Palembang, Kompas - Balai Arkeologi Palembang menemukan 21 situs di enam desa di Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang diduga peninggalan dari kebudayaan pada abad IV Masehi. Situs-situs itu menguatkan bukti telah berkembang dua kerajaan maritim sebelum Kerajaan Sriwijaya di Sumsel, yaitu Kerajaan Ko-Ying dan Kanto-Li.
Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni SB, di Palembang, Selasa (4/4), mengungkapkan, penemuan 21 situs itu terjadi secara bertahap sejak tahun 2000 sampai 2006. Bahkan, di awal 1990-an, tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang diketuai Bambang Budi Utomo juga sebelumnya sudah menemukan sejumlah bukti lain di kawasan Air Sugihan, tak jauh dari lokasi temuan terakhir.
Penemuan berawal dari informasi masyarakat yang mendapatkan berbagai benda kuno di areal transmigrasi yang hendak diolah jadi lahan pertanian. Dalam situs-situs itu terdapat berbagai peninggalan, antara lain berupa manik-manik, tembikar, kemudi kapal, tiang rumah kuno, dan bandul jaring ikan dari timah.
Ke-21 situs tersebar memanjang hingga 20 kilometer di enam desa di Kecamatan Lalan, yaitu Desa Mulya Agung yang memiliki lima situs, Desa Karya Mukti (sembilan situs), Desa Karang Mukti (empat situs), Desa Sri Agung (satu situs), Desa Sukajadi (satu situs), dan Desa Bumi Agung (satu situs). Peninggalan itu mengelompok di tepi sungai purba yang sudah mengering di kawasan Karangtengah, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari pantai timur Sumatera.
Benda-benda temuan itu menguatkan asumsi bahwa di sana pernah berkembang Kerajaan Ko-Ying (abad IV) dan Kanto-Li (abad V-VI), sebelum Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII ). Kedua kerajaan itu pernah diceritakan dalam literatur China, seperti Fu Nan T'u Su Chuan dan Nun Choui Wu Chih, dan dikaji peneliti dari Cornell Univercity, Amerika Serikat, OW Wolters. (iam)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 April 2006
March 31, 2007
March 30, 2007
Lingkungan: Delapan Kebun Raya Mulai Dibangun di Tujuh Provinsi
Jakarta, Kompas - Delapan kebun raya baru yang tahun lalu tersusun dalam rencana induk pemerintah daerah di tujuh provinsi, kini mulai direalisasikan secara serentak. Beberapa di antaranya sudah dalam tahap pembibitan dan penanaman.
"Adanya banyak kebun raya sangat positif untuk menyelamatkan jenis tanaman asli Indonesia yang kian terancam punah," kata Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT KRB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irawati, di Ecology Park Cibinong, Kamis (29/3).
Kedelapan kebun raya itu adalah Kebun Raya (KR) Bukit Sari di Provinsi Jambi, KR Baturraden di Jawa Tengah, KR Balikpapan Kalimantan Timur, KR Enrekang Sulawesi Selatan, KR Kuningan Jawa Barat, KR Liwa Lampung, KR Katingan Kalimantan Tengah, dan KR Puca Sulawesi Selatan. Semuanya di luar empat kebun raya yang sudah beroperasi di bawah koordinasi LIPI.
Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 300 kebun raya dan lebih dari 100 kebun raya ada di Inggris, China, Australia, India, dan Rusia. Sedangkan Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keragaman hayati tertinggi di dunia, baru akan memiliki 12 kebun raya.
Dijelaskan Irawati, rencana induk pembangunan kebun raya mencakup aspek pemetaan, batas wilayah, pembagian lokasi tanaman, hingga infrastruktur termasuk laboratorium dan selter.
Kebun Raya Enrekang di antaranya telah memasuki tahap penanaman pohon koleksi. Rencana khusus bagi kebun raya di Kalimantan adalah koleksi keragaman jenis pohon buah asli Kalimantan dan jenis pohon kayu keras yang tergerus deforestasi.
Saat ini, sejumlah jenis tanaman mulai sulit ditemukan di habitat aslinya, seperti kayu meranti, kruwing, ulin, hingga jenis bunga anggrek bulan jawa. Belum lagi jenis buah-buahan.
"Tidak ada yang salah dengan semangat untuk pemasukan daerah, tetapi perlu disadari bahwa kebun raya itu tempat mempelajari kekayaan hayati Indonesia," katanya. Di sana pula riwayat pohon dicatat dan disimpan untuk keperluan penelitian.
Adanya penelitian di kebun raya itulah yang membedakannya dengan taman. Meski keduanya tempat konservasi tanaman.
Di kebun raya tanaman koleksi akan dicatat, mulai dari waktu penanaman, asal tanaman, waktu pemindahan, waktu berbunga, berbuah, dan mati.
Semangat membangun kebun raya di daerah, antara lain, didorong oleh tingginya jumlah pengunjung. Di Kebun Raya Bogor yang tahun ini akan berusia 190 tahun, dikunjungi tak kurang dari 1,4 juta orang setiap tahun.
Kepala Bidang Konservasi Ex-Situ PKT KRB Sudjati Budi Susetyo mengungkap, tak jarang pelaksana pembangunan KR menyamakan kebun raya dengan dunia fantasi. "Setelah dijelaskan, baru mereka paham kalau kebun raya bukan dunia fantasi, tetapi untuk konservasi," katanya.
Diungkapkannya, kebutuhan biaya pembangunan kebun raya sejak pembuatan rencana induk hingga siap operasi, umumnya tak kurang dari Rp 100 miliar. Meskipun tak ada luasan ideal, kebun raya umumnya puluhan hektar. (GSA)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Maret 2007
"Adanya banyak kebun raya sangat positif untuk menyelamatkan jenis tanaman asli Indonesia yang kian terancam punah," kata Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT KRB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irawati, di Ecology Park Cibinong, Kamis (29/3).
Kedelapan kebun raya itu adalah Kebun Raya (KR) Bukit Sari di Provinsi Jambi, KR Baturraden di Jawa Tengah, KR Balikpapan Kalimantan Timur, KR Enrekang Sulawesi Selatan, KR Kuningan Jawa Barat, KR Liwa Lampung, KR Katingan Kalimantan Tengah, dan KR Puca Sulawesi Selatan. Semuanya di luar empat kebun raya yang sudah beroperasi di bawah koordinasi LIPI.
Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 300 kebun raya dan lebih dari 100 kebun raya ada di Inggris, China, Australia, India, dan Rusia. Sedangkan Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keragaman hayati tertinggi di dunia, baru akan memiliki 12 kebun raya.
Dijelaskan Irawati, rencana induk pembangunan kebun raya mencakup aspek pemetaan, batas wilayah, pembagian lokasi tanaman, hingga infrastruktur termasuk laboratorium dan selter.
Kebun Raya Enrekang di antaranya telah memasuki tahap penanaman pohon koleksi. Rencana khusus bagi kebun raya di Kalimantan adalah koleksi keragaman jenis pohon buah asli Kalimantan dan jenis pohon kayu keras yang tergerus deforestasi.
Saat ini, sejumlah jenis tanaman mulai sulit ditemukan di habitat aslinya, seperti kayu meranti, kruwing, ulin, hingga jenis bunga anggrek bulan jawa. Belum lagi jenis buah-buahan.
"Tidak ada yang salah dengan semangat untuk pemasukan daerah, tetapi perlu disadari bahwa kebun raya itu tempat mempelajari kekayaan hayati Indonesia," katanya. Di sana pula riwayat pohon dicatat dan disimpan untuk keperluan penelitian.
Adanya penelitian di kebun raya itulah yang membedakannya dengan taman. Meski keduanya tempat konservasi tanaman.
Di kebun raya tanaman koleksi akan dicatat, mulai dari waktu penanaman, asal tanaman, waktu pemindahan, waktu berbunga, berbuah, dan mati.
Semangat membangun kebun raya di daerah, antara lain, didorong oleh tingginya jumlah pengunjung. Di Kebun Raya Bogor yang tahun ini akan berusia 190 tahun, dikunjungi tak kurang dari 1,4 juta orang setiap tahun.
Kepala Bidang Konservasi Ex-Situ PKT KRB Sudjati Budi Susetyo mengungkap, tak jarang pelaksana pembangunan KR menyamakan kebun raya dengan dunia fantasi. "Setelah dijelaskan, baru mereka paham kalau kebun raya bukan dunia fantasi, tetapi untuk konservasi," katanya.
Diungkapkannya, kebutuhan biaya pembangunan kebun raya sejak pembuatan rencana induk hingga siap operasi, umumnya tak kurang dari Rp 100 miliar. Meskipun tak ada luasan ideal, kebun raya umumnya puluhan hektar. (GSA)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Maret 2007
Transmigrasi: Mereka Berupaya Lepas dari Kemiskinan
-- Wisnu Aji Dewabrata
Transmigrasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan memindahkan penduduk miskin ke daerah lain. Sayangnya, pemerintah terkesan setengah hati sehingga hanya seperti memindahkan kemiskinan meskipun banyak juga transmigran yang berhasil.
Arbai ingat betul waktu pertama kali datang ke lokasi transmigrasi Unit VII di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Waktu itu tahun 1976, Arbai baru berumur 12 tahun. Bersama orangtuanya, ia meninggalkan kampung halamannya di Lumajang, Jawa Timur. Tujuannya satu, mewujudkan mimpi lepas dari kemiskinan!
Perjalanan itu tidak mudah dan melelahkan. "Dari Lumajang naik bus sampai Jakarta. Lalu pindah bus ke Merak, menyeberangi laut, naik bus lagi. Dari Pelabuhan Panjang, Lampung, naik kereta," katanya mengenang.
Perlu waktu tiga hari tiga malam untuk sampai di Cempaka di Kabupaten Ogan Komering Ilir. "Dari sana, kami naik traktor," katanya. Sebab, jalan ke lokasi transmigrasi yang berjarak 10 kilometer dari Cempaka itu belum bisa dilalui kendaraan bermotor selain traktor.
Begitu melihat kondisi lahan yang disediakan untuk para transmigran, Arbai sangat tak yakin mimpinya bisa diwujudkan. "Kalau bapak bisa mengolah tanah dan menanam, ke mana hasilnya akan dijual," keluhnya dalam hati.
Lokasi transmigrasi itu memang masih terisolasi. Untuk menuju Palembang yang berjarak 120 kilometer, misalnya, diperlukan waktu dua hari dua malam naik perahu. Jalan raya dari Palembang menuju ke lokasi transmigrasi sendiri baru dibangun 10 tahun kemudian, 1986.
Maka, tidak sedikit transmigran di Unit VII yang kini bernama Desa Bumi Harjo di Kecamatan Lempuing itu yang meninggalkan lokasi. Sejumlah transmigran yang tak punya uang untuk kembali ke Jawa memilih bertahan dengan berbagai cara. Ada yang merantau ke Palembang, ada pula yang membuka lahan baru di luar lokasi transmigrasi meski akhirnya gagal juga.
Di antara mereka yang tetap bertahan di lokasi transmigrasi adalah orangtua Arbai yang tetap bertekad keluar dari kemiskinan. "Tanah Jawa memang subur, tetapi kalau tidak punya tanah sendiri mau apa?" Itulah kata-kata yang sering ia dengarnya dari bapaknya.
Berkah karet
Tahun-tahun pertama memang mereka harus bekerja keras. Tidak sedikit yang nyaris putus asa. Secercah harapan akhirnya muncul ketika tahun 1988 perkebunan karet mulai dibuka di lokasi transmigrasi. Apalagi jalan lintas timur Sumatera yang menghubungkan Palembang-Bandar Lampung juga mulai dibangun.
Lokasi transmigrasi yang semula terisolasi pun terbuka. Bus dan truk pun hilir mudik meski jalan masih berupa tanah. Para transmigran yang semula meninggalkan lokasi pun banyak yang kembali.
Kini lokasi transmigrasi itu berubah menjadi desa yang ramai. Generasi kedua yang merupakan anak-anak dari para transmigran, seperti Arbai, yang menikmati kerja keras orangtuanya. Mereka bisa menyekolahkan anaknya ke Jawa, membangun rumah, dan membeli berbagai perabot rumah tangga.
Sarno (37), generasi kedua transmigran, kini menguasai 4,5 hektar kebun karet. Ia mengaku sangat berbahagia dengan keberhasilan yang dia capai di bumi transmigrasi. Hasil berkebun karetnya bisa untuk membangun dua rumah yang relatif mewah untuk ukuran desa transmigrasi.
Keberhasilan juga diraih keluarga Purhadi (72), yang buyutnya "hijrah" dari Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, ke Lampung sejak zaman Belanda, tepatnya tahun 1905. Purhadi merupakan generasi keempat dari keluarga Kartoredjo, transmigran yang datang sebagai tenaga kerja perkebunan Belanda bersama 42 orang lainnya.
Menjadi contoh
Keberhasilan transmigran konon sudah dijadikan contoh sejak zaman kolonial untuk merangsang lebih banyak pekerja kebun dari Pulau Jawa. Caranya, membawa para transmigran yang sudah lama bekerja di Sumatera ke Jawa sambil membawa hasil pertanian sebagai bukti keberhasilan.
Cara itu ternyata efektif. Banyak orang Jawa yang mau diajak ke Sumatera untuk membuka wilayah baru. Meski mengalami pasang surut, transmigrasi ala kolonial itu terus berlangsung hingga tahun 1941 dengan total penduduk yang dipindahkan mencapai 222.586 jiwa. Daerah baru yang semula sepi berkembang menjadi ramai. Salah satu contohnya adalah Metro yang sekarang menjadi kota di Provinsi Lampung.
Keberhasilan Belanda itu kemudian ditiru oleh Pemerintah RI. Sayangnya, pemerintah tidak serius menggarap program ini. Para transmigran umumnya merasa dibiarkan begitu saja setibanya di tanah harapan.
Banyaknya transmigran menjadi kampanye buruk. Meski begitu kondisinya, banyak juga transmigran yang berhasil.
Kini, tidak sedikit transmigran atau setidaknya anak cucu mereka yang berhasil menjadi tokoh penting di daerahnya. Entah itu pengusaha, politisi, atau pejabat publik. Sejumlah daerah eks lokasi transmigrasi juga sudah berkembang menjadi kota penting di daerah sebagai penyangga ekonomi.... (hln)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Maret 2007
Transmigrasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan memindahkan penduduk miskin ke daerah lain. Sayangnya, pemerintah terkesan setengah hati sehingga hanya seperti memindahkan kemiskinan meskipun banyak juga transmigran yang berhasil.
Arbai ingat betul waktu pertama kali datang ke lokasi transmigrasi Unit VII di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Waktu itu tahun 1976, Arbai baru berumur 12 tahun. Bersama orangtuanya, ia meninggalkan kampung halamannya di Lumajang, Jawa Timur. Tujuannya satu, mewujudkan mimpi lepas dari kemiskinan!
Perjalanan itu tidak mudah dan melelahkan. "Dari Lumajang naik bus sampai Jakarta. Lalu pindah bus ke Merak, menyeberangi laut, naik bus lagi. Dari Pelabuhan Panjang, Lampung, naik kereta," katanya mengenang.
Perlu waktu tiga hari tiga malam untuk sampai di Cempaka di Kabupaten Ogan Komering Ilir. "Dari sana, kami naik traktor," katanya. Sebab, jalan ke lokasi transmigrasi yang berjarak 10 kilometer dari Cempaka itu belum bisa dilalui kendaraan bermotor selain traktor.
Begitu melihat kondisi lahan yang disediakan untuk para transmigran, Arbai sangat tak yakin mimpinya bisa diwujudkan. "Kalau bapak bisa mengolah tanah dan menanam, ke mana hasilnya akan dijual," keluhnya dalam hati.
Lokasi transmigrasi itu memang masih terisolasi. Untuk menuju Palembang yang berjarak 120 kilometer, misalnya, diperlukan waktu dua hari dua malam naik perahu. Jalan raya dari Palembang menuju ke lokasi transmigrasi sendiri baru dibangun 10 tahun kemudian, 1986.
Maka, tidak sedikit transmigran di Unit VII yang kini bernama Desa Bumi Harjo di Kecamatan Lempuing itu yang meninggalkan lokasi. Sejumlah transmigran yang tak punya uang untuk kembali ke Jawa memilih bertahan dengan berbagai cara. Ada yang merantau ke Palembang, ada pula yang membuka lahan baru di luar lokasi transmigrasi meski akhirnya gagal juga.
Di antara mereka yang tetap bertahan di lokasi transmigrasi adalah orangtua Arbai yang tetap bertekad keluar dari kemiskinan. "Tanah Jawa memang subur, tetapi kalau tidak punya tanah sendiri mau apa?" Itulah kata-kata yang sering ia dengarnya dari bapaknya.
Berkah karet
Tahun-tahun pertama memang mereka harus bekerja keras. Tidak sedikit yang nyaris putus asa. Secercah harapan akhirnya muncul ketika tahun 1988 perkebunan karet mulai dibuka di lokasi transmigrasi. Apalagi jalan lintas timur Sumatera yang menghubungkan Palembang-Bandar Lampung juga mulai dibangun.
Lokasi transmigrasi yang semula terisolasi pun terbuka. Bus dan truk pun hilir mudik meski jalan masih berupa tanah. Para transmigran yang semula meninggalkan lokasi pun banyak yang kembali.
Kini lokasi transmigrasi itu berubah menjadi desa yang ramai. Generasi kedua yang merupakan anak-anak dari para transmigran, seperti Arbai, yang menikmati kerja keras orangtuanya. Mereka bisa menyekolahkan anaknya ke Jawa, membangun rumah, dan membeli berbagai perabot rumah tangga.
Sarno (37), generasi kedua transmigran, kini menguasai 4,5 hektar kebun karet. Ia mengaku sangat berbahagia dengan keberhasilan yang dia capai di bumi transmigrasi. Hasil berkebun karetnya bisa untuk membangun dua rumah yang relatif mewah untuk ukuran desa transmigrasi.
Keberhasilan juga diraih keluarga Purhadi (72), yang buyutnya "hijrah" dari Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, ke Lampung sejak zaman Belanda, tepatnya tahun 1905. Purhadi merupakan generasi keempat dari keluarga Kartoredjo, transmigran yang datang sebagai tenaga kerja perkebunan Belanda bersama 42 orang lainnya.
