SANGAT meyakinkan. Bayangkan, hingga akhir 2003 produksi lada Vietnam mencapai 85.000 ton atau sekitar 26 persen dari total produksi lada dunia. Padahal dunia tahu, Vietnam adalah negara kecil yang baru dalam dua dekade terakhir mulai memulihkan diri dari kehancuran akibat deraan perang.
VOLUME produksi itu mencengangkan lantaran pada 1997 lalu produksi lada Vietnam masih berada pada angka 25.000 ton. Dari data Komunitas Lada Internasional (IPC), tujuh tahun terakhir produksi lada Vietnam meningkat luar biasa.
Setelah sempat turun pada 1998 hanya 22.000 ton, Vietnam lewat kebijakan subsidi kepada petani mampu meningkatkan produksi lada hingga 30.000 ton pada 1999. Produksi itu tiap tahun meningkat hingga 85.000 ton pada 2003.
Pertumbuhan produksi 2003 meningkat hingga 13 persen dibandingkan dengan produksi 2002 yang 75.000 ton. Angka itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan pencapaian kinerja perkebunan lada Indonesia.
Tahun 1997, produksi lada Indonesia 43.291 ton, jauh berbeda dari produksi Vietnam yang 25.000 ton. Namun, berbeda dengan Vietnam, pada 1998 ketika produksi lada Vietnam turun hingga 22.000 ton, produksi lada Indonesia naik menjadi 56.250 ton. Namun, setelah itu turun hingga 44.500 ton pada 1999.
Produksi lada Indonesia sempat melonjak pada tahun 2000 dengan produksi 77.500 ton. Namun tahun-tahun berikutnya turun kembali, hingga pada 2003 lalu produksi lada nasional hanya 67.000 ton.
Dari total produksi lada tersebut, 57.000 ton diekspor. Pada tahun yang sama Vietnam mengekspor 82.000 ton lada. Sebagai catatan, sejak 2001 Vietnam mengambil alih pangsa pasar lada dunia, setelah sebelumnya pasar lada dunia selalu didominasi produk asal Indonesia, Brasil, dan India.
SECARA khusus, dari total produksi lada Indonesia pada 2003, 35.000 ton di antaranya lada hitam. Sebanyak 33.000 ton produksi lada hitam diserap pasar ekspor. Namun, angka itu jauh dari produksi dan ekspor Vietnam yang 80.000 ton produksi dan 77.500 ton diekspor.
Lampung sebagai produsen lada nasional memasok hampir semua komoditas ekspor itu. Tahun 2003 lalu volume ekspor lada hitam asal Lampung 33.000 ton lebih. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang 18.968 ton lebih.
Seorang eksportir lada asal Lampung, Sumita, mengatakan, kinerja lada nasional terkendala oleh harga lada di pasar dunia. "Kita belum dapat menjadi market leader. Kita kalah jauh oleh Vietnam yang produksinya tiga kali lipat dari Indonesia," tutur Sumita.
Padahal, harga komoditas ini sangat bergantung pada kesepakatan transaksi antara eksportir dan pembeli. "Harga lada asal Vietnam lebih kompetitif sebab mereka lebih efisien dalam proses produksi. Biaya produksinya juga kecil, selain itu mutunya bagus. Lada kita mutunya bagus, tetapi biaya produksinya besar sehingga harganya kurang kompetitif," tutur Sumita menambahkan.
Dengan harga yang rendah, kualitas yang baik, dan produksi tinggi, tak heran jika Vietnam kemudian menguasai pasar lada dunia. Saat ini Vietnam mampu menghasilkan lada kering hingga 1,5 ton per hektar, sedangkan petani Lampung rata-rata 800 kilogram per hektar.
Kecilnya produksi tersebut disebabkan kurangnya pemupukan oleh petani. Tak mengherankan jika harga lada memburuk, produksi pun menyusut, lantaran mereka tidak memiliki modal untuk memupuk.
Sumita berharap petani Lampung dapat bekerja sama dengan Dinas Perkebunan mencari langkah-langkah tepat, agar produksi lada dapat meningkat serta menyerap modal seminim mungkin. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar lada asal Indonesia, khususnya lada hitam asal Lampung.
Saat ini, untuk lada hitam bermutu baik, eksportir hanya memberi harga dasar sekitar Rp 10.500 per kilogram. Harga itu lebih baik daripada harga lada pada awal tahun ini yang hanya Rp 9.000 per kilogram.
Dengan membaiknya harga lada itu, petani lada diharapkan dapat melakukan pemupukan. "Kalau saya, harga bagus atau tidak bagus tetap saja memupuk. Itu kuncinya kalau bertanam lada," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Bahkan, saat ini ia tengah menjalin kerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor untuk mengembangkan lada varietas Natar I, Bulok Belantung, dan varietas 59 asal India. Sadirin berharap usahanya itu dapat diikuti petani lain.
"Saya sudah memberikan beberapa stek bibit kepada rekan- rekan petani. Sekarang tergantung mereka masing-masing mau mengembangkan atau tidak. Kalau saya, mati hidup akan mengembangkan lada," ucapnya.
Dari catatan Dinas Perkebunan Lampung, saat ini terdapat 11.185 hektar kebun lada yang belum menghasilkan, dan 45.580 hektar kebun lada yang menghasilkan. Selebihnya, 8.200 hektar, merupakan lahan yang tidak menghasilkan atau rusak.
Sayangnya, dari lahan 45.580 hektar itu tingkat produktivitas lada Lampung cukup rendah, 516 kilogram per hektar. Padahal, dari lahan-lahan itu diharapkan produksi lada Lampung terus mengalir.
Pada 2003 lalu tercatat produksi lada Lampung mencapai 23.517 ton. Tahun 2004 ini diperkirakan produksi lada akan turun hingga 70 persen, bahkan kemungkinan lebih, karena curah hujan yang cukup tinggi akhir tahun lalu.
Meski demikian, kemungkinan kinerja ekspor lada hitam asal Lampung tidak akan banyak terganggu karena stok pada tahun berjalan masih mencapai 7.000 ton lebih.
Tampaknya perlu upaya keras agar lada hitam Indonesia yang pernah berjaya sejak masa kerajaan-kerajaan tempo dulu, tidak makin terempas oleh makin kuatnya dominasi Vietnam di bidang pertanian dan perkebunan. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004
No comments:
Post a Comment