SAMBIL menikmati durian yang jatuh dari pohon (bukan peraman), kicau aneka jenis burung hutan memanjakan telinga kita. Tak jarang mata kita menangkap langsung cengkrama burung-burung dengan keindahan warna bulunya itu. Sepoi angin menyapu penat dan letih. Rindang beragam pepohonan tua membuat kita tetap terlindung dari panas meski pada siang terik.
Bagi Anda yang ingin istirahat (leyah-leyeh) sambil minum kopi di sekitar sini juga banyak kedai sederhana lengkap dengan bale-bale bambu yang memanggil tubuh menghempaskan segala penat. Kalau tidak ada teman perjalanan, bisa-bisa Anda akan kebablasan dalam dengkur. Perjalanan masih jauh, kawan. Segera kemasi barang-barang, kita lanjutkan. Sebagian letih telah tanggal, energi baru kita bawa hingga tujuan.
Jalan terus mendaki, bagi Anda yang mengemudi harus ekstrakonsentrasi.
Bagi yang tidak mengemudi, pesona lembah hijau dengan ngarai-ngarai menawan membuat kita serasa di antara pesona alam yang ada pada film-film India. Serupa terbang menjumput awan-awan putih di pucuk bukit yang terus kita daki.
Kendaraan terus merayap pada jalan yang berkelok dan mendaki. Sesekali lanskap biru laut masih bisa kita nikmati, bergantian dengan ngarai dan gubuk-gubuk di pinggir jalan. Sekali lagi, Anda harus ekstrahati-hati. Di daerah ini, meski sering diperbaiki, karena tekstur tanah tidak padat, jalan sering rusak. Banyaknya jejak kendaraan bertonase berat membuat jalan semakin rapuh, becek, dan licin, tak jarang membentuk kubangan, terutama di beberapa tanjakan yang menikung. Dan, perjalanan semakin menawarkan tantangan bagi para petualang. Bagi yang baru pertama melalui jalan ini, siapkan mental, supaya tidak sering terkejut dengan ngarai yang begitu curam tepat di bawah jalan yang Anda lintasi, sedangkan lebar jalan hanya cukup untuk dua mobil yang berpapasan.
Nuansa TNBBS
Setelah menyibak beberapa bukit, alasroban menawarkan nuansa yang berbeda. Tugu tapal batas menandakan telah memasuki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) teguh berdiri. Hutan rimba ini lengkap dengan pohon-pohon tua berbagai jenis yang berumur ratusan tahun. Bukan hanya jenis meranti yang banyak tumbuh di TNBBS, jenis semak dan berbagai rerumputan, bahkan di pedalaman TNBBS hutan lumut pun ada. Tapi, ingat ini TNBBS, jika ada kepentingan masuk TNBBS harus minta izin pada pihak Balai TNBBS.
Mamasuki TNBBS serasa ada di Kebun Raya Bogor, hawa sejuk bahkan dingin merayap membuat tangan reflek merapatkan jaket. Rimbunan pepohonan besar di kiri kanan membuat perjalanan serasa berada di dalam lorong, sedikit gelap dan kadang kehilangan arah mata angin karena matahari tidak tampak.
Jika musim gajah lewat, kita akan mendapati jejaknya, berupa kotoran, atau rusaknya tumbuhan ketus yang banyak tumbuh di pingir jalan. Tak jarang juga kita menemui tarisus, primata dengan ukurannya lebih kecil dari monyet yang bersarang di tumbuhan ketus ini. Telinga kita juga akan menangkap riuh suara kera, kicau burung, atau keresak binatang buas yang berdiam di hutan ini. Yang tak henti-hentinya kita dengar, suara cenggerek, bersautan dengan lengking memekakkan telinga, selain elang dan rangkong, yang sesekali melintas. Yang membuat ngeri, auman binatang buas, seolah hendak mendekat ke jalan yang kita lintasi. Tak jarang kita berpapasan dengan ular yang melintas di jalan.
Jika melintas pada petang atau malam hari, suara binatang buas semakin ramai, dari srigala, hariau, lennguh gajah, katak bertanduk, burung hantu, simpanse, bersautan menyambut malam.
Tapi sejak dibukanya jalur ini, menurut penelitian WWF, habitat satwa di hutan ini terganggu. Kini pada rasdius lima kilo meter di kiri kanan jalan, yang semula banyak ditemui kubangan badak aktif kini tak ada lagi. Badak penghuni hutan yang jumlahnya sekitar 50--60 ekor, kini mesuk ke hutan bagian dalam karena terganggu bisingnya kendaraaan. Selain itu, jalur lintas gajah aktif yang semula jumlahnya sebilan jalur, kini tinggal tiga jalur aktif. Gajah yang jumlahnya sekitar empat ratus ekor di dalam hutan ini, kini pun menghindar dari kebisingan.
Meskipun hewan-hewan yang dilindungi ini jarang terihat lagi dari posisi jalur utama, kegarangan TNBBS masih membuat nyali ciut jika melintas sendirian. Jika onderdil kendaraan Anda tidak siap jalan sebelum memasuki hutan ini, jangan melanjutkan perjalanan. Sebab, Anda akan melintasi hutan ini sejauh 11,5 kilo meter. Bagi Anda yang telah siap, nikmatilah petualangan indah di jalan TNBBS.
Keluar dari alasroban, perumahan penduduk dengan tanaman pertanian di kanan-kiri rumah, membuat napas lega. Penduduk di Pekon Pemerihan, Kecamatan Bengkunat, yang kita temui umpama saudara lama yang kita rindukan setelah sekian waktu terperangkap di hutan. Ini adalah wilayah paling selatan di Pesisir Krui. Untuk menuju pusat Kota Krui, masih diperlukan tiga jam perjalanan dengan sepeda motor atau mobil.
Setelah melewati perkampungan ini, Pasar Way Heni adalah tempat yang tepat untuk beristirahat. Di sini banyak warung-warung makan tradisional yang menyuguhkan masakan khas sekaligus keramahan pelayannya. Jika Anda melintas pada hari Senin atau Jumat pada masa panen raya, puluhan bahkan ratusan iring-iringan gerobak dari Way Haru manjadi tontonan yang menakjubkan.
Repong dan Rumah Adat
Setelah puas beristirahat, perjalanan kita lanjutkan melintasi rumah-rumah adat di kiri kanan jalan. Setiap rumah diantarai tanaman palawija. Di belakang tanaman palawija, kebun lada, cengkih, dan kopi menjadi pemandangan yang menentramkan hati. Ini adalah gambaran wilayah yang didendangkan dalam lagu Sang Bumi Rawa Jurai; Ki gham haga bughasan, hujauni pumandangan, kupi lada di pumatang. Api lagi cengkihni telambun beghuntaian tandani kemakmuran.
Pamandangan ini diantarai repong damar sebagai tanaman khas pesisir Krui. Barisan pohon tinggi dengan lubang untuk menderes getah damar manjadi pemandangan yang mudah dijumpai. Rimbun kebun yang menyerupai hutan ini adalah warisan turun-temurun masyarakat adat di pesisir Krui. Perempuan pemanjat dan pengojek damar lengkap dengan bebalang yang tidak kita jumpai di daerah lain mengundang decak kagum. Betapa tangguhnya perempuan-perempuan di sini.
Pemandangan di atas kita dapati di wilayah Ngaras--Ngambur--Marang.
Di daerah ini juga terdapat kampung tua dengan rumah-rumah panggung, menggerombol di antara luasnya persawahan dan gugusan repong damar yang menawan. Di sepanjang jalan ini kita juga akan menjumpai keindahan pantai. Pantai Melasi dan Pantai Ngambur seperti melambai-lambai mengandang kita untuk singgah. Dengan kondidi tubuh yang semakin lelah, Anda bisa tertidur karena semilirnya angin pantai dan suara debur ombak. Bagi Anda yang tetap terjaga, hempasan ombak laut lepas menawarkan pesona tersendiri.
Memasuki wilayah Biha, pesona pantai di antara rumah-rumah adat masih menjadi pemandangan utama, Pantai Way Jambu dan Pantai Tanjung Setia, menjadi catatan untuk disinggahi di lain waktu.
Mamasuki wilayah Tenumbang, Way Suluh, dan Way Napal kita akan mendapati lagi hamparan persawahan di antara rumah-rumah adat. Gemuruh ombak masih menemani perjalanan kita.
Di Way Napal, sempatkan menengok ke kanan, pada sebuah rumah punyimbang adat yang berdiri kokoh meski telah berumur ratusan tahun. Meski terlihat sepintas, rumah ini mengundang decak kagum karena keetnikannya dan berbeda dengan rumah-rumah panggung yang lain.
Kendaraan terus melaju. Tanpa terasa kita telah sampai di Pasar Krui. Di sini kita bisa mengempas segala penat, karena telah sampai tujuan atau akan singgah di penginapan yang tersebar di sekitar pasar.
Di sini kadang kita merasakan angin pantai dan sejuknya pegunungan membuat istirahat Anda semakin berwarna. Selain banyak pantai yang siap memanjakan diri Anda, di antaranya Pantai Mandiri, Pantai Walur, Pantai Selalau.
Di pantai ini kita tidak hanya bisa duduk manis memandang indahnya semesta, ombak yang menggunung sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan untuk bermain selancar. Di Pantai ini banyak turis-turis dan wisatawan lokal yang menghabiskan waktu di antara gelombang.
Ya, rihat sebentar. Sebab, sebenarnya dari sini, kita tinggal memilih hendak ke mana lagi untuk menikmati testinasi alam Lampung Barat lainnya. n SUSILOWATI/N-2.
Catatan:
Jalan trans-Sumatera di Lampung memiliki lima jalur alternatif, yaitu jalan lintas pantai timur (jalinpantim), jalan lintas timur (jalintim), jalan lintas tengah (jalinteng), jalan lintas barat (jalinbar), dan jalan lintas pantai barat (jalinpanbar). Dalam dua tulisan ini yang dimaksudkan adalah jalinpanbar, sehingga ada perubahan judul pada tulisan bagian kedua ini.
January 31, 2009
January 29, 2009
Warga Diajak Duking Pariwisata
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengelola tempat wisata harus menjadi ujung tombak menciptakan masyarakat sadar wisata karena mereka memiliki peluang berhubungan langsung dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, warga dapat mendukung program Visit Lampung Year 2009.
Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Lukmansyah mengatakan hal tersebut, Rabu (28-1). Menurut dia, pengelola tempat wisata juga sangat berkepentingan dengan masyarakat sekitar sehingga warga dapat mendukung program kunjungan wisata ke Lampung.
"Salah satu teori yang dapat diambil untuk pemberdayaan dan menciptakan sadar wisata adalah teori ekonomi 'kantong asing'," kata Lukmansyah, mendampingi Kadis M. Natsir Ary di ruang kerjanya, kemarin. Teori "kantong asing", kata Lukman, adalah yang paling tepat untuk mengambil dukungan masyarakat. Dengan teori itu, pengelola wisata dapat melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan.
"Bukan hanya mengajak masyarakat bekerja di tempat wisata, melainkan juga bisa mengajak mereka memeriahkan kegiatan di sana," kata dia.
Terbukti, salah satunya yang dilakukan pengelola tempat wisata Ombak Indah di kawasan Tanjung Setia, Karang Nyimbor, Lampung Barat. Pengelola di sana selalu mengajak masyarakat setiap menerima wisatawan sehingga mereka juga sangat antusias mendukung program kunjungan tempat wisata itu.
"Biasanya pengelola wisata di sana mengundang siswa sekolah dasar untuk menari saat menyambut wisatawan. Terbukti masyarakat mendukung dari segi keamanan tempat wisata maupun wisatawannya," kata dia.
Sebelumnya, pengelola tempat wisata Ombak Indah, Naff Siagian, mengatakan selalu melibatkan masyarakat. Selain juga mengakomodasi apapun usulan warga, tentunya dengan berbagai pertimbangan.
"Dukungan warga sangat terasa membantu kami," kata Naff yang didampingi istrinya, Ani, di lokasi wisatanya, Senin (26-1). n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 Januari 2009
Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Lukmansyah mengatakan hal tersebut, Rabu (28-1). Menurut dia, pengelola tempat wisata juga sangat berkepentingan dengan masyarakat sekitar sehingga warga dapat mendukung program kunjungan wisata ke Lampung.
"Salah satu teori yang dapat diambil untuk pemberdayaan dan menciptakan sadar wisata adalah teori ekonomi 'kantong asing'," kata Lukmansyah, mendampingi Kadis M. Natsir Ary di ruang kerjanya, kemarin. Teori "kantong asing", kata Lukman, adalah yang paling tepat untuk mengambil dukungan masyarakat. Dengan teori itu, pengelola wisata dapat melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan.
"Bukan hanya mengajak masyarakat bekerja di tempat wisata, melainkan juga bisa mengajak mereka memeriahkan kegiatan di sana," kata dia.
Terbukti, salah satunya yang dilakukan pengelola tempat wisata Ombak Indah di kawasan Tanjung Setia, Karang Nyimbor, Lampung Barat. Pengelola di sana selalu mengajak masyarakat setiap menerima wisatawan sehingga mereka juga sangat antusias mendukung program kunjungan tempat wisata itu.
"Biasanya pengelola wisata di sana mengundang siswa sekolah dasar untuk menari saat menyambut wisatawan. Terbukti masyarakat mendukung dari segi keamanan tempat wisata maupun wisatawannya," kata dia.
Sebelumnya, pengelola tempat wisata Ombak Indah, Naff Siagian, mengatakan selalu melibatkan masyarakat. Selain juga mengakomodasi apapun usulan warga, tentunya dengan berbagai pertimbangan.
"Dukungan warga sangat terasa membantu kami," kata Naff yang didampingi istrinya, Ani, di lokasi wisatanya, Senin (26-1). n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 Januari 2009
January 27, 2009
Surat Pembaca: Kerajaan Skala Brak
SETELAH membaca artikel Media Indonesia, 28 November 2008 halaman 7 rubrik Nusantara tentang Kerajaan Skala Brak, sebagai putra asli Lampung Barat yang telah tinggal di Jakarta, saya berterima kasih kepada Media Indonesia sudah mau memberi ruang bagi salah satu bagian sejarah daerah Lampung yang masih ada.
Namun, di balik itu, saya merasa miris dan sedih karena kerajaan yang terbukti masih memiliki sistem pemerintahan, pengamanan, rakyat, peninggalan berupa situs-situs di Lampung Barat, nyaris tidak dikenal warga Lampung sendiri terutama generasi muda. Apalagi masyarakat luar daerah ini.
Ada kesan tidak ada kemauan pemerintah daerah khususnya Pemprov Lampung menjadikan Kerajaan Skala Brak sebagai kekayaan budaya, bahkan aset bagi kunjungan pariwisata daerah.
Sebab, setahu saya tidak ada dalam agenda wisata Pemprov Lampung yang mencantumkan kunjungan wisata ke Kerajaan Skala Brak yang kini masih memiliki pemimpin yang disebut sultan dan istana yang menyimpan kekayaan situs budaya yang tak ternilai harganya.
Kondisi ini berbeda dengan sejumlah daerah di Nusantara yang memilki kerajaan yang masih lengkap dengan sistem pemerintahannya atau kerajaan yang tinggal situsnya saja. Pemerintah daerah tersebut dengan gencar memperkenalkan kerajaan maupun peninggalan sebagai kekayaan budaya untuk dijadikan citra daerah yang pantas diketahui oleh semua orang, baik wisatawan maupun peneliti. Bahkan, kekayaan ini dipelihara agar tidak punah.
Dengan alasan tersebut, saya berharap Pemprov Lampung, Pemkab Lampung Barat khususnya, maupun pemerintah daerah lainnya di Lampung bersatu menjadikan Kerajaan Skala Brak sebagai citra daerah Lampung.
Kami mengimbau siapa pun kepala daerah, baik putera daerah atau etnis lain agar Kerajaan Skala Brak didihidupkan bukan dimatikan. Terima kasih.
Fahrizal Ibrahim
Putra Asli Lambar
Sumber: Lampung Post, 24 Januari 2008
Namun, di balik itu, saya merasa miris dan sedih karena kerajaan yang terbukti masih memiliki sistem pemerintahan, pengamanan, rakyat, peninggalan berupa situs-situs di Lampung Barat, nyaris tidak dikenal warga Lampung sendiri terutama generasi muda. Apalagi masyarakat luar daerah ini.
Ada kesan tidak ada kemauan pemerintah daerah khususnya Pemprov Lampung menjadikan Kerajaan Skala Brak sebagai kekayaan budaya, bahkan aset bagi kunjungan pariwisata daerah.
Sebab, setahu saya tidak ada dalam agenda wisata Pemprov Lampung yang mencantumkan kunjungan wisata ke Kerajaan Skala Brak yang kini masih memiliki pemimpin yang disebut sultan dan istana yang menyimpan kekayaan situs budaya yang tak ternilai harganya.
Kondisi ini berbeda dengan sejumlah daerah di Nusantara yang memilki kerajaan yang masih lengkap dengan sistem pemerintahannya atau kerajaan yang tinggal situsnya saja. Pemerintah daerah tersebut dengan gencar memperkenalkan kerajaan maupun peninggalan sebagai kekayaan budaya untuk dijadikan citra daerah yang pantas diketahui oleh semua orang, baik wisatawan maupun peneliti. Bahkan, kekayaan ini dipelihara agar tidak punah.
Dengan alasan tersebut, saya berharap Pemprov Lampung, Pemkab Lampung Barat khususnya, maupun pemerintah daerah lainnya di Lampung bersatu menjadikan Kerajaan Skala Brak sebagai citra daerah Lampung.
Kami mengimbau siapa pun kepala daerah, baik putera daerah atau etnis lain agar Kerajaan Skala Brak didihidupkan bukan dimatikan. Terima kasih.
Fahrizal Ibrahim
Putra Asli Lambar
Sumber: Lampung Post, 24 Januari 2008
Bukan Mimpi, Sekala Brak Memang masih Ada
Oleh Shanty Sibarani
KEJAYAANNYA banyak menguap oleh waktu, tapi kerajaan ini belum pernah mati dari Bumi Sang Rua Jurai.
DI dalam buku The History of Sumatera (1779), William Marsdn sebagai penulis memaparkan temuan terkait dengan masyarakat di Lampung. Adalah kerajaan bernama Sekala Brak yang terbentuk sekitar abad ke-3 dengan Raja Buay Tumi yang ia korelasikan dengan peradaban awal daerah ini. Juga soal tersusunnya aksara dan angka tersendiri yang sudah kuno, disebut Had Lampung.
Perkembangannya berawal dari daratan Belalau di selatan Danau Ranau yang berdekatan dengan Gunung Persagi, atau wilayah administratif Lampung Barat, Sumatra Selatan, yang sekarang. Dengan mengikuti aliran sungai, penduduk kerajaan ini kemudian mengalami perpindahan dari waktu ke waktu. Menuju Way Sekampung, Way Kanan, Way Semaka, Way Besai, Way Umpu, Way Rarem, Way Seputih, dan Way Tulang Bawang dalam wilayah Lampung, Palembang, serta Pantai Banten.
Masih adakah sisa-sisa kerajaan yang diceritakan Marsdn, si sekretaris presiden dan konsul Benteng Marlborough Bengkulu? Jawabannya ada di Sultan Sekala Brak Ke-23 Edward Syah Pernong yang kini menjadi sosok legitimasi untuk masuk ke kehidupan kerajaan tua itu di masa modern. Pria bergelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi tersebut meluruskan bahwa Sekala Brak hingga kini masih mengisi segala syarat adanya sebuah kerajaan. Ada rakyat, wilayah, adat istiadat, pusaka, dan masih mengantongi pengakuan rakyatnya atas kerajaan. "Sekala Brak memiliki jutaan warga di Lampung Barat dan sekitarnya. Juga 175 suku di bawah kerajaan adat," kata Pernong yang pernah menjabat Kapolres Jakarta Barat, Selasa (25/11) di Jakarta. Bahkan ia mengingat saat naik takhta 19 Mei 1989 silam ada jutaan warga Lampung turut hadir dalam upacara adat.
Pernong mengatakan segalanya sudah berubah modern sekarang. Posisi raja pun tak sekadar kedudukan yang minta dilebih-lebihkan ataupun disembah. "Justru raja menjaga dan melestarikan budaya, mengidentifikasi kembali komunitasnya, meningkatkan solidaritas, dan mengeksplorasi artefak adat guna kepentingan wisata," ujar Perdana Menteri Sekala Brak Pangeran Ike Edwin, sosok yang sehari-hari lebih dikenal sebagai Kapolres Jakarta Pusat.
Peradaban Sekala Brak memang menyisakan banyak peninggalan kuno seperti batu tulis besar di Bunuk Tuar atau haur kuning (liwa), batu kepapang atau batu bercangkah di Tanjung Menang Kenali, dan situs batu bekhak di Pekon Purawiwitan Sumberjaya.
Istana Kerajaan Sekala Brak sudah hancur oleh serangan Belanda antara 1810 dan 1820. Kini yang tersisa adalah Gedung Dalom, pengganti istana yang dibangun pada 1830.
"Dulu arealnya ratusan hektare dan dipenuhi rumah-rumah suku," urai Pernong. Tetapi lahan Gedung Dalom yang sekarang tinggal 3.000 meter persegi, dikelilingi rumah kepala suku yang tersisa dan rakyatnya. Daratan Belalau kini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi masyarakat.
Struktur internal kerajaan masih cukup rapi sebab raja terus dipilih berdasarkan tradisi kesaibatinan atau autokratis berdasarkan keturunan tertua.
Hulubalang yang dipakai untuk menjaga kalangan kerajaan zaman dulu kini pun tetap dilestarikan, walau jumlahnya jauh berkurang ketimbang masa lalu. "Dalam sejarah, harus ada 41 hulubalang. Sekarang ini, kami hanya memiliki 18 hulubalang," ujar Pernong. Hulubalang ini memiliki keahlian bela diri dan dibekali silat cimande di Batu Sangkar selama dua tahun.
sansibar@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, 28 November 2008
KEJAYAANNYA banyak menguap oleh waktu, tapi kerajaan ini belum pernah mati dari Bumi Sang Rua Jurai.
DI dalam buku The History of Sumatera (1779), William Marsdn sebagai penulis memaparkan temuan terkait dengan masyarakat di Lampung. Adalah kerajaan bernama Sekala Brak yang terbentuk sekitar abad ke-3 dengan Raja Buay Tumi yang ia korelasikan dengan peradaban awal daerah ini. Juga soal tersusunnya aksara dan angka tersendiri yang sudah kuno, disebut Had Lampung.
Perkembangannya berawal dari daratan Belalau di selatan Danau Ranau yang berdekatan dengan Gunung Persagi, atau wilayah administratif Lampung Barat, Sumatra Selatan, yang sekarang. Dengan mengikuti aliran sungai, penduduk kerajaan ini kemudian mengalami perpindahan dari waktu ke waktu. Menuju Way Sekampung, Way Kanan, Way Semaka, Way Besai, Way Umpu, Way Rarem, Way Seputih, dan Way Tulang Bawang dalam wilayah Lampung, Palembang, serta Pantai Banten.
Masih adakah sisa-sisa kerajaan yang diceritakan Marsdn, si sekretaris presiden dan konsul Benteng Marlborough Bengkulu? Jawabannya ada di Sultan Sekala Brak Ke-23 Edward Syah Pernong yang kini menjadi sosok legitimasi untuk masuk ke kehidupan kerajaan tua itu di masa modern. Pria bergelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi tersebut meluruskan bahwa Sekala Brak hingga kini masih mengisi segala syarat adanya sebuah kerajaan. Ada rakyat, wilayah, adat istiadat, pusaka, dan masih mengantongi pengakuan rakyatnya atas kerajaan. "Sekala Brak memiliki jutaan warga di Lampung Barat dan sekitarnya. Juga 175 suku di bawah kerajaan adat," kata Pernong yang pernah menjabat Kapolres Jakarta Barat, Selasa (25/11) di Jakarta. Bahkan ia mengingat saat naik takhta 19 Mei 1989 silam ada jutaan warga Lampung turut hadir dalam upacara adat.
Pernong mengatakan segalanya sudah berubah modern sekarang. Posisi raja pun tak sekadar kedudukan yang minta dilebih-lebihkan ataupun disembah. "Justru raja menjaga dan melestarikan budaya, mengidentifikasi kembali komunitasnya, meningkatkan solidaritas, dan mengeksplorasi artefak adat guna kepentingan wisata," ujar Perdana Menteri Sekala Brak Pangeran Ike Edwin, sosok yang sehari-hari lebih dikenal sebagai Kapolres Jakarta Pusat.
Peradaban Sekala Brak memang menyisakan banyak peninggalan kuno seperti batu tulis besar di Bunuk Tuar atau haur kuning (liwa), batu kepapang atau batu bercangkah di Tanjung Menang Kenali, dan situs batu bekhak di Pekon Purawiwitan Sumberjaya.
