MAKIN merosotnya produktivitas lada hitam di Lampung telah lama disadari oleh pemerintah, khususnya Dinas Perkebunan Lampung. Sejak lama mereka berupaya mengolah dan juga meningkatkan produktivitas, namun upaya itu belum optimal.
Kepala Sub-Bina Program Dinas Perkebunan Lampung Eka Saputra yang mendampingi Kepala Dinas Perkebunan Lampung Untung Sugiatno mengutarakan, pada tahun 2004 dinas berupaya melakukan intensifikasi 100 hektar kebun lada di Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
Intensifikasi dilakukan dalam bentuk pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Dengan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dinas Perkebunan Lampung berupaya merehabilitasi 250 hektar kebun lada milik petani di Kabupaten Way Kanan dan Tanggamus.
Upaya mengelola kebun lada milik petani juga didukung bantuan luar negeri lewat proyek integrated pest management atau pengendalian hama terpadu. Bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) itu dilakukan lewat pelatihan-pelatihan kepada para petani.
Lewat pelatihan itu, para petani dibekali pengetahuan tentang hama dan pengendaliannya. "Kami diajari membuat obat-obatan dari empon-empon, seperti temulawak, bratawali, dan kunir. Hitungannya, lengkap 10 jenis empon-empon dapat digunakan mengobati tanaman," tutur seorang petani di Lampung Timur.
Pelatihan dilakukan lewat program Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT). Langkah awal, program dilaksanakan di Lampung Utara dan Lampung Timur.
Meskipun demikian, upaya tersebut dirasakan kurang banyak menghasilkan. Apalagi proses pemeliharaan kebun lada berhadapan dengan penyakit utama lada, yaitu buduk pangkal batang, yang disebabkan jamur jenis Phytophora capsici.
Dalam kajian Dr Dyah Manokara dari Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor, disebutkan bahwa penyakit busuk pangkal batang ini pertama kali dilaporkan terjadi pada proses penanaman lada di Sekampung tahun 1885. Di kawasan yang kala itu dikenal dengan Kampong Pempen, penyakit busuk pangkal batang dikenal sebagai penyakit voetrot.
Hingga tahun 1915 dilaporkan, penyakit tersebut menyebar ke Kampung Negara Agoeng, Goenoeng Soegih Ketjil, di Lampung Tengah, serta Djabung dan Negara Bathin di Lampung Timur. Hingga saat ini deraan penyakit itu masih terjadi.
Penyebaran dan serangan penyakit itu dianggap ekstrem. Penyebaran spora jamur Phytophora itu mampu membubung hingga ketinggian 30 meter dari permukaan tanah, dan ditemukan juga hingga tiga meter di bawah permukaan tanah.
Dalam penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), kebun yang terkontaminasi oleh spora jamur tersebut sulit diatasi. "Kalau kami menyemprot tanaman yang belum terkena, misalnya, spora yang berada di antara tanaman satu dengan tanaman lain sulit dikendalikan, termasuk yang berada di dalam tanah," tutur Eka Saputra.
Dalam kajian Dinas Perkebunan Lampung, upaya intensifikasi dan rehabilitasi lahan kurang memberikan hasil optimal. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan Dinas Perkebunan akhirnya melakukan rotasi lahan.
Artinya, kawasan yang pada masa lalu dikenal sebagai penghasil lada hitam yang dialihkan menjadi penghasil komoditas lainnya diharapkan dapat dikembalikan menjadi perkebunan lada rakyat. Tanggamus, misalnya, pada masa Belanda dahulu sebagai kawasan lada di Lampung, saat ini berubah menjadi penghasil kopi.
Memang upaya itu bakal terkendala oleh minat petani terhadap komoditas tersebut. Apalagi saat ini harga lada tidak cukup baik untuk menarik petani menanam kembali komoditas itu. Salah satu cara yang mungkin dapat ditempuh adalah menganjurkan diversifikasi tanaman. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
No comments:
Post a Comment