BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hasil penelitian dan karya ilmiah berbagai pakar dunia yang menyebutkan Kota Mekah Al Mukaromah, Arab Saudi, sebagai titik pusat bumi perlu dimasyarakatkan agar koreksi waktu dan penanggalan bisa dilakukan. Namun, sosialisasi ini harus cermat dilakukan agar tidak terjadi keresahan dan kesalahpahaman.
PELUNCURAN BUKU. Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya bersama penerjemah buku Kabah Pusat Dunia Iwan Nurdaya-Djafar (kedua dari kiri) dan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Prof. M.A. Achlami H.S. menjadi pembicara dalam diskusi publik dan peluncuran buku Kabah Pusat Dunia di Wisma Unila, Jumat (29-4). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Kesimpulan itu terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Kakbah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah dengan pembicara budayawan Iwan Nurdaya Djafar, Dekan II IAIN Lampung Achlami, dan Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya di Wisma Dahlia Universitas Lampung, Jumat (29-4).
Buku yang ditulis Saad Muhammad Al-Marsafy dan diterjemahkan Iwan Nurdaya Djafar itu menyebutkan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Husain Kamaluddin dan dipublikasikan The Egyptian Scholars of The Sun and Space Research Center, Kairo, Mesir, memuat peta dunia baru. Peta ini menunjukkan Mekah dan kota-kota dunia.
Dengan penggunaan perkiraan matematika dan kaidah spherical triangle, Husain menyimpulkan kedudukan Mekah betul-betul di tengah-tengah deratan bumi. Buku ini memuat bukti bumi berkembang dari Mekah.
Buku terbitan Ilagaligo Publisher ini sekaligus mematahkan asumsi yang ratusan tahun dipakai dunia yakni Greenwich, kota kecil di pinggiran Kota London, Inggris, berada di garis bujur 0 derajat.
Penetapan Greenwich sebagai patokan waktu dunia, menurut Iwan Nurdaya, tidak berdasarkan penelitian ilmiah, hanya resolusi kedua Konferensi Garis Bujur Internasional di Washington DC, pada Oktober 1884.
"Banyak dampak dari koreksi waktu ini. Jika berpatokan pada waktu Mekah, seharusnya salat Jumat dilakukan Sabtu. Kemudian, perbedaan waktu puasa, Idulfitri, dan Iduladha, bisa dihindari. Namun, koreksi ini tentu butuh waktu lama dan kesepakatan bersama. Kami berharap buku ini dapat memberikan pemahaman bagi umat Islam terhadap karya ilmiah ini," kata Iwan.
Perubahan standar waktu ini, menurut Bambang Eka Wijaya, bukan hal yang harus diributkan. "Dalam mengukur suhu saja bisa beda. Ada yang pakai Celsius dan Fahrenheit. Kenapa tak berani pakai Kakbah Mean Time untuk menggantikan Greenwich Mean Time (GMT)," kata Bambang. (MIN/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 April 20
April 30, 2011
Diskusi Buku "Kabah Pusat Dunia": Penerapan Jam Hijriah Perlu Dikaji
Dari penelitiannya, Dr Husain Kamaluddin, ilmuwan asal Mesir menyatakan, Makkah Al-Mukarramah merupakan pusat daratan bumi. Dengan begitu, waktu dunia seharusnya tidak lagi berpusat di Greenwich. Namun, meski sudah digulirkan sejak 1997, bukti ilmiah ini tidak serta merta membuat jam Hijriah dijadikan rujukan penentu waktu.
PUSAT DUNIA - Iwan Nurdaya Djafar (kiri) penerjemah buku Kabah Pusat Dunia dan Prof Dr MA Achlami HAS (kanan) saat diskusi di Wisma Dahlia Unila, Jumat (29/4). (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/MARZULIA)
Aneka pendapat mengemuka dalam acara bedah buku "Kabah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah", yang digelar Yayasan Wakaf Lampung Peduli, di Wisma Dahlia Universitas Lampung, Jumat (29/4/2011).
Sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, dan agamawan, silih berganti urun komentar atas buku karangan Saad Muhamad Al- Marsafy yang diterjemahkan dari versi Inggris-nya oleh budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar.
Husain Kamaluddin mendasarkan teorinya dengan pendekatan matematika dan kaidah yang disebut spherical triangle. Dengan perkiraan itu, maka kedudukan Makkah berada tepat di pusat daratan bumi. Husain juga menggambarkan proyeksi peta menggunakan program komputer tentang arah kiblat, dan hasilnya menunjukkan Makkah merupakan pusat dari suatu lingkaran yang melintasi semua benua.
Penelitian ini sekaligus membantah asumsi selama lebih seratus tahun bahwa Greenwich, kota kecil di pinggiran London, Inggris, berada di garis bujur nol derajat. Penasbihan Greenwich sebagai pusat dunia tercantum secara resmi pada resolusi kedua Konperensi Garis Bujur Internasional di Washington DC pada Oktober 1884.
"Jika para pemegang otoritas memang meyakini Makkah sebagai pusat daratan dunia, maka mestinya ada penyesuaian waktu yang sejak 1884 sudah digunakan umat Islam di dunia," kata Iwan Nurdaya Djafar. Iwan menjelaskan, dengan kesepakatan di Washington DC, sejak itu waktu di Indonesia mundur 28 jam.
Fakta ini juga memunculkan gagasan untuk membuat dan menerapkan jam Hijriah. "Kalau jam Hijriah ditetapkan, dan Makkah sebagai pusatnya berada di titik nol derajat, maka ibadah shaum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri bisa berlangsung di hari yang sama di seluruh dunia," terus Iwan.
Namun, persoalan tentu tidak sesederhana itu. Jika jam Hijriah diterapkan, maka waktu-waktu ibadah yang selama ini merujuk jam konvensional, harus disesuaikan. Mulai dari waktu salat wajib, salat Jumat, salat-salat sunah, hingga waktu puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah seperti puasa Senin-Kamis.
Selama ini, waktu Jakarta lebih cepat empat jam daripada Makkah. Dengan menempatkan Makkah di titik nol derajat, maka posisi Jakarta menjadi 19 jam 36 menit di belakang Kota Makkah.
Tokoh Nahdatul Ulama (NU) Arief Mahya mengatakan, penerapan jam Hijriah sebaiknya jangan terlalu tergesa-gesa. Selain cukup sensitif, hal ini juga dapat membingungkan umat muslim di dunia, terutama terkait penyesuaian waktu ibadah.
"Saya juga kurang setuju ada kata mukjizat dalam judul buku tersebut. Karena yang menerima mukjizat hanya lah nabi dan rasul-Nya," ujarnya.
Anshori Djausal, akademisi dari Univeristas Lampung, menuturkan, penerapan jam Hijriah memerlukan pengkajian lebih lanjut dan harus berhati-hati. Menurut dia, selama ini Indonesia sudah tidak asing dengan penanggalan Hijriah, di samping sistem Masehi. "Makkah sebagai pusat bumi, tidak mesti hanya bermakna fisik. Hati dan pikiran kita yang dipusatkan ke Makkah," terang Anshori.
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya mengatakan, umat Islam seharusnya bisa menerima keberadaan jam Hijriah, karena selama ini pun bisa menerima kalender atau penanggalan Hijriah. "Saatnya umat Islam memiliki jam Hijriah.
Namun hal ini memang perlu dikaji kembali karena menyangkut pelaksanaan ibadah," imbuh wartawan senior yang menjadi salah satu pembicara diskusi yang dimoderatori Koordinator Liputan Tribun Lampung Juwendra Asdiansyah ini.
Pembicara lainnya, Dekan Fakultas Dakwah IAIN Lampung Prof Dr MA Achlami berpendapat serupa. Menurutnya, yang terpenting adalah memulai mewacanakan kepada masyarakat tentang keberadaan Makkah sebagai pusat dunia. "Kalau bisa diterima masyarakat dengan baik, tidak masalah," katanya.
Untuk pembuatan jam Hijriah ini, Kepala Bank Syariah Mandiri cabang Lampung Yulius Agung memberi tawaran konkrit. Ia menyatakan kesanggupan untuk menfasilitasi pendanaan pembuatan jam yang arah putaran jamnya dari kanan ke kiri tersebut.
Menurut Iwan Nurdaya, jam konvensional dan jam Hijriah memang tidak bisa disamakan, karena acuan titik bujur yang berbeda jauh. "Ini memang perlu pengkajian lebih dalam, karena menyangkut unsur keyakinan seseorang," tukasnya.(tika rochmawatie)
Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 30 April 2011
PUSAT DUNIA - Iwan Nurdaya Djafar (kiri) penerjemah buku Kabah Pusat Dunia dan Prof Dr MA Achlami HAS (kanan) saat diskusi di Wisma Dahlia Unila, Jumat (29/4). (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/MARZULIA)
Aneka pendapat mengemuka dalam acara bedah buku "Kabah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah", yang digelar Yayasan Wakaf Lampung Peduli, di Wisma Dahlia Universitas Lampung, Jumat (29/4/2011).
Sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, dan agamawan, silih berganti urun komentar atas buku karangan Saad Muhamad Al- Marsafy yang diterjemahkan dari versi Inggris-nya oleh budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar.
Husain Kamaluddin mendasarkan teorinya dengan pendekatan matematika dan kaidah yang disebut spherical triangle. Dengan perkiraan itu, maka kedudukan Makkah berada tepat di pusat daratan bumi. Husain juga menggambarkan proyeksi peta menggunakan program komputer tentang arah kiblat, dan hasilnya menunjukkan Makkah merupakan pusat dari suatu lingkaran yang melintasi semua benua.
Penelitian ini sekaligus membantah asumsi selama lebih seratus tahun bahwa Greenwich, kota kecil di pinggiran London, Inggris, berada di garis bujur nol derajat. Penasbihan Greenwich sebagai pusat dunia tercantum secara resmi pada resolusi kedua Konperensi Garis Bujur Internasional di Washington DC pada Oktober 1884.
"Jika para pemegang otoritas memang meyakini Makkah sebagai pusat daratan dunia, maka mestinya ada penyesuaian waktu yang sejak 1884 sudah digunakan umat Islam di dunia," kata Iwan Nurdaya Djafar. Iwan menjelaskan, dengan kesepakatan di Washington DC, sejak itu waktu di Indonesia mundur 28 jam.
Fakta ini juga memunculkan gagasan untuk membuat dan menerapkan jam Hijriah. "Kalau jam Hijriah ditetapkan, dan Makkah sebagai pusatnya berada di titik nol derajat, maka ibadah shaum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri bisa berlangsung di hari yang sama di seluruh dunia," terus Iwan.
Namun, persoalan tentu tidak sesederhana itu. Jika jam Hijriah diterapkan, maka waktu-waktu ibadah yang selama ini merujuk jam konvensional, harus disesuaikan. Mulai dari waktu salat wajib, salat Jumat, salat-salat sunah, hingga waktu puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah seperti puasa Senin-Kamis.
Selama ini, waktu Jakarta lebih cepat empat jam daripada Makkah. Dengan menempatkan Makkah di titik nol derajat, maka posisi Jakarta menjadi 19 jam 36 menit di belakang Kota Makkah.
Tokoh Nahdatul Ulama (NU) Arief Mahya mengatakan, penerapan jam Hijriah sebaiknya jangan terlalu tergesa-gesa. Selain cukup sensitif, hal ini juga dapat membingungkan umat muslim di dunia, terutama terkait penyesuaian waktu ibadah.
"Saya juga kurang setuju ada kata mukjizat dalam judul buku tersebut. Karena yang menerima mukjizat hanya lah nabi dan rasul-Nya," ujarnya.
Anshori Djausal, akademisi dari Univeristas Lampung, menuturkan, penerapan jam Hijriah memerlukan pengkajian lebih lanjut dan harus berhati-hati. Menurut dia, selama ini Indonesia sudah tidak asing dengan penanggalan Hijriah, di samping sistem Masehi. "Makkah sebagai pusat bumi, tidak mesti hanya bermakna fisik. Hati dan pikiran kita yang dipusatkan ke Makkah," terang Anshori.
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya mengatakan, umat Islam seharusnya bisa menerima keberadaan jam Hijriah, karena selama ini pun bisa menerima kalender atau penanggalan Hijriah. "Saatnya umat Islam memiliki jam Hijriah.
Namun hal ini memang perlu dikaji kembali karena menyangkut pelaksanaan ibadah," imbuh wartawan senior yang menjadi salah satu pembicara diskusi yang dimoderatori Koordinator Liputan Tribun Lampung Juwendra Asdiansyah ini.
