa dengan mudah membaca (dengan benar) langkah menjadi aktor dari Stanislavski, Brecht, Grotowski, atau Rendra dan Suyatna Anirun.
Konsep-konsep penyutradaraan telah pula banyak yang bisa diakses; mulai dari konsep-nya Rendra, Nano Riantiarno, sampai Putu Wijaya. Sehingga menjadi lucu pula bila Aris Hadianto, aktor dari Komunitas Baik Hati Metro, yang membawakan lakon Merdeka karya Putu Wijaya tapi membawakan lakonnya dengan begitu "serius dan berat" seperti kebanyakan cara pemeranan Bengkel Teaternya Rendra. Begitulah.
Maka menjadi perlulah pembinaan berkelanjutan bagi para aktor dan sutradara teater di Lampung. Maka jadi tambah beratlah tugas Iswadi Pratama sebagai Pusaka Teater Lampung untuk mendidik, membimbing, mentransformasi sekian "kupu-kupu" teater di Lampung. Maka harus menjadi tambah sabarlah para pengurus Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) untuk terus mengadakan event-event kompetisi seni semacam Parade Monolog ini, seperti yang pernah dilakukan Taman Budaya Lampung dengan Liga Teater Pelajarnya--yang sekarang telah almarhum itu. Begitulah!
3. Kalau saja para aktor itu agak sedikit berendah hati saat berhadapan dengan teks, membacanya dengan perlahan, mencoba menyimak dengan sabar lalu merengkuh pesan-pesan implisit apa yang hendak disampaikan penulis teks itu, lalu menghapal dialog-dialognya, mengikuti dengan telaten petunjuk-petunjuk pemanggungan yang ada—mungkin penonton teater di Lampung akan mendapat banyak hidangan pertunjukan yang tidak saja lezat tapi mungkin mencerahkan saat melihat penampilan para aktor yang berlaga pada Parade Monolog yang diadakan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya, 12--13 Juli 2008 kemarin.
Kalau saja cukup dana di Komite Teater DKL dan Taman Budaya Lampung, sehingga mereka bisa mengadakan paling tidak dua sampai tiga kali/tahun lomba semacam ini, baik monolog ataupun grouping, di Lampung.
Kalau saja dewan-dewan kesenian yang ada di kabupaten-kabupaten, seperti Dewan Kesenian Lampung Utara (DKLU), Dewan Kesenian Lampung Selatan, dewan Kesenian Metro (DKM), Dewan Kesenian Tanggamus, Dewan Kesenian Lampung Timur menjadi lebih waras dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan teater, hingga kelak akan ada aktor atau kelompok teater di Lampung Utara, Tanggamus, Metro, dan Lampung Selatan yang ikut dalam lomba atau Parade Monolog ini.
Kalau saja di Kabupaten Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang membentuk juga dewan-dewan kesenian untuk menyemarakkan dunia seni dan budaya di Lampung ini. Kalau saja para pelaku seni lebih menghargai kesenian dan tak larut dalam seremonial dan sikap narsistik yang tak juntrungan.
Kalau saja kesenian lebih dihargai di negeri ini...
* Ari Pahala Hutabarat, Anggota Dewan Juri Parade Monolog ke-2 Komite Teater DKL, 12-13 Juli 2008
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
July 24, 2008
Pustaka: Gubernur Ajak Para Tokoh Ikut Bangun Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mendorong tokoh-tokoh mau bersama pemerintah daerah membangun daerahnya. Pasalnya, banyak tokoh yang lahir dan besar di Lampung, sudah mapan dalam karier serta usahanya di dalam maupun luar daerah.
Hal itu dikatakan Gubernur Syamsurya saat bersilaturahmi dengan Lampung Post di ruang kerjanya, Rabu (23-7). Pada pertemuan itu Gubernur Syamsurya didampingi Asisten I Bidang Pemerintahan Sekprov Lampung Akmal Jahidi dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Adeham.
Sementara Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya didampingi Pemimpin Redaksi Djadjat Sudradjat, Pemimpin Perusahaan M. Effendi, dan Senior Manager Marketing Heri Wardoyo. Juga hadir Redaktur Pelaksana Iskandar Zulkarnain, Asisten PP Bidang Promosi dan Umum Kholid Lubis, dan Asisten PP Bidang Marketing Syarifuddin.
Silaturahmi itu membicarakan tentang rencana peluncuran buku 100 Tokoh Lampung oleh PT Masa Kini Mandiri, perusahaan percetakan koran itu.
Peluncuran direncanakan berbarengan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-34 Lampung Post, pertengahan Agustus mendatang. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla diundang untuk meluncurkan buku itu dan bertatap muka langsung dengan tokoh yang ada di buku.
Syamsurya mengatakan banyak memang tokoh di Lampung yang berhasil dalam usaha dan kariernya. Tak ada salahnya jika mereka kembali memikirkan ikut membangun daerah di tempatnya lahir dan dibesarkan. Mereka dapat menyisihkan sebagian waktu atau rezekinya untuk membangun fisik maupun sosial di daerahnya. "Kalau tokoh yang lahir dan dibesarkan di Lampung, semestinya punya ikatan moral yang kuat dengan daerah ini," kata Syamsurya, kemarin.
Syamsurya memberi apresiasi terhadap upaya koran itu membuat buku yang menghimpun orang-orang sukses Lampung itu. Sebab, menurut dia, bisa saja setelah berhimpun mereka dapat peduli dengan bumi Ruwa Jurai. Dengan kebersamaan itulah, kepedulian yang akan mereka berikan dapat terasa oleh masyarakat. "Ini kesempatan bagus untuk Lampung. Pemda siap membantu fasilitasi akomodasi para tokoh itu, apalagi kalau akomodasi Wakil Presiden memang sudah keharusan," kata Syamsurya.
Pemimpin Redaksi Djadjat Sudradjat mengatakan selama ini banyak orang tidak mengetahui banyak orang sukses asal Lampung. Misalnya saja salah seorang duta besar, Ny. Saodah, atau salah seorang konglomerat agrobisnis Bob Sadino, ternyata pernah menetap dan mengawali menggapai kariernya di Lampung.
Bahkan antartokoh Lampung itu pun tidak mengetahui asal mereka sama, yakni dari ujung selatan Pulau Sumatera. "Beberapa tokoh yang kami temui, ternyata juga kaget saat dikatakan bahwa tokoh lainnya asal Lampung," kata dia.
Menurut Djadjat, ada beberapa kriteria orang yang dipilih masuk dalam tokoh di buku itu. Seperti orang itu lahir dan besar di Lampung dan kini sukses, yang mempunyai prestasi di bidang pemerintahan atau lainnya dan memberi inspirasi kepada publik di Lampung.
Kemudian orang yang dikenal oleh masyarakat dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan daerah Lampung. "Pak Gubernur (Syamsurya, red) masuk dalam salah satu kriteria itu," kata Djadjat.
Heri Wardoyo mengatakan gagasan pembuatan buku ini berawal dari gerakan yang dibuat tokoh di Sumatera Barat. Gerakan itu menghimpun tokoh-tokoh di Sumatera Barat dengan nama Gerakan Seribu Tokoh Minang yang kemudian mereka tergerak membangun kampung halaman.
"Dari sana, ternyata menghimpun tokoh itu tidak sekadar acara seremonial karena ada nilai ekonomis yang dapat diambil untuk daerah," kata dia.
Diharapkan dalam acara itu juga akan digagas sebuah acara untuk menarik perhatian agar para tokoh itu tergerak membangun Lampung. Misalnya kelompok bisnis akan menanamkan modalnya atau kelompok intelektual memberi pemikirannya untuk pembangunan Lampung. Pada akhirnya percepatan pembangunan di Lampung benar-benar diwujudkan. AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
Hal itu dikatakan Gubernur Syamsurya saat bersilaturahmi dengan Lampung Post di ruang kerjanya, Rabu (23-7). Pada pertemuan itu Gubernur Syamsurya didampingi Asisten I Bidang Pemerintahan Sekprov Lampung Akmal Jahidi dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Adeham.
Sementara Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya didampingi Pemimpin Redaksi Djadjat Sudradjat, Pemimpin Perusahaan M. Effendi, dan Senior Manager Marketing Heri Wardoyo. Juga hadir Redaktur Pelaksana Iskandar Zulkarnain, Asisten PP Bidang Promosi dan Umum Kholid Lubis, dan Asisten PP Bidang Marketing Syarifuddin.
Silaturahmi itu membicarakan tentang rencana peluncuran buku 100 Tokoh Lampung oleh PT Masa Kini Mandiri, perusahaan percetakan koran itu.
Peluncuran direncanakan berbarengan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-34 Lampung Post, pertengahan Agustus mendatang. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla diundang untuk meluncurkan buku itu dan bertatap muka langsung dengan tokoh yang ada di buku.
Syamsurya mengatakan banyak memang tokoh di Lampung yang berhasil dalam usaha dan kariernya. Tak ada salahnya jika mereka kembali memikirkan ikut membangun daerah di tempatnya lahir dan dibesarkan. Mereka dapat menyisihkan sebagian waktu atau rezekinya untuk membangun fisik maupun sosial di daerahnya. "Kalau tokoh yang lahir dan dibesarkan di Lampung, semestinya punya ikatan moral yang kuat dengan daerah ini," kata Syamsurya, kemarin.
Syamsurya memberi apresiasi terhadap upaya koran itu membuat buku yang menghimpun orang-orang sukses Lampung itu. Sebab, menurut dia, bisa saja setelah berhimpun mereka dapat peduli dengan bumi Ruwa Jurai. Dengan kebersamaan itulah, kepedulian yang akan mereka berikan dapat terasa oleh masyarakat. "Ini kesempatan bagus untuk Lampung. Pemda siap membantu fasilitasi akomodasi para tokoh itu, apalagi kalau akomodasi Wakil Presiden memang sudah keharusan," kata Syamsurya.
Pemimpin Redaksi Djadjat Sudradjat mengatakan selama ini banyak orang tidak mengetahui banyak orang sukses asal Lampung. Misalnya saja salah seorang duta besar, Ny. Saodah, atau salah seorang konglomerat agrobisnis Bob Sadino, ternyata pernah menetap dan mengawali menggapai kariernya di Lampung.
Bahkan antartokoh Lampung itu pun tidak mengetahui asal mereka sama, yakni dari ujung selatan Pulau Sumatera. "Beberapa tokoh yang kami temui, ternyata juga kaget saat dikatakan bahwa tokoh lainnya asal Lampung," kata dia.
Menurut Djadjat, ada beberapa kriteria orang yang dipilih masuk dalam tokoh di buku itu. Seperti orang itu lahir dan besar di Lampung dan kini sukses, yang mempunyai prestasi di bidang pemerintahan atau lainnya dan memberi inspirasi kepada publik di Lampung.
Kemudian orang yang dikenal oleh masyarakat dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan daerah Lampung. "Pak Gubernur (Syamsurya, red) masuk dalam salah satu kriteria itu," kata Djadjat.
Heri Wardoyo mengatakan gagasan pembuatan buku ini berawal dari gerakan yang dibuat tokoh di Sumatera Barat. Gerakan itu menghimpun tokoh-tokoh di Sumatera Barat dengan nama Gerakan Seribu Tokoh Minang yang kemudian mereka tergerak membangun kampung halaman.
"Dari sana, ternyata menghimpun tokoh itu tidak sekadar acara seremonial karena ada nilai ekonomis yang dapat diambil untuk daerah," kata dia.
Diharapkan dalam acara itu juga akan digagas sebuah acara untuk menarik perhatian agar para tokoh itu tergerak membangun Lampung. Misalnya kelompok bisnis akan menanamkan modalnya atau kelompok intelektual memberi pemikirannya untuk pembangunan Lampung. Pada akhirnya percepatan pembangunan di Lampung benar-benar diwujudkan. AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
(Kebudayaan) Lampung di Mata Pendatang*
-- Isbedy Stiawan ZS**
SEBENARNYA kekhawatiran seperti ini sehingga berulang dilaksanakan seminar sudah lama muncul. Dalam berbagai diskusi tentang kebudayaan Lampung yang seakan tidak menjadi tuan di rumah sendiri sering dilontarkan. Tetapi selalu saja, (kebudayaan) Lampung tetap “tersisih” dan seperti (di)marginal(kan) di antara kebudayaan-kebudayaan lain di daerah ini: Minang, Batak, Bali, Banten, dan belakangan marak dari komunitas Tionghoa (Cina).
Kalau ada kebudayaan yang kurang menonjol—bahkan nyaris tenggelam oleh kebudayaan yang datang—di rumahnya sendiri, mungkin adalah (hanya) Lampung. Orang Betawi yang ditengarai hanya menempati pinggiran Jakarta, namun laku dan bahasa Betawi tetap hidup bahkan mewarnai penduduk Jakarta. Terlebih pendatang, merasa belum menginjak Jakarta dan menetap, jika tidak berlaku dan berbahasa Betawi. Bahasa (logat) dan laku Betawi yang terbuka merembes hampir ke daerah-daerah di Tanah Air.
Anehnya, bahasa (dielek) dan laku dari kebudayaan Lampung justru hanya berlangsung di komunitas orang Lampung. Karena itu pula, tamu yang berkunjung ke Lampung seperti kehilangan untuk menandai kebudayaan Lampung. Sebaliknya yang dijumpai ialah kebudayaan di luar etnis Lampung.
Sejak Bakauheni pendatang tidak disuguhi kekhasan nuansa kebudayaan Lampung. Di Terminal Rajabasa, kecuali kecemasan, tak ada penanda bahwa pendatang sudah tiba di sini. Bahkan di pasar-pasar—terutama Bambukuning—yang sampai di telinga adalah dialek dan kekhasan orang Minang, begitu pula di stasiun kereta api. Belum lagi apabila pendatang menginap di hotel-hotel yang tersebar di Bandar Lampung, betapa tak dijumpai penanda bahwa ia sedang berada di Bumi Ruwa Jurai.
Dari fenomena di atas, wajar jika warga Lampung beretnis Lampung menjadi cemas. Mungkin tak lama lagi, seperti diasumsikan para pakar, bahasa Lampung akan punah karena ditinggalkan penggunanya. Sebenarnya, catatan para pengamat bahasa daerah pada Seminar Bahasa-Bahasa Daerah di Hotel Marcopolo tahun lalu, ada banyak bahasa daerah dikhawatirkan tidak (lagi) digunakan sehingga hilang.
Ini dari soal bahasa. Lampung yang punya 2 dialek bahasa yang sangat berbeda dan sulit dicari persamaan, tampaknya cuma dipakai oleh komunitas masing-masing. Dialek nyow dipakai komunitas pepadun dan api hidup di masyarakat saibatin sulit diapresiasi masyarakat di luar Lampung, meskipun lahir dan besar di Bumi Ruwa Jurai. Jika hal ini kita tanyakan kepada masyarakat etnis Lampung, jawaban yang didapat karena “keterbukaan” orang Lampung kepada pendatang (tamu). Persoalan yang sama berbeda pada daerah-daerah lain, semisal Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, Jawa, Bali, maupun Makasar serta Papua.
Muatan lokal sudah dilaksanakan di sekolah, dari jenjang SD hingga SMA, tapi kenyataan di masyarakat berapa banyak yang mampu menggunakan bahasa Lampung secara mahir—baik berdialek api maupun nyow. Generasi muda, terutama remaja, dalam percakapan sehari-hari lebih suka dan merasa bangga memakai bahasa gaul (Jakarta/Betawi?) dan atau dialek yang “diviruskan” buku-buku teenlit dan chicklit ketimbang bahasa Lampung.
Muatan lokal di sekolah-sekolah sebenarnya bisa dijadikan basis pengembangan dan pemanfaatan bahasa Lampung secara luas. Sayangnya, belum adanya kesepakatan tentang dialek yang akan dipakai. Apakah dialek nyow ataukah api. Bayangkan jika anak-anak SD, kelas 1, harus “dipaksa” memahami dua dielak pada saat bersamaan.
Kurikulum di sekolah juga mengajarkan bagaimana anak didik hanya bisa menulis ke dalam bahasa Lampung. Dan, bukan menulis percakapan dengan bahasa Lampung dalam bahasa dan aksara Lampung. Sehingga anak didik tidak mahir bercakap-cakap dalam bahasa Lampung. Aksara Lampung, sejatinya dibanggakan karena hanya sedikit aksara dimiliki di Indonesia, hanya dikenalkan dan bukan dipakai.
Entah disebabkan etnis Lampung yang minoritas membuat penggunaan bahasa sulit disosialisasikan atau karena “keterbukaan” masyarakat etnis Lampung yang pada tataran tertentu kerap berbahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan masyarakat nonetnis Lampung. Selain itu kurangnya kesadaran dari masyarakat Lampung—beretnis Lampung dan etnis lain—menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa komunikasi. Asumsi lain, bahwa Lampung mempunyai 2 dialek bahasa yang amat berbeda membuat keduanya sulit bertransformasi secara luas.
Saya tidak sepakat kalau Lampung sebagai Indonesia mini hanya disebabkan beragam etnis ada di daerah ini. Saya juga menolak jika Lampung sebagai bagian barat dari Jakarta, sebab di sini tumplek berbagai suku dari banyak etnis. Cara pandang seperti itu menunjukkan pesimistis yang membuat kita enggan melakukan perubahan.
Kita maklumi kebudayaan adalah penanda, karena itu harus ada kesadaran untuk menjaga supaya penanda itu tidak lenyap. Apakah masih disebut Lampung jika aksara (dan bahasa), adat, dan budaya tidak lagi dikenali? Tantangan ke depan, saat ini saja ketika arus globalisasi sudah memasuki hingga ke ruang-ruang paling privasi, arus budaya asing dan budaya-budaya dari etnis nonLampung semakin mewarnai, maka yang harus dilakukan ialah merumuskan strategi pelestarian seluruh aset kebudayaan Lampung. Adapun maksud strategi pelestarian, menurut Dr. Khaidarmansyah, pelestarian ialah perlindungan (melindungan), pengembangan (mengembangkan), dan pemanfaatan (memanfaatkan). Sehingga pelestarian kebudayaan berarti (1) mempertahankan bentuk-bentuk lama yang sudah pernah ada, (2) menjadikan kebudayaan yang bersangkutan tetap ada dan tetap hidup dengan peluang perubahannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Sejatinya masyarakat Lampung—terutama etnis Lampung—menyadari segera sebelum benar-benar punah seperti yang diperkirakan para pakar tentang kekayaan budaya yang dimiliki Lampung. Banyak yang bisa digali dan dilestarikan, misalnya dadi (sastra tutur) untuk sekadar menyebut yang kini hanya seorang Masnuna yang nyatanya sudah pula uzur kalau tidak ada dan menyiapkan penerus penuturnya, akan punah pula. Sayangnya Masnuna sudah tidak bisa bepergian jauh untuk “ditanggapi”, sedangkan penerusnya belum lagi lahir dan semahir Masnuna.
Masnuna jelas punya “nilai jual” dan dadinya mampu memikat orang di luar etnis Lampung. Meskipun boleh jadi mereka tidak bisa mengerti dan memahami syair-syair dalam bahasa Lampung sangat puitik dan bernilai sastra tinggi. Tetapi, menyedihkan (kalau) ternyata ada (lembaga) yang hendak “menjual” dan mengeruk keuntungan dari Masnuna. Sebab, sampai kini—semoga masih hidup—Masnuna hidup dalam kemelaratan di pedalaman Lampung Tengah.
Tetapi kita kerap lalai. Kita latah pada pemerintah yang tidak menempatkan kebudayaan sebagai bagian integritas pembangunan, bersanding dengan program-program pembangunan yang ada. Masalah kebudayaan, sejak pemerintah Orde Lama yang dilakukan setengah-setengah, sampai puncaknya pada rezim Soeharto dengan politik “penyeragaman”nya. Tetapi yang ditonjolkan adalah (kebudayaan) Jawa sehingga jawanisasi makin kental. Akibatnya menenggelamkan keberagaman etnis dan budaya hanya oleh “persatuan dan kesatuan” yang telah menjadi jargon berpuluh tahun, paling parah dirasakan budaya-budaya dari etnis minoritas.