Menjadi contoh
Keberhasilan transmigran konon sudah dijadikan contoh sejak zaman kolonial untuk merangsang lebih banyak pekerja kebun dari Pulau Jawa. Caranya, membawa para transmigran yang sudah lama bekerja di Sumatera ke Jawa sambil membawa hasil pertanian sebagai bukti keberhasilan.
Cara itu ternyata efektif. Banyak orang Jawa yang mau diajak ke Sumatera untuk membuka wilayah baru. Meski mengalami pasang surut, transmigrasi ala kolonial itu terus berlangsung hingga tahun 1941 dengan total penduduk yang dipindahkan mencapai 222.586 jiwa. Daerah baru yang semula sepi berkembang menjadi ramai. Salah satu contohnya adalah Metro yang sekarang menjadi kota di Provinsi Lampung.
Keberhasilan Belanda itu kemudian ditiru oleh Pemerintah RI. Sayangnya, pemerintah tidak serius menggarap program ini. Para transmigran umumnya merasa dibiarkan begitu saja setibanya di tanah harapan.
Banyaknya transmigran menjadi kampanye buruk. Meski begitu kondisinya, banyak juga transmigran yang berhasil.
Kini, tidak sedikit transmigran atau setidaknya anak cucu mereka yang berhasil menjadi tokoh penting di daerahnya. Entah itu pengusaha, politisi, atau pejabat publik. Sejumlah daerah eks lokasi transmigrasi juga sudah berkembang menjadi kota penting di daerah sebagai penyangga ekonomi.... (hln)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Maret 2007
March 29, 2007
Nuansa: Klaim
-- Budi Hutasuhut
PARA arkeolog dari Museum Negeri Sumatera Selatan tiba di beberapa desa yang berbatasan dengan Lampung, beberapa waktu lalu. Di desa-desa itu mereka menemukan situs sebuah kerajaan. Konon kerajaan itu muncul sebelum Kerajaan Sriwijaya. Begitu mereka mengidentifikasi seperti diberitakan sebuah koran nasional.
Apakah itu penting? Ya, sangat penting. Terutama karena lokasi penemuan itu sudah diketahui masyarakat sejak lama. Beberapa arkeolog dari Pulau Jawa, bersama orang Lampung, sudah lebih dahulu menemukannya. Cuma, identifikasi mereka, situs itu milik Kerajaan Sriwijaya.
Hampir enam tahun lalu, soal peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu pernah dipublikasikan di sejumlah media cetak. Orang-orang pun menduga lokasi Kerajaan Sriwijaya itu bukan di wilayah Sumatera Selatan. Namun, di Lampung, di daerah perbukitan yang menghadap langsung ke Pulau Pisang, ke laut lepas.
Geografis daerah itu, demikian para arkeolog membuat asumsi, memungkinkan bagi penghuni kerajaan untuk melihat musuh maupun teman yang datang dari laut. Bahkan, ada satu mitos yang diyakini masyarakat di daerah itu. Dulu, Patih Gajah Mada pernah singgah di kerajaan tersebut. Bukti yang ditonjolkan, ada sebuah makam yang diyakini makam Sang Patih.
Benarkah? Kita tak tahu persis. Namun, mitos itu sangat kuat memengaruhi masyarakat sekitar. Dan, situs itu masih ada di sana. Bentuknya berupa bongkahan batu persegi yang diyakini bagian dari konstruksi sebuah kerajaan.
Semua itu butuh pembuktian. Setiap peninggalan sejarah selalu akrab dengan klaim. Setiap orang akan mengaku memiliki sejarah masa lalu yang sangat hebat. Entah untuk apa. Kita hanya tahu, para arkeolog dari Museum Negeri Sumatera Selatan membuat klaim yang membantah klaim arkeolog sebelumnya.
Semua punya dasar. Para arkeolog dari Sumatera Selatan ingin publik tahu bahwa Kerajaan Sriwijaya betul-betul milik orang Palembang. Namun, klaim tentang situs Kerajaan Sriwijaya di Lampung, jika publik memercayainya, akan meruntuhkan pendapat umum selama ini. Itu sebabnya, situs-situs yang ada di perbatasan Sumatra Selatan-Lampung itu diklaim sebagai situs kerajaan sebelum Kerajaan Sriwijaya.
Semua ini mungkin hanya klaim. Semua ini mungkin tidak benar. Semua ini mungkin benar.
Semua itu punya mitos sendiri. Semua mitos dipercaya para pemiliknya. Tidak ada seorang pun di perbatasan Sumatera Selatan--Lampung yang akan percaya pada mitos lain selain mitos yang mereka yakini. Keyakinan terhadap mitos nyaris mengalahkan keyakinan terhadap agama.
Tidak seorang pun boleh membantah. Sebab, itu berarti melupakan leluhur. Melupakan masa lalu. Melupakan kejayaan yang pantas dibanggakan. Entah untuk apa.
Kita hanya tahu, sejarah mempunyai fungsi yang lebih substansial. Tidak sekadar kenang-kenangan. Tak sekadar untuk dibanggakan. Tak sekadar...itulah sejarah.
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2007
PARA arkeolog dari Museum Negeri Sumatera Selatan tiba di beberapa desa yang berbatasan dengan Lampung, beberapa waktu lalu. Di desa-desa itu mereka menemukan situs sebuah kerajaan. Konon kerajaan itu muncul sebelum Kerajaan Sriwijaya. Begitu mereka mengidentifikasi seperti diberitakan sebuah koran nasional.
Apakah itu penting? Ya, sangat penting. Terutama karena lokasi penemuan itu sudah diketahui masyarakat sejak lama. Beberapa arkeolog dari Pulau Jawa, bersama orang Lampung, sudah lebih dahulu menemukannya. Cuma, identifikasi mereka, situs itu milik Kerajaan Sriwijaya.
Hampir enam tahun lalu, soal peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu pernah dipublikasikan di sejumlah media cetak. Orang-orang pun menduga lokasi Kerajaan Sriwijaya itu bukan di wilayah Sumatera Selatan. Namun, di Lampung, di daerah perbukitan yang menghadap langsung ke Pulau Pisang, ke laut lepas.
Geografis daerah itu, demikian para arkeolog membuat asumsi, memungkinkan bagi penghuni kerajaan untuk melihat musuh maupun teman yang datang dari laut. Bahkan, ada satu mitos yang diyakini masyarakat di daerah itu. Dulu, Patih Gajah Mada pernah singgah di kerajaan tersebut. Bukti yang ditonjolkan, ada sebuah makam yang diyakini makam Sang Patih.
Benarkah? Kita tak tahu persis. Namun, mitos itu sangat kuat memengaruhi masyarakat sekitar. Dan, situs itu masih ada di sana. Bentuknya berupa bongkahan batu persegi yang diyakini bagian dari konstruksi sebuah kerajaan.
Semua itu butuh pembuktian. Setiap peninggalan sejarah selalu akrab dengan klaim. Setiap orang akan mengaku memiliki sejarah masa lalu yang sangat hebat. Entah untuk apa. Kita hanya tahu, para arkeolog dari Museum Negeri Sumatera Selatan membuat klaim yang membantah klaim arkeolog sebelumnya.
Semua punya dasar. Para arkeolog dari Sumatera Selatan ingin publik tahu bahwa Kerajaan Sriwijaya betul-betul milik orang Palembang. Namun, klaim tentang situs Kerajaan Sriwijaya di Lampung, jika publik memercayainya, akan meruntuhkan pendapat umum selama ini. Itu sebabnya, situs-situs yang ada di perbatasan Sumatra Selatan-Lampung itu diklaim sebagai situs kerajaan sebelum Kerajaan Sriwijaya.
Semua ini mungkin hanya klaim. Semua ini mungkin tidak benar. Semua ini mungkin benar.
Semua itu punya mitos sendiri. Semua mitos dipercaya para pemiliknya. Tidak ada seorang pun di perbatasan Sumatera Selatan--Lampung yang akan percaya pada mitos lain selain mitos yang mereka yakini. Keyakinan terhadap mitos nyaris mengalahkan keyakinan terhadap agama.
Tidak seorang pun boleh membantah. Sebab, itu berarti melupakan leluhur. Melupakan masa lalu. Melupakan kejayaan yang pantas dibanggakan. Entah untuk apa.
Kita hanya tahu, sejarah mempunyai fungsi yang lebih substansial. Tidak sekadar kenang-kenangan. Tak sekadar untuk dibanggakan. Tak sekadar...itulah sejarah.
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2007
Transmigrasi: Menang dan Kalah di Tanah Seberang...
-- Ahmad Arif
PADA awalnya semua penuh harap ketika meninggalkan Pulau Jawa yang sesak menuju Pulau Sumatera. Sebagian memang bisa memenuhi harapan itu, sukses menjadi juragan, tetapi tak sedikit yang pulang lagi ke Jawa dengan kepala menunduk.
Kerja keras dan kemampuan beradaptasi dari pola pertanian sawah ke perkebunan menjadi tabir pembatas yang memisahkan apakah pendatang itu bisa menjadi pemenang atau pihak yang kalah di tanah seberang.
Kisah sukses, misalnya, dialami oleh para transmigran di Satuan Kelompok Perumahan (SKP) D, Desa Rambah Muda, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Sebutlah Haji Gholib (51) dan istrinya, Hajah Munasarah (41). Dengan modal sepeda onthel (kayuh), uang saku dari pemerintah Rp 7.000, dan utangan dari keponakannya Rp 50.000, kini mereka memiliki 40 hektar lahan perkebunan sawit dan karet, tiga toko, dua rumah yang salah satunya di Jawa, serta berhasil membiayai keenam anaknya hingga perguruan tinggi.
Gholib ngotot menanam sawit di lahannya seluas satu hektar walau sebenarnya tanah itu oleh pemerintah diperuntukkan sebagai lahan tanaman pangan. "Sawah tak menjanjikan karena pemerintah tak menyiapkan irigasi yang baik. Lagi pula, harga padi selalu jatuh saat panen raya," katanya.
Akhirnya, perhitungan Gholib terbukti ketika harga kelapa sawit naik dengan pasti dari tahun ke tahun, dan saat ini menjadi sekitar Rp 950 per kilogram. Ini jugalah yang membuat warga transmigran di Desa Rambah Muda mengikuti jejak Gholib.
Kepala Desa Rambah Muda, As’ad (43), mengatakan, para transmigran di desanya hampir semuanya sukses secara materi. "Setiap hari rata-rata ada lima warga yang datang untuk mengajukan kredit membeli sepeda motor. Setiap keluarga punya dua hingga tiga sepeda motor. Banyak yang punya mobil, membangun rumah di Jawa, dan menyekolahkan anak-anak di Jawa," kata As’ad.
Keberhasilan para transmigran asal Jawa ini bahkan telah memicu terbentuknya kabupaten baru, Rokan Hulu, yang beribukotakan Pasir Pengaraian. "Sebelum tahun 1980-an, Pasir Pengaraian masih berupa hutan belantara. Setelah kedatangan transmigran, kota ini tumbuh pesat. Lahirnya Rokan Hulu menjadi kabupaten baru juga karena transmigran itu," kata Bahari (54), warga asli Pasir Pengaraian.
Seperti para transmigran di Rokan Hulu, para transmigran di Lampung—termasuk program transmigrasi pertama di Indonesia—juga kebanyakan berjaya karena perkebunan. Salah satunya adalah Sudarma Wijaya (51), generasi kedua dari keluarga transmigran asal Jawa Barat, yang berhasil menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Ayah Sudarma, almarhum Tanu Wijaya, adalah transmigran dari Desa Cisempur, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang datang ke Desa Tri Budi Syukur pada tahun 1950. Ia datang bersama 50 orang lainnya, termasuk sebagian dari program Biro Rekonstruksi Nasional. Program ini merupakan kebijakan Presiden Soekarno untuk mengembangkan daerah-daerah yang dinilai belum berkembang.
Tanu Wijaya, yang menjadi lurah pertama di desa transmigran, memelopori penanaman kopi begitu tiba di Lampung. Pada tahun 1957, Desa Tri Budi Syukur untuk pertama kalinya mengekspor kopi. Berkat jasa transmigran jugalah Lampung dikenal sebagai sentra penghasil kopi di Indonesia.
Desa Bumi Harjo, Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga bisa menjadi contoh keberhasilan para transmigran. Karwan (57), salah satu transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang menjadi ketua rombongan, mengatakan, para transmigran mendapat jatah tanah dua hektar. Mereka diwajibkan menanam palawija dan padi ladang. Namun, kondisi tanah menyebabkan hasil panen sangat sedikit.
"Hampir semua lelaki kemudian merantau ke Palembang untuk menambah penghasilan, sedangkan keluarganya ditinggal di sini. Bahkan, sebagian transmigran kembali ke Jawa," kata Karwan.
Gagal beradaptasi
Memang tidak semuanya mereguk manis hidup di lokasi transmigrasi. Sekitar 200 dari 2.000 keluarga transmigran di SKP D, Desa Rambah Muda, kembali ke Jawa dengan kepala menunduk. "Kebanyakan yang gagal karena tidak cepat mengubah lahan sawah menjadi perkebunan sawit atau karet," kata As’ad.
Di Desa Batubetumpang yang berada di Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, transmigran yang masih bertumpu pada pertanian padi juga tidak bisa lepas dari kemiskinan.
Sejak tahun 1990, pemerintah menempatkan 1.280 keluarga transmigran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian kecil penduduk lokal Bangka. Setiap keluarga difasilitasi rumah papan sederhana, area pekarangan seluas setengah hektar, serta satu hektar sawah.
Menyusuri Desa Pancatunggal, 17 tahun kemudian tanah harapan tersebut ternyata masih jauh dari kemakmuran. Jalanan masih berupa tanah penuh lubang. Hunian para transmigran juga belum banyak berubah. Papan-papan rumah terlihat kusam dan lapuk, pertanda mereka belum mampu memperbaikinya.
Harapan para transmigran untuk dapat bercocok tanam padi memang sejak awal tidaklah mudah. "Bukannya kami malas, tetapi mencetak sawah memang sudah di luar batas kemampuan kami. Kami tidak mungkin mencabut tunggul-tunggul pohon yang ada di tengah sawah tanpa bantuan alat berat," ucap Sekretaris Desa Pancatunggal, Hamzah.
Sejak pertama kali datang pada tahun 1992, petani Pancatunggal hanya mengalami dua kali masa panen raya, yakni tahun 2002 dan 2007. Sedangkan tahun-tahun lainnya banyak mengalami kegagalan karena berbagai faktor, seperti cuaca, ketersediaan air, hama, serta keterlambatan penyaluran bantuan benih dan pupuk.
Di tanah seberang, para transmigran dibiarkan berjalan sendiri karena pemerintah seperti menutup mata begitu mereka tiba di lokasi transmigrasi. Hanya mereka yang mau bekerja keras dan cepat beradaptasilah yang mampu menjadi pemenang.... (ART/HLN/WAD/AND)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Maret 2007
PADA awalnya semua penuh harap ketika meninggalkan Pulau Jawa yang sesak menuju Pulau Sumatera. Sebagian memang bisa memenuhi harapan itu, sukses menjadi juragan, tetapi tak sedikit yang pulang lagi ke Jawa dengan kepala menunduk.
Kerja keras dan kemampuan beradaptasi dari pola pertanian sawah ke perkebunan menjadi tabir pembatas yang memisahkan apakah pendatang itu bisa menjadi pemenang atau pihak yang kalah di tanah seberang.
Kisah sukses, misalnya, dialami oleh para transmigran di Satuan Kelompok Perumahan (SKP) D, Desa Rambah Muda, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Sebutlah Haji Gholib (51) dan istrinya, Hajah Munasarah (41). Dengan modal sepeda onthel (kayuh), uang saku dari pemerintah Rp 7.000, dan utangan dari keponakannya Rp 50.000, kini mereka memiliki 40 hektar lahan perkebunan sawit dan karet, tiga toko, dua rumah yang salah satunya di Jawa, serta berhasil membiayai keenam anaknya hingga perguruan tinggi.
Gholib ngotot menanam sawit di lahannya seluas satu hektar walau sebenarnya tanah itu oleh pemerintah diperuntukkan sebagai lahan tanaman pangan. "Sawah tak menjanjikan karena pemerintah tak menyiapkan irigasi yang baik. Lagi pula, harga padi selalu jatuh saat panen raya," katanya.
Akhirnya, perhitungan Gholib terbukti ketika harga kelapa sawit naik dengan pasti dari tahun ke tahun, dan saat ini menjadi sekitar Rp 950 per kilogram. Ini jugalah yang membuat warga transmigran di Desa Rambah Muda mengikuti jejak Gholib.
Kepala Desa Rambah Muda, As’ad (43), mengatakan, para transmigran di desanya hampir semuanya sukses secara materi. "Setiap hari rata-rata ada lima warga yang datang untuk mengajukan kredit membeli sepeda motor. Setiap keluarga punya dua hingga tiga sepeda motor. Banyak yang punya mobil, membangun rumah di Jawa, dan menyekolahkan anak-anak di Jawa," kata As’ad.
Keberhasilan para transmigran asal Jawa ini bahkan telah memicu terbentuknya kabupaten baru, Rokan Hulu, yang beribukotakan Pasir Pengaraian. "Sebelum tahun 1980-an, Pasir Pengaraian masih berupa hutan belantara. Setelah kedatangan transmigran, kota ini tumbuh pesat. Lahirnya Rokan Hulu menjadi kabupaten baru juga karena transmigran itu," kata Bahari (54), warga asli Pasir Pengaraian.
Seperti para transmigran di Rokan Hulu, para transmigran di Lampung—termasuk program transmigrasi pertama di Indonesia—juga kebanyakan berjaya karena perkebunan. Salah satunya adalah Sudarma Wijaya (51), generasi kedua dari keluarga transmigran asal Jawa Barat, yang berhasil menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Ayah Sudarma, almarhum Tanu Wijaya, adalah transmigran dari Desa Cisempur, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang datang ke Desa Tri Budi Syukur pada tahun 1950. Ia datang bersama 50 orang lainnya, termasuk sebagian dari program Biro Rekonstruksi Nasional. Program ini merupakan kebijakan Presiden Soekarno untuk mengembangkan daerah-daerah yang dinilai belum berkembang.