Istana Kerajaan Sekala Brak sudah hancur oleh serangan Belanda antara 1810 dan 1820. Kini yang tersisa adalah Gedung Dalom, pengganti istana yang dibangun pada 1830.
"Dulu arealnya ratusan hektare dan dipenuhi rumah-rumah suku," urai Pernong. Tetapi lahan Gedung Dalom yang sekarang tinggal 3.000 meter persegi, dikelilingi rumah kepala suku yang tersisa dan rakyatnya. Daratan Belalau kini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi masyarakat.
Struktur internal kerajaan masih cukup rapi sebab raja terus dipilih berdasarkan tradisi kesaibatinan atau autokratis berdasarkan keturunan tertua.
Hulubalang yang dipakai untuk menjaga kalangan kerajaan zaman dulu kini pun tetap dilestarikan, walau jumlahnya jauh berkurang ketimbang masa lalu. "Dalam sejarah, harus ada 41 hulubalang. Sekarang ini, kami hanya memiliki 18 hulubalang," ujar Pernong. Hulubalang ini memiliki keahlian bela diri dan dibekali silat cimande di Batu Sangkar selama dua tahun.
sansibar@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, 28 November 2008
Sastra: GP Ansor Gelar Lomba Puisi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Lampung bekerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL) menyelenggarakan Lomba Menulis dan Membaca Puisi Selamatkan Palestina. Ketua panitia pelaksana lomba Yusrizal Karana mengatakan sastra sebagai kontrol sosial mempunyai "mata lain" dalam melihat peristiwa pembumihangusan Palestina dalam agresi Israel belum lama ini.
"Puisi mungkin bisa menjadi penyejuk hati bagi siapa saja yang bertikai," kata Yusrizal, Sabtu (24-1).
Lomba ini, kata dia, dimaksudkan untuk menggalang solidaritas sesama umat manusia atas tragedi berdarah serangan Israel terhadap warga Palestina. Dengan kegiatan ini, diharapkan dapat membangkitkan rasa kemanusiaan dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.
Sekretaris panitia pelaksana Puji Raharjo Soekarno menjelaskan lomba membaca dan menulis puisi dapat diikuti pelajar SMA dan mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap Palestina. Karya puisi harus asli, bukan terjemahan atau saduran.
"Setiap peserta lomba boleh mengirimkan maksimal tiga puisi. Setiap puisi tidak boleh lebih dari dua halaman kuarto, diketik 1 spasi dengan format Times New Roman ukuran huruf 12. Alamat dan biodata ditulis di halaman terpisah. Cantumkan nomor telepon dan telepon seluler kalau ada," kata Puji.
Syarat lainnya, karya belum pernah dipublikasikan atau dilombakan. Peserta tidak dipungut biaya. Setiap sekolah tidak dibatasi jumlah peserta.
Kirimkan karya puisi ke alamat panitia di Sekretariat GP Ansor Provinsi Lampung Jalan Danau Toba Nomor 9, Kedaton, Bandar Lampung telepon (0721) 786273, 7532135, 081279307272 atau Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL) Kompleks Gedung Sumpah Pemuda Way Halim, Bandar Lampung.
Naskah, kata dia, diterima paling lambat 5 Februari 2009.
Karya-karya puisi yang masuk akan dinilai dewan juri dari unsur penyair dan pers. Penulis 20 karya terbaik akan diundang untuk membacakan karyanya pada 7 Februari 2009 bersama tokoh pemuda, politisi, birokrat, dan tokoh-tokoh Lampung lainnya. n ZUL/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 Januari 2009
"Puisi mungkin bisa menjadi penyejuk hati bagi siapa saja yang bertikai," kata Yusrizal, Sabtu (24-1).
Lomba ini, kata dia, dimaksudkan untuk menggalang solidaritas sesama umat manusia atas tragedi berdarah serangan Israel terhadap warga Palestina. Dengan kegiatan ini, diharapkan dapat membangkitkan rasa kemanusiaan dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.
Sekretaris panitia pelaksana Puji Raharjo Soekarno menjelaskan lomba membaca dan menulis puisi dapat diikuti pelajar SMA dan mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap Palestina. Karya puisi harus asli, bukan terjemahan atau saduran.
"Setiap peserta lomba boleh mengirimkan maksimal tiga puisi. Setiap puisi tidak boleh lebih dari dua halaman kuarto, diketik 1 spasi dengan format Times New Roman ukuran huruf 12. Alamat dan biodata ditulis di halaman terpisah. Cantumkan nomor telepon dan telepon seluler kalau ada," kata Puji.
Syarat lainnya, karya belum pernah dipublikasikan atau dilombakan. Peserta tidak dipungut biaya. Setiap sekolah tidak dibatasi jumlah peserta.
Kirimkan karya puisi ke alamat panitia di Sekretariat GP Ansor Provinsi Lampung Jalan Danau Toba Nomor 9, Kedaton, Bandar Lampung telepon (0721) 786273, 7532135, 081279307272 atau Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL) Kompleks Gedung Sumpah Pemuda Way Halim, Bandar Lampung.
Naskah, kata dia, diterima paling lambat 5 Februari 2009.
Karya-karya puisi yang masuk akan dinilai dewan juri dari unsur penyair dan pers. Penulis 20 karya terbaik akan diundang untuk membacakan karyanya pada 7 Februari 2009 bersama tokoh pemuda, politisi, birokrat, dan tokoh-tokoh Lampung lainnya. n ZUL/K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 Januari 2009
Tradisi: Ruwat Laut Ramaikan PPI
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Ruwat laut dengan membuang kepala kerbau dan beberapa sajian dilakukan nelayan di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing, Telukbetung, Bandar Lampung, Minggu (25-1).
Ruwat laut dengan membuang kepala kerbau serta sajian yang dilakukan nelayan menggunakan beberapa perahu hias itu dilepas oleh Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno. Sebelum acara ruwat laut dilaksanakan, sejumlah kegiatan seperti tari-tarian digelar untuk menyemarakkan acara tersebut.
Wali Kota mengatakan acara ruwat laut merupakan tradisi masyarakat sekitar untuk memohon limpahan rezeki kepada Sang Pencipta, Allah swt., berupa tangkapan ikan yang melimpah.
"Tradisi ini setiap tahun digelar oleh masyarakat, khususnya nelayan yang berada di Teluk Lampung," tambahnya.
Sebelumnya arak-arakan kendaraan ruwat laut berisi kepala kerbau dan sajian melintasi jalan-jalan menuju PPI Lempasing Telukbetung.
Arak-arakan itu dilepas oleh Wali Kota dari Ujung Bom Kelurahan Gudang Lelang, Telukbetung Selatan.
Sementara itu, sejumlah pengunjung yang tadinya berniat membeli ikan di PPI Lempasing, juga turut menyaksikan acara ruwat laut tersebut.
"Tadinya saya ingin mencari ikan segar di sini, tapi yang ada justru keramaian yang jarang terlihat," kata salah satu warga yang ikut menyaksikan kegiatan ruwat laut itu, Jajang.
Bagi warga Bandar Lampung ini, kegiatan ruwat laut dan perahu hias hanya pernah disaksikan lewat televisi, belum pernah melihatnya langsung. K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 Januari 2009
Ruwat laut dengan membuang kepala kerbau serta sajian yang dilakukan nelayan menggunakan beberapa perahu hias itu dilepas oleh Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno. Sebelum acara ruwat laut dilaksanakan, sejumlah kegiatan seperti tari-tarian digelar untuk menyemarakkan acara tersebut.
Wali Kota mengatakan acara ruwat laut merupakan tradisi masyarakat sekitar untuk memohon limpahan rezeki kepada Sang Pencipta, Allah swt., berupa tangkapan ikan yang melimpah.
"Tradisi ini setiap tahun digelar oleh masyarakat, khususnya nelayan yang berada di Teluk Lampung," tambahnya.
Sebelumnya arak-arakan kendaraan ruwat laut berisi kepala kerbau dan sajian melintasi jalan-jalan menuju PPI Lempasing Telukbetung.
Arak-arakan itu dilepas oleh Wali Kota dari Ujung Bom Kelurahan Gudang Lelang, Telukbetung Selatan.
Sementara itu, sejumlah pengunjung yang tadinya berniat membeli ikan di PPI Lempasing, juga turut menyaksikan acara ruwat laut tersebut.
"Tadinya saya ingin mencari ikan segar di sini, tapi yang ada justru keramaian yang jarang terlihat," kata salah satu warga yang ikut menyaksikan kegiatan ruwat laut itu, Jajang.
Bagi warga Bandar Lampung ini, kegiatan ruwat laut dan perahu hias hanya pernah disaksikan lewat televisi, belum pernah melihatnya langsung. K-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 Januari 2009
January 26, 2009
Traveling: Lanskap Memesona Jalur Lintas Pantai Barat (1)
PERJALANAN jauh biasanya identik dengan letih dan menjemukan. Apalagi jika kondisi badan tidak fit atau punya kebiasaan mabuk perjalanan. Namun, jika sedang fit, trip dari Bandar Lampung ke Krui, Lampung Barat, bisa sangat mengesankan.
Jalur lintas pantai barat Lampung saat ini tidak seperti lima tahun lalu. Dulu, jalur ini belum dilalui bus antarkota. Jasa bus yang tersedia baru dari Rajabasa--Kotaagung. Untuk sampai di Krui, dari Kotaagung masih harus disambung dengan mobil odong-odong atau jasa ojek. Itu pun hanya sampai di Pekon Wayheni, Kecamatan Bengkunat. Selanjutnya naik angkutan perdesaan yang ngetem di Pasar Wayheni.
Jadi, perjalanan Bandar Lampung--Krui via Kotaagung, jika lancar bisa ditempuh dalam sehari. Tapi, jika kehabisan angkutan, berarti perjalanan harus ditempuh satu hari setengah, ditambah bermalam di Pekon Wayheni.
Itu hitungan cuaca normal. Jika musim hujan, tidak jarang mobil odong-odong atau ojek harus dipasang rantai untuk bisa melintasi genangan jalan lumpur dan licin di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tak jarang penumpang terjebak seharian di tengah TNBBS.
Di tengah alasroban itu, timbul kekhawatiran kalau-kalau binatang buas, seperti gajah, ular, atau harimau mendatangi kami. Suara binatang itu bersautan di tengah hutan. Bekas kotoran gajah kerap berserakan di jalan, selain jejak mereka yang merusak tumbuhan di pinggir jalan. Monyet-monyet putih atau beruk yang berlompatan dari dahan ke dahan bisa menjadi hiburan. Mereka mengejek (dengan ekspersinya ala monyet) penumpang yang berdoa mengharap mobil cepat terangkat dari lumpur.
Menyusul dibukanya jalur lintas barat (Bandar Lampung--Krui via Kotaagung), tahun 2007, masyarakat Krui dan sekitarnya bisa bernapas lega. Kubangan lumpur yang hampir satu kilometer dengan kedalaman 1--2 meter tidak ada lagi. Meski masih sering ada jalan rusak, tidak separah sebelumnya. Jalur ini memang banyak didamba masyarakat yang punya akses di Bandar Lampung--Krui maupun Bengkulu.
Selain jarak tempuh lebih dekat, waktu yang dibutuhkan juga lebih sedikit (6--7 jam). Selain itu, ada hal yang lebih mengesankan, jalur lintas barat menawarkan pemandangan alam yang membuat para musafir termanjakan. Perjalanan menjadi menyenangkan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Keluar dari Bandar Lampung, kita akan disuguhi perkampungan yang bersih dan teratur. Ini bisa kita dapati di Pekon Negri Sakti. Jajaran rumah kokoh dengan halaman yang luas ditumbuhi tanaman buah-buahan, dengan beberapa rumah yang masih bercorak tradisional membuat kesan perdesaan yang penduduknya sejahtera. Jauh dari riuh perkotaan dengan rumah berimpit tanpa halaman, tapi tidak ada kesan udik seperti desa tertinggal. Mungkin ini gambaran Desaku Maju Sakai Sambayan yang pernah dicanangkan mantan Gubernur Oemarsono.
Belum bosan dengan pemandangan yang membuat hati tenteram, rimbun kebun karet menawarkan kesejukan yang membuat mata ingin menoleh sekadar untuk menikmati hamparan rumput di bawah rimbun kebun karet, atau beberapa penderes yang sibuk menadah getah karet.
Lepas dari keteduhan perkebunan karet, kita akan bertemu hiruk pikuk pasar tradisional yang di sebagian kota besar, termasuk Bandar Lampung, mulai digerus zaman. Menyusul hamparan persawahan yang menghijau di musim rendeng dan menguning di kala panen, lebih menandaskan varibel kedesaan dan kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Andai tidak ada bangunan sarang burung walet, pemandangan ini lebih sempurna. Persawahan itu dikelilingi bukit dengan tanaman perkebunan yang bernuansa hijau. Sedangkan bagian paling tepi, laksana pagar penjaga; Bukit Barisan Selatan kebiruan dipeluk kabut.
Sayang, beberapa bagian telah coak, sedikit mengganggu kesan anggun dan wibawa paku semesta. Ini pemandangan yang mewakili hampir seluruh wilayah Gedongtataan--Pringsewu--sampai Pegelaran. Di antara ketiganya Pringsewu mempunyai tilas kuat sebagai daerah transmigrasi tertua di Lampung. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang hal itu, di tempat ini telah dibangun Museum Transmigrasi, tidak jauh dari jalan utama.
Ketika melintasi tempat ini, memori terpelanting pada lukisan pemandangan yang (sebagian siswa SD) buat ketika guru menggambar mengintruksikan melukis pemandangan. Sebagian besar siswa akan melukis gunung dengan matahari di baliknya. Di bawahnya terhampar persawahan yang dibelah kelokan jalan dengan garis polisi. Ternyata, imajinasi pemandangan masa kecil, di kemudian hari ditemukan di wilayah ini.
Belum bosan dengan suguhan fantantis, tubuh kita akan merasakan pergantian suhu udara ketika memasuki wilayah Gisting. Gisting terkenal dengan daerah yang dingin. Kalau lewat di pagi hari, kita akan terpesona dengan menipisnya kabut disapu sinar surya. Di kejauhan, Gunung Tanggamus bermantel kabut tebal serupa perawan yang malu-malu merapatkan gaunnya.
Sedang di kanan kiri jalan, jajaran rumah yang sebagian permanen, sebagian lagi masih berbentuk rumah panggung dengan tersier di sekelilingnya. Gemercik air semakin membuat kesan asri, menggoda untuk sejenak singgah. Kolam ikan dan pemancingan lengkap dengan dangau di tengahnya hampir selalu kita dapati. Hati kita pun kebat-kebit "kapan bisa mampir".
Pemandangan lain yang tidak kalah menariknya, perkebunan kol yang terhampar luas di kiri kanan jalan mengantarai rumah-rumah penduduk. Bagi mereka yang tinggal di daerah tandus, bisa sangat cemburu dengan kesuburan Gisting. Dengan berbagai macam warna bunga yang menghiasi pekarangan rumah penduduk, semakin memanjakan mata untuk menikmati perjalanan.
Pesona Gisting belum pudar, tapi kita harus menarik napas; jalan menurun tajam berkelok menandai kita telah sampai di Kotaagung. Di sini, meski menggunakan kendaraan apa pun, harus ekstrahati-hati. Selain tikungnnya tajam, di kiri kanan jalan juga dipagari cadas dan bertepikan ngarai yang curam. Sekali lengah, jurang yang dalam siap merenggut nyawa. Tapi lanskap yang ditawarkan di depan mata sebanding dengan tingkat kesulitan. Nun jauh di sana, tampak Teluk Semaka melambai memanggil kita untuk bersantai.
Perjalanan terus menurun menuju pusat Kotaagung, dengan pemandangan yang semakin cantik dan risiko semakin santun. Lepas dari bahaya jurang, dari kiri jalan pemandangan persawahan dengan sistem sengkedan menyapa ramah. Pemandangan berhujung pada biru laut dan jauh langit membuat hati terus berdecak: subhanallah. Di kanan jalan pun kita dapati penjual buah durian, manggis, dan berbagai macam penganan menawarkan untuk singgah.
Sejurus kemudian, kita disambut pesona Pantai Terbaya. Tapi perjalanan ke Krui masih jauh. Keindahan Terbaya cukup menjadi daftar rencana liburan suatu hari nanti.
Angin Pantai Terbaya masih menyisakan angan, hiruk pikuk pusat Kotaagung telah menyambut. Kalau kita tidak ingin menyaksikan semrawutnya jasa ojek di tempat ini, bergegaslah melewatinya. Anda akan disambut keasrian Pekon Negara Batin dengan jajaran rumah-rumah adat yang hanya dapat dijumpai di pekon-pekon asli Lampung. Jajaran rumah panggung berbagai model dengan muli-muli manis duduk di serambi, menggambarkan orisinalitas sebuah wilayah yang disebut pekon.
Apalagi saat musim Gawi, kita dapat menyimak kesibukan penduduk bahu-membahu menjaga adat. Meski hanya sepintas akan menjadi catatan dalam benak kita, betapa guyupnya masyarakat adat di sekitar Pekon Negara Batin.
Bus terus melaju...kembali kita menikmati hamparan persawahan di sisi kiri dengan background Bukit Barisan. Tapi kali kita merasa lebih terlindung, karena Bukit Barisan semakin nyata di depan mata. Sedangkan di sebelah kanan jalan hamparan sawah dipagari kegagahan Gunung Tanggamus. Kesan sejuk dan nyaman terasa menyertai perjalanan. Membuat kita terlupa kalau hampir mencapai separo perjalanan. Dengan riang riak Way Semaka melengkapi kekayaan potensi alam yang dianugerahkan Sang Pancipta. Ini pemandangan umum di daerah Wonosobo dan Semaka.
Beberapa tombak kemudian, kita mulai menarik napas. Perjalan mulai naik, merayap merambati Bukit Barisan. Hamparan sawah dan ramah pesona rumah adat kita tinggalkan. Kendaraan mulai harus menambah gas, setelah lepas perempatan Sedayu, kita akan mendaki dan terus mendaki. Pesiapkan mental, bagi Anda yang takut ketinggian. Dan mulai petualangan bagi Anda yang suka tantangan.
Setelah melewati beberapa tanjakan yang curam dan berkelok, embuskan napas Anda. Tengokan dengan seksama leher Anda untuk melihat ke sebelah kiri. Anda akan terlupa jurang yang ada di bawah Anda. Lanskap alam dengan pesona luar biasa membetot seluruh perhatian. Hamparan sawah yang tertinggal terlihat kecil, dengan petak-petak yang hanya terlihat berupa garis. Rumah-rumah penduduk, hamparan kebun kelapa, perkebunan lada, dan kopi terlihat rata dan kecil seperti pemandangan mini yang kita dapati pada lanskap-lanskap foto udara.
Nun jauh di sana, Teluk Semaka serupa danau biru menyatu dengan langit. Kata tak cukup untuk menggambarkan kesempurnaan lanskap memesona ini. Selain ungkapan subhanallah yang refleks terucap, bagi pengguna kendaraan pribadi dengan sendirinya berhenti. Bagi yang membawa kamera, lanskap ini tak akan disia-siakan. Bagi yang lewat dengan tangan hampa, cukup berdiam, dan dengan seksama mengamati pemandangan yang sulit dicari tandingnya.
Bagi mereka yang lelah dan ingin istirahat, tak jauh dari posisi view banyak berjajar pondok kecil yang menjajakan buah khas daerah ini, durian. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009
Jalur lintas pantai barat Lampung saat ini tidak seperti lima tahun lalu. Dulu, jalur ini belum dilalui bus antarkota. Jasa bus yang tersedia baru dari Rajabasa--Kotaagung. Untuk sampai di Krui, dari Kotaagung masih harus disambung dengan mobil odong-odong atau jasa ojek. Itu pun hanya sampai di Pekon Wayheni, Kecamatan Bengkunat. Selanjutnya naik angkutan perdesaan yang ngetem di Pasar Wayheni.
Jadi, perjalanan Bandar Lampung--Krui via Kotaagung, jika lancar bisa ditempuh dalam sehari. Tapi, jika kehabisan angkutan, berarti perjalanan harus ditempuh satu hari setengah, ditambah bermalam di Pekon Wayheni.
Itu hitungan cuaca normal. Jika musim hujan, tidak jarang mobil odong-odong atau ojek harus dipasang rantai untuk bisa melintasi genangan jalan lumpur dan licin di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tak jarang penumpang terjebak seharian di tengah TNBBS.
Di tengah alasroban itu, timbul kekhawatiran kalau-kalau binatang buas, seperti gajah, ular, atau harimau mendatangi kami. Suara binatang itu bersautan di tengah hutan. Bekas kotoran gajah kerap berserakan di jalan, selain jejak mereka yang merusak tumbuhan di pinggir jalan. Monyet-monyet putih atau beruk yang berlompatan dari dahan ke dahan bisa menjadi hiburan. Mereka mengejek (dengan ekspersinya ala monyet) penumpang yang berdoa mengharap mobil cepat terangkat dari lumpur.
Menyusul dibukanya jalur lintas barat (Bandar Lampung--Krui via Kotaagung), tahun 2007, masyarakat Krui dan sekitarnya bisa bernapas lega. Kubangan lumpur yang hampir satu kilometer dengan kedalaman 1--2 meter tidak ada lagi. Meski masih sering ada jalan rusak, tidak separah sebelumnya. Jalur ini memang banyak didamba masyarakat yang punya akses di Bandar Lampung--Krui maupun Bengkulu.
Selain jarak tempuh lebih dekat, waktu yang dibutuhkan juga lebih sedikit (6--7 jam). Selain itu, ada hal yang lebih mengesankan, jalur lintas barat menawarkan pemandangan alam yang membuat para musafir termanjakan. Perjalanan menjadi menyenangkan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Keluar dari Bandar Lampung, kita akan disuguhi perkampungan yang bersih dan teratur. Ini bisa kita dapati di Pekon Negri Sakti. Jajaran rumah kokoh dengan halaman yang luas ditumbuhi tanaman buah-buahan, dengan beberapa rumah yang masih bercorak tradisional membuat kesan perdesaan yang penduduknya sejahtera. Jauh dari riuh perkotaan dengan rumah berimpit tanpa halaman, tapi tidak ada kesan udik seperti desa tertinggal. Mungkin ini gambaran Desaku Maju Sakai Sambayan yang pernah dicanangkan mantan Gubernur Oemarsono.
Belum bosan dengan pemandangan yang membuat hati tenteram, rimbun kebun karet menawarkan kesejukan yang membuat mata ingin menoleh sekadar untuk menikmati hamparan rumput di bawah rimbun kebun karet, atau beberapa penderes yang sibuk menadah getah karet.
Lepas dari keteduhan perkebunan karet, kita akan bertemu hiruk pikuk pasar tradisional yang di sebagian kota besar, termasuk Bandar Lampung, mulai digerus zaman. Menyusul hamparan persawahan yang menghijau di musim rendeng dan menguning di kala panen, lebih menandaskan varibel kedesaan dan kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Andai tidak ada bangunan sarang burung walet, pemandangan ini lebih sempurna. Persawahan itu dikelilingi bukit dengan tanaman perkebunan yang bernuansa hijau. Sedangkan bagian paling tepi, laksana pagar penjaga; Bukit Barisan Selatan kebiruan dipeluk kabut.
Sayang, beberapa bagian telah coak, sedikit mengganggu kesan anggun dan wibawa paku semesta. Ini pemandangan yang mewakili hampir seluruh wilayah Gedongtataan--Pringsewu--sampai Pegelaran. Di antara ketiganya Pringsewu mempunyai tilas kuat sebagai daerah transmigrasi tertua di Lampung. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang hal itu, di tempat ini telah dibangun Museum Transmigrasi, tidak jauh dari jalan utama.
Ketika melintasi tempat ini, memori terpelanting pada lukisan pemandangan yang (sebagian siswa SD) buat ketika guru menggambar mengintruksikan melukis pemandangan. Sebagian besar siswa akan melukis gunung dengan matahari di baliknya. Di bawahnya terhampar persawahan yang dibelah kelokan jalan dengan garis polisi. Ternyata, imajinasi pemandangan masa kecil, di kemudian hari ditemukan di wilayah ini.
Belum bosan dengan suguhan fantantis, tubuh kita akan merasakan pergantian suhu udara ketika memasuki wilayah Gisting. Gisting terkenal dengan daerah yang dingin. Kalau lewat di pagi hari, kita akan terpesona dengan menipisnya kabut disapu sinar surya. Di kejauhan, Gunung Tanggamus bermantel kabut tebal serupa perawan yang malu-malu merapatkan gaunnya.
Sedang di kanan kiri jalan, jajaran rumah yang sebagian permanen, sebagian lagi masih berbentuk rumah panggung dengan tersier di sekelilingnya. Gemercik air semakin membuat kesan asri, menggoda untuk sejenak singgah. Kolam ikan dan pemancingan lengkap dengan dangau di tengahnya hampir selalu kita dapati. Hati kita pun kebat-kebit "kapan bisa mampir".
