Oleh Hardi Hamzah
TRANSFORMASI sosial bagi seorang Udo Z. Karzi, tampaknya bukanlah sekadar fenomenal, melainkan ia lebih banyak memandangnya sebagai ruas kehidupan yang mengasyikkan.
Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.
Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.
Promosi Lampung
Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.
Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.
Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.
Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.
Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.
Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.
Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.
Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.
Telur Kebudayaan
Kendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.
Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.
Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.
Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.
Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.
Hardi Hamzah, Peneliti Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012
TRANSFORMASI sosial bagi seorang Udo Z. Karzi, tampaknya bukanlah sekadar fenomenal, melainkan ia lebih banyak memandangnya sebagai ruas kehidupan yang mengasyikkan.
Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.
Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.
Promosi Lampung
Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.
Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.
Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.
Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.
Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.
Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.
Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.
Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.
Telur Kebudayaan
Kendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.
Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.
Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.
Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.
Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.
Hardi Hamzah, Peneliti Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012
No comments:
Post a Comment