Oleh Endriyono
SUDAH diumumkan. Dan, semua pecinta sastra pasti sudah tahu siapa pemenangnya. Kompas tetap menunjukkan kelasnya, penjaga gawang sastra tanah air yang ketika Orde Lama dipegang Balai Pustaka. Mungkin di zaman Orde Baru, ada perbalahan, wasit penjaga sastra antara majalah Horison atau Kementerian P & K.
Konsistensi Kompas, di tengah sepi dan pudarnya
produk sastra, tetap membuka ruang kreasi yang suar. Balai Pustaka meredup,
majalah sastra Horison kembang kempis,
kebudayaan dinegasi jadi bagian suboordinasi pendidikan, lalu dibelah lagi
antara kesenian, kesusastraan atau norma sosial? Jadi, sastra itu di bawah
Perpustakaan atau Kementerian Pendidikan?
Di tengah kekacauan induk
utama penaung sastra tanah air, Kompas
mengambil peran startegis. Dan anggapan pemenang cerpen Kompas yang seolah
sektarian (?) Sebab, tahun lalu pemenangnya "Keluarga Kudus". Tahun
ini, "Ihwal Nama Majid Pucuk". Dan di berita utamanya, disebut hampir
semua cerpen yang bertema realitas sosial yang dipilih.
Warga Lampung, layak
bersyukur. Sebab, ada nama Yulizar Lubay masuk nominasi.
Kalau kita lihat, cerpen
dia berkisah Ibrahim yang punya anak diberi nama Sabili, yang selalu diberi
petuah dari cerita nabi-nabi, selalu dibacakan salawat. Membuat saya secara
pribadi hanyut. Tersentuh. Bahkan bergetar ketika membaca diksi penutup cerpen
anak teater Kober berjudul "Kabar Gembira" itu. Indah yang aneh.
Estetika yang mistis.
Dulu, Lampung Post selalu punya sastra Minggu. Ada cerpen, puisi, dan
rubrik Apresiasi yang menampung beragam esei tentang humaniora atau sastra.
Ketika redakturnya Udo Z Karzi, saya pernah usul buatlah "Cerpen Pilihan
Lampost" yang khusus untuk orang/karya Lampung. Entahlah, sampai sekarang
belum tersusun. Sampai koran yang edisi Minggu dan Sabtunya digabung.
Sastra mungkin belum
dianggap sebagai capaian kerja kebudayaan di banyak institusi atau lembaga,
termasuk pemerintah. Sehingga teks sastra sedikit sekali diproduksi. Mungkin
juga karena rendahnya literasi orang Indonesia yang berbasis riset, disebut;
"hanya ada 1 orang dari seribu orang yang gemar membaca buku."
Kisah Ibrahim di cerpen
Yulizar itu, tepatnya pada kasus bayi sakit yang dibawa ke Jakarta. Saya pernah
bertemu dengan beberapa orang tua yang tertatih-tatih di rumah singgah.
Beruntung, ada LSM model Peduli Generasi, Budha Suci, dll yang sangat membantu
mereka. Yang jika diangkat menjadi karya sastra ternyata luar biasa memberi
pengajaran pada hikmah kehidupan. Tentu, tanpa memperbandingkan dengan karya
jurnalistik, sastra jelas jauh lebih punya daya sublim ke nurani pembaca.
Setidaknya itu yang saya tangkap dari fenomena manusia gerobak di berita
beberapa tahun lalu, jika disandingkan dengan pentas teater Potlot almarhum
Bang Conie yang mementaskan Majhi di Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS.
Cerpen Realisme Sosial
Mencuri Perhatian jadi headline Kompas,
Sabtu, 28 Oktober 2023. Ia menabalkan kredo Pablo Neruda bahwa sastra mesti
terlibat. Sastra adalah bentuk perlawanan dan perubahan sosial. Pablo Neruda
yang aktif dalam politik dan diplomasi, menggunakan puisi-puisinya sebagai alat
untuk menyuarakan aspirasi dan protes terhadap ketidakadilan dan penindasan. Ia
juga mendukung gerakan-gerakan revolusioner di Amerika Latin dan dunia. Ia
pernah berkata: "Saya tidak bisa tetap diam di hadapan apa yang terjadi di
dunia."
Begitu juga Pramudya
Ananta Toer, WS Redra, Taufik Ismail, yang secara tegas menyuarakan realitas
dalam karya-karyanya sebagai bentuk perlawanan pada kebobrokan sekaligus
menegaskan posisi teks sastra sebagai salah satu pemandu moral.
Dan pada Ihwal Nama Majid Pucuk: Cerpen Pilihan
Kompas 2022 ini, kita saksikan realitas sosial yang disorot dalam beragam
perspektif. Bahkan beberapa di antaranya dibiarkan menggantung pertanyaan.
Siapa pembunuh, Anwar Sadat yang sebenarnya tak dijawab secara lugas pada
cerpen "Ihwal Nama Majid Pucuk". Namun itulah sastra, kadang pada
proses ambigunya dan menyerahkan kesimpulan benar salah pada pembaca, jadi
magnet yang lebih dramatis. Yang berhasil. Sebab, lebih memberikan divergensi
makna.
Selamat bagi semua
cerpenis yang terpilih. Terutama, selamat bagi Yulizar Lubay. []
---------
Endriyono, Esais, Tinggal di
Bandarlampung
Sumber:
Inilampung.com, Sabtu, 28 Oktober
2023
No comments:
Post a Comment