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Segala bentuk kebudayaan, seakan tergantung “paket” dari pusat. Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian kemudian dimarger ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah (Pemprov Lampung) latah menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Sasaran pengajaran kebudayaan di jenjang SMA menjadi terputus. Bisa dibayangkan 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak didik jenjang SMA yang dianggap potensial untuk dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dan tak mengenal sama sekali kebudayaan sendiri.
Sayangnya, baik kalangan budayawan, seniman, dan masyarajakat adat di Lampung, seperti tidak keberatan dihilangkannya Subdin Kebudayaan dari tubuh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Padahal, saya bisa pastikan, kebijakan Pemrov Lampung tidak dirahasiakan. Menyadari sifat kebudayaan tidak diwariskan secara genetika melainkan melalui proses belajar, baik secara formal maupun tidak formal; bukan milik individu; dan bersifat tradisional. Maka apakah kita menganggap tak ada masalah dengan hilangnya Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung?
Menyatukan kebudayan dengan pariwisata, membuat kebudayaan dianggap sebagai benda, dan dihitung secara materi. Kebudayaan dipandang bagaimana bisa menjual dan dijual di pasar pariwisata. Dan jika kebudayaan tak bisa dijual dan menjual sebagai devisa negara (daerah), kalau tidak ditinggalkan maka bagaimana caranya direvitalisasi dan pelestarian demi pemuasan para pelancong (wisman-wisdom).
Persoalan dan nasib kebudayaan Lampung tidak bisa sepenuhnya berharap campurtangan terlalu jauh dari (pemerintah) pusat. Apalagi kabinet SBY yang juga tidak terlihat sense of culture dengan tidak membuat Departemen Kebudayaan tersendiri. Semampangnya, otonomi bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh daerah beserta kebudayaan daerah masing-masing. Oleh karena itu, (kebudayaan) Lampung dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri: Lampung. Ini dengan catatan masyarakat Lampung, apakah ia dari etnis Lampung ataukah etnis nonLampung, sama-sama sepakat untuk memajukan kebudayaan Lampung.
Masyarakat mendorong pemerintah daerah membuat Perda Kebudayaan sebagai political will untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Lampung. Kenapa pemerintah Jawa Barat mampu menelurkan perda tentang kebudayaan, di Lampung sampai kini baru sebatas rancangan di meja legislatif? Mungkin rancangan perda kebudayaan itu masih lama, namun diperparah perilaku legislatif yang hanya mengenakan pakaian adat pada saat-saat tertentu enggan sementara pembuatannya telah mengeluarkan anggaran tidak kecil.
Di sinilah saatnya masyarakat mendesak pemerintah (daerah) membuka simpul-simpul tak berkembangnya kebudayaan Lampung. Ke depan, kita letakkan harapan sekaligus mendesak kepada calon gubernur/wakil gubernur serta wajah baru di legislatif hasil Pemiu 2009 untuk kehidupan (ber)kebudayaan Lampung. Harus ada strategi kebudayaan dalam pemerintahan yang baru di Lampung, sehingga pembangunan yang dilaksanakan di segala lini tetap bermatra kebudayaan. Artinya, merenovasi dan merevitalisasi kota melalui pembangunannya, tidak menghancurkan (meruislag) bangunan-bangunan yang sudah menjadi ikon (penanda), bangunan atau gedung berciri budaya Lampung tidak dipunahkan demi kota bernuansa modern.
sudut bandar lampung, 23 juni 2008
*) Disampaikan pada Seminar Kebudayaan Lampung bertema Marginalisasi Mayarakat Adat Lampung di Tengah Arus Globalisasi, Lembaga Peduli Budaya Lampung, Bandar Lampung, 29 Juni 2008.
** Isbedy Stiawan ZS, Sastrawan
Sumber: dklampung.org, 24 Juli 2008
SEBENARNYA kekhawatiran seperti ini sehingga berulang dilaksanakan seminar sudah lama muncul. Dalam berbagai diskusi tentang kebudayaan Lampung yang seakan tidak menjadi tuan di rumah sendiri sering dilontarkan. Tetapi selalu saja, (kebudayaan) Lampung tetap “tersisih” dan seperti (di)marginal(kan) di antara kebudayaan-kebudayaan lain di daerah ini: Minang, Batak, Bali, Banten, dan belakangan marak dari komunitas Tionghoa (Cina).
Kalau ada kebudayaan yang kurang menonjol—bahkan nyaris tenggelam oleh kebudayaan yang datang—di rumahnya sendiri, mungkin adalah (hanya) Lampung. Orang Betawi yang ditengarai hanya menempati pinggiran Jakarta, namun laku dan bahasa Betawi tetap hidup bahkan mewarnai penduduk Jakarta. Terlebih pendatang, merasa belum menginjak Jakarta dan menetap, jika tidak berlaku dan berbahasa Betawi. Bahasa (logat) dan laku Betawi yang terbuka merembes hampir ke daerah-daerah di Tanah Air.
Anehnya, bahasa (dielek) dan laku dari kebudayaan Lampung justru hanya berlangsung di komunitas orang Lampung. Karena itu pula, tamu yang berkunjung ke Lampung seperti kehilangan untuk menandai kebudayaan Lampung. Sebaliknya yang dijumpai ialah kebudayaan di luar etnis Lampung.
Sejak Bakauheni pendatang tidak disuguhi kekhasan nuansa kebudayaan Lampung. Di Terminal Rajabasa, kecuali kecemasan, tak ada penanda bahwa pendatang sudah tiba di sini. Bahkan di pasar-pasar—terutama Bambukuning—yang sampai di telinga adalah dialek dan kekhasan orang Minang, begitu pula di stasiun kereta api. Belum lagi apabila pendatang menginap di hotel-hotel yang tersebar di Bandar Lampung, betapa tak dijumpai penanda bahwa ia sedang berada di Bumi Ruwa Jurai.
Dari fenomena di atas, wajar jika warga Lampung beretnis Lampung menjadi cemas. Mungkin tak lama lagi, seperti diasumsikan para pakar, bahasa Lampung akan punah karena ditinggalkan penggunanya. Sebenarnya, catatan para pengamat bahasa daerah pada Seminar Bahasa-Bahasa Daerah di Hotel Marcopolo tahun lalu, ada banyak bahasa daerah dikhawatirkan tidak (lagi) digunakan sehingga hilang.
Ini dari soal bahasa. Lampung yang punya 2 dialek bahasa yang sangat berbeda dan sulit dicari persamaan, tampaknya cuma dipakai oleh komunitas masing-masing. Dialek nyow dipakai komunitas pepadun dan api hidup di masyarakat saibatin sulit diapresiasi masyarakat di luar Lampung, meskipun lahir dan besar di Bumi Ruwa Jurai. Jika hal ini kita tanyakan kepada masyarakat etnis Lampung, jawaban yang didapat karena “keterbukaan” orang Lampung kepada pendatang (tamu). Persoalan yang sama berbeda pada daerah-daerah lain, semisal Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, Jawa, Bali, maupun Makasar serta Papua.
Muatan lokal sudah dilaksanakan di sekolah, dari jenjang SD hingga SMA, tapi kenyataan di masyarakat berapa banyak yang mampu menggunakan bahasa Lampung secara mahir—baik berdialek api maupun nyow. Generasi muda, terutama remaja, dalam percakapan sehari-hari lebih suka dan merasa bangga memakai bahasa gaul (Jakarta/Betawi?) dan atau dialek yang “diviruskan” buku-buku teenlit dan chicklit ketimbang bahasa Lampung.
Muatan lokal di sekolah-sekolah sebenarnya bisa dijadikan basis pengembangan dan pemanfaatan bahasa Lampung secara luas. Sayangnya, belum adanya kesepakatan tentang dialek yang akan dipakai. Apakah dialek nyow ataukah api. Bayangkan jika anak-anak SD, kelas 1, harus “dipaksa” memahami dua dielak pada saat bersamaan.
Kurikulum di sekolah juga mengajarkan bagaimana anak didik hanya bisa menulis ke dalam bahasa Lampung. Dan, bukan menulis percakapan dengan bahasa Lampung dalam bahasa dan aksara Lampung. Sehingga anak didik tidak mahir bercakap-cakap dalam bahasa Lampung. Aksara Lampung, sejatinya dibanggakan karena hanya sedikit aksara dimiliki di Indonesia, hanya dikenalkan dan bukan dipakai.
Entah disebabkan etnis Lampung yang minoritas membuat penggunaan bahasa sulit disosialisasikan atau karena “keterbukaan” masyarakat etnis Lampung yang pada tataran tertentu kerap berbahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan masyarakat nonetnis Lampung. Selain itu kurangnya kesadaran dari masyarakat Lampung—beretnis Lampung dan etnis lain—menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa komunikasi. Asumsi lain, bahwa Lampung mempunyai 2 dialek bahasa yang amat berbeda membuat keduanya sulit bertransformasi secara luas.
Saya tidak sepakat kalau Lampung sebagai Indonesia mini hanya disebabkan beragam etnis ada di daerah ini. Saya juga menolak jika Lampung sebagai bagian barat dari Jakarta, sebab di sini tumplek berbagai suku dari banyak etnis. Cara pandang seperti itu menunjukkan pesimistis yang membuat kita enggan melakukan perubahan.
Kita maklumi kebudayaan adalah penanda, karena itu harus ada kesadaran untuk menjaga supaya penanda itu tidak lenyap. Apakah masih disebut Lampung jika aksara (dan bahasa), adat, dan budaya tidak lagi dikenali? Tantangan ke depan, saat ini saja ketika arus globalisasi sudah memasuki hingga ke ruang-ruang paling privasi, arus budaya asing dan budaya-budaya dari etnis nonLampung semakin mewarnai, maka yang harus dilakukan ialah merumuskan strategi pelestarian seluruh aset kebudayaan Lampung. Adapun maksud strategi pelestarian, menurut Dr. Khaidarmansyah, pelestarian ialah perlindungan (melindungan), pengembangan (mengembangkan), dan pemanfaatan (memanfaatkan). Sehingga pelestarian kebudayaan berarti (1) mempertahankan bentuk-bentuk lama yang sudah pernah ada, (2) menjadikan kebudayaan yang bersangkutan tetap ada dan tetap hidup dengan peluang perubahannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Sejatinya masyarakat Lampung—terutama etnis Lampung—menyadari segera sebelum benar-benar punah seperti yang diperkirakan para pakar tentang kekayaan budaya yang dimiliki Lampung. Banyak yang bisa digali dan dilestarikan, misalnya dadi (sastra tutur) untuk sekadar menyebut yang kini hanya seorang Masnuna yang nyatanya sudah pula uzur kalau tidak ada dan menyiapkan penerus penuturnya, akan punah pula. Sayangnya Masnuna sudah tidak bisa bepergian jauh untuk “ditanggapi”, sedangkan penerusnya belum lagi lahir dan semahir Masnuna.
Masnuna jelas punya “nilai jual” dan dadinya mampu memikat orang di luar etnis Lampung. Meskipun boleh jadi mereka tidak bisa mengerti dan memahami syair-syair dalam bahasa Lampung sangat puitik dan bernilai sastra tinggi. Tetapi, menyedihkan (kalau) ternyata ada (lembaga) yang hendak “menjual” dan mengeruk keuntungan dari Masnuna. Sebab, sampai kini—semoga masih hidup—Masnuna hidup dalam kemelaratan di pedalaman Lampung Tengah.
Tetapi kita kerap lalai. Kita latah pada pemerintah yang tidak menempatkan kebudayaan sebagai bagian integritas pembangunan, bersanding dengan program-program pembangunan yang ada. Masalah kebudayaan, sejak pemerintah Orde Lama yang dilakukan setengah-setengah, sampai puncaknya pada rezim Soeharto dengan politik “penyeragaman”nya. Tetapi yang ditonjolkan adalah (kebudayaan) Jawa sehingga jawanisasi makin kental. Akibatnya menenggelamkan keberagaman etnis dan budaya hanya oleh “persatuan dan kesatuan” yang telah menjadi jargon berpuluh tahun, paling parah dirasakan budaya-budaya dari etnis minoritas.
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Segala bentuk kebudayaan, seakan tergantung “paket” dari pusat. Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian kemudian dimarger ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah (Pemprov Lampung) latah menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Sasaran pengajaran kebudayaan di jenjang SMA menjadi terputus. Bisa dibayangkan 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak didik jenjang SMA yang dianggap potensial untuk dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dan tak mengenal sama sekali kebudayaan sendiri.
Sayangnya, baik kalangan budayawan, seniman, dan masyarajakat adat di Lampung, seperti tidak keberatan dihilangkannya Subdin Kebudayaan dari tubuh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Padahal, saya bisa pastikan, kebijakan Pemrov Lampung tidak dirahasiakan. Menyadari sifat kebudayaan tidak diwariskan secara genetika melainkan melalui proses belajar, baik secara formal maupun tidak formal; bukan milik individu; dan bersifat tradisional. Maka apakah kita menganggap tak ada masalah dengan hilangnya Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung?
Menyatukan kebudayan dengan pariwisata, membuat kebudayaan dianggap sebagai benda, dan dihitung secara materi. Kebudayaan dipandang bagaimana bisa menjual dan dijual di pasar pariwisata. Dan jika kebudayaan tak bisa dijual dan menjual sebagai devisa negara (daerah), kalau tidak ditinggalkan maka bagaimana caranya direvitalisasi dan pelestarian demi pemuasan para pelancong (wisman-wisdom).
Persoalan dan nasib kebudayaan Lampung tidak bisa sepenuhnya berharap campurtangan terlalu jauh dari (pemerintah) pusat. Apalagi kabinet SBY yang juga tidak terlihat sense of culture dengan tidak membuat Departemen Kebudayaan tersendiri. Semampangnya, otonomi bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh daerah beserta kebudayaan daerah masing-masing. Oleh karena itu, (kebudayaan) Lampung dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri: Lampung. Ini dengan catatan masyarakat Lampung, apakah ia dari etnis Lampung ataukah etnis nonLampung, sama-sama sepakat untuk memajukan kebudayaan Lampung.
Masyarakat mendorong pemerintah daerah membuat Perda Kebudayaan sebagai political will untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Lampung. Kenapa pemerintah Jawa Barat mampu menelurkan perda tentang kebudayaan, di Lampung sampai kini baru sebatas rancangan di meja legislatif? Mungkin rancangan perda kebudayaan itu masih lama, namun diperparah perilaku legislatif yang hanya mengenakan pakaian adat pada saat-saat tertentu enggan sementara pembuatannya telah mengeluarkan anggaran tidak kecil.
Di sinilah saatnya masyarakat mendesak pemerintah (daerah) membuka simpul-simpul tak berkembangnya kebudayaan Lampung. Ke depan, kita letakkan harapan sekaligus mendesak kepada calon gubernur/wakil gubernur serta wajah baru di legislatif hasil Pemiu 2009 untuk kehidupan (ber)kebudayaan Lampung. Harus ada strategi kebudayaan dalam pemerintahan yang baru di Lampung, sehingga pembangunan yang dilaksanakan di segala lini tetap bermatra kebudayaan. Artinya, merenovasi dan merevitalisasi kota melalui pembangunannya, tidak menghancurkan (meruislag) bangunan-bangunan yang sudah menjadi ikon (penanda), bangunan atau gedung berciri budaya Lampung tidak dipunahkan demi kota bernuansa modern.
sudut bandar lampung, 23 juni 2008
*) Disampaikan pada Seminar Kebudayaan Lampung bertema Marginalisasi Mayarakat Adat Lampung di Tengah Arus Globalisasi, Lembaga Peduli Budaya Lampung, Bandar Lampung, 29 Juni 2008.
** Isbedy Stiawan ZS, Sastrawan
Sumber: dklampung.org, 24 Juli 2008
Kantor Bahasa Gelar Kemah Sastra
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kantor Bahasa Provinsi Lampung menggelar kemah sastra pada 22--24 Juli. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Kompleks Pemprov Lampung.
Ketua Panitia Ferdinandus Moses dan Mamad Ahmad didampingi salah satu panitia Rahmat Idris, mengatakan kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kecintaan siswa maupun guru terhadap sastra. Siswa dan guru yang berasal dari 17 SMA di Lampung menginap di Kantor Bahasa. Mereka mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa dan sastra. Kegiatan tersebut antara lain diisi materi bahasa dan sastra oleh Agus Sri Danardhana. Motivasi menulis oleh A.M. Zulkarnaen, teknik penulisan cerpen oleh Arman A.Z. dan apresiasi sastra dengan pemateri Asarpin.
Rahmat Idris mengatakan kegiatan ini diikuti 17 sekolah, terdiri dari tujuh sekolah asal kabupaten/kota di luar Bandar Lampung. Kemudian, 10 sekolah asal Bandar Lampung. "Melalui kegiatan ini kami berharap rasa cinta terhadap sastra di antara siswa dan guru tumbuh subur, sehingga sastra di Lampung tumbuh subur," kata dia.
Sebab, selama ini disinyalir rasa kecintaan dan kesukaan siswa dan guru terhadap sastra mulai menurun. Hal itu bisa dilihat dari minimnya karya sastra di kalangan siswa belakangan ini. Oleh karena itu, melalui kegiatan ini, diharapkan rasa cinta siswa terhadap sastra kembali tumbuh dan mekar bersemi.
Rahmat mengatakan selain kegiatan pada siang hari pada malam hari, panitia juga menggelar berbagai kegiatan olah sastra. Kegiatannya antara lain lomba pembuatan akhir cerita, lomba membaca puisi, lomba mendongeng untuk guru, dan lomba berbalas pantun. Kemudian, pada malam terakhir akan digelar renungan sastra. "Semua acara untuk malam hari dipandu oleh sastrawan Edy Samudra Kertagama," kata dia.
Rahmat mengatakan pihaknya mengundang 62 peserta. Namun, hingga pukul 12.00 kemarin siang, baru 50 peserta yang hadir. Pihaknya berharap semua peserta yang diundang bisa berpartisipasi mengikuti acara ini. Sedangkan teknis kegiatan, untuk peserta putra menginap di tenda yang disiapkan panitia. Sedangkan peserta putri menginap di ruangan Kantor Bahasa. n UNI/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
Ketua Panitia Ferdinandus Moses dan Mamad Ahmad didampingi salah satu panitia Rahmat Idris, mengatakan kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kecintaan siswa maupun guru terhadap sastra. Siswa dan guru yang berasal dari 17 SMA di Lampung menginap di Kantor Bahasa. Mereka mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa dan sastra. Kegiatan tersebut antara lain diisi materi bahasa dan sastra oleh Agus Sri Danardhana. Motivasi menulis oleh A.M. Zulkarnaen, teknik penulisan cerpen oleh Arman A.Z. dan apresiasi sastra dengan pemateri Asarpin.
Rahmat Idris mengatakan kegiatan ini diikuti 17 sekolah, terdiri dari tujuh sekolah asal kabupaten/kota di luar Bandar Lampung. Kemudian, 10 sekolah asal Bandar Lampung. "Melalui kegiatan ini kami berharap rasa cinta terhadap sastra di antara siswa dan guru tumbuh subur, sehingga sastra di Lampung tumbuh subur," kata dia.
Sebab, selama ini disinyalir rasa kecintaan dan kesukaan siswa dan guru terhadap sastra mulai menurun. Hal itu bisa dilihat dari minimnya karya sastra di kalangan siswa belakangan ini. Oleh karena itu, melalui kegiatan ini, diharapkan rasa cinta siswa terhadap sastra kembali tumbuh dan mekar bersemi.