Pemandangan lain yang tidak kalah menariknya, perkebunan kol yang terhampar luas di kiri kanan jalan mengantarai rumah-rumah penduduk. Bagi mereka yang tinggal di daerah tandus, bisa sangat cemburu dengan kesuburan Gisting. Dengan berbagai macam warna bunga yang menghiasi pekarangan rumah penduduk, semakin memanjakan mata untuk menikmati perjalanan.
Pesona Gisting belum pudar, tapi kita harus menarik napas; jalan menurun tajam berkelok menandai kita telah sampai di Kotaagung. Di sini, meski menggunakan kendaraan apa pun, harus ekstrahati-hati. Selain tikungnnya tajam, di kiri kanan jalan juga dipagari cadas dan bertepikan ngarai yang curam. Sekali lengah, jurang yang dalam siap merenggut nyawa. Tapi lanskap yang ditawarkan di depan mata sebanding dengan tingkat kesulitan. Nun jauh di sana, tampak Teluk Semaka melambai memanggil kita untuk bersantai.
Perjalanan terus menurun menuju pusat Kotaagung, dengan pemandangan yang semakin cantik dan risiko semakin santun. Lepas dari bahaya jurang, dari kiri jalan pemandangan persawahan dengan sistem sengkedan menyapa ramah. Pemandangan berhujung pada biru laut dan jauh langit membuat hati terus berdecak: subhanallah. Di kanan jalan pun kita dapati penjual buah durian, manggis, dan berbagai macam penganan menawarkan untuk singgah.
Sejurus kemudian, kita disambut pesona Pantai Terbaya. Tapi perjalanan ke Krui masih jauh. Keindahan Terbaya cukup menjadi daftar rencana liburan suatu hari nanti.
Angin Pantai Terbaya masih menyisakan angan, hiruk pikuk pusat Kotaagung telah menyambut. Kalau kita tidak ingin menyaksikan semrawutnya jasa ojek di tempat ini, bergegaslah melewatinya. Anda akan disambut keasrian Pekon Negara Batin dengan jajaran rumah-rumah adat yang hanya dapat dijumpai di pekon-pekon asli Lampung. Jajaran rumah panggung berbagai model dengan muli-muli manis duduk di serambi, menggambarkan orisinalitas sebuah wilayah yang disebut pekon.
Apalagi saat musim Gawi, kita dapat menyimak kesibukan penduduk bahu-membahu menjaga adat. Meski hanya sepintas akan menjadi catatan dalam benak kita, betapa guyupnya masyarakat adat di sekitar Pekon Negara Batin.
Bus terus melaju...kembali kita menikmati hamparan persawahan di sisi kiri dengan background Bukit Barisan. Tapi kali kita merasa lebih terlindung, karena Bukit Barisan semakin nyata di depan mata. Sedangkan di sebelah kanan jalan hamparan sawah dipagari kegagahan Gunung Tanggamus. Kesan sejuk dan nyaman terasa menyertai perjalanan. Membuat kita terlupa kalau hampir mencapai separo perjalanan. Dengan riang riak Way Semaka melengkapi kekayaan potensi alam yang dianugerahkan Sang Pancipta. Ini pemandangan umum di daerah Wonosobo dan Semaka.
Beberapa tombak kemudian, kita mulai menarik napas. Perjalan mulai naik, merayap merambati Bukit Barisan. Hamparan sawah dan ramah pesona rumah adat kita tinggalkan. Kendaraan mulai harus menambah gas, setelah lepas perempatan Sedayu, kita akan mendaki dan terus mendaki. Pesiapkan mental, bagi Anda yang takut ketinggian. Dan mulai petualangan bagi Anda yang suka tantangan.
Setelah melewati beberapa tanjakan yang curam dan berkelok, embuskan napas Anda. Tengokan dengan seksama leher Anda untuk melihat ke sebelah kiri. Anda akan terlupa jurang yang ada di bawah Anda. Lanskap alam dengan pesona luar biasa membetot seluruh perhatian. Hamparan sawah yang tertinggal terlihat kecil, dengan petak-petak yang hanya terlihat berupa garis. Rumah-rumah penduduk, hamparan kebun kelapa, perkebunan lada, dan kopi terlihat rata dan kecil seperti pemandangan mini yang kita dapati pada lanskap-lanskap foto udara.
Nun jauh di sana, Teluk Semaka serupa danau biru menyatu dengan langit. Kata tak cukup untuk menggambarkan kesempurnaan lanskap memesona ini. Selain ungkapan subhanallah yang refleks terucap, bagi pengguna kendaraan pribadi dengan sendirinya berhenti. Bagi yang membawa kamera, lanskap ini tak akan disia-siakan. Bagi yang lewat dengan tangan hampa, cukup berdiam, dan dengan seksama mengamati pemandangan yang sulit dicari tandingnya.
Bagi mereka yang lelah dan ingin istirahat, tak jauh dari posisi view banyak berjajar pondok kecil yang menjajakan buah khas daerah ini, durian. n SUSILOWATI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009
Wacana: Seni Rupa Lampung seperti Siput
Oleh Subardjo*
PERKEMBANGAN seni rupa di Bumi Ruwa Jurai seperti siput, maju beringsut sangat lambat. Di wilayah lain, seni rupa berlari cepat bahkan di sebagian wilayah sudah terbang bak pesawat.
Kenapa ini terjadi di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai? Jawaban yang muncul bisa beragam. Disimpulkan rata-rata menjawab karena infrastruktur yang ada belum memadai untuk menyangga kehidupan seni rupa. Ada juga yang mengatakan infrastruktur tidak optimal, ditambah minimnya suprastruktur. Benarkah demikian?
Marilah kita tengok kondisi riil hal ihwal perupa di negeri ini. Dengan jumlah penduduk Provinsi Lampung sekitar tujuh juta orang lebih, sementara jumlah perupa di Provinsi Lampung tercatat 100-an orang. Dari jumlah tersebut seniman yang aktif profesional tidak lebih dari hitungan jari tangan, sedangkan yang lain adalah pekerja seni rupa sambilan. Banyak dari mereka yang berprofesi lain, seperti PNS, guru, karyawan swasta, tukang taman, tukang reklame, pedagang, dan petani.
Dari tahun ke tahun, jumlah penekun seni rupa tidak beranjak banyak, bahkan dalam dua dasawarsa terakhir jumlah penekun silih berganti generasi tetapi jumlahnya mendekati stagnan.
Data ini mengejutkan kalau kita sandingkan dengan jumlah penekun yang tumbuh di wilayah lain, wa bil khusus di Pulau Jawa dan Bali. Namun, kita juga segera mahfum, mengingat piranti pendukung yang memengaruhi tumbuh kembangnya kegiatan ini sangat minim.
Kita juga bisa memahami mengapa banyak talenta seni rupa potensial di wilayah kita enggan menekuni bidang seni rupa secara profesional, sebagai soko guru profesinya. Karena kehidupan seni rupa di Lampung tidak menjanjikan, belum mampu berperan banyak dalam menopang ekonomi kehidupan. Kalau kita urai lebih jauh persoalan ini, ternyata menyudutkan kita pada kesadaran pemahaman yang multikompleks. Betapa banyak persoalan yang muncul dan sangat tidak mudah untuk diurai apalagi untuk diselesaikan.
Contoh paling menarik dikemukakan di sini, misalnya, bagaimana mungkin seni rupa mampu dipahami siswa SD sampai SMA, sedangkan guru yang memberi pelajaran tidak menguasai bidangnya. Terjadi di negeri ini, guru olah raga, guru biologi, guru sejarah, guru agama mengajar seni rupa. Ini karena tidak memadainya jumlah tenaga guru kesenian yang ada dibandingkan jumlah sekolah.
Kalau kita telusuri lebih jauh, ini terjadi karena perguruan tinggi di provinsi ini ternyata belum ada satu pun fakultas keguruan yang memiliki jurusan seni rupa. Alamak...!
Fakta lain menunjukan unit kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa (UKM) di perguruan perguruan tinggi di propvinsi ini, di mana salah satu di dalamnya terdapat kegiatan seni rupa, belumlah terelaborasi dengan baik, sebagai parameter setiap kegiatan peksiminas (pekan seni mahasiswa nasional). Hasil karya mahasiswa kita selalu kalah dalam bidang seni rupa.
Fakta lain yang menarik, belum pahamnya oknum penyelenggara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, yang notabene perpanjangan tangan pemerintah yang membidangi soal ini, sangat tidak mendukung kegiatan seni rupa. Kita tahu, dalam tupoksi lingkup kerjanya bertugas mempromosikan kegiatan budaya, tetapi di lapangan terbukti menghilangkan program pameran seni rupa di Lampung maupun luar Lampung dalam proyek kegiatannya. Sementara itu, beberapa tahun lalu, program ini pernah ada. Pertanyaan lagi, terus yang seharusnya menangani kegiatan seperti ini instansi mana?
Bagaimana dengan Dewan Kesenian di Lampung? Persoalan yang juga menarik dicermati, semenjak ada atau diadakan sejak tahun 90-an sampai sekarang, peran Dewan Kesenian sangat sulit mendapat poin C. Ketidakjelasan konsep maupun target sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang program kerja serta tidak adanya parameter pengukuran tingkat keberhasilan program membuat kita rancu, apa yang ingin dicapai lembaga ini? Kita juga tidak pernah mendengar pelaporan ke publik, apa saja yang telah dihasilka sekian tahun kegiatan.
Ini tentu membuat kita bertanya, jangan-jangan memang benar sinyalemen bahwa sebagian besar pengurus lembaga ini kebesaran baju. Dan wajar saja ada sebagian seniman bergosip, lembaga ini seperti kumpulan event organizer.
Lain lagi dengan keberadaan Taman Budaya Lampung. Sebagai Unit Pelaksana Teknis Disbudpar, unit kerja seni yang seharusnya berperan sebagai dapur olah seni, wahana atau ruang publik ekperimentasi seni, kini tidak lebih dari unit penyumbang PAD. Masalahnya, setiap kegiatan kesenian yang tampil menggunakan fasilitas di sini tetap dipungut biaya meski jumlahnya kecil karena wajib setor ke kas daerah atau alih-alih dana kebersihan.
Pendokumentasian artefak budaya Lampung yang dalam hal ini seharusnya menjadi salah satu tugas pengelola negara, tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Karya-karya terbaik perupa Lampung hampir semua mengalir keluar daerah. Ada kekawatiran kelak di kemudian hari anak cucu kita mesti keluar negeri kalau ingin melihat hasil karya seniman pendahulunya. Ini dosa siapa?
***
Persolaan kesenian, khususnya seniman sangatlah menarik. Menjadi seniman memang tidak harus melalui pendidikan formal. Untuk menjadi pelukis, misalnya, tidak dibutuhkan ijazah. Berbeda dengan profesi lain semisal dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum dan sebagainya.
Kalau dianggap sebagai profesi, seniman bukanlah profesi dalam pengertian umum, di mana batas parameter keprofesian serta relasi fungsionalnya dengan masyarakat cukup jelas.
Bisa dibayangkan jika siapa pun tanpa ijazah dan legitimasi ikatan keprofesian dokter boleh membuka praktek dokter. Jika ini terjadi, tentu yang bersangkutan akan berurusan dengan pihak berwajib.
Namun, ini tidak terjadi dalam seni, siapa pun boleh mengaku dan menyebut seniman dan boleh menyelenggarakan pameran, baik dia seniman yang mengenyam pendidikan seni formal maupun tidak. Bahkan banyak seniman tanpa latar pendidikan formal seni rupa, sukses mendunia sebagai seniman.
Ini dimungkinkan karena keinginan dan kerja keras seniman mengelaborasi dunia seni yang dia tekuni, baik dalam hal kearifan intelektual, kearifan teknis, kearifan manajerial serta kemampuan mengakses informasi dan jejaring.
Mesipun demikian, banyak calon seniman yang memilih belajar pada jalur pendidikan formal. Namun, aneh juga kenyataan sebagian besar lulusan perguruan tinggi seni di mana pun di seluruh dunia tidak menjadi seniman. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan.
Namun, kita tidak dapat mencari alternatif yang lebih baik dalam menyiapkan tenaga seni secara formal selain pendidikan. Pendidikan seni di negeri ini baik langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi pendidikan seni rupa Barat, dalam muatan kurikulumnya. Tentu ini perlu kita telusuri sejarahnya secara singkat, termasuk mengkritisi terhadap keberadaanya.
Ke depan, tentulah keberadaan pendidikan seni formal di ranah Sang Bumi Ruwa Jurai sangat perlu meski tidak mendesak. Yang perlu segera diadakan adalah pembukaan jurusan seni rupa pada pendidikan tinggi calon tenaga guru sekolah menengah. Juga pengaktifkan kegiatan seni rupa di UKM, serta workshop seni rupa di sekolah-sekolah menengah, kursus-kursus singkat bagi tenaga guru kesenian yang ada. Sebab, banyak dari tenaga guru ini yang tidak memiliki dasar seni rupa.
* Subardjo, praktisi seni rupa
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009
PERKEMBANGAN seni rupa di Bumi Ruwa Jurai seperti siput, maju beringsut sangat lambat. Di wilayah lain, seni rupa berlari cepat bahkan di sebagian wilayah sudah terbang bak pesawat.
Kenapa ini terjadi di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai? Jawaban yang muncul bisa beragam. Disimpulkan rata-rata menjawab karena infrastruktur yang ada belum memadai untuk menyangga kehidupan seni rupa. Ada juga yang mengatakan infrastruktur tidak optimal, ditambah minimnya suprastruktur. Benarkah demikian?
Marilah kita tengok kondisi riil hal ihwal perupa di negeri ini. Dengan jumlah penduduk Provinsi Lampung sekitar tujuh juta orang lebih, sementara jumlah perupa di Provinsi Lampung tercatat 100-an orang. Dari jumlah tersebut seniman yang aktif profesional tidak lebih dari hitungan jari tangan, sedangkan yang lain adalah pekerja seni rupa sambilan. Banyak dari mereka yang berprofesi lain, seperti PNS, guru, karyawan swasta, tukang taman, tukang reklame, pedagang, dan petani.
Dari tahun ke tahun, jumlah penekun seni rupa tidak beranjak banyak, bahkan dalam dua dasawarsa terakhir jumlah penekun silih berganti generasi tetapi jumlahnya mendekati stagnan.
Data ini mengejutkan kalau kita sandingkan dengan jumlah penekun yang tumbuh di wilayah lain, wa bil khusus di Pulau Jawa dan Bali. Namun, kita juga segera mahfum, mengingat piranti pendukung yang memengaruhi tumbuh kembangnya kegiatan ini sangat minim.
Kita juga bisa memahami mengapa banyak talenta seni rupa potensial di wilayah kita enggan menekuni bidang seni rupa secara profesional, sebagai soko guru profesinya. Karena kehidupan seni rupa di Lampung tidak menjanjikan, belum mampu berperan banyak dalam menopang ekonomi kehidupan. Kalau kita urai lebih jauh persoalan ini, ternyata menyudutkan kita pada kesadaran pemahaman yang multikompleks. Betapa banyak persoalan yang muncul dan sangat tidak mudah untuk diurai apalagi untuk diselesaikan.
Contoh paling menarik dikemukakan di sini, misalnya, bagaimana mungkin seni rupa mampu dipahami siswa SD sampai SMA, sedangkan guru yang memberi pelajaran tidak menguasai bidangnya. Terjadi di negeri ini, guru olah raga, guru biologi, guru sejarah, guru agama mengajar seni rupa. Ini karena tidak memadainya jumlah tenaga guru kesenian yang ada dibandingkan jumlah sekolah.
Kalau kita telusuri lebih jauh, ini terjadi karena perguruan tinggi di provinsi ini ternyata belum ada satu pun fakultas keguruan yang memiliki jurusan seni rupa. Alamak...!
Fakta lain menunjukan unit kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa (UKM) di perguruan perguruan tinggi di propvinsi ini, di mana salah satu di dalamnya terdapat kegiatan seni rupa, belumlah terelaborasi dengan baik, sebagai parameter setiap kegiatan peksiminas (pekan seni mahasiswa nasional). Hasil karya mahasiswa kita selalu kalah dalam bidang seni rupa.
Fakta lain yang menarik, belum pahamnya oknum penyelenggara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, yang notabene perpanjangan tangan pemerintah yang membidangi soal ini, sangat tidak mendukung kegiatan seni rupa. Kita tahu, dalam tupoksi lingkup kerjanya bertugas mempromosikan kegiatan budaya, tetapi di lapangan terbukti menghilangkan program pameran seni rupa di Lampung maupun luar Lampung dalam proyek kegiatannya. Sementara itu, beberapa tahun lalu, program ini pernah ada. Pertanyaan lagi, terus yang seharusnya menangani kegiatan seperti ini instansi mana?
Bagaimana dengan Dewan Kesenian di Lampung? Persoalan yang juga menarik dicermati, semenjak ada atau diadakan sejak tahun 90-an sampai sekarang, peran Dewan Kesenian sangat sulit mendapat poin C. Ketidakjelasan konsep maupun target sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang program kerja serta tidak adanya parameter pengukuran tingkat keberhasilan program membuat kita rancu, apa yang ingin dicapai lembaga ini? Kita juga tidak pernah mendengar pelaporan ke publik, apa saja yang telah dihasilka sekian tahun kegiatan.
Ini tentu membuat kita bertanya, jangan-jangan memang benar sinyalemen bahwa sebagian besar pengurus lembaga ini kebesaran baju. Dan wajar saja ada sebagian seniman bergosip, lembaga ini seperti kumpulan event organizer.
Lain lagi dengan keberadaan Taman Budaya Lampung. Sebagai Unit Pelaksana Teknis Disbudpar, unit kerja seni yang seharusnya berperan sebagai dapur olah seni, wahana atau ruang publik ekperimentasi seni, kini tidak lebih dari unit penyumbang PAD. Masalahnya, setiap kegiatan kesenian yang tampil menggunakan fasilitas di sini tetap dipungut biaya meski jumlahnya kecil karena wajib setor ke kas daerah atau alih-alih dana kebersihan.
Pendokumentasian artefak budaya Lampung yang dalam hal ini seharusnya menjadi salah satu tugas pengelola negara, tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Karya-karya terbaik perupa Lampung hampir semua mengalir keluar daerah. Ada kekawatiran kelak di kemudian hari anak cucu kita mesti keluar negeri kalau ingin melihat hasil karya seniman pendahulunya. Ini dosa siapa?
***
Persolaan kesenian, khususnya seniman sangatlah menarik. Menjadi seniman memang tidak harus melalui pendidikan formal. Untuk menjadi pelukis, misalnya, tidak dibutuhkan ijazah. Berbeda dengan profesi lain semisal dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum dan sebagainya.
Kalau dianggap sebagai profesi, seniman bukanlah profesi dalam pengertian umum, di mana batas parameter keprofesian serta relasi fungsionalnya dengan masyarakat cukup jelas.
Bisa dibayangkan jika siapa pun tanpa ijazah dan legitimasi ikatan keprofesian dokter boleh membuka praktek dokter. Jika ini terjadi, tentu yang bersangkutan akan berurusan dengan pihak berwajib.
Namun, ini tidak terjadi dalam seni, siapa pun boleh mengaku dan menyebut seniman dan boleh menyelenggarakan pameran, baik dia seniman yang mengenyam pendidikan seni formal maupun tidak. Bahkan banyak seniman tanpa latar pendidikan formal seni rupa, sukses mendunia sebagai seniman.
Ini dimungkinkan karena keinginan dan kerja keras seniman mengelaborasi dunia seni yang dia tekuni, baik dalam hal kearifan intelektual, kearifan teknis, kearifan manajerial serta kemampuan mengakses informasi dan jejaring.
Mesipun demikian, banyak calon seniman yang memilih belajar pada jalur pendidikan formal. Namun, aneh juga kenyataan sebagian besar lulusan perguruan tinggi seni di mana pun di seluruh dunia tidak menjadi seniman. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan.
Namun, kita tidak dapat mencari alternatif yang lebih baik dalam menyiapkan tenaga seni secara formal selain pendidikan. Pendidikan seni di negeri ini baik langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi pendidikan seni rupa Barat, dalam muatan kurikulumnya. Tentu ini perlu kita telusuri sejarahnya secara singkat, termasuk mengkritisi terhadap keberadaanya.
Ke depan, tentulah keberadaan pendidikan seni formal di ranah Sang Bumi Ruwa Jurai sangat perlu meski tidak mendesak. Yang perlu segera diadakan adalah pembukaan jurusan seni rupa pada pendidikan tinggi calon tenaga guru sekolah menengah. Juga pengaktifkan kegiatan seni rupa di UKM, serta workshop seni rupa di sekolah-sekolah menengah, kursus-kursus singkat bagi tenaga guru kesenian yang ada. Sebab, banyak dari tenaga guru ini yang tidak memiliki dasar seni rupa.
* Subardjo, praktisi seni rupa
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009
January 23, 2009
Bahasa (Lampung) Standar
Oleh Agus Sri Danardana*
AKHIR Juli 2008, di harian ini saya pernah mengutarakan penyebab utama, di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak orang (seperti keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada penguasaan aksara [bukan bahasa] Lampung), kegagalan pengajaran bahasa Lampung adalah belum adanya bahasa standar bahasa Lampung yang harus diajarkan.
Selama ini perbedaan dialek O (nyo) dan A (api) masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Penutur dua dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (mengklaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran bahasa Lampung pun berbeda-beda.
Awal 2009 ini keluhan atas kecarut-marutan pengajaran bahasa Lampung di sekolah dilontarkan kembali oleh Udo Z. Karzi (Lampung Post, 4 Januari). Salah satu keluhan yang diutarakannya (yang menurut saya perlu mendapat perhatian lebih) adalah pencampuradukan dialek O dan A dalam satu buku pelajaran bahasa Lampung. Menurut dia, pencampuradukan kedua dialek itu justru membuat siswa tidak saja bingung dan stres, tetapi juga fobia terhadap bahasa Lampung. Ia menyarankan agar buku pelajaran bahasa Lampung dibuat dua versi.
Versi pertama menggunakan dialek O untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek O. Versi kedua menggunakan dialek A untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek A.
Keluhan Udo seperti itu memperkuat keyakinan saya bahwa sesungguhnya penstandaran bahasa Lampung perlu segera dilakukan. Seperti yang pernah saya katakan, pada dasarnya masalah pengajaran bahasa (baik bahasa nasional, daerah, ataupun asing) selalu berkutat dengan persoalan bahasa standar.
Ini penting karena untuk mengukur capaian keberhasilan proses pengajaran harus didasarkan pada kriteria penilaian yang standar pula. Itulah sebabnya, pada umumnya orang akan berpedoman pada satu kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar (sebagai bahasa standar) untuk menentukan standar evaluasi capaian hasil belajar.
Atas dasar itu, sebenarnya pembuatan buku pelajaran bahasa Lampung dalam dua versi: dialek O dan dialek A juga masih menyisakan masalah. Bukankah kedua dialek itu memiliki sub-subdialek masing-masing? Artinya, kalaulah harus dibuat dalam dua versi, mau tidak mau, buku pelajaran bahasa Lampung itu pun masing-masing harus hanya memuat materi dari salah satu subdialeknya yang dianggap (ditentukan) standar.
Norma Bahasa Standar
Haugen di dalam studinya tentang norma bahasa-bahasa Skandinavia (1968) mengatakan bahwa patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Pada saat norma itu dikodifikasi dan dimekarkan oleh penuturnya sering patokan itu justru tidak dapat dikenali lagi asalnya. Pendapat itu diperkuat, antara lain, oleh Ansre (1974) melalui studinya tentang bahasa Sonya standar (baku) di Afrika yang didasarkan pada gabungan beberapa dialek dan oleh Byron (1976) melalui studinya tentang bahasa Albania standar (baku) yang didasarkan pada salah satu dialek.
Di Indonesia, menurut Anton Moeliono (1981), bahasa Indonesia standar secara tentatif dapat dikatakan bertumpu pada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa dan diajarkan di sekolah, sedangkan yang lain berupa norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan biasanya dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan.
Ketumpangtindihan itu ada kalanya menyebabkan norma yang berlaku di sekolah tidak diikuti oleh media dan sebaliknya. Untuk mengatasinya, dibentuklah sebuah lembaga (Pusat Bahasa) yang diharapkan dapat memprioritaskan penyusunan kaidah tata bahasa yang menggambarkan norma-norma bahasa Indonesia standar dan dapat menyatukan dua perangkat norma yang tumpang tindih itu.