Pembicara lainnya, Dekan Fakultas Dakwah IAIN Lampung Prof Dr MA Achlami berpendapat serupa. Menurutnya, yang terpenting adalah memulai mewacanakan kepada masyarakat tentang keberadaan Makkah sebagai pusat dunia. "Kalau bisa diterima masyarakat dengan baik, tidak masalah," katanya.
Untuk pembuatan jam Hijriah ini, Kepala Bank Syariah Mandiri cabang Lampung Yulius Agung memberi tawaran konkrit. Ia menyatakan kesanggupan untuk menfasilitasi pendanaan pembuatan jam yang arah putaran jamnya dari kanan ke kiri tersebut.
Menurut Iwan Nurdaya, jam konvensional dan jam Hijriah memang tidak bisa disamakan, karena acuan titik bujur yang berbeda jauh. "Ini memang perlu pengkajian lebih dalam, karena menyangkut unsur keyakinan seseorang," tukasnya.(tika rochmawatie)
Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 30 April 2011
April 29, 2011
Mati-matian Memperjuangkan Imej Pasar Seni
PASAR Seni dapat dikatakan memiliki fungsi ganda. Selain sebagai `pasar' tempat transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, ia pun berfungsi sebagai tempat berkumpulnya beberapa komunitas. Mulai dari komunitas seni tari hingga seni musik.
Pasar seni
(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/ MARZULI)
SIANG itu, di atas panggung terbuka yang digunakan untuk menggelar pentas musik, tari, dan festival, sejumlah pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah asyik meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti koreografi dari sang instruktur tari.
Di sisi lain, nampak beberapa anak muda tengah membuat kerajinan tangan di salah satu pondok yang menjual benda-benda kerajinan.
"Aktivitas di sini ramainya kalau sore. Mulai dari latihan tari sampai yang membuat cinderamata. Tapi yang paling kelihatan aktif ya sanggar tari," ujar Septian Saputra, salah seorang anggota Komunitas Reggae Lampung (Koral) Pasar Seni Bandar Lampung, Jumat (29/4/2011).
Menurutnya, pondok sanggar tari yang terdapat di Pasar Seni merupakan yang terbanyak dari 27 pondok yang ada. Pondok sanggar tari yang ada berjumlah lima. Beberapa pondok lainnya dimanfaatkan para seniman untuk membuat hasil karya seni seperti cinderamata dan lukisan. Sementara sebagian pondok tidak ditempati.
Toni, salah seorang perajin cinderamata yang sudah enam tahun berkecimpung di Pasar Seni mengatakan, hanya beberapa pondok saja di sini yang memajang dan menjual benda-benda hasil kerajinan, lukisan, dan makanan khas daerah. Selebihnya hanya menjadi sebuah perkumpulan komunitas.
Menurut dia, sebagai sebuah pasar seharusnya pondok-pondok yang ada lebih didominasi oleh penjualan karya seni. "Yang namanya pasar seni, ya seharusnya lebih banyak menjual karya-karya seni. Bukan hanya tempat berkumpulnya komunitas-komunitas tertentu," tuturnya.
Toni memaparkan, tak jarang sebagian masyarakat menilai bahwa bangunan yang terletak di Jalan Sriwijaya, Pahoman tersebut kerap digunakan untuk kegiatan yang negatif. Mulai dari wilayah mangkal penjaja seks komersial, tempat mesum, hingga konsumsi minum minuman keras.
Dia menjelaskan, dampak lingkungan yang tidak kondusif di sekitar kompleks Gelanggang Olahraga Saburai menjadi salah satu penyebab hilangnya pamor Pasar Seni Lampung. "Padahal kami mati-matian memperjuangkan imej PS sebagai tempat murni para seniman," imbuhnya.
Penyebab lain, isu tukar guling yang dilontarkan pemerintah daerah juga turut ambil peran menurunnya aktivitas. Terutama pentas musik. Rudi Ranggas, seorang promotor musik mengatakan, para sponsor malas untuk menyelenggarakan even-even karena isu tersebut.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung berencana menghidupkan kembali Pasar Seni di Enggal, dengan sejumlah kegiatan seperti pertunjukan tari, penampilan band, hingga pengadaan rumah makan.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Disbudpar Bandar Lampung Erni Suud mengatakan, citra Pasar Seni saat ini cenderung negatif, sehingga masyarakat malas datang ke sana.
Untuk menghidupkan kembali Pasar Seni, Disbudpar berupaya melakukan perbaikan-perbaikan, namun tidak menyeluruh dan bukan perbaikan fisik, karena kawasan tersebut merupakan aset pemerintah provinsi.
Agar kondisi dapat terawat, jelas Erni, pihaknya mengharapkan para pemilik pondokan berhimpun membentuk organisasi pengelola Pasar Seni dalam satu kepengurusan.
"Karena merupakan aset pemprov, kami tidak memungut retribusi. Sebagai kompensasi, mereka wajib merawat, menjaga kebersihan, termasuk membersihkan daerah tersebut dari gelandangan yang selama ini banyak ditemui," ujarnya beberapa waktu lalu. (siti nuryani)
Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 29 April 2011
Pasar seni
(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/ MARZULI)
SIANG itu, di atas panggung terbuka yang digunakan untuk menggelar pentas musik, tari, dan festival, sejumlah pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah asyik meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti koreografi dari sang instruktur tari.
Di sisi lain, nampak beberapa anak muda tengah membuat kerajinan tangan di salah satu pondok yang menjual benda-benda kerajinan.
"Aktivitas di sini ramainya kalau sore. Mulai dari latihan tari sampai yang membuat cinderamata. Tapi yang paling kelihatan aktif ya sanggar tari," ujar Septian Saputra, salah seorang anggota Komunitas Reggae Lampung (Koral) Pasar Seni Bandar Lampung, Jumat (29/4/2011).
Menurutnya, pondok sanggar tari yang terdapat di Pasar Seni merupakan yang terbanyak dari 27 pondok yang ada. Pondok sanggar tari yang ada berjumlah lima. Beberapa pondok lainnya dimanfaatkan para seniman untuk membuat hasil karya seni seperti cinderamata dan lukisan. Sementara sebagian pondok tidak ditempati.
Toni, salah seorang perajin cinderamata yang sudah enam tahun berkecimpung di Pasar Seni mengatakan, hanya beberapa pondok saja di sini yang memajang dan menjual benda-benda hasil kerajinan, lukisan, dan makanan khas daerah. Selebihnya hanya menjadi sebuah perkumpulan komunitas.
Menurut dia, sebagai sebuah pasar seharusnya pondok-pondok yang ada lebih didominasi oleh penjualan karya seni. "Yang namanya pasar seni, ya seharusnya lebih banyak menjual karya-karya seni. Bukan hanya tempat berkumpulnya komunitas-komunitas tertentu," tuturnya.
Toni memaparkan, tak jarang sebagian masyarakat menilai bahwa bangunan yang terletak di Jalan Sriwijaya, Pahoman tersebut kerap digunakan untuk kegiatan yang negatif. Mulai dari wilayah mangkal penjaja seks komersial, tempat mesum, hingga konsumsi minum minuman keras.
Dia menjelaskan, dampak lingkungan yang tidak kondusif di sekitar kompleks Gelanggang Olahraga Saburai menjadi salah satu penyebab hilangnya pamor Pasar Seni Lampung. "Padahal kami mati-matian memperjuangkan imej PS sebagai tempat murni para seniman," imbuhnya.
Penyebab lain, isu tukar guling yang dilontarkan pemerintah daerah juga turut ambil peran menurunnya aktivitas. Terutama pentas musik. Rudi Ranggas, seorang promotor musik mengatakan, para sponsor malas untuk menyelenggarakan even-even karena isu tersebut.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung berencana menghidupkan kembali Pasar Seni di Enggal, dengan sejumlah kegiatan seperti pertunjukan tari, penampilan band, hingga pengadaan rumah makan.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Disbudpar Bandar Lampung Erni Suud mengatakan, citra Pasar Seni saat ini cenderung negatif, sehingga masyarakat malas datang ke sana.
Untuk menghidupkan kembali Pasar Seni, Disbudpar berupaya melakukan perbaikan-perbaikan, namun tidak menyeluruh dan bukan perbaikan fisik, karena kawasan tersebut merupakan aset pemerintah provinsi.
Agar kondisi dapat terawat, jelas Erni, pihaknya mengharapkan para pemilik pondokan berhimpun membentuk organisasi pengelola Pasar Seni dalam satu kepengurusan.
"Karena merupakan aset pemprov, kami tidak memungut retribusi. Sebagai kompensasi, mereka wajib merawat, menjaga kebersihan, termasuk membersihkan daerah tersebut dari gelandangan yang selama ini banyak ditemui," ujarnya beberapa waktu lalu. (siti nuryani)
Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 29 April 2011
April 27, 2011
Obituari Ahmad Imam Ghozali: Cerdas dan Bersahaja seperti Tan Malaka
di negeri permai ini/berjuta rakyat bersimbah luka/anak kurus tak sekolah/pemuda desa tak kerja/mereka dirampas haknya/tergusur dan lapar/Bunda, relakan darah juang kami/tuk membebaskan rakyat.
KUMANDANG lagu Darah Juang terdengar pilu di pelataran terminal kargo Bandara Radin Inten II. Puluhan aktivis senior bernyanyi dengan mengepalkan tangan kiri ke atas. Sebagian dari mereka tak kuasa membendung tangis.
Para aktivis itu, di antaranya Dedi Mawardi (mantan direktur LBH), SN Laila (Damar), Idhan Januwardhana (mantan sekjen DRL), Ahmad Yulden Erwin (KoAK), Grace P Nugroho dan Aldi (KBH), Mahendra Utama, dan Rifki Indrawan.
Tampak pula Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri Lampung Yulius Agung dan Wakil Pemred Lampung Post Heri Wardoyo. Dengan mata basah, mereka terpekur mengelilingi peti jenazah yang segera diterbangkan ke Pulau Bangka, tempat kelahiran sosok di dalam peti: Achmad Imam Ghazali.
"Selamat jalan sahabat. Selamat jalan pejuang rakyat. Hidup rakyat! Hidup rakyat!" ujar Rifki sebelum Darah Juang dinyanyikan.
Achmad Imam Ghazali, biasa dipanggil Imam oleh sahabat- sahabatnya, tokoh aktivis, mantan direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH), pengacara, ditemukan meninggal di kediamannya di kawasan Jalan Untung Suropati, Kedaton, Senin (25/4) siang, sekitar pukul 11.00 WIB. Imam yang tinggal sendirian di rumahnya, diduga sudah meninggal satu atau dua hari sebelumnya.
"Hasil visum dokter RSU Abdul Moeloek menyatakan, Imam meninggal karena sakit lever dan jantung. Polisi tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya," ujar Ahmad Yulden Erwin.
Koordinator Komite Anti Korupsi (KoAK) ini salah satu yang sangat terpukul atas meninggalnya Imam yang terkesan tiba-tiba. Bukan semata karena sahabat. Bagi Erwin, pria kelahiran Juni 1972 itu adalah pejuang yang konsisten dan gigih membela kepentingan rakyat kecil.
Beberapa hari jelang meninggal, alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu pun masih menegaskan visinya memperjuangkan nasib rakyat kecil, membantu masyarakat yang tidak punya akses terhadap keadilan. "Kamis malam, kami teleponan. Dia masih bicara soal rakyat. Mengajak bergerak bersama membangun advokasi hukum untuk rakyat kecil. Hukum sudah penuh dengan mafia. Ke mana lagi masyarakat harus mengadu," ujar Erwin mengisahkan dialognya dengan Imam.
Di banding rekan-rekannya sesama aktivis, Imam terbilang jarang tampil di media atau forum-forum yang riuh publikasi. Imam, lebih banyak berjuang dalam 'sunyi'. Ia bergerak di kalangan akar rumput, membangun jaringan, menghimpun basis- basis rakyat dan mengorganisasikan massa di desa-desa.
Lewat KBH yang didirikannya September 1998, ayah dua anak ini, membela ratusan kasus hukum masyarakat miskin yang terbelit persoalan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan. Ia juga mendorong gagasan jaringan paralegal, sebuah model advokasi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat yang rentan secara hukum dengan proses mediasi resolusi konflik.
Menurut Grace P Nugroho, rekannya di KBH, Imam membangun KBH sebagai alat untuk menstimulasi pergerakan rakyat di berbagai daerah di Lampung yang kala itu tengah bergejolak. "Pada 1999, dia memprakarsai Serikat Petani Lampung dan Serikat Mahasiswa Lampung. Tahun 2000, ia membangun Serikat Nelayan Lampung dan Serikat Buruh Lampung, yang kini berhasil masuk anggota Dewan Pengupahan," jelas Grace.