Rahmat mengatakan selain kegiatan pada siang hari pada malam hari, panitia juga menggelar berbagai kegiatan olah sastra. Kegiatannya antara lain lomba pembuatan akhir cerita, lomba membaca puisi, lomba mendongeng untuk guru, dan lomba berbalas pantun. Kemudian, pada malam terakhir akan digelar renungan sastra. "Semua acara untuk malam hari dipandu oleh sastrawan Edy Samudra Kertagama," kata dia.
Rahmat mengatakan pihaknya mengundang 62 peserta. Namun, hingga pukul 12.00 kemarin siang, baru 50 peserta yang hadir. Pihaknya berharap semua peserta yang diundang bisa berpartisipasi mengikuti acara ini. Sedangkan teknis kegiatan, untuk peserta putra menginap di tenda yang disiapkan panitia. Sedangkan peserta putri menginap di ruangan Kantor Bahasa. n UNI/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
Peksiminas: Lampung Berangkatkan 38 Mahasiswa ke Jambi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung memberangkatkan 38 mahasiswa untuk mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) IX di Universitas Jambi, Rabu (24-7). Kontingen Lampung diharapkan mengulang keberhasilan tahun 2004 dengan hasil meraih juara umum kedua.
Ketua Kontingen Lampung Aman Toto Dwiyono mengatakan hal itu kepada Lampung Post, Rabu (23-7), usai penglepasan kontingen di Taman Budaya.
Pada acara tersebut, kontingen Lampung dilepas Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Lampung Husodo Hadi.
Aman mengatakan pada 2004, Lampung berhasil meraih kemenangan sebagai juara umum kedua setelah kontingen Yogyakarta. "Untuk itu mahasiswa wakil Lampung harus berjuang keras untuk mewujudkan itu dengan latihan maksimal," kata dia.
Selama ini Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Lampung sudah mengingatkan kepada peserta Peksiminas untuk berlatih rutin.
Peksiminas IX di Universitas Jambi, yang digelar 26 hingga 30 Juli ini, akan diikuti mahasiswa dari seluruh Indonesia dan merupakan agenda rutin.
Dari 55 orang yang tergabung dalam kontingen Lampung, 38 di antaranya mahasiswa sebagai peserta. Selebihnya, pelatih, pendamping, dan ofisial.
Aman menjelaskan tahun ini, dari 16 cabang perlombaan kesenian, Lampung mengikuti 14 tangkai perlombaan, di antaranya solo song pop dan dangdut, grup vokal, tari, comic strip, monolog, baca puisi, naskah cerpen, dan desain poster.
Mahasiswa perwakilan Lampung dalam Peksiminas ini merupakan hasil seleksi pada Pekan Seni Mahasiswa Daerah yang berlangsung 4 hingga 5 Juli lalu di Universitas Lampung dan Universitas Malahayati. n DWI/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
Ketua Kontingen Lampung Aman Toto Dwiyono mengatakan hal itu kepada Lampung Post, Rabu (23-7), usai penglepasan kontingen di Taman Budaya.
Pada acara tersebut, kontingen Lampung dilepas Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Lampung Husodo Hadi.
Aman mengatakan pada 2004, Lampung berhasil meraih kemenangan sebagai juara umum kedua setelah kontingen Yogyakarta. "Untuk itu mahasiswa wakil Lampung harus berjuang keras untuk mewujudkan itu dengan latihan maksimal," kata dia.
Selama ini Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Lampung sudah mengingatkan kepada peserta Peksiminas untuk berlatih rutin.
Peksiminas IX di Universitas Jambi, yang digelar 26 hingga 30 Juli ini, akan diikuti mahasiswa dari seluruh Indonesia dan merupakan agenda rutin.
Dari 55 orang yang tergabung dalam kontingen Lampung, 38 di antaranya mahasiswa sebagai peserta. Selebihnya, pelatih, pendamping, dan ofisial.
Aman menjelaskan tahun ini, dari 16 cabang perlombaan kesenian, Lampung mengikuti 14 tangkai perlombaan, di antaranya solo song pop dan dangdut, grup vokal, tari, comic strip, monolog, baca puisi, naskah cerpen, dan desain poster.
Mahasiswa perwakilan Lampung dalam Peksiminas ini merupakan hasil seleksi pada Pekan Seni Mahasiswa Daerah yang berlangsung 4 hingga 5 Juli lalu di Universitas Lampung dan Universitas Malahayati. n DWI/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Juli 2008
July 23, 2008
Dua Harimau Sumatera Dilepasliarkan
* Dipantau dengan Menggunakan Satelit
Lampung Barat, Kompas - Setelah ditangkap delapan bulan silam, dua dari lima harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) akhirnya dilepasliarkan di kawasan Dukuh Satu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS, Lampung Barat, Selasa (22/7) pagi.
Panti, harimau sumatera betina yang sedang dikarantina di Rescue Centre Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), merespons kondisi luar kandang. Panti adalah satu dari tiga ekor harimau sumatera yang masih dikarantina sebelum dilepasliarkan ke kawasan TWNC. (KOMPAS/GESIT ARIYANTO)
Tiga harimau lainnya masih dikarantina di Rescue Centre Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) yang dikelola PT Adhiniaga Kreasinusa, anak perusahaan Grup Artha Graha.
Pelepasliaran itu dihadiri Menteri Kehutanan MS Kaban dan sejumlah pejabat Departemen Kehutanan (Dephut), serta pengusaha Tommy Winata. ”Ini langka dan kami berharap banyak pihak swasta mau terlibat dalam konservasi satwa liar,” kata MS Kaban di TWNC, Selasa (22/7).
Dua harimau jantan yang dilepas itu adalah Pangeran (6) dan Agam (4), ditangkap pada Juni- November 2007 di kawasan Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). ”Mereka dipasangi kalung pendeteksi, kata Direktur TSI Tony Sumampau.
Baterai kalung itu disetel bertahan 200 hari dan 2 tahun. Monitor ada di enam kantor, sedangkan pihak Zoological Society of London (ZSL) memantau di lapangan. ”Tim bisa sewaktu- waktu ke lokasi di mana harimau berada,” kata Manajer Proyek ZSL Indonesia Dolly Priatna.
Sisakan persoalan
Pemindahan harimau itu dari NAD ke Lampung menyisakan persoalan. Selain adaptasi dan kecocokan lokasi, juga soal relokasi sekitar 300 warga Dusun Pengekahan, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat, yang tinggal di TNBBS sejak 1942.
Perwakilan keluarga adat Way Pengekahan, Arbi (70), mengaku tidak tahu ada pelepasan itu. ”Karena itu, kami butuh pengamanan dari pemerintah,” katanya.
Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri meminta Menhut segera menerbitkan surat keputusan relokasi warga. ”Kami tukar guling lahan 1.200 hektar seluas dusun mereka sekarang,” ujarnya. Belum ada jawaban dari Menhut. Kawasan relokasi yang disediakan, di Desa Sumberejo, Kecamatan Bengkunat Belimbing, ada di dalam TNBBS, jadi butuh pengesahan Menhut.
Untuk menghindari konflik dengan harimau, sejumlah papan pengumuman dipasang. Di antaranya imbauan jangan pergi malam hari dan terlalu dalam masuk hutan, pengandangan ternak.
Konsesi TWNC luasnya 100 hektar (ha). Menurut Faisol Djausal, perwakilan Artha Graha di Lampung, pihaknya mengawasi lahan 50.000 ha di kawasan TNBBS—luas total 350.000 ha.
”Saya tahu ada kecurigaan terhadap saya soal relokasi harimau. Tapi, ini murni karena kecintaan lingkungan saya,” kata Tommy Winata, pemilik TWNC yang beroperasi sejak 2003. (GSA/HLN)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 Juli 2008
Lampung Barat, Kompas - Setelah ditangkap delapan bulan silam, dua dari lima harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) akhirnya dilepasliarkan di kawasan Dukuh Satu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS, Lampung Barat, Selasa (22/7) pagi.
Panti, harimau sumatera betina yang sedang dikarantina di Rescue Centre Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), merespons kondisi luar kandang. Panti adalah satu dari tiga ekor harimau sumatera yang masih dikarantina sebelum dilepasliarkan ke kawasan TWNC. (KOMPAS/GESIT ARIYANTO)
Tiga harimau lainnya masih dikarantina di Rescue Centre Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) yang dikelola PT Adhiniaga Kreasinusa, anak perusahaan Grup Artha Graha.
Pelepasliaran itu dihadiri Menteri Kehutanan MS Kaban dan sejumlah pejabat Departemen Kehutanan (Dephut), serta pengusaha Tommy Winata. ”Ini langka dan kami berharap banyak pihak swasta mau terlibat dalam konservasi satwa liar,” kata MS Kaban di TWNC, Selasa (22/7).
Dua harimau jantan yang dilepas itu adalah Pangeran (6) dan Agam (4), ditangkap pada Juni- November 2007 di kawasan Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). ”Mereka dipasangi kalung pendeteksi, kata Direktur TSI Tony Sumampau.
Baterai kalung itu disetel bertahan 200 hari dan 2 tahun. Monitor ada di enam kantor, sedangkan pihak Zoological Society of London (ZSL) memantau di lapangan. ”Tim bisa sewaktu- waktu ke lokasi di mana harimau berada,” kata Manajer Proyek ZSL Indonesia Dolly Priatna.
Sisakan persoalan
Pemindahan harimau itu dari NAD ke Lampung menyisakan persoalan. Selain adaptasi dan kecocokan lokasi, juga soal relokasi sekitar 300 warga Dusun Pengekahan, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat, yang tinggal di TNBBS sejak 1942.
Perwakilan keluarga adat Way Pengekahan, Arbi (70), mengaku tidak tahu ada pelepasan itu. ”Karena itu, kami butuh pengamanan dari pemerintah,” katanya.
Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri meminta Menhut segera menerbitkan surat keputusan relokasi warga. ”Kami tukar guling lahan 1.200 hektar seluas dusun mereka sekarang,” ujarnya. Belum ada jawaban dari Menhut. Kawasan relokasi yang disediakan, di Desa Sumberejo, Kecamatan Bengkunat Belimbing, ada di dalam TNBBS, jadi butuh pengesahan Menhut.
Untuk menghindari konflik dengan harimau, sejumlah papan pengumuman dipasang. Di antaranya imbauan jangan pergi malam hari dan terlalu dalam masuk hutan, pengandangan ternak.
Konsesi TWNC luasnya 100 hektar (ha). Menurut Faisol Djausal, perwakilan Artha Graha di Lampung, pihaknya mengawasi lahan 50.000 ha di kawasan TNBBS—luas total 350.000 ha.
”Saya tahu ada kecurigaan terhadap saya soal relokasi harimau. Tapi, ini murni karena kecintaan lingkungan saya,” kata Tommy Winata, pemilik TWNC yang beroperasi sejak 2003. (GSA/HLN)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 Juli 2008
Lingkungan: Menhut Lepas Dua Harimau Sumatera
TAMBLING (Lampost): Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban melepas secara simbolis dua harimau sumatera asal Aceh Selatan di Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC), Kecamatan Belimbing Bengkunat, Lampung Barat, Selasa (22-7).
DILEPASLIARKAN. (Foto kiri) Harimau sumatera asal Aceh Selatan ini sedang menyantap makanan. (Foto kanan) Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban bersama pemilik Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) Tommy Winata berbincang saat melepasliarkan secara simbolis dua harimau sumatera ini di Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC), Kecamatan Belimbing Bengkunat, Lampung Barat, Selasa (22-7). (LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA)
Dua harimau itu bernama Pangeran yang berumur 6 tahun dan Agam (3--4 tahun). Penglepasliaran harimau sumatera ini merupakan yang kedua kali di dunia dan pertama kali di Indonesia. Harimau sumatera merupakan satu dari tiga spesies harimau di Indonesia yang masih tersisa. Dua spesies lain, yakni harimau bali dan harimau jawa sudah punah.
M.S. Kaban datang bersama pemilik Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) Tommy Winata, ahli harimau dari Taman Safari Indonesia (TSI) Tony Sumampouw, dan Dolly Priatna dari Zoological Society of London selaku donatur alat pendeteksi harimau dengan GPS Collar.
Kaban mengatakan jika dari aspek kewilayahan, kawasan Tambling layak dijadikan habitat baru lima harimau sumatera asal Aceh. Ia juga berharap pihak swasta juga memiliki kepedulian konservasi sehingga peran mereka mampu menyelamatkan satwa yang hampir punah.
Ekosistem hutan di Lampung, ujarnya, cukup baik jika dilihat dari kebutuhan pangan harimau. "Penglepasliaran harimau ini inisiatif dari Departemen Kehutanan dan didanai Artha Graha," kata Kaban.
Sementara itu, Tony Sumampouw mengatakan TSI memiliki lima harimau asal Aceh yang akan dilepas di TNWC. Namun, tiga harimau lain, yakni Buyung usia 6 tahun, Ucok usia 11 tahun (keduanya jantan) dan Panti, betina berusia 2--3 tahun, masih dirawat di Rescue Center TNWC. "Ketiga harimau itu menderita penyakit, mulai gigi berlubang sampai kekurangan air. Jadi harus dirawat intensif sebelum dilepas," kata Tony.
Jika melihat karakteristiknya, ujar Tony, Pangeran yang berusia lebih tua dari Agam memiliki kemampuan teritorial lebih baik. Harimau ini memiliki teknik survival tinggi saat masih berada di hutan rimba Aceh Selatan. Berbeda dengan Agam yang belum memiliki pengalaman teritorial, kemungkinan konflik dengan manusia sangat minim.
Proses pengangkutan harimau dari Aceh Selatan ke TNWC terbilang panjang. Mula-mula diangkut dengan pesawat Dakota, kemudian transit di Bandara Branti. Berikutnya, diangkut dengan pesawat Cassa menuju ke TNWC. n SWA/U-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Juli 2008
DILEPASLIARKAN. (Foto kiri) Harimau sumatera asal Aceh Selatan ini sedang menyantap makanan. (Foto kanan) Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban bersama pemilik Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) Tommy Winata berbincang saat melepasliarkan secara simbolis dua harimau sumatera ini di Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC), Kecamatan Belimbing Bengkunat, Lampung Barat, Selasa (22-7). (LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA)
Dua harimau itu bernama Pangeran yang berumur 6 tahun dan Agam (3--4 tahun). Penglepasliaran harimau sumatera ini merupakan yang kedua kali di dunia dan pertama kali di Indonesia. Harimau sumatera merupakan satu dari tiga spesies harimau di Indonesia yang masih tersisa. Dua spesies lain, yakni harimau bali dan harimau jawa sudah punah.
M.S. Kaban datang bersama pemilik Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) Tommy Winata, ahli harimau dari Taman Safari Indonesia (TSI) Tony Sumampouw, dan Dolly Priatna dari Zoological Society of London selaku donatur alat pendeteksi harimau dengan GPS Collar.
Kaban mengatakan jika dari aspek kewilayahan, kawasan Tambling layak dijadikan habitat baru lima harimau sumatera asal Aceh. Ia juga berharap pihak swasta juga memiliki kepedulian konservasi sehingga peran mereka mampu menyelamatkan satwa yang hampir punah.
Ekosistem hutan di Lampung, ujarnya, cukup baik jika dilihat dari kebutuhan pangan harimau. "Penglepasliaran harimau ini inisiatif dari Departemen Kehutanan dan didanai Artha Graha," kata Kaban.
Sementara itu, Tony Sumampouw mengatakan TSI memiliki lima harimau asal Aceh yang akan dilepas di TNWC. Namun, tiga harimau lain, yakni Buyung usia 6 tahun, Ucok usia 11 tahun (keduanya jantan) dan Panti, betina berusia 2--3 tahun, masih dirawat di Rescue Center TNWC. "Ketiga harimau itu menderita penyakit, mulai gigi berlubang sampai kekurangan air. Jadi harus dirawat intensif sebelum dilepas," kata Tony.
Jika melihat karakteristiknya, ujar Tony, Pangeran yang berusia lebih tua dari Agam memiliki kemampuan teritorial lebih baik. Harimau ini memiliki teknik survival tinggi saat masih berada di hutan rimba Aceh Selatan. Berbeda dengan Agam yang belum memiliki pengalaman teritorial, kemungkinan konflik dengan manusia sangat minim.
Proses pengangkutan harimau dari Aceh Selatan ke TNWC terbilang panjang. Mula-mula diangkut dengan pesawat Dakota, kemudian transit di Bandara Branti. Berikutnya, diangkut dengan pesawat Cassa menuju ke TNWC. n SWA/U-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Juli 2008
July 22, 2008
Semua Sungai di Bandar Lampung Tercemar
Bandar Lampung, Kompas - Badan Pengelola Lingkungan Hidup Bandar Lampung memastikan bukan hanya enam sungai, melainkan sebanyak 21 batang sungai yang melintasi Kota Bandar Lampung. Program Kali Bersih yang dilakukan sejak 2001 belum juga berdampak terhadap kebersihan sungai akibat rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kebersihan lingkungan.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Mitra Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Bandar Lampung Budiono, Senin (21/7), mengatakan, data penelitian BPLH per Desember 2006 menyebutkan, 21 sungai di Bandar Lampung hampir semuanya tercemar berat oleh limbah rumah tangga dan industri.
”Baik limbah padat ataupun cair mencemari sungai-sungai yang melintasi permukiman padat penduduk di Bandar Lampung,” ujarnya.
Catatan BPLH Bandar Lampung menyebutkan, sungai yang tercemar tersebut adalah Sungai Way Awi, Way Penengahan, Way Simpur, Way Kuala, Way Galih, Way Kupang, Way Lunik, Way Kunyit, Way Kuripan, Way Kedamaian, Anak Way Kuala, Way Belau, Way Halim, Way Langkapura, Way Keteguhan, Way Sukabumi, Way Kedaton, Way Way Gading, Way Kandis, way Limus, dan Way Batu Lengguh.
Semua sungai tersebut berhulu di Gunung Betung, sebuah gunung di sebelah barat Bandar Lampung dan bermuara di Teluk Lampung. Sungai-sungai tersebut sebagian besar berukuran kecil dengan debit yang kecil. Karena itu, pada musim kemarau batang sungai cenderung kering, sementara saat musim hujan air mengalir dengan debit kecil.
Pembuangan limbah
Menurut Budiono, alih-alih menjaga kebersihan lingkungan dan aliran sungai, warga Bandar Lampung justru memanfaatkan banyaknya batang sungai sebagai saluran pembuangan limbah. Hampir semua permukiman padat penduduk di Bandar Lampung tidak memiliki septic tank Semua limbah rumah tangga langsung dibuang ke batang sungai. Demikian juga dengan limbah industri makanan tahu-tempe. Semua limbah cair langsung dibuang ke kali tanpa diolah.
Pencemaran bisa dilihat dari warna sungai yang sudah keruh, berbau, dan kadar oksigen terlarut atau kandungan bahan kimia yang sangat tinggi. Akibatnya, mutu air sungai tidak layak sebagai bahan baku air minum.
Pemerintah Kota Bandar Lampung melalui BPLH dan Dinas Tata Kota setiap tahun melakukan program kali bersih (prokasih). Hanya saja, upaya pembersihan yang dilakukan sejak 2001 itu hingga kini belum berhasil. Warga Bandar Lampung masih membuang sampah dan mencemari sungai.
Terhadap kegagalan itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Mukri Friatna mengatakan, pemkot seharusnya mengevaluasi kembali prokasih. ”Seharusnya Pemkot Bandar Lampung mengevaluasi mengapa prokasih tiap tahun tak pernah mencapai sasaran,” ujarnya. (HLN)
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Juli 2008
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Mitra Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Bandar Lampung Budiono, Senin (21/7), mengatakan, data penelitian BPLH per Desember 2006 menyebutkan, 21 sungai di Bandar Lampung hampir semuanya tercemar berat oleh limbah rumah tangga dan industri.