Tanu Wijaya, yang menjadi lurah pertama di desa transmigran, memelopori penanaman kopi begitu tiba di Lampung. Pada tahun 1957, Desa Tri Budi Syukur untuk pertama kalinya mengekspor kopi. Berkat jasa transmigran jugalah Lampung dikenal sebagai sentra penghasil kopi di Indonesia.
Desa Bumi Harjo, Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga bisa menjadi contoh keberhasilan para transmigran. Karwan (57), salah satu transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang menjadi ketua rombongan, mengatakan, para transmigran mendapat jatah tanah dua hektar. Mereka diwajibkan menanam palawija dan padi ladang. Namun, kondisi tanah menyebabkan hasil panen sangat sedikit.
"Hampir semua lelaki kemudian merantau ke Palembang untuk menambah penghasilan, sedangkan keluarganya ditinggal di sini. Bahkan, sebagian transmigran kembali ke Jawa," kata Karwan.
Gagal beradaptasi
Memang tidak semuanya mereguk manis hidup di lokasi transmigrasi. Sekitar 200 dari 2.000 keluarga transmigran di SKP D, Desa Rambah Muda, kembali ke Jawa dengan kepala menunduk. "Kebanyakan yang gagal karena tidak cepat mengubah lahan sawah menjadi perkebunan sawit atau karet," kata As’ad.
Di Desa Batubetumpang yang berada di Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, transmigran yang masih bertumpu pada pertanian padi juga tidak bisa lepas dari kemiskinan.
Sejak tahun 1990, pemerintah menempatkan 1.280 keluarga transmigran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian kecil penduduk lokal Bangka. Setiap keluarga difasilitasi rumah papan sederhana, area pekarangan seluas setengah hektar, serta satu hektar sawah.
Menyusuri Desa Pancatunggal, 17 tahun kemudian tanah harapan tersebut ternyata masih jauh dari kemakmuran. Jalanan masih berupa tanah penuh lubang. Hunian para transmigran juga belum banyak berubah. Papan-papan rumah terlihat kusam dan lapuk, pertanda mereka belum mampu memperbaikinya.
Harapan para transmigran untuk dapat bercocok tanam padi memang sejak awal tidaklah mudah. "Bukannya kami malas, tetapi mencetak sawah memang sudah di luar batas kemampuan kami. Kami tidak mungkin mencabut tunggul-tunggul pohon yang ada di tengah sawah tanpa bantuan alat berat," ucap Sekretaris Desa Pancatunggal, Hamzah.
Sejak pertama kali datang pada tahun 1992, petani Pancatunggal hanya mengalami dua kali masa panen raya, yakni tahun 2002 dan 2007. Sedangkan tahun-tahun lainnya banyak mengalami kegagalan karena berbagai faktor, seperti cuaca, ketersediaan air, hama, serta keterlambatan penyaluran bantuan benih dan pupuk.
Di tanah seberang, para transmigran dibiarkan berjalan sendiri karena pemerintah seperti menutup mata begitu mereka tiba di lokasi transmigrasi. Hanya mereka yang mau bekerja keras dan cepat beradaptasilah yang mampu menjadi pemenang.... (ART/HLN/WAD/AND)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Maret 2007
March 28, 2007
Mengawal Lingkungan Lampung (2-Habis): Senthong, Buruknya Nasib Gajah
-- Helena F Nababan
"Telah meninggal Senthong, satu gajah PLG (Pusat Latihan Gajah) berusia 37 tahun tadi sore pukul 17.00. Senthong segera diotopsi malam ini untuk diketahui penyebab kematiannya."
Pesan singkat itu masuk melalui layanan short message service (SMS) awal Januari 2007. Setelah ditelusuri, gajah sumatera atau Elephas maximus sumatranus—ikon PLG Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung itu—mati akibat cacingan.
Ini sebuah ironi lingkungan. Satu sisi habitus belantara tak terlestarikan, tetapi satwa penghuninya yang "dipingit" boleh dikata ditelantarkan.
Senthong tak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya PLG TNWK pada tahun 1985. PLG dibangun sebagai bagian dari penetapan TNWK sebagai Suaka Margasatwa (SM) tahun 1936 berdasarkan Surat Penetapan Residen Lampung Mr Rook Maker yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda 26 Januari 1937 Nomor 14 Stbl. 1937 Nomor 38 dengan luas 130.000 hektar.
Kepala Subbagian Tata Usaha TNWK, Tachrirudin Hasan, mengemukakan, Senthong merupakan salah satu dari 79 gajah liar yang berasal dari gugusan bukit barisan di Lampung Barat dan dari Lampung Timur dipindahkan ke TNWK pada tahun 1985. Untuk menjinakkan gajah liar itu, dipanggillah mahout (pawang gajah) dari Thailand. Ke-79 gajah dilatih selama tiga bulan.
Keberadaan Senthong dan 78 gajah lainnya pada tahun 1985 itu seolah ingin membuktikan bahwa upaya penyelamatan gajah yang terdesak habitatnya bisa dilakukan. Namun apa daya, Senthong yang ingin diselamatkan dari kepunahan karena terdesak justru mati karena cacingan. Sekarang populasi gajah di PLG tinggal 60 ekor.
Semua sakit
Memasuki kawasan PLG di TNWK, pengunjung bisa menyaksikan puluhan gajah jinak sedang diangon (digembalakan) di areal berumput sekitar PLG. Dilihat sepintas, gajah-gajah itu tampak sehat. Namun, coba dekati dan amati secara seksama. Gajah-gajah itu sama sekali tidak sehat. Keriput kulit yang membentuk kantong di perutnya terlihat menggantung, sedangkan tonjolan tulang rusuk di punggung hewan besar itu begitu jelas. "Bagaimana mau terawat dan sehat? Dana yang turun dari pusat hanya cukup untuk memberi pakan gajah berupa pelepah kelapa selama delapan bulan," keluh Soedarmadji, Kepala PLG TNWK.
Dana pakan itu pun sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dana pakan tahun 2005. Pada tahun 2005 setiap gajah mendapat jatah Rp 12.500 per hari. Pada tahun 2006, setiap ekor hanya mendapat Rp 10.000 per hari. Coba bandingkan dengan Taman Safari Bogor. Jatah pakan seekor gajah Rp 50.000 per hari.
"Otomatis, jumlah pakan yang bisa mereka makan juga berkurang," kata Soedarmadji. Padahal, idealnya, setiap ekor gajah harus mendapat pakan seberat 10 persen dari berat badannya. Jika seekor gajah berbobot 1.000 kilogram, setidaknya dia harus mendapat pakan 100 kilogram. Kenyataan di lapangan berbicara lain.
Seorang mahout di PLG TNWK, yang minta tidak disebutkan namanya, secara blak-blakan bercerita, gajah yang diasuhnya berbobot sekitar 2 ton. Namun, setiap hari gajah asuhannya hanya mendapat pakan pelepah kelapa 20-30 batang pelepah. "Jelas tidak cukup. Makanya gajah saya kurus dan kulitnya semakin keriput."
Bahkan, dana pakan 2006 yang seharusnya turun sejak awal 2006 baru diterima pengelola TNWK per Mei 2006. Alhasil, gajah-gajah itu pun harus rela "berpuasa" makan. Untuk menyiasati keadaan, pengelola meminta para pawang untuk mengangon gajah ke lokasi di sekitar PLG yang masih berumput supaya gajah-gajah mendapat pakan lebih.
Kepala TNWK Mega Haryanto mengatakan, sejatinya pemberian makanan berupa pelepah kelapa itu hanya dimaksudkan sebagai snacks alias pengganjal perut gajah di waktu malam. Namun, dengan kondisi lingkungan yang waktu itu kering dan tidak bisa menyediakan pakan rumput—akhir 2006 di seluruh Indonesia terjadi musim kemarau ekstrem sehingga sumber air kering dan pakan rumput sulit didapat—pelepah kelapa akhirnya menjadi makanan utama gajah.
Konservasi gagal
Christopher Stremme DVM, Manager Pengawasan Kesehatan Gajah Veterinary Society for Sumatera Wildlife Conservation (VESSWIC) yang juga membantu mengawasi kesehatan gajah- gajah PLG TNWK, mengatakan, kondisi ini tidak memenuhi aspek konservasi. Dalam kegiatan konservasi, selain pakan utama rumput, setidaknya pengelola PLG juga menyediakan pakan tambahan seperti pisang, beras merah, dan vitamin. Gajah-gajah seharusnya juga mendapat pengobatan dan pemeriksaan kesehatan minimal tiga sampai empat kali setahun. Sekarang ini, akibat keterbatasan dana, jangankan pemeriksaan dan pemberian obat, pemberian pakan tambahan saja sulit dilakukan.
Dari pemeriksaan yang dilakukan tim WCS dan tim dokter Suaka Rhino Sumatera (SRS) TNWK yang dipimpin konsultan veteriner SRS TNWK, drh M Agil, pada awal September 2006, membuktikan, ke-60 gajah di PLG itu cacingan dan malnutrisi. Gajah-gajah itu mengalami hypo-protenemia atau kadar protein dalam darah rendah.
Menurut Christopher, dalam suatu kawasan konservasi jumlah 60 gajah terlalu banyak. Namun, apabila pemerintah—dalam hal ini Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan—serius, aspek konservasi seperti kandang, lingkungan, pendidikan mahout, upah mahout, pakan gajah, obat, hingga aspek reproduksi gajah, seharusnya juga diperhatikan.
Kenyataan yang bisa dilihat, gajah-gajah di PLG TNWK diperlakukan berkebalikan dari jenis dan sifat gajah yang asli. Bagaimana tidak? Pagi-pagi gajah- gajah itu dimandikan di kolam gajah, kemudian diangon di padang "berumput" untuk cari makan. Sore hari digiring pulang, untuk istirahat dan diberi pelepah kelapa tanpa aktivitas.
Sungguh suatu kondisi yang berkebalikan. Sebab gajah adalah hewan yang beraktivitas di malam hari. Dari sisi teori memperlakukan gajah, gajah-gajah itu seharusnya dilibatkan dalam suatu pekerjaan supaya gajah- gajah itu bergerak sehingga sehat. Yang terjadi, dibiarkan begitu saja.
Para mahout hanya membawa gajah mandi pada pagi hari, mengangonnya, kemudian meninggalkan gajah-gajah di lapangan, sampai saat kembali.
Menurut Christopher, rendahnya kepedulian mahout pada kesejahteraan gajah-gajah berhubungan erat dengan gaji para mahout yang rata-rata di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Dengan gaji kecil, para mahout lebih banyak keluar dari PLG untuk mencari tambahan pendapatan, sementara gajah-gajah yang seharusnya dirawat dan dipelihara, ditinggal.
Interaksi antargajah supaya bisa terjadi kehamilan juga belum diperhatikan. Hal itu menyebabkan rendahnya angka kelahiran di PLG TNWK. Di tahun 2006 baru terjadi dua kali kelahiran bayi gajah.
Kondisi makin memprihatinkan, selain karena tidak sesuainya pakan, obat-obatan, dan minimnya pemeliharaan, lingkungan kandang sekitar tempat gajah-gajah tinggal pun belum memenuhi syarat. Kandang gajah yang dimaksud pengelola hanya berupa tonggak-tonggak beton dengan jarak sekitar 10 meter antargajah.
Meski sekarang kondisi kandang sudah diperbaiki dan ditambah kanal-kanal untuk menghindarkan terjadinya serangan gajah liar, di kandang berupa kawasan tanah kosong luas itu gajah melakukan semua aktivitasnya. Kandang demikian berpotensi membawa penyakit bagi gajah, terutama cacingan.
Soedarmadji menegaskan, secara tempat, PLG sudah pas sebagai kawasan penjinakan dan pelatihan gajah-gajah liar, karena di situlah habitat asli mereka. "Namun, sebagai kawasan konservasi lanjutan, apalagi wisata, PLG belum siap. PLG memerlukan sarana untuk gajah maupun pengunjung, kandang yang layak, pengobatan yang teratur, dan tentu saja pakan yang layak bagi gajah."
Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, mengatakan, apabila PLG TNWK hendak dikembangkan sebagai suatu kawasan konservasi, hendaknya pengelola TNWK berpikir mengenai kecukupan sumber daya manusia dan animal welfare dari gajah-gajah itu.
Sebagai kawasan konservasi gajah sumatera, sebaiknya PLG tidak perlu mengurusi pengunjung. Tidak seperti sekarang di mana pengelola PLG masih saja kerepotan dan kebingungan bagaimana menjamu tamu-tamu melalui atraksi gajah sehingga bisa menarik pengunjung.
Mega Haryanto mengatakan, PLG TNWK tengah disiapkan untuk menjadi kawasan konservasi gajah sumatera sesungguhnya.
Akan tetapi, dengan penurunan populasi gajah dalam 20 tahun terakhir sekitar 1.000 ekor, dan 4 harimau sumatera tiap tahun dibantai pada kurun 2003-2006, kita tidak yakin Lampung masih punya keunikan alam dan satwa di masa depan.
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Maret 2007
"Telah meninggal Senthong, satu gajah PLG (Pusat Latihan Gajah) berusia 37 tahun tadi sore pukul 17.00. Senthong segera diotopsi malam ini untuk diketahui penyebab kematiannya."
Pesan singkat itu masuk melalui layanan short message service (SMS) awal Januari 2007. Setelah ditelusuri, gajah sumatera atau Elephas maximus sumatranus—ikon PLG Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung itu—mati akibat cacingan.
Ini sebuah ironi lingkungan. Satu sisi habitus belantara tak terlestarikan, tetapi satwa penghuninya yang "dipingit" boleh dikata ditelantarkan.
Senthong tak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya PLG TNWK pada tahun 1985. PLG dibangun sebagai bagian dari penetapan TNWK sebagai Suaka Margasatwa (SM) tahun 1936 berdasarkan Surat Penetapan Residen Lampung Mr Rook Maker yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda 26 Januari 1937 Nomor 14 Stbl. 1937 Nomor 38 dengan luas 130.000 hektar.
Kepala Subbagian Tata Usaha TNWK, Tachrirudin Hasan, mengemukakan, Senthong merupakan salah satu dari 79 gajah liar yang berasal dari gugusan bukit barisan di Lampung Barat dan dari Lampung Timur dipindahkan ke TNWK pada tahun 1985. Untuk menjinakkan gajah liar itu, dipanggillah mahout (pawang gajah) dari Thailand. Ke-79 gajah dilatih selama tiga bulan.
Keberadaan Senthong dan 78 gajah lainnya pada tahun 1985 itu seolah ingin membuktikan bahwa upaya penyelamatan gajah yang terdesak habitatnya bisa dilakukan. Namun apa daya, Senthong yang ingin diselamatkan dari kepunahan karena terdesak justru mati karena cacingan. Sekarang populasi gajah di PLG tinggal 60 ekor.
Semua sakit
Memasuki kawasan PLG di TNWK, pengunjung bisa menyaksikan puluhan gajah jinak sedang diangon (digembalakan) di areal berumput sekitar PLG. Dilihat sepintas, gajah-gajah itu tampak sehat. Namun, coba dekati dan amati secara seksama. Gajah-gajah itu sama sekali tidak sehat. Keriput kulit yang membentuk kantong di perutnya terlihat menggantung, sedangkan tonjolan tulang rusuk di punggung hewan besar itu begitu jelas. "Bagaimana mau terawat dan sehat? Dana yang turun dari pusat hanya cukup untuk memberi pakan gajah berupa pelepah kelapa selama delapan bulan," keluh Soedarmadji, Kepala PLG TNWK.
Dana pakan itu pun sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dana pakan tahun 2005. Pada tahun 2005 setiap gajah mendapat jatah Rp 12.500 per hari. Pada tahun 2006, setiap ekor hanya mendapat Rp 10.000 per hari. Coba bandingkan dengan Taman Safari Bogor. Jatah pakan seekor gajah Rp 50.000 per hari.
"Otomatis, jumlah pakan yang bisa mereka makan juga berkurang," kata Soedarmadji. Padahal, idealnya, setiap ekor gajah harus mendapat pakan seberat 10 persen dari berat badannya. Jika seekor gajah berbobot 1.000 kilogram, setidaknya dia harus mendapat pakan 100 kilogram. Kenyataan di lapangan berbicara lain.
Seorang mahout di PLG TNWK, yang minta tidak disebutkan namanya, secara blak-blakan bercerita, gajah yang diasuhnya berbobot sekitar 2 ton. Namun, setiap hari gajah asuhannya hanya mendapat pakan pelepah kelapa 20-30 batang pelepah. "Jelas tidak cukup. Makanya gajah saya kurus dan kulitnya semakin keriput."
Bahkan, dana pakan 2006 yang seharusnya turun sejak awal 2006 baru diterima pengelola TNWK per Mei 2006. Alhasil, gajah-gajah itu pun harus rela "berpuasa" makan. Untuk menyiasati keadaan, pengelola meminta para pawang untuk mengangon gajah ke lokasi di sekitar PLG yang masih berumput supaya gajah-gajah mendapat pakan lebih.
Kepala TNWK Mega Haryanto mengatakan, sejatinya pemberian makanan berupa pelepah kelapa itu hanya dimaksudkan sebagai snacks alias pengganjal perut gajah di waktu malam. Namun, dengan kondisi lingkungan yang waktu itu kering dan tidak bisa menyediakan pakan rumput—akhir 2006 di seluruh Indonesia terjadi musim kemarau ekstrem sehingga sumber air kering dan pakan rumput sulit didapat—pelepah kelapa akhirnya menjadi makanan utama gajah.