Terakhir, Imam membentuk dan memimpin Parsyarikatan Rakyat (PR), sebuah organisasi yang memayungi seluruh serikat-serikat tersebut. Selain KBH, jejak Imam juga terekam lewat Gerakan Perempuan Lampung (GPL), yang selama dua tahun, sejak 2007, diinisiasinya bersama SN Laila.
"Almarhum selalu optimistik dalam perjuangan. Ia juga rela berkorban. Bahkan, dia pernah meninggalkan pacarnya demi membela rakyat," imbuh Grace.
Meski jauh dari publisitas, di kalangan aktivis dan kelompok pergerakan, Imam adalah sosok yang dikenal luas. Ia adalah salah satu senior yang berada pada kotak yang sama dengan, misalnya, Idhan Januwardhana, SN Laila, atau AY Erwin. "Dia pandai bergaul, senang becanda, dan humoris," lanjut Erwin.
Menurut Grace, sikap dan pemikiran Imam diilhami tiga tokoh pergerakan yang dikaguminya: Soekarno, Che Guevarra, dan Tan Malaka. "Dia selalu bilang, dirinya romantis seperti Soekarno, gigih dalam perjuangan seperti Che Guevarra, dan cerdas serta bersahaja seperti Tan Malaka," tuturnya.
Keteladan ketiga tokoh itu pula yang tampaknya terus menyertai Imam hingga akhir hayatnya. Terlebih Tan Malaka. Dan, seperti halnya Malaka, Imam yang cerdas dan bersahaja, pun meninggal dalam sendiri dan sunyi. Selamat jalan Bung Imam! (juwendra/reza gunadha)
Sumber: Tribun Lampung, Rabu, 27 April 2011
KUMANDANG lagu Darah Juang terdengar pilu di pelataran terminal kargo Bandara Radin Inten II. Puluhan aktivis senior bernyanyi dengan mengepalkan tangan kiri ke atas. Sebagian dari mereka tak kuasa membendung tangis.
Para aktivis itu, di antaranya Dedi Mawardi (mantan direktur LBH), SN Laila (Damar), Idhan Januwardhana (mantan sekjen DRL), Ahmad Yulden Erwin (KoAK), Grace P Nugroho dan Aldi (KBH), Mahendra Utama, dan Rifki Indrawan.
Tampak pula Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri Lampung Yulius Agung dan Wakil Pemred Lampung Post Heri Wardoyo. Dengan mata basah, mereka terpekur mengelilingi peti jenazah yang segera diterbangkan ke Pulau Bangka, tempat kelahiran sosok di dalam peti: Achmad Imam Ghazali.
"Selamat jalan sahabat. Selamat jalan pejuang rakyat. Hidup rakyat! Hidup rakyat!" ujar Rifki sebelum Darah Juang dinyanyikan.
Achmad Imam Ghazali, biasa dipanggil Imam oleh sahabat- sahabatnya, tokoh aktivis, mantan direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH), pengacara, ditemukan meninggal di kediamannya di kawasan Jalan Untung Suropati, Kedaton, Senin (25/4) siang, sekitar pukul 11.00 WIB. Imam yang tinggal sendirian di rumahnya, diduga sudah meninggal satu atau dua hari sebelumnya.
"Hasil visum dokter RSU Abdul Moeloek menyatakan, Imam meninggal karena sakit lever dan jantung. Polisi tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya," ujar Ahmad Yulden Erwin.
Koordinator Komite Anti Korupsi (KoAK) ini salah satu yang sangat terpukul atas meninggalnya Imam yang terkesan tiba-tiba. Bukan semata karena sahabat. Bagi Erwin, pria kelahiran Juni 1972 itu adalah pejuang yang konsisten dan gigih membela kepentingan rakyat kecil.
Beberapa hari jelang meninggal, alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu pun masih menegaskan visinya memperjuangkan nasib rakyat kecil, membantu masyarakat yang tidak punya akses terhadap keadilan. "Kamis malam, kami teleponan. Dia masih bicara soal rakyat. Mengajak bergerak bersama membangun advokasi hukum untuk rakyat kecil. Hukum sudah penuh dengan mafia. Ke mana lagi masyarakat harus mengadu," ujar Erwin mengisahkan dialognya dengan Imam.
Di banding rekan-rekannya sesama aktivis, Imam terbilang jarang tampil di media atau forum-forum yang riuh publikasi. Imam, lebih banyak berjuang dalam 'sunyi'. Ia bergerak di kalangan akar rumput, membangun jaringan, menghimpun basis- basis rakyat dan mengorganisasikan massa di desa-desa.
Lewat KBH yang didirikannya September 1998, ayah dua anak ini, membela ratusan kasus hukum masyarakat miskin yang terbelit persoalan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan. Ia juga mendorong gagasan jaringan paralegal, sebuah model advokasi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat yang rentan secara hukum dengan proses mediasi resolusi konflik.
Menurut Grace P Nugroho, rekannya di KBH, Imam membangun KBH sebagai alat untuk menstimulasi pergerakan rakyat di berbagai daerah di Lampung yang kala itu tengah bergejolak. "Pada 1999, dia memprakarsai Serikat Petani Lampung dan Serikat Mahasiswa Lampung. Tahun 2000, ia membangun Serikat Nelayan Lampung dan Serikat Buruh Lampung, yang kini berhasil masuk anggota Dewan Pengupahan," jelas Grace.
Terakhir, Imam membentuk dan memimpin Parsyarikatan Rakyat (PR), sebuah organisasi yang memayungi seluruh serikat-serikat tersebut. Selain KBH, jejak Imam juga terekam lewat Gerakan Perempuan Lampung (GPL), yang selama dua tahun, sejak 2007, diinisiasinya bersama SN Laila.
"Almarhum selalu optimistik dalam perjuangan. Ia juga rela berkorban. Bahkan, dia pernah meninggalkan pacarnya demi membela rakyat," imbuh Grace.
Meski jauh dari publisitas, di kalangan aktivis dan kelompok pergerakan, Imam adalah sosok yang dikenal luas. Ia adalah salah satu senior yang berada pada kotak yang sama dengan, misalnya, Idhan Januwardhana, SN Laila, atau AY Erwin. "Dia pandai bergaul, senang becanda, dan humoris," lanjut Erwin.
Menurut Grace, sikap dan pemikiran Imam diilhami tiga tokoh pergerakan yang dikaguminya: Soekarno, Che Guevarra, dan Tan Malaka. "Dia selalu bilang, dirinya romantis seperti Soekarno, gigih dalam perjuangan seperti Che Guevarra, dan cerdas serta bersahaja seperti Tan Malaka," tuturnya.
Keteladan ketiga tokoh itu pula yang tampaknya terus menyertai Imam hingga akhir hayatnya. Terlebih Tan Malaka. Dan, seperti halnya Malaka, Imam yang cerdas dan bersahaja, pun meninggal dalam sendiri dan sunyi. Selamat jalan Bung Imam! (juwendra/reza gunadha)
Sumber: Tribun Lampung, Rabu, 27 April 2011
In Memoriam Ahmad Imam Ghozali: Sampai Jumpa Lagi, Imam...
BERITA duka itu datang mengguncang. Ahmad Imam Ghozali (38 tahun) berpulang. Tuhan pasti punya rencana baik di balik misteri ajal, termasuk cara memanggil dan keadaan yang menyokongnya. Aktivis hukum, HAM, dan penggiat pemberdayaan masyarakat itu menemui Sang Khalik dalam kesendirian, tanpa keluarga, kawan, atau kerabat. Bahkan, kematiannya baru diketahui Senin siang lalu, lebih dari 36 jam setelah almarhum melepas napas terakhir.
Kemarin, duka yang dalam menggenangi batin puluhan teman saat melepas jasad ayah dua putra ini di Bandara Radin Inten II Branti. Almarhum diterbangkan ke Pulau Bangka, tanah kelahirannya. Tepat pukul 11.00, pesawat yang membawa jasad Imam lenyap dari pandangan mata, memasuki awan kemukus yang redup dan langit yang mengatup.
Teman-teman seperjuangan, mungkin juga masyarakat Lampung yang pernah terkena sentuhan keikhlasan anak keenam dari sebelas bersaudara kelahiran 6 Juni 1972 ini, mesti rela ditinggal selamanya.
Jumat malam kemarin saya dan Imam terakhir bertemu, makan sop buntut, lalu menelusuri waktu dengan berbincang panjang. Mulai rencana konsolidasi barisan prodemokrasi di Lampung, evaluasinya terhadap situasi politik dan pergerakan daerah ini, sampai urusan sepak bola Piala Champions plus "kelakuan" Jose “The Special One” Mourinho pelatih klub raksasa Spanyol, Real Madrid.
Gayanya tak berubah. Dia tetap out spoken dan jernih. Wawasannya luas. Pemetaannya akurat. Sikapnya jelas. Visinya terang. Tak ada kesombongan dalam dirinya. Enak sekali mengobrol dengan Imam. Bicaranya antusias. Badan dicondongkan ke depan, terkadang mata menyipit. Sesekali tangannya bergerak, memberi tambahan intonasi.
Asap rokok rimbun di mulutnya; dan dia lepas seirama aliran kalimat. Kopi yang telah dingin malam itu diseruput cepat, dia isap sisa terakhir nikotin yang terbakar, lalu menghembus kuat-kuat. Artinya, pembicaraan telah naik level keseriusannya.
Banyak rencana yang dia paparkan, termasuk cara mencapainya. Tak ada tanda-tanda Imam bakal pamit, termasuk ketika almarhum berat melepasku pulang, kendati angin mulai menggempur tulang di pelataran samping hotel samping taman terbuka, dan kerah baju terpaksa kami tinggikan.
Almarhum memang aktivis tulen. Sulit menariknya lepas dari ikatan nilai kerakyatan yang dilakoninya sepenuh jiwa. Dia senang mendirikan dan membesarkan lembaga, dan bergerak lagi ke lembaga lain sambil melebarkan buluh nadi perjuangannya.
Sejak masuk Lampung 1997, Imam terlibat dalam pendirian Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Provinsi Lampung, pendiri Posko Paralegal Bantuan Hukum Masyarakat Lampung, Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Lampung, deklarator Gerakan Perempuan Lampung. Begitu pula dengan pendirian Kantor bantuan Hukum (KBH), Perkumpulan Damar, dll. Di mata rekan sejawat, sepanjang hayat yang tergolong singkat itu, Imam sudah mendonasikan diri dan sebagian besar waktunya di jalan bermanfaat.
Ketika kematian menjemput, secara gradual raga kita terurai kembali: dari individu dan jasad yang utuh, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah subatom. Kulit, otot, dan tulang semua terurai menjadi tak kasat mata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium-hidrogen, sulfur yang menyuburkan alam sekitar. Dan zat yang telah menjelma menjadi jutaan atom ini lalu melayang di udara—lalu dihirup lagi oleh segala yang hidup...
Hal baik berbuah baik. Niat mulia mendatangkan kemuliaan. Tuhan menciptakan dan menjaga alam fana ini dengan hukum fisika yang amat sempurna. Sampai kelak kita dipertemukan lagi di keabadian akhirat. Sampai jumpa di sana, Sahabat. (HERI WARDOYO)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 April 2011
Kemarin, duka yang dalam menggenangi batin puluhan teman saat melepas jasad ayah dua putra ini di Bandara Radin Inten II Branti. Almarhum diterbangkan ke Pulau Bangka, tanah kelahirannya. Tepat pukul 11.00, pesawat yang membawa jasad Imam lenyap dari pandangan mata, memasuki awan kemukus yang redup dan langit yang mengatup.
Teman-teman seperjuangan, mungkin juga masyarakat Lampung yang pernah terkena sentuhan keikhlasan anak keenam dari sebelas bersaudara kelahiran 6 Juni 1972 ini, mesti rela ditinggal selamanya.
Jumat malam kemarin saya dan Imam terakhir bertemu, makan sop buntut, lalu menelusuri waktu dengan berbincang panjang. Mulai rencana konsolidasi barisan prodemokrasi di Lampung, evaluasinya terhadap situasi politik dan pergerakan daerah ini, sampai urusan sepak bola Piala Champions plus "kelakuan" Jose “The Special One” Mourinho pelatih klub raksasa Spanyol, Real Madrid.
Gayanya tak berubah. Dia tetap out spoken dan jernih. Wawasannya luas. Pemetaannya akurat. Sikapnya jelas. Visinya terang. Tak ada kesombongan dalam dirinya. Enak sekali mengobrol dengan Imam. Bicaranya antusias. Badan dicondongkan ke depan, terkadang mata menyipit. Sesekali tangannya bergerak, memberi tambahan intonasi.
