-- Helena F Nababan
PROVINSI Lampung, memiliki dua taman nasional. Di Kabupaten Lampung Timur, terdapat Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Di Kabupaten Lampung Barat terdapat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pekan ini, gajah-gajah di taman nasional sisi barat baru saja usai mengamuk. Sedangkan di sisi timur, catatan amukan mereka mirip catatan mahasiswa demonstran: gigih dan terus-menerus.
Aksi gajah-gajah liar di dua taman nasional itu, mestinya jadi pertanda alam dan pertanda zaman bahwa kriris lingkungan negeri ini begitu serius, dan komitmen kita mengawal berbagai program kerja, termasuk taman nasional di seantero Nusantara, ternyata mengecewakan.
Jadi, jangan pernah menyalahkan gajah, jika mereka mengamuk dan merusak ladang milik warga. Alasannya, mamalia yang aktif di malam hari itu, terganggu akibat habitat mereka telah diubah manusia jadi kebun atau sawah.
Gajah memiliki penciuman sangat tajam, sehingga bisa membaui tanaman padi meski jaraknya jauh. Tatkala habitat menyempit dan pakan gajah berkurang di taman nasional, maka tanaman padi penduduk yang siap dipanen jadi santapan empuk gajah-gajah liar.
Yang mengherankan, warga yang marah juga bereaksi keras. Mereka marah, dan menganggap gajah sebagai hama. Lalu gajah dianggap layak diburu, bahkan dibunuh layaknya tikus. Situasi ini secara tidak langsung "memberi" legalitas aksi pemburuan gajah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung sampai menggunakan istilah "konflik" untuk kejadian manusia berhadapan langsung dengan gajah liar ini.
Menurut BKSDA, di TNWK, dan TNBBS Provinsi Lampung, "konflik" antara gajah dan manusia periode 1999-2006, begitu sering. Konflik tertinggi terjadi tahun 2000, yaitu 10 kejadian, dan melibatkan sekitar 154 ekor gajah liar. Tahun 1999 (3 konflik, melibatkan 33 gajah). Tahun 2001 (8 kasus, melibatkan 36 gajah, dan dua orang tewas karena diserang gajah). Tahun 2002 (9 konflik, melibatkan 74 gajah, dan satu orang meninggal) Tahun 2003 (4 konlfik, melibatkan 70 gajah), tahun 2004 (2 konflik, melibatkan 26 gajah), tahun 2005 (4 konflik, melibatkan 53 gajah). Tahun 2006 (1 konflik, melibatkan 9 gajah).
Sedangkan pada periode Januari-Maret 2007, konflik gajah melawan manusia di TNBBS, telah terjadi dua kali, dan 2 orang penduduk setempat tewas karena amukan enam ekor gajah liar.
Konflik antara gajah dan manusia kebanyakan terjadi di Desa Labuhan Ratu 9, Labuhan Ratu 6, Labuhan Ratu 7, Braja Asri, dan di Braja Yekti, Kabupaten Lampung Timur. Ditengarai, konflik paling sering terjadi ialah saat musim tanam padi, saat musim hujan, dan saat musim kering, terutama di daerah rawa-rawa.
Kepala BKSDA Lampung Agus Haryanta mengatakan, konflik antara gajah dan manusia muncul sejak 1998. Penyebab utamanya adalah perambahan hutan, dan perburuan liar, akibat kriris ekonomi yang memuncak tahun 1997. Penduduk kehilangan mata pencaharian, dan mereka kemudian merambah dan menjarah isi hutan.
Di mata Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, rebutan lahan antara gajah dan manusia memang tak terelakkan. "Di sini perlu dicari cara supaya masyarakat memahami pentingnya menyelamatkan gajah, bahkan badak, dan harimau beserta hutannya; sementara pengelola TNWK bisa menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan ekonomi," ujar Donny.
Salah satu aktivitas yang dilakukan petugas patroli dari Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja sama dengan Rhino Protection Unit (RPU) Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di akhir November 2006 bertujuan untuk menjaga supaya gajah-gajah liar tidak masuk ke lingkungan perladangan warga dan merusak tanaman.