Konservasi gagal
Christopher Stremme DVM, Manager Pengawasan Kesehatan Gajah Veterinary Society for Sumatera Wildlife Conservation (VESSWIC) yang juga membantu mengawasi kesehatan gajah- gajah PLG TNWK, mengatakan, kondisi ini tidak memenuhi aspek konservasi. Dalam kegiatan konservasi, selain pakan utama rumput, setidaknya pengelola PLG juga menyediakan pakan tambahan seperti pisang, beras merah, dan vitamin. Gajah-gajah seharusnya juga mendapat pengobatan dan pemeriksaan kesehatan minimal tiga sampai empat kali setahun. Sekarang ini, akibat keterbatasan dana, jangankan pemeriksaan dan pemberian obat, pemberian pakan tambahan saja sulit dilakukan.
Dari pemeriksaan yang dilakukan tim WCS dan tim dokter Suaka Rhino Sumatera (SRS) TNWK yang dipimpin konsultan veteriner SRS TNWK, drh M Agil, pada awal September 2006, membuktikan, ke-60 gajah di PLG itu cacingan dan malnutrisi. Gajah-gajah itu mengalami hypo-protenemia atau kadar protein dalam darah rendah.
Menurut Christopher, dalam suatu kawasan konservasi jumlah 60 gajah terlalu banyak. Namun, apabila pemerintah—dalam hal ini Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan—serius, aspek konservasi seperti kandang, lingkungan, pendidikan mahout, upah mahout, pakan gajah, obat, hingga aspek reproduksi gajah, seharusnya juga diperhatikan.
Kenyataan yang bisa dilihat, gajah-gajah di PLG TNWK diperlakukan berkebalikan dari jenis dan sifat gajah yang asli. Bagaimana tidak? Pagi-pagi gajah- gajah itu dimandikan di kolam gajah, kemudian diangon di padang "berumput" untuk cari makan. Sore hari digiring pulang, untuk istirahat dan diberi pelepah kelapa tanpa aktivitas.
Sungguh suatu kondisi yang berkebalikan. Sebab gajah adalah hewan yang beraktivitas di malam hari. Dari sisi teori memperlakukan gajah, gajah-gajah itu seharusnya dilibatkan dalam suatu pekerjaan supaya gajah- gajah itu bergerak sehingga sehat. Yang terjadi, dibiarkan begitu saja.
Para mahout hanya membawa gajah mandi pada pagi hari, mengangonnya, kemudian meninggalkan gajah-gajah di lapangan, sampai saat kembali.
Menurut Christopher, rendahnya kepedulian mahout pada kesejahteraan gajah-gajah berhubungan erat dengan gaji para mahout yang rata-rata di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Dengan gaji kecil, para mahout lebih banyak keluar dari PLG untuk mencari tambahan pendapatan, sementara gajah-gajah yang seharusnya dirawat dan dipelihara, ditinggal.
Interaksi antargajah supaya bisa terjadi kehamilan juga belum diperhatikan. Hal itu menyebabkan rendahnya angka kelahiran di PLG TNWK. Di tahun 2006 baru terjadi dua kali kelahiran bayi gajah.
Kondisi makin memprihatinkan, selain karena tidak sesuainya pakan, obat-obatan, dan minimnya pemeliharaan, lingkungan kandang sekitar tempat gajah-gajah tinggal pun belum memenuhi syarat. Kandang gajah yang dimaksud pengelola hanya berupa tonggak-tonggak beton dengan jarak sekitar 10 meter antargajah.
Meski sekarang kondisi kandang sudah diperbaiki dan ditambah kanal-kanal untuk menghindarkan terjadinya serangan gajah liar, di kandang berupa kawasan tanah kosong luas itu gajah melakukan semua aktivitasnya. Kandang demikian berpotensi membawa penyakit bagi gajah, terutama cacingan.
Soedarmadji menegaskan, secara tempat, PLG sudah pas sebagai kawasan penjinakan dan pelatihan gajah-gajah liar, karena di situlah habitat asli mereka. "Namun, sebagai kawasan konservasi lanjutan, apalagi wisata, PLG belum siap. PLG memerlukan sarana untuk gajah maupun pengunjung, kandang yang layak, pengobatan yang teratur, dan tentu saja pakan yang layak bagi gajah."
Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, mengatakan, apabila PLG TNWK hendak dikembangkan sebagai suatu kawasan konservasi, hendaknya pengelola TNWK berpikir mengenai kecukupan sumber daya manusia dan animal welfare dari gajah-gajah itu.
Sebagai kawasan konservasi gajah sumatera, sebaiknya PLG tidak perlu mengurusi pengunjung. Tidak seperti sekarang di mana pengelola PLG masih saja kerepotan dan kebingungan bagaimana menjamu tamu-tamu melalui atraksi gajah sehingga bisa menarik pengunjung.
Mega Haryanto mengatakan, PLG TNWK tengah disiapkan untuk menjadi kawasan konservasi gajah sumatera sesungguhnya.
Akan tetapi, dengan penurunan populasi gajah dalam 20 tahun terakhir sekitar 1.000 ekor, dan 4 harimau sumatera tiap tahun dibantai pada kurun 2003-2006, kita tidak yakin Lampung masih punya keunikan alam dan satwa di masa depan.
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Maret 2007
March 27, 2007
Mengawal Lingkungan Lampung (1): Jangan Salahkan Gajah yang Mengamuk!
-- Helena F Nababan
PROVINSI Lampung, memiliki dua taman nasional. Di Kabupaten Lampung Timur, terdapat Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Di Kabupaten Lampung Barat terdapat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pekan ini, gajah-gajah di taman nasional sisi barat baru saja usai mengamuk. Sedangkan di sisi timur, catatan amukan mereka mirip catatan mahasiswa demonstran: gigih dan terus-menerus.
Aksi gajah-gajah liar di dua taman nasional itu, mestinya jadi pertanda alam dan pertanda zaman bahwa kriris lingkungan negeri ini begitu serius, dan komitmen kita mengawal berbagai program kerja, termasuk taman nasional di seantero Nusantara, ternyata mengecewakan.
Jadi, jangan pernah menyalahkan gajah, jika mereka mengamuk dan merusak ladang milik warga. Alasannya, mamalia yang aktif di malam hari itu, terganggu akibat habitat mereka telah diubah manusia jadi kebun atau sawah.
Gajah memiliki penciuman sangat tajam, sehingga bisa membaui tanaman padi meski jaraknya jauh. Tatkala habitat menyempit dan pakan gajah berkurang di taman nasional, maka tanaman padi penduduk yang siap dipanen jadi santapan empuk gajah-gajah liar.
Yang mengherankan, warga yang marah juga bereaksi keras. Mereka marah, dan menganggap gajah sebagai hama. Lalu gajah dianggap layak diburu, bahkan dibunuh layaknya tikus. Situasi ini secara tidak langsung "memberi" legalitas aksi pemburuan gajah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung sampai menggunakan istilah "konflik" untuk kejadian manusia berhadapan langsung dengan gajah liar ini.
Menurut BKSDA, di TNWK, dan TNBBS Provinsi Lampung, "konflik" antara gajah dan manusia periode 1999-2006, begitu sering. Konflik tertinggi terjadi tahun 2000, yaitu 10 kejadian, dan melibatkan sekitar 154 ekor gajah liar. Tahun 1999 (3 konflik, melibatkan 33 gajah). Tahun 2001 (8 kasus, melibatkan 36 gajah, dan dua orang tewas karena diserang gajah). Tahun 2002 (9 konflik, melibatkan 74 gajah, dan satu orang meninggal) Tahun 2003 (4 konlfik, melibatkan 70 gajah), tahun 2004 (2 konflik, melibatkan 26 gajah), tahun 2005 (4 konflik, melibatkan 53 gajah). Tahun 2006 (1 konflik, melibatkan 9 gajah).
Sedangkan pada periode Januari-Maret 2007, konflik gajah melawan manusia di TNBBS, telah terjadi dua kali, dan 2 orang penduduk setempat tewas karena amukan enam ekor gajah liar.
Konflik antara gajah dan manusia kebanyakan terjadi di Desa Labuhan Ratu 9, Labuhan Ratu 6, Labuhan Ratu 7, Braja Asri, dan di Braja Yekti, Kabupaten Lampung Timur. Ditengarai, konflik paling sering terjadi ialah saat musim tanam padi, saat musim hujan, dan saat musim kering, terutama di daerah rawa-rawa.
Kepala BKSDA Lampung Agus Haryanta mengatakan, konflik antara gajah dan manusia muncul sejak 1998. Penyebab utamanya adalah perambahan hutan, dan perburuan liar, akibat kriris ekonomi yang memuncak tahun 1997. Penduduk kehilangan mata pencaharian, dan mereka kemudian merambah dan menjarah isi hutan.
Di mata Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, rebutan lahan antara gajah dan manusia memang tak terelakkan. "Di sini perlu dicari cara supaya masyarakat memahami pentingnya menyelamatkan gajah, bahkan badak, dan harimau beserta hutannya; sementara pengelola TNWK bisa menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan ekonomi," ujar Donny.
Salah satu aktivitas yang dilakukan petugas patroli dari Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja sama dengan Rhino Protection Unit (RPU) Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di akhir November 2006 bertujuan untuk menjaga supaya gajah-gajah liar tidak masuk ke lingkungan perladangan warga dan merusak tanaman.
Dengan bantuan warga sekitar kawasan yang sudah dibentuk ke dalam kelompok Crop Protection Unit (CPU), patroli juga bertugas menghalau gajah, dan menghindarkan terjadinya konflik.
Dibayangi konflik
Andai interaksi antara penghuni TNWK dan warga sekitarnya berjalan baik, maka perburuan liar; konflik antara satwa dan manusia; serta perambahan hutan tidak perlu terjadi.
Meski perdebatan definisi tentang taman nasional bisa tak kunjung usai, yang jelas di kawasan TNWK yang luasnya 125.621,30 hektar ini dikelilingi 36 desa, tersebar di Kecamatan Labuhan Maringgai, Sukadana, dan Way Jepara. Warga di sekitar luar TNWK itu, dengan sendirinya juga rentan gangguan satwa. Penyebabnya, tentu saja intervensi penduduk yang keluar-masuk merambah hutan yang konsepnya seharusnya tertutup itu.
Penduduk, bisa menebang pepohonan di kawasan TNWK, bercocok tanam padi, dan singkong di areal perambahan. Padahal, areal perambahan itu termasuk wilayah jelajah mamalia Sumatera seperti gajah liar (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), hingga badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang diperkirakan masih ada di TNWK.
Perambahan, mempersempit areal habitat hewan. Dari luas 125.621,30 hektar, sekitar 40 persennya merupakan kawasan ilalang, dan sisanya hutan sekunder yang luasnya sudah berkurang 15 hingga 20 persen. Belum lagi, ancaman kebakaran saban tahun, di areal semak TNWK.
Kepala TNWK Mega Haryanta mengatakan, untuk menghindarkan perburuan, cara-cara seperti pemberian kartu pas masuk kawasan untuk memancing sempat dibuat. Namun kartu pas itu justru memicu konflik yang lebih luas karena hanya beberapa desa saja yang mendapat kesempatan.
Akhirnya, perambahan tetap meluas karena TNWK bisa dimasuki dari berbagai titik. Akses ini meningkatkan kegiatan perburuan liar dan meningkatkan kasus kebakaran hutan.
Koordinator Elephant Project WCS-IP, Donny, menilai ini masalah klasik TNWK, yang berakibat penurunan populasi gajah, harimau, dan badak Sumatera.
Kasus tewasnya 12 gajah di Riau tahun 1998 akibat diracun orang, karena perburuan dan konflik manusia-gajah. Turunnya populasi gajah, juga akibat minimnya perawatan dokter hewan sehingga beberapa gajah mati di Pusat Latihan Gajah Riau.
Taufik Sulaeman, Asisten Koordinator Elephant Project WCS-IP mengatakan, perlengkapan teknis seperti itu bisa saja dikerjakan. Namun yang terpenting bagaimana memberi pengertian kepada masyarakat sekitar kawasan, hidup berbatasan dengan kawasan TNWK sudah pasti akan terus mendapat gangguan dari gajah-gajah liar. Supaya warga tidak marah dan memburu gajah, dibutuhkan upaya membuat warga mengerti. "Gajah, harimau, dan badak harus ditempatkan sebagai obyek penyelamatan, yang otomatis juga akan menyelamatkan hutannya."
Dwi Nugroho Adhiasto, Koordinator Wildlife Crime Unit (WCU) WCS-IP melihat perburuan harimau karena nilai ekonomnya yang tinggi, untuk aksesori dan estetika, nilai sosial psikologi lambang kekuatan, nilai medis obat tradisional, nilai magis mitos-mitos, atau akibat konflik itu. Perburuan dan perdagangan gading gajah dan harimau di Lampung terus meningkat tiga tahun terakhir di TNWK dan di TNBBS. Antara tahun 2003- 2006, 19 tersangka dan satu kelompok pemburu di wilayah TNWK ditangkap. Dari 19 tersangka, dua di antaranya perajin gading sekaligus penjual, 9 orang pemburu, dan 8 orang pedagang. Disinyalir, keterlibatan oknum TNWK.
Jika sinyalemen krisis ekonomi 1997 dianggap pemicu semua krisis lingkungan, kita tidak tahu lagi dari mana harus mendongeng gajah dan kancil....
Sumber: Kompas, Selasa, 27 Maret 2007
PROVINSI Lampung, memiliki dua taman nasional. Di Kabupaten Lampung Timur, terdapat Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Di Kabupaten Lampung Barat terdapat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pekan ini, gajah-gajah di taman nasional sisi barat baru saja usai mengamuk. Sedangkan di sisi timur, catatan amukan mereka mirip catatan mahasiswa demonstran: gigih dan terus-menerus.
Aksi gajah-gajah liar di dua taman nasional itu, mestinya jadi pertanda alam dan pertanda zaman bahwa kriris lingkungan negeri ini begitu serius, dan komitmen kita mengawal berbagai program kerja, termasuk taman nasional di seantero Nusantara, ternyata mengecewakan.
Jadi, jangan pernah menyalahkan gajah, jika mereka mengamuk dan merusak ladang milik warga. Alasannya, mamalia yang aktif di malam hari itu, terganggu akibat habitat mereka telah diubah manusia jadi kebun atau sawah.
Gajah memiliki penciuman sangat tajam, sehingga bisa membaui tanaman padi meski jaraknya jauh. Tatkala habitat menyempit dan pakan gajah berkurang di taman nasional, maka tanaman padi penduduk yang siap dipanen jadi santapan empuk gajah-gajah liar.
Yang mengherankan, warga yang marah juga bereaksi keras. Mereka marah, dan menganggap gajah sebagai hama. Lalu gajah dianggap layak diburu, bahkan dibunuh layaknya tikus. Situasi ini secara tidak langsung "memberi" legalitas aksi pemburuan gajah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung sampai menggunakan istilah "konflik" untuk kejadian manusia berhadapan langsung dengan gajah liar ini.
Menurut BKSDA, di TNWK, dan TNBBS Provinsi Lampung, "konflik" antara gajah dan manusia periode 1999-2006, begitu sering. Konflik tertinggi terjadi tahun 2000, yaitu 10 kejadian, dan melibatkan sekitar 154 ekor gajah liar. Tahun 1999 (3 konflik, melibatkan 33 gajah). Tahun 2001 (8 kasus, melibatkan 36 gajah, dan dua orang tewas karena diserang gajah). Tahun 2002 (9 konflik, melibatkan 74 gajah, dan satu orang meninggal) Tahun 2003 (4 konlfik, melibatkan 70 gajah), tahun 2004 (2 konflik, melibatkan 26 gajah), tahun 2005 (4 konflik, melibatkan 53 gajah). Tahun 2006 (1 konflik, melibatkan 9 gajah).
Sedangkan pada periode Januari-Maret 2007, konflik gajah melawan manusia di TNBBS, telah terjadi dua kali, dan 2 orang penduduk setempat tewas karena amukan enam ekor gajah liar.
Konflik antara gajah dan manusia kebanyakan terjadi di Desa Labuhan Ratu 9, Labuhan Ratu 6, Labuhan Ratu 7, Braja Asri, dan di Braja Yekti, Kabupaten Lampung Timur. Ditengarai, konflik paling sering terjadi ialah saat musim tanam padi, saat musim hujan, dan saat musim kering, terutama di daerah rawa-rawa.
Kepala BKSDA Lampung Agus Haryanta mengatakan, konflik antara gajah dan manusia muncul sejak 1998. Penyebab utamanya adalah perambahan hutan, dan perburuan liar, akibat kriris ekonomi yang memuncak tahun 1997. Penduduk kehilangan mata pencaharian, dan mereka kemudian merambah dan menjarah isi hutan.
Di mata Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, rebutan lahan antara gajah dan manusia memang tak terelakkan. "Di sini perlu dicari cara supaya masyarakat memahami pentingnya menyelamatkan gajah, bahkan badak, dan harimau beserta hutannya; sementara pengelola TNWK bisa menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan ekonomi," ujar Donny.
Salah satu aktivitas yang dilakukan petugas patroli dari Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja sama dengan Rhino Protection Unit (RPU) Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di akhir November 2006 bertujuan untuk menjaga supaya gajah-gajah liar tidak masuk ke lingkungan perladangan warga dan merusak tanaman.
Dengan bantuan warga sekitar kawasan yang sudah dibentuk ke dalam kelompok Crop Protection Unit (CPU), patroli juga bertugas menghalau gajah, dan menghindarkan terjadinya konflik.
Dibayangi konflik
Andai interaksi antara penghuni TNWK dan warga sekitarnya berjalan baik, maka perburuan liar; konflik antara satwa dan manusia; serta perambahan hutan tidak perlu terjadi.
Meski perdebatan definisi tentang taman nasional bisa tak kunjung usai, yang jelas di kawasan TNWK yang luasnya 125.621,30 hektar ini dikelilingi 36 desa, tersebar di Kecamatan Labuhan Maringgai, Sukadana, dan Way Jepara. Warga di sekitar luar TNWK itu, dengan sendirinya juga rentan gangguan satwa. Penyebabnya, tentu saja intervensi penduduk yang keluar-masuk merambah hutan yang konsepnya seharusnya tertutup itu.
Penduduk, bisa menebang pepohonan di kawasan TNWK, bercocok tanam padi, dan singkong di areal perambahan. Padahal, areal perambahan itu termasuk wilayah jelajah mamalia Sumatera seperti gajah liar (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), hingga badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang diperkirakan masih ada di TNWK.