Asap rokok rimbun di mulutnya; dan dia lepas seirama aliran kalimat. Kopi yang telah dingin malam itu diseruput cepat, dia isap sisa terakhir nikotin yang terbakar, lalu menghembus kuat-kuat. Artinya, pembicaraan telah naik level keseriusannya.
Banyak rencana yang dia paparkan, termasuk cara mencapainya. Tak ada tanda-tanda Imam bakal pamit, termasuk ketika almarhum berat melepasku pulang, kendati angin mulai menggempur tulang di pelataran samping hotel samping taman terbuka, dan kerah baju terpaksa kami tinggikan.
Almarhum memang aktivis tulen. Sulit menariknya lepas dari ikatan nilai kerakyatan yang dilakoninya sepenuh jiwa. Dia senang mendirikan dan membesarkan lembaga, dan bergerak lagi ke lembaga lain sambil melebarkan buluh nadi perjuangannya.
Sejak masuk Lampung 1997, Imam terlibat dalam pendirian Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Provinsi Lampung, pendiri Posko Paralegal Bantuan Hukum Masyarakat Lampung, Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Lampung, deklarator Gerakan Perempuan Lampung. Begitu pula dengan pendirian Kantor bantuan Hukum (KBH), Perkumpulan Damar, dll. Di mata rekan sejawat, sepanjang hayat yang tergolong singkat itu, Imam sudah mendonasikan diri dan sebagian besar waktunya di jalan bermanfaat.
Ketika kematian menjemput, secara gradual raga kita terurai kembali: dari individu dan jasad yang utuh, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah subatom. Kulit, otot, dan tulang semua terurai menjadi tak kasat mata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium-hidrogen, sulfur yang menyuburkan alam sekitar. Dan zat yang telah menjelma menjadi jutaan atom ini lalu melayang di udara—lalu dihirup lagi oleh segala yang hidup...
Hal baik berbuah baik. Niat mulia mendatangkan kemuliaan. Tuhan menciptakan dan menjaga alam fana ini dengan hukum fisika yang amat sempurna. Sampai kelak kita dipertemukan lagi di keabadian akhirat. Sampai jumpa di sana, Sahabat. (HERI WARDOYO)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 April 2011
April 25, 2011
Lilih Muflihah Pimpin FLP Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lilih Muflihah terpilih menjadi ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung dalam musyawarah wilayah luar biasa, Minggu (24-4), di rumah anggota FLP, di Labuhanratu. Musyawarah ini dilaksanakan karena Ketua FLP Agus Utomo yang baru terpilih beberapa bulan lalu tidak bisa menjalankan amanat, karena bekerja di daerah lain.
Komposisi pengurus harian tidak berubah. Sekretaris masih dijabat Herlina Kurniati dan bendahara Sumirah Sudiarjo. Penasihat dijabat Ika Nurlianawati dan Dessy Arya Utami.
Lilih, alumnus Pascasarjana FISIP Universitas Lampung itu, mengatakan fokus program kerjanya mengader sebanyak mungkin penulis-penulis muda. Selain itu, membekali anggota dengan kemampuan manajerial organisasi yang mapan sehingga FLP tidak kesulitan mencari sosok pemimpin.
"Yang akan diperbanyak dalam program tentu saja penguatan kapasitas internal anggota. Kami berharap di masa depan organisasi kepenulisan ini punya kader yang banyak. Tak hanya piawai menulis, tapi juga cakap dalam bidang organisasi,” katanya.
Lilih mengatakan tantangan FLP semakin berat karena mesti membangkitkan semangat menulis para anggota. Karya mereka berupa artikel opini, cerpen, puisi, novel, dan buku, kata Lilih, mesti banyak diproduksi anggota FLP.
"Karena ini organisasi kepenulisan, setiap anggota harus termotivasi untuk membuat karya. Minimal mereka berusaha agar karya mereka bisa dipublikasikan, baik di media cetak, internet, maupun dalam bentuk buku," ujar Lilih.
Lilih menambahkan pengurus juga akan memperbanyak jumlah anggota. Hal ini bertujuan menyemarakkan iklim menulis di masyarakat.
"Masyarakat kita belum terbiasa menulis. Budayanya masih berbicara. Padahal dengan menulis, ide bisa dibaca kapan saja meski di empunya gagasan sudah tidak ada," ujarnya. */S-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 April 2011
Komposisi pengurus harian tidak berubah. Sekretaris masih dijabat Herlina Kurniati dan bendahara Sumirah Sudiarjo. Penasihat dijabat Ika Nurlianawati dan Dessy Arya Utami.
Lilih, alumnus Pascasarjana FISIP Universitas Lampung itu, mengatakan fokus program kerjanya mengader sebanyak mungkin penulis-penulis muda. Selain itu, membekali anggota dengan kemampuan manajerial organisasi yang mapan sehingga FLP tidak kesulitan mencari sosok pemimpin.
"Yang akan diperbanyak dalam program tentu saja penguatan kapasitas internal anggota. Kami berharap di masa depan organisasi kepenulisan ini punya kader yang banyak. Tak hanya piawai menulis, tapi juga cakap dalam bidang organisasi,” katanya.
Lilih mengatakan tantangan FLP semakin berat karena mesti membangkitkan semangat menulis para anggota. Karya mereka berupa artikel opini, cerpen, puisi, novel, dan buku, kata Lilih, mesti banyak diproduksi anggota FLP.
"Karena ini organisasi kepenulisan, setiap anggota harus termotivasi untuk membuat karya. Minimal mereka berusaha agar karya mereka bisa dipublikasikan, baik di media cetak, internet, maupun dalam bentuk buku," ujar Lilih.
Lilih menambahkan pengurus juga akan memperbanyak jumlah anggota. Hal ini bertujuan menyemarakkan iklim menulis di masyarakat.
"Masyarakat kita belum terbiasa menulis. Budayanya masih berbicara. Padahal dengan menulis, ide bisa dibaca kapan saja meski di empunya gagasan sudah tidak ada," ujarnya. */S-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 April 2011
April 24, 2011
[Perjalanan] Sjachroedin Z.P. Menjadi Bintang di Negeri Perak
TIGA hari berada di Negeri Perak, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memang menjadi bintang. Dia satu-satunya warga asing yang menerima darah kebesaran Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini (SPCM). Berikut catatan wartawan Lampung Post Hesma Eryani yang ikut dalam kafilah dari Lampung.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/HESMA ERYANI
Gelar Dato Seri merupakan salah salah gelar tertinggi di Negeri Perak khususnya dan Malaysia umumnya. Tak banyak orang yang memiliki gelar ini. Bahkan, dalam sejarah Malaysia, warga Indonesia yang menerima gelar ini baru dua orang, yakni Adam Malik (mantan Menteri Luar Negeri) dan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.
Oedin, nama sapaan Gubernur, menjadi pusat perhatian. Berita tentang Oedin sudah menghiasi media setempat. Penyambutan juga dilakukan istimewa terhadap Oedin dan delegasi Lampung, Senin (18-4). Karpet merah digelar di Bandara Sultan Azlan Shah, Ipoh, Negeri Perak, dan tarian silat tradisional menyambut kedatangan Oedin.
Para petinggi negara, termasuk Sekretaris Bidang Politik Menteri Besar Perak, Ismail Sofyan, Menteri Keuangan, dan Datin Zainab (istri Wali Kota Ipoh) menyambut Oedin.
Karpet merah juga digelar di Hotel Impiana, tempat delegasi Lampung menginap. Mobil patroli dan dua motor besar polisi memimpin di depan setiap kali delegasi berjalan. Semua kegiatan dilakukan berdasarkan jadwal yang dibuat protokol pemerintahan.
Hampir di semua acara, Oedin menjadi pusat perhatian mulai dari jamuan makan petang dan pertemuan di kantor Pertanian Kementerian Besar, hingga makan malam di Dewan Banquet Negeri, serta ketika menyaksikan Pesta Panjut dan Perahu Hias di sungai Perak yang dihadiri Raja.
Gubernur sendiri tak segan menyapa hadirin dengan ramah. Bahkan, ketika memberi sambutan di Dewan Banquet, Oedin sesekali mengeluarkan lelucon yang membuat hadirin tertawa dan mendapat aplaus apresiatif.
Tak hanya itu, Oedin juga mendapat apresiasi besar dari Raja Sultan Azlan Shah. Ini sudah terlihat sejak di pesta panjut, dan acara darjah kebesaran di istana. Raja Sultan memang sedang berbahagia karena pada hari ulang tahunnya, 17 cucunya semua hadir.
Sebelum acara diistana dimulai, Sultan berkumpul dengan anak menantu dan para cucu. Pada saat itulah, Oedin dan istri dipanggil dan diminta masuk ke ruang utama Raja.
Ini sangat langka karena jarang dilakukan Raja, apalagi saat ia sedang berkumpul dengan anak cucunya. Raja bertanya banyak hal perihal sambutan pihaknya kepada Oedin, dan menanyakan tentang delegasi Lampung yang hadir.
Ketika Raja mengetahui anak-anak Oedin ikut, Raja meminta mereka dibawa ke ruang raja. Oedin, Ny. Trully, tiga anak Oedin (Rycko Menoza, Aryodhia Febriansyah, Handitya Narapati), Lipitka Menoza (istri Rycko), serta putra Rycko yang baru saja lulus dari Universitas Sunway Technology, Malaysia, masuk ke ruang utama raja. Setelah bersalaman dan berbicang-bincang, Raja mengajak mereka foto bersama.
“Saya benar-benar surprise. Karena saya mendapat informasi ini hal langka terjadi,” kata Oedin. Tak hanya itu, usai penganugerahan gelar, Oedin dan Ny. Trully juga difoto khusus untuk dokumentasi kerajaan.
Satu hal yang menarik ketika Raja menanyakan teknis kedatangan Oedin. Oedin menjelaskan dirinya datang dengan pesawat khusus melalui jalur Lampung—Palembang—Malaysia. Raja heran kenapa belum ada jalur penerbangan Lampung—Palembang—Malaysia. Saat itu pula, Raja meminta Menteri Besar Perak, Zambry Abdul Kadir, memanggil pemimpin maskapai penerbangan Air Asia, Tony Fernandes.
Kepada Tony, Raja meminta agar segera dibuka jalur penerbangan Lampung—Palembang—Malaysia, atau Lampung—Jakarta—Malaysia. Tony pun berjanji akan memenuhi keinginan Raja tersebut. “Ini hal menggembirakan, dan kami akan mem-follow up-nya,” kata Gubernur.
Delegasi Lampung memang mendapat perlakuan khusus, termasuk ketika menginap di Hotel Impiana, yang dihuni banyak para eskpatriat dan tamu-tamu asing. Bahkan, menjelang kembali ke Tanah Air, Menteri Besar meminta Gubernur sarapan di kediamannya, dan makan siang di Tower Kuala Lumpur yang merupakan salah satu tempat tertinggi di Kuala Lumpur.
Dari restoran yang berputar dan memiliki kecepatan lift 240 meter per menit ini kita dapat menyaksikan segala penjuru Kuala Lumpur. Konon pula, kata warga setempat, jika cuaca bagus, Medan pun tampak dari menara ini. Soal benar apa tidak, wallahualam.
Restoran ini sangat mahal. Yang datang umumnya para eksekutif dan ekspatriat. Sebelum memasuki restoran, setiap pengunjung harus melalui detektor. Pengunjung bebas makan berbagai jenis masakan (Asia-Eropa) yang disediakan.
Fasilitas yang disediakan bagi delegasi Lampung memang tidak mengecewakan. Soal dana? Pastinya sangat besar. Tapi, Gubernur menegaskan tak serupiah pun dana APBD yang keluar. “Semua biaya kita, transportasi akomodasi ditanggung pihak kerajaan,” kata Oedin.
Sejak awal, semua tiket dari Lampung sudah diurus protokol pemerintah. Nah pastinya mereka menggunakan maskapai mereka sendiri, Malaysia Air Service. Meskipun tidak menggunakan dana Pemprov, bukan berarti muhibah ini tak penting bagi Lampung. Gubernur berjanji akan menindaklanjutinya, terutama pada program kerja sama yang sudah disepakati dengan Negeri Perak. (M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 April 2011
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/HESMA ERYANI
Gelar Dato Seri merupakan salah salah gelar tertinggi di Negeri Perak khususnya dan Malaysia umumnya. Tak banyak orang yang memiliki gelar ini. Bahkan, dalam sejarah Malaysia, warga Indonesia yang menerima gelar ini baru dua orang, yakni Adam Malik (mantan Menteri Luar Negeri) dan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.