Dengan bantuan warga sekitar kawasan yang sudah dibentuk ke dalam kelompok Crop Protection Unit (CPU), patroli juga bertugas menghalau gajah, dan menghindarkan terjadinya konflik.
Dibayangi konflik
Andai interaksi antara penghuni TNWK dan warga sekitarnya berjalan baik, maka perburuan liar; konflik antara satwa dan manusia; serta perambahan hutan tidak perlu terjadi.
Meski perdebatan definisi tentang taman nasional bisa tak kunjung usai, yang jelas di kawasan TNWK yang luasnya 125.621,30 hektar ini dikelilingi 36 desa, tersebar di Kecamatan Labuhan Maringgai, Sukadana, dan Way Jepara. Warga di sekitar luar TNWK itu, dengan sendirinya juga rentan gangguan satwa. Penyebabnya, tentu saja intervensi penduduk yang keluar-masuk merambah hutan yang konsepnya seharusnya tertutup itu.
Penduduk, bisa menebang pepohonan di kawasan TNWK, bercocok tanam padi, dan singkong di areal perambahan. Padahal, areal perambahan itu termasuk wilayah jelajah mamalia Sumatera seperti gajah liar (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), hingga badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang diperkirakan masih ada di TNWK.
Perambahan, mempersempit areal habitat hewan. Dari luas 125.621,30 hektar, sekitar 40 persennya merupakan kawasan ilalang, dan sisanya hutan sekunder yang luasnya sudah berkurang 15 hingga 20 persen. Belum lagi, ancaman kebakaran saban tahun, di areal semak TNWK.
Kepala TNWK Mega Haryanta mengatakan, untuk menghindarkan perburuan, cara-cara seperti pemberian kartu pas masuk kawasan untuk memancing sempat dibuat. Namun kartu pas itu justru memicu konflik yang lebih luas karena hanya beberapa desa saja yang mendapat kesempatan.
Akhirnya, perambahan tetap meluas karena TNWK bisa dimasuki dari berbagai titik. Akses ini meningkatkan kegiatan perburuan liar dan meningkatkan kasus kebakaran hutan.
Koordinator Elephant Project WCS-IP, Donny, menilai ini masalah klasik TNWK, yang berakibat penurunan populasi gajah, harimau, dan badak Sumatera.
Kasus tewasnya 12 gajah di Riau tahun 1998 akibat diracun orang, karena perburuan dan konflik manusia-gajah. Turunnya populasi gajah, juga akibat minimnya perawatan dokter hewan sehingga beberapa gajah mati di Pusat Latihan Gajah Riau.
Taufik Sulaeman, Asisten Koordinator Elephant Project WCS-IP mengatakan, perlengkapan teknis seperti itu bisa saja dikerjakan. Namun yang terpenting bagaimana memberi pengertian kepada masyarakat sekitar kawasan, hidup berbatasan dengan kawasan TNWK sudah pasti akan terus mendapat gangguan dari gajah-gajah liar. Supaya warga tidak marah dan memburu gajah, dibutuhkan upaya membuat warga mengerti. "Gajah, harimau, dan badak harus ditempatkan sebagai obyek penyelamatan, yang otomatis juga akan menyelamatkan hutannya."
Dwi Nugroho Adhiasto, Koordinator Wildlife Crime Unit (WCU) WCS-IP melihat perburuan harimau karena nilai ekonomnya yang tinggi, untuk aksesori dan estetika, nilai sosial psikologi lambang kekuatan, nilai medis obat tradisional, nilai magis mitos-mitos, atau akibat konflik itu. Perburuan dan perdagangan gading gajah dan harimau di Lampung terus meningkat tiga tahun terakhir di TNWK dan di TNBBS. Antara tahun 2003- 2006, 19 tersangka dan satu kelompok pemburu di wilayah TNWK ditangkap. Dari 19 tersangka, dua di antaranya perajin gading sekaligus penjual, 9 orang pemburu, dan 8 orang pedagang. Disinyalir, keterlibatan oknum TNWK.
Jika sinyalemen krisis ekonomi 1997 dianggap pemicu semua krisis lingkungan, kita tidak tahu lagi dari mana harus mendongeng gajah dan kancil....
Sumber: Kompas, Selasa, 27 Maret 2007
No comments:
Post a Comment