”Baik limbah padat ataupun cair mencemari sungai-sungai yang melintasi permukiman padat penduduk di Bandar Lampung,” ujarnya.
Catatan BPLH Bandar Lampung menyebutkan, sungai yang tercemar tersebut adalah Sungai Way Awi, Way Penengahan, Way Simpur, Way Kuala, Way Galih, Way Kupang, Way Lunik, Way Kunyit, Way Kuripan, Way Kedamaian, Anak Way Kuala, Way Belau, Way Halim, Way Langkapura, Way Keteguhan, Way Sukabumi, Way Kedaton, Way Way Gading, Way Kandis, way Limus, dan Way Batu Lengguh.
Semua sungai tersebut berhulu di Gunung Betung, sebuah gunung di sebelah barat Bandar Lampung dan bermuara di Teluk Lampung. Sungai-sungai tersebut sebagian besar berukuran kecil dengan debit yang kecil. Karena itu, pada musim kemarau batang sungai cenderung kering, sementara saat musim hujan air mengalir dengan debit kecil.
Pembuangan limbah
Menurut Budiono, alih-alih menjaga kebersihan lingkungan dan aliran sungai, warga Bandar Lampung justru memanfaatkan banyaknya batang sungai sebagai saluran pembuangan limbah. Hampir semua permukiman padat penduduk di Bandar Lampung tidak memiliki septic tank Semua limbah rumah tangga langsung dibuang ke batang sungai. Demikian juga dengan limbah industri makanan tahu-tempe. Semua limbah cair langsung dibuang ke kali tanpa diolah.
Pencemaran bisa dilihat dari warna sungai yang sudah keruh, berbau, dan kadar oksigen terlarut atau kandungan bahan kimia yang sangat tinggi. Akibatnya, mutu air sungai tidak layak sebagai bahan baku air minum.
Pemerintah Kota Bandar Lampung melalui BPLH dan Dinas Tata Kota setiap tahun melakukan program kali bersih (prokasih). Hanya saja, upaya pembersihan yang dilakukan sejak 2001 itu hingga kini belum berhasil. Warga Bandar Lampung masih membuang sampah dan mencemari sungai.
Terhadap kegagalan itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Mukri Friatna mengatakan, pemkot seharusnya mengevaluasi kembali prokasih. ”Seharusnya Pemkot Bandar Lampung mengevaluasi mengapa prokasih tiap tahun tak pernah mencapai sasaran,” ujarnya. (HLN)
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Juli 2008
Harimau Sumatera: Pangeran dan Agam Hidup di Alam Bebas
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pangeran dan Agam siap dilepas ke alam bebas setelah hampir satu bulan berada di Rescue Center Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) Lampung Barat.
Tim medis Taman Safari Indonesia telah memeriksa kesehatan kedua harimau sumatera, masing-masing Pangeran dan Agam, Senin (21-7).
"Dari hasil pemeriksaan, kondisi Pangeran dan Agam cukup bagus. Berat badan Pangeran dari 122,5 kilogram turun menjadi 119 kilogram. Dietnya berhasil karena berat badannya terlalu cepat naik. Sejak Minggu hingga Senin, keduanya menjalani puasa. Hanya minum air," kata dr. Retno yang menangani kesehatan lima harimau sumatera yang kini berada di Rescue Centre TWNC.
Sebaliknya berat badan Agam naik dari satu kilogram, dari 73 kg menjadi 74 kg. Ketua Tim Pemantau Harimau Sumatera Tony Semampau merasa puas dengan kondisi kedua harimau itu. "Napasnya juga teratur. Apalagi diet Pangeran cukup berhasil. Kalau terlalu gemuk juga kurang baik," kata Tony.
Tim dari Taman Safari Indonesia harus berburu waktu dalam memeriksa kesehatan dan dimasukkan ke kandang. Pasalnya dosis anestesi yang diberikan kepada dua harimau, termasuk dosis rendah, sehingga kedua harimau cepat siuman, sekitar 30 menit.
Setelah diperiksa kesehatannya, kedua harimau dimasukkan kandang khusus, kemudian dibawa ke lokasi yang agak dingin. Kandangnya ditutupi dedauan agar mereka merasa sedang berada di semak-semak.
Pada pukul 15.00, kemarin, kedua harimau yang dikandangkan dalam kandang khusus dibawa dengan traktor menuju ke area penglepasliaran, yang tidak jauh dari lokasi Rescue Center.
Kedua harimau akan dilepas hari ini (22-7) dan disaksikan Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban. Acara itu disiarkan langsung Metro TV. Penglepasliaran dua harimau itu yang pertama di dunia, karena dirancang cukup sistematis dan sesuai dengan aturan internasional.
Selain memeriksa kesehatan Pangeran dan Agam, tim medis juga memeriksa kesehatan harimau betina yang diindikasikan terkena tumor pada mulut. Dari pemeriksaan pendahuluan terdapat dua tumor di dekat rongga mulut. Namun salah satunya sudah sembuh, setelah diberi obat oral.
"Pemeriksaan betina ini untuk diambil biopsinya dan kemungkinan apakah akan dilakukan tindakan operasi atau hanya diberi obat oral. Namun, berat badannya menggembirakan, naik 10 kg. Sepekan lalu berat badannya 50 kg," kata Retno.
Sedangkan salah satu harimau lain akan dilepas di kawasan yang dibangun dekat Rescue Center. Alasannya, berdasar pada umur, kemungkinan harimau yang sudah tua akan menurun dalam mencari daerah kekuasaan untuk mencari makan. n MI/R-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Juli 2008
Tim medis Taman Safari Indonesia telah memeriksa kesehatan kedua harimau sumatera, masing-masing Pangeran dan Agam, Senin (21-7).
"Dari hasil pemeriksaan, kondisi Pangeran dan Agam cukup bagus. Berat badan Pangeran dari 122,5 kilogram turun menjadi 119 kilogram. Dietnya berhasil karena berat badannya terlalu cepat naik. Sejak Minggu hingga Senin, keduanya menjalani puasa. Hanya minum air," kata dr. Retno yang menangani kesehatan lima harimau sumatera yang kini berada di Rescue Centre TWNC.
Sebaliknya berat badan Agam naik dari satu kilogram, dari 73 kg menjadi 74 kg. Ketua Tim Pemantau Harimau Sumatera Tony Semampau merasa puas dengan kondisi kedua harimau itu. "Napasnya juga teratur. Apalagi diet Pangeran cukup berhasil. Kalau terlalu gemuk juga kurang baik," kata Tony.
Tim dari Taman Safari Indonesia harus berburu waktu dalam memeriksa kesehatan dan dimasukkan ke kandang. Pasalnya dosis anestesi yang diberikan kepada dua harimau, termasuk dosis rendah, sehingga kedua harimau cepat siuman, sekitar 30 menit.
Setelah diperiksa kesehatannya, kedua harimau dimasukkan kandang khusus, kemudian dibawa ke lokasi yang agak dingin. Kandangnya ditutupi dedauan agar mereka merasa sedang berada di semak-semak.
Pada pukul 15.00, kemarin, kedua harimau yang dikandangkan dalam kandang khusus dibawa dengan traktor menuju ke area penglepasliaran, yang tidak jauh dari lokasi Rescue Center.
Kedua harimau akan dilepas hari ini (22-7) dan disaksikan Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban. Acara itu disiarkan langsung Metro TV. Penglepasliaran dua harimau itu yang pertama di dunia, karena dirancang cukup sistematis dan sesuai dengan aturan internasional.
Selain memeriksa kesehatan Pangeran dan Agam, tim medis juga memeriksa kesehatan harimau betina yang diindikasikan terkena tumor pada mulut. Dari pemeriksaan pendahuluan terdapat dua tumor di dekat rongga mulut. Namun salah satunya sudah sembuh, setelah diberi obat oral.
"Pemeriksaan betina ini untuk diambil biopsinya dan kemungkinan apakah akan dilakukan tindakan operasi atau hanya diberi obat oral. Namun, berat badannya menggembirakan, naik 10 kg. Sepekan lalu berat badannya 50 kg," kata Retno.
Sedangkan salah satu harimau lain akan dilepas di kawasan yang dibangun dekat Rescue Center. Alasannya, berdasar pada umur, kemungkinan harimau yang sudah tua akan menurun dalam mencari daerah kekuasaan untuk mencari makan. n MI/R-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Juli 2008
July 21, 2008
Harimau Sumatera: Penglepasliaran TWNC Pertama di Dunia
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penglepasliaran dua harimau sumatera di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung Barat (Lambar), Selasa (22-7), merupakan pertama kali di dunia.
Sebelumnya, penglepasliaran harimau di dunia juga terjadi di Siberia, tapi gagal. Dua anak harimau yang dilepaskan di alam di Siberia tersebut pada delapan bulan berikutnya ditemukan mati.
Petugas Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, mengatakan metode penglepasliaran dua harimau bernama Pangeran dan Agam cukup sistematis dan bisa menjadi model hutan lain di Indnesia. "Kini harimau di Indonesia hanya tinggal di Sumatera. Jumlahnya 150 ekor hingga 200 ekor," kata Tony di Tambling, Minggu (20-7).
Selain itu, kata dia, keberadaan hewan yang dilindungi ini di wilayah di luar areal hutan konservasi sehingga rawan menjadi sasaran pemburu liar. Dua harimau sumatera yang dilepas dan akan disaksikan Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban itu berasal dari Aceh Selatan.
Sebelumnya jumlah harimau yang dikonversi dari Aceh itu mencapai lima ekor. Dua harimau yang siap dilepas bernama Pangeran dan Agam. Tiga lain masih dalam penangkaran karena sakit.
Upaya penglepasliaran harimau itu mendapat perhatian Pemimpin Media Group (Media Indonesia, Lampung Post, dan Metro TV) Surya Paloh dan Pemimpin Jawa Pos Group Dahlan Iskan. Keduanya pun ikut meninjau lokasi penglepasliaran harimau di hulu Way Sleman, Sabtu (19-7).
"Dukungan swasta seperti yang dilakukan Artha Graha Group bekerja sama Departemen Kehutanan dan Taman Safari Indonesia harus didukung. Dengan cara itu, masyarakat bisa memiliki tanggung jawab dalam pelestarian lingkungan," kata Surya.
Penanggung Jawab TWNC Tommy Winata mengatakan kepedulian terhadap harimau karena keberadaan binatang tersebut hampir punah. "Dengan dikembalikan ke alam yang asri di TWNC, mereka hidup nyaman karena pasokan pangan di hutan cukup banyak dan terhindar konflik dengan manusia," kata dia.
Untuk memonitor keberadaan Pangeran dan Agam, kedua satwa itu diberi kalung yang bisa dimonitor lewat satelit. Pangeran diberikan kalung berwarna cokelat. Sedangkan Agam memakai kalung berwarna putih. Kalung-kalung itu dilengkapi dengan baterai yang tahan selama lima tahun. Kalung-kalung itu bisa lepas secara otomatis. n MI/R-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 21 Juli 2008
Sebelumnya, penglepasliaran harimau di dunia juga terjadi di Siberia, tapi gagal. Dua anak harimau yang dilepaskan di alam di Siberia tersebut pada delapan bulan berikutnya ditemukan mati.
Petugas Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, mengatakan metode penglepasliaran dua harimau bernama Pangeran dan Agam cukup sistematis dan bisa menjadi model hutan lain di Indnesia. "Kini harimau di Indonesia hanya tinggal di Sumatera. Jumlahnya 150 ekor hingga 200 ekor," kata Tony di Tambling, Minggu (20-7).
Selain itu, kata dia, keberadaan hewan yang dilindungi ini di wilayah di luar areal hutan konservasi sehingga rawan menjadi sasaran pemburu liar. Dua harimau sumatera yang dilepas dan akan disaksikan Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban itu berasal dari Aceh Selatan.
Sebelumnya jumlah harimau yang dikonversi dari Aceh itu mencapai lima ekor. Dua harimau yang siap dilepas bernama Pangeran dan Agam. Tiga lain masih dalam penangkaran karena sakit.
Upaya penglepasliaran harimau itu mendapat perhatian Pemimpin Media Group (Media Indonesia, Lampung Post, dan Metro TV) Surya Paloh dan Pemimpin Jawa Pos Group Dahlan Iskan. Keduanya pun ikut meninjau lokasi penglepasliaran harimau di hulu Way Sleman, Sabtu (19-7).
"Dukungan swasta seperti yang dilakukan Artha Graha Group bekerja sama Departemen Kehutanan dan Taman Safari Indonesia harus didukung. Dengan cara itu, masyarakat bisa memiliki tanggung jawab dalam pelestarian lingkungan," kata Surya.
Penanggung Jawab TWNC Tommy Winata mengatakan kepedulian terhadap harimau karena keberadaan binatang tersebut hampir punah. "Dengan dikembalikan ke alam yang asri di TWNC, mereka hidup nyaman karena pasokan pangan di hutan cukup banyak dan terhindar konflik dengan manusia," kata dia.
Untuk memonitor keberadaan Pangeran dan Agam, kedua satwa itu diberi kalung yang bisa dimonitor lewat satelit. Pangeran diberikan kalung berwarna cokelat. Sedangkan Agam memakai kalung berwarna putih. Kalung-kalung itu dilengkapi dengan baterai yang tahan selama lima tahun. Kalung-kalung itu bisa lepas secara otomatis. n MI/R-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 21 Juli 2008
Yuni Angraini dan Dian Atika Srikandi Juara Menulis Wisata Bahasa
Way Kambas, Lampung Timur, 21/7 (ANTARA) - Yuni Anggraini dan Dian Atika Srikandi menjadi juara pertama pada lomba menulis opini dan features yang diselenggaran pada rangkaian wisata bahasa oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL) tahun 2008.
Pengumuman pemenang dan penyerahan hadiah dilakukan di objek wisata Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, di Karang Sari, Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, Minggu petang.
Menurut Ketua Panitia Wisata Bahasa KBPL, Danang Harry Wibowo, lomba penulisan untuk dua kategori (opini dan features) itu diikuti 30 finalis Duta Bahasa Provinsi Lampung dan peserta pemilihan duta bahasa daerahna.
Dewan Juri yang menilai sebanyak 37 buah karya yang masuk, dengan menetapkan kelayakan karya tulis peserta dari aspek dan kriteria tulisan ilmiah populer di media massa serta penilaian aspek kebahasaan di dalamnya.
Juri akhirnya memutuskan untuk kategori tulisan opini sebagai juara pertama Yuni Anggraini, dengan judul tulisan "Bahasa Lampung Terancam Punah".
Juara kedua adalah Mas Muhammad Gibran (juara pertama duta bahasa pria daerah Lampung 2008), dengan judul tulisan "HIV/AIDS Versus Narkoba", dan juara ketiga Reza Parluvi dengan tulisan "Bantuan Langsung Tunai (BLT), Sogokan atau Bantuan?".
Pada kategori tulisan features, juri menetapkan juara pertama Dian Atika Srikandi, dengan tulisan "Orang Kenyang Aku Senang", juara kedua Rebecca Gatan (juara pertama duta bahasa perempuan Lampung 2008) dengan tulisan "Sketsa Kehidupan".
Juara ketiga tulisan features adalah Angky Verdian Diputra dengan judul tulisan "Eksotika Keindahan Danau Ranau".
Lomba penulisan ilmiah populer itu, sebelumnya didahului dengan pelatihan yang menghadirkan instruktur jurnalis dan ahli bahasa di Lampung.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL) Agus Sri Danardana menyatakan, para finalis dan peserta pemilihan duta bahasa di daerahnya tahun 2008 itu, perlu terus dibekali ilmu praktik kebahasaan dan tulis menulis yang akan berguna bagi mereka.
KBPL melaksanakan Wisata Bahasa, diantaranya membekali kemampuan praktis menulis para duta bahasa serta mempraktikkan dan melombakan karya tulis yang dihasilkan.
Pengumuman pemenang lomba dirangkai dengan wisata serta sosialisasi bahasa Indonesia kepada para pengunjung PLG Way Kambas di Kabupaten Lampung Timur itu.
Sumber: Antara, 21 Juli 2008
Pengumuman pemenang dan penyerahan hadiah dilakukan di objek wisata Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, di Karang Sari, Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, Minggu petang.
Menurut Ketua Panitia Wisata Bahasa KBPL, Danang Harry Wibowo, lomba penulisan untuk dua kategori (opini dan features) itu diikuti 30 finalis Duta Bahasa Provinsi Lampung dan peserta pemilihan duta bahasa daerahna.
Dewan Juri yang menilai sebanyak 37 buah karya yang masuk, dengan menetapkan kelayakan karya tulis peserta dari aspek dan kriteria tulisan ilmiah populer di media massa serta penilaian aspek kebahasaan di dalamnya.
Juri akhirnya memutuskan untuk kategori tulisan opini sebagai juara pertama Yuni Anggraini, dengan judul tulisan "Bahasa Lampung Terancam Punah".
Juara kedua adalah Mas Muhammad Gibran (juara pertama duta bahasa pria daerah Lampung 2008), dengan judul tulisan "HIV/AIDS Versus Narkoba", dan juara ketiga Reza Parluvi dengan tulisan "Bantuan Langsung Tunai (BLT), Sogokan atau Bantuan?".
Pada kategori tulisan features, juri menetapkan juara pertama Dian Atika Srikandi, dengan tulisan "Orang Kenyang Aku Senang", juara kedua Rebecca Gatan (juara pertama duta bahasa perempuan Lampung 2008) dengan tulisan "Sketsa Kehidupan".
Juara ketiga tulisan features adalah Angky Verdian Diputra dengan judul tulisan "Eksotika Keindahan Danau Ranau".
Lomba penulisan ilmiah populer itu, sebelumnya didahului dengan pelatihan yang menghadirkan instruktur jurnalis dan ahli bahasa di Lampung.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL) Agus Sri Danardana menyatakan, para finalis dan peserta pemilihan duta bahasa di daerahnya tahun 2008 itu, perlu terus dibekali ilmu praktik kebahasaan dan tulis menulis yang akan berguna bagi mereka.
KBPL melaksanakan Wisata Bahasa, diantaranya membekali kemampuan praktis menulis para duta bahasa serta mempraktikkan dan melombakan karya tulis yang dihasilkan.
Pengumuman pemenang lomba dirangkai dengan wisata serta sosialisasi bahasa Indonesia kepada para pengunjung PLG Way Kambas di Kabupaten Lampung Timur itu.
Sumber: Antara, 21 Juli 2008
July 20, 2008
Apresiasi: Monolog versus Eksistensi
MONOLOG, pertunjukan teater dengan genre tersebut bukan sesuatu yang asing. Selera berteater monolog menjadi gairah tersendiri. Tetapi sayang jika hanya jadi pertunjukan yang asal-asalan demi eksistensi keaktoran.
"Hanya dengan properti kotak pun, disutradarai sendiri, main musik sendiri, sudah bisa bermonolog. Jadi tidak perlu awak besar dan anggaran bisa ditekan," ujar Manajer Teater Satu Imas Sobariah, Selasa (15-7), di Bandar Lampung.
Jika diminta tampil dalam event teater tertentu, tetapi anggaran minim, Imas menyatakan teater monolog bisa menjadi solusinya. Alasan minimnya anggaran juga menjadi motivasi penyelenggara atau lembaga sponsor pun lebih bersemangat menyajikan program pertunjukan monolog.
Demikian cuplikan pendapat seorang teaterwan di Lampung. Dari pendapat itu setidaknya dapat diketahui sekilas tentang teater monolog. Yaitu genre teater yang tidak memerlukan ongkos produksi yang besar seperti halnya teater ansambel.
Secara harfiah, monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan atau sketsanya. Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing atau pengisian suara, karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi atau horor.
Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin. Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sekitar tahun 1964, lalu berkembang menjadi sarana seni dan teater dan sudah menjadi salah satu teori dari karya seni teater.
Prinsip pada pertunjukan teater adalah untuk membuat penonton terus terjaga menonton, tidak mengantuk, tidak ngobrol. Caranya jelas, pertunjukan teater haruslah menarik dan atraktif. Khususnya teater monolog, yaitu pertunjukan teater yang dimainkan oleh seorang pemain atau pelakon. Seorang pemain monolog harus mampu membuat penonton terus menatapnya sepanjang pertunjukan. Ia harus mampu membawa perasaan dan pikiran seluruh penonton ke atas panggung, dan terlibat di dalamnya meski tak harus secara fisikal.
Monolog disambut dengan kegairahan banyak orang termasuk di jagat perteateran Lampung. Dua kali menggelar kompetisi yang dikemas dalam parade teater monolog, Dewan Kesenian Lampung mengakui animo masyarakat menjadi peserta cukup tinggi. Sayangnya ketika sudah tampil, masih banyak ditemukan kekurangan yang perlu menjadi introspeksi. Kesimpelan monolog, tentunya bukan berarti bergerak ke arah kelatahan atas nama eksistensi keaktoran.
Imas yang juga penggiat teater di Lampung menjelaskan monolog adalah puncak keaktoran, sehingga semua bertumpu pada aktor itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan kepiawaian aktor dalam pertunjukan yang harus diawali dengan perencanaan pertunjukan yang matang. Yaitu dalam hal menafsirkan naskah, kemampuan vokal, bagaimana dia mewakili tokoh lain sehingga membutuhkan olah tubuh yang matang. Berbeda dengan teater konvensional, kekurangan aktor dalam peran tertentu dalam sebuah pertunjukan dapat tertutupi dengan aktor lainnya.
Pencitraan monolog terfokus pada aktor yang membahasakan dirinya sebagai aku. Lewat sudut pandang orang pertama tersebut, aktor akan menceritakan siapa dirinya, kehidupannya di masa lalu (flashback) hingga apa yang dihadapinya sekarang. Imas mencontohkan peran aku sebagai Merdeka, yaitu naskah monolog yang diadopsi dari cerpen Merdeka karya Putu Wijaya. Berbeda dengan teater konvensional atau ensambel, cerita bisa bergulir bebas dari masa sekarang hingga masa depan.
Meskipun dalam monolog aku menjadi tokoh sentral, tetapi tetap tidak boleh mengabaikan peran lain yang harus dimainkannya juga. "Aktor monolog harus mampu memerankan semua lakon, peran lain bukan sekedar tempelan, tak ada peran kecil dalam sebuah pertunjukkan," jelas Imas.
Hal lain sebagai pendukung permainan aktor monolog adalah properti. Dalam monolog memang bisa cukup simpel, tetap menjadi bagian penting dari pertunjukan ini. Ketika tim Lampung membawakan monolog Perempuan di Titik Nol tahun 2007 lalu, properti menjadi bagian dari perencanaan yang matang. Berupa lighting, vokal dan musik, yang merupakan hasil olahan natural maupun teknologi. Namun demikian, dalam pertunjukan ini tetaplah pemain menjadi satu-satunya aktor, yang menjadi tumpuan perhatian.
Kesimpulannya, pertunjukan panggung perlu menjadi satu kesatuan terpadu, yang perlu perencanaan dan latihan yang matang. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008
"Hanya dengan properti kotak pun, disutradarai sendiri, main musik sendiri, sudah bisa bermonolog. Jadi tidak perlu awak besar dan anggaran bisa ditekan," ujar Manajer Teater Satu Imas Sobariah, Selasa (15-7), di Bandar Lampung.
Jika diminta tampil dalam event teater tertentu, tetapi anggaran minim, Imas menyatakan teater monolog bisa menjadi solusinya. Alasan minimnya anggaran juga menjadi motivasi penyelenggara atau lembaga sponsor pun lebih bersemangat menyajikan program pertunjukan monolog.
Demikian cuplikan pendapat seorang teaterwan di Lampung. Dari pendapat itu setidaknya dapat diketahui sekilas tentang teater monolog. Yaitu genre teater yang tidak memerlukan ongkos produksi yang besar seperti halnya teater ansambel.
Secara harfiah, monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan atau sketsanya. Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing atau pengisian suara, karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi atau horor.
Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin. Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sekitar tahun 1964, lalu berkembang menjadi sarana seni dan teater dan sudah menjadi salah satu teori dari karya seni teater.
Prinsip pada pertunjukan teater adalah untuk membuat penonton terus terjaga menonton, tidak mengantuk, tidak ngobrol. Caranya jelas, pertunjukan teater haruslah menarik dan atraktif. Khususnya teater monolog, yaitu pertunjukan teater yang dimainkan oleh seorang pemain atau pelakon. Seorang pemain monolog harus mampu membuat penonton terus menatapnya sepanjang pertunjukan. Ia harus mampu membawa perasaan dan pikiran seluruh penonton ke atas panggung, dan terlibat di dalamnya meski tak harus secara fisikal.
Monolog disambut dengan kegairahan banyak orang termasuk di jagat perteateran Lampung. Dua kali menggelar kompetisi yang dikemas dalam parade teater monolog, Dewan Kesenian Lampung mengakui animo masyarakat menjadi peserta cukup tinggi. Sayangnya ketika sudah tampil, masih banyak ditemukan kekurangan yang perlu menjadi introspeksi. Kesimpelan monolog, tentunya bukan berarti bergerak ke arah kelatahan atas nama eksistensi keaktoran.
Imas yang juga penggiat teater di Lampung menjelaskan monolog adalah puncak keaktoran, sehingga semua bertumpu pada aktor itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan kepiawaian aktor dalam pertunjukan yang harus diawali dengan perencanaan pertunjukan yang matang. Yaitu dalam hal menafsirkan naskah, kemampuan vokal, bagaimana dia mewakili tokoh lain sehingga membutuhkan olah tubuh yang matang. Berbeda dengan teater konvensional, kekurangan aktor dalam peran tertentu dalam sebuah pertunjukan dapat tertutupi dengan aktor lainnya.
Pencitraan monolog terfokus pada aktor yang membahasakan dirinya sebagai aku. Lewat sudut pandang orang pertama tersebut, aktor akan menceritakan siapa dirinya, kehidupannya di masa lalu (flashback) hingga apa yang dihadapinya sekarang. Imas mencontohkan peran aku sebagai Merdeka, yaitu naskah monolog yang diadopsi dari cerpen Merdeka karya Putu Wijaya. Berbeda dengan teater konvensional atau ensambel, cerita bisa bergulir bebas dari masa sekarang hingga masa depan.
Meskipun dalam monolog aku menjadi tokoh sentral, tetapi tetap tidak boleh mengabaikan peran lain yang harus dimainkannya juga. "Aktor monolog harus mampu memerankan semua lakon, peran lain bukan sekedar tempelan, tak ada peran kecil dalam sebuah pertunjukkan," jelas Imas.
Hal lain sebagai pendukung permainan aktor monolog adalah properti. Dalam monolog memang bisa cukup simpel, tetap menjadi bagian penting dari pertunjukan ini. Ketika tim Lampung membawakan monolog Perempuan di Titik Nol tahun 2007 lalu, properti menjadi bagian dari perencanaan yang matang. Berupa lighting, vokal dan musik, yang merupakan hasil olahan natural maupun teknologi. Namun demikian, dalam pertunjukan ini tetaplah pemain menjadi satu-satunya aktor, yang menjadi tumpuan perhatian.
Kesimpulannya, pertunjukan panggung perlu menjadi satu kesatuan terpadu, yang perlu perencanaan dan latihan yang matang. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008
Apresiasi: Parade Monolog dengan Sejumlah Catatan
SELAMA dua hari, mulai 12 hingga 13 Juli, Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar Parade Monolog. Acara yang berlangsung di Taman Budaya Lampung ini menyisakan catatan-catatan kelemahan peserta. Kompetisi pun berakhir tanpa juara pertama. Lalu, dari 21 pendaftar hanya 11 peserta yang siap unjuk kemampuan.
ITU hanya sebagian indikasi kelemahan dari sisi peserta parade monolog tahun ini. Ketiga juri, yakni Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, dan Edi Samudra Kertagama memiliki catatan tersendiri tentang masing-masing peserta.
Pada akhir penjurian, penilaian mengerucut pada keputusan tidak ada jawara utama kompetisi. Alasan yang diungkapkan Ketua Komite Teater DKL Ahmad Zilalin karena tidak ada peserta yang mampu mencapai standar penilaian untuk juara pertama alias tidak ada yang pantas.
Dalam bidikan Lampung Post, kelemahan itu juga terbaca. Rata-rata aktor dan artis mengintepretasikan naskah monolog dalam pertunjukan sekitar setengah jam.
Jika tidak terbiasa tampil di atas panggung, tentunya ini menjadi sesuatu yang berat. Aktor harus tetap berkonsentrasi dengan kekuatan daya ingat pada naskah. Ia pun harus memainkan olah tubuh.
Jadi, dari sisi waktu, kemungkinan lelah bisa terjadi. Sehingga beberapa peserta terlihat kedodoran pada durasi akhir. Bisa lupa teks, vokal lemah dan olah tubuh yang kurang ekspresif.
Menurut Iswadi, sastrawan yang juga direktur artistik Teater Satu, Kamis (17-7), kelemahan itu bersumber pada tradisi latihan yang tidak baik. Tidak berulang. "Mereka mungkin tidak menjaga latihan secara ajeg. Meskipun aktor memiliki potensi sebagai teaterwan, tetapi percuma jika tidak memiliki tradisi latihan yang baik," ujarnya.
Kedua, tidak tercukupinya pelatih yang memiliki seluruh perangkat pengetahuan. Berkesenian, khususnya berteater dengan genre apa pun, ujar Iswadi, harus berlandaskan pada tradisi ilmiah. "Aktor harus memiliki logika penalaran yang baik dalam menafsirkan naskah, barulah itu diresapi dengan hati."
Iswadi mencontohkan salah satu kesalahan penafsiran peserta parade monolog. Lakon sang koruptor yang sebenarnya menggambarkan sosok pejabat yang masih berkuasa dan sibuk luar biasa. Tetapi dalam penampilan, aktor memainkan perannya di atas kursi roda.
"Dalam naskah itu tidak digambarkan. Berarti sudah ada salah penafsiran," ujarnya.
Sejauh ini, dalam penilaian Iswadi, pekerja teater Lampung masih banyak mengandalkan intuisi untuk mendapatkan permainan yang baik. Padahal, seperti bidang lain berteater juga butuh pengetahuan yang standarnya baku dan bisa dipelajari. Demikian kondisinya, sehingga muara yang tepat adalah membutuhkan wadah pendidikan untuk membina para bibit-bibit muda. "Di Jawa sudah banyak berdiri akademi seni yang bisa menjadi penjaga atau tolak ukur yang jelas dan ajeg dalam berkesenian. Di Sumatera baru ada di Kota Padang Panjang yaitu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang," ungkap Iswadi.
Salah tafsir juga dilihat Lampung Post yaitu saat seorang peserta memainkan naskah monolog Merdeka yang diadopsi dari cerpen Putu Wijaya. Aktor dalam tampilan adalah sosok muda, padahal pada naskah menyiratkan tokoh yang sudah tua dengan segudang penyesalan memiliki nama Merdeka. Padahal sepanjang hidupnya ia merasa kalah dan tak berdaya.
Kompetisi kali ini juga menguji kemampuan peserta untuk menafsirkan naskah. Tantangannya, beberapa naskah monolog diadopsi dari cerpen kaya penulis luar negeri. Tentunya konteks suasana berbeda dengan yang biasa dihadapi peserta. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008
ITU hanya sebagian indikasi kelemahan dari sisi peserta parade monolog tahun ini. Ketiga juri, yakni Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, dan Edi Samudra Kertagama memiliki catatan tersendiri tentang masing-masing peserta.
Pada akhir penjurian, penilaian mengerucut pada keputusan tidak ada jawara utama kompetisi. Alasan yang diungkapkan Ketua Komite Teater DKL Ahmad Zilalin karena tidak ada peserta yang mampu mencapai standar penilaian untuk juara pertama alias tidak ada yang pantas.
Dalam bidikan Lampung Post, kelemahan itu juga terbaca. Rata-rata aktor dan artis mengintepretasikan naskah monolog dalam pertunjukan sekitar setengah jam.
Jika tidak terbiasa tampil di atas panggung, tentunya ini menjadi sesuatu yang berat. Aktor harus tetap berkonsentrasi dengan kekuatan daya ingat pada naskah. Ia pun harus memainkan olah tubuh.
Jadi, dari sisi waktu, kemungkinan lelah bisa terjadi. Sehingga beberapa peserta terlihat kedodoran pada durasi akhir. Bisa lupa teks, vokal lemah dan olah tubuh yang kurang ekspresif.
Menurut Iswadi, sastrawan yang juga direktur artistik Teater Satu, Kamis (17-7), kelemahan itu bersumber pada tradisi latihan yang tidak baik. Tidak berulang. "Mereka mungkin tidak menjaga latihan secara ajeg. Meskipun aktor memiliki potensi sebagai teaterwan, tetapi percuma jika tidak memiliki tradisi latihan yang baik," ujarnya.
Kedua, tidak tercukupinya pelatih yang memiliki seluruh perangkat pengetahuan. Berkesenian, khususnya berteater dengan genre apa pun, ujar Iswadi, harus berlandaskan pada tradisi ilmiah. "Aktor harus memiliki logika penalaran yang baik dalam menafsirkan naskah, barulah itu diresapi dengan hati."
Iswadi mencontohkan salah satu kesalahan penafsiran peserta parade monolog. Lakon sang koruptor yang sebenarnya menggambarkan sosok pejabat yang masih berkuasa dan sibuk luar biasa. Tetapi dalam penampilan, aktor memainkan perannya di atas kursi roda.
"Dalam naskah itu tidak digambarkan. Berarti sudah ada salah penafsiran," ujarnya.
Sejauh ini, dalam penilaian Iswadi, pekerja teater Lampung masih banyak mengandalkan intuisi untuk mendapatkan permainan yang baik. Padahal, seperti bidang lain berteater juga butuh pengetahuan yang standarnya baku dan bisa dipelajari. Demikian kondisinya, sehingga muara yang tepat adalah membutuhkan wadah pendidikan untuk membina para bibit-bibit muda. "Di Jawa sudah banyak berdiri akademi seni yang bisa menjadi penjaga atau tolak ukur yang jelas dan ajeg dalam berkesenian. Di Sumatera baru ada di Kota Padang Panjang yaitu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang," ungkap Iswadi.
Salah tafsir juga dilihat Lampung Post yaitu saat seorang peserta memainkan naskah monolog Merdeka yang diadopsi dari cerpen Putu Wijaya. Aktor dalam tampilan adalah sosok muda, padahal pada naskah menyiratkan tokoh yang sudah tua dengan segudang penyesalan memiliki nama Merdeka. Padahal sepanjang hidupnya ia merasa kalah dan tak berdaya.
Kompetisi kali ini juga menguji kemampuan peserta untuk menafsirkan naskah. Tantangannya, beberapa naskah monolog diadopsi dari cerpen kaya penulis luar negeri. Tentunya konteks suasana berbeda dengan yang biasa dihadapi peserta. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008
July 19, 2008
Ari Pahala Hutabarat: Teacher of Lampung's rising poets
-- Oyos Saroso H.N., The Jakarta Post, Bandarlampung
OVER the past decade, Indonesian literary critics have noted that Lampung has become an important national center for poetry, along with Jakarta, Bali and West Sumatra.
Many upcoming young poets in the past 10 years have come from Lampung, prompting literary observers to dub Bandarlampung -- the capital of Lampung province as "the city of poets".
Poet and literary critic Sapardi Djoko Damono once said the future of Indonesian poetry was rooted in Lampung, while literary writer Nirwan Dewanto said poetry writing in Lampung was unique because so many promising young poets have emerged in the region.
"The culture of poetry writing in Lampung today can only be compared with that of Bali," said Nirwan Dewanto.
During the past few years, the works of Lampung's young poets have been published in national media and in anthologies of poetry. Lampung's young poets have also been invited to take part in national and international literary events.
Ari Pahala Hutabarat, 33, a poet who is also a theater director with the Berkat Yakin Community Theater (Kober), is certainly making his mark in the region.
Ari, also a poetry teacher at Lampung University, has played a key role in mentoring young poets in the province. They look to him as a master craftsman in literature.
"I kept referring to these poets as friends but they honor me like a holy man, affording me the same respect they would a kyai (religious teacher)," Ari said. He added he didn't wish to appear so elevated, but that his students' high regard for him highlighted the important role teachers play in their students' development.
The graduate from the Language, Education and Indonesian Literary School of Lampung University said his teaching style was a mixture of the educational concepts developed by Paulo Freire, the renowned Brazilian educationalist, and the traditional educational methods used in Indonesian schools.
Ari said that through using the education methods of Freire, the learner gets to understand the future uses and purposive contextualization of their education.
"The actual education process is the process of becoming aware, which is linked to a real concern for humanity. This means that education has a meaning if it's used for the sake of humanity.
"In teaching students to write poetry, I like to emphasize this point," said the father of one.
Ari added his teaching methods were different from those used in formal education. The process of learning poetry isn't always conducted in a classroom. For example, it can be taught in the school yard or at a coffee stall.
"According to Paulo Freire, true education is a tool which helps the development of humanity. Education has to help people to learn more about themselves and how to express themselves. I think his method is very suitable for teaching young poets."
Besides teaching university students, Ari also teaches high school teachers the art of poetry writing. He even teaches prisoners at the city correctional institution.
"The happiest I've ever felt was when poetry written by prisoners that I taught was published in a newspaper.'
"There was one prisoner whose mother came to visit and he showed her the newspaper that had published his poetry. The mother was very proud that her son could write poetry and this became a talking point for the people in her village," said Ari, also the head of the Lampung Arts Council's Literary Committee.
"If the method of learning is right, then a poet can be created by a teacher.
"The poetry teacher and the community are only, however, the facilitators who help to stimulate students to explore their creativity."
Ari acts as the theater director for Kober and has directed more than 20 plays staged by the group, which was established in 2002. He has also held many creative writing and acting workshops.
As a poet, Ari is often invited to read at many national and international poetry forums. In June 2003, for example, Ari read at the Modern Indonesian Poetry Stage at Utan Kayu Theater (TUK) Jakarta.
In August 2003 he performed in the International Poetry Festival, also held at TUK. In 2005 he read his poetry at the Indonesian Poetry Heaven Event held at Taman Ismail Marzuki Park Cultural Centre and at the May festival in Bandung.
This was followed by an appearance at the 2006 Ubud Writers and Readers Festival in Ubud, Bali, and at an event called Erotic Literature in the New Studio at TIM.
Ari Pahala's works have also been published in local media, including Kompas, Media Indonesia, The Journal of Kalam Culture, Trans Sumatra and the Lampung Post. He has also been published in dozens of poetry collections.
The head of the Lampung Arts Council, Syaiful Irba Tanpaka, said there were only a handful of teachers with experience supporting poetry in the region.
"In the 1980s, poets from Lampung were famous outside of their region. Those poets have become senior poets around the country, and many teach," he said.
Jimmy Maruli Alfian, a lawyer working in the government court in Sumatra and also a professional poet, said Ari's role had been important in helping him develop his poetry and the poetry of his friends in Lampung.
"Poetry became my extracurricular activity in law school," said Jimmy.
"I would probably never have become a poet if I hadn't met Ari Pahala. He was on the (university) staff as a teacher ... he was great in discussions and became a good friend," he said.