Oedin, nama sapaan Gubernur, menjadi pusat perhatian. Berita tentang Oedin sudah menghiasi media setempat. Penyambutan juga dilakukan istimewa terhadap Oedin dan delegasi Lampung, Senin (18-4). Karpet merah digelar di Bandara Sultan Azlan Shah, Ipoh, Negeri Perak, dan tarian silat tradisional menyambut kedatangan Oedin.
Para petinggi negara, termasuk Sekretaris Bidang Politik Menteri Besar Perak, Ismail Sofyan, Menteri Keuangan, dan Datin Zainab (istri Wali Kota Ipoh) menyambut Oedin.
Karpet merah juga digelar di Hotel Impiana, tempat delegasi Lampung menginap. Mobil patroli dan dua motor besar polisi memimpin di depan setiap kali delegasi berjalan. Semua kegiatan dilakukan berdasarkan jadwal yang dibuat protokol pemerintahan.
Hampir di semua acara, Oedin menjadi pusat perhatian mulai dari jamuan makan petang dan pertemuan di kantor Pertanian Kementerian Besar, hingga makan malam di Dewan Banquet Negeri, serta ketika menyaksikan Pesta Panjut dan Perahu Hias di sungai Perak yang dihadiri Raja.
Gubernur sendiri tak segan menyapa hadirin dengan ramah. Bahkan, ketika memberi sambutan di Dewan Banquet, Oedin sesekali mengeluarkan lelucon yang membuat hadirin tertawa dan mendapat aplaus apresiatif.
Tak hanya itu, Oedin juga mendapat apresiasi besar dari Raja Sultan Azlan Shah. Ini sudah terlihat sejak di pesta panjut, dan acara darjah kebesaran di istana. Raja Sultan memang sedang berbahagia karena pada hari ulang tahunnya, 17 cucunya semua hadir.
Sebelum acara diistana dimulai, Sultan berkumpul dengan anak menantu dan para cucu. Pada saat itulah, Oedin dan istri dipanggil dan diminta masuk ke ruang utama Raja.
Ini sangat langka karena jarang dilakukan Raja, apalagi saat ia sedang berkumpul dengan anak cucunya. Raja bertanya banyak hal perihal sambutan pihaknya kepada Oedin, dan menanyakan tentang delegasi Lampung yang hadir.
Ketika Raja mengetahui anak-anak Oedin ikut, Raja meminta mereka dibawa ke ruang raja. Oedin, Ny. Trully, tiga anak Oedin (Rycko Menoza, Aryodhia Febriansyah, Handitya Narapati), Lipitka Menoza (istri Rycko), serta putra Rycko yang baru saja lulus dari Universitas Sunway Technology, Malaysia, masuk ke ruang utama raja. Setelah bersalaman dan berbicang-bincang, Raja mengajak mereka foto bersama.
“Saya benar-benar surprise. Karena saya mendapat informasi ini hal langka terjadi,” kata Oedin. Tak hanya itu, usai penganugerahan gelar, Oedin dan Ny. Trully juga difoto khusus untuk dokumentasi kerajaan.
Satu hal yang menarik ketika Raja menanyakan teknis kedatangan Oedin. Oedin menjelaskan dirinya datang dengan pesawat khusus melalui jalur Lampung—Palembang—Malaysia. Raja heran kenapa belum ada jalur penerbangan Lampung—Palembang—Malaysia. Saat itu pula, Raja meminta Menteri Besar Perak, Zambry Abdul Kadir, memanggil pemimpin maskapai penerbangan Air Asia, Tony Fernandes.
Kepada Tony, Raja meminta agar segera dibuka jalur penerbangan Lampung—Palembang—Malaysia, atau Lampung—Jakarta—Malaysia. Tony pun berjanji akan memenuhi keinginan Raja tersebut. “Ini hal menggembirakan, dan kami akan mem-follow up-nya,” kata Gubernur.
Delegasi Lampung memang mendapat perlakuan khusus, termasuk ketika menginap di Hotel Impiana, yang dihuni banyak para eskpatriat dan tamu-tamu asing. Bahkan, menjelang kembali ke Tanah Air, Menteri Besar meminta Gubernur sarapan di kediamannya, dan makan siang di Tower Kuala Lumpur yang merupakan salah satu tempat tertinggi di Kuala Lumpur.
Dari restoran yang berputar dan memiliki kecepatan lift 240 meter per menit ini kita dapat menyaksikan segala penjuru Kuala Lumpur. Konon pula, kata warga setempat, jika cuaca bagus, Medan pun tampak dari menara ini. Soal benar apa tidak, wallahualam.
Restoran ini sangat mahal. Yang datang umumnya para eksekutif dan ekspatriat. Sebelum memasuki restoran, setiap pengunjung harus melalui detektor. Pengunjung bebas makan berbagai jenis masakan (Asia-Eropa) yang disediakan.
Fasilitas yang disediakan bagi delegasi Lampung memang tidak mengecewakan. Soal dana? Pastinya sangat besar. Tapi, Gubernur menegaskan tak serupiah pun dana APBD yang keluar. “Semua biaya kita, transportasi akomodasi ditanggung pihak kerajaan,” kata Oedin.
Sejak awal, semua tiket dari Lampung sudah diurus protokol pemerintah. Nah pastinya mereka menggunakan maskapai mereka sendiri, Malaysia Air Service. Meskipun tidak menggunakan dana Pemprov, bukan berarti muhibah ini tak penting bagi Lampung. Gubernur berjanji akan menindaklanjutinya, terutama pada program kerja sama yang sudah disepakati dengan Negeri Perak. (M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 April 2011
April 23, 2011
Seminar: Kecintaan terhadap Seni Harus Digugah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lembaga Putra Lampung Mandiri (Palma) bekerja sama dengan Direktorat Ketahanan Seni Budaya Kementerian Dalam Negeri RI mengadakan seminar daerah dengan tema Meningkatkan kesadaran dan kecintaan terhadap seni budaya, Sabtu (23-4), pukul 09.00, di aula Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Menurut Ketua Panitia Andi Rahman, seminar tersebut bertujuan menggugah kesadaran dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap nilai-nilai seni dalam mewujudkan pribadi yang kreatif, peka, penuh tenggang rasa, disiplin, dan percaya diri, sekaligus memberikan ruang aktualisasi dan apresiasi dalam mengangkat dan mengembangkan wacana seni sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan diri.
Seminar terbuka untuk masyarakat umum tersebut yang rencananya juga akan dihadiri oleh Dirjen Kesbangpol Kemendagri ini menampilkan para pembicara, seperti Tadjuddin Nur (tokoh budaya/seni tradisi), Ari Pahala Hutabarat (praktisi seni/Komunitas Berkat Yakin), dan Hari Jayaningrat (Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung).
Andi menjelaskan seminar daerah itu rencananya akan membahas mengenai kebudayaan yang mencakup keseluruhan meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial. Menurut dia, karya seni dilihat sebagai hasil akhir tentulah sangat menarik, entah untuk dinikmati, ditelaah, atau sekadar dijadikan wacana.
Namun, mengikuti proses berkesenian ternyata juga tak kalah menarik. Apalagi proses berkesenian tersebut dilakukan secara personal atau oleh sekelompok orang yang tak mesti atau malah bukan seniman.
Proses berkesenian yang tidak hanya mengasah kemampuan kreativitas, tetapi juga melatih mereka yang terlibat menjadi pribadi yang peka, penuh tenggang rasa dan disiplin, akan bermuara pada rasa percaya diri.
Berawal dari pemikiran ini, Palma bekerja sama dengan Direktorat Ketahanan Seni Budaya Kementerian Dalam Negeri mengadakan seminar itu. Seni merupakan salah satu media pembelajaran dan pemberdayaan diri yang harus disikapi secara positif.
"Kegiatan ini juga terkait dengan program ketahanan dan pelestarian seni budaya dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri RI. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 April 2011
Menurut Ketua Panitia Andi Rahman, seminar tersebut bertujuan menggugah kesadaran dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap nilai-nilai seni dalam mewujudkan pribadi yang kreatif, peka, penuh tenggang rasa, disiplin, dan percaya diri, sekaligus memberikan ruang aktualisasi dan apresiasi dalam mengangkat dan mengembangkan wacana seni sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan diri.
Seminar terbuka untuk masyarakat umum tersebut yang rencananya juga akan dihadiri oleh Dirjen Kesbangpol Kemendagri ini menampilkan para pembicara, seperti Tadjuddin Nur (tokoh budaya/seni tradisi), Ari Pahala Hutabarat (praktisi seni/Komunitas Berkat Yakin), dan Hari Jayaningrat (Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung).
Andi menjelaskan seminar daerah itu rencananya akan membahas mengenai kebudayaan yang mencakup keseluruhan meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial. Menurut dia, karya seni dilihat sebagai hasil akhir tentulah sangat menarik, entah untuk dinikmati, ditelaah, atau sekadar dijadikan wacana.
Namun, mengikuti proses berkesenian ternyata juga tak kalah menarik. Apalagi proses berkesenian tersebut dilakukan secara personal atau oleh sekelompok orang yang tak mesti atau malah bukan seniman.
Proses berkesenian yang tidak hanya mengasah kemampuan kreativitas, tetapi juga melatih mereka yang terlibat menjadi pribadi yang peka, penuh tenggang rasa dan disiplin, akan bermuara pada rasa percaya diri.
Berawal dari pemikiran ini, Palma bekerja sama dengan Direktorat Ketahanan Seni Budaya Kementerian Dalam Negeri mengadakan seminar itu. Seni merupakan salah satu media pembelajaran dan pemberdayaan diri yang harus disikapi secara positif.
"Kegiatan ini juga terkait dengan program ketahanan dan pelestarian seni budaya dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri RI. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 April 2011
April 21, 2011
Raperda: Kawasan Cagar Budaya Ditetapkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Situs Keratuan Dibalau Kelurahan Kedamaian dan Negeri Olok Gading Kelurahan Sukarame II ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Cagar budaya tersebut diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Beberapa kawasan direkomendasikan dalam Raperda RTRW sebagai cagar budaya adalah Masjid Jami Al Anwar di Telukbetung Selatan, rumah adat di Kedamaian, mercusuar di Museum Lampung, Monumen Krakatau di Taman Dipangga, pusaka sumur puteri di Telukbetung Utara.
Lalu Goa Batu Jajar, Goa Taman Monyet, bunker Jepang di depan Kantor Dinas Pendidikan, bangunan tua Stasiun Kereta Api di Tanjungkarang Pusat, klenteng di Telukbetung Selatan, gereja di Pasar Bambu Kuning, penampungan air PDAM Way Rilau di Jalan Imam Bonjol, dan jembatan beton di Telukbetung Barat. Dalam Raperda RTRW setidaknya ada 13 tempat yang direkomendasikan menjadi lokasi cagar budaya.
Panitia Khusus (Pansus) DPRD sedang membahas Raperda RTRW. Pansus diberi waktu dua bulan menyelesaikan pembahasan raperda, terhitung sejak 4 April lalu. Ketua Pansus Raperda RTRW Nandang Hendrawan mengungkapkan belum banyak perkembangan dalam pembahasan RTRW. Pansus baru mengundang Pemkot untuk memaparkan dan memberikan penjelasan tentang perda.
Pansus, kata dia, akan rapat internal untuk menyusun jadwal memanggil satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. Tenaga ahli pansus sudah membuat pembahasan tentang raperda, hasilnya akan dijadikan bahan oleh Pansus untuk mendalami raperda tersebut.
Pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan cagar budaya, meliputi pelestarian budaya, hasil budaya atau peninggalan sejarah yang bernilai tinggi dan khusus untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kehidupan.
Raperda ini juga mengatur agar kawasan cagar budaya dapat ditingkatkan fungsinya untuk menunjang kegiatan pariwisata yang nantinya memberikan kontribusi pendapatan dari sektor pariwisata.
Dalam rancangan RTRW, revitalisasi kawasan cagar budaya dilakukan untuk mempertahankan keaslian benda cagar budaya. Kawasan cagar budaya ditetapkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai hasil budi daya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah. Nandang mengungkapkan Raperda RTRW masih belum menggabarkan secara rinci penataan ruang dalam 20 tahun ke depan. Perincian RTRW akan dijabarkan dalam rencana detail tata ruang (RDTR). (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 April 2011
Beberapa kawasan direkomendasikan dalam Raperda RTRW sebagai cagar budaya adalah Masjid Jami Al Anwar di Telukbetung Selatan, rumah adat di Kedamaian, mercusuar di Museum Lampung, Monumen Krakatau di Taman Dipangga, pusaka sumur puteri di Telukbetung Utara.