Perambahan, mempersempit areal habitat hewan. Dari luas 125.621,30 hektar, sekitar 40 persennya merupakan kawasan ilalang, dan sisanya hutan sekunder yang luasnya sudah berkurang 15 hingga 20 persen. Belum lagi, ancaman kebakaran saban tahun, di areal semak TNWK.
Kepala TNWK Mega Haryanta mengatakan, untuk menghindarkan perburuan, cara-cara seperti pemberian kartu pas masuk kawasan untuk memancing sempat dibuat. Namun kartu pas itu justru memicu konflik yang lebih luas karena hanya beberapa desa saja yang mendapat kesempatan.
Akhirnya, perambahan tetap meluas karena TNWK bisa dimasuki dari berbagai titik. Akses ini meningkatkan kegiatan perburuan liar dan meningkatkan kasus kebakaran hutan.
Koordinator Elephant Project WCS-IP, Donny, menilai ini masalah klasik TNWK, yang berakibat penurunan populasi gajah, harimau, dan badak Sumatera.
Kasus tewasnya 12 gajah di Riau tahun 1998 akibat diracun orang, karena perburuan dan konflik manusia-gajah. Turunnya populasi gajah, juga akibat minimnya perawatan dokter hewan sehingga beberapa gajah mati di Pusat Latihan Gajah Riau.
Taufik Sulaeman, Asisten Koordinator Elephant Project WCS-IP mengatakan, perlengkapan teknis seperti itu bisa saja dikerjakan. Namun yang terpenting bagaimana memberi pengertian kepada masyarakat sekitar kawasan, hidup berbatasan dengan kawasan TNWK sudah pasti akan terus mendapat gangguan dari gajah-gajah liar. Supaya warga tidak marah dan memburu gajah, dibutuhkan upaya membuat warga mengerti. "Gajah, harimau, dan badak harus ditempatkan sebagai obyek penyelamatan, yang otomatis juga akan menyelamatkan hutannya."
Dwi Nugroho Adhiasto, Koordinator Wildlife Crime Unit (WCU) WCS-IP melihat perburuan harimau karena nilai ekonomnya yang tinggi, untuk aksesori dan estetika, nilai sosial psikologi lambang kekuatan, nilai medis obat tradisional, nilai magis mitos-mitos, atau akibat konflik itu. Perburuan dan perdagangan gading gajah dan harimau di Lampung terus meningkat tiga tahun terakhir di TNWK dan di TNBBS. Antara tahun 2003- 2006, 19 tersangka dan satu kelompok pemburu di wilayah TNWK ditangkap. Dari 19 tersangka, dua di antaranya perajin gading sekaligus penjual, 9 orang pemburu, dan 8 orang pedagang. Disinyalir, keterlibatan oknum TNWK.
Jika sinyalemen krisis ekonomi 1997 dianggap pemicu semua krisis lingkungan, kita tidak tahu lagi dari mana harus mendongeng gajah dan kancil....
Sumber: Kompas, Selasa, 27 Maret 2007
March 15, 2007
Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka
DENGAN sangat antusias, seorang eksportir lada asal Lampung mengemukakan, pasar lada hitam dan lada putih asal Indonesia, khususnya Lampung, masih sangat terbuka. Setidaknya, menurut Nonela, nama eksportir itu, setiap tahun pasar dunia membutuhkan sekitar 250.000 ton lada hitam.
Nonela mencatat bahwa pasar dunia belum mengalami kelebihan pasokan. Apalagi India sebagai salah satu penghasil lada hitam dunia ternyata juga menjadi salah satu negara yang mengonsumsi lada hitam dalam jumlah cukup besar.
"Setiap tahun, mereka membutuhkan 40.000 ton hingga 50.000 ton untuk konsumsi dalam negeri. Bahkan, mereka lebih mengutamakan pasar dalam negeri dibandingkan dengan pasar ekspor, apalagi jika harga di pasar luar negeri buruk," tutur Ela, nama panggilan Nonela, yang juga mengekspor lada hitam ke India.
Data Komunitas Lada Internasional menyebutkan, pada tahun 2003 produksi lada hitam dunia turun hingga 258.950 ton. Padahal sebelumnya, tahun 2002, produksi lada hitam dunia 272.912 ton. Pada saat itu produksi lada hitam asal India turun hingga 15.000 ton. Demikian juga lada hitam produksi Brasil turun hingga 11.000 ton, dan Malaysia pun mengalami penurunan hingga 3.000 ton.
Sebaliknya, produksi lada hitam asal Indonesia naik 10.000 ton, dari 25.000 ton pada 2002 menjadi 35.000 ton pada 2003.
Kemerosotan produksi memengaruhi angka ekspor lada. Total volume ekspor lada hitam dunia pada 2003 hanya 188.500 ton, atau berkurang 3.000 ton dibandingkan dengan volume ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 191.500 ton.
Kala itu, ekspor lada hitam asal Indonesia justru meningkat tajam hingga 57 persen, dari 21.000 ton pada 2002 menjadi 33.000 ton pada 2003. Konsumsi dalam negeri pun sedikit meningkat, dari 5.728 ton pada 2002 menjadi 6.000 ton pada 2003.
Ela mengungkapkan, tahun ini diperkirakan Brasil akan memproduksi sekitar 50.000 ton lada. "Sekitar 10.000 ton akan dijadikan lada putih," tutur Ela.
India diperkirakan tetap memprioritaskan pasar dalam negeri, sedangkan Vietnam diperkirakan menghasilkan lada hingga 85.000 ton bahkan lebih. Sedikitnya 80.000 ton dari total produksi lada hitam akan diserap oleh pasar dunia.
Meskipun demikian, menurut Ela, peluang Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan lada hitam dunia masih sangat terbuka. "Nyaris tak ada kendala dalam perdagangan di luar negeri. Bahkan dibandingkan dengan Brasil, kita lebih baik karena Brasil masih punya masalah dengan salmonela," tutur Ela.
Ela menambahkan, dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki masalah pada kinerja petani. Areal lada yang dimiliki petani di Lampung sebagai produsen utama lada hitam asal Indonesia relatif kecil. "Selain itu, budaya petani kita kurang mendukung. Produktivitas mereka kurang jika dibandingkan petani dari Vietnam. Di sini, kalau harga turun, mereka malas mengerjakan kebun mereka. Kadang, anggapannya toh tidak diapa- apakan tetap menghasilkan," tutur Ela.
Selain itu, secara geografis posisi Lampung sebenarnya tidak cocok untuk budidaya lada, juga varietas lada yang ditanam tidak mendukung. "Katanya kalau dipupuk justru kurang baik," tutur Ela.
Meskipun demikian, lada hitam produksi Lampung sangat dikenal di luar negeri. "Meskipun bijinya kecil, tetapi aroma dan rasanya sangat kuat sehingga banyak diminati," ungkapnya.
Keunggulan itu, ditambah dengan besarnya pasar dunia, merupakan prospek yang masih dapat digarap oleh Indonesia, khususnya Lampung. "Lada hitam asal Lampung menyuplai lebih dari 90 persen produksi lada hitam dan ekspor lada hitam nasional," tutur Sumita, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI).
Terbukanya pasar luar negeri itu tentu diharapkan dapat memacu kinerja para petani lada nasional. Hanya saja, sebagaimana yang terjadi saat ini, kinerja mereka terhalang oleh minimnya modal dan kebiasaan buruk. Meskipun ada juga petani lada yang tetap tekun merawat tanaman mereka.
Mungkin, saat ini pemerintah dapat mulai membantu, entah dengan modal atau upaya lain, agar kinerja petani lada dapat ditingkatkan. Petani membutuhkan modal sedikitnya Rp 5 juta untuk mulai mengonversi lahan mereka, atau sekitar Rp 1,6 juta untuk merawat tanaman lada mereka yang telah menghasilkan. Di samping itu, tentu perlu membenahi lagi kebiasaan petani yang kurang baik dalam proses bercocok tanam. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004
Nonela mencatat bahwa pasar dunia belum mengalami kelebihan pasokan. Apalagi India sebagai salah satu penghasil lada hitam dunia ternyata juga menjadi salah satu negara yang mengonsumsi lada hitam dalam jumlah cukup besar.
"Setiap tahun, mereka membutuhkan 40.000 ton hingga 50.000 ton untuk konsumsi dalam negeri. Bahkan, mereka lebih mengutamakan pasar dalam negeri dibandingkan dengan pasar ekspor, apalagi jika harga di pasar luar negeri buruk," tutur Ela, nama panggilan Nonela, yang juga mengekspor lada hitam ke India.
Data Komunitas Lada Internasional menyebutkan, pada tahun 2003 produksi lada hitam dunia turun hingga 258.950 ton. Padahal sebelumnya, tahun 2002, produksi lada hitam dunia 272.912 ton. Pada saat itu produksi lada hitam asal India turun hingga 15.000 ton. Demikian juga lada hitam produksi Brasil turun hingga 11.000 ton, dan Malaysia pun mengalami penurunan hingga 3.000 ton.
Sebaliknya, produksi lada hitam asal Indonesia naik 10.000 ton, dari 25.000 ton pada 2002 menjadi 35.000 ton pada 2003.
Kemerosotan produksi memengaruhi angka ekspor lada. Total volume ekspor lada hitam dunia pada 2003 hanya 188.500 ton, atau berkurang 3.000 ton dibandingkan dengan volume ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 191.500 ton.
Kala itu, ekspor lada hitam asal Indonesia justru meningkat tajam hingga 57 persen, dari 21.000 ton pada 2002 menjadi 33.000 ton pada 2003. Konsumsi dalam negeri pun sedikit meningkat, dari 5.728 ton pada 2002 menjadi 6.000 ton pada 2003.
Ela mengungkapkan, tahun ini diperkirakan Brasil akan memproduksi sekitar 50.000 ton lada. "Sekitar 10.000 ton akan dijadikan lada putih," tutur Ela.
India diperkirakan tetap memprioritaskan pasar dalam negeri, sedangkan Vietnam diperkirakan menghasilkan lada hingga 85.000 ton bahkan lebih. Sedikitnya 80.000 ton dari total produksi lada hitam akan diserap oleh pasar dunia.
Meskipun demikian, menurut Ela, peluang Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan lada hitam dunia masih sangat terbuka. "Nyaris tak ada kendala dalam perdagangan di luar negeri. Bahkan dibandingkan dengan Brasil, kita lebih baik karena Brasil masih punya masalah dengan salmonela," tutur Ela.
Ela menambahkan, dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki masalah pada kinerja petani. Areal lada yang dimiliki petani di Lampung sebagai produsen utama lada hitam asal Indonesia relatif kecil. "Selain itu, budaya petani kita kurang mendukung. Produktivitas mereka kurang jika dibandingkan petani dari Vietnam. Di sini, kalau harga turun, mereka malas mengerjakan kebun mereka. Kadang, anggapannya toh tidak diapa- apakan tetap menghasilkan," tutur Ela.
Selain itu, secara geografis posisi Lampung sebenarnya tidak cocok untuk budidaya lada, juga varietas lada yang ditanam tidak mendukung. "Katanya kalau dipupuk justru kurang baik," tutur Ela.
Meskipun demikian, lada hitam produksi Lampung sangat dikenal di luar negeri. "Meskipun bijinya kecil, tetapi aroma dan rasanya sangat kuat sehingga banyak diminati," ungkapnya.
Keunggulan itu, ditambah dengan besarnya pasar dunia, merupakan prospek yang masih dapat digarap oleh Indonesia, khususnya Lampung. "Lada hitam asal Lampung menyuplai lebih dari 90 persen produksi lada hitam dan ekspor lada hitam nasional," tutur Sumita, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI).
Terbukanya pasar luar negeri itu tentu diharapkan dapat memacu kinerja para petani lada nasional. Hanya saja, sebagaimana yang terjadi saat ini, kinerja mereka terhalang oleh minimnya modal dan kebiasaan buruk. Meskipun ada juga petani lada yang tetap tekun merawat tanaman mereka.
Mungkin, saat ini pemerintah dapat mulai membantu, entah dengan modal atau upaya lain, agar kinerja petani lada dapat ditingkatkan. Petani membutuhkan modal sedikitnya Rp 5 juta untuk mulai mengonversi lahan mereka, atau sekitar Rp 1,6 juta untuk merawat tanaman lada mereka yang telah menghasilkan. Di samping itu, tentu perlu membenahi lagi kebiasaan petani yang kurang baik dalam proses bercocok tanam. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004
Lada Indonesia, Dilibas Tetangga
SANGAT meyakinkan. Bayangkan, hingga akhir 2003 produksi lada Vietnam mencapai 85.000 ton atau sekitar 26 persen dari total produksi lada dunia. Padahal dunia tahu, Vietnam adalah negara kecil yang baru dalam dua dekade terakhir mulai memulihkan diri dari kehancuran akibat deraan perang.
VOLUME produksi itu mencengangkan lantaran pada 1997 lalu produksi lada Vietnam masih berada pada angka 25.000 ton. Dari data Komunitas Lada Internasional (IPC), tujuh tahun terakhir produksi lada Vietnam meningkat luar biasa.
Setelah sempat turun pada 1998 hanya 22.000 ton, Vietnam lewat kebijakan subsidi kepada petani mampu meningkatkan produksi lada hingga 30.000 ton pada 1999. Produksi itu tiap tahun meningkat hingga 85.000 ton pada 2003.
Pertumbuhan produksi 2003 meningkat hingga 13 persen dibandingkan dengan produksi 2002 yang 75.000 ton. Angka itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan pencapaian kinerja perkebunan lada Indonesia.
Tahun 1997, produksi lada Indonesia 43.291 ton, jauh berbeda dari produksi Vietnam yang 25.000 ton. Namun, berbeda dengan Vietnam, pada 1998 ketika produksi lada Vietnam turun hingga 22.000 ton, produksi lada Indonesia naik menjadi 56.250 ton. Namun, setelah itu turun hingga 44.500 ton pada 1999.
Produksi lada Indonesia sempat melonjak pada tahun 2000 dengan produksi 77.500 ton. Namun tahun-tahun berikutnya turun kembali, hingga pada 2003 lalu produksi lada nasional hanya 67.000 ton.
Dari total produksi lada tersebut, 57.000 ton diekspor. Pada tahun yang sama Vietnam mengekspor 82.000 ton lada. Sebagai catatan, sejak 2001 Vietnam mengambil alih pangsa pasar lada dunia, setelah sebelumnya pasar lada dunia selalu didominasi produk asal Indonesia, Brasil, dan India.
SECARA khusus, dari total produksi lada Indonesia pada 2003, 35.000 ton di antaranya lada hitam. Sebanyak 33.000 ton produksi lada hitam diserap pasar ekspor. Namun, angka itu jauh dari produksi dan ekspor Vietnam yang 80.000 ton produksi dan 77.500 ton diekspor.
Lampung sebagai produsen lada nasional memasok hampir semua komoditas ekspor itu. Tahun 2003 lalu volume ekspor lada hitam asal Lampung 33.000 ton lebih. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang 18.968 ton lebih.
Seorang eksportir lada asal Lampung, Sumita, mengatakan, kinerja lada nasional terkendala oleh harga lada di pasar dunia. "Kita belum dapat menjadi market leader. Kita kalah jauh oleh Vietnam yang produksinya tiga kali lipat dari Indonesia," tutur Sumita.
Padahal, harga komoditas ini sangat bergantung pada kesepakatan transaksi antara eksportir dan pembeli. "Harga lada asal Vietnam lebih kompetitif sebab mereka lebih efisien dalam proses produksi. Biaya produksinya juga kecil, selain itu mutunya bagus. Lada kita mutunya bagus, tetapi biaya produksinya besar sehingga harganya kurang kompetitif," tutur Sumita menambahkan.
Dengan harga yang rendah, kualitas yang baik, dan produksi tinggi, tak heran jika Vietnam kemudian menguasai pasar lada dunia. Saat ini Vietnam mampu menghasilkan lada kering hingga 1,5 ton per hektar, sedangkan petani Lampung rata-rata 800 kilogram per hektar.
Kecilnya produksi tersebut disebabkan kurangnya pemupukan oleh petani. Tak mengherankan jika harga lada memburuk, produksi pun menyusut, lantaran mereka tidak memiliki modal untuk memupuk.
Sumita berharap petani Lampung dapat bekerja sama dengan Dinas Perkebunan mencari langkah-langkah tepat, agar produksi lada dapat meningkat serta menyerap modal seminim mungkin. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar lada asal Indonesia, khususnya lada hitam asal Lampung.
Saat ini, untuk lada hitam bermutu baik, eksportir hanya memberi harga dasar sekitar Rp 10.500 per kilogram. Harga itu lebih baik daripada harga lada pada awal tahun ini yang hanya Rp 9.000 per kilogram.
Dengan membaiknya harga lada itu, petani lada diharapkan dapat melakukan pemupukan. "Kalau saya, harga bagus atau tidak bagus tetap saja memupuk. Itu kuncinya kalau bertanam lada," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Bahkan, saat ini ia tengah menjalin kerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor untuk mengembangkan lada varietas Natar I, Bulok Belantung, dan varietas 59 asal India. Sadirin berharap usahanya itu dapat diikuti petani lain.
"Saya sudah memberikan beberapa stek bibit kepada rekan- rekan petani. Sekarang tergantung mereka masing-masing mau mengembangkan atau tidak. Kalau saya, mati hidup akan mengembangkan lada," ucapnya.
Dari catatan Dinas Perkebunan Lampung, saat ini terdapat 11.185 hektar kebun lada yang belum menghasilkan, dan 45.580 hektar kebun lada yang menghasilkan. Selebihnya, 8.200 hektar, merupakan lahan yang tidak menghasilkan atau rusak.
Sayangnya, dari lahan 45.580 hektar itu tingkat produktivitas lada Lampung cukup rendah, 516 kilogram per hektar. Padahal, dari lahan-lahan itu diharapkan produksi lada Lampung terus mengalir.
Pada 2003 lalu tercatat produksi lada Lampung mencapai 23.517 ton. Tahun 2004 ini diperkirakan produksi lada akan turun hingga 70 persen, bahkan kemungkinan lebih, karena curah hujan yang cukup tinggi akhir tahun lalu.