Source: The Jakarta Post | People | Sat, 07/19/2008
OVER the past decade, Indonesian literary critics have noted that Lampung has become an important national center for poetry, along with Jakarta, Bali and West Sumatra.
Many upcoming young poets in the past 10 years have come from Lampung, prompting literary observers to dub Bandarlampung -- the capital of Lampung province as "the city of poets".
Poet and literary critic Sapardi Djoko Damono once said the future of Indonesian poetry was rooted in Lampung, while literary writer Nirwan Dewanto said poetry writing in Lampung was unique because so many promising young poets have emerged in the region.
"The culture of poetry writing in Lampung today can only be compared with that of Bali," said Nirwan Dewanto.
During the past few years, the works of Lampung's young poets have been published in national media and in anthologies of poetry. Lampung's young poets have also been invited to take part in national and international literary events.
Ari Pahala Hutabarat, 33, a poet who is also a theater director with the Berkat Yakin Community Theater (Kober), is certainly making his mark in the region.
Ari, also a poetry teacher at Lampung University, has played a key role in mentoring young poets in the province. They look to him as a master craftsman in literature.
"I kept referring to these poets as friends but they honor me like a holy man, affording me the same respect they would a kyai (religious teacher)," Ari said. He added he didn't wish to appear so elevated, but that his students' high regard for him highlighted the important role teachers play in their students' development.
The graduate from the Language, Education and Indonesian Literary School of Lampung University said his teaching style was a mixture of the educational concepts developed by Paulo Freire, the renowned Brazilian educationalist, and the traditional educational methods used in Indonesian schools.
Ari said that through using the education methods of Freire, the learner gets to understand the future uses and purposive contextualization of their education.
"The actual education process is the process of becoming aware, which is linked to a real concern for humanity. This means that education has a meaning if it's used for the sake of humanity.
"In teaching students to write poetry, I like to emphasize this point," said the father of one.
Ari added his teaching methods were different from those used in formal education. The process of learning poetry isn't always conducted in a classroom. For example, it can be taught in the school yard or at a coffee stall.
"According to Paulo Freire, true education is a tool which helps the development of humanity. Education has to help people to learn more about themselves and how to express themselves. I think his method is very suitable for teaching young poets."
Besides teaching university students, Ari also teaches high school teachers the art of poetry writing. He even teaches prisoners at the city correctional institution.
"The happiest I've ever felt was when poetry written by prisoners that I taught was published in a newspaper.'
"There was one prisoner whose mother came to visit and he showed her the newspaper that had published his poetry. The mother was very proud that her son could write poetry and this became a talking point for the people in her village," said Ari, also the head of the Lampung Arts Council's Literary Committee.
"If the method of learning is right, then a poet can be created by a teacher.
"The poetry teacher and the community are only, however, the facilitators who help to stimulate students to explore their creativity."
Ari acts as the theater director for Kober and has directed more than 20 plays staged by the group, which was established in 2002. He has also held many creative writing and acting workshops.
As a poet, Ari is often invited to read at many national and international poetry forums. In June 2003, for example, Ari read at the Modern Indonesian Poetry Stage at Utan Kayu Theater (TUK) Jakarta.
In August 2003 he performed in the International Poetry Festival, also held at TUK. In 2005 he read his poetry at the Indonesian Poetry Heaven Event held at Taman Ismail Marzuki Park Cultural Centre and at the May festival in Bandung.
This was followed by an appearance at the 2006 Ubud Writers and Readers Festival in Ubud, Bali, and at an event called Erotic Literature in the New Studio at TIM.
Ari Pahala's works have also been published in local media, including Kompas, Media Indonesia, The Journal of Kalam Culture, Trans Sumatra and the Lampung Post. He has also been published in dozens of poetry collections.
The head of the Lampung Arts Council, Syaiful Irba Tanpaka, said there were only a handful of teachers with experience supporting poetry in the region.
"In the 1980s, poets from Lampung were famous outside of their region. Those poets have become senior poets around the country, and many teach," he said.
Jimmy Maruli Alfian, a lawyer working in the government court in Sumatra and also a professional poet, said Ari's role had been important in helping him develop his poetry and the poetry of his friends in Lampung.
"Poetry became my extracurricular activity in law school," said Jimmy.
"I would probably never have become a poet if I hadn't met Ari Pahala. He was on the (university) staff as a teacher ... he was great in discussions and became a good friend," he said.
Source: The Jakarta Post | People | Sat, 07/19/2008
July 18, 2008
Satwa Dilindungi: Pelepasliaran Harimau Diprotes
Bandar Lampung, Kompas - Pemindahan lima ekor harimau sumatera atau Panthera tigris sumatrae dari Nanggroe Aceh Darussalam ke Lampung terus menuai kritikan dan protes. Enam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada bidang lingkungan dan hukum serta masyarakat meminta Departemen Kehutanan untuk tidak gegabah melepasliarkan lima ekor harimau sumatera asal NAD tersebut.
”Departemen Kehutanan sebaiknya memastikan kemampuan perusahaan pengelola konservasi, keamanan kawasan, status lahan pelepasliaran, hingga dampak bagi masyarakat sekitar kawasan,” demikian pernyataan tegas Kurniadi, Koordinator Kawan Tani, mewakili enam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan hukum di Lampung, Kamis (17/7).
Keenam LSM tersebut adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, WATALA, Kawan Tani, LBH Bandar Lampung, Mitra Bentala, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lampung. Sementara itu, wakil masyarakat datang dari masyarakat Pekon (Desa) Bandar Dalam, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Lampung Barat.
Pada pertemuan tersebut, LSM dan masyarakat menyatakan Departemen Kehutanan sebaiknya memperjelas status penempatan kelima ekor harimau sumatera di Tampang Belimbing, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung Barat atau tempat lain. Upaya tersebut perlu dilakukan karena Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) juga berkeinginan menempatkan lima ekor harimau tersebut ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
”Apalagi, dilihat dari luas kawasan, TNGL memiliki luasan yang lebih luas dibandingkan TNBBS. TNGL memiliki luas 1,3 juta hektar dan masih terjaga baik, sementara TNBBS memiliki luas 356.800 hektar dan masih harus diatur zona aman untuk harimau tersebut,” ujar Kurniadi.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, kelima ekor harimau tersebut dipindahkan dari NAD ke Provinsi Lampung pada Jumat (27/6).
Kelima ekor harimau tersebut kemudian mendapatkan perawatan dan penyiapan untuk pelepasliaran. Direncanakan, lima ekor harimau itu akan dilepasliarkan secara bertahap pada Senin (21/7) dan Selasa (22/7) pekan depan di kawasan Tampang Belimbing, TNBBS. (HLN)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juli 2008
”Departemen Kehutanan sebaiknya memastikan kemampuan perusahaan pengelola konservasi, keamanan kawasan, status lahan pelepasliaran, hingga dampak bagi masyarakat sekitar kawasan,” demikian pernyataan tegas Kurniadi, Koordinator Kawan Tani, mewakili enam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan hukum di Lampung, Kamis (17/7).
Keenam LSM tersebut adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, WATALA, Kawan Tani, LBH Bandar Lampung, Mitra Bentala, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lampung. Sementara itu, wakil masyarakat datang dari masyarakat Pekon (Desa) Bandar Dalam, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Lampung Barat.
Pada pertemuan tersebut, LSM dan masyarakat menyatakan Departemen Kehutanan sebaiknya memperjelas status penempatan kelima ekor harimau sumatera di Tampang Belimbing, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung Barat atau tempat lain. Upaya tersebut perlu dilakukan karena Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) juga berkeinginan menempatkan lima ekor harimau tersebut ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
”Apalagi, dilihat dari luas kawasan, TNGL memiliki luasan yang lebih luas dibandingkan TNBBS. TNGL memiliki luas 1,3 juta hektar dan masih terjaga baik, sementara TNBBS memiliki luas 356.800 hektar dan masih harus diatur zona aman untuk harimau tersebut,” ujar Kurniadi.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, kelima ekor harimau tersebut dipindahkan dari NAD ke Provinsi Lampung pada Jumat (27/6).
Kelima ekor harimau tersebut kemudian mendapatkan perawatan dan penyiapan untuk pelepasliaran. Direncanakan, lima ekor harimau itu akan dilepasliarkan secara bertahap pada Senin (21/7) dan Selasa (22/7) pekan depan di kawasan Tampang Belimbing, TNBBS. (HLN)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juli 2008
July 17, 2008
Satwa Dilindungi: 5 Harimau Tidak akan Ganggu Warga
BANDAR LAMPUNG (Ant/Lampost): Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu meminta masyarakat tidak khawatir atas kehadiran lima ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Aceh, di Tampang Belimbing, Lampung Barat. Walaupun harimau yang ditangkap karena mengancam warga Aceh itu akan dilepasliarkan di hutan TNBBS Lampung, tetap diberi zona aman dari arah jelajah harimau ke permukiman.
Gubernur Syamsurya Ryacudu mengatakan pemerintah daerah juga telah mendapatkan kepastian jaminan keamanan masyarakat sekitar atas penglepasliaran harimau itu. Karena di hutan TNBBS telah dibuat zona jelajah harimau dan permukiman manusia yang dibatasi kawasan penangkaran babi hutan, kijang, kerbau liar, dan lainnya. "Diharapkan harimau itu tidak akan keluar hutan lagi," kata Syamsurya, ditemui dalam perjalanan usai mengunjungi atlet daerahnya, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (16-7).
Namun sebaliknya, warga masyarakat di sekitarnya juga tidak lagi masuk ke TNBBS. Sebab, menurut Syamsurya, bahaya dari hewan buas liar itu akan mengancam dengan kedatangan manusia di area jelajahnya. Memang jika kenyang, satwa dilindungi itu tidak akan mengganggu manusia. "Namun jika tempat hidupnya diusik manusia, harimau tetap akan menjadi masalah," kata Syamsurya.
Menurut Syamsurya, pihak swasta yang mensponsori pemindahan atau translokasi lima ekor harimau dan seekor buaya ke Lampung adalah Artha Graha Peduli, grup perusahaan pimpinan Tommy Winata. Karena di kawasan sekitar hutan TNBBS dan permukiman warga di sana, grup Artha Graha tengah mengembangkan kawasan wisata alam (ekoturisme) melalui PT Adhiniaga Kreasinusa dari Artha Graha Network (TW Nature Conservation).
Pihak swasta tersebut menjadikan TNBBS sebagai kawasan wisata petualangan, perburuan satwa hasil penangkaran, dan wisata alam termasuk tempat bagi penghobi fotografi alam. "Jika harimau itu dilepasliarkan di sana, justru terlindungi dan terpelihara, apalagi terus dipantau keberadaan dan perkembangannya," kata dia
Lagipula, kata Syamsurya, perusahaan itu juga berkomitmen ikut menjaga keseimbangan alam di wilayah sekitar Tampang Belimbing di Kabupaten Lampung Barat. Wujudnya dengan mengupayakan dukungan dapat menjaga kelestarian dan keaslian habitat hutan setempat. "Mereka juga menjaga kebersihan dengan menerapkan aturan bagi pengunjung di sana tidak boleh merokok dalam kawasan. Jumlah pengunjung juga tidak boleh lebih dari 30 orang," kata Syamsurya.
Syamsurya juga menjelaskan kawasan hutan TNBBS di Tampang Belimbing dinilai masih memiliki keanekaragaman hayati yang baik. Dengan vegetasi rapat berjumlah sekitar 11 ribu pohon menjadi habitat alami sejumlah satwa liar seperti harimau, gajah, buaya, kerbau liar, burung elang, dan sejumlah satwa liar lainnya. "Semuanya merupakan kekayaan alam dan aset daerah maupun dunia yang harus tetap terpelihara," ujarnya.
Namun translokasi dan rencana pelepasliaran lima ekor harimau asal Aceh di hutan TNBBS di Lampung itu, mendapatkan sorotan tajam sejumlah LSM. Walhi Lampung, LSM Kawan Tani, dan WWF Indonesia Lampung mengingatkan dampak ikutan atas pemindahan itu harus memperhatikan kelestarian harimau sumatera. Seharusnya satwa itu tetap dipertahankan pada habitat aslinya, juga dampak bagi masyarakat sehingga tidak seperti memindahkan masalah dari Aceh ke Lampung. n K-3
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Juli 2008
Gubernur Syamsurya Ryacudu mengatakan pemerintah daerah juga telah mendapatkan kepastian jaminan keamanan masyarakat sekitar atas penglepasliaran harimau itu. Karena di hutan TNBBS telah dibuat zona jelajah harimau dan permukiman manusia yang dibatasi kawasan penangkaran babi hutan, kijang, kerbau liar, dan lainnya. "Diharapkan harimau itu tidak akan keluar hutan lagi," kata Syamsurya, ditemui dalam perjalanan usai mengunjungi atlet daerahnya, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (16-7).
Namun sebaliknya, warga masyarakat di sekitarnya juga tidak lagi masuk ke TNBBS. Sebab, menurut Syamsurya, bahaya dari hewan buas liar itu akan mengancam dengan kedatangan manusia di area jelajahnya. Memang jika kenyang, satwa dilindungi itu tidak akan mengganggu manusia. "Namun jika tempat hidupnya diusik manusia, harimau tetap akan menjadi masalah," kata Syamsurya.
Menurut Syamsurya, pihak swasta yang mensponsori pemindahan atau translokasi lima ekor harimau dan seekor buaya ke Lampung adalah Artha Graha Peduli, grup perusahaan pimpinan Tommy Winata. Karena di kawasan sekitar hutan TNBBS dan permukiman warga di sana, grup Artha Graha tengah mengembangkan kawasan wisata alam (ekoturisme) melalui PT Adhiniaga Kreasinusa dari Artha Graha Network (TW Nature Conservation).
Pihak swasta tersebut menjadikan TNBBS sebagai kawasan wisata petualangan, perburuan satwa hasil penangkaran, dan wisata alam termasuk tempat bagi penghobi fotografi alam. "Jika harimau itu dilepasliarkan di sana, justru terlindungi dan terpelihara, apalagi terus dipantau keberadaan dan perkembangannya," kata dia
Lagipula, kata Syamsurya, perusahaan itu juga berkomitmen ikut menjaga keseimbangan alam di wilayah sekitar Tampang Belimbing di Kabupaten Lampung Barat. Wujudnya dengan mengupayakan dukungan dapat menjaga kelestarian dan keaslian habitat hutan setempat. "Mereka juga menjaga kebersihan dengan menerapkan aturan bagi pengunjung di sana tidak boleh merokok dalam kawasan. Jumlah pengunjung juga tidak boleh lebih dari 30 orang," kata Syamsurya.
Syamsurya juga menjelaskan kawasan hutan TNBBS di Tampang Belimbing dinilai masih memiliki keanekaragaman hayati yang baik. Dengan vegetasi rapat berjumlah sekitar 11 ribu pohon menjadi habitat alami sejumlah satwa liar seperti harimau, gajah, buaya, kerbau liar, burung elang, dan sejumlah satwa liar lainnya. "Semuanya merupakan kekayaan alam dan aset daerah maupun dunia yang harus tetap terpelihara," ujarnya.
Namun translokasi dan rencana pelepasliaran lima ekor harimau asal Aceh di hutan TNBBS di Lampung itu, mendapatkan sorotan tajam sejumlah LSM. Walhi Lampung, LSM Kawan Tani, dan WWF Indonesia Lampung mengingatkan dampak ikutan atas pemindahan itu harus memperhatikan kelestarian harimau sumatera. Seharusnya satwa itu tetap dipertahankan pada habitat aslinya, juga dampak bagi masyarakat sehingga tidak seperti memindahkan masalah dari Aceh ke Lampung. n K-3
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Juli 2008
July 15, 2008
Teater: Parade Monolog tanpa Juara
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Parade Monolog Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) 2008 pada 12 hingga 13 Juli lalu berakhir tanpa juara pertama. Sebelas peserta yang tampil dinyatakan tidak ada yang berhasil memenuhi standar kualitas penilaian untuk pemenang pertama yang ditetapkan ketiga juri.
"Kami memiliki standar penilaian kualitas untuk juara pertama hingga ketiga yang sama dengan tahun lalu. Jadi penilaian para juara tidak berdasar pada nilai tertinggi semata," ujar Ahmad Zilalin, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL), Senin (14-7).
Ketiadaan jawara dalam parade monolog teater di Taman Budaya Lampung ini, menurut Ahmad Zilalin, karena lemahnya metode latihan. Selain itu analisis peserta terhadap naskah sangat kurang.
"Mereka hanya sekadar menerima naskah, kemudian dihafalin, setelah itu selesai. Tanpa berusaha menganalisis lebih dalam apa yang diinginkan penulis dalam naskahnya," ujar Ahmad Zilalin yang kerap disapa Alin.
Dengan kondisi demikian, Komite Teater DKL akan berusaha mengenalkan metode latihan yang baik. "Saya kira komunitas teater seperti Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin dapat menjadi contoh dalam metode berlatih," ujarnya kembali.
Sementara itu, juara kedua dalam lomba ini, yaitu Yelii Shinta Laras U. dari Teater Satu dengan membawakan naskah Bara di Hamparan Salju (Osman Saadi) dan juara ketiga, Sugeng dari Komunitas Wong Apik dengan naskah Koruptor (Seno Gumira A.). Harapan pertama, Robi Akbar dari Teater Hitam Putih dengan naskah Pagi yang Brengsek (Simon Carmiggelt), kedua Aris H. Batanghari dari Metro dengan naskah Merdeka (Putu Wijaya) dan ketiga Baysa Dewi dari Teater Satu dengan naskah Sang Pengeluh (Yusrizal K.W.).
Saat acara berlangsung, tiga juri, yaitu Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, dan Edi Samudra Kertagama pun menilai peserta kurang berlatih maksimal. Hari pertama, Sabtu (12-7), menampilkan enam peserta, di antaranya Akhmad Andika Ikranegara dari Teater Kurusetra Unila dengan naskah Koruptor (Seno Gumira A.) dan Aris H. Batanghari dari Metro dengan naskah Merdeka (Putu Wijaya).
Hari kedua, Minggu (13-7), menampilkan lima peserta, di antaranya Robi Akbar asal Teater Hitam Putih dengan naskah Pagi yang Brengsek (Simon Carmiggelt) dan Yelli Shinta Laras U. dari Teater Satu dengan naskah Bara di Hamparan Salju (Osman Saadi). n DWI/K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 15 Juli 2008
"Kami memiliki standar penilaian kualitas untuk juara pertama hingga ketiga yang sama dengan tahun lalu. Jadi penilaian para juara tidak berdasar pada nilai tertinggi semata," ujar Ahmad Zilalin, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL), Senin (14-7).
Ketiadaan jawara dalam parade monolog teater di Taman Budaya Lampung ini, menurut Ahmad Zilalin, karena lemahnya metode latihan. Selain itu analisis peserta terhadap naskah sangat kurang.
"Mereka hanya sekadar menerima naskah, kemudian dihafalin, setelah itu selesai. Tanpa berusaha menganalisis lebih dalam apa yang diinginkan penulis dalam naskahnya," ujar Ahmad Zilalin yang kerap disapa Alin.
Dengan kondisi demikian, Komite Teater DKL akan berusaha mengenalkan metode latihan yang baik. "Saya kira komunitas teater seperti Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin dapat menjadi contoh dalam metode berlatih," ujarnya kembali.
Sementara itu, juara kedua dalam lomba ini, yaitu Yelii Shinta Laras U. dari Teater Satu dengan membawakan naskah Bara di Hamparan Salju (Osman Saadi) dan juara ketiga, Sugeng dari Komunitas Wong Apik dengan naskah Koruptor (Seno Gumira A.). Harapan pertama, Robi Akbar dari Teater Hitam Putih dengan naskah Pagi yang Brengsek (Simon Carmiggelt), kedua Aris H. Batanghari dari Metro dengan naskah Merdeka (Putu Wijaya) dan ketiga Baysa Dewi dari Teater Satu dengan naskah Sang Pengeluh (Yusrizal K.W.).