Lalu Goa Batu Jajar, Goa Taman Monyet, bunker Jepang di depan Kantor Dinas Pendidikan, bangunan tua Stasiun Kereta Api di Tanjungkarang Pusat, klenteng di Telukbetung Selatan, gereja di Pasar Bambu Kuning, penampungan air PDAM Way Rilau di Jalan Imam Bonjol, dan jembatan beton di Telukbetung Barat. Dalam Raperda RTRW setidaknya ada 13 tempat yang direkomendasikan menjadi lokasi cagar budaya.
Panitia Khusus (Pansus) DPRD sedang membahas Raperda RTRW. Pansus diberi waktu dua bulan menyelesaikan pembahasan raperda, terhitung sejak 4 April lalu. Ketua Pansus Raperda RTRW Nandang Hendrawan mengungkapkan belum banyak perkembangan dalam pembahasan RTRW. Pansus baru mengundang Pemkot untuk memaparkan dan memberikan penjelasan tentang perda.
Pansus, kata dia, akan rapat internal untuk menyusun jadwal memanggil satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. Tenaga ahli pansus sudah membuat pembahasan tentang raperda, hasilnya akan dijadikan bahan oleh Pansus untuk mendalami raperda tersebut.
Pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan cagar budaya, meliputi pelestarian budaya, hasil budaya atau peninggalan sejarah yang bernilai tinggi dan khusus untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kehidupan.
Raperda ini juga mengatur agar kawasan cagar budaya dapat ditingkatkan fungsinya untuk menunjang kegiatan pariwisata yang nantinya memberikan kontribusi pendapatan dari sektor pariwisata.
Dalam rancangan RTRW, revitalisasi kawasan cagar budaya dilakukan untuk mempertahankan keaslian benda cagar budaya. Kawasan cagar budaya ditetapkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai hasil budi daya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah. Nandang mengungkapkan Raperda RTRW masih belum menggabarkan secara rinci penataan ruang dalam 20 tahun ke depan. Perincian RTRW akan dijabarkan dalam rencana detail tata ruang (RDTR). (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 April 2011
April 20, 2011
Udo Z Karzi Memuliakan Bahasa Lampung dengan Puisi
Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
PERJUANGAN pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970 untuk memuliakan bahasa Lampung lewat dunia sastra tak sia-sia. Kerja keras Udo Z Karzi pseudo name dari Zulkarnain Zubairi dalam jagad sastra daerah membuahkan hasil. Lewat buku kumpulan puisi berbahasa Lampung bertajuk Mak Mawah Mak Dibingi (BE Pers, 2007) Udo berhasil menyabet Hadiah Sastra Rancage 2008.
Keberhasilan Udo Z Karzi sekaligus mencatatkan diri orang pertama di luar pulau Jawa dan Bali yang menerima penghargaan yang diberikan Yayasan Kebudayaan Rancage yang dirintis sastrawan Ajip Rosidi sejak tahun 1993 ini.
Pria rendah hati yang kini ditugaskan Media Grup sebagai jurnalis di Harian Borneo News ini boleh dikatakan satu-satunya orang Lampung yang mempublikasikan karya-karya puisi berbahasa Lampung.
Kiprahnya di jagad jurnalistik sebagai wartawan lepas Lampung Post (1995-1996) dan reporter Majalah Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar Ekonomi-Akuntansi SMA Negeri dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi jurnalis Surat Kabar Umum Sumatera Post (1998-2000), Lampung Post (2000-2006), dan Harian Borneo News, Pangkalan Bun (2006- hingga kini)
Bapak dua anak yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik ini juga suka menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media lokal dan nasional sejak 1987. Udo yang nekad merilis karya-karya puisinya dalam bahasa Lampung ini dikenal sebagai pembaharu dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung.
Namanya mulai diperhitungkan sejak buku sajaknya Momentum diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung pada tahun 2002. Dia disebut-sebut juga sebagai pelopor sekaligus bapak puisi modern (berbahasa) Lampung.
Karya-karya puisinya termuat dalam Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995), Lampung Kenangan (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004), Maha Luka Aceh (PDS HB Jassin, 2005), Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006), dan Anthology Empathy Jogja (Pustaka Jamil,2006).
Sedangkan cerpen-cerpennya termuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (YMS, 2002) dan The Regala 204B (Gapuraja, 2006).
Terkini buku puisinya, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) meraih Anugerah Hadiah Sastera Rancagé 2008 untuk kategori sastra Lampung.
Keberhasilan buku Mak Dawah Mak Dibingi menyabet Hadiah Sastera Rancage 2008 menurut Udo sebenarnya hanyalah pintu masuk bagi upaya memperjuangkan bahasa dan sastra Lampung. Artinya, semua ini merupakan pemicu agar sastrawan Lampung yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media ungkapnya, harus terus berupaya melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. “Ini sebuah langkah awal ke depan diharapkan akan menyusul karya-karya sastrawan lainnya dari Lampung,” ujar Udo.
Diharapkan ke depan, para seniman tradisi Lampung yang selama ini asik dengan kelisanannya juga bisa melahirkan karya dalam bentuk teks (buku). Diharapkan Hadiah Rancage ini bisa membawa kehidupan sastra berbahasa Lampung lebih dinamis.
Setidaknya, lanjut Udo, momen ini dapat dijadikan titik tolak kebangkitan sastra Lampung dan menumbuhkan kepercayaan penutur bahasa Lampung. Kalau selama ini orang liyom bila menggunakan bahasa Lampung jadi bangga. Karena ternyata bahasa Lampung bisa modern, berdaya dan bergaya. “Harapannya ke depan bahasa Lampung bisa menjadi media ekpresi-imajinatif dan kreatif sehingga bisa melahirkan karya-karya sastra yang bernas sebagaimana bahasa Jawa, Sunda dan Bali."
Udo mengaku mulai tertarik menulis puisi dalam bahasa Lampung pada tahun 1999. Ketika sebuah puisinya bertajuk "Bagaimana Mungkin Aku Lupa" menjadi pemenang kedua Lomba Cipta Puisi Narasi Wisata-Budaya Lampung yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Krakatau IX tahun 1999.
Puisi itu memang merupakan pengalaman batinnya tentang apa yang – mungkin -- disebut sebagai budaya Lampung. Tapi, begitu Udo melihat betapa banyak catatan kaki yang harus dibuatnya. Kemudian Udo iseng mengalihkan puisi itu ke bahasa Lampung. Lumayan bagus dan terasa lebih tepat untuk mengembangkan imajinasi tentang kelampungan.
Dan, satu hal lagi, ketika puisi itu berubah menjadi puisi berbahasa Lampung, Udo tidak perlu membuat catatan kaki kahi untuk kata atau idiom khas bahasa Lampung
Di samping itu, Udo juga bersentuhan dengan majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat yang di dalamnya memuat artikel, geguritan, cerita cekak (cerkak), cerita humor, dan lain-lain.
Pada tahun 1999 itu diselenggarakan sebuah seminar Bahasa Lampung. Secara mengejutkan pakar sosiolinguistik dari Universitas Indonesia mengatakan 75 tahun mendatang bahasa Lampung akan punah kalau tidak diupayakan pelestariannya.
Pada waktu itu Udo Z Karzi hanya ingin menulis puisi-puisi dalam bahasa Lampung. Pada tahun 2000 setelah terkumpul dalam sebuah manuskrip ditawarkannya pada penerbit yang mengaku punya komitmen terhadap pengembangan seni dan budaya Lampung. Ternyata buku puisi itu ditolak, alasannya tak kenal jenis puisi seperti itu.
Udo tak habis akal. Kalau bahasa Jawa, Sunda dan Bali bisa mengapa bahasa Lampung tidak. Akhirnya, atas beberapa saran puisi-puisi itu dibuat dalam dwibahasa dan kemudian diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung Tahun 2002.
Udo sempat kapok menerbitkan karya-karyanya dalam bahasa Lampung. Tetapi diam-diam Udo mernyiapkan manuskrip puisi Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam). Sentuhan perkenalannya dengan Irfan Anshory yang punya interes sama di dunia maya membangkitkan semangat Udo kembali untuk menelurkan karya sastra berbahasa Lampung.
“Namun, tradisi kepenulisan sastra berbahasa Lampung tak bergerak-gerak juga. Dengan latar itulah, saya menulis dengan bahasa Lampung. Setidaknya, ini sebuah upaya saja agar bahasa Lampung tak punah,” ujar Udo membeber strateginya.
Kebetulan BE Press yang diawaki Y Wibowo, Mustaan dan Budi Hutasuhut menggagas untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Lampung.
Menurut Udo tak ada kendala dalam menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kendala itu hanya berkaitan dengan teknis belaka ketika hendak disosialisasikan atau dipublikasikan. Tidak seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali , Lampung tidak memiliki majalah berbahasa Lampung. Apalagi hendak diterbitkan menjadi buku, lebih sulit lagi.
Problem besar yang dihadapi bahasa Lampung, menurut Udo, sangat kompleks. Jumlah penutur yang hanya sekitar 15 persen dari penduduk Lampung menjadi masalah utama. Upaya memperluas pemakaian bahasa Lampung sering terbentur oleh heterogenitas bahasa yang dituturkan masyarakat Lampung. Jadi, perlu kerja keras untuk itu.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah di Lampung relatif tidak memiliki kebijakan yang jelas dan strategis bagi pemertahanan bahasa Lampung. Ketimbang terus-terusan mengeluhkan betapa generasi muda tidak lagi akrab dengan bahasa Lampung, lebih baik para pemimpin daerah Lampung merumuskan langkah konkrit bagi pengembangan bahasa Lampung.
Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Daerah Lampung kalaupun jadi dibuat dan disahkan bisa jadi hanya menjadi dokumen hiasan jika pemerintah daerah tidak memiliki arah kebijakan yang jelas tentang bahasa Lampung. Apalagi jika semua itu lebih berbau politis ketimbang memang didasari sebuah sikap budaya untuk benar-benar memberdayakan bahasa Lampung.
Sedangkan problem besar pengembangan sastra Lampung adalah ’kemalasan’ orang Lampung saja. Orang Lampung lebih suka ngomong ketimbang nulis. Kata pengamat sastra Lampung, Lampung memiliki lebih dari 30 jenis sastra lisan. “Sastra lisan dan sastra tulisan harus mulai berjalan seiring agar sastra Lampung ke depan berkembang lebih dinamis,” ujar Udo mengingatkan.
Pemilik blog berbahasa Lampung ini mengaku nekat membuat blog berbahasa Lampung paling tidak bisa dijadikan media penyampaian unek-unek sekaligus medianya untuk mengekspresikan dan berlatih menulis dalam bahasa Lampung. “Ya, kalau pun nantinya bahasa Lampung benar-benar punah. Setidaknya dalam blog ini masih ada teks bahasa Lampung masih tersisa,” ujar Udo
Udo menyemai harapan ke depan bahasa Lampung tetap eksis, berkembang, dan mampu menjadi bahasa kreasi bagi penuturnya. Dia yakin bisa asal ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga, melestarikan, memberdayagunakan, dan membuat bahasa Lampung lebih bergengsi. “Saya beranggapan bahasa Lampung adalah penopang utama kebudayaan Lampung. Kalau bahasa Lampung punah jelas pula yang disebut kebudayaan Lampung kiamat,” ujar Udo mengingatkan.
Udo juga berharap pemerintah, kalangan swasta termasuk media massa dan penerbit buku, sastrawan lain, dan masyarakat Lampung untuk mendukung terhadap pengembangan bahasa dan sastra Lampung.
Yayasan Kebudayaan Rancage memutuskan memberikan penghargaan terhadap sastra Lampung tahun 2008 dengan harapan agar kehidupan sastra (berbahasa) Lampung menjadi lebih dinamis. Setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada Mak Dawah Mak Dibingi, maka tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra daerah yang ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali , dan Lampung.
Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sastra Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. “Ini kabar yang menggembirakan untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas jauh dari untung,” ujar Udo sembari berharap masih ada “orang gila” yang mau menerbitkan buku sastra Lampung, sehingga jalan yang dibuka tak sia-sia.
Meski hingga detik ini Udo masih was-was. Persoalannya, tak satu pun buku sastra berbahasa Lampung menjelang akhir tahun ini terbit. Padahal untuk dinilai dan untuk mengikuti Hadiah Sastra Rancage buku yang harus disetorkan akhir tahun ini. “Sangat disayangkan Pemerintah Provinsi Lampung tak punya perhatian dan tidak menganggap event ini sebuah prestise. Sedangkan orang-orang Lampung sendiri punya Piil (harga diri) kalau berebut jadi calon Gubernur."