Bagaimana dengan bahasa Lampung? Tentu sangat bergantung pada kemauan ulun Lampung (termasuk pemda-nya). Dibandingkan bahasa-bahasa daerah lain yang lebih besar, seperti Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau, penanganan bahasa Lampung tentu lebih rumit. Di samping hanya digunakan sebagian kecil penduduknya (sekitar 17%), bahasa Lampung juga belum ditangani secara sungguh-sungguh. Upaya-upaya yang telah dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemda, pada umumnya masih sangat parsial dan tidak berkelanjutan.
Terlepas dari hal itu, ada satu hal penting yang perlu direnungkan: eksistensi ulun Lampung. Menurut saya, salah satu penanda keberadaan ulun Lampung adalah bahasa Lampung. Oleh karena itu, jika ulun Lampung masih merasa memiliki bahasa Lampung (dengan dua dialek: O dan A dan beberapa subdialeknya), saran Udo Z. Karzi untuk mengemas buku pelajaran bahasa Lampung dalam dua versi dapat diabaikan. Sebaliknya, jika ulun Lampung menghendaki dialek O dan dialek A menjadi dua bahasa yang berbeda, saran Udo itu pantas dipertimbangkan.
Yang pasti, semua pilihan mengandung risiko. Sudah menjadi kodratnya bahwa dalam praktek pemakaiannya, bahasa apa pun (tidak terkecuali bahasa Lampung) tidak pernah hadir dalam sosok yang homogen. Ia selalu hadir dalam sosok yang heterogen, dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis).
Memilih atau menentukan salah satu varian sebagai bahasa standar, dengan demikian, selalu menimbulkan kesan melecehkan varian-varian yang lain. Di sinilah sesungguhnya kebijaksanaan (wishdom) dan kebijakan (policy) para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan pengembangan dan pembinaan bahasa itu diperlukan. Hanya melalui perencanaan (dan pelaksanaannya) yang baik bahasa Lampung dapat diharapkan berfungsi dengan baik.
Jika hal itu terwujud, mudah-mudahan ke depan bahasa Lampung tidak hanya dapat mengemban fungsinya sebagai alat komunikasi, tetapi juga dapat mengemban fungsinya sebagai identitas dan sekaligus pemersatu pemakainya. Semoga. n
* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
AKHIR Juli 2008, di harian ini saya pernah mengutarakan penyebab utama, di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak orang (seperti keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada penguasaan aksara [bukan bahasa] Lampung), kegagalan pengajaran bahasa Lampung adalah belum adanya bahasa standar bahasa Lampung yang harus diajarkan.
Selama ini perbedaan dialek O (nyo) dan A (api) masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Penutur dua dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (mengklaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran bahasa Lampung pun berbeda-beda.
Awal 2009 ini keluhan atas kecarut-marutan pengajaran bahasa Lampung di sekolah dilontarkan kembali oleh Udo Z. Karzi (Lampung Post, 4 Januari). Salah satu keluhan yang diutarakannya (yang menurut saya perlu mendapat perhatian lebih) adalah pencampuradukan dialek O dan A dalam satu buku pelajaran bahasa Lampung. Menurut dia, pencampuradukan kedua dialek itu justru membuat siswa tidak saja bingung dan stres, tetapi juga fobia terhadap bahasa Lampung. Ia menyarankan agar buku pelajaran bahasa Lampung dibuat dua versi.
Versi pertama menggunakan dialek O untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek O. Versi kedua menggunakan dialek A untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek A.
Keluhan Udo seperti itu memperkuat keyakinan saya bahwa sesungguhnya penstandaran bahasa Lampung perlu segera dilakukan. Seperti yang pernah saya katakan, pada dasarnya masalah pengajaran bahasa (baik bahasa nasional, daerah, ataupun asing) selalu berkutat dengan persoalan bahasa standar.
Ini penting karena untuk mengukur capaian keberhasilan proses pengajaran harus didasarkan pada kriteria penilaian yang standar pula. Itulah sebabnya, pada umumnya orang akan berpedoman pada satu kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar (sebagai bahasa standar) untuk menentukan standar evaluasi capaian hasil belajar.
Atas dasar itu, sebenarnya pembuatan buku pelajaran bahasa Lampung dalam dua versi: dialek O dan dialek A juga masih menyisakan masalah. Bukankah kedua dialek itu memiliki sub-subdialek masing-masing? Artinya, kalaulah harus dibuat dalam dua versi, mau tidak mau, buku pelajaran bahasa Lampung itu pun masing-masing harus hanya memuat materi dari salah satu subdialeknya yang dianggap (ditentukan) standar.
Norma Bahasa Standar
Haugen di dalam studinya tentang norma bahasa-bahasa Skandinavia (1968) mengatakan bahwa patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Pada saat norma itu dikodifikasi dan dimekarkan oleh penuturnya sering patokan itu justru tidak dapat dikenali lagi asalnya. Pendapat itu diperkuat, antara lain, oleh Ansre (1974) melalui studinya tentang bahasa Sonya standar (baku) di Afrika yang didasarkan pada gabungan beberapa dialek dan oleh Byron (1976) melalui studinya tentang bahasa Albania standar (baku) yang didasarkan pada salah satu dialek.
Di Indonesia, menurut Anton Moeliono (1981), bahasa Indonesia standar secara tentatif dapat dikatakan bertumpu pada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa dan diajarkan di sekolah, sedangkan yang lain berupa norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan biasanya dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan.
Ketumpangtindihan itu ada kalanya menyebabkan norma yang berlaku di sekolah tidak diikuti oleh media dan sebaliknya. Untuk mengatasinya, dibentuklah sebuah lembaga (Pusat Bahasa) yang diharapkan dapat memprioritaskan penyusunan kaidah tata bahasa yang menggambarkan norma-norma bahasa Indonesia standar dan dapat menyatukan dua perangkat norma yang tumpang tindih itu.
Bagaimana dengan bahasa Lampung? Tentu sangat bergantung pada kemauan ulun Lampung (termasuk pemda-nya). Dibandingkan bahasa-bahasa daerah lain yang lebih besar, seperti Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau, penanganan bahasa Lampung tentu lebih rumit. Di samping hanya digunakan sebagian kecil penduduknya (sekitar 17%), bahasa Lampung juga belum ditangani secara sungguh-sungguh. Upaya-upaya yang telah dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemda, pada umumnya masih sangat parsial dan tidak berkelanjutan.
Terlepas dari hal itu, ada satu hal penting yang perlu direnungkan: eksistensi ulun Lampung. Menurut saya, salah satu penanda keberadaan ulun Lampung adalah bahasa Lampung. Oleh karena itu, jika ulun Lampung masih merasa memiliki bahasa Lampung (dengan dua dialek: O dan A dan beberapa subdialeknya), saran Udo Z. Karzi untuk mengemas buku pelajaran bahasa Lampung dalam dua versi dapat diabaikan. Sebaliknya, jika ulun Lampung menghendaki dialek O dan dialek A menjadi dua bahasa yang berbeda, saran Udo itu pantas dipertimbangkan.
Yang pasti, semua pilihan mengandung risiko. Sudah menjadi kodratnya bahwa dalam praktek pemakaiannya, bahasa apa pun (tidak terkecuali bahasa Lampung) tidak pernah hadir dalam sosok yang homogen. Ia selalu hadir dalam sosok yang heterogen, dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis).
Memilih atau menentukan salah satu varian sebagai bahasa standar, dengan demikian, selalu menimbulkan kesan melecehkan varian-varian yang lain. Di sinilah sesungguhnya kebijaksanaan (wishdom) dan kebijakan (policy) para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan pengembangan dan pembinaan bahasa itu diperlukan. Hanya melalui perencanaan (dan pelaksanaannya) yang baik bahasa Lampung dapat diharapkan berfungsi dengan baik.
Jika hal itu terwujud, mudah-mudahan ke depan bahasa Lampung tidak hanya dapat mengemban fungsinya sebagai alat komunikasi, tetapi juga dapat mengemban fungsinya sebagai identitas dan sekaligus pemersatu pemakainya. Semoga. n
* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
Tajuk: Festival yang Kurang Kemasan
LAMPUNG memiliki banyak agenda massal yang dikemas dalam bentuk festival. Skalanya luas, dari skop lokal, nasional, sampai internasional. Festival Durian 2009 yang digelar di Taman Wisata Alam Batu Putu, Telukbetung Utara, termasuk salah satu agenda yang dikemas secara massal. Festival yang berlangsung dari 23 sampai 25 Januari itu disebut-sebut berskala internasional.
Tentu saja, sebagai sebuah terobosan dan inovasi program kepariwisataan, festival yang dikelola Pemkot Bandar Lampung melalui instansi terkait ini bisa kita katakan program kreatif. Apa pun bisa dijadikan potensi asal dikelola dengan baik. Dan Lampung, begitu juga Bandar Lampung, memiliki potensi itu.
Tampaknya, kesadaran seperti ini yang merangsang Pemkot menjadikan sumber daya alam--i.e. perkebunan dengan komoditas durian--sebagai kekuatan penggerak kepariwisataan. Faktanya, kawasan Batu Putu dan sekitarnya memang termasuk sentra penghasil durian di Bandar Lampung. Sebagai penghasil durian, kawasan ini memang cukup terkenal di Lampung. Durian putra alam adalah produk khas kawasan ini yang menjadi kebanggaan Bandar Lampung.
Dari sini, kita bisa mengatakan Festival Durian adalah satu program yang mengemas potensi sumber daya lokal dengan cerdas. Dengan satu sentuhan kepariwisataan, potensi durian Batu Putu dan sekitarnya dikemas menjadi komoditas jasa. Tidak lagi sebatas produk hasil perkebunan, dengan segala turunannya semisal dodol, tempoyak, lempok, dan penganan lain.
Ini juga diakui panitia pelaksana festival. Bahwa salah satu tujuan Festival Durian adalah mengangkat durian dari hakikatnya sebagai produk hasil perkebunan menjadi komoditas jasa. Maka itu, panitia juga mengadakan berbagai acara, dari lomba memakan durian di lokasi, lomba cipta makanan berbahan durian, pentas seni budaya, dan hiburan.
Untuk konteks "agenda semusim", acara-acara yang diadakan panitia sudah cukup mengangkat festival. Masalahnya jadi lain jika Pemkot menjadikan Festival Durian agenda unggulan untuk mengangkat pariwisata lokal dan menggeliatkan perekonomian rakyat.
Jelas, perlu perencanaan matang untuk menjadikan Festival Durian event unggulan, tidak cukup acara-acara dadakan. Infrastruktur perlu dimaksimalkan. Keterlibatan stakeholder yang mendukung kepariwisataan juga perlu diperluas. Promosi dan pencitraan juga jangan sampai ditinggalkan. Satu lagi yang jadi fondasi, visi yang ingin dicapai--ini jangan sampai terlupakan.
Jika unsur-unsur ini bisa dilengkapi, yakinlah Festival Durian akan menjadi agenda unggulan yang dinanti masyarakat tiap tahun.
Pemkot dan panitia Festival Durian tentu bisa belajar dari festival-festival lain di provinsi ini. Kita bisa sebut Festival Krakatau, Festival Way Kambas, dan Festival Teluk Stabas yang sudah lebih dahulu berlangsung. Bisa dibilang, agenda besar sekelas Festival Krakatau saja tidak begitu sukses padahal melibatkan berbagai elemen dan topangan dana cukup besar.
Tanpa perencanaan matang dan dukungan berbagai elemen, festival yang baru berlangsung satu atau dua tahun seperti Festival Durian tentu sulit berkembang menjadi acara besar yang dinanti-nantikan.
Ini masalah yang mesti disikapi serius Pemkot Bandar Lampung. Tanpa kebijakan yang terarah dan visioner, sulit mengharapkan Festival Durian di Batu Putu menjadi kekuatan penarik kepariwisataan dan perangsang perekonomian rakyat. Paling-paling, kita hanya menyaksikan acara tahunan di Batu Putu yang semuanya berangkat dari durian. Hanya itu. n
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
Tentu saja, sebagai sebuah terobosan dan inovasi program kepariwisataan, festival yang dikelola Pemkot Bandar Lampung melalui instansi terkait ini bisa kita katakan program kreatif. Apa pun bisa dijadikan potensi asal dikelola dengan baik. Dan Lampung, begitu juga Bandar Lampung, memiliki potensi itu.
Tampaknya, kesadaran seperti ini yang merangsang Pemkot menjadikan sumber daya alam--i.e. perkebunan dengan komoditas durian--sebagai kekuatan penggerak kepariwisataan. Faktanya, kawasan Batu Putu dan sekitarnya memang termasuk sentra penghasil durian di Bandar Lampung. Sebagai penghasil durian, kawasan ini memang cukup terkenal di Lampung. Durian putra alam adalah produk khas kawasan ini yang menjadi kebanggaan Bandar Lampung.
Dari sini, kita bisa mengatakan Festival Durian adalah satu program yang mengemas potensi sumber daya lokal dengan cerdas. Dengan satu sentuhan kepariwisataan, potensi durian Batu Putu dan sekitarnya dikemas menjadi komoditas jasa. Tidak lagi sebatas produk hasil perkebunan, dengan segala turunannya semisal dodol, tempoyak, lempok, dan penganan lain.
Ini juga diakui panitia pelaksana festival. Bahwa salah satu tujuan Festival Durian adalah mengangkat durian dari hakikatnya sebagai produk hasil perkebunan menjadi komoditas jasa. Maka itu, panitia juga mengadakan berbagai acara, dari lomba memakan durian di lokasi, lomba cipta makanan berbahan durian, pentas seni budaya, dan hiburan.
Untuk konteks "agenda semusim", acara-acara yang diadakan panitia sudah cukup mengangkat festival. Masalahnya jadi lain jika Pemkot menjadikan Festival Durian agenda unggulan untuk mengangkat pariwisata lokal dan menggeliatkan perekonomian rakyat.
Jelas, perlu perencanaan matang untuk menjadikan Festival Durian event unggulan, tidak cukup acara-acara dadakan. Infrastruktur perlu dimaksimalkan. Keterlibatan stakeholder yang mendukung kepariwisataan juga perlu diperluas. Promosi dan pencitraan juga jangan sampai ditinggalkan. Satu lagi yang jadi fondasi, visi yang ingin dicapai--ini jangan sampai terlupakan.
Jika unsur-unsur ini bisa dilengkapi, yakinlah Festival Durian akan menjadi agenda unggulan yang dinanti masyarakat tiap tahun.
Pemkot dan panitia Festival Durian tentu bisa belajar dari festival-festival lain di provinsi ini. Kita bisa sebut Festival Krakatau, Festival Way Kambas, dan Festival Teluk Stabas yang sudah lebih dahulu berlangsung. Bisa dibilang, agenda besar sekelas Festival Krakatau saja tidak begitu sukses padahal melibatkan berbagai elemen dan topangan dana cukup besar.
Tanpa perencanaan matang dan dukungan berbagai elemen, festival yang baru berlangsung satu atau dua tahun seperti Festival Durian tentu sulit berkembang menjadi acara besar yang dinanti-nantikan.
Ini masalah yang mesti disikapi serius Pemkot Bandar Lampung. Tanpa kebijakan yang terarah dan visioner, sulit mengharapkan Festival Durian di Batu Putu menjadi kekuatan penarik kepariwisataan dan perangsang perekonomian rakyat. Paling-paling, kita hanya menyaksikan acara tahunan di Batu Putu yang semuanya berangkat dari durian. Hanya itu. n
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
Festival Durian Hanya Seremonial
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Festival Durian yang digelar di kawasan Wisata Batu Putu, Jumat (23-1), tidak lebih dari kegiatan seremonial yang ditandai pembukaan acara dan makan durian bersama. Selain jauh dari kemeriahan, festival ini sepi pengunjung.
Tidak satu pun wisatawan terlihat dalam festival yang masuk salah satu program Visit Lampung Year 2009. Pembukaan yang dilangsungkan di Taman Wisata Batu Putu, Jumat (23-1), hanya dihadiri pejabat Pemerintah Kota Bandar Lampung, seratusan tamu undangan, dan masyarakat sekitar. Sama sekali tidak ada wisatawan.
Pembukaan festival durian dimulai pukul 14.00. Para undangan disuguhi penampilan seni dari Himpunan Mahasiswa Lampung Yogyakarta (Hipmala). Setelah acara pembukaan, tamu undangan bersama-sama memakan durian yang disuguhkan panitia. Namun, tidak semua undangan kebagian karena durian sudah habis. Pembukaan festival terkesan hanya seremonial. Hal ini terlihat setelah pembukaan dan acara makan durian bersama, semua tamu undangan dan pengunjung meninggalkan tempat acara.
Durian yang disuguhkan pada acara pembukaan pun tidak lebih dari 200 buah. Awalnya penyelanggara Festival Durian, Yayasan Wisata Alam (Yawisal) Lampung menjanjikan akan menyediakan 1.000 durian.
Festival Durian ini juga terkesan tanpa persiapan. Infrastruktur di kawasan wisata itu belum dibenahi. Jalur masuk menuju Taman Wisata Batu Putu pun masih berlubang.
Kamar mandi di taman wisata juga tidak dilengkapi fasilitas air bersih. Sama sekali tidak ada air di kamar mandi. Panitia hanya menyiapkan satu tangki mobil air bersih untuk pengunjung. Pengunjung dipersilakan menggunakan air dari keran tangki tersebut.
Saat masuk kawasan Taman Wisata Batu Putu, tempat pelaksanaan Festival Durian, sama sekali tidak ada kesemarakan. Pohon-pohon durian di kawasan tersebut tidak satu pun yang berbuah.
Kecewa
Seorang pengunjung, Isbedy Stiawan Z.S. mengaku kecewa dengan penyelenggaraan festival tersebut. Selain tidak meriah, pengunjung festival hanya warga sekitar dan para pejabat undangan.
Menurut dia, panitia penyelengara telah melakukan pembohongan publik. "Panita menjanjikan akan menyediakan 1.000 buah durian dan akan ada 50 wisatawan asing di Festival Durian. Hal yang disampaikan panitia adalah sebuah kebohongan."
Pemerintah Kota, kata Isbedy, sama sekali tidak siap dengan Festival Durian. Dengan konsep acara yang sangat sederhana, Festival Durian tidak pantas menjadi bagian dari Visit Lampung dan Visit Indonesia. "Jika memang tidak siap, lebih baik jangan diadakan," kata Isbedy yang datang sebagai undangan dari panitia.
Sementara itu, Ketua Yawisal Lampung Ahmad Sibli Rais mengatakan tidak semua durian ditampilkan pada acara pembukaan. Durian juga akan ditampilkan pada acara lomba makan dan lomba foto, serta acara penutupan festival.
Menurut dia, Festival Durian akan sangat meriah saat pelaksanaa beberapa lomba. Lomba akan diikuti ratusan peserta.
Sibli tidak mengetahui jumlah pasti peserta yang akan mengikuti lomba durian. "Jumlah peserta lomba akan bertambah pada saat pelaksanaan lomba."
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Fachrudin mengatakan Festival Durian merupakan kegiatan perangsang yang diharapkan bisa menghidupkan potensi agrowisata di Taman Wisata Batu Putu. Batu Putu sangat tepat menjadi daerah agrowisata sehingga masyarakat juga harus mempersiapkan diri menjadi bagian dari daerah wisata. "Daerah agrowisata harus diikuti dengan perubahan perilaku masyarakat. Masyarakat tidak diperbolehkan merusak lingkungan sekutar karena akan merusak potensi agrowisata," kata Fachrudin. n PADLI RAMDAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
Tidak satu pun wisatawan terlihat dalam festival yang masuk salah satu program Visit Lampung Year 2009. Pembukaan yang dilangsungkan di Taman Wisata Batu Putu, Jumat (23-1), hanya dihadiri pejabat Pemerintah Kota Bandar Lampung, seratusan tamu undangan, dan masyarakat sekitar. Sama sekali tidak ada wisatawan.
Pembukaan festival durian dimulai pukul 14.00. Para undangan disuguhi penampilan seni dari Himpunan Mahasiswa Lampung Yogyakarta (Hipmala). Setelah acara pembukaan, tamu undangan bersama-sama memakan durian yang disuguhkan panitia. Namun, tidak semua undangan kebagian karena durian sudah habis. Pembukaan festival terkesan hanya seremonial. Hal ini terlihat setelah pembukaan dan acara makan durian bersama, semua tamu undangan dan pengunjung meninggalkan tempat acara.
Durian yang disuguhkan pada acara pembukaan pun tidak lebih dari 200 buah. Awalnya penyelanggara Festival Durian, Yayasan Wisata Alam (Yawisal) Lampung menjanjikan akan menyediakan 1.000 durian.
Festival Durian ini juga terkesan tanpa persiapan. Infrastruktur di kawasan wisata itu belum dibenahi. Jalur masuk menuju Taman Wisata Batu Putu pun masih berlubang.
Kamar mandi di taman wisata juga tidak dilengkapi fasilitas air bersih. Sama sekali tidak ada air di kamar mandi. Panitia hanya menyiapkan satu tangki mobil air bersih untuk pengunjung. Pengunjung dipersilakan menggunakan air dari keran tangki tersebut.
Saat masuk kawasan Taman Wisata Batu Putu, tempat pelaksanaan Festival Durian, sama sekali tidak ada kesemarakan. Pohon-pohon durian di kawasan tersebut tidak satu pun yang berbuah.
Kecewa
Seorang pengunjung, Isbedy Stiawan Z.S. mengaku kecewa dengan penyelenggaraan festival tersebut. Selain tidak meriah, pengunjung festival hanya warga sekitar dan para pejabat undangan.
Menurut dia, panitia penyelengara telah melakukan pembohongan publik. "Panita menjanjikan akan menyediakan 1.000 buah durian dan akan ada 50 wisatawan asing di Festival Durian. Hal yang disampaikan panitia adalah sebuah kebohongan."
Pemerintah Kota, kata Isbedy, sama sekali tidak siap dengan Festival Durian. Dengan konsep acara yang sangat sederhana, Festival Durian tidak pantas menjadi bagian dari Visit Lampung dan Visit Indonesia. "Jika memang tidak siap, lebih baik jangan diadakan," kata Isbedy yang datang sebagai undangan dari panitia.
Sementara itu, Ketua Yawisal Lampung Ahmad Sibli Rais mengatakan tidak semua durian ditampilkan pada acara pembukaan. Durian juga akan ditampilkan pada acara lomba makan dan lomba foto, serta acara penutupan festival.
Menurut dia, Festival Durian akan sangat meriah saat pelaksanaa beberapa lomba. Lomba akan diikuti ratusan peserta.
Sibli tidak mengetahui jumlah pasti peserta yang akan mengikuti lomba durian. "Jumlah peserta lomba akan bertambah pada saat pelaksanaan lomba."
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Fachrudin mengatakan Festival Durian merupakan kegiatan perangsang yang diharapkan bisa menghidupkan potensi agrowisata di Taman Wisata Batu Putu. Batu Putu sangat tepat menjadi daerah agrowisata sehingga masyarakat juga harus mempersiapkan diri menjadi bagian dari daerah wisata. "Daerah agrowisata harus diikuti dengan perubahan perilaku masyarakat. Masyarakat tidak diperbolehkan merusak lingkungan sekutar karena akan merusak potensi agrowisata," kata Fachrudin. n PADLI RAMDAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Januari 2009
Bandar Lampung Potensi Jadi Kota Budaya
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bandar Lampung potensial menjadi kota budaya. Denyut nadi aktivitas kesenian, baik sastra, teater maupun seni pertunjukan lain di kota ini sangat kuat.
Budayawan Putu Wijaya mengaku baru dua kali ke Bandar Lampung. Namun, sejak kunjungan pertamanya ke Lampung tahun 1990-an, dia sudah merasakan atmosfer berkesenian di Lampung. Berbagai event kesenian yang digelar di sini, seperti Liga Teater Pelajar, pelatihan teater, kegiatan sastra, dan kegiatan seni lain menunjukkan kehidupan seni-budaya berkembang pesat di Lampung.
"Kota ini seperti di luar amatan saya. Selama ini, orang hanya tahu Medan dan Padang sebagai pusat kebudayaan. Saya surprise di sini. Ternyata di kota ini geliat sastra, teater, dan seni lain luar biasa," kata Putu yang ditemui di sela-sela Workshop Penyutradaraan dan Artistik dalam Rangkaian Kala Sumatera yang diselenggarakan Teater Satu dan Hivos Belanda, Kamis (22-1).
Kalau kesenian Lampung kurang mengemuka di tingkat nasional, menurut sastrawan serbabisa ini, ada sedikit persoalan pada tingkat publikasi, selain peran pemerintah daerah yang masih harus didorong dan kegigihan para seniman-budayawan dalam memperjuangkan harkat seni-budaya.
"Peran wartawan sangat penting dalam memperkenalkan kesenian kepada khalayak. Seniman harus bekerja keras menunjukkan karya untuk memperlihatkan kepada pemerintah daerah bahwa seni-budaya juga perlu mendapat perhatian, mendapat prioritas dalam anggaran," ujarnya.
