Oleh Anastasia Gustiarini
SUATU malam, terjadi perbincangan seru antara Udo Z. Karzi dan beberapa orang tentang tradisi belangir yang baru saja digelar Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
BUKU 'MAMAK KENUT'. Buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi, jurnalis dan sastrawan Lampung (kiri) diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu (14-7). Buku ini dibahas oleh budayawan Iwan Nurdaya-Djafar (tengah) dan Iswadi Pratama (kanan). ISTIMEWA
Pembicaraan lebih didominasi Udo. Dia langsung mengkritik acara mandi bersama di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, ini. Ia menilai belangir yang digelar "dengan sponsor" itu sudah menyimpang dari esensi tradisi menyucikan diri menjelang Ramadan.
Dia pun mempertanyakan mengapa belangiran dicampur antara perempuan dan laki-laki, padahal bukan muhrim? Orang Lampung dahulu, mandi di kali, memisahkan diri antara perempuan dan laki-laki. Ada tempat sendiri-sendiri.
"Masak perempuan dimandikan laki-laki yang bukan muhrimnya, tradisi apa itu? Bulan puasa yang seharusnya menyucikan rohani justru diisi dengan acara yang jauh dari ajaran Islam yang memang lekat dengan orang Lampung," katanya.
Ocehan dan sindiran khas Udo mengalir begitu saja. Orang sekitarnya pun hanya mendengar. Barangkali jika sindiran tentang belangiran ditulis, sudah bisa menjadi satu esai untuk mengisi kolom di Lampung Post, tempatnya bekerja.
Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi, memang menjadi salah satu jurnalis yang produktif menulis kolom. Dan, baru-baru ini pun dia melahirkan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang berisi 101 kolom yang dimuat di Nuansa Lampung Post 2002—2004. Buku yang yang diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, ini diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, 14 Juli lalu.
Lewat tokoh-tokoh dalam tulisannya, Udo menyampaikan kritik atas berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Lewat karakter Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur; sentilan, candaan, sindiran, hingga kritik yang sangat pedas dan menohok mengalir deras.
Apa yang disampaikan secara lisan oleh Udo, hampir sama dengan apa yang dia sampaikan melalui tulisan kolomnya. Begitulah gaya udo menyampaikan kegelisahan dan kekhawatirannya. Lisan dan tulisannya begitu padat dan hidup.
Seperti apa yang disampaikan Djadjat Sudradjat, membaca Mamak Kenut terasa kental jejak tradisi lisan (orality tradition). Dialog yang ringan dengan bahasa sehari-hari, kebiasaan celoteh yang memang hidup di bumi Sumatera khususnya dan nusantara umumnya.
Kolom Udo yang berisi dialog—terkadang monolog dan senandika—di antara Mamak Kenut dan beberapa rekannya yang lain memang kental dengan tradisi lisan Lampung. Obrolan ringan dan santai tentang permasalahan sosial-politik. "Udo ingin menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung, warahan, yang sudah mulai dilupakan. Udo berupaya untuk menyelamatkan spirit warahan dalam kehidupan saat ini," tulis Djadjat dalam pengantarnya di buku ini.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lampung sering diselipkan dalam beberapa dialog guna menunjukkan kekhasan obrolan ringan-ringan kelas bawah orang Lampung. Misalnya, induh mak pandai (entah tidak tahu), api maksudni (apa maksudnya). Sisipan ini untuk menguatkan karakter tokoh yang berdialog dan mengentalkan Lampung-nya.
Tokoh yang dipinjam Udo, Mamak Kenut, pun sebenarnya karakter yang sudah lama dikenal masyarakat Lampung. Tokoh ini seperti Kabayan di Jawa Barat atau Abu Nawas dalam kisah Seribu Satu Malam. Dia ingin menghidupkan kembali tokoh fiktif dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung.
Fachrudin M. Dani dalam blognya menulis, "Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus memopulerkan kembali tokoh khayalan ini."
Djadjat menyebut Udo sebagai generasi yang berkehendak menyelamatkan yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Karena memang ia punya hak.