Saat acara berlangsung, tiga juri, yaitu Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, dan Edi Samudra Kertagama pun menilai peserta kurang berlatih maksimal. Hari pertama, Sabtu (12-7), menampilkan enam peserta, di antaranya Akhmad Andika Ikranegara dari Teater Kurusetra Unila dengan naskah Koruptor (Seno Gumira A.) dan Aris H. Batanghari dari Metro dengan naskah Merdeka (Putu Wijaya).
Hari kedua, Minggu (13-7), menampilkan lima peserta, di antaranya Robi Akbar asal Teater Hitam Putih dengan naskah Pagi yang Brengsek (Simon Carmiggelt) dan Yelli Shinta Laras U. dari Teater Satu dengan naskah Bara di Hamparan Salju (Osman Saadi). n DWI/K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 15 Juli 2008
Sastra dan Upaya Membina Moral Siswa
-- Ika Nurlianawati*
ADAKALANYA, menyampaikan pendidikan moral jauh lebih rumit dan sulit daripada menyampaikan materi pelajaran sosial sains, bahkan sains sekalipun. Bila materi dua pelajaran terakhir di atas dapat ditransfer melalui tatap muka 2-3 kali per pekan, tidak demikian halnya dengan pelajaran moral, yang idealnya include di tiap sesi pelajaran.
Tidak adanya mata pelajaran khusus dan guru khusus mata pelajaran etika dan moral, menjadi tantangan sendiri bagi guru yang notabene berfungsi sebagai pendidik. Kreativitas ide menjadi tuntutan bagi guru agar dapat mentransfer kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Tantangan untuk mengarah pada kebiasaan baik semakin berat, sebab di luar sana ada banyak ancaman. Untuk itulah guru harus mengoptimalkan segala media yang tersedia, tidak terkecuali dengan media sastra.
Sebagaimana kita tahu, sastra dapat berfungsi sebagai media transfer ilmu dan membentuk mental manusia. Mendekatkan siswa pada buku-buku sastra yang bermutu, tentu akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwanya.
Guru dapat menugaskan siswa untuk membaca buku sastra atau fiksi, tidak harus buku terjemahan yang mahal dengan penulis terkenal, cukup buku-buku lokal yang akan memberikan inspirasi bagi siswa untuk berpikir dan berkarakter positif.
Sebut saja beberapa novel, di antaranya Tetralogi Laskar Pelangi, yang mengisahkan perjuangan seorang anak dalam meraih cita-cita. Tentu novel ini akan menggugah semangat juang siswa dalam menjalani hidup.
Novel yang mengisahkan romantisme remaja tanpa mengesampingkan nilai moral dan keislaman juga dapat direkomendasikan oleh guru untuk dibaca siswa, antara lain Birunya Langit Cinta atau Nafsul Muthmainnah, bukan suatu kebetulan bila dua novel terakhir ini merupakan buah karya para pendidik.
Dengan menikmati buku sastra yang baik dan bermutu, diharapkan siswa dapat menyerap pelajaran etika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hal ini merupakan lahan lain yang perlu penggarapan serius dan konsisten dari para pendidik untuk terus meningkatkan minat baca dan mengasah keterampilan menulis.
Pada dasarnya, seorang pendidik tidak sekedar menyampaikan materi yang berkenaan dengan mata pelajaran, tapi idealnya terus meningkatkan produktivitas diri dalam upaya memberi keteladanan bagi para peserta didik.
Sebab, bukankah profesi guru tidak dapat dilepaskan dari lingkaran buku, aktivitas membaca dan bergulat dengan tinta, yang secara keseluruhannya diharapkan dapat mencerdaskan, membentuk etika, dan kebiasaan yang baik serta menjunjung martabat profesi guru itu sendiri.
* Ika Nurlianawati, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Sumber: Bintang Pelajar, Lampung Post, Selasa, 15 Juli 2008
ADAKALANYA, menyampaikan pendidikan moral jauh lebih rumit dan sulit daripada menyampaikan materi pelajaran sosial sains, bahkan sains sekalipun. Bila materi dua pelajaran terakhir di atas dapat ditransfer melalui tatap muka 2-3 kali per pekan, tidak demikian halnya dengan pelajaran moral, yang idealnya include di tiap sesi pelajaran.
Tidak adanya mata pelajaran khusus dan guru khusus mata pelajaran etika dan moral, menjadi tantangan sendiri bagi guru yang notabene berfungsi sebagai pendidik. Kreativitas ide menjadi tuntutan bagi guru agar dapat mentransfer kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Tantangan untuk mengarah pada kebiasaan baik semakin berat, sebab di luar sana ada banyak ancaman. Untuk itulah guru harus mengoptimalkan segala media yang tersedia, tidak terkecuali dengan media sastra.
Sebagaimana kita tahu, sastra dapat berfungsi sebagai media transfer ilmu dan membentuk mental manusia. Mendekatkan siswa pada buku-buku sastra yang bermutu, tentu akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwanya.
Guru dapat menugaskan siswa untuk membaca buku sastra atau fiksi, tidak harus buku terjemahan yang mahal dengan penulis terkenal, cukup buku-buku lokal yang akan memberikan inspirasi bagi siswa untuk berpikir dan berkarakter positif.
Sebut saja beberapa novel, di antaranya Tetralogi Laskar Pelangi, yang mengisahkan perjuangan seorang anak dalam meraih cita-cita. Tentu novel ini akan menggugah semangat juang siswa dalam menjalani hidup.
Novel yang mengisahkan romantisme remaja tanpa mengesampingkan nilai moral dan keislaman juga dapat direkomendasikan oleh guru untuk dibaca siswa, antara lain Birunya Langit Cinta atau Nafsul Muthmainnah, bukan suatu kebetulan bila dua novel terakhir ini merupakan buah karya para pendidik.
Dengan menikmati buku sastra yang baik dan bermutu, diharapkan siswa dapat menyerap pelajaran etika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hal ini merupakan lahan lain yang perlu penggarapan serius dan konsisten dari para pendidik untuk terus meningkatkan minat baca dan mengasah keterampilan menulis.
Pada dasarnya, seorang pendidik tidak sekedar menyampaikan materi yang berkenaan dengan mata pelajaran, tapi idealnya terus meningkatkan produktivitas diri dalam upaya memberi keteladanan bagi para peserta didik.
Sebab, bukankah profesi guru tidak dapat dilepaskan dari lingkaran buku, aktivitas membaca dan bergulat dengan tinta, yang secara keseluruhannya diharapkan dapat mencerdaskan, membentuk etika, dan kebiasaan yang baik serta menjunjung martabat profesi guru itu sendiri.
* Ika Nurlianawati, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Sumber: Bintang Pelajar, Lampung Post, Selasa, 15 Juli 2008
July 14, 2008
Teater: Parade Monolog Dewan Kesenian Lampung Dinilai Monoton
Bandar Lampung, Kompas - Para peserta Parade Monolog Komite Teater Dewan Kesenian Lampung dinilai belum bisa menampilkan pertunjukan monolog yang menarik. Mereka dianggap tidak mampu menampilkan perubahan karakter, tempo, irama, bentuk, dan dinamika yang pas sehingga parade terkesan monoton.
Itu terungkap dari penampilan pertama hingga penampilan peserta ke-11. Rata-rata setiap pemain cenderung asyik dengan naskah dan alur cerita sehingga lupa menyampaikan pesan cerita. Penampil sibuk mengingat-ingat naskah sehingga terlihat hanya berakting tanpa mampu menumbuhkan emosi penonton atas cerita yang ditampilkan.
Iswadi Pratama, salah satu juri Parade Monolog yang digagas Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, Sabtu (12/7), saat jeda acara Parade Monolog di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, mengatakan, kesan itu terungkap saat peserta menampilkan kebolehan masing-masing. Para peserta sama sekali tidak menunjukkan kesiapan dalam menampilkan penokohan, alur cerita, penghayatan lakon, hingga penyampaian pesan.
Yang memprihatinkan, lanjut Iswadi, panitia sebetulnya sudah memberikan waktu persiapan cukup kepada setiap peserta, sekitar 2,5 bulan. Dengan asumsi latihan sebanyak tiga kali seminggu, dalam waktu 2,5 bulan setiap peserta sebetulnya sudah memiliki kesempatan 30 kali latihan.
Pada latihan pertama hingga keenam, peserta memiliki waktu untuk memahami naskah. Pada latihan keenam dan selanjutnya, peserta sudah bisa menentukan musik ataupun kostum yang dibutuhkan bagi penampilan monolog tersebut. ”Selanjutnya, peserta bisa mematangkan kemampuan dengan pemahaman terhadap naskah,” ujar Iswadi.
Hanya saja, para peserta yang tampil pada parade monolog tersebut justru menampilkan penampilan apa adanya. Penampilan mereka menimbulkan kesan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk berlatih. ”Penampilan mereka menunjukkan, mereka tidak memiliki tradisi latihan yang baik dan kurang mencermati naskah,” ujar Iswadi.
Pada parade monolog yang merupakan agenda tahunan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung tersebut, panitia menyiapkan tujuh naskah monolog yang sudah dielaborasi secara matang. Ketujuh karya tersebut adalah Koruptor karya Seno Gumira Ajidarma, Merdeka karya Putu Wijaya, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi, Pagi yang Brengsek karya Simon Carmiggelt, Bara di Hamparan Salju karya Osman Saadi, Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu karya WS Rendra, dan Sang Pengeluh karya Yusrizal KW.
Sebagai parade tahunan yang mewadahi kreativitas seniman muda Lampung, penampilan peserta pada tahun depan akan dimaksimalkan lewat latihan ketat dan pemahaman naskah. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Juli 2008
Itu terungkap dari penampilan pertama hingga penampilan peserta ke-11. Rata-rata setiap pemain cenderung asyik dengan naskah dan alur cerita sehingga lupa menyampaikan pesan cerita. Penampil sibuk mengingat-ingat naskah sehingga terlihat hanya berakting tanpa mampu menumbuhkan emosi penonton atas cerita yang ditampilkan.
Iswadi Pratama, salah satu juri Parade Monolog yang digagas Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, Sabtu (12/7), saat jeda acara Parade Monolog di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, mengatakan, kesan itu terungkap saat peserta menampilkan kebolehan masing-masing. Para peserta sama sekali tidak menunjukkan kesiapan dalam menampilkan penokohan, alur cerita, penghayatan lakon, hingga penyampaian pesan.
Yang memprihatinkan, lanjut Iswadi, panitia sebetulnya sudah memberikan waktu persiapan cukup kepada setiap peserta, sekitar 2,5 bulan. Dengan asumsi latihan sebanyak tiga kali seminggu, dalam waktu 2,5 bulan setiap peserta sebetulnya sudah memiliki kesempatan 30 kali latihan.
Pada latihan pertama hingga keenam, peserta memiliki waktu untuk memahami naskah. Pada latihan keenam dan selanjutnya, peserta sudah bisa menentukan musik ataupun kostum yang dibutuhkan bagi penampilan monolog tersebut. ”Selanjutnya, peserta bisa mematangkan kemampuan dengan pemahaman terhadap naskah,” ujar Iswadi.
Hanya saja, para peserta yang tampil pada parade monolog tersebut justru menampilkan penampilan apa adanya. Penampilan mereka menimbulkan kesan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk berlatih. ”Penampilan mereka menunjukkan, mereka tidak memiliki tradisi latihan yang baik dan kurang mencermati naskah,” ujar Iswadi.
Pada parade monolog yang merupakan agenda tahunan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung tersebut, panitia menyiapkan tujuh naskah monolog yang sudah dielaborasi secara matang. Ketujuh karya tersebut adalah Koruptor karya Seno Gumira Ajidarma, Merdeka karya Putu Wijaya, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi, Pagi yang Brengsek karya Simon Carmiggelt, Bara di Hamparan Salju karya Osman Saadi, Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu karya WS Rendra, dan Sang Pengeluh karya Yusrizal KW.
Sebagai parade tahunan yang mewadahi kreativitas seniman muda Lampung, penampilan peserta pada tahun depan akan dimaksimalkan lewat latihan ketat dan pemahaman naskah. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Juli 2008
'Ngelarung': Ungkapan Syukur Nelayan
BANDAR LAMPUNG--Sembilan laki-laki berpakaian serbahitam mengangkat perahu berisi sesaji berupa kepala kerbau, daging, buah-buahan, dan aneka minuman, Minggu (13-7). Diangkut Kapal Motor (KM) Balam Berseri, perahu itu akan dibawa ke kawasan perairan Karang Ratu untuk dihanyutkan.
"Memang ada wilayah khusus untuk ngelarung ini." Begitu kata Warsit, salah seorang tokoh nelayan Lempasing diwawancarai di KM Balam Berseri. Karena acara itu adalah sebagai ucapan rasa syukur atas hasil kepada nelayan yang melimpah dari laut. Dan di Karang Ratu, biasanya nelayan di Lempasing seringkali mendapat hasil tangkapan banyak.
Kali ini acara ngelarung digelar bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-326 Kota Bandar Lampung dan HUT Ke-35 Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Sesaji yang diusung sembilan laki-laki tadi dikawal oleh 68 pelajar SMK Negeri 6 Bandar Lampung ke kapal pengangkut yang telah dicat merah-biru dan dihiasi bendera Merah Putih.
Di KM Balam Berseri tampak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Untung Sugiatno, Asisten I Sekkot Bandar Lampung Amami Amila, calon gubernur Lampung Muhajir Utomo, dan beberapa pengurus DPC HNSI Kota Bandar Lampung. Sementara sekitar sepuluh perahu nelayan ikut mengawal upacara ngelarung dan nantinya kapal itu akan memperebutkan sesaji di kapal dengan cara menabraknya. Kapal menuju Karang Ratu dengan menempuh waktu sekitar 30 menit dari TPI Lempasing.
Begitu sampai di kawasan Karang Ratu, kapal berhenti. Acara dimulai dengan sebelumnya digelar doa yang dipimpin Ustaz Arwani. Kemudian panitia acara menebar bunga di laut sekitar kapal.
Barulah perahu sesaji tujuh warna itu diterjunkan ke laut kawasan Karang Ratu. Sesaat kemudian, sejumlah perahu nelayan yang ikut mengawal kapal langsung berebut sesaji. Perahu nelayan bergerak cepat dan berebut menabrak perahu sesaji sebagai simbol pemberian makan ke penghuni Karang Ratu. "Perahu pertama yang menabrak sesaji dipercaya akan memperoleh keberuntungan," kata salah seorang pengurus HNSI Bandar Lampung Lukmanuddin.
Beberapa nelayan berperahu yang saling berebut sesaji itu mengaku mereka sengaja tidak melaut hari itu. Mereka mengaku untuk acara ini memang disediakan waktu khususnya sebab ada manfaat besar kemudian hari dari acara ngelarung. "Kami berharap upacara ngelarung ini dapat meningkatkan hasil tangkapan ikan," seorang nelayan Tarso (55).
Sementara Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno dalam sambutannya yang dibacakan Amami Amila mengatakan dalam penglepasan larungan sebagai simbol pemberdayaan kelautan. "Pemerintah Kota akan menjadikan ngelarung sebagai paket budaya untuk pariwisata," kata dia. Padli Ramdan/K-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Juli 2008
"Memang ada wilayah khusus untuk ngelarung ini." Begitu kata Warsit, salah seorang tokoh nelayan Lempasing diwawancarai di KM Balam Berseri. Karena acara itu adalah sebagai ucapan rasa syukur atas hasil kepada nelayan yang melimpah dari laut. Dan di Karang Ratu, biasanya nelayan di Lempasing seringkali mendapat hasil tangkapan banyak.
Kali ini acara ngelarung digelar bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-326 Kota Bandar Lampung dan HUT Ke-35 Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Sesaji yang diusung sembilan laki-laki tadi dikawal oleh 68 pelajar SMK Negeri 6 Bandar Lampung ke kapal pengangkut yang telah dicat merah-biru dan dihiasi bendera Merah Putih.
Di KM Balam Berseri tampak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Untung Sugiatno, Asisten I Sekkot Bandar Lampung Amami Amila, calon gubernur Lampung Muhajir Utomo, dan beberapa pengurus DPC HNSI Kota Bandar Lampung. Sementara sekitar sepuluh perahu nelayan ikut mengawal upacara ngelarung dan nantinya kapal itu akan memperebutkan sesaji di kapal dengan cara menabraknya. Kapal menuju Karang Ratu dengan menempuh waktu sekitar 30 menit dari TPI Lempasing.
Begitu sampai di kawasan Karang Ratu, kapal berhenti. Acara dimulai dengan sebelumnya digelar doa yang dipimpin Ustaz Arwani. Kemudian panitia acara menebar bunga di laut sekitar kapal.
Barulah perahu sesaji tujuh warna itu diterjunkan ke laut kawasan Karang Ratu. Sesaat kemudian, sejumlah perahu nelayan yang ikut mengawal kapal langsung berebut sesaji. Perahu nelayan bergerak cepat dan berebut menabrak perahu sesaji sebagai simbol pemberian makan ke penghuni Karang Ratu. "Perahu pertama yang menabrak sesaji dipercaya akan memperoleh keberuntungan," kata salah seorang pengurus HNSI Bandar Lampung Lukmanuddin.
Beberapa nelayan berperahu yang saling berebut sesaji itu mengaku mereka sengaja tidak melaut hari itu. Mereka mengaku untuk acara ini memang disediakan waktu khususnya sebab ada manfaat besar kemudian hari dari acara ngelarung. "Kami berharap upacara ngelarung ini dapat meningkatkan hasil tangkapan ikan," seorang nelayan Tarso (55).
Sementara Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno dalam sambutannya yang dibacakan Amami Amila mengatakan dalam penglepasan larungan sebagai simbol pemberdayaan kelautan. "Pemerintah Kota akan menjadikan ngelarung sebagai paket budaya untuk pariwisata," kata dia. Padli Ramdan/K-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Juli 2008
2 Harimau segera Dilepasliarkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dua dari lima harimau sumatera yang ditranslokasi dari Aceh ke Tampang Belimbing, TNBBS, Lampung, segera dilepasliarkan. Sementara tiga lainnya masih akan ditangkar sampai dapat beradaptasi dengan hutan.
Dua harimau yang akan dilepas itu dipasang pemindai gerakan melalui global positioning satellite (GPS) di lehernya, Sabtu (12-7). Tujuannya untuk dapat mengetahui pergerakan yang dilakukan kedua satwa langka yang menjadi ikon Sumatera itu. Sehingga dapat mengantisipasi keamanan satwa itu, sekaligus keamanan warga sekitar lokasi Tampang Belimbing yang dikelola oleh PT Adi Niaga, Grup Artha Graha.
Namun untuk lebih mengantisipasi adanya hal yang dapat membahayakan harimau saat penangkaran, sejumlah kelompok pencinta alam siap mengawasi penangkaran harimau. Minggu (13-7), beberapa orang pencinta alam mengunjungi Kantor Redaksi Lampung Post usai melihat pemasangan alat pindai GPS. Mereka dari Yayasan Masyarakat Hayati Indonesia (YMHI) Almuhery Ali Paksi, Komunitas Media Konservasi Tanggamus (KMKT) Andoyo, Alas Indonesia (AI) Verry I.S., Sangga Buana Ivan Rayendra Bakar, dan dari Fratala yakni Fajar Sumantri.
Dari hasil pemeriksaan sebelum pemasangan alat pindai GPS itu, kondisi harimau yang sudah berada di Lampung sejak akhir Juni itu baik. Lima harimau itu berumur tiga sampai sembilan tahun. Untuk harimau yang paling tua, sensitif dengan pergerakan manusia, sementara yang paling muda masih perlu pengobatan khusus. Selanjutnya satu harimau terlihat masih membekas jeratan di lehernya. "Sehingga dipastikan hanya dua yang baru dapat dilepasliarkan," kata Almuhery dalam kunjungannya, kemarin.