Kehidupan berkesenian di Bandar Lampung harusnya diekspos di tingkat nasional dan bagian program seni-budaya nasional. "Bandar Lampung mempunyai modal untuk berkembang menjadi kota budaya. Sinergi antara seniman, pemerintah, dan pers perlu dikuatkan lagi. Semangat berkesenian di Lampung bisa ditularkan ke daerah lain."
Apalagi, kata Putu, dari daerah ini ia mengenal beberapa tokoh teater seperti BM Gutomo, Rachman Yacob, termasuk yang paling terkini Iswadi Pratama. Di bidang sastra, dia juga melihat banyak sastrawan kuat di Lampung.
Senada dengan itu, pengajar STSI Bandung Joko Kurnain menyatakan kekaguman pada perkembangan teater di Lampung. "Saya kaget. Saya baru tahu kalau di Lampung tradisi teater cukup kuat mengakar. Kemampuan teknis teater teman-teman di sini bagus." n ZUL/U-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
Budayawan Putu Wijaya mengaku baru dua kali ke Bandar Lampung. Namun, sejak kunjungan pertamanya ke Lampung tahun 1990-an, dia sudah merasakan atmosfer berkesenian di Lampung. Berbagai event kesenian yang digelar di sini, seperti Liga Teater Pelajar, pelatihan teater, kegiatan sastra, dan kegiatan seni lain menunjukkan kehidupan seni-budaya berkembang pesat di Lampung.
"Kota ini seperti di luar amatan saya. Selama ini, orang hanya tahu Medan dan Padang sebagai pusat kebudayaan. Saya surprise di sini. Ternyata di kota ini geliat sastra, teater, dan seni lain luar biasa," kata Putu yang ditemui di sela-sela Workshop Penyutradaraan dan Artistik dalam Rangkaian Kala Sumatera yang diselenggarakan Teater Satu dan Hivos Belanda, Kamis (22-1).
Kalau kesenian Lampung kurang mengemuka di tingkat nasional, menurut sastrawan serbabisa ini, ada sedikit persoalan pada tingkat publikasi, selain peran pemerintah daerah yang masih harus didorong dan kegigihan para seniman-budayawan dalam memperjuangkan harkat seni-budaya.
"Peran wartawan sangat penting dalam memperkenalkan kesenian kepada khalayak. Seniman harus bekerja keras menunjukkan karya untuk memperlihatkan kepada pemerintah daerah bahwa seni-budaya juga perlu mendapat perhatian, mendapat prioritas dalam anggaran," ujarnya.
Kehidupan berkesenian di Bandar Lampung harusnya diekspos di tingkat nasional dan bagian program seni-budaya nasional. "Bandar Lampung mempunyai modal untuk berkembang menjadi kota budaya. Sinergi antara seniman, pemerintah, dan pers perlu dikuatkan lagi. Semangat berkesenian di Lampung bisa ditularkan ke daerah lain."
Apalagi, kata Putu, dari daerah ini ia mengenal beberapa tokoh teater seperti BM Gutomo, Rachman Yacob, termasuk yang paling terkini Iswadi Pratama. Di bidang sastra, dia juga melihat banyak sastrawan kuat di Lampung.
Senada dengan itu, pengajar STSI Bandung Joko Kurnain menyatakan kekaguman pada perkembangan teater di Lampung. "Saya kaget. Saya baru tahu kalau di Lampung tradisi teater cukup kuat mengakar. Kemampuan teknis teater teman-teman di sini bagus." n ZUL/U-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
VLY 2009: Pemprov Monitor Program VLY Kabupaten/Kota
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Lampung akan memonitor seluruh kabupaten/kota di daerahnya terkait dukungan terhadap program Visit Lampung Year (VLY) 2009. Disbudpar juga akan mengevaluasi kegiatan wisata dan budaya yang diselenggarakan setiap bulan.
Kepala Disparbud M. Natsir mengaku ujung tombak keberhasilan VLY adalah dukungan kabupaten/kota. Selain juga peran serta seluruh elemen masyarakat Lampung termasuk operator perjalanan dan stakeholder lainnya.
"Tanpa peran itu saya sangsi pencanangan Visit Lampung Year 2009 ini berhasil," kata Natsir, usai pertemuannya dengan Perkumpulan Pemandu Wisata dalam rangka rapat koordinasi VLY 2009, di aula dinas itu, Kamis (22-1).
Menurut dia, pemerintah provinsi telah berupaya untuk mengoptimalkan program itu. Namun dia masih mempertanyakan kenapa komponen dan elemen ini tidak berjalan sebagai mana yang diharapkan.
"Kami berharap stakeholder juga lebih memperhatikan pencanangannya," kata Natsir.
Disbupar, ujarnya, sangat merespons kritik dan saran dari berbagai elemen termasuk media massa. Kritik dan saran itu akan menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan kinerja untuk menyukseskan VLY. "Kita masih mencari sisi mana yang belum bersinergi," kata dia.
Ke depan, Disbudpar berharap para operator perjalan wisata, dan masyarakat luas siap menghadapi kunjungan wisatawan. Baik dari segi penjagaan lingkungan, komunikasi dan sosialisasi objek wisata daerah. Sehingga, program ini dapat mendukung investasi yang masuk ke Lampung.
Dalam kesempatan itu, Natsir juga mengakui masih banyak kendala dalam pelaksanan VLY, khususnya persoalan ketidaksiapan infrastruktur ke tempat tujuan wisata.
"Memang banyak jalan yang rusak, tapi program itu harus tetap berjalan sesuai dengan rencana. Kita tidak bisa ributkan telur dulu apa ayam dulu yang ada. Visit Lampung ini harus berjalan secara simultan dengan pembangunan infrastruktur," kata Natsir. n Aan/K-2
Kendala lainnya adalah dana terbatas, apalagi ditambah penyerapan 20% untuk sektor pendidikan. Sehingga Natsir, yang saat ditemui didampingi Kepala Bidang Pemasaran Lukmansyah, mengharapkan satuan kerja lainnya ikut bersinergi mendukung VLY. "Minimal mereka mau ikut berpromosi program VLY dan dukungan lainnya," kata dia.
Natsir juga menyayangkan pihak hotel restoran yang dinilainya belum serius menyambut program VLY yang menargetkan 2 juta pengunjung.
Mestinya mereka mau ikut mempromosikan kegiatan dan objek pariwisata di Lampung.
"CD, brosur dan pamflet promosi wisata rajin kami bagikan ke hotel-hotel di Lampung, tapi mereka masih suka menayangkan film kartun daripada memutar CD itu. Bahkan ada seorang resepsionis di salah satu hotel terkemuka yang saat ditanya objek wisata menjawab tidak tahu," kata dia. n AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
Kepala Disparbud M. Natsir mengaku ujung tombak keberhasilan VLY adalah dukungan kabupaten/kota. Selain juga peran serta seluruh elemen masyarakat Lampung termasuk operator perjalanan dan stakeholder lainnya.
"Tanpa peran itu saya sangsi pencanangan Visit Lampung Year 2009 ini berhasil," kata Natsir, usai pertemuannya dengan Perkumpulan Pemandu Wisata dalam rangka rapat koordinasi VLY 2009, di aula dinas itu, Kamis (22-1).
Menurut dia, pemerintah provinsi telah berupaya untuk mengoptimalkan program itu. Namun dia masih mempertanyakan kenapa komponen dan elemen ini tidak berjalan sebagai mana yang diharapkan.
"Kami berharap stakeholder juga lebih memperhatikan pencanangannya," kata Natsir.
Disbupar, ujarnya, sangat merespons kritik dan saran dari berbagai elemen termasuk media massa. Kritik dan saran itu akan menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan kinerja untuk menyukseskan VLY. "Kita masih mencari sisi mana yang belum bersinergi," kata dia.
Ke depan, Disbudpar berharap para operator perjalan wisata, dan masyarakat luas siap menghadapi kunjungan wisatawan. Baik dari segi penjagaan lingkungan, komunikasi dan sosialisasi objek wisata daerah. Sehingga, program ini dapat mendukung investasi yang masuk ke Lampung.
Dalam kesempatan itu, Natsir juga mengakui masih banyak kendala dalam pelaksanan VLY, khususnya persoalan ketidaksiapan infrastruktur ke tempat tujuan wisata.
"Memang banyak jalan yang rusak, tapi program itu harus tetap berjalan sesuai dengan rencana. Kita tidak bisa ributkan telur dulu apa ayam dulu yang ada. Visit Lampung ini harus berjalan secara simultan dengan pembangunan infrastruktur," kata Natsir. n Aan/K-2
Kendala lainnya adalah dana terbatas, apalagi ditambah penyerapan 20% untuk sektor pendidikan. Sehingga Natsir, yang saat ditemui didampingi Kepala Bidang Pemasaran Lukmansyah, mengharapkan satuan kerja lainnya ikut bersinergi mendukung VLY. "Minimal mereka mau ikut berpromosi program VLY dan dukungan lainnya," kata dia.
Natsir juga menyayangkan pihak hotel restoran yang dinilainya belum serius menyambut program VLY yang menargetkan 2 juta pengunjung.
Mestinya mereka mau ikut mempromosikan kegiatan dan objek pariwisata di Lampung.
"CD, brosur dan pamflet promosi wisata rajin kami bagikan ke hotel-hotel di Lampung, tapi mereka masih suka menayangkan film kartun daripada memutar CD itu. Bahkan ada seorang resepsionis di salah satu hotel terkemuka yang saat ditanya objek wisata menjawab tidak tahu," kata dia. n AAN/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
Festival Durian 2009 (2-Habis): 'Event' Internasional, Persiapan Seadanya
BANDAR LAMPUNG--Hari ini (22-1) Festival Durian 2009 yang digelar di Taman Wisata Alam Batu Putu, Telukbetung Utara, dibuka Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno. Festival itu berlangsung selama tiga hari, Jumat hingga Minggu (23--25-1).
Dalan event internasional yang bakal dihadiri sedikitnya 50 wisatawan asing asal Jepang dan India ini panitia menyiapkan sekitar 1.000 buah durian.
Durian banyak diperlukan karena akan menjadi bahan baku berbagai jenis lomba. Namun, bukan durian putra alam--yang menjadi ikon Bandar Lampung--yang disiapkan. Pasalnya buahnya masih kecil.
"Musim durian putra alam kini jelek sehingga tidak bisa ditampilkan dalam festival," kata Sibli Rais, Ketua Yawisal (Yayasan Wisata Alam Lampung) yang juga ketua Panitia Festival Durian 2009 ini tadi malam (22-1).
Meski demikian, pihaknya mengumpulkan durian yang berasal dari sekitar Batu Putu. Kekurangannya diambil dari tempat lain. Sibli menjelaskan pada hari pertama akan diisi kegiatan pembukaan, pentas seni budaya, dan hiburan. "Pentas seni budaya diisi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa asal Lampung di Yogyakarta. Mereka akan menampilkan seni budaya Lampung," kata dia.
Lalu Sabtu (24-1), baru mulai digelar lomba aneka cipta makanan berbahan baku durian. Peserta lomba adalah masyarakat sekitar Batu Putu. "Jadi wisatawan dapat melihat langsung lomba membuat makanan berbahan baku durian," ujar Sibli.
Kemudian juga ada lomba makan durian. "Siapa saja boleh mengikuti perlombaan ini dan tidak dipungut biaya," kata Sibli.
Minggu (25-1) digelar lomba foto durian dan lomba mewarnai durian dengan peserta anak-anak. Acara digelar hingga malam hari dan ditutup dengan pentas seni budaya serta makan durian bersama.
Selain itu, pihaknya juga menyiapkan tempat untuk lokasi "pasar Dadakan' hasil pertanian masyarakat.
Tidak Optimal
Sibli mengakui pelaksanaan Festival Durian 2009 ini tidak bisa dilaksanakan optimal. Hal ini terjadi karena pihak-pihak yang terlibat, baik dari Pemkot maupun pengusaha hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI dan kalangan biro perjalanan yang tergabung dalam Asita, tidak sinergi.
Infrastruktur juga tidak dipersiapkan secara baik. Jalan menuju Taman Wisata Batu Putu terutama yang melalui Kemiling--Perumahan Beringin Raya, banyak yang rusak sehingga mengurangi kenyamanan wisatawan yang berkunjung. Namun, jalan masuk melalui Jalan P. Emir M. Noer relatif lebih baik. Jarak antara Bandar Lampung dan lokasi berkisar 5 km.
Kerusakan jalan yang cukup parah juga terlihat mulai pintu masuk Taman Wisata Batu Putu hingga lokasi festival. Jalan sepanjang lebih dari 500 meter tersebut berbatu.
Selain itu, di lokasi festival panitia hanya menyiapkan tenda ukuran besar. Fasilitas yang disiapkan adalah kamar mandi semipermanen dan terbuat dari kayu. Itu pun hanya dua pintu.
Sementara itu, kamar mandi permanen yang dikerjakan pemborong tidak bisa digunakan. Bangunan dari luar terlihat bagus, tapi di dalamnya masih berantakan dan tidak bisa digunakan.
Kemudian ada musala kecil berukuran sekitar 4 x 4 m�MDSU�2. Sementara itu, fasilitas pendukung lain seperti pondokan untuk beristirahat, warung makan alternatif, dan lainnya.
Patut disayangkan paket wisata yang sudah masuk agenda nasional ini tidak dipersiapkan secara baik dan optimal. Persiapan terkesan terburu-buru dan hanya dikerjakan Yawisal. Padahal seharusnya lebih banyak pihak yang bisa terlibat aktif, terutama dari PHRI dan Asita.
Meski demikian, kekurangan itu diharapkan tidak membuat para wisatawan yang berkunjung jera. n MUSTAAN/TRIHADI JOKO/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
Dalan event internasional yang bakal dihadiri sedikitnya 50 wisatawan asing asal Jepang dan India ini panitia menyiapkan sekitar 1.000 buah durian.
Durian banyak diperlukan karena akan menjadi bahan baku berbagai jenis lomba. Namun, bukan durian putra alam--yang menjadi ikon Bandar Lampung--yang disiapkan. Pasalnya buahnya masih kecil.
"Musim durian putra alam kini jelek sehingga tidak bisa ditampilkan dalam festival," kata Sibli Rais, Ketua Yawisal (Yayasan Wisata Alam Lampung) yang juga ketua Panitia Festival Durian 2009 ini tadi malam (22-1).
Meski demikian, pihaknya mengumpulkan durian yang berasal dari sekitar Batu Putu. Kekurangannya diambil dari tempat lain. Sibli menjelaskan pada hari pertama akan diisi kegiatan pembukaan, pentas seni budaya, dan hiburan. "Pentas seni budaya diisi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa asal Lampung di Yogyakarta. Mereka akan menampilkan seni budaya Lampung," kata dia.
Lalu Sabtu (24-1), baru mulai digelar lomba aneka cipta makanan berbahan baku durian. Peserta lomba adalah masyarakat sekitar Batu Putu. "Jadi wisatawan dapat melihat langsung lomba membuat makanan berbahan baku durian," ujar Sibli.
Kemudian juga ada lomba makan durian. "Siapa saja boleh mengikuti perlombaan ini dan tidak dipungut biaya," kata Sibli.
Minggu (25-1) digelar lomba foto durian dan lomba mewarnai durian dengan peserta anak-anak. Acara digelar hingga malam hari dan ditutup dengan pentas seni budaya serta makan durian bersama.
Selain itu, pihaknya juga menyiapkan tempat untuk lokasi "pasar Dadakan' hasil pertanian masyarakat.
Tidak Optimal
Sibli mengakui pelaksanaan Festival Durian 2009 ini tidak bisa dilaksanakan optimal. Hal ini terjadi karena pihak-pihak yang terlibat, baik dari Pemkot maupun pengusaha hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI dan kalangan biro perjalanan yang tergabung dalam Asita, tidak sinergi.
Infrastruktur juga tidak dipersiapkan secara baik. Jalan menuju Taman Wisata Batu Putu terutama yang melalui Kemiling--Perumahan Beringin Raya, banyak yang rusak sehingga mengurangi kenyamanan wisatawan yang berkunjung. Namun, jalan masuk melalui Jalan P. Emir M. Noer relatif lebih baik. Jarak antara Bandar Lampung dan lokasi berkisar 5 km.
Kerusakan jalan yang cukup parah juga terlihat mulai pintu masuk Taman Wisata Batu Putu hingga lokasi festival. Jalan sepanjang lebih dari 500 meter tersebut berbatu.
Selain itu, di lokasi festival panitia hanya menyiapkan tenda ukuran besar. Fasilitas yang disiapkan adalah kamar mandi semipermanen dan terbuat dari kayu. Itu pun hanya dua pintu.
Sementara itu, kamar mandi permanen yang dikerjakan pemborong tidak bisa digunakan. Bangunan dari luar terlihat bagus, tapi di dalamnya masih berantakan dan tidak bisa digunakan.
Kemudian ada musala kecil berukuran sekitar 4 x 4 m�MDSU�2. Sementara itu, fasilitas pendukung lain seperti pondokan untuk beristirahat, warung makan alternatif, dan lainnya.
Patut disayangkan paket wisata yang sudah masuk agenda nasional ini tidak dipersiapkan secara baik dan optimal. Persiapan terkesan terburu-buru dan hanya dikerjakan Yawisal. Padahal seharusnya lebih banyak pihak yang bisa terlibat aktif, terutama dari PHRI dan Asita.
Meski demikian, kekurangan itu diharapkan tidak membuat para wisatawan yang berkunjung jera. n MUSTAAN/TRIHADI JOKO/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Januari 2009
January 22, 2009
Festival Durian 2009 (1): Cerita Durian Putra Alam untuk Wisatawan
BANDAR LAMPUNG--Dahulu, Lampung dikenal sebagai daerah penghasil durian. Kini, citra itu hampir tak ada. Meski ketika sedang musimnya durian dijajakan hampir di setiap tempat, kebanyakan yang dijajakan bukan durian dari Lampung, melainkan dari Sumatera Selatan.
Sebelumnya di sentra-sentra penghasil durian seperti Sukadanaham, Batuputu, dan sekitarnya selalu banjir durian saat musim. Namun, kini tidak lagi. Memang ada yang dijajakan, tetapi tidak semuanya berasal dari wilayah itu. Ada juga yang berasal dari wilayah lain.
Bahkan varietas durian asli Bandar Lampung seperti durian putra alam--yang hanya tumbuh di wilayah Batuputu dan sekitarnya--saat ini tidak mudah untuk didapat. Padahal durian ini dikenal sangat enak.
Biasanya, menjelang akhir tahun durian-durian varietas ini ada yang dijajakan di wilayah Batuputu dan sekitarnya. Namun saat ini hingga awal tahun, durian putra alam tak bisa dijumpai, apalagi dinikmati.
"Memang musim durian saat ini sangat jelek. Biasanya menjelang akhir tahun sudah berbuah. Namun saat ini durian jenis ini baru berbuah," kata Ahmad Sibli Rais, Ketua Panitia Festival Durian 2009 Selasa (20-1).
Sibli yang Ketua Yayasan Wisata Alam Lampung (Yawisal) mengatakan semakin sulitnya mendapatkan durian putra alam ini juga menjadi salah satu latar belakang digelarnya festival durian ini.
"Rasa durian putra alam sangat khas dan enak," kata Sibli yang ditemui di lokasi Wisata Batuputu, tempat digelarnya Festival Durian 2009. Kelebihannya, warna buahnya kuning mentega, dagingnya tebal, dan bijinya kecil. Selain itu rasanya khas.
Namun, semua kelebihan durian putra alam itu hanya ada di angan-angan. Para wisatawan yang datang ke festival hanya disuguhi cerita soal nikmatnya rasa durian putra alam. Mereka tak pernah disuguhi seperti apa durian putra alam yang hebat itu. Pasalnya, durian jenis itu baru berbuah.
Sibli mengakui kondisi tersebut. Namun, dia berjanji wisatawan yang datang tidak akan kecewa. Pasalnya, durian sebagai bahan utama berbagai kegiatan disiapkan oleh panitia.
"Meski bukan durian putra alam yang disiapkan, durian yang disiapkan juga tak kalah nikmat," ujarnya.
Andalan
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung M. Natsir Ari mengatakan Festival Durian yang digelar sejak 23--25 Januari 2008 ini memang menjadi salah satu andalan Visit Lampung Year (VLY) 2009.
"Event perdana dalam kalender kegiatan wisata Lampung itu direncanakan jadi andalan karena substansinya untuk mengangkat produk pertanian masyarakat," kata Natsir.
Apalagi saat ini Bandar Lampung telah memosisikan daerahnya menjadi sentra durian. Keseriusannya ditandai dengan membangun Tugu Durian di daerah yang menjadi penghasil durian, pasar durian, dan wisata durian, yakni Sukadanaham-Batuputu.
"Kami berharap Tugu Durian itu jangan cukup dibangun, tapi ada kegiatan yang berkaitan dengan pembangunannya itu," kata dia.
Sibli mengatakan Festival Durian 2009 ini sudah menjadi paket wisata nasional yang dijual ke luar negeri. "Saat ini sudah ada turis dari Jepang yang dipastikan hadir dalam FD 2009 ini."
Dia berharap keberadaan festival ini dapat mendongkrak kedatangan wisatawan ke Lampung. Misalnya, pada tahun 2008 jumlah wisatawan yang masuk Lampung mencapai 1,3 juta. Dan dari jumlah itu, sekitar 700 ribu ke Bandar Lampung.
Rata-rata mereka hanya satu sampai dua hari di Lampung. Para wisatawan itu rata-rata mengeluarkan uang sekitar Rp1 juta sehari. "Kalau dikalikan nilai uang yang masuk ke Lampung, lumayan besar," ujarnya.
Tahun ini, lanjutnya, diharapkan jumlah wisatawan meningkat, terlebih dengan adanya Festival Durian ini. Dengan demikian, pendapatan yang didapat dari wisatawan tersebut lebih besar. n TRIHADI JOKO/MUSTAAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Januari 2009
Sebelumnya di sentra-sentra penghasil durian seperti Sukadanaham, Batuputu, dan sekitarnya selalu banjir durian saat musim. Namun, kini tidak lagi. Memang ada yang dijajakan, tetapi tidak semuanya berasal dari wilayah itu. Ada juga yang berasal dari wilayah lain.
Bahkan varietas durian asli Bandar Lampung seperti durian putra alam--yang hanya tumbuh di wilayah Batuputu dan sekitarnya--saat ini tidak mudah untuk didapat. Padahal durian ini dikenal sangat enak.
Biasanya, menjelang akhir tahun durian-durian varietas ini ada yang dijajakan di wilayah Batuputu dan sekitarnya. Namun saat ini hingga awal tahun, durian putra alam tak bisa dijumpai, apalagi dinikmati.
"Memang musim durian saat ini sangat jelek. Biasanya menjelang akhir tahun sudah berbuah. Namun saat ini durian jenis ini baru berbuah," kata Ahmad Sibli Rais, Ketua Panitia Festival Durian 2009 Selasa (20-1).
Sibli yang Ketua Yayasan Wisata Alam Lampung (Yawisal) mengatakan semakin sulitnya mendapatkan durian putra alam ini juga menjadi salah satu latar belakang digelarnya festival durian ini.
"Rasa durian putra alam sangat khas dan enak," kata Sibli yang ditemui di lokasi Wisata Batuputu, tempat digelarnya Festival Durian 2009. Kelebihannya, warna buahnya kuning mentega, dagingnya tebal, dan bijinya kecil. Selain itu rasanya khas.
Namun, semua kelebihan durian putra alam itu hanya ada di angan-angan. Para wisatawan yang datang ke festival hanya disuguhi cerita soal nikmatnya rasa durian putra alam. Mereka tak pernah disuguhi seperti apa durian putra alam yang hebat itu. Pasalnya, durian jenis itu baru berbuah.
Sibli mengakui kondisi tersebut. Namun, dia berjanji wisatawan yang datang tidak akan kecewa. Pasalnya, durian sebagai bahan utama berbagai kegiatan disiapkan oleh panitia.
"Meski bukan durian putra alam yang disiapkan, durian yang disiapkan juga tak kalah nikmat," ujarnya.
Andalan
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung M. Natsir Ari mengatakan Festival Durian yang digelar sejak 23--25 Januari 2008 ini memang menjadi salah satu andalan Visit Lampung Year (VLY) 2009.
"Event perdana dalam kalender kegiatan wisata Lampung itu direncanakan jadi andalan karena substansinya untuk mengangkat produk pertanian masyarakat," kata Natsir.
Apalagi saat ini Bandar Lampung telah memosisikan daerahnya menjadi sentra durian. Keseriusannya ditandai dengan membangun Tugu Durian di daerah yang menjadi penghasil durian, pasar durian, dan wisata durian, yakni Sukadanaham-Batuputu.
"Kami berharap Tugu Durian itu jangan cukup dibangun, tapi ada kegiatan yang berkaitan dengan pembangunannya itu," kata dia.