Meski demikian, kemungkinan kinerja ekspor lada hitam asal Lampung tidak akan banyak terganggu karena stok pada tahun berjalan masih mencapai 7.000 ton lebih.
Tampaknya perlu upaya keras agar lada hitam Indonesia yang pernah berjaya sejak masa kerajaan-kerajaan tempo dulu, tidak makin terempas oleh makin kuatnya dominasi Vietnam di bidang pertanian dan perkebunan. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004
VOLUME produksi itu mencengangkan lantaran pada 1997 lalu produksi lada Vietnam masih berada pada angka 25.000 ton. Dari data Komunitas Lada Internasional (IPC), tujuh tahun terakhir produksi lada Vietnam meningkat luar biasa.
Setelah sempat turun pada 1998 hanya 22.000 ton, Vietnam lewat kebijakan subsidi kepada petani mampu meningkatkan produksi lada hingga 30.000 ton pada 1999. Produksi itu tiap tahun meningkat hingga 85.000 ton pada 2003.
Pertumbuhan produksi 2003 meningkat hingga 13 persen dibandingkan dengan produksi 2002 yang 75.000 ton. Angka itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan pencapaian kinerja perkebunan lada Indonesia.
Tahun 1997, produksi lada Indonesia 43.291 ton, jauh berbeda dari produksi Vietnam yang 25.000 ton. Namun, berbeda dengan Vietnam, pada 1998 ketika produksi lada Vietnam turun hingga 22.000 ton, produksi lada Indonesia naik menjadi 56.250 ton. Namun, setelah itu turun hingga 44.500 ton pada 1999.
Produksi lada Indonesia sempat melonjak pada tahun 2000 dengan produksi 77.500 ton. Namun tahun-tahun berikutnya turun kembali, hingga pada 2003 lalu produksi lada nasional hanya 67.000 ton.
Dari total produksi lada tersebut, 57.000 ton diekspor. Pada tahun yang sama Vietnam mengekspor 82.000 ton lada. Sebagai catatan, sejak 2001 Vietnam mengambil alih pangsa pasar lada dunia, setelah sebelumnya pasar lada dunia selalu didominasi produk asal Indonesia, Brasil, dan India.
SECARA khusus, dari total produksi lada Indonesia pada 2003, 35.000 ton di antaranya lada hitam. Sebanyak 33.000 ton produksi lada hitam diserap pasar ekspor. Namun, angka itu jauh dari produksi dan ekspor Vietnam yang 80.000 ton produksi dan 77.500 ton diekspor.
Lampung sebagai produsen lada nasional memasok hampir semua komoditas ekspor itu. Tahun 2003 lalu volume ekspor lada hitam asal Lampung 33.000 ton lebih. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang 18.968 ton lebih.
Seorang eksportir lada asal Lampung, Sumita, mengatakan, kinerja lada nasional terkendala oleh harga lada di pasar dunia. "Kita belum dapat menjadi market leader. Kita kalah jauh oleh Vietnam yang produksinya tiga kali lipat dari Indonesia," tutur Sumita.
Padahal, harga komoditas ini sangat bergantung pada kesepakatan transaksi antara eksportir dan pembeli. "Harga lada asal Vietnam lebih kompetitif sebab mereka lebih efisien dalam proses produksi. Biaya produksinya juga kecil, selain itu mutunya bagus. Lada kita mutunya bagus, tetapi biaya produksinya besar sehingga harganya kurang kompetitif," tutur Sumita menambahkan.
Dengan harga yang rendah, kualitas yang baik, dan produksi tinggi, tak heran jika Vietnam kemudian menguasai pasar lada dunia. Saat ini Vietnam mampu menghasilkan lada kering hingga 1,5 ton per hektar, sedangkan petani Lampung rata-rata 800 kilogram per hektar.
Kecilnya produksi tersebut disebabkan kurangnya pemupukan oleh petani. Tak mengherankan jika harga lada memburuk, produksi pun menyusut, lantaran mereka tidak memiliki modal untuk memupuk.
Sumita berharap petani Lampung dapat bekerja sama dengan Dinas Perkebunan mencari langkah-langkah tepat, agar produksi lada dapat meningkat serta menyerap modal seminim mungkin. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar lada asal Indonesia, khususnya lada hitam asal Lampung.
Saat ini, untuk lada hitam bermutu baik, eksportir hanya memberi harga dasar sekitar Rp 10.500 per kilogram. Harga itu lebih baik daripada harga lada pada awal tahun ini yang hanya Rp 9.000 per kilogram.
Dengan membaiknya harga lada itu, petani lada diharapkan dapat melakukan pemupukan. "Kalau saya, harga bagus atau tidak bagus tetap saja memupuk. Itu kuncinya kalau bertanam lada," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Bahkan, saat ini ia tengah menjalin kerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor untuk mengembangkan lada varietas Natar I, Bulok Belantung, dan varietas 59 asal India. Sadirin berharap usahanya itu dapat diikuti petani lain.
"Saya sudah memberikan beberapa stek bibit kepada rekan- rekan petani. Sekarang tergantung mereka masing-masing mau mengembangkan atau tidak. Kalau saya, mati hidup akan mengembangkan lada," ucapnya.
Dari catatan Dinas Perkebunan Lampung, saat ini terdapat 11.185 hektar kebun lada yang belum menghasilkan, dan 45.580 hektar kebun lada yang menghasilkan. Selebihnya, 8.200 hektar, merupakan lahan yang tidak menghasilkan atau rusak.
Sayangnya, dari lahan 45.580 hektar itu tingkat produktivitas lada Lampung cukup rendah, 516 kilogram per hektar. Padahal, dari lahan-lahan itu diharapkan produksi lada Lampung terus mengalir.
Pada 2003 lalu tercatat produksi lada Lampung mencapai 23.517 ton. Tahun 2004 ini diperkirakan produksi lada akan turun hingga 70 persen, bahkan kemungkinan lebih, karena curah hujan yang cukup tinggi akhir tahun lalu.
Meski demikian, kemungkinan kinerja ekspor lada hitam asal Lampung tidak akan banyak terganggu karena stok pada tahun berjalan masih mencapai 7.000 ton lebih.
Tampaknya perlu upaya keras agar lada hitam Indonesia yang pernah berjaya sejak masa kerajaan-kerajaan tempo dulu, tidak makin terempas oleh makin kuatnya dominasi Vietnam di bidang pertanian dan perkebunan. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004
Langkah ke Perbaikan
MAKIN merosotnya produktivitas lada hitam di Lampung telah lama disadari oleh pemerintah, khususnya Dinas Perkebunan Lampung. Sejak lama mereka berupaya mengolah dan juga meningkatkan produktivitas, namun upaya itu belum optimal.
Kepala Sub-Bina Program Dinas Perkebunan Lampung Eka Saputra yang mendampingi Kepala Dinas Perkebunan Lampung Untung Sugiatno mengutarakan, pada tahun 2004 dinas berupaya melakukan intensifikasi 100 hektar kebun lada di Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
Intensifikasi dilakukan dalam bentuk pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Dengan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dinas Perkebunan Lampung berupaya merehabilitasi 250 hektar kebun lada milik petani di Kabupaten Way Kanan dan Tanggamus.
Upaya mengelola kebun lada milik petani juga didukung bantuan luar negeri lewat proyek integrated pest management atau pengendalian hama terpadu. Bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) itu dilakukan lewat pelatihan-pelatihan kepada para petani.
Lewat pelatihan itu, para petani dibekali pengetahuan tentang hama dan pengendaliannya. "Kami diajari membuat obat-obatan dari empon-empon, seperti temulawak, bratawali, dan kunir. Hitungannya, lengkap 10 jenis empon-empon dapat digunakan mengobati tanaman," tutur seorang petani di Lampung Timur.
Pelatihan dilakukan lewat program Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT). Langkah awal, program dilaksanakan di Lampung Utara dan Lampung Timur.
Meskipun demikian, upaya tersebut dirasakan kurang banyak menghasilkan. Apalagi proses pemeliharaan kebun lada berhadapan dengan penyakit utama lada, yaitu buduk pangkal batang, yang disebabkan jamur jenis Phytophora capsici.
Dalam kajian Dr Dyah Manokara dari Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor, disebutkan bahwa penyakit busuk pangkal batang ini pertama kali dilaporkan terjadi pada proses penanaman lada di Sekampung tahun 1885. Di kawasan yang kala itu dikenal dengan Kampong Pempen, penyakit busuk pangkal batang dikenal sebagai penyakit voetrot.
Hingga tahun 1915 dilaporkan, penyakit tersebut menyebar ke Kampung Negara Agoeng, Goenoeng Soegih Ketjil, di Lampung Tengah, serta Djabung dan Negara Bathin di Lampung Timur. Hingga saat ini deraan penyakit itu masih terjadi.
Penyebaran dan serangan penyakit itu dianggap ekstrem. Penyebaran spora jamur Phytophora itu mampu membubung hingga ketinggian 30 meter dari permukaan tanah, dan ditemukan juga hingga tiga meter di bawah permukaan tanah.
Dalam penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), kebun yang terkontaminasi oleh spora jamur tersebut sulit diatasi. "Kalau kami menyemprot tanaman yang belum terkena, misalnya, spora yang berada di antara tanaman satu dengan tanaman lain sulit dikendalikan, termasuk yang berada di dalam tanah," tutur Eka Saputra.
Dalam kajian Dinas Perkebunan Lampung, upaya intensifikasi dan rehabilitasi lahan kurang memberikan hasil optimal. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan Dinas Perkebunan akhirnya melakukan rotasi lahan.
Artinya, kawasan yang pada masa lalu dikenal sebagai penghasil lada hitam yang dialihkan menjadi penghasil komoditas lainnya diharapkan dapat dikembalikan menjadi perkebunan lada rakyat. Tanggamus, misalnya, pada masa Belanda dahulu sebagai kawasan lada di Lampung, saat ini berubah menjadi penghasil kopi.
Memang upaya itu bakal terkendala oleh minat petani terhadap komoditas tersebut. Apalagi saat ini harga lada tidak cukup baik untuk menarik petani menanam kembali komoditas itu. Salah satu cara yang mungkin dapat ditempuh adalah menganjurkan diversifikasi tanaman. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
Kepala Sub-Bina Program Dinas Perkebunan Lampung Eka Saputra yang mendampingi Kepala Dinas Perkebunan Lampung Untung Sugiatno mengutarakan, pada tahun 2004 dinas berupaya melakukan intensifikasi 100 hektar kebun lada di Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
Intensifikasi dilakukan dalam bentuk pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Dengan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dinas Perkebunan Lampung berupaya merehabilitasi 250 hektar kebun lada milik petani di Kabupaten Way Kanan dan Tanggamus.
Upaya mengelola kebun lada milik petani juga didukung bantuan luar negeri lewat proyek integrated pest management atau pengendalian hama terpadu. Bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) itu dilakukan lewat pelatihan-pelatihan kepada para petani.
Lewat pelatihan itu, para petani dibekali pengetahuan tentang hama dan pengendaliannya. "Kami diajari membuat obat-obatan dari empon-empon, seperti temulawak, bratawali, dan kunir. Hitungannya, lengkap 10 jenis empon-empon dapat digunakan mengobati tanaman," tutur seorang petani di Lampung Timur.
Pelatihan dilakukan lewat program Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT). Langkah awal, program dilaksanakan di Lampung Utara dan Lampung Timur.
Meskipun demikian, upaya tersebut dirasakan kurang banyak menghasilkan. Apalagi proses pemeliharaan kebun lada berhadapan dengan penyakit utama lada, yaitu buduk pangkal batang, yang disebabkan jamur jenis Phytophora capsici.
Dalam kajian Dr Dyah Manokara dari Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor, disebutkan bahwa penyakit busuk pangkal batang ini pertama kali dilaporkan terjadi pada proses penanaman lada di Sekampung tahun 1885. Di kawasan yang kala itu dikenal dengan Kampong Pempen, penyakit busuk pangkal batang dikenal sebagai penyakit voetrot.
Hingga tahun 1915 dilaporkan, penyakit tersebut menyebar ke Kampung Negara Agoeng, Goenoeng Soegih Ketjil, di Lampung Tengah, serta Djabung dan Negara Bathin di Lampung Timur. Hingga saat ini deraan penyakit itu masih terjadi.
Penyebaran dan serangan penyakit itu dianggap ekstrem. Penyebaran spora jamur Phytophora itu mampu membubung hingga ketinggian 30 meter dari permukaan tanah, dan ditemukan juga hingga tiga meter di bawah permukaan tanah.
Dalam penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), kebun yang terkontaminasi oleh spora jamur tersebut sulit diatasi. "Kalau kami menyemprot tanaman yang belum terkena, misalnya, spora yang berada di antara tanaman satu dengan tanaman lain sulit dikendalikan, termasuk yang berada di dalam tanah," tutur Eka Saputra.
Dalam kajian Dinas Perkebunan Lampung, upaya intensifikasi dan rehabilitasi lahan kurang memberikan hasil optimal. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan Dinas Perkebunan akhirnya melakukan rotasi lahan.
Artinya, kawasan yang pada masa lalu dikenal sebagai penghasil lada hitam yang dialihkan menjadi penghasil komoditas lainnya diharapkan dapat dikembalikan menjadi perkebunan lada rakyat. Tanggamus, misalnya, pada masa Belanda dahulu sebagai kawasan lada di Lampung, saat ini berubah menjadi penghasil kopi.
Memang upaya itu bakal terkendala oleh minat petani terhadap komoditas tersebut. Apalagi saat ini harga lada tidak cukup baik untuk menarik petani menanam kembali komoditas itu. Salah satu cara yang mungkin dapat ditempuh adalah menganjurkan diversifikasi tanaman. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
Kejayaan Lada Hitam Lampung Telah Pudar
BARANG siapa bepergian ke Lampung, baik memakai kapal atau jung atau yang lain daripada itu hendaklah membeli merica. Sedang ia tidak membawa cap yang ujudnya seperti ini, maka hendaklah betul-betul dicegah dan jangan sekali-kali diizinkan membeli merica. ITU kutipan dan terjemahan Piagam Bojong yang ditulis dengan huruf arab dan memakai bahasa Jawa Banten. Piagam itu berukuran panjang 37 sentimeter, lebar 2,45 sentimeter, dan tebal lebih kurang lima milimeter. Piagam itu menunjukkan tahun 1500 hingga 1800 Masehi pengaruh Banten terhadap Lampung, khususnya dalam perniagaan lada, sangat kuat.
Bahkan, dalam buku sejarah Lampung produksi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung disebutkan, tahun 1596 Banten pernah menyerang Palembang karena rebutan pasar komoditas tersebut. Tulang Bawang yang kala itu juga menjadi sentra produksi lada hitam sangat terpengaruh oleh Kesultanan Palembang. Palembang sebagai kota niaga sejak lama dikenal sebagai pasar lada yang berasal dari Jambi, Bangka, dan Tulang Bawang.
Demikian juga pada masa kejayaan pelayaran, Portugis pun pernah berupaya menguasai Lampung yang menjadi kawasan penghasil lada hitam utama di Sumatera. Portugis pernah menyerang Menggala, ibu kota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Penyerangan dilakukan dalam usaha menguasai pasar utama lada hitam.
Namun, yang kemudian berhasil menguasai pasar dan produksi lada hitam asal Lampung adalah Belanda. Cengkeraman Belanda lewat VOC dalam pasar lada hitam di Lampung makin kuat menyusul runtuhnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa.
Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Akan tetapi, upaya menguasai pasar lada hitam Lampung kurang memperoleh sambutan baik. Pada 21 November 1682 VOC kembali ke Jawa hanya membawa 744.188 ton lada hitam seharga 62.292,312 gulden.
Dari angka itu dapat disimpulkan bahwa Lampung kala itu dikenal sebagai penghasil lada hitam utama. Lada hitam pula yang mengilhami berbagai negara Eropa ambil bagian dalam konstelasi politik Nusantara kala itu. Penguasaan sumber rempah-rempah dunia berarti menguasai perdagangan dunia-dan tentu saja wilayah.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.
TAHUN 2004 ini diperkirakan produksi lada hitam di Lampung turun hingga 70 persen bahkan 75 persen. Penurunan produksi umumnya disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang tinggi.
"Kami sempat senang karena saat berbunga, bunganya lebat sekali. Bayangan kami, tahun ini panen lada akan membaik," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Namun sayang, harapan Sadirin tinggal harapan. Menjelang bunga menjadi buah, hujan turun hampir setiap hari. Bunga lada pun rontok, dan seiring dengan itu, luruh juga harapan para petani lada.
"Tahun ini kami hanya mendapat seperempat saja, kira-kira 250 kilogram," tutur Sadirin yang ditemui saat memetik lada di kebunnya. Dibandingkan dengan petani lain, Sadirin lebih beruntung karena masih mendapat hasil.
Akibat hujan yang turun deras, umumnya petani lada di Lampung Timur tidak memperoleh hasil sama sekali. Dari pemantauan Kompas di sepanjang jalan raya ke arah Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, hanya di pelataran rumah Sadirin tampak digelar tikar dan terpal untuk menjemur lada hitam. Pelataran milik petani lainnya kosong.
"Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit, kurang sekali," tutur seorang petani lain.
Penurunan produksi lada hitam tahun ini di Lampung dibenarkan oleh Sumita, eksportir lada hitam asal Lampung. "Tahun ini produksi turun drastis. Saya tidak berani mengungkapkan berapa, tetapi yang jelas turun drastis," tutur Sumita.
Ia memperkirakan produksi lada tahun 2004 turun hingga 10.000 ton, bahkan mungkin kurang. Padahal tahun-tahun lalu bisa mencapai 25.000- 30.000 ton.
Meskipun demikian, kinerja ekspor lada hitam asal Lampung agaknya tidak akan terganggu. "Dari carry over (stok tahun berjalan) tampaknya masih cukup," ungkap Sumita.
Merosotnya produksi dan budidaya lada di Lampung juga tak lepas dari pola kebiasaan petani lada. "Umumnya petani berbondong-bondong ke kebun lada ketika harga membaik. Tetapi, ketika harga lada anjlok, mereka enggan merawat kebun," tutur seorang petani.