Sumber: Horison Online, Rabu, 20 April 2011 ( http://horisononline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=230:udo-z-karsi-memuliakan-bahasa-lampung-dengan-puisi&catid=12:rampai-rampai&Itemid=12 )
PERJUANGAN pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970 untuk memuliakan bahasa Lampung lewat dunia sastra tak sia-sia. Kerja keras Udo Z Karzi pseudo name dari Zulkarnain Zubairi dalam jagad sastra daerah membuahkan hasil. Lewat buku kumpulan puisi berbahasa Lampung bertajuk Mak Mawah Mak Dibingi (BE Pers, 2007) Udo berhasil menyabet Hadiah Sastra Rancage 2008.
Keberhasilan Udo Z Karzi sekaligus mencatatkan diri orang pertama di luar pulau Jawa dan Bali yang menerima penghargaan yang diberikan Yayasan Kebudayaan Rancage yang dirintis sastrawan Ajip Rosidi sejak tahun 1993 ini.
Pria rendah hati yang kini ditugaskan Media Grup sebagai jurnalis di Harian Borneo News ini boleh dikatakan satu-satunya orang Lampung yang mempublikasikan karya-karya puisi berbahasa Lampung.
Kiprahnya di jagad jurnalistik sebagai wartawan lepas Lampung Post (1995-1996) dan reporter Majalah Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar Ekonomi-Akuntansi SMA Negeri dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi jurnalis Surat Kabar Umum Sumatera Post (1998-2000), Lampung Post (2000-2006), dan Harian Borneo News, Pangkalan Bun (2006- hingga kini)
Bapak dua anak yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik ini juga suka menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media lokal dan nasional sejak 1987. Udo yang nekad merilis karya-karya puisinya dalam bahasa Lampung ini dikenal sebagai pembaharu dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung.
Namanya mulai diperhitungkan sejak buku sajaknya Momentum diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung pada tahun 2002. Dia disebut-sebut juga sebagai pelopor sekaligus bapak puisi modern (berbahasa) Lampung.
Karya-karya puisinya termuat dalam Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995), Lampung Kenangan (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004), Maha Luka Aceh (PDS HB Jassin, 2005), Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006), dan Anthology Empathy Jogja (Pustaka Jamil,2006).
Sedangkan cerpen-cerpennya termuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (YMS, 2002) dan The Regala 204B (Gapuraja, 2006).
Terkini buku puisinya, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) meraih Anugerah Hadiah Sastera Rancagé 2008 untuk kategori sastra Lampung.
Keberhasilan buku Mak Dawah Mak Dibingi menyabet Hadiah Sastera Rancage 2008 menurut Udo sebenarnya hanyalah pintu masuk bagi upaya memperjuangkan bahasa dan sastra Lampung. Artinya, semua ini merupakan pemicu agar sastrawan Lampung yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media ungkapnya, harus terus berupaya melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. “Ini sebuah langkah awal ke depan diharapkan akan menyusul karya-karya sastrawan lainnya dari Lampung,” ujar Udo.
Diharapkan ke depan, para seniman tradisi Lampung yang selama ini asik dengan kelisanannya juga bisa melahirkan karya dalam bentuk teks (buku). Diharapkan Hadiah Rancage ini bisa membawa kehidupan sastra berbahasa Lampung lebih dinamis.
Setidaknya, lanjut Udo, momen ini dapat dijadikan titik tolak kebangkitan sastra Lampung dan menumbuhkan kepercayaan penutur bahasa Lampung. Kalau selama ini orang liyom bila menggunakan bahasa Lampung jadi bangga. Karena ternyata bahasa Lampung bisa modern, berdaya dan bergaya. “Harapannya ke depan bahasa Lampung bisa menjadi media ekpresi-imajinatif dan kreatif sehingga bisa melahirkan karya-karya sastra yang bernas sebagaimana bahasa Jawa, Sunda dan Bali."
Udo mengaku mulai tertarik menulis puisi dalam bahasa Lampung pada tahun 1999. Ketika sebuah puisinya bertajuk "Bagaimana Mungkin Aku Lupa" menjadi pemenang kedua Lomba Cipta Puisi Narasi Wisata-Budaya Lampung yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Krakatau IX tahun 1999.
Puisi itu memang merupakan pengalaman batinnya tentang apa yang – mungkin -- disebut sebagai budaya Lampung. Tapi, begitu Udo melihat betapa banyak catatan kaki yang harus dibuatnya. Kemudian Udo iseng mengalihkan puisi itu ke bahasa Lampung. Lumayan bagus dan terasa lebih tepat untuk mengembangkan imajinasi tentang kelampungan.
Dan, satu hal lagi, ketika puisi itu berubah menjadi puisi berbahasa Lampung, Udo tidak perlu membuat catatan kaki kahi untuk kata atau idiom khas bahasa Lampung
Di samping itu, Udo juga bersentuhan dengan majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat yang di dalamnya memuat artikel, geguritan, cerita cekak (cerkak), cerita humor, dan lain-lain.
Pada tahun 1999 itu diselenggarakan sebuah seminar Bahasa Lampung. Secara mengejutkan pakar sosiolinguistik dari Universitas Indonesia mengatakan 75 tahun mendatang bahasa Lampung akan punah kalau tidak diupayakan pelestariannya.
Pada waktu itu Udo Z Karzi hanya ingin menulis puisi-puisi dalam bahasa Lampung. Pada tahun 2000 setelah terkumpul dalam sebuah manuskrip ditawarkannya pada penerbit yang mengaku punya komitmen terhadap pengembangan seni dan budaya Lampung. Ternyata buku puisi itu ditolak, alasannya tak kenal jenis puisi seperti itu.
Udo tak habis akal. Kalau bahasa Jawa, Sunda dan Bali bisa mengapa bahasa Lampung tidak. Akhirnya, atas beberapa saran puisi-puisi itu dibuat dalam dwibahasa dan kemudian diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung Tahun 2002.
Udo sempat kapok menerbitkan karya-karyanya dalam bahasa Lampung. Tetapi diam-diam Udo mernyiapkan manuskrip puisi Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam). Sentuhan perkenalannya dengan Irfan Anshory yang punya interes sama di dunia maya membangkitkan semangat Udo kembali untuk menelurkan karya sastra berbahasa Lampung.
“Namun, tradisi kepenulisan sastra berbahasa Lampung tak bergerak-gerak juga. Dengan latar itulah, saya menulis dengan bahasa Lampung. Setidaknya, ini sebuah upaya saja agar bahasa Lampung tak punah,” ujar Udo membeber strateginya.
Kebetulan BE Press yang diawaki Y Wibowo, Mustaan dan Budi Hutasuhut menggagas untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Lampung.
Menurut Udo tak ada kendala dalam menulis karya sastra berbahasa Lampung. Kendala itu hanya berkaitan dengan teknis belaka ketika hendak disosialisasikan atau dipublikasikan. Tidak seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali , Lampung tidak memiliki majalah berbahasa Lampung. Apalagi hendak diterbitkan menjadi buku, lebih sulit lagi.
Problem besar yang dihadapi bahasa Lampung, menurut Udo, sangat kompleks. Jumlah penutur yang hanya sekitar 15 persen dari penduduk Lampung menjadi masalah utama. Upaya memperluas pemakaian bahasa Lampung sering terbentur oleh heterogenitas bahasa yang dituturkan masyarakat Lampung. Jadi, perlu kerja keras untuk itu.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah di Lampung relatif tidak memiliki kebijakan yang jelas dan strategis bagi pemertahanan bahasa Lampung. Ketimbang terus-terusan mengeluhkan betapa generasi muda tidak lagi akrab dengan bahasa Lampung, lebih baik para pemimpin daerah Lampung merumuskan langkah konkrit bagi pengembangan bahasa Lampung.
Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Daerah Lampung kalaupun jadi dibuat dan disahkan bisa jadi hanya menjadi dokumen hiasan jika pemerintah daerah tidak memiliki arah kebijakan yang jelas tentang bahasa Lampung. Apalagi jika semua itu lebih berbau politis ketimbang memang didasari sebuah sikap budaya untuk benar-benar memberdayakan bahasa Lampung.
Sedangkan problem besar pengembangan sastra Lampung adalah ’kemalasan’ orang Lampung saja. Orang Lampung lebih suka ngomong ketimbang nulis. Kata pengamat sastra Lampung, Lampung memiliki lebih dari 30 jenis sastra lisan. “Sastra lisan dan sastra tulisan harus mulai berjalan seiring agar sastra Lampung ke depan berkembang lebih dinamis,” ujar Udo mengingatkan.
Pemilik blog berbahasa Lampung ini mengaku nekat membuat blog berbahasa Lampung paling tidak bisa dijadikan media penyampaian unek-unek sekaligus medianya untuk mengekspresikan dan berlatih menulis dalam bahasa Lampung. “Ya, kalau pun nantinya bahasa Lampung benar-benar punah. Setidaknya dalam blog ini masih ada teks bahasa Lampung masih tersisa,” ujar Udo
Udo menyemai harapan ke depan bahasa Lampung tetap eksis, berkembang, dan mampu menjadi bahasa kreasi bagi penuturnya. Dia yakin bisa asal ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga, melestarikan, memberdayagunakan, dan membuat bahasa Lampung lebih bergengsi. “Saya beranggapan bahasa Lampung adalah penopang utama kebudayaan Lampung. Kalau bahasa Lampung punah jelas pula yang disebut kebudayaan Lampung kiamat,” ujar Udo mengingatkan.
Udo juga berharap pemerintah, kalangan swasta termasuk media massa dan penerbit buku, sastrawan lain, dan masyarakat Lampung untuk mendukung terhadap pengembangan bahasa dan sastra Lampung.
Yayasan Kebudayaan Rancage memutuskan memberikan penghargaan terhadap sastra Lampung tahun 2008 dengan harapan agar kehidupan sastra (berbahasa) Lampung menjadi lebih dinamis. Setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada Mak Dawah Mak Dibingi, maka tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra daerah yang ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali , dan Lampung.
Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sastra Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. “Ini kabar yang menggembirakan untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas jauh dari untung,” ujar Udo sembari berharap masih ada “orang gila” yang mau menerbitkan buku sastra Lampung, sehingga jalan yang dibuka tak sia-sia.
Meski hingga detik ini Udo masih was-was. Persoalannya, tak satu pun buku sastra berbahasa Lampung menjelang akhir tahun ini terbit. Padahal untuk dinilai dan untuk mengikuti Hadiah Sastra Rancage buku yang harus disetorkan akhir tahun ini. “Sangat disayangkan Pemerintah Provinsi Lampung tak punya perhatian dan tidak menganggap event ini sebuah prestise. Sedangkan orang-orang Lampung sendiri punya Piil (harga diri) kalau berebut jadi calon Gubernur."
Sumber: Horison Online, Rabu, 20 April 2011 ( http://horisononline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=230:udo-z-karsi-memuliakan-bahasa-lampung-dengan-puisi&catid=12:rampai-rampai&Itemid=12 )
Pustakawan di Kota Masih Kurang
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kantor Perpustakaan dan Arsip Bandar Lampung masih kekurangan tenaga pustakawan dan arsiparis. Kantor Perpustakaan hanya memiliki dua tenaga perpustakaan yang pendidikannya masih diploma 3.
"Tenaga pustakawan harus sarjana. Sementara tenaga perpustakaan di Bandar Lampung hanya D-3," kata Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Bandar Lampung Rahmawati, Selasa (19-4).
Menurut Rahmawati, idealnya Kantor Perpustakaan Bandar Lampung memiliki lima orang pustakawan. Tugas kantor yang dibentuk tahun 2009 ini tidak hanya mengurus perpustakaan, tapi juga membina perpustakaan yang ada di sekolah dan perpustakaan di kelurahan.
Ia mengungkapkan sudah beberapa kali tenaga pustakawan diusulkan dalam penerimaan CPNSD. Namun, selalu dicoret dan tidak disetujui.
Rahmawati menambahkan selain pustakawan, kantor ini juga masih belum memiliki tenaga pengarsip atau arsiparis. Ruang lingkup kerja juga menangani arsip, tapi tidak memiliki arsiparis. "Ibaratnya dokter tanpa obat," kata dia.
Menurut dia, Kantor Perpustakaan dan Arsip diserahkan arsip yang ada di gudang. "Tapi sejak diberi kunci gudang itu, kami tidak tahu arsip apa saja yang ada di dalamnya. SKPD yang lain tidak pernah memberikan penjelasan mengenai arsip yang ada.”