Kolom Udo memang selalu kontekstual dengan kondisi pada saat tulisan itu dibuat. Peristiwa seputar pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, kasus korupsi, kondisi sosial politik di Lampung dan terkadang juga nasional menjadi bahan celoteh yang asyik di tangannya.
Kesan to the point, sangat kental dalam tulisan penyair yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 ini. Kata-katanya langsung menohok dan tanpa basa-basi. Seperti, "Tapi kok siger? Siger itu bagaimana pun lambang feminisme. Tidak maskulin. Apa enggak ada yang netral yang bisa mewakili kita semua tanpa membedakan pria dan wanita?" (hlm. 187)
Atau, "Gaji anggota DPRD yang berjumlah 45 orang dinaikkan, sementara ratusan orang yang yang biasa hidup mandiri tanpa meminta jatah PAD dan DAU, PKL dan tukang becak harus ditertibkan." (hlm. 23)
Menurut budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, kolom Udo bertolak dari semangat menyindir. Sebagai sindiran, dia tidak menggunakan perumpamaan, tetapi langsung menembak ke pokok masalah.
Seniman Iswadi Pratama menilai buku Udo merupakan bacaan ringan tapi memiliki daya usik. Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan peristiwa di sekitar yang mengusik nurani serta akal sehat. Buku Mamak Kenut ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas.
Iswadi menilai tulisan Udo mencoba menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung yang selama ini kurang mendapat tempat. Budaya lisan yang berkata sesukanya dan apa adanya ini sudah mulai ditinggalkan dan sudah jarang ditemukan di Lampung. Padahal tradisi lisan ketika diangkat dalam sebuah pentas teater banyak mendapat apresiasi.
Kita patut berbangga masih ada beberapa orang yang masih mau berkarya dengan mengangkat khazanah lokal supaya kembali dikenal dan diperbincangkan. Mengenal tradisi sangat penting supaya tahu di mana kita berasal dan apa yang hendak kita lakukan.
Sedikit banyak karakter orang Lampung terekam dalam tingkah polah dan ucapan Mamak Kenut dkk. lewat pena Udo Z. Karzi. Maka, kenalilah Mamak Kenut biar tidak cenat-cenut. n
Anastasia Gustiarini, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012
SUATU malam, terjadi perbincangan seru antara Udo Z. Karzi dan beberapa orang tentang tradisi belangir yang baru saja digelar Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
BUKU 'MAMAK KENUT'. Buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi, jurnalis dan sastrawan Lampung (kiri) diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu (14-7). Buku ini dibahas oleh budayawan Iwan Nurdaya-Djafar (tengah) dan Iswadi Pratama (kanan). ISTIMEWA
Pembicaraan lebih didominasi Udo. Dia langsung mengkritik acara mandi bersama di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, ini. Ia menilai belangir yang digelar "dengan sponsor" itu sudah menyimpang dari esensi tradisi menyucikan diri menjelang Ramadan.
Dia pun mempertanyakan mengapa belangiran dicampur antara perempuan dan laki-laki, padahal bukan muhrim? Orang Lampung dahulu, mandi di kali, memisahkan diri antara perempuan dan laki-laki. Ada tempat sendiri-sendiri.
"Masak perempuan dimandikan laki-laki yang bukan muhrimnya, tradisi apa itu? Bulan puasa yang seharusnya menyucikan rohani justru diisi dengan acara yang jauh dari ajaran Islam yang memang lekat dengan orang Lampung," katanya.
Ocehan dan sindiran khas Udo mengalir begitu saja. Orang sekitarnya pun hanya mendengar. Barangkali jika sindiran tentang belangiran ditulis, sudah bisa menjadi satu esai untuk mengisi kolom di Lampung Post, tempatnya bekerja.
Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi, memang menjadi salah satu jurnalis yang produktif menulis kolom. Dan, baru-baru ini pun dia melahirkan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang berisi 101 kolom yang dimuat di Nuansa Lampung Post 2002—2004. Buku yang yang diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, ini diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, 14 Juli lalu.
Lewat tokoh-tokoh dalam tulisannya, Udo menyampaikan kritik atas berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Lewat karakter Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur; sentilan, candaan, sindiran, hingga kritik yang sangat pedas dan menohok mengalir deras.