Padahal, jika tanaman lada dirawat dengan baik, tanaman tersebut tetap memberi hasil yang baik. Buktinya, kebun lada milik Sadirin tetap menghasilkan buah lada meskipun diempas derasnya hujan.
"Yang penting, tanaman itu memperoleh pupuk yang cukup. Seperti orang juga, kalau sudah bekerja kan perlu makan," tutur Sadirin.
Selama ini Sadirin selalu memberi tanaman ladanya pupuk kandang. Sesekali ia memberi juga pupuk buatan. "Untuk menarik tanaman supaya mau berbunga dan berbuah," tutur Sadirin.
Namun, ia tetap mengandalkan pupuk kandang sebagai sumber pupuk utama tanamannya. "Tiap karung pupuk kandang berisi lebih kurang 30 kilogram, saya beli seharga Rp 4.000," katanya.
Untuk memupuk lahannya seluas hampir satu hektar, Sadirin rela menjual dua ekor kambing. Sayang, langkah itu tidak diikuti petani lainnya. Umumnya petani enggan memupuk lahan mereka. Oleh karena itu, lahan lada menjadi kurus dan akibatnya tanaman pun tidak sehat.
Di beberapa sentra lada di Lampung, banyak tanaman tampak layu. Daunnya pun tidak berwarna hijau pekat, tetapi tampak kekuning-kuningan. Selain itu, tegakan lada juga tampak kurus.
Buruknya kebiasaan petani lada hitam Lampung diakui oleh staf Bidang Produksi Dinas Perkebunan Lampung, Muhammad Rivan. Pihaknya berulang kali mengajak petani memelihara kebun.
Tak hanya itu, Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT) pun digelar. Hanya saja, hingga saat ini upaya itu kurang berhasil. "Petani sering lupa. Inginnya hasil melulu, tapi tak mau mengurus kebun. Apalagi masih ada hasil lain, kopi dan cokelat," tutur seorang petani.
Akibatnya, petani seperti dininabobokan. Dan akibat lebih lanjut, tanaman mereka tidak mampu memberi hasil yang menguntungkan. Tidak heran jika kemudian kilau kejayaan lada hitam asal Lampung makin buram. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
Bahkan, dalam buku sejarah Lampung produksi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung disebutkan, tahun 1596 Banten pernah menyerang Palembang karena rebutan pasar komoditas tersebut. Tulang Bawang yang kala itu juga menjadi sentra produksi lada hitam sangat terpengaruh oleh Kesultanan Palembang. Palembang sebagai kota niaga sejak lama dikenal sebagai pasar lada yang berasal dari Jambi, Bangka, dan Tulang Bawang.
Demikian juga pada masa kejayaan pelayaran, Portugis pun pernah berupaya menguasai Lampung yang menjadi kawasan penghasil lada hitam utama di Sumatera. Portugis pernah menyerang Menggala, ibu kota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Penyerangan dilakukan dalam usaha menguasai pasar utama lada hitam.
Namun, yang kemudian berhasil menguasai pasar dan produksi lada hitam asal Lampung adalah Belanda. Cengkeraman Belanda lewat VOC dalam pasar lada hitam di Lampung makin kuat menyusul runtuhnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa.
Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Akan tetapi, upaya menguasai pasar lada hitam Lampung kurang memperoleh sambutan baik. Pada 21 November 1682 VOC kembali ke Jawa hanya membawa 744.188 ton lada hitam seharga 62.292,312 gulden.
Dari angka itu dapat disimpulkan bahwa Lampung kala itu dikenal sebagai penghasil lada hitam utama. Lada hitam pula yang mengilhami berbagai negara Eropa ambil bagian dalam konstelasi politik Nusantara kala itu. Penguasaan sumber rempah-rempah dunia berarti menguasai perdagangan dunia-dan tentu saja wilayah.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.
TAHUN 2004 ini diperkirakan produksi lada hitam di Lampung turun hingga 70 persen bahkan 75 persen. Penurunan produksi umumnya disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang tinggi.
"Kami sempat senang karena saat berbunga, bunganya lebat sekali. Bayangan kami, tahun ini panen lada akan membaik," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Namun sayang, harapan Sadirin tinggal harapan. Menjelang bunga menjadi buah, hujan turun hampir setiap hari. Bunga lada pun rontok, dan seiring dengan itu, luruh juga harapan para petani lada.
"Tahun ini kami hanya mendapat seperempat saja, kira-kira 250 kilogram," tutur Sadirin yang ditemui saat memetik lada di kebunnya. Dibandingkan dengan petani lain, Sadirin lebih beruntung karena masih mendapat hasil.
Akibat hujan yang turun deras, umumnya petani lada di Lampung Timur tidak memperoleh hasil sama sekali. Dari pemantauan Kompas di sepanjang jalan raya ke arah Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, hanya di pelataran rumah Sadirin tampak digelar tikar dan terpal untuk menjemur lada hitam. Pelataran milik petani lainnya kosong.
"Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit, kurang sekali," tutur seorang petani lain.
Penurunan produksi lada hitam tahun ini di Lampung dibenarkan oleh Sumita, eksportir lada hitam asal Lampung. "Tahun ini produksi turun drastis. Saya tidak berani mengungkapkan berapa, tetapi yang jelas turun drastis," tutur Sumita.
Ia memperkirakan produksi lada tahun 2004 turun hingga 10.000 ton, bahkan mungkin kurang. Padahal tahun-tahun lalu bisa mencapai 25.000- 30.000 ton.
Meskipun demikian, kinerja ekspor lada hitam asal Lampung agaknya tidak akan terganggu. "Dari carry over (stok tahun berjalan) tampaknya masih cukup," ungkap Sumita.
Merosotnya produksi dan budidaya lada di Lampung juga tak lepas dari pola kebiasaan petani lada. "Umumnya petani berbondong-bondong ke kebun lada ketika harga membaik. Tetapi, ketika harga lada anjlok, mereka enggan merawat kebun," tutur seorang petani.
Padahal, jika tanaman lada dirawat dengan baik, tanaman tersebut tetap memberi hasil yang baik. Buktinya, kebun lada milik Sadirin tetap menghasilkan buah lada meskipun diempas derasnya hujan.
"Yang penting, tanaman itu memperoleh pupuk yang cukup. Seperti orang juga, kalau sudah bekerja kan perlu makan," tutur Sadirin.
Selama ini Sadirin selalu memberi tanaman ladanya pupuk kandang. Sesekali ia memberi juga pupuk buatan. "Untuk menarik tanaman supaya mau berbunga dan berbuah," tutur Sadirin.
Namun, ia tetap mengandalkan pupuk kandang sebagai sumber pupuk utama tanamannya. "Tiap karung pupuk kandang berisi lebih kurang 30 kilogram, saya beli seharga Rp 4.000," katanya.
Untuk memupuk lahannya seluas hampir satu hektar, Sadirin rela menjual dua ekor kambing. Sayang, langkah itu tidak diikuti petani lainnya. Umumnya petani enggan memupuk lahan mereka. Oleh karena itu, lahan lada menjadi kurus dan akibatnya tanaman pun tidak sehat.
Di beberapa sentra lada di Lampung, banyak tanaman tampak layu. Daunnya pun tidak berwarna hijau pekat, tetapi tampak kekuning-kuningan. Selain itu, tegakan lada juga tampak kurus.
Buruknya kebiasaan petani lada hitam Lampung diakui oleh staf Bidang Produksi Dinas Perkebunan Lampung, Muhammad Rivan. Pihaknya berulang kali mengajak petani memelihara kebun.
Tak hanya itu, Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT) pun digelar. Hanya saja, hingga saat ini upaya itu kurang berhasil. "Petani sering lupa. Inginnya hasil melulu, tapi tak mau mengurus kebun. Apalagi masih ada hasil lain, kopi dan cokelat," tutur seorang petani.
Akibatnya, petani seperti dininabobokan. Dan akibat lebih lanjut, tanaman mereka tidak mampu memberi hasil yang menguntungkan. Tidak heran jika kemudian kilau kejayaan lada hitam asal Lampung makin buram. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
March 8, 2007
Warahan, Sastra Tutur Lampung yang Terancam
"JIKA dilakukan pada siang hari, hujan rintik-rintik akan turun walau matahari bersinar dengan terik. Kami menyebutnya hujan panas. Lalu, jika dilakukan pada malam hari, hujan akan turun. Itulah tandanya," tutur Riagus Ria, pemerhati seni tradisional Lampung, tentang pengaruh magis yang muncul saat seorang pewarah (penutur warahan) memaparkan kisahnya.
MAGIS, karena untuk mampu mengisahkan cerita yang terdiri atas puluhan bait itu, seorang pewarah harus melakukan puasa mati raga.
"Melakukan puasa selama 40 hari. Setelah itu masih disambung lagi dengan puasa empat hari, dan masih dilanjutkan lagi dengan puasa dua hari dua malam tanpa makan dan minum. Tidak heran jika para pewarah dulu mampu menghafal kisah Radin Jambat dan mewarahkannya," tutur Riagus Ria lagi.
Ia sendiri mengalaminya, ketika Syahmin Ahyar Gelar Sutan Unjunan Paksi, ayahnya, mengisahkan Hikayat Radin Jambat. Kisah itu menceritakan tentang petualangan Radin Jambat, legenda tua rakyat Lampung. Dalam tradisi sastra lisan Lampung, kisah Radin Jambat ini merupakan kisah utama, sebuah masterpiece (adikarya).
Hikayat Radin Jambat berisi tentang kisah-kisah petualangan yang diwarnai cerita peperangan, percintaan, dan juga humor. "Yang menarik bagi anak-anak kala itu adalah peperangan saat Radin Jambat terdesak. Begitu hebatnya pewarah itu bercerita, semua seperti terpukau, terbelalak mendengar bahwa dengan pedangnya Radin Jambat menebas pepohonan, sehingga menyebabkan burung garuda mengeluh karena tak ada lagi tempat untuk hinggap," ungkap Riagus.
Kisah itu awalnya adalah petualangan Radin Jambat dalam mencari jodoh. Namun, bagi Imas Komariah, seorang seniman dan pemerhati seni di Lampung, kisah pencarian cinta Radin merupakan sebuah kisah reflektif dan pergulatan batin manusia dalam mencari keilahian. "Itu adalah kisah tentang manusia yang hendak bertemu dengan Yang Ilahi. Disebutkan dalam kisah itu tentang dewa-dewa," tuturnya.
Bagi anak-anak masa itu, menurut Riagus Ria, kisah lama begitu menarik perhatian, apalagi jika si pewarah mempunyai kekuatan magis yang seolah menyihir lewat lantunan kisah-kisah yang dipaparkan. Warahan yang dalam khazanah sastra dapat dikategorikan sebagai dongeng ini, memang dipaparkan dengan cara dilagukan.
"Dulu, pada malam hari, saat hendak tidur, bapak saya selalu mewarah. Kami, anak-anak ada di sekelilingnya sambil memijatnya. Kisah itu berhenti setelah bapak tertidur, dan kami pun juga tertidur. Kami meyakini itu juga akibat pengaruh magis pengisahan. Lalu esok malamnya diteruskan lagi. Sebelumnya bapak bertanya, kisah kemarin sampai apa, lalu diteruskan lagi. Kisah Radin Jambat sendiri biasanya selesai dikisahkan setelah empat hari empat malam," tutur Riagus.
Tak heran sebab setelah dituliskan kembali oleh Prof Hilman Hadikusuma, seorang ahli hukum adat Lampung, kisah Hikayat Radin Jambat terdiri atas 42 bait. "Hanya sayang bait ke 21 sedikit terpenggal," ungkap Riagus.
Selain Hikayat Radin Jambat, ada juga kisah lain seperti Betung Sengawan yang berkisah tentang penobatan gelar. Lalu ada juga kisah yang berbau fiktif, berbaur dengan kisah-kisah nonfiksi yang muncul dalam warahan bertema sejarah, seperti cerita tentang asal-usul Lampung yang berjudul Ompung Silamponga.
KATA warahan sendiri berasal dari kata wakhea yang dalam bahasa Lampung berarti cerita, dan akhah yang berarti maksud. Imas Komariah mengkaji, istilah warahan memiliki beberapa versi, yaitu wawarahan, warahan, dan aruhan atau ruhan. Wawarahan, menurut dia, lazim digunakan oleh masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin), sedangkan masyarakat Lampung Pepadun biasa menggunakan istilah warahan atau ruhan atau aruhan.
Kisah tutur itu biasanya disampaikan dengan cara dilantunkan dalam bahasa Lampung. Berbeda dari sastra lisan Lampung lainnya seperti dadi, pisaan, canggot, bubiti, dan sagata, pesan yang hendak disampaikan dalam warahan dikemas dalam cerita yang memiliki plot dengan tahapan-tahapan yang jelas.
Imas menyebutkan, berbeda dari sastra lisan yang umumnya ditampilkan dalam upacara adat saja. "Warahan dapat ditampilkan dalam setiap kesempatan, karena memang awalnya adalah dongeng dari orang tua kepada anak atau cucunya. Lingkupnya lebih terbuka dibandingkan dengan bentuk sastra lisan lain yang lebih terikat pada peristiwa atau perhelatan adat saja," paparnya.
Dikatakan, dalam kajian sejarah, ada kemungkinan warahan berkembang seiring dengan masuknya pengaruh Kesultanan Banten dan Islam di Lampung, terutama untuk masyarakat adat pesisir. Tetapi, menurut Riagus, warahan sudah mulai berkembang sebelum Banten datang.
Bahkan, menurut Riagus, warahan telah berkembang dalam komunitas masyarakat Lampung jauh sebelum masuknya pengaruh Islam di Lampung. "Pengaruh Islam di Lampung lebih banyak diserap oleh masyarakat adat Lampung Peminggir, sedangkan untuk masyarakat adat Pubian tempat warahan bermula pengaruh itu agak kurang," tuturnya.
Menurut Riagus, warahan bermula dari kawasan Way Kanan di kawasan Setegi. Mungkin saat ini masih ada pewarah-pewarah lama yang masih tinggal di sana.
"Mungkin di pedalaman-pedalaman. Saya hendak menyusurinya, tetapi yang jelas belum ada pengaruh dari Banten. Warahan sudah ada sejak saat nenek moyang masyarakat Lampung masih berada di kawasan Kerinci dan Pagarruyung, dan kemudian baru menyebar ke Way Kanan," tuturnya.
Hingga kini, warahan umumnya masih menggunakan bahasa Lampung Way Kanan. Warahan itu kemudian juga berkembang ke arah Sungkai di Way Kanan, Rantau Tijang-Pugung, Kabupaten Lampung Timur. Namun, ironisnya, warahan justru berkembang dalam masyarakat Lampung Pubian dibandingkan dengan Lampung Way Kanan.
Dalam pandangan Sutan Unjunan Paksi, mewarah sebagai alternatif pengajaran kepada para muridnya yang pada siang hari telah diajarnya pencak silat. Saat malam tiba dan pada murid itu beristirahat, Sutan Unjunan Paksi mewarah.
Kisah yang menjadi kegemaran para muridnya adalah kisah peperangan Radin Jambat. Selain menghibur, kisah itu memberi inspirasi bagi para murid dalam berlatih pencak silat.
WARAHAN, menurut Imas, awalnya adalah bentuk imbalan dari orang tua kepada anaknya. Agar anak tidak mengantuk saat memijat orang tua yang kelelahan, orang tua mendongengkan sebuah kisah seperti Puteri Petani yang Cerdik, Incang-Incang Anak Kemang, atau Si Bungsu Tujuh Bersaudara, atau dongeng lainnya.
Hal itu dibenarkan juga oleh Riagus Ria. Bahkan untuk memperseru kisah, si orang tua juga memperagakan apa yang tengah dikisahkannya. Sesekali dalam dongeng itu dilantunkan juga puisi atau syair yang sesuai dengan isi cerita.
Dalam kajiannya, Imas melihat warahan mengalami perubahan bentuk, isi, dan fungsi. Awalnya adalah sastra tutur, untuk konsumsi keluarga. Pewarah sengaja diundang ke rumah, umumnya pada sore hari. Mereka diundang tanpa imbalan apa pun, dan dilakukan hingga beberapa hari.
Umumnya untuk masyarakat Lampung Pepadun yang diceritakan adalah kisah Radin Jambat. Sementara, bagi masyarakat Lampung Pasisir kisah yang disampaikan beragam dan sesekali diiringi oleh petikan gambus lunik.
Pada periode tahun 1940-an, ketika berbagai kelompok dan pertunjukan sandiwara muncul atas prakarsa para pejuang, warahan masih tetap menjadi konsumsi keluarga saja, dan belum muncul dalam pertunjukan untuk umum. Selain karena jumlah pewarah yang terbatas, tak ada orang Lampung yang memang sengaja mempelajari warahan sebagai profesi.
Dalam kajian Imas, ada pula pewarah yang berkeliling dari kampung ke kampung untuk mewarah. Akan tetapi, kemudian menghilang, karena desakan radio dan televisi. Pada tahun 1970-1980, warahan berkembang menjadi teater tutur dan kemudian teater rakyat. Pada titik terakhir perkembangannya warahan justru kehilangan bentuk aslinya, kehilangan kemandiriannya.
Menurut Imas, pereduksian warahan menjadi teater rakyat terjadi pada era tahun 1980-an, ketika pemerintah membutuhkan media untuk menyosialisasikan program-program pembangunan. Pada masa itulah warahan berkembang menjadi seni pertunjukan.
"Namun sayang, nilai esensial dari warahan yang terletak pada diri si pewarah menjadi hilang. Bahkan, pewarah yang mestinya menjadi tokoh utama justru terpinggirkan, dan hanya menjadi pemanis saja," ujarnya.
Seiring makin berkembangnya budaya baru dan masuknya arus teknologi ke pedesaan, warahan mulai kehilangan pamor. Warahan yang berkembang menjadi teater pertunjukan itu justru kehilangan rohnya.