Menurut Almuhery, hewan buas asal Aceh yang ditangkar di Tampang Belimbing TNBBS itu diyakinkan dapat hidup seperti di habibatnya. Sebab, dari banyak kawasan TNBBS, lokasi itu yang dinilai masih memungkinkan untuk menjadi habitat baru harimau itu. "Namun tetap harimau itu dipasang alat pindai agar diketahui pergerakannya. Setelah dua tahun, secara otomatis alat itu lepas dan harimaunya sudah menjelajah seluruh kawasan TNBBS," kata dia. n AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Juli 2008
Dua harimau yang akan dilepas itu dipasang pemindai gerakan melalui global positioning satellite (GPS) di lehernya, Sabtu (12-7). Tujuannya untuk dapat mengetahui pergerakan yang dilakukan kedua satwa langka yang menjadi ikon Sumatera itu. Sehingga dapat mengantisipasi keamanan satwa itu, sekaligus keamanan warga sekitar lokasi Tampang Belimbing yang dikelola oleh PT Adi Niaga, Grup Artha Graha.
Namun untuk lebih mengantisipasi adanya hal yang dapat membahayakan harimau saat penangkaran, sejumlah kelompok pencinta alam siap mengawasi penangkaran harimau. Minggu (13-7), beberapa orang pencinta alam mengunjungi Kantor Redaksi Lampung Post usai melihat pemasangan alat pindai GPS. Mereka dari Yayasan Masyarakat Hayati Indonesia (YMHI) Almuhery Ali Paksi, Komunitas Media Konservasi Tanggamus (KMKT) Andoyo, Alas Indonesia (AI) Verry I.S., Sangga Buana Ivan Rayendra Bakar, dan dari Fratala yakni Fajar Sumantri.
Dari hasil pemeriksaan sebelum pemasangan alat pindai GPS itu, kondisi harimau yang sudah berada di Lampung sejak akhir Juni itu baik. Lima harimau itu berumur tiga sampai sembilan tahun. Untuk harimau yang paling tua, sensitif dengan pergerakan manusia, sementara yang paling muda masih perlu pengobatan khusus. Selanjutnya satu harimau terlihat masih membekas jeratan di lehernya. "Sehingga dipastikan hanya dua yang baru dapat dilepasliarkan," kata Almuhery dalam kunjungannya, kemarin.
Menurut Almuhery, hewan buas asal Aceh yang ditangkar di Tampang Belimbing TNBBS itu diyakinkan dapat hidup seperti di habibatnya. Sebab, dari banyak kawasan TNBBS, lokasi itu yang dinilai masih memungkinkan untuk menjadi habitat baru harimau itu. "Namun tetap harimau itu dipasang alat pindai agar diketahui pergerakannya. Setelah dua tahun, secara otomatis alat itu lepas dan harimaunya sudah menjelajah seluruh kawasan TNBBS," kata dia. n AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Juli 2008
July 13, 2008
Kronik: Lomba Cerpen Mini DKL Diperpanjang
BANDAR LAMPUNG--Lomba Cerpen Mini yang dihelat Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung mendapat respons positif peminat sastra di Lampung. Sampai awal Juli, jumlah peserta mencapai puluhan, berasal dari Bandar Lampung dan beberapa kabupaten di Lampung. DKL menggelar lomba cipta cerpen mini untuk masyarakat umum dan pelajar se-Lampung.
"Kami tidak menyangka animo masyarakat terhadap lomba cerpen ini begitu besar. Tak lama setelah info lomba dirilis, beberapa naskah sudah masuk ke panitia. Untuk memberi kesempatan lebih lapang kepada peminat lomba, kami memperpanjang deadline sampai 31 Juli 2008 cap pos," kata ketua panitia lomba Ari Pahala Hutabarat dalam rilis yang diterima ke Lampung Post, Jumat (12-7).
Fiksi mikro (cerpen mini) merupakan ranah penulisan cerpen yang jarang dilakukan di Indonesia. Jika selama ini peminat dan pelaku penulisan lebih mengenal cerpen di media massa dan buku, lewat fiksi mikro atau cerpen mini, penulis ditantang memaksimalkan ruang yang tersedia untuk menuangkan atau memadatkan sebuah ide.
Adapun persyaratan lomba: peserta dari masyarakat umum/pelajar se-Lampung, melampirkan fotokopi kartu identitas, nama peserta tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen, biodata dilampirkan di kertas tersendiri. Tema cerpen bebas, maksimal 2 lembar kuarto/folio, naskah diketik rapi 1,5 spasi. Tiap peserta boleh mengirim maksimal 3 naskah, dan setiap naskah dikirim rangkap 4. Naskah dikirimkan ke Panitia Lomba Cerpen Mini, Dewan Kesenian Lampung, Kompleks GOR Sumpah Pemuda, Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung.
Mengenai pengumuman pemenang, selain akan dihubungi langsung oleh panitia, juga akan dipublikasikan paling lambat medio Agustus di berbagai media massa di Lampung.
Pemenang mendapat uang tunai dan piala. Juara I Rp1 juta, juara II Rp750 ribu, juara III Rp500 ribu. Karya tiga pemenang dan 17 nominasi akan dibukukan.
Selain itu, 20 nominator akan diikutsertakan dalam bengkel penulisan cerpen selama tiga hari. "Fasilitas dan akomodasi peserta bengkel penulisan ditanggung oleh panitia. Inilah komitmen kami terhadap kesinambungan sastra di Lampung. Kami ingin para peserta bengkel penulisan cerpen itu bisa terus berproses dan bersaing di tingkat lebih tinggi," tambah Ari Pahala. n P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008
"Kami tidak menyangka animo masyarakat terhadap lomba cerpen ini begitu besar. Tak lama setelah info lomba dirilis, beberapa naskah sudah masuk ke panitia. Untuk memberi kesempatan lebih lapang kepada peminat lomba, kami memperpanjang deadline sampai 31 Juli 2008 cap pos," kata ketua panitia lomba Ari Pahala Hutabarat dalam rilis yang diterima ke Lampung Post, Jumat (12-7).
Fiksi mikro (cerpen mini) merupakan ranah penulisan cerpen yang jarang dilakukan di Indonesia. Jika selama ini peminat dan pelaku penulisan lebih mengenal cerpen di media massa dan buku, lewat fiksi mikro atau cerpen mini, penulis ditantang memaksimalkan ruang yang tersedia untuk menuangkan atau memadatkan sebuah ide.
Adapun persyaratan lomba: peserta dari masyarakat umum/pelajar se-Lampung, melampirkan fotokopi kartu identitas, nama peserta tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen, biodata dilampirkan di kertas tersendiri. Tema cerpen bebas, maksimal 2 lembar kuarto/folio, naskah diketik rapi 1,5 spasi. Tiap peserta boleh mengirim maksimal 3 naskah, dan setiap naskah dikirim rangkap 4. Naskah dikirimkan ke Panitia Lomba Cerpen Mini, Dewan Kesenian Lampung, Kompleks GOR Sumpah Pemuda, Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung.
Mengenai pengumuman pemenang, selain akan dihubungi langsung oleh panitia, juga akan dipublikasikan paling lambat medio Agustus di berbagai media massa di Lampung.
Pemenang mendapat uang tunai dan piala. Juara I Rp1 juta, juara II Rp750 ribu, juara III Rp500 ribu. Karya tiga pemenang dan 17 nominasi akan dibukukan.
Selain itu, 20 nominator akan diikutsertakan dalam bengkel penulisan cerpen selama tiga hari. "Fasilitas dan akomodasi peserta bengkel penulisan ditanggung oleh panitia. Inilah komitmen kami terhadap kesinambungan sastra di Lampung. Kami ingin para peserta bengkel penulisan cerpen itu bisa terus berproses dan bersaing di tingkat lebih tinggi," tambah Ari Pahala. n P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008
Apresiasi: Merenggut Kata dan Makna dari Mala
-- Asarpin*
SUNGGUH keterlaluan bila ada yang mengaku pembaca sastra di Lampung tapi tak kenal Isbedy Stiawan Z.S. Penyair ini telah jadi bagian penting perkembangan puisi di tanah kelahirannya, bahkan di kancah nasional. Mungkin hanya Isbedy yang menghasilkan buku puisi terbanyak. Kadang-kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Sudah sepuluh buku puisi Isbedy terbit, dan terakhir buku Setiap Baris Hujan yang diterbitkan BukuPop Jakarta (Juni 2008).
Isbedy sangat teruit pada kata, walau kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, dirajam kata-kata. Sejak halaman muka buku barunya ini, kita disuguhkan pada kata sebagai personifikasi berbagai peristiwa dengan menempatkan kata sebagai kuda pedati yang mengusung makna.
Apa saja ingin jadi kata dan menyusun kalimat yang pekat. Rintik-rintik hujan jadi kalimat. Laut dan alam raya seakan menjadi sekolahnya.
Tengok saja larik puisi yang jadi judul buku analekta puisinya ini, yang melukiskan hujan dengan jernih: "pada setiap baris hujan yang jatuh, mengetuk-ketuk detak sepiku, senyummu pula menulis baris itu jadi kalimat:-cuaca khianat-". Dan sang penyair bisa mati ditenung kata. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya seperti rajutan benang-benang intuitif yang memintal kandungan
maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang antikata.
Membaca sajak-sajak Isbedy di buku ini, terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat umum. Mungkin karena pengaruh musibah yang menimpa negeri ini, dalam buku puisi ini banyak muncul tematik laut dalam konteks bencana.
Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara: kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main.
Namun ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.
Di sini jelas Isbedy tidak terpengaruh post-modernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke dalam kandungan makna melalui teruit kata-kata.
Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi? Sajak-sajak Isbedy di buku ini menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan "nilai" yang sampai.
Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referensi ke sana-kemari, mampu memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.
Isbedy memang seorang pemain di lapangan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung. Tapi kini ia harus "bersaing" ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.
Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya terpeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata. Sebagai contoh: "di bukit ini, kami disalib!" (Tanah Lot), "pantai tetap bercahaya, meski laut tak mengecupnya" (Bersama Penyair 1), "dalam keheningan kata, tercipta jalan mencapi Tuhan" atau "setiap kalimat adalah ayat-ayat" (Bersama Penyair 4), dan lain-lain.
Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya.
Dengan lirik, Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusiaan.
Isbedy konsisten dengan penampilan lirik dan larik yang koheren dan rapih. Sesekali muncul suasana melankolis, guratan kata yang keletihan dan pendakian puncak-puncak kata tak sampai-sampai, baik melalui peristiwa hujan, peristiwa di ladang tebu, lukisan yang tak transparan, ilustrasi yang berupa gambaran, yang agaknya begitu dekat dengan dunia keseharian yang tengah carut-marut.
Sebagian besar sajaknya di buku ini cukup dominan mempersoalkan realitas sosial dan bencana besar kemanusian: kemiskinan yang melaju drastis, perampasan hak atas tanah ulayat warga oleh negara, pembalakan kayu (hutan) hingga tanahnya menguning karena tandus, penindasan gaya pemerintahan model raja, pembodohan kaum paria, ketidaktanggapan pemerintah, dsb. Kalaupun ada luka, luka itu adalah luka besar kemanusiaan.
Beberapa sajak bahkan muncul kenaifan dan kepolosan tak ubahnya imajinasi infantil, misi propetik yang banal, dengan pengucapan ah-ah dan ai-ai yang khas gebalau aku lirik. Kepekaan yang berlebihan pada kata, kesadaran yang semakin merunduk, pengucapan yang matang, pola pikir yang tak berumit-rumit tapi dengan hasil pikiran yang wagu, bukanlah hal yang acak, sekonyong-konyong, melainkan masih tunduk pada aturan-aturan tentang konvensi dan struktur kata.
Sang penyair cukup intens memikirkan kata hingga menjadi plastik kata, sampai-sampai nekat ingin "mengayak pasir-garam kata", atau yakin "akan kekal bersama kata", atau "akan hidup dalam kata". Namun apa boleh buat: aku lirik pada akhirnya "tak berdaya oleh kata" (sajak Bersama Penyair 3). Lalu, setelah kata, apa? Kalimat yang menyusun arti karena "setiap kalimat adalah mukjizat" (Bersama Penyair 4) yang mampu menghadirkan dunianya sendiri.
Bersama penyair Isbedy ingin menyuling kata lagi, menjadi darah dan daging saja lagi. Untuk apa? Agar kata yang bersajak tak tersesat. Agar kata kembali menjadi doa menjadi sihir. Dan di atas segalanya: agar puisi tak mati ditikam kata.
Lagi-lagi Isbedy tak hendak menampilkan sajak antikata, karena apa artinya jika sajak justru tak berdaya. Maka pilihan Isbedy kembali merenggut kata dari mala merupakan strategi untuk mempertahankan kreativitas agar tidak mandek.
Namun, celakanya, sering kali kita temukan perbandingan sajak-sajak Isbedy dengan sajak-sajak lain dari perspektif perbandingan nilai. Seakan-akan sajak lirik lebih rendah mutunya dengan sajak puitik. Sajak antikata lebih kuat dari sajak yang menempatkan kata sebagai alat.
Memang, di tengah arus-bandang lirikisme, pilihan pada sajak tidak prosais dan tidak lirik, bisa menjadi pilihan yang segar. Saya percaya bahwa puisi liris Isbedy yang menempatkan kata sebagai segala-galanya dengan puisi yang antikata tak pantas dibandingkan dengan perspektif perbandingan nilai literer. Kedua jenis puisi ini punya kelebihan juga kekurangan pada dirinya.
Demikian pula sajak lirik dan sajak puitik, sejauh dihayati dengan perenungan dan keintiman, ia bisa berpeluang sebagai sajak berhasil.
n Asarpin, Pembaca sastraA
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008
SUNGGUH keterlaluan bila ada yang mengaku pembaca sastra di Lampung tapi tak kenal Isbedy Stiawan Z.S. Penyair ini telah jadi bagian penting perkembangan puisi di tanah kelahirannya, bahkan di kancah nasional. Mungkin hanya Isbedy yang menghasilkan buku puisi terbanyak. Kadang-kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Sudah sepuluh buku puisi Isbedy terbit, dan terakhir buku Setiap Baris Hujan yang diterbitkan BukuPop Jakarta (Juni 2008).
Isbedy sangat teruit pada kata, walau kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, dirajam kata-kata. Sejak halaman muka buku barunya ini, kita disuguhkan pada kata sebagai personifikasi berbagai peristiwa dengan menempatkan kata sebagai kuda pedati yang mengusung makna.
Apa saja ingin jadi kata dan menyusun kalimat yang pekat. Rintik-rintik hujan jadi kalimat. Laut dan alam raya seakan menjadi sekolahnya.
Tengok saja larik puisi yang jadi judul buku analekta puisinya ini, yang melukiskan hujan dengan jernih: "pada setiap baris hujan yang jatuh, mengetuk-ketuk detak sepiku, senyummu pula menulis baris itu jadi kalimat:-cuaca khianat-". Dan sang penyair bisa mati ditenung kata. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya seperti rajutan benang-benang intuitif yang memintal kandungan
maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang antikata.
Membaca sajak-sajak Isbedy di buku ini, terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat umum. Mungkin karena pengaruh musibah yang menimpa negeri ini, dalam buku puisi ini banyak muncul tematik laut dalam konteks bencana.
Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara: kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main.
Namun ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.
Di sini jelas Isbedy tidak terpengaruh post-modernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke dalam kandungan makna melalui teruit kata-kata.
Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi? Sajak-sajak Isbedy di buku ini menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan "nilai" yang sampai.
Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referensi ke sana-kemari, mampu memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.
Isbedy memang seorang pemain di lapangan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung. Tapi kini ia harus "bersaing" ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.
Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya terpeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata. Sebagai contoh: "di bukit ini, kami disalib!" (Tanah Lot), "pantai tetap bercahaya, meski laut tak mengecupnya" (Bersama Penyair 1), "dalam keheningan kata, tercipta jalan mencapi Tuhan" atau "setiap kalimat adalah ayat-ayat" (Bersama Penyair 4), dan lain-lain.
Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya.
Dengan lirik, Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusiaan.
Isbedy konsisten dengan penampilan lirik dan larik yang koheren dan rapih. Sesekali muncul suasana melankolis, guratan kata yang keletihan dan pendakian puncak-puncak kata tak sampai-sampai, baik melalui peristiwa hujan, peristiwa di ladang tebu, lukisan yang tak transparan, ilustrasi yang berupa gambaran, yang agaknya begitu dekat dengan dunia keseharian yang tengah carut-marut.
Sebagian besar sajaknya di buku ini cukup dominan mempersoalkan realitas sosial dan bencana besar kemanusian: kemiskinan yang melaju drastis, perampasan hak atas tanah ulayat warga oleh negara, pembalakan kayu (hutan) hingga tanahnya menguning karena tandus, penindasan gaya pemerintahan model raja, pembodohan kaum paria, ketidaktanggapan pemerintah, dsb. Kalaupun ada luka, luka itu adalah luka besar kemanusiaan.
Beberapa sajak bahkan muncul kenaifan dan kepolosan tak ubahnya imajinasi infantil, misi propetik yang banal, dengan pengucapan ah-ah dan ai-ai yang khas gebalau aku lirik. Kepekaan yang berlebihan pada kata, kesadaran yang semakin merunduk, pengucapan yang matang, pola pikir yang tak berumit-rumit tapi dengan hasil pikiran yang wagu, bukanlah hal yang acak, sekonyong-konyong, melainkan masih tunduk pada aturan-aturan tentang konvensi dan struktur kata.
Sang penyair cukup intens memikirkan kata hingga menjadi plastik kata, sampai-sampai nekat ingin "mengayak pasir-garam kata", atau yakin "akan kekal bersama kata", atau "akan hidup dalam kata". Namun apa boleh buat: aku lirik pada akhirnya "tak berdaya oleh kata" (sajak Bersama Penyair 3). Lalu, setelah kata, apa? Kalimat yang menyusun arti karena "setiap kalimat adalah mukjizat" (Bersama Penyair 4) yang mampu menghadirkan dunianya sendiri.
Bersama penyair Isbedy ingin menyuling kata lagi, menjadi darah dan daging saja lagi. Untuk apa? Agar kata yang bersajak tak tersesat. Agar kata kembali menjadi doa menjadi sihir. Dan di atas segalanya: agar puisi tak mati ditikam kata.
Lagi-lagi Isbedy tak hendak menampilkan sajak antikata, karena apa artinya jika sajak justru tak berdaya. Maka pilihan Isbedy kembali merenggut kata dari mala merupakan strategi untuk mempertahankan kreativitas agar tidak mandek.
Namun, celakanya, sering kali kita temukan perbandingan sajak-sajak Isbedy dengan sajak-sajak lain dari perspektif perbandingan nilai. Seakan-akan sajak lirik lebih rendah mutunya dengan sajak puitik. Sajak antikata lebih kuat dari sajak yang menempatkan kata sebagai alat.
Memang, di tengah arus-bandang lirikisme, pilihan pada sajak tidak prosais dan tidak lirik, bisa menjadi pilihan yang segar. Saya percaya bahwa puisi liris Isbedy yang menempatkan kata sebagai segala-galanya dengan puisi yang antikata tak pantas dibandingkan dengan perspektif perbandingan nilai literer. Kedua jenis puisi ini punya kelebihan juga kekurangan pada dirinya.
Demikian pula sajak lirik dan sajak puitik, sejauh dihayati dengan perenungan dan keintiman, ia bisa berpeluang sebagai sajak berhasil.
n Asarpin, Pembaca sastraA
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)