Sibli mengatakan Festival Durian 2009 ini sudah menjadi paket wisata nasional yang dijual ke luar negeri. "Saat ini sudah ada turis dari Jepang yang dipastikan hadir dalam FD 2009 ini."
Dia berharap keberadaan festival ini dapat mendongkrak kedatangan wisatawan ke Lampung. Misalnya, pada tahun 2008 jumlah wisatawan yang masuk Lampung mencapai 1,3 juta. Dan dari jumlah itu, sekitar 700 ribu ke Bandar Lampung.
Rata-rata mereka hanya satu sampai dua hari di Lampung. Para wisatawan itu rata-rata mengeluarkan uang sekitar Rp1 juta sehari. "Kalau dikalikan nilai uang yang masuk ke Lampung, lumayan besar," ujarnya.
Tahun ini, lanjutnya, diharapkan jumlah wisatawan meningkat, terlebih dengan adanya Festival Durian ini. Dengan demikian, pendapatan yang didapat dari wisatawan tersebut lebih besar. n TRIHADI JOKO/MUSTAAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Januari 2009
50 Wisatawan Asing Batal ke Lambar
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Belum memadainya infrastruktur di Lampung Barat membuat 50 wisatawan asal Jepang dan India yang akan menyaksikan gerhana matahari anular tanggal 26 Januari di Ngaras, Lampung Barat, membatalkan rencananya. Ke-50 wisatawan ini akan mengalihkan kunjungan mereka ke Bandar Lampung.
Hal tersebut diungkapkan Citra Persada, salah seorang anggota panitia Visit Lampung Year (VLY) 2009. Menurut Citra, ke-50 wisatwan tersebut akan menyaksikan gerhana matahari anular di salah satu kawasan perbukitan di Bandar Lampung.
"Rencananya ke-50 wisatawan dan peneliti dari Jepang dan India ini akan menyaksikan gerhana matahari di Ngaras, Lampung Barat. Tapi, karena infrastruktur di sana belum lengkap, seperti hotel, WC, dan rumah makan, mereka terpaksa dialihkan ke Bandar Lampung." kata Citra, Rabu (21-1).
Dia mengakui masalah infrastruktur yang belum memadai menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan VLY 2009. Namun, Citra tetap optimistis target kunjungan 2 juta wisawatan nusantara dan wisatawan mancanegara bisa tercapai tahun ini.
"Selain 42 agenda wisata dan festival yang sudah disiapkan, Lampung juga akan menggelar berbagai event nasional seperti Tanwir Muhammadiyah yang bisa mendatangkan ribuan orang ke Lampung," kata Citra.
Seperti diketahui, Lampung menjadi salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan gerhana pada 26 Januari. Gerhana matahari anular yang akan terjadi tanggal 26 Januari mendatang terbilang istimewa karena dapat dilihat di seluruh wilayah Lampung.
BMGK Stasiun Geofisika Kota Bumi memperkirakan gerhana matahari anular yang bakal terjadi di Lampung itu dimulai pukul 11.56. Puncak gerhana matahari cincin ini diperkirakan terjadi pukul 13.04 dan pertengahan gerhana cincin terjadi pukul 14.46. Dan akhir gerhana cincin diperkirakan terjadi pada pukul 16.52.
Target Wisatawan
Grand launching VLY 2009 dibuka Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu di lapangan parkir GOR Saburai Bandar Lampung, 23 Desember 2008. Acara dimulai dengan jalan sehat masyarakat dengan Gubernur dan bupati/wali kota se-Lampung. Jalan sehat yang menawarkan beragam hadiah itu kemudian berakhir di lapangan parkir GOR Saburai.
Kemudian dilanjutkan dengan peluncuran akbar Tahun Kunjungan Wisata Lampung. Acara itu juga sekaligus meresmikan portal resmi wisata Lampung yang beralamat di www.visitlampung2009.com.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung M. Natsir Ari mengatakan pada tahun-tahun sebelumnya event wisata Lampung adalah Festival Krakatau dan Festival Way Kambas.
Namun, untuk tahun 2009, ada satu lagi ajang andalan wisata di Lampung yakni Festival Durian yang digelar di Bandar Lampung pada Januari 2009.
Keberhasilan VLY 2009 itu bukan hanya di tangan Disbudpar, melainkan pada satuan kerja dan instansi di sektor lain harus mendukung agar wisatawan datang ke Lampung sebanyak-banyaknya. Terutama pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik objek wisata harus berjuang mendukung VLY dengan membuat kegiatan wisata.
"Jangan sampai program yang diluncurkan ini tidak ada pergerakannya sampai akhir tahun. Targetnya tahun ini kunjungan dua juta wisatawan dengan target waspada 1,5 juta wisatawan dan minimal satu juta wisatawan," kata Natsir.
Seluruh elemen masyarakat juga diundang mengontribusi VLY 2009. Misalnya, pada awal Januari 2009, Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Lampung akan menggelar Kemah Pemuda Lintas Agama Peduli Lingkungan di Youth Camp Gunung Betung.
Pada kegiatan itu akan diundang organisasi pemuda berbasis agama se-Sumatera dan Jawa untuk berkemah di sana. n ITA/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Januari 2009
Hal tersebut diungkapkan Citra Persada, salah seorang anggota panitia Visit Lampung Year (VLY) 2009. Menurut Citra, ke-50 wisatwan tersebut akan menyaksikan gerhana matahari anular di salah satu kawasan perbukitan di Bandar Lampung.
"Rencananya ke-50 wisatawan dan peneliti dari Jepang dan India ini akan menyaksikan gerhana matahari di Ngaras, Lampung Barat. Tapi, karena infrastruktur di sana belum lengkap, seperti hotel, WC, dan rumah makan, mereka terpaksa dialihkan ke Bandar Lampung." kata Citra, Rabu (21-1).
Dia mengakui masalah infrastruktur yang belum memadai menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan VLY 2009. Namun, Citra tetap optimistis target kunjungan 2 juta wisawatan nusantara dan wisatawan mancanegara bisa tercapai tahun ini.
"Selain 42 agenda wisata dan festival yang sudah disiapkan, Lampung juga akan menggelar berbagai event nasional seperti Tanwir Muhammadiyah yang bisa mendatangkan ribuan orang ke Lampung," kata Citra.
Seperti diketahui, Lampung menjadi salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan gerhana pada 26 Januari. Gerhana matahari anular yang akan terjadi tanggal 26 Januari mendatang terbilang istimewa karena dapat dilihat di seluruh wilayah Lampung.
BMGK Stasiun Geofisika Kota Bumi memperkirakan gerhana matahari anular yang bakal terjadi di Lampung itu dimulai pukul 11.56. Puncak gerhana matahari cincin ini diperkirakan terjadi pukul 13.04 dan pertengahan gerhana cincin terjadi pukul 14.46. Dan akhir gerhana cincin diperkirakan terjadi pada pukul 16.52.
Target Wisatawan
Grand launching VLY 2009 dibuka Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu di lapangan parkir GOR Saburai Bandar Lampung, 23 Desember 2008. Acara dimulai dengan jalan sehat masyarakat dengan Gubernur dan bupati/wali kota se-Lampung. Jalan sehat yang menawarkan beragam hadiah itu kemudian berakhir di lapangan parkir GOR Saburai.
Kemudian dilanjutkan dengan peluncuran akbar Tahun Kunjungan Wisata Lampung. Acara itu juga sekaligus meresmikan portal resmi wisata Lampung yang beralamat di www.visitlampung2009.com.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung M. Natsir Ari mengatakan pada tahun-tahun sebelumnya event wisata Lampung adalah Festival Krakatau dan Festival Way Kambas.
Namun, untuk tahun 2009, ada satu lagi ajang andalan wisata di Lampung yakni Festival Durian yang digelar di Bandar Lampung pada Januari 2009.
Keberhasilan VLY 2009 itu bukan hanya di tangan Disbudpar, melainkan pada satuan kerja dan instansi di sektor lain harus mendukung agar wisatawan datang ke Lampung sebanyak-banyaknya. Terutama pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik objek wisata harus berjuang mendukung VLY dengan membuat kegiatan wisata.
"Jangan sampai program yang diluncurkan ini tidak ada pergerakannya sampai akhir tahun. Targetnya tahun ini kunjungan dua juta wisatawan dengan target waspada 1,5 juta wisatawan dan minimal satu juta wisatawan," kata Natsir.
Seluruh elemen masyarakat juga diundang mengontribusi VLY 2009. Misalnya, pada awal Januari 2009, Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Lampung akan menggelar Kemah Pemuda Lintas Agama Peduli Lingkungan di Youth Camp Gunung Betung.
Pada kegiatan itu akan diundang organisasi pemuda berbasis agama se-Sumatera dan Jawa untuk berkemah di sana. n ITA/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Januari 2009
January 18, 2009
[Apresiasi]: Catatan Puisi Indonesia 2008: Tiga Penguak Sajak
Oleh Asarpin*
AKHIR tahun adalah waktu yang tepat menakar prestasi. Di bidang puisi, tentu saja ada kemajuan kendati sulit sekali dinarasikan. Mengingat ratusan--mungkin juga ribuan--sajak lahir dalam setahun, yang berjuang keras memberi harga pada kata dan bahasa Indonesia sebagai cermin "budaya bangsa".
Setelah dimitoskan sebagai presiden penyair Indonesia, dan dinobatkan sebagai sang raja mantra nusantara, setelah 27 tahun tidak lagi menerbitkan buku puisi dengan alasan yang tak jelas, dan beberapa tahun lalu malah menerbitkan buku himpunan cerpen Hujan Menulis Ayam dan buku esai Isyarat, dengan judul yang sensasional, pada Juni 2008 Yayasan Panggung Melayu menerbitkan buku puisi baru Sutardji Calzoum Bachri dengan judul Atau Ngit Cari Agar.
Setelah lebih dari seperempat abad menulis puisi tapi belum satu buku pun terbit, akhirnya Gramedia memecah kebekuan puisi Indonesia dengan menerbitkan himpunan puisi perdana Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu. Walau telah menulis puisi sejak awal 1990-an dengan gaya lirik yang khas, dan setelah malang-melintang di dunia teater, Iswadi Pratama baru tergerak membukukan sajaknya dengan lema Gema Secuil Batu.
Apakah yang bisa kita petik dari tiga buku sajak yang terbit tahun lalu itu? Apakah yang bisa kita kenang dan catat dari tiga buku puisi di awal tahun ini?
Mula-mula saya akan menjawab: Judulnya. Kemudian bahasa. Lebih tepatnya: Bahasa Indonesia.
Sutardji dengan ringan dan tanpa beban membuat sensasi dengan menggabungkan judul empat sajak menjadi judul buku Atau, Ngit, Cari, dan Agar. Apakah yang dimau si penyair memilih judul semacam itu?
Barangkali si penyair hanya main-main, atau ingin tampil beda lagi. Tapi setelah O Amuk Kapak, Tardji berhasil menelurkan satu gaya pengucapan lagi lewat sajak yang mengandung maksud dan kata-kata yang bebas dan sungsang: "bahkan terbalik huruf/nyungsang halaman/menjungkir kata/merintang tanda/menungging sampiran/menghalang paham/masih/rindu/mengjaKu" (sajak Nyungsang).
Sejumlah sajak dalam Atau Ngit Cari Agar bisa disebut sebagai estafet, atau bagian utuh dari kelanjutan tiga kumpulan sajak sebelumnya. Bedanya, sajak-sajak mutakhir Tardji mulai membuka maksud yang mudah dikenal, tidak sebagaimana dalam O Amuk Kapak yang membetot perasaan dan pikiran pembaca saking gelapnya.
Menuduh Tardji tak konsisten menerapkan kredo lamanya yang (hendak) membebaskan kata dari penggada pengertian, tidaklah relevan di sini. Menyimpulkan sajak-sajak baru Tardji sebagai sajak "saksi" juga tak beralasan mengingat "aksi" masih begitu kuat dalam Ngit, Sarang, Para Penyair, Nyungsang, dan Kami Tahu Asal Jadi Kau. Di sini Tardji merenda kata ke dalam perkawinan mantra dan doa.
Sutardji sudah tobat karena apa yang selama ini dicarinya hanya "sampai sebatas kami", hanya "sampai ke puncak nurani", hanya "sampai aku pada perpanjangan sajak-sajakku".
Tak ada lagi bahana tanpa makna, karena dalam sajak--seperti diakui oleh Octavio Paz--bunyi tidak lain dari gema pengertian itu sendiri. Maka biarkan saja Tardji menggertak dengan histeria bercampur perih: "Cepat temukan kata! sebelum cuaca makin memburuk sebelum datang lagi El Nino sebelum datang La Nina agar tak kembali muncul El Dictator".
"Yang tak menemukan kata tak disebut penyair" dalam kredo puisi 1973, atau "yang bukan penyair tidak ambil bagian" (Chairil), bergaung lagi. Gaung yang ditujukan pada penyair sendiri untuk segera menemukan kata dan ucapan, karena selain yang tak menemukan kata tak bakal dianggap penyair, ada kemungkinan bahaya baru akan muncul; realitas politik yang bisa membuat para penyair tak lagi bisa mencari kedalaman kata kecuali hanya memungut kata dari kamus-kehancuran.
Mengapa penyair mesti mencari kata dan menemukan ucapan? Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya, kata Sutardji dalam orasi budaya dalam rangka Pekan Presiden Penyair di Jakarta dua tahun lalu.
Sebagai seorang munsyi, Tardji sudah tentu pandai beranalogi, sekalipun terhadap sesuatu yang sering riskan untuk dianalogikan. Mirip seperti sikap para linguis aliran Bashrah di Semenanjung Arabia sana, yang menggunakan kias melalui bentuk-bentuk, makna-makna dan struktur-struktur bahasa yang baru--seperti yang dilakukan Abu Ali Al-Farisi yang dikenal sebagai bapak silogisme abad IV H dan dilanjutkan Adonis (penyair Suriah yang kini bermukim di Prancis).
Pencarian Tardji atas kata dan ucapan yang segar dan "baru" mengingatkan pencarian Adonis yang hendak memutus tali-rantai persajakan Arab-muslim. Namun ada yang berubah dalam sikap kepenyairan Tardji. Selama ini tak pernah terbayang jika Sutardji merayakan kelahiran kembali tragedi dengan sebuah keberpihakan: "aku telah melihat/bibit api dalam buah airmata/pada lahan yang digusur/dari pemiliknya" (Cari). Sebab "asal haus itu air, keringkan dahagamu/asal demam itu obat, karibkan sakitmu" (Asal).
***
Bila sajak puitik Sutardji bias disebut anak panah psikologis kemabukan, maka lawannya adalah sajak prosaik dengan anak panah kediamdirian yang diwakili Iswadi dan Nirwan. Kedua penyair ini tak kalah gawatnya dalam membuat sensasi.
Lewat proses penggabungan dua sajak menjadi satu judul, Jantung dan Lebah Ratu, Nirwan telah menegaskan kembali kebebasan seorang penyair. Apakah arti jantung dan apa hubungannya dengan lebah ratu dan bagaimana wujudnya, begitu samar.
Sementara Iswadi enggan mencipta sensasi, kendati judul Gema Secuil Batu yang diambil dari salah satu sajaknya, tak kalah nyentrik dan membingungkan para pengkhotbah "bahasa Indonesia yang baik dan benar". Kita tak tahu apa makna gema secuil batu, apa memang secuil batu bisa bergema, macam mana gemanya.
Mungkinkah ketiga penyair ini telah memetik buah psikoanalisis seperti yang pernah diramalkan Hasif Amini beberapa tahun lalu, bahwa kaum surealis akan terus ada dan senantiasa berambisi menggali khazanah terpendam di alam bawah sadar, melalui penulisan otomatis; "suatu cara penulisan yang membiarkan pelbagai imaji dari bawah sadar muncul bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa".
Maka seturut dengan ini, Iswadi mesti saya keluarkan di sini, sementara Nirwan dan Sutardji tengah mencari pertemuan-pertemuan tak terduga antarkata yang membentuk kiasan baru yang segar, juga mencengangkan. Seperti Breton yang meminjam teori imaji Pierre Reverdy, penyair Prancis yang percaya bahwa "semakin jauh dan jitu hubungan antara dua ranah kenyataan yang dijajarkan, semakin kuatlah imaji", kata Hasif Amini.
Tatkala berhadapan dengan puisi Nirwan dan Sutardji, saya selalu mawas diri karena kedua penyair ini justru berkarya di bawah petuah licentia poetica yang keras kepala. Bahwa ada hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, ya. Termasuk hak menyimpang-nyungsang dari tata pembentukan kata/kalimat yang sudah lazim.
Keduanya bukan mualaf, tapi mungkin munsyi. Keduanya sengaja melakukan penyimpangan dengan maksud tertentu, yang kita sendiri tahu sejak dulu.
Sementara Iswadi mengajak kita masuk ke dalam kesunyian diri sebagai kelahiran kembali. Mungkin karena "kita berasal dari sunyi, dan kepada sunyi kita kembali" (seperti kata Octavio Paz), maka Iswadi menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Mungkin karena selama ini ia lupa, atau tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersapih; seperti warna kabut, sepasang mata burung hantu yang seperti merjan jernih, sayap-sayap yang serbasanggup. "Kini aku takjub pada bangkai kupu, sengat batu pada tuba, jelaga, atau serpih duri yang merumpun di halaman itu", tulisnya dalam Fragmen-fragmen di Beranda.
Daun kaktus, pohon camar, hujan dan debu yang beradu, sunyi yang ratusan kali persiran di halaman buku, adalah sebuah percakapan yang sah untuk puisi sejak Goenawan sampai Iswadi.
Walau sebagian besar puisi Iswadi buat yang remeh-temeh itu, namun Iswadi masih saja merasa tak pernah ambil bagian dalam hal-ikhwal yang kecil itu. Ada yang salah, agaknya. Tapi kau benar ketika mengatakan: "betapa nikmat hati yang tak bisa pasti".
* Asarpin, Pembaca Sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
AKHIR tahun adalah waktu yang tepat menakar prestasi. Di bidang puisi, tentu saja ada kemajuan kendati sulit sekali dinarasikan. Mengingat ratusan--mungkin juga ribuan--sajak lahir dalam setahun, yang berjuang keras memberi harga pada kata dan bahasa Indonesia sebagai cermin "budaya bangsa".
Setelah dimitoskan sebagai presiden penyair Indonesia, dan dinobatkan sebagai sang raja mantra nusantara, setelah 27 tahun tidak lagi menerbitkan buku puisi dengan alasan yang tak jelas, dan beberapa tahun lalu malah menerbitkan buku himpunan cerpen Hujan Menulis Ayam dan buku esai Isyarat, dengan judul yang sensasional, pada Juni 2008 Yayasan Panggung Melayu menerbitkan buku puisi baru Sutardji Calzoum Bachri dengan judul Atau Ngit Cari Agar.
Setelah lebih dari seperempat abad menulis puisi tapi belum satu buku pun terbit, akhirnya Gramedia memecah kebekuan puisi Indonesia dengan menerbitkan himpunan puisi perdana Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu. Walau telah menulis puisi sejak awal 1990-an dengan gaya lirik yang khas, dan setelah malang-melintang di dunia teater, Iswadi Pratama baru tergerak membukukan sajaknya dengan lema Gema Secuil Batu.
Apakah yang bisa kita petik dari tiga buku sajak yang terbit tahun lalu itu? Apakah yang bisa kita kenang dan catat dari tiga buku puisi di awal tahun ini?
Mula-mula saya akan menjawab: Judulnya. Kemudian bahasa. Lebih tepatnya: Bahasa Indonesia.
Sutardji dengan ringan dan tanpa beban membuat sensasi dengan menggabungkan judul empat sajak menjadi judul buku Atau, Ngit, Cari, dan Agar. Apakah yang dimau si penyair memilih judul semacam itu?
Barangkali si penyair hanya main-main, atau ingin tampil beda lagi. Tapi setelah O Amuk Kapak, Tardji berhasil menelurkan satu gaya pengucapan lagi lewat sajak yang mengandung maksud dan kata-kata yang bebas dan sungsang: "bahkan terbalik huruf/nyungsang halaman/menjungkir kata/merintang tanda/menungging sampiran/menghalang paham/masih/rindu/mengjaKu" (sajak Nyungsang).
Sejumlah sajak dalam Atau Ngit Cari Agar bisa disebut sebagai estafet, atau bagian utuh dari kelanjutan tiga kumpulan sajak sebelumnya. Bedanya, sajak-sajak mutakhir Tardji mulai membuka maksud yang mudah dikenal, tidak sebagaimana dalam O Amuk Kapak yang membetot perasaan dan pikiran pembaca saking gelapnya.
Menuduh Tardji tak konsisten menerapkan kredo lamanya yang (hendak) membebaskan kata dari penggada pengertian, tidaklah relevan di sini. Menyimpulkan sajak-sajak baru Tardji sebagai sajak "saksi" juga tak beralasan mengingat "aksi" masih begitu kuat dalam Ngit, Sarang, Para Penyair, Nyungsang, dan Kami Tahu Asal Jadi Kau. Di sini Tardji merenda kata ke dalam perkawinan mantra dan doa.
Sutardji sudah tobat karena apa yang selama ini dicarinya hanya "sampai sebatas kami", hanya "sampai ke puncak nurani", hanya "sampai aku pada perpanjangan sajak-sajakku".
Tak ada lagi bahana tanpa makna, karena dalam sajak--seperti diakui oleh Octavio Paz--bunyi tidak lain dari gema pengertian itu sendiri. Maka biarkan saja Tardji menggertak dengan histeria bercampur perih: "Cepat temukan kata! sebelum cuaca makin memburuk sebelum datang lagi El Nino sebelum datang La Nina agar tak kembali muncul El Dictator".
"Yang tak menemukan kata tak disebut penyair" dalam kredo puisi 1973, atau "yang bukan penyair tidak ambil bagian" (Chairil), bergaung lagi. Gaung yang ditujukan pada penyair sendiri untuk segera menemukan kata dan ucapan, karena selain yang tak menemukan kata tak bakal dianggap penyair, ada kemungkinan bahaya baru akan muncul; realitas politik yang bisa membuat para penyair tak lagi bisa mencari kedalaman kata kecuali hanya memungut kata dari kamus-kehancuran.
Mengapa penyair mesti mencari kata dan menemukan ucapan? Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya, kata Sutardji dalam orasi budaya dalam rangka Pekan Presiden Penyair di Jakarta dua tahun lalu.
Sebagai seorang munsyi, Tardji sudah tentu pandai beranalogi, sekalipun terhadap sesuatu yang sering riskan untuk dianalogikan. Mirip seperti sikap para linguis aliran Bashrah di Semenanjung Arabia sana, yang menggunakan kias melalui bentuk-bentuk, makna-makna dan struktur-struktur bahasa yang baru--seperti yang dilakukan Abu Ali Al-Farisi yang dikenal sebagai bapak silogisme abad IV H dan dilanjutkan Adonis (penyair Suriah yang kini bermukim di Prancis).
Pencarian Tardji atas kata dan ucapan yang segar dan "baru" mengingatkan pencarian Adonis yang hendak memutus tali-rantai persajakan Arab-muslim. Namun ada yang berubah dalam sikap kepenyairan Tardji. Selama ini tak pernah terbayang jika Sutardji merayakan kelahiran kembali tragedi dengan sebuah keberpihakan: "aku telah melihat/bibit api dalam buah airmata/pada lahan yang digusur/dari pemiliknya" (Cari). Sebab "asal haus itu air, keringkan dahagamu/asal demam itu obat, karibkan sakitmu" (Asal).
***
Bila sajak puitik Sutardji bias disebut anak panah psikologis kemabukan, maka lawannya adalah sajak prosaik dengan anak panah kediamdirian yang diwakili Iswadi dan Nirwan. Kedua penyair ini tak kalah gawatnya dalam membuat sensasi.
Lewat proses penggabungan dua sajak menjadi satu judul, Jantung dan Lebah Ratu, Nirwan telah menegaskan kembali kebebasan seorang penyair. Apakah arti jantung dan apa hubungannya dengan lebah ratu dan bagaimana wujudnya, begitu samar.
Sementara Iswadi enggan mencipta sensasi, kendati judul Gema Secuil Batu yang diambil dari salah satu sajaknya, tak kalah nyentrik dan membingungkan para pengkhotbah "bahasa Indonesia yang baik dan benar". Kita tak tahu apa makna gema secuil batu, apa memang secuil batu bisa bergema, macam mana gemanya.
Mungkinkah ketiga penyair ini telah memetik buah psikoanalisis seperti yang pernah diramalkan Hasif Amini beberapa tahun lalu, bahwa kaum surealis akan terus ada dan senantiasa berambisi menggali khazanah terpendam di alam bawah sadar, melalui penulisan otomatis; "suatu cara penulisan yang membiarkan pelbagai imaji dari bawah sadar muncul bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa".