Minat generasi muda untuk mempelajari bentuk warahan asli pun sangat kecil, sedangkan para ahli warah pun sudah uzur. "Kami kehilangan para ahli warah yang tahu betul struktur kisah itu, yang paham betul dengan pakem-pakemnya, sehingga untuk mengembangkannya tidak bergeser dari cerita dan bentuk aslinya," tutur Imas.
Saat ini kondisi sastra lisan itu jauh lebih parah dibandingkan dengan nasib sastra lisan asli Lampung lainnya. Bahkan dibandingkan dengan dadi, sastra lisan asli Lampung, kondisi warahan jauh lebih parah.
"Jika untuk dadi kami masih memiliki Ibu Masnuna. Tetapi, untuk warahan tampaknya kami sudah sangat sulit menemukan kembali pewarah yang hebat," ungkap Riagus. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Februari 2005
MAGIS, karena untuk mampu mengisahkan cerita yang terdiri atas puluhan bait itu, seorang pewarah harus melakukan puasa mati raga.
"Melakukan puasa selama 40 hari. Setelah itu masih disambung lagi dengan puasa empat hari, dan masih dilanjutkan lagi dengan puasa dua hari dua malam tanpa makan dan minum. Tidak heran jika para pewarah dulu mampu menghafal kisah Radin Jambat dan mewarahkannya," tutur Riagus Ria lagi.
Ia sendiri mengalaminya, ketika Syahmin Ahyar Gelar Sutan Unjunan Paksi, ayahnya, mengisahkan Hikayat Radin Jambat. Kisah itu menceritakan tentang petualangan Radin Jambat, legenda tua rakyat Lampung. Dalam tradisi sastra lisan Lampung, kisah Radin Jambat ini merupakan kisah utama, sebuah masterpiece (adikarya).
Hikayat Radin Jambat berisi tentang kisah-kisah petualangan yang diwarnai cerita peperangan, percintaan, dan juga humor. "Yang menarik bagi anak-anak kala itu adalah peperangan saat Radin Jambat terdesak. Begitu hebatnya pewarah itu bercerita, semua seperti terpukau, terbelalak mendengar bahwa dengan pedangnya Radin Jambat menebas pepohonan, sehingga menyebabkan burung garuda mengeluh karena tak ada lagi tempat untuk hinggap," ungkap Riagus.
Kisah itu awalnya adalah petualangan Radin Jambat dalam mencari jodoh. Namun, bagi Imas Komariah, seorang seniman dan pemerhati seni di Lampung, kisah pencarian cinta Radin merupakan sebuah kisah reflektif dan pergulatan batin manusia dalam mencari keilahian. "Itu adalah kisah tentang manusia yang hendak bertemu dengan Yang Ilahi. Disebutkan dalam kisah itu tentang dewa-dewa," tuturnya.
Bagi anak-anak masa itu, menurut Riagus Ria, kisah lama begitu menarik perhatian, apalagi jika si pewarah mempunyai kekuatan magis yang seolah menyihir lewat lantunan kisah-kisah yang dipaparkan. Warahan yang dalam khazanah sastra dapat dikategorikan sebagai dongeng ini, memang dipaparkan dengan cara dilagukan.
"Dulu, pada malam hari, saat hendak tidur, bapak saya selalu mewarah. Kami, anak-anak ada di sekelilingnya sambil memijatnya. Kisah itu berhenti setelah bapak tertidur, dan kami pun juga tertidur. Kami meyakini itu juga akibat pengaruh magis pengisahan. Lalu esok malamnya diteruskan lagi. Sebelumnya bapak bertanya, kisah kemarin sampai apa, lalu diteruskan lagi. Kisah Radin Jambat sendiri biasanya selesai dikisahkan setelah empat hari empat malam," tutur Riagus.
Tak heran sebab setelah dituliskan kembali oleh Prof Hilman Hadikusuma, seorang ahli hukum adat Lampung, kisah Hikayat Radin Jambat terdiri atas 42 bait. "Hanya sayang bait ke 21 sedikit terpenggal," ungkap Riagus.
Selain Hikayat Radin Jambat, ada juga kisah lain seperti Betung Sengawan yang berkisah tentang penobatan gelar. Lalu ada juga kisah yang berbau fiktif, berbaur dengan kisah-kisah nonfiksi yang muncul dalam warahan bertema sejarah, seperti cerita tentang asal-usul Lampung yang berjudul Ompung Silamponga.
KATA warahan sendiri berasal dari kata wakhea yang dalam bahasa Lampung berarti cerita, dan akhah yang berarti maksud. Imas Komariah mengkaji, istilah warahan memiliki beberapa versi, yaitu wawarahan, warahan, dan aruhan atau ruhan. Wawarahan, menurut dia, lazim digunakan oleh masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin), sedangkan masyarakat Lampung Pepadun biasa menggunakan istilah warahan atau ruhan atau aruhan.
Kisah tutur itu biasanya disampaikan dengan cara dilantunkan dalam bahasa Lampung. Berbeda dari sastra lisan Lampung lainnya seperti dadi, pisaan, canggot, bubiti, dan sagata, pesan yang hendak disampaikan dalam warahan dikemas dalam cerita yang memiliki plot dengan tahapan-tahapan yang jelas.
Imas menyebutkan, berbeda dari sastra lisan yang umumnya ditampilkan dalam upacara adat saja. "Warahan dapat ditampilkan dalam setiap kesempatan, karena memang awalnya adalah dongeng dari orang tua kepada anak atau cucunya. Lingkupnya lebih terbuka dibandingkan dengan bentuk sastra lisan lain yang lebih terikat pada peristiwa atau perhelatan adat saja," paparnya.
Dikatakan, dalam kajian sejarah, ada kemungkinan warahan berkembang seiring dengan masuknya pengaruh Kesultanan Banten dan Islam di Lampung, terutama untuk masyarakat adat pesisir. Tetapi, menurut Riagus, warahan sudah mulai berkembang sebelum Banten datang.
Bahkan, menurut Riagus, warahan telah berkembang dalam komunitas masyarakat Lampung jauh sebelum masuknya pengaruh Islam di Lampung. "Pengaruh Islam di Lampung lebih banyak diserap oleh masyarakat adat Lampung Peminggir, sedangkan untuk masyarakat adat Pubian tempat warahan bermula pengaruh itu agak kurang," tuturnya.
Menurut Riagus, warahan bermula dari kawasan Way Kanan di kawasan Setegi. Mungkin saat ini masih ada pewarah-pewarah lama yang masih tinggal di sana.
"Mungkin di pedalaman-pedalaman. Saya hendak menyusurinya, tetapi yang jelas belum ada pengaruh dari Banten. Warahan sudah ada sejak saat nenek moyang masyarakat Lampung masih berada di kawasan Kerinci dan Pagarruyung, dan kemudian baru menyebar ke Way Kanan," tuturnya.
Hingga kini, warahan umumnya masih menggunakan bahasa Lampung Way Kanan. Warahan itu kemudian juga berkembang ke arah Sungkai di Way Kanan, Rantau Tijang-Pugung, Kabupaten Lampung Timur. Namun, ironisnya, warahan justru berkembang dalam masyarakat Lampung Pubian dibandingkan dengan Lampung Way Kanan.
Dalam pandangan Sutan Unjunan Paksi, mewarah sebagai alternatif pengajaran kepada para muridnya yang pada siang hari telah diajarnya pencak silat. Saat malam tiba dan pada murid itu beristirahat, Sutan Unjunan Paksi mewarah.
Kisah yang menjadi kegemaran para muridnya adalah kisah peperangan Radin Jambat. Selain menghibur, kisah itu memberi inspirasi bagi para murid dalam berlatih pencak silat.
WARAHAN, menurut Imas, awalnya adalah bentuk imbalan dari orang tua kepada anaknya. Agar anak tidak mengantuk saat memijat orang tua yang kelelahan, orang tua mendongengkan sebuah kisah seperti Puteri Petani yang Cerdik, Incang-Incang Anak Kemang, atau Si Bungsu Tujuh Bersaudara, atau dongeng lainnya.
Hal itu dibenarkan juga oleh Riagus Ria. Bahkan untuk memperseru kisah, si orang tua juga memperagakan apa yang tengah dikisahkannya. Sesekali dalam dongeng itu dilantunkan juga puisi atau syair yang sesuai dengan isi cerita.
Dalam kajiannya, Imas melihat warahan mengalami perubahan bentuk, isi, dan fungsi. Awalnya adalah sastra tutur, untuk konsumsi keluarga. Pewarah sengaja diundang ke rumah, umumnya pada sore hari. Mereka diundang tanpa imbalan apa pun, dan dilakukan hingga beberapa hari.
Umumnya untuk masyarakat Lampung Pepadun yang diceritakan adalah kisah Radin Jambat. Sementara, bagi masyarakat Lampung Pasisir kisah yang disampaikan beragam dan sesekali diiringi oleh petikan gambus lunik.
Pada periode tahun 1940-an, ketika berbagai kelompok dan pertunjukan sandiwara muncul atas prakarsa para pejuang, warahan masih tetap menjadi konsumsi keluarga saja, dan belum muncul dalam pertunjukan untuk umum. Selain karena jumlah pewarah yang terbatas, tak ada orang Lampung yang memang sengaja mempelajari warahan sebagai profesi.
Dalam kajian Imas, ada pula pewarah yang berkeliling dari kampung ke kampung untuk mewarah. Akan tetapi, kemudian menghilang, karena desakan radio dan televisi. Pada tahun 1970-1980, warahan berkembang menjadi teater tutur dan kemudian teater rakyat. Pada titik terakhir perkembangannya warahan justru kehilangan bentuk aslinya, kehilangan kemandiriannya.
Menurut Imas, pereduksian warahan menjadi teater rakyat terjadi pada era tahun 1980-an, ketika pemerintah membutuhkan media untuk menyosialisasikan program-program pembangunan. Pada masa itulah warahan berkembang menjadi seni pertunjukan.
"Namun sayang, nilai esensial dari warahan yang terletak pada diri si pewarah menjadi hilang. Bahkan, pewarah yang mestinya menjadi tokoh utama justru terpinggirkan, dan hanya menjadi pemanis saja," ujarnya.
Seiring makin berkembangnya budaya baru dan masuknya arus teknologi ke pedesaan, warahan mulai kehilangan pamor. Warahan yang berkembang menjadi teater pertunjukan itu justru kehilangan rohnya.
Minat generasi muda untuk mempelajari bentuk warahan asli pun sangat kecil, sedangkan para ahli warah pun sudah uzur. "Kami kehilangan para ahli warah yang tahu betul struktur kisah itu, yang paham betul dengan pakem-pakemnya, sehingga untuk mengembangkannya tidak bergeser dari cerita dan bentuk aslinya," tutur Imas.
Saat ini kondisi sastra lisan itu jauh lebih parah dibandingkan dengan nasib sastra lisan asli Lampung lainnya. Bahkan dibandingkan dengan dadi, sastra lisan asli Lampung, kondisi warahan jauh lebih parah.
"Jika untuk dadi kami masih memiliki Ibu Masnuna. Tetapi, untuk warahan tampaknya kami sudah sangat sulit menemukan kembali pewarah yang hebat," ungkap Riagus. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Februari 2005
March 7, 2007
Nuansa: Mitos
DI kalangan masyarakat di Lampung Barat, hidup sebuah mitos yang unik. Cerita tentang Ratu Sekarmong, pemimpin Buay Tumi, yang hidup dan berkuasa di kaki Gunung Pesagi sekitar tiga abad lalu. Ketika pengungsi dari Pagarruyung--Umpu Nyerupa, Umpu Bejalan di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh--datang, mereka memutuskan bunuh diri masuk jurang daripada masuk Islam.
Prof. Hilman Hadikusuma menyebut suku ini menganut kepercayaan dinamis, ada pengaruh dari Hindu Bairawa. Ketika Islam masuk, Buay Tumi menolak masuk Islam karena bertentangan dengan kepercayaan mereka. Mereka pun diperangi keempat umpu itu, tetapi tak jelas apakah dalam peperangan itu Buay Tumi tumpas atau tidak.
Mitos yang diyakini, mereka memutuskan terjun ke jurang di mana mengalir sebuah sungai yang tak pernah keruh.
Lalu, keempat umpu dari Pagarruyung diyakini Prof. Hilman Hadikusuma merupakan cikal-bakal Paksi Pak: Buay Nyerupa, Buay Bejalan di Way, Buay Pernong, dan Buay Belunguh. Keturunan dari paksi-paksi ini yang kini menetap di Kabupaten Lampung Barat, yang disebut masyarakat adat Lampung Barat.
Lantas, apakah anak keturunan Ratu Sekarmong, yang disebut Buay Tumi itu, masih ada?
Almarhum Prof. Hilman Hadikusuma tidak pernah tuntas menjelaskan soal ini. Apalagi, ternyata, bukan cuma empat paksi itu yang hidup di Lampung Barat. Ada dua paksi lagi, yakni Buay Bulan (Nerima) dan Buay Anak Menyata (Anak Mentuha).
Dua buay yang disebut terakhir diyakini tak mau bergabung dengan empat buay lainnya untuk membangun Kerajaan Skala Brak. Karena itu, empat paksi mengangkat Buay Menyatu (Anak Mentuha) sebagai "yang dihormati" dan Buay Bulan (Nerima) dikawinkan kepada orang lain. Buay Bulan (Nerima) ini diyakini sebagai leluhur masyarakat adat Mego Pak di Tulangbawang.
Seberapa besar mitos dapat dipercaya sebagai fakta ilmiah?
Kita tahu persis, mitos sulit diterima sebagai realitas. Sekali pun mitos itu telah hidup berabad-abad, tetap tidak bisa menjadi pegangan untuk menyatakan realitas itulah yang sebenarnya terjadi.
Itu sebabnya, tak sedikit ahli yang ingin merekonstruksi sejarah berdasarkan mitologi. Semua dilakukan agar jelas bagaimana realitas sebenarnya dari mitos tersebut.
Di Lampung Barat, sekalipun penelitian yang komprehensif belum pernah dilakukan--kecuali oleh seorang peneliti dari Inggris, dan buku hasil penelitiannya dibawa ke Inggris--kita tak pernah tahu bagaimana nasib Buay Tumi.
Apakah Buay Tumi tumpas hingga tidak ada sisa? Apakah Buay Tumi dijadikan budak oleh pengungsi dari Pagarruyung? Apakah Buay Tumi dibebaskan dan hidup merdeka? Apakah mereka punya anak keturunan? Atau, sangat mungkin tak ada Buay Tumi. Jika ada, tentu saja akan ada anak-keturunannya.
Yang jelas, mitos sering menyesatkan, mengelabui, dan membohongi. Mitos Ratu Pantai Selatan dibuat untuk menakut-nakuti Belanda agar tak masuk ke Pulau Jawa. Tapi, ternyata, Belanda memorak-porandakan Pulau Jawa. n BUDI HUTASUHUT
Sumber: Lampung Post, Rabu, 7 Maret 2007
Prof. Hilman Hadikusuma menyebut suku ini menganut kepercayaan dinamis, ada pengaruh dari Hindu Bairawa. Ketika Islam masuk, Buay Tumi menolak masuk Islam karena bertentangan dengan kepercayaan mereka. Mereka pun diperangi keempat umpu itu, tetapi tak jelas apakah dalam peperangan itu Buay Tumi tumpas atau tidak.
Mitos yang diyakini, mereka memutuskan terjun ke jurang di mana mengalir sebuah sungai yang tak pernah keruh.
Lalu, keempat umpu dari Pagarruyung diyakini Prof. Hilman Hadikusuma merupakan cikal-bakal Paksi Pak: Buay Nyerupa, Buay Bejalan di Way, Buay Pernong, dan Buay Belunguh. Keturunan dari paksi-paksi ini yang kini menetap di Kabupaten Lampung Barat, yang disebut masyarakat adat Lampung Barat.
Lantas, apakah anak keturunan Ratu Sekarmong, yang disebut Buay Tumi itu, masih ada?
Almarhum Prof. Hilman Hadikusuma tidak pernah tuntas menjelaskan soal ini. Apalagi, ternyata, bukan cuma empat paksi itu yang hidup di Lampung Barat. Ada dua paksi lagi, yakni Buay Bulan (Nerima) dan Buay Anak Menyata (Anak Mentuha).
Dua buay yang disebut terakhir diyakini tak mau bergabung dengan empat buay lainnya untuk membangun Kerajaan Skala Brak. Karena itu, empat paksi mengangkat Buay Menyatu (Anak Mentuha) sebagai "yang dihormati" dan Buay Bulan (Nerima) dikawinkan kepada orang lain. Buay Bulan (Nerima) ini diyakini sebagai leluhur masyarakat adat Mego Pak di Tulangbawang.
Seberapa besar mitos dapat dipercaya sebagai fakta ilmiah?
Kita tahu persis, mitos sulit diterima sebagai realitas. Sekali pun mitos itu telah hidup berabad-abad, tetap tidak bisa menjadi pegangan untuk menyatakan realitas itulah yang sebenarnya terjadi.
Itu sebabnya, tak sedikit ahli yang ingin merekonstruksi sejarah berdasarkan mitologi. Semua dilakukan agar jelas bagaimana realitas sebenarnya dari mitos tersebut.
Di Lampung Barat, sekalipun penelitian yang komprehensif belum pernah dilakukan--kecuali oleh seorang peneliti dari Inggris, dan buku hasil penelitiannya dibawa ke Inggris--kita tak pernah tahu bagaimana nasib Buay Tumi.
Apakah Buay Tumi tumpas hingga tidak ada sisa? Apakah Buay Tumi dijadikan budak oleh pengungsi dari Pagarruyung? Apakah Buay Tumi dibebaskan dan hidup merdeka? Apakah mereka punya anak keturunan? Atau, sangat mungkin tak ada Buay Tumi. Jika ada, tentu saja akan ada anak-keturunannya.
Yang jelas, mitos sering menyesatkan, mengelabui, dan membohongi. Mitos Ratu Pantai Selatan dibuat untuk menakut-nakuti Belanda agar tak masuk ke Pulau Jawa. Tapi, ternyata, Belanda memorak-porandakan Pulau Jawa. n BUDI HUTASUHUT
Sumber: Lampung Post, Rabu, 7 Maret 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)