Arsip memang tidak menghasilkan pendapatan. Namun, arsip sangat tidak ternilai. Saat ini semuanya membutuhkan arsip yang tersusun dengan baik. "Arsip masih dipandang sebelah mata. Orang-orang masih menyepelekan arsip. Padahal fungsinya sangat penting," kata Rahmawati. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
"Tenaga pustakawan harus sarjana. Sementara tenaga perpustakaan di Bandar Lampung hanya D-3," kata Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Bandar Lampung Rahmawati, Selasa (19-4).
Menurut Rahmawati, idealnya Kantor Perpustakaan Bandar Lampung memiliki lima orang pustakawan. Tugas kantor yang dibentuk tahun 2009 ini tidak hanya mengurus perpustakaan, tapi juga membina perpustakaan yang ada di sekolah dan perpustakaan di kelurahan.
Ia mengungkapkan sudah beberapa kali tenaga pustakawan diusulkan dalam penerimaan CPNSD. Namun, selalu dicoret dan tidak disetujui.
Rahmawati menambahkan selain pustakawan, kantor ini juga masih belum memiliki tenaga pengarsip atau arsiparis. Ruang lingkup kerja juga menangani arsip, tapi tidak memiliki arsiparis. "Ibaratnya dokter tanpa obat," kata dia.
Menurut dia, Kantor Perpustakaan dan Arsip diserahkan arsip yang ada di gudang. "Tapi sejak diberi kunci gudang itu, kami tidak tahu arsip apa saja yang ada di dalamnya. SKPD yang lain tidak pernah memberikan penjelasan mengenai arsip yang ada.”
Arsip memang tidak menghasilkan pendapatan. Namun, arsip sangat tidak ternilai. Saat ini semuanya membutuhkan arsip yang tersusun dengan baik. "Arsip masih dipandang sebelah mata. Orang-orang masih menyepelekan arsip. Padahal fungsinya sangat penting," kata Rahmawati. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
Pasar Seni Enggal Jadi Tempat Mesum
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pasar Seni Bandar Lampung masih memiliki kesan sebagai tempat negatif dan tempat mesum. Perlu ada perubahan sehingga Pasar Seni bisa ramai dan meriah.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung Erni Suud, Selasa (19-4), mengatakan Disbudpar memiliki program untuk mengembalikan fungsi Pasar Seni sebagai pusat seni dan kebudayaan.
Nantinya Pusat seni yang berada di dekat Lapangan Enggal ini harus dibuat meriah dengan berbagai kegiatan, seperti musik, tari, dan teater.
Ia mengungkapkan para pekerja seni yang menempati Pasar Seni diharapkan bisa menampilkan kegiatan pembuatan kerajinan pada para pengunjung. Pengunjung pun akan tertarik dan membali hasil kerajinan yang sudah dibuat.
Disbudpar hanya merapikan Pasar Seni. Kerusakan kecil dan mengecat masih bisa dilakukan. Namun, untuk merenovasi tidak bisa karena Pasar Seni merupakan milik Pemprov Lampung.
Ia menilai Pasar Seni terkesan kumuh dan seram karena lampu penerangan sedikit. Disbudpar sudah meminta ke Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Disbertam) untuk memasang penerangan tambahan.
Selama ini orang-orang takut orang masuk ke Pasar Seni. Kesan yang ditangkap masyarakat adalah tempat yang negatif. "Saat pagi hari, sekitar pukul 07.00 sudah pernah dicek. Banyak anak-anak jalanan yang sedang tidur," kata Erna.
Pemkot menginginkan agar Pasar Seni dan sekitarnya bebas dari maksiat. Satpol PP juga sudah diminta untuk selalu mengawasi dan memeriksa tempat itu saat malam hari.
Pasar Seni memiliki dua gedung utama dan 27 pondok. Nantinya akan dibuat tempat makan di gedung utama yang memiliki dua lantai. Ia menambahkan Disbudpar sudah sekali bertemu dengan penghuni Pasar Seni. "Mereka juga menyepakati rencana Pemkot untuk kembali menghidupkan Pasar Seni," ujar Erni. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung Erni Suud, Selasa (19-4), mengatakan Disbudpar memiliki program untuk mengembalikan fungsi Pasar Seni sebagai pusat seni dan kebudayaan.
Nantinya Pusat seni yang berada di dekat Lapangan Enggal ini harus dibuat meriah dengan berbagai kegiatan, seperti musik, tari, dan teater.
Ia mengungkapkan para pekerja seni yang menempati Pasar Seni diharapkan bisa menampilkan kegiatan pembuatan kerajinan pada para pengunjung. Pengunjung pun akan tertarik dan membali hasil kerajinan yang sudah dibuat.
Disbudpar hanya merapikan Pasar Seni. Kerusakan kecil dan mengecat masih bisa dilakukan. Namun, untuk merenovasi tidak bisa karena Pasar Seni merupakan milik Pemprov Lampung.
Ia menilai Pasar Seni terkesan kumuh dan seram karena lampu penerangan sedikit. Disbudpar sudah meminta ke Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Disbertam) untuk memasang penerangan tambahan.
Selama ini orang-orang takut orang masuk ke Pasar Seni. Kesan yang ditangkap masyarakat adalah tempat yang negatif. "Saat pagi hari, sekitar pukul 07.00 sudah pernah dicek. Banyak anak-anak jalanan yang sedang tidur," kata Erna.
Pemkot menginginkan agar Pasar Seni dan sekitarnya bebas dari maksiat. Satpol PP juga sudah diminta untuk selalu mengawasi dan memeriksa tempat itu saat malam hari.
Pasar Seni memiliki dua gedung utama dan 27 pondok. Nantinya akan dibuat tempat makan di gedung utama yang memiliki dua lantai. Ia menambahkan Disbudpar sudah sekali bertemu dengan penghuni Pasar Seni. "Mereka juga menyepakati rencana Pemkot untuk kembali menghidupkan Pasar Seni," ujar Erni. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
Anegerah Kerajaan: Sjachroedin Z.P. Terima Gelar dari Negeri Perak
IPOH (Lampost): Raja Kerajaan Negeri Perak Darul Ridzuan, Paduka Seri Sultan Azlan Shah, menganugerahkan gelar Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini (SPCM) kepada Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dalam upacara kenegaraan di Balairung Seri Kerajaan Istana Iskandariyah Ipoh, Selasa (19-4).
GELAR KERAJAAN. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menerima gelar Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini (SPCM) dari Kerajaan Negeri Perak, Malaysia. Prosesi penganugerahan gelar itu berlangsung di Balairung Seri Kerajaan Istana Iskandariyah Ipoh, Selasa (19-4). (LAMPUNG POST/HESMA ERYANI)
Prosesi penganugerahan gelar berlangsung khidmat. Ribuan pasang mata undangan yang terdiri atas petinggi kerajaan, pejabat pemerintah, para sultan, utusan diplomatik, dan tokoh-tokoh negeri menyaksikan Gubernur menuju tempat penyematan yang diapit dua pengawal.
Sultan Azlan menyematkan selempang hijau (warna yang menunjukkan status sosial tinggi), kalung kebesaran, dan pin ke dada Gubernur.
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan kerajaan, gelar Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini diberikan sebagai suatu kehormatan istimewa kepada Gubernur yang telah membangun kejayaan unggul serta menyumbang perkhidmatan cemerlang kepada Negeri Perak melalui hubungan kerja sama dua negeri.
Gelar ini berada satu tingkat di bawah gelar Dato Seri Azlani yang merupakan gelar penghormatan tertinggi kepada penerima yang dianggap berprestasi. Di Malaysia, gelar ini hanya dimiliki 7 orang, dan Sjachroedin adalah salah satu penerima dari luar Malaysia.
Selain Sjachroedin, berbagai penghargaan juga diberikan kerajaan kepada orang-orang tertentu. Namun, Sjachroedin menjadi pusat perhatian selain karena dia warga luar Malaysia, juga karena darjah kebesaran ini tinggi.
Sejak awal, penghormatan yang diberikan kepada Gubernur juga terlihat istimewa. Gubernur masuk ke balairung istana bersama Sultan, dan ketika jamuan makan siang Gubernur duduk di tempat khusus, sederet dengan Sultan dan Pangeran Kerajaan. Kehadiran Gubernur juga mengisi lembaran media massa koran dan televisi setempat.
Suasana khidmat dan sakral sudah terasa sejak prosesi belum dimulai. Hanya undangan yang memiliki kartu khusus yang boleh masuk, dan harus duduk di tempat yang sudah ditentukan. Undangan juga tak boleh bersuara atau melakukan aktivitas lain selama prosesi.
Gubernur Lampung dalam kesempatan itu mengenakan baju adat Lampung. Ia didampingi Ny. Trully Sjachroedin serta tiga putranya, yakni Rycko Menoza, Aryodhia Febriansyah, dan Handitya Narapati.
Gubernur mengaku mendapat kehormatan atas penganugerahan tersebut dan berjanji akan melanjutkan hubungan lebih lanjut melalui berbagai program pembangunan. "Yang sudah kita mulai sekarang ini pembangunan pertanian dan kota baru," kata Gubernur.
Gubernur berharap MoU antardua negeri yang sudah disepakati segera dapat direalisasikan secara proporsional dan cepat. Menteri Besar Negeri Perak, Datuk Seri Zambry bin Abdul Kadir, juga mengatakan hal senada. "Kami sudah merencanakan untuk mengembangkan di sektor lain," kata dia. (HES/U-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
GELAR KERAJAAN. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menerima gelar Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini (SPCM) dari Kerajaan Negeri Perak, Malaysia. Prosesi penganugerahan gelar itu berlangsung di Balairung Seri Kerajaan Istana Iskandariyah Ipoh, Selasa (19-4). (LAMPUNG POST/HESMA ERYANI)
Prosesi penganugerahan gelar berlangsung khidmat. Ribuan pasang mata undangan yang terdiri atas petinggi kerajaan, pejabat pemerintah, para sultan, utusan diplomatik, dan tokoh-tokoh negeri menyaksikan Gubernur menuju tempat penyematan yang diapit dua pengawal.
Sultan Azlan menyematkan selempang hijau (warna yang menunjukkan status sosial tinggi), kalung kebesaran, dan pin ke dada Gubernur.
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan kerajaan, gelar Dato Seri Paduka Cura Simanja Kini diberikan sebagai suatu kehormatan istimewa kepada Gubernur yang telah membangun kejayaan unggul serta menyumbang perkhidmatan cemerlang kepada Negeri Perak melalui hubungan kerja sama dua negeri.
Gelar ini berada satu tingkat di bawah gelar Dato Seri Azlani yang merupakan gelar penghormatan tertinggi kepada penerima yang dianggap berprestasi. Di Malaysia, gelar ini hanya dimiliki 7 orang, dan Sjachroedin adalah salah satu penerima dari luar Malaysia.
Selain Sjachroedin, berbagai penghargaan juga diberikan kerajaan kepada orang-orang tertentu. Namun, Sjachroedin menjadi pusat perhatian selain karena dia warga luar Malaysia, juga karena darjah kebesaran ini tinggi.
Sejak awal, penghormatan yang diberikan kepada Gubernur juga terlihat istimewa. Gubernur masuk ke balairung istana bersama Sultan, dan ketika jamuan makan siang Gubernur duduk di tempat khusus, sederet dengan Sultan dan Pangeran Kerajaan. Kehadiran Gubernur juga mengisi lembaran media massa koran dan televisi setempat.
Suasana khidmat dan sakral sudah terasa sejak prosesi belum dimulai. Hanya undangan yang memiliki kartu khusus yang boleh masuk, dan harus duduk di tempat yang sudah ditentukan. Undangan juga tak boleh bersuara atau melakukan aktivitas lain selama prosesi.
Gubernur Lampung dalam kesempatan itu mengenakan baju adat Lampung. Ia didampingi Ny. Trully Sjachroedin serta tiga putranya, yakni Rycko Menoza, Aryodhia Febriansyah, dan Handitya Narapati.
Gubernur mengaku mendapat kehormatan atas penganugerahan tersebut dan berjanji akan melanjutkan hubungan lebih lanjut melalui berbagai program pembangunan. "Yang sudah kita mulai sekarang ini pembangunan pertanian dan kota baru," kata Gubernur.
Gubernur berharap MoU antardua negeri yang sudah disepakati segera dapat direalisasikan secara proporsional dan cepat. Menteri Besar Negeri Perak, Datuk Seri Zambry bin Abdul Kadir, juga mengatakan hal senada. "Kami sudah merencanakan untuk mengembangkan di sektor lain," kata dia. (HES/U-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
April 17, 2011
[Inspirasi] Perjalanan Rifa Bersama Para Maestro Lukis
RIFA baru duduk di kelas V