Maka seturut dengan ini, Iswadi mesti saya keluarkan di sini, sementara Nirwan dan Sutardji tengah mencari pertemuan-pertemuan tak terduga antarkata yang membentuk kiasan baru yang segar, juga mencengangkan. Seperti Breton yang meminjam teori imaji Pierre Reverdy, penyair Prancis yang percaya bahwa "semakin jauh dan jitu hubungan antara dua ranah kenyataan yang dijajarkan, semakin kuatlah imaji", kata Hasif Amini.
Tatkala berhadapan dengan puisi Nirwan dan Sutardji, saya selalu mawas diri karena kedua penyair ini justru berkarya di bawah petuah licentia poetica yang keras kepala. Bahwa ada hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, ya. Termasuk hak menyimpang-nyungsang dari tata pembentukan kata/kalimat yang sudah lazim.
Keduanya bukan mualaf, tapi mungkin munsyi. Keduanya sengaja melakukan penyimpangan dengan maksud tertentu, yang kita sendiri tahu sejak dulu.
Sementara Iswadi mengajak kita masuk ke dalam kesunyian diri sebagai kelahiran kembali. Mungkin karena "kita berasal dari sunyi, dan kepada sunyi kita kembali" (seperti kata Octavio Paz), maka Iswadi menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Mungkin karena selama ini ia lupa, atau tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersapih; seperti warna kabut, sepasang mata burung hantu yang seperti merjan jernih, sayap-sayap yang serbasanggup. "Kini aku takjub pada bangkai kupu, sengat batu pada tuba, jelaga, atau serpih duri yang merumpun di halaman itu", tulisnya dalam Fragmen-fragmen di Beranda.
Daun kaktus, pohon camar, hujan dan debu yang beradu, sunyi yang ratusan kali persiran di halaman buku, adalah sebuah percakapan yang sah untuk puisi sejak Goenawan sampai Iswadi.
Walau sebagian besar puisi Iswadi buat yang remeh-temeh itu, namun Iswadi masih saja merasa tak pernah ambil bagian dalam hal-ikhwal yang kecil itu. Ada yang salah, agaknya. Tapi kau benar ketika mengatakan: "betapa nikmat hati yang tak bisa pasti".
* Asarpin, Pembaca Sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
Traveling: Situs, Mitos, dan Lezatnya Baracuda
PUNDUH Pidada memang dikenal sebagai kampung tua. Banyak situs yang belum tergali. Salah satunya adalah keberadaan batu telapak.
Situs legenda lainnya adalah buluh punduh yang dikenal sebagai senjata paling ampuh hanya dari bilah bambu. Senjata buluh punduh dari rumpun bambu pilihan ini juga di kalangan Jagabaya dan preman sebagai senjata setitik darah.
Senjata ini hanya butuh sedikit sayatan dari bagian tubuh lawannya dan tak sampai hitungan detik, tubuh lawan bisa langsung membiru karena racun.
Buluh punduh ini diperoleh dari rumpun bambu yang ada di kampung tua. Mitos yang berkembang adalah dahulu seorang penawar racun senjata badik membuang racun badik dengan menyimpannya di dalam batang bambu kemudian menguburnya di dalam tanah. Belakangan batang bambu berisi racun yang dikubur di dalam tanah itu tumbuh menjadi rumpun bambu beracun.
Semula banyak masyarakat Punduh Pidada yang tidak mengetahui tentang rumpun bambu beracun itu. Tetapi setelah kawanan gajah yang mati karena memakan rebung--bambu muda yang bisa dimakan--mereka mulai tahu.
Sejak itu, baru diketahui jika rumpun bambu itu beracun, dan masyarakat membiarkan rumpun-rumpun bambu itu tumbuh liar. Bahkan, kini luasnya sudah berhektare-hektare.
Untuk mencari bilah bambu pilihan untuk dijadikan senjata pun harus melalui ritual. Bambu senjata umumnya akan memantulkan sinar terang di malam hari dan dari sekian banyak rumpun itu biasanya hanya satu batang bambu saja yang memantulkan sinar itu.
"Tidak semua rumpun bambu itu bisa dijadikan senjata, prosesnya panjang dan harus melalui ritual terlebih dahulu kalau memang benar-benar ingin mencari senjata buluh punduh," tutur Hasanudin, salah satu tokoh setempat.
Batu telapak dan buluh punduh itu mungkin hanya sebagaian kecil dari sekian banyak legenda yang ada di Punduh Pidada yang bisa dijadikan sebagai kekuatan wisata. Selain itu, kekayaan perairan lautnya juga bisa dijadikan tantangan untuk para mancing mania.
Di sekitar Pulau Legundi maupun di Pulau Balak yang juga masih masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, potensi ikan sejenis baracuda, simba, lemadang atau tuna juga tinggi.
Lokasi ini bisa menjadi spot memancing yang paling menantang dari sekian banyak spot-spot memancing yang ada di kawasan Teluk Lampung yang sudah begitu banyak tergerus oleh limbah dan hutan-hutan mangrove yang habis disulap menjadi tambak udang.
Pemancing-pemancing asal luar Lampung bahkan sudah mengenal spot ini. Memancing hanya dengan mengandalkan alat global positioning system (GPS) khusus pencari ikan bisa diketahui dimana spot paling banyak di Pulau Legundi dan Pulau Balak.
Kayanya potensi ikan ini kami buktikan. Tiga kilogram ikan baracuda berhasil kami ditaklukan meski harus berjuang mati-matian melawan tenaga ikan baracuda.
Ikan baracuda adalah ikan yang masih satu garis keturunan dengan ikan hiu. Ikan jenis ini sama ganasnya dengan hiu, terlebih ikan jenis baracuda yang mencari mangsa secara soliter atau sendiri biasanya jauh lebih ganas dari ikan baracuda yang mencari ikan secara berkelompok.
Hampir setengah jam lebih untuk menaklukkan ikan sepanjang satu meter lebih itu. Tali senar joran bahkan nyaris putus karena kuatnya tarikan baracuda yang berusaha menggesek tali senar ke terumbu karang. Satwa laut itu takluk dan berakhir di panggangan. Ah, lezaat. n ERLIAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
Situs legenda lainnya adalah buluh punduh yang dikenal sebagai senjata paling ampuh hanya dari bilah bambu. Senjata buluh punduh dari rumpun bambu pilihan ini juga di kalangan Jagabaya dan preman sebagai senjata setitik darah.
Senjata ini hanya butuh sedikit sayatan dari bagian tubuh lawannya dan tak sampai hitungan detik, tubuh lawan bisa langsung membiru karena racun.
Buluh punduh ini diperoleh dari rumpun bambu yang ada di kampung tua. Mitos yang berkembang adalah dahulu seorang penawar racun senjata badik membuang racun badik dengan menyimpannya di dalam batang bambu kemudian menguburnya di dalam tanah. Belakangan batang bambu berisi racun yang dikubur di dalam tanah itu tumbuh menjadi rumpun bambu beracun.
Semula banyak masyarakat Punduh Pidada yang tidak mengetahui tentang rumpun bambu beracun itu. Tetapi setelah kawanan gajah yang mati karena memakan rebung--bambu muda yang bisa dimakan--mereka mulai tahu.
Sejak itu, baru diketahui jika rumpun bambu itu beracun, dan masyarakat membiarkan rumpun-rumpun bambu itu tumbuh liar. Bahkan, kini luasnya sudah berhektare-hektare.
Untuk mencari bilah bambu pilihan untuk dijadikan senjata pun harus melalui ritual. Bambu senjata umumnya akan memantulkan sinar terang di malam hari dan dari sekian banyak rumpun itu biasanya hanya satu batang bambu saja yang memantulkan sinar itu.
"Tidak semua rumpun bambu itu bisa dijadikan senjata, prosesnya panjang dan harus melalui ritual terlebih dahulu kalau memang benar-benar ingin mencari senjata buluh punduh," tutur Hasanudin, salah satu tokoh setempat.
Batu telapak dan buluh punduh itu mungkin hanya sebagaian kecil dari sekian banyak legenda yang ada di Punduh Pidada yang bisa dijadikan sebagai kekuatan wisata. Selain itu, kekayaan perairan lautnya juga bisa dijadikan tantangan untuk para mancing mania.
Di sekitar Pulau Legundi maupun di Pulau Balak yang juga masih masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, potensi ikan sejenis baracuda, simba, lemadang atau tuna juga tinggi.
Lokasi ini bisa menjadi spot memancing yang paling menantang dari sekian banyak spot-spot memancing yang ada di kawasan Teluk Lampung yang sudah begitu banyak tergerus oleh limbah dan hutan-hutan mangrove yang habis disulap menjadi tambak udang.
Pemancing-pemancing asal luar Lampung bahkan sudah mengenal spot ini. Memancing hanya dengan mengandalkan alat global positioning system (GPS) khusus pencari ikan bisa diketahui dimana spot paling banyak di Pulau Legundi dan Pulau Balak.
Kayanya potensi ikan ini kami buktikan. Tiga kilogram ikan baracuda berhasil kami ditaklukan meski harus berjuang mati-matian melawan tenaga ikan baracuda.
Ikan baracuda adalah ikan yang masih satu garis keturunan dengan ikan hiu. Ikan jenis ini sama ganasnya dengan hiu, terlebih ikan jenis baracuda yang mencari mangsa secara soliter atau sendiri biasanya jauh lebih ganas dari ikan baracuda yang mencari ikan secara berkelompok.
Hampir setengah jam lebih untuk menaklukkan ikan sepanjang satu meter lebih itu. Tali senar joran bahkan nyaris putus karena kuatnya tarikan baracuda yang berusaha menggesek tali senar ke terumbu karang. Satwa laut itu takluk dan berakhir di panggangan. Ah, lezaat. n ERLIAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
Traveling: Legenda Serunting Sakti di Punduh Pidada
SERUNTING Sakti, legenda itu lebih dikenal sebagai lakon sandiwara radio atau sinetron horor. Namun, jejaknya masih bisa dinikmati sebagai pesona wisata di bilangan Punduh Pidada, Pesawaran, Lampung.
Ada kebanggaan luar biasa mana kala bisa menyaksikan langsung sisa jejak Serunting Sakti, simbol seorang tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Padang Cermin, Punduh Pidada dan Kelumbayan.
Serunting Sakti memang tidak meninggalkan jejak yang lebih jelas mulai dari di mana ia dimakamkan sampai rekam jejak perlawanannya. Tetapi, hampir semua masyarakat di Punduh Pidada dan Kelumbayan mengenalnya sebagai sebuah legenda masa lampau. Ia adalah ikon pemberontakan terhadap penjajah Belanda.
Serunting Sakti memang tidak banyak meninggalkan jejak "tubuh". Beberapa "kenangan" tentang dirinya hanya terucap dari mulut ke mulut saja. Sisa penjelajahan Serunting Sakti hanya tertoreh berupa jejak telapak kakinya yang seperti terpahat di sebuah batu di aliran air terjun yang ada di Desa Bawang, Punduh Pidada.
Selain jejak dua telapak kaki, dalam satu batu yang sama yang berukuran sebesar mobil itu juga terdapat bekas lutut dan kening yang juga membekas di batu tersebut. Jika dilihat bentuk jejak-jejak itu, sepertinya Serunting Sakti yang sedang bersujud.
"Penemuan" jejak Serunting Sakti itu memang terkesan tidak sengaja oleh Lampung Post. Waktu itu, kami berniat hendak memancing di Selat Legundi. Tetapi, karena hari sudah terlalu sore, kami memutuskan untuk bermalam di kantor Kecamatan Punduh Pidada.
Kebetulan, Camat Punduh Pidada M. Zulkarnain Mursyid adalah "mancing mania". Hanya karena tugasnya yang padat, hobinya itu tidak terlalu intens dilakukannya. Hanya jika di hari-hari libur saja atau ketika sedang mengunjungi warganya yang kebetulan tinggal di pulau, seperti di Pulau Legundi atau Pulau Balak yang dikenal sebagai spot paling kaya dengan ikan-ikan jenis baracuda, simba, atau tuna.
Malam itu, kami begadang. Angin sedang teduh. Obrolan bersama camat dan beberapa staf berkembang ke berbagai topik. Bahkan hingga cerita alam gaib dan sejarah zaman batu.
Di sela obrolan, Camat menyarankan agar esok pagi kami mandinya di air terjun (orang sekitar menyebutnya curup) yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kantor camat, hanya dipisahkan oleh bukit gugusan Gunung Tanggang. Itu disarankan Camat karena rumah dinas itu tergolong sulit air. Lebih dari itu, agar kami merasakan sejuk dan alaminya alam Punduh Pidada.
Dari saran itulah terkuak dari Zulkarnain jika di air terjun itu terdapat batu yang di atasnya terdapat jejak telapak kaki manusia sepertinya sedang bersujud. "Karena selain telapak, di batu yang sama itu juga terdapat bekas lutut dan kening," tutur Zulkarnain.
Rasa penasaran membuat kami ingin menguak cerita di balik fakta yang belum kami buktikan itu. Dengan sedikit "bumbu", Zulkarnain berkisah tentang mitos Batu Tapak--begitu warga sekitar menyebut batu bertelapak itu.
"Masyarakat di sini sering menumbuk dan mencuci beras di batu itu. Mungkin semacam syarat saat menggelar ritual-ritual adat," terang Zulkarnain.
Esok, sekitar pukul 06.00, kami bertolak ke air terjun itu. Dengan dua sepeda motor, tiga orang meluncur. Pemandangan alam khas kampung memang tersaji saat menuju ke air terjun itu. Cuaca yang dingin menusuk membuat kantuk terus mengganggu, apalagi semalaman tidak tidur.
Semakin dekat ke lokasi air terjun ini kami mendapati pembangkit listrik tenaga air sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat untuk suplai listrik ke rumah-rumah mereka. Ide kreatif mencari sumber energi baru yang ramah lingkungan dan nggak pake bayar.
Dari Zulkarnain, kami tahu "PLTA" ini mampu memasok listrik untuk paling sedikit empat rumah. "Setidaknya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan timbul dari hal-hal yang penting untuk mereka juga. Seperti pembangkit listrik tenaga air ini akan sangat tergantung dengan tingginya debit air. Jika hutan di sekitarnya habis ditebangi, akan berpengaruh dengan debit air. Otomatis tidak ada energi listrik yang bisa didapat," tutur Zulkarnain.
Curup itu tidak seperti air terjun yang kita bayangkan. Ia lebih seperti air yang mengalir di tangga-tangga di "padang" batu yang menghampar. Kondisinya yang masih alami membuat air terjun ini seperti tidak terawat. Tidak banyak warga yang memanfaatkan mandi cuci kakus (MCK) di curup ini. Mereka lebih memilih menyalurkan air dari curup ini ke rumah-rumah mereka.
Sisa banjir beberapa hari sebelumnya membuat air ini sedikit berwarna. Guyuran lumpur dari hulu curup dari atas Gunung Tanggang penyebabnya. "Mungkin juga di atas sedang ada longsor karena hujan, karena biasanya airnya jernih."
Rasa penasaran membuat kami menunda untuk langsung mandi. Kami menuju ke lokasi batu telapak itu yang sedikit berada di atas curup.
Batu sebesar meja makan itu memang sepintas terlihat biasa saja. Tetapi ketika berada di atasnya, keanehan memang terlihat. Tepat di bagian bawah batu itu terdapat bekas seperti telapak kaki. Ukurannya sangat besar dan berdampingan, sepertinya membentuk telapak kaki kiri dan kaki kanan.
Beberapa sentimeter di atas dua telapak itu terdapat bulatan tapi tak membentuk lingkaran utuh. Bentuknya seperti lutut kaki yang juga berdampingan dengan lubang di sisi lainnya. Kemudian, di atasnya lagi terdapat seperti bekas kening, jika dilihat bentuknya persis seperti orang yang sedang sujud.
Kami pun mempraktikkan bentuk orang yang sujud tepat di atas jejak telapak kaki, lutut, dan kening itu, dan klop benar, batu itu memang dipakai untuk bersujud.
Jika dilihat dari ukuran telapaknya yang besarnya sama dengan dua telapak kaki orang dewasa saat ini, sangat khas dengan ciri-ciri fisik orang dahulu. Atau masyarakat Lampung biasa menyebutnya dengan Dulu Bumi atau orang-orang yang hidup pada masa lampau.
Tak jauh dari batu telapak itu, juga terdapat batu besar yang menyerupai lesung untuk menumbuk beras. Batu inilah yang biasa dipakai oleh masyarakat sebagai tempat pelaksanaan ritual-ritual adat.
Uniknya, batu ini menghadap ke utara. Padahal seharusnya, jika memang sedang menunaikkan salat, arah kiblat adalah barat. Kemungkinan besar posisi batu ini berubah saat letusan dasyat Gunung Krakatau pra letusan 1883.
Sayangnya, tidak adanya perawatan terhadap situs itu membuat batu bertelapak itu dipenuhi lumut sehingga tidak bisa dengan mudah menemukannya jika tidak jeli.
Jika ditilik, batu telapak ini sama persis dengan batu telapak yang ada di Pulau Kiluan Lunik. Di pulau ini juga terdapat batu yang sama persis membentuk seperti orang yang sedang sujud.
Serunting Sakti adalah antikomunis sejati. Dari sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut menyebut model perlawanannya adalah menghalau kapal-kapal dagang maupun kapal artileri Belanda yang melintas di jalur laut Samudera Hindia.
Model perjuangan Serunting Sakti ini sangat terkait erat dengan keberadaan Teluk Kiluan dan daerah Kelumbayan. Kedua daerah ini diyakini sebagai pusat perjuangan Serunting Sakti kala itu. Tak heran di beberapa titik di bawah perairan laut Teluk Kiluan terdapat bangkai-bangkai kapal yang sudah berusia ratusan tahun. Uniknya kapal itu seperti disembunyikan di dalam gua-gua bawah laut.
Batu telapak ini diyakini sebagai tempat Serunting Sakti menunaikan salat ketika itu. Serunting Sakti memang melegenda, ia dikenal setidaknya di empat kemargaan yang ada di Punduh Pidada dan Kelumbayan. Empat marga itu yakni; Marga Punduh, Marga Pidada, Marga Bawang, dan Marga Kelumbayan.
Dari keempat marga itu, hanya satu yang berada di luar Kabupaten Pesawaran. Yakni, Marga Kelumbayan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus.
Proses penamaan Kecamatan Punduh Pidada juga terbilang unik dan menunjukkan betapa masyarakat adat dari tiga kemargaan masih menjunjung tinggi musyawarah. Nama Punduh Pidada diambil dari penggabungan dua kemargaan yakni; Marga Punduh dan Marga Pidada, dan Marga Bawang kebagian sebagai ibu kota Kecamatan Punduh Pidada.
MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
Ada kebanggaan luar biasa mana kala bisa menyaksikan langsung sisa jejak Serunting Sakti, simbol seorang tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Padang Cermin, Punduh Pidada dan Kelumbayan.
Serunting Sakti memang tidak meninggalkan jejak yang lebih jelas mulai dari di mana ia dimakamkan sampai rekam jejak perlawanannya. Tetapi, hampir semua masyarakat di Punduh Pidada dan Kelumbayan mengenalnya sebagai sebuah legenda masa lampau. Ia adalah ikon pemberontakan terhadap penjajah Belanda.
Serunting Sakti memang tidak banyak meninggalkan jejak "tubuh". Beberapa "kenangan" tentang dirinya hanya terucap dari mulut ke mulut saja. Sisa penjelajahan Serunting Sakti hanya tertoreh berupa jejak telapak kakinya yang seperti terpahat di sebuah batu di aliran air terjun yang ada di Desa Bawang, Punduh Pidada.
Selain jejak dua telapak kaki, dalam satu batu yang sama yang berukuran sebesar mobil itu juga terdapat bekas lutut dan kening yang juga membekas di batu tersebut. Jika dilihat bentuk jejak-jejak itu, sepertinya Serunting Sakti yang sedang bersujud.
"Penemuan" jejak Serunting Sakti itu memang terkesan tidak sengaja oleh Lampung Post. Waktu itu, kami berniat hendak memancing di Selat Legundi. Tetapi, karena hari sudah terlalu sore, kami memutuskan untuk bermalam di kantor Kecamatan Punduh Pidada.
Kebetulan, Camat Punduh Pidada M. Zulkarnain Mursyid adalah "mancing mania". Hanya karena tugasnya yang padat, hobinya itu tidak terlalu intens dilakukannya. Hanya jika di hari-hari libur saja atau ketika sedang mengunjungi warganya yang kebetulan tinggal di pulau, seperti di Pulau Legundi atau Pulau Balak yang dikenal sebagai spot paling kaya dengan ikan-ikan jenis baracuda, simba, atau tuna.
Malam itu, kami begadang. Angin sedang teduh. Obrolan bersama camat dan beberapa staf berkembang ke berbagai topik. Bahkan hingga cerita alam gaib dan sejarah zaman batu.
Di sela obrolan, Camat menyarankan agar esok pagi kami mandinya di air terjun (orang sekitar menyebutnya curup) yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kantor camat, hanya dipisahkan oleh bukit gugusan Gunung Tanggang. Itu disarankan Camat karena rumah dinas itu tergolong sulit air. Lebih dari itu, agar kami merasakan sejuk dan alaminya alam Punduh Pidada.
Dari saran itulah terkuak dari Zulkarnain jika di air terjun itu terdapat batu yang di atasnya terdapat jejak telapak kaki manusia sepertinya sedang bersujud. "Karena selain telapak, di batu yang sama itu juga terdapat bekas lutut dan kening," tutur Zulkarnain.
Rasa penasaran membuat kami ingin menguak cerita di balik fakta yang belum kami buktikan itu. Dengan sedikit "bumbu", Zulkarnain berkisah tentang mitos Batu Tapak--begitu warga sekitar menyebut batu bertelapak itu.
"Masyarakat di sini sering menumbuk dan mencuci beras di batu itu. Mungkin semacam syarat saat menggelar ritual-ritual adat," terang Zulkarnain.
Esok, sekitar pukul 06.00, kami bertolak ke air terjun itu. Dengan dua sepeda motor, tiga orang meluncur. Pemandangan alam khas kampung memang tersaji saat menuju ke air terjun itu. Cuaca yang dingin menusuk membuat kantuk terus mengganggu, apalagi semalaman tidak tidur.
Semakin dekat ke lokasi air terjun ini kami mendapati pembangkit listrik tenaga air sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat untuk suplai listrik ke rumah-rumah mereka. Ide kreatif mencari sumber energi baru yang ramah lingkungan dan nggak pake bayar.
Dari Zulkarnain, kami tahu "PLTA" ini mampu memasok listrik untuk paling sedikit empat rumah. "Setidaknya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan timbul dari hal-hal yang penting untuk mereka juga. Seperti pembangkit listrik tenaga air ini akan sangat tergantung dengan tingginya debit air. Jika hutan di sekitarnya habis ditebangi, akan berpengaruh dengan debit air. Otomatis tidak ada energi listrik yang bisa didapat," tutur Zulkarnain.
Curup itu tidak seperti air terjun yang kita bayangkan. Ia lebih seperti air yang mengalir di tangga-tangga di "padang" batu yang menghampar. Kondisinya yang masih alami membuat air terjun ini seperti tidak terawat. Tidak banyak warga yang memanfaatkan mandi cuci kakus (MCK) di curup ini. Mereka lebih memilih menyalurkan air dari curup ini ke rumah-rumah mereka.
Sisa banjir beberapa hari sebelumnya membuat air ini sedikit berwarna. Guyuran lumpur dari hulu curup dari atas Gunung Tanggang penyebabnya. "Mungkin juga di atas sedang ada longsor karena hujan, karena biasanya airnya jernih."
Rasa penasaran membuat kami menunda untuk langsung mandi. Kami menuju ke lokasi batu telapak itu yang sedikit berada di atas curup.
Batu sebesar meja makan itu memang sepintas terlihat biasa saja. Tetapi ketika berada di atasnya, keanehan memang terlihat. Tepat di bagian bawah batu itu terdapat bekas seperti telapak kaki. Ukurannya sangat besar dan berdampingan, sepertinya membentuk telapak kaki kiri dan kaki kanan.
Beberapa sentimeter di atas dua telapak itu terdapat bulatan tapi tak membentuk lingkaran utuh. Bentuknya seperti lutut kaki yang juga berdampingan dengan lubang di sisi lainnya. Kemudian, di atasnya lagi terdapat seperti bekas kening, jika dilihat bentuknya persis seperti orang yang sedang sujud.
Kami pun mempraktikkan bentuk orang yang sujud tepat di atas jejak telapak kaki, lutut, dan kening itu, dan klop benar, batu itu memang dipakai untuk bersujud.
Jika dilihat dari ukuran telapaknya yang besarnya sama dengan dua telapak kaki orang dewasa saat ini, sangat khas dengan ciri-ciri fisik orang dahulu. Atau masyarakat Lampung biasa menyebutnya dengan Dulu Bumi atau orang-orang yang hidup pada masa lampau.