Apa yang disampaikan secara lisan oleh Udo, hampir sama dengan apa yang dia sampaikan melalui tulisan kolomnya. Begitulah gaya udo menyampaikan kegelisahan dan kekhawatirannya. Lisan dan tulisannya begitu padat dan hidup.
Seperti apa yang disampaikan Djadjat Sudradjat, membaca Mamak Kenut terasa kental jejak tradisi lisan (orality tradition). Dialog yang ringan dengan bahasa sehari-hari, kebiasaan celoteh yang memang hidup di bumi Sumatera khususnya dan nusantara umumnya.
Kolom Udo yang berisi dialog—terkadang monolog dan senandika—di antara Mamak Kenut dan beberapa rekannya yang lain memang kental dengan tradisi lisan Lampung. Obrolan ringan dan santai tentang permasalahan sosial-politik. "Udo ingin menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung, warahan, yang sudah mulai dilupakan. Udo berupaya untuk menyelamatkan spirit warahan dalam kehidupan saat ini," tulis Djadjat dalam pengantarnya di buku ini.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lampung sering diselipkan dalam beberapa dialog guna menunjukkan kekhasan obrolan ringan-ringan kelas bawah orang Lampung. Misalnya, induh mak pandai (entah tidak tahu), api maksudni (apa maksudnya). Sisipan ini untuk menguatkan karakter tokoh yang berdialog dan mengentalkan Lampung-nya.
Tokoh yang dipinjam Udo, Mamak Kenut, pun sebenarnya karakter yang sudah lama dikenal masyarakat Lampung. Tokoh ini seperti Kabayan di Jawa Barat atau Abu Nawas dalam kisah Seribu Satu Malam. Dia ingin menghidupkan kembali tokoh fiktif dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung.
Fachrudin M. Dani dalam blognya menulis, "Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus memopulerkan kembali tokoh khayalan ini."
Djadjat menyebut Udo sebagai generasi yang berkehendak menyelamatkan yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Karena memang ia punya hak.
Kolom Udo memang selalu kontekstual dengan kondisi pada saat tulisan itu dibuat. Peristiwa seputar pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, kasus korupsi, kondisi sosial politik di Lampung dan terkadang juga nasional menjadi bahan celoteh yang asyik di tangannya.
Kesan to the point, sangat kental dalam tulisan penyair yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 ini. Kata-katanya langsung menohok dan tanpa basa-basi. Seperti, "Tapi kok siger? Siger itu bagaimana pun lambang feminisme. Tidak maskulin. Apa enggak ada yang netral yang bisa mewakili kita semua tanpa membedakan pria dan wanita?" (hlm. 187)
Atau, "Gaji anggota DPRD yang berjumlah 45 orang dinaikkan, sementara ratusan orang yang yang biasa hidup mandiri tanpa meminta jatah PAD dan DAU, PKL dan tukang becak harus ditertibkan." (hlm. 23)
Menurut budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, kolom Udo bertolak dari semangat menyindir. Sebagai sindiran, dia tidak menggunakan perumpamaan, tetapi langsung menembak ke pokok masalah.
Seniman Iswadi Pratama menilai buku Udo merupakan bacaan ringan tapi memiliki daya usik. Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan peristiwa di sekitar yang mengusik nurani serta akal sehat. Buku Mamak Kenut ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas.
Iswadi menilai tulisan Udo mencoba menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung yang selama ini kurang mendapat tempat. Budaya lisan yang berkata sesukanya dan apa adanya ini sudah mulai ditinggalkan dan sudah jarang ditemukan di Lampung. Padahal tradisi lisan ketika diangkat dalam sebuah pentas teater banyak mendapat apresiasi.
Kita patut berbangga masih ada beberapa orang yang masih mau berkarya dengan mengangkat khazanah lokal supaya kembali dikenal dan diperbincangkan. Mengenal tradisi sangat penting supaya tahu di mana kita berasal dan apa yang hendak kita lakukan.
Sedikit banyak karakter orang Lampung terekam dalam tingkah polah dan ucapan Mamak Kenut dkk. lewat pena Udo Z. Karzi. Maka, kenalilah Mamak Kenut biar tidak cenat-cenut. n
Anastasia Gustiarini, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012