Tak jauh dari batu telapak itu, juga terdapat batu besar yang menyerupai lesung untuk menumbuk beras. Batu inilah yang biasa dipakai oleh masyarakat sebagai tempat pelaksanaan ritual-ritual adat.
Uniknya, batu ini menghadap ke utara. Padahal seharusnya, jika memang sedang menunaikkan salat, arah kiblat adalah barat. Kemungkinan besar posisi batu ini berubah saat letusan dasyat Gunung Krakatau pra letusan 1883.
Sayangnya, tidak adanya perawatan terhadap situs itu membuat batu bertelapak itu dipenuhi lumut sehingga tidak bisa dengan mudah menemukannya jika tidak jeli.
Jika ditilik, batu telapak ini sama persis dengan batu telapak yang ada di Pulau Kiluan Lunik. Di pulau ini juga terdapat batu yang sama persis membentuk seperti orang yang sedang sujud.
Serunting Sakti adalah antikomunis sejati. Dari sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut menyebut model perlawanannya adalah menghalau kapal-kapal dagang maupun kapal artileri Belanda yang melintas di jalur laut Samudera Hindia.
Model perjuangan Serunting Sakti ini sangat terkait erat dengan keberadaan Teluk Kiluan dan daerah Kelumbayan. Kedua daerah ini diyakini sebagai pusat perjuangan Serunting Sakti kala itu. Tak heran di beberapa titik di bawah perairan laut Teluk Kiluan terdapat bangkai-bangkai kapal yang sudah berusia ratusan tahun. Uniknya kapal itu seperti disembunyikan di dalam gua-gua bawah laut.
Batu telapak ini diyakini sebagai tempat Serunting Sakti menunaikan salat ketika itu. Serunting Sakti memang melegenda, ia dikenal setidaknya di empat kemargaan yang ada di Punduh Pidada dan Kelumbayan. Empat marga itu yakni; Marga Punduh, Marga Pidada, Marga Bawang, dan Marga Kelumbayan.
Dari keempat marga itu, hanya satu yang berada di luar Kabupaten Pesawaran. Yakni, Marga Kelumbayan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus.
Proses penamaan Kecamatan Punduh Pidada juga terbilang unik dan menunjukkan betapa masyarakat adat dari tiga kemargaan masih menjunjung tinggi musyawarah. Nama Punduh Pidada diambil dari penggabungan dua kemargaan yakni; Marga Punduh dan Marga Pidada, dan Marga Bawang kebagian sebagai ibu kota Kecamatan Punduh Pidada.
MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2009
In Memoriam R.M. Barusman: Berpulangnya Sang Penggerak
SEPERTI bah, puluhan pesan pendek via telepon seluler menyerbu mengomentari berpulangnya Rya Makbul Barusman. Kedukaan mengaliri kalimat mereka--para sahabat, kerabat, mantan murid, dan siapa pun yang mengenal pelopor pendidikan tinggi swasta di Lampung ini. Perasaan kehilangan yang sama menghinggapi ratusan pelayat yang mengiringi kepergian almarhum yang meninggal dunia Jumat dini hari kemarin, pukul 01.50.
Rumah duka di bilangan Jalan Sultan Agung disesaki tetamu takziah. Tampak melayat Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu, Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, Wakil Wali Kota Kherlani, Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa, dan sejumlah tokoh di Lampung. Parkir Masjid Ad Du'a, Way Halim, tempat almarhum disalatkan usai jumatan kemarin, termasuk salat gaib di kampus UBL, sesak dan meluber ke jalan.
Yusuf Sulfarano, Rektor UBL yang juga putra tertua almarhum, mengimami salat jenazah. Dan ratusan pengiring mengantar kepergian Sang Pendidik ke haribaan Ilahi di permakaman keluarga di bilangan Pasar Tamin, Bandar Lampung.
Sebagian besar meneladani kegigihan dan ketekunan almarhum mengelola perguruan tinggi saat masyarakat masih menganggap kampus negeri seperti bintang berkilau dan universitas swasta sekadar planet kecil yang mengitari seadanya. Dan Barusman membalik "mitos" ini.
Secara perlahan, Universitas Bandar Lampung yang dikelolanya menempati hati para orang tua yang kemudian melepas putra-putrinya meniti ilmu di kampus di bilangan Labuhan Ratu, Bandar Lampung, tersebut. Dan UBL membalasnya dengan perbaikan mutu pendidikan yang tidak henti, mendirikan studi strata dua, memperbaiki kualitas tenaga pengajar, dan terus melengkapi fasilitas belajar-mengajar. Puluhan prestasi berskala nasional dan internasional mengganjar semua usaha ini.
Maka, tegaklah bangunan megah delapan lantai dan gedung-gedung lain di sekitarnya, termasuk kampus B untuk pascasarjana. Ribuan mahasiswa menyesaki kampus ini tiap hari, dengan suasana belajar formal-nonformal yang bikin pintar sekaligus bikin betah.
Sebagai pendidik, Barusman dikenal dengan visinya yang amat kuat. Dr. Edi Irawan, dosen UBL, mengatakan era 1980-en, almarhum berani berinvestasi besar menyekolahkan belasan dosen sampai tingkat doktoral. "Dia senantiasa mengayomi yang muda dan tetap hormat kepada yang berjasa membesarkan kampus."
Kelahiran Kampung Gedongmenong, Pakuonratu, Way Kanan, 6 Desember 1937 ini teladan dengan menegakkan fondasi pendidikan sampai akhir hayatnya. Bahkan, Sabtu (10 Januari) lalu pun R.M. Barusman masih memberi pembekalan kepada mahasiswa pascasarjana UBL, bahkan berpidato dengan berapi-api di hadapan mahasiswa.
Barusman merupakan anak ketiga pasangan Abdul Minin (gelar Raja Buay Marga) dan Rohana (gelar Sutan Ngekop). Sejak kelas II sekolah rakyat 1947, suami Sri Hayati dan bapak empat putra-putri ini telah merantau. Tamat SMAN 1 Tanjungkarang 1959, Barusman ke Palembang dan Jakarta. Dia menyelesaikan sarjana di Jurusan Administrasi Niaga, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Universitas Tujuh Belas Agustus (FKK Untag), Jakarta, 1966.
Semasa hidup, R.M. Barusman diingat karena kegigihannya. Dia ingin karyawan dan dosen bahu-membahu membangun lembaga. Dia yakin jika yayasan berkembang, mereka yang bernaung di bawahnya bisa makin teduh.
Barusman memperlakukan karyawan dan dosen seperti keluarga besar. Almarhum jeli melihat potensi bawahannya sehingga dapat ditempatkan di posisi yang dikuasainya. Memberikan kesempatan karyawan dan dosen berkreasi dan berprestasi sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Profesionalisme menjadi sakaguru yayasan agar bisa bertahan.
Dan tidak sebatas di kampusnya sendiri. Integritas almarhum di bidang pendidikan mencetak banyak kenangan. Berikut sebagian memori yang terpatri:
"Saya mengenalnya sejak 1988; dan sampai pertemuan 20 Desember 2008, saat saya diwisuda di MM UBL, beliau masih mengingatkan agar tidak berhenti belajar. Pesannya, ke depan, ilmu terus berkembang, kita jangan ketinggalan zaman. Selamat jalan Bapak Motivator Pendidikan," tulis Zahral Mutzaini, jurnalis RRI Lampung yang juga dekan FISIP UML.
"Sosoknya yang kebapakan dan gaya kepemimpinan pendidikan yang visioner benar-benar mengayomi serta meneduhkan. Beliau inspirasi bagi para pemimpin pendidikan lain," kata Nasrullah Yusuf, Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Teknokra.
Safarudin, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM mencatat ribuan sarjana telah dicetak Barusman, sosok yang penuh dedikasi dan tanggung jawab. AAN, ASM, dan UBL lahir atas sentuhannya. Ini jelas andilnya melengkapi keterbatasan PTN memproduksi sarjana. Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu adalah lulusan UBL. Dan itu satu dari banyak contoh anak didiknya yang sukses. Impiannya tunggal: Lampung setara dengan daerah lain di Jawa. Baginya pendidikan merupakan bagian ibadah paling konkret.
Riyan Chaniago, mahasiswa UBL, berkirim pesan singkat: "Beliau tokoh pendidikan yang penting di Bumi Ruwa Jurai."
Dr. Suwondo, Ketua Program Pascasarjana FISIP Unila bersurat: "Beliau orang tua yang bijak, sebagai atasan ataupun sesama pendidik. Dialah sang anutan; figur yang amat menghargai orang lain tanpa memandang status seseorang. Sebagai kolega sesama dosen almarhum selalu mendiskusikan berbagai isu demi kemajuan dunia pendidikan.
Saya betul-betul hormat pada beliau. Lampung kehilangan pendidik yang gigih mengangkat harkat dan kualitas SDM di Lampung.
Wakil Direktur Serse Polda Lampung AKBP Yusril Hakim Y.H.S. mengirim SMS: "Saya berutang nyawa dan tidak pernah lupa jasa almarhum. Sewaktu kelas II SMP, saya kecelakaan di Jalan Raya Pasir Putih. Kendati tidak mengenal saya, Pak Barusman langsung melarikan saya ke RSUAM Tanjungkarang. Nyawa saya pun selamat setelah operasi dan pertolongan cepat tanpa pamrih darinya. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi-Nya."
Faisal Yusuf Helmi, mantan mahasiswa UBL yang kini jaksa di Cabang Kejaksaan Negeri Panjang, menulis: "Pak Barusman merupakan figur yang sangat memperhatikan pendidikan. Ini terlihat saat beliau memperjuangkan UBL dari nol sampai sukses dengan memperoleh akreditasi sehingga para alumnus dapat bersaing dalam dunia kerja. Dan pada kenyataannya rata-rata alumni UBL banyak yang sukses."
Yoke Muelgini, dosen Fakultas Pertanian Unila, mengirim pesannya: "Kita kehilangan pelopor pendidikan yang langka. Visinya melampaui zaman. Almarhum meneladankan dan mewariskan peninggalan mulia berupa landmark yang memungkinkan masyarakat mewujudkan insaniah untuk mengarungi the greatest resource of all: Pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa."
Anshori Djausal, budayawan Lampung, mencatat: "Saya mengenal beliau ketika masih aktif di Unila awal 1980-an. Almarhum banyak membantu ketika saya mulai bertugas. Saya kian sering berkomunikasi ketika beliau mempersiapkan Fakultas Teknik UBL. Dia pribadi yang bersemangat. Sebagai perintis perguruan tinggi swasta yang serius, beliau banyak jasanya dalam upaya memperluas kesempatan bagi putra-putri Lampung yang membutuhkan pendidikan lanjut."
Andy Surya, pendiri AMIK Mitra Lampung, menuliskan pesannya: "Almarhum motivator bagi akademisi PTS. Beliaulah enterpreneur bidang pendidikan tinggi dan secara 'spekulatif' mendirikan PTS ketika belum banyak yang berani sekadar memikirkannya sekalipun. Pak Barusman telah paripurna menjalani kehidupan, mewariskan anak-anak yang saleh dan berkualitas serta PTS yang membantu masyarakat memperoleh pendidikan terbaik."
Ahmad Zahrudin, dosen UTB, mengenang R.M. Barusman sebagai tokoh pendidik yang gigih berjuang sekaligus enterpreneur yang selalu mendiversifikasi bisnis pendidikannya. "Beliau selalu menjaga hubungan baik dengan PTS lain dengan selalu menjaga silaturahmi." n HERI WARDOYO/N-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Januari 2009
Rumah duka di bilangan Jalan Sultan Agung disesaki tetamu takziah. Tampak melayat Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu, Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, Wakil Wali Kota Kherlani, Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa, dan sejumlah tokoh di Lampung. Parkir Masjid Ad Du'a, Way Halim, tempat almarhum disalatkan usai jumatan kemarin, termasuk salat gaib di kampus UBL, sesak dan meluber ke jalan.
Yusuf Sulfarano, Rektor UBL yang juga putra tertua almarhum, mengimami salat jenazah. Dan ratusan pengiring mengantar kepergian Sang Pendidik ke haribaan Ilahi di permakaman keluarga di bilangan Pasar Tamin, Bandar Lampung.
Sebagian besar meneladani kegigihan dan ketekunan almarhum mengelola perguruan tinggi saat masyarakat masih menganggap kampus negeri seperti bintang berkilau dan universitas swasta sekadar planet kecil yang mengitari seadanya. Dan Barusman membalik "mitos" ini.
Secara perlahan, Universitas Bandar Lampung yang dikelolanya menempati hati para orang tua yang kemudian melepas putra-putrinya meniti ilmu di kampus di bilangan Labuhan Ratu, Bandar Lampung, tersebut. Dan UBL membalasnya dengan perbaikan mutu pendidikan yang tidak henti, mendirikan studi strata dua, memperbaiki kualitas tenaga pengajar, dan terus melengkapi fasilitas belajar-mengajar. Puluhan prestasi berskala nasional dan internasional mengganjar semua usaha ini.
Maka, tegaklah bangunan megah delapan lantai dan gedung-gedung lain di sekitarnya, termasuk kampus B untuk pascasarjana. Ribuan mahasiswa menyesaki kampus ini tiap hari, dengan suasana belajar formal-nonformal yang bikin pintar sekaligus bikin betah.
Sebagai pendidik, Barusman dikenal dengan visinya yang amat kuat. Dr. Edi Irawan, dosen UBL, mengatakan era 1980-en, almarhum berani berinvestasi besar menyekolahkan belasan dosen sampai tingkat doktoral. "Dia senantiasa mengayomi yang muda dan tetap hormat kepada yang berjasa membesarkan kampus."
Kelahiran Kampung Gedongmenong, Pakuonratu, Way Kanan, 6 Desember 1937 ini teladan dengan menegakkan fondasi pendidikan sampai akhir hayatnya. Bahkan, Sabtu (10 Januari) lalu pun R.M. Barusman masih memberi pembekalan kepada mahasiswa pascasarjana UBL, bahkan berpidato dengan berapi-api di hadapan mahasiswa.
Barusman merupakan anak ketiga pasangan Abdul Minin (gelar Raja Buay Marga) dan Rohana (gelar Sutan Ngekop). Sejak kelas II sekolah rakyat 1947, suami Sri Hayati dan bapak empat putra-putri ini telah merantau. Tamat SMAN 1 Tanjungkarang 1959, Barusman ke Palembang dan Jakarta. Dia menyelesaikan sarjana di Jurusan Administrasi Niaga, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Universitas Tujuh Belas Agustus (FKK Untag), Jakarta, 1966.
Semasa hidup, R.M. Barusman diingat karena kegigihannya. Dia ingin karyawan dan dosen bahu-membahu membangun lembaga. Dia yakin jika yayasan berkembang, mereka yang bernaung di bawahnya bisa makin teduh.
Barusman memperlakukan karyawan dan dosen seperti keluarga besar. Almarhum jeli melihat potensi bawahannya sehingga dapat ditempatkan di posisi yang dikuasainya. Memberikan kesempatan karyawan dan dosen berkreasi dan berprestasi sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Profesionalisme menjadi sakaguru yayasan agar bisa bertahan.
Dan tidak sebatas di kampusnya sendiri. Integritas almarhum di bidang pendidikan mencetak banyak kenangan. Berikut sebagian memori yang terpatri:
"Saya mengenalnya sejak 1988; dan sampai pertemuan 20 Desember 2008, saat saya diwisuda di MM UBL, beliau masih mengingatkan agar tidak berhenti belajar. Pesannya, ke depan, ilmu terus berkembang, kita jangan ketinggalan zaman. Selamat jalan Bapak Motivator Pendidikan," tulis Zahral Mutzaini, jurnalis RRI Lampung yang juga dekan FISIP UML.
"Sosoknya yang kebapakan dan gaya kepemimpinan pendidikan yang visioner benar-benar mengayomi serta meneduhkan. Beliau inspirasi bagi para pemimpin pendidikan lain," kata Nasrullah Yusuf, Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Teknokra.
Safarudin, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM mencatat ribuan sarjana telah dicetak Barusman, sosok yang penuh dedikasi dan tanggung jawab. AAN, ASM, dan UBL lahir atas sentuhannya. Ini jelas andilnya melengkapi keterbatasan PTN memproduksi sarjana. Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu adalah lulusan UBL. Dan itu satu dari banyak contoh anak didiknya yang sukses. Impiannya tunggal: Lampung setara dengan daerah lain di Jawa. Baginya pendidikan merupakan bagian ibadah paling konkret.
Riyan Chaniago, mahasiswa UBL, berkirim pesan singkat: "Beliau tokoh pendidikan yang penting di Bumi Ruwa Jurai."
Dr. Suwondo, Ketua Program Pascasarjana FISIP Unila bersurat: "Beliau orang tua yang bijak, sebagai atasan ataupun sesama pendidik. Dialah sang anutan; figur yang amat menghargai orang lain tanpa memandang status seseorang. Sebagai kolega sesama dosen almarhum selalu mendiskusikan berbagai isu demi kemajuan dunia pendidikan.
Saya betul-betul hormat pada beliau. Lampung kehilangan pendidik yang gigih mengangkat harkat dan kualitas SDM di Lampung.
Wakil Direktur Serse Polda Lampung AKBP Yusril Hakim Y.H.S. mengirim SMS: "Saya berutang nyawa dan tidak pernah lupa jasa almarhum. Sewaktu kelas II SMP, saya kecelakaan di Jalan Raya Pasir Putih. Kendati tidak mengenal saya, Pak Barusman langsung melarikan saya ke RSUAM Tanjungkarang. Nyawa saya pun selamat setelah operasi dan pertolongan cepat tanpa pamrih darinya. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi-Nya."
Faisal Yusuf Helmi, mantan mahasiswa UBL yang kini jaksa di Cabang Kejaksaan Negeri Panjang, menulis: "Pak Barusman merupakan figur yang sangat memperhatikan pendidikan. Ini terlihat saat beliau memperjuangkan UBL dari nol sampai sukses dengan memperoleh akreditasi sehingga para alumnus dapat bersaing dalam dunia kerja. Dan pada kenyataannya rata-rata alumni UBL banyak yang sukses."
Yoke Muelgini, dosen Fakultas Pertanian Unila, mengirim pesannya: "Kita kehilangan pelopor pendidikan yang langka. Visinya melampaui zaman. Almarhum meneladankan dan mewariskan peninggalan mulia berupa landmark yang memungkinkan masyarakat mewujudkan insaniah untuk mengarungi the greatest resource of all: Pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa."
Anshori Djausal, budayawan Lampung, mencatat: "Saya mengenal beliau ketika masih aktif di Unila awal 1980-an. Almarhum banyak membantu ketika saya mulai bertugas. Saya kian sering berkomunikasi ketika beliau mempersiapkan Fakultas Teknik UBL. Dia pribadi yang bersemangat. Sebagai perintis perguruan tinggi swasta yang serius, beliau banyak jasanya dalam upaya memperluas kesempatan bagi putra-putri Lampung yang membutuhkan pendidikan lanjut."
Andy Surya, pendiri AMIK Mitra Lampung, menuliskan pesannya: "Almarhum motivator bagi akademisi PTS. Beliaulah enterpreneur bidang pendidikan tinggi dan secara 'spekulatif' mendirikan PTS ketika belum banyak yang berani sekadar memikirkannya sekalipun. Pak Barusman telah paripurna menjalani kehidupan, mewariskan anak-anak yang saleh dan berkualitas serta PTS yang membantu masyarakat memperoleh pendidikan terbaik."
Ahmad Zahrudin, dosen UTB, mengenang R.M. Barusman sebagai tokoh pendidik yang gigih berjuang sekaligus enterpreneur yang selalu mendiversifikasi bisnis pendidikannya. "Beliau selalu menjaga hubungan baik dengan PTS lain dengan selalu menjaga silaturahmi." n HERI WARDOYO/N-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Januari 2009
January 15, 2009
Visit Lampung: Dibutuhkan Kerja Sama untuk Membangun Pariwisata Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung memiliki banyak potensi pariwisata yang dapat dijual dan Lampung sudah siap memberikan pelayanan dalam Visit Lampung Year (VLY) 2009 ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya kerja sama semua pihak, dalam menumbuhkembangkan pembangunan pariwisata di Lampung.
Ketua Komite Pariwisata Lampung Idrus Djaendar Muda mengatakan dia tidak sependapat jika wisata Lampung mengalami kemunduran. Selain begitu banyaknya objek wisata yang sudah dikembangkan, kini terdapat 42 agenda dalam VLY 2009. Sehingga, target kunjungan wisatawan ke Bandar Lampung yang hanya 2 juta orang, bukan hal yang sulit didapat.
"Kita jangan hanya melihat adanya objek wisata yang infrastrukturnya belum bagus. Masih banyak juga objek wisata yang jalannya bagus dan perlu dikembangkan. Tinggal bagaimana kita melayani wisatawan dengan baik. Tentunya harus melalui promosi yang kontinu," kata Idrus, dalam pertemuan sinergisitas pelaku wisata, di RM Pondok Bambu, Way Halim, Rabu (14-1).
Menurut Idrus, yang akrab dipanggil Yuskas, jika ditanya kesiapan, hampir semua daerah tidak akan siap dalam pengelolaan objek wisata. Terlebih dalam VLY. Mengingat, pembangunan objek wisata selalu dinamis, mengikuti selera wisatawan yang akan mengunjunginya.
"Tapi, dengan semangat kebersamaan, semua bisa dilaksanakan. Kalau menunggu kesempurnaan aksesibilitas, sampai kapan pun sulit terwujud," kata dia.
Sementara itu, pemerhati masalah budaya, Ansori Djausal, mengatakan menyambut VLY 2009, dalam waktu dekat ini, di Bandar Lampung akan dilaksanakan Festival Durian, mulai tanggal 23--25 Januari 2008. Dan, pada bulan Juni 2008, akan digelar Festival Begawi Bandar Lampung.
"Belum lagi puluhan festival lainnya. Semua memiliki nilai jual, seperti Festival Krakatau dan festival lainnya yang ada di kabupaten/kota," kata dia.
Semua pelaku wisata, lanjut Ansori, harus mampu memanfaatkan VLY 2009 sebagai momentum kebangkitan pariwisata Lampung. Terlebih, di Indonesia, dalam satu tahun, terdapat 120 juta wisatawan. Di mana 80 persennya mengunjungi objek wisata di Jakarta dan Jawa Barat. "Sehingga, sangat tidak mungkin Lampung tidak mampu meraih dua juta wisatawan dari total yang ada," kata dia. n Kim/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 15 Januari 2009
Ketua Komite Pariwisata Lampung Idrus Djaendar Muda mengatakan dia tidak sependapat jika wisata Lampung mengalami kemunduran. Selain begitu banyaknya objek wisata yang sudah dikembangkan, kini terdapat 42 agenda dalam VLY 2009. Sehingga, target kunjungan wisatawan ke Bandar Lampung yang hanya 2 juta orang, bukan hal yang sulit didapat.
"Kita jangan hanya melihat adanya objek wisata yang infrastrukturnya belum bagus. Masih banyak juga objek wisata yang jalannya bagus dan perlu dikembangkan. Tinggal bagaimana kita melayani wisatawan dengan baik. Tentunya harus melalui promosi yang kontinu," kata Idrus, dalam pertemuan sinergisitas pelaku wisata, di RM Pondok Bambu, Way Halim, Rabu (14-1).
Menurut Idrus, yang akrab dipanggil Yuskas, jika ditanya kesiapan, hampir semua daerah tidak akan siap dalam pengelolaan objek wisata. Terlebih dalam VLY. Mengingat, pembangunan objek wisata selalu dinamis, mengikuti selera wisatawan yang akan mengunjunginya.
"Tapi, dengan semangat kebersamaan, semua bisa dilaksanakan. Kalau menunggu kesempurnaan aksesibilitas, sampai kapan pun sulit terwujud," kata dia.
Sementara itu, pemerhati masalah budaya, Ansori Djausal, mengatakan menyambut VLY 2009, dalam waktu dekat ini, di Bandar Lampung akan dilaksanakan Festival Durian, mulai tanggal 23--25 Januari 2008. Dan, pada bulan Juni 2008, akan digelar Festival Begawi Bandar Lampung.
"Belum lagi puluhan festival lainnya. Semua memiliki nilai jual, seperti Festival Krakatau dan festival lainnya yang ada di kabupaten/kota," kata dia.
Semua pelaku wisata, lanjut Ansori, harus mampu memanfaatkan VLY 2009 sebagai momentum kebangkitan pariwisata Lampung. Terlebih, di Indonesia, dalam satu tahun, terdapat 120 juta wisatawan. Di mana 80 persennya mengunjungi objek wisata di Jakarta dan Jawa Barat. "Sehingga, sangat tidak mungkin Lampung tidak mampu meraih dua juta wisatawan dari total yang ada," kata dia. n Kim/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 15 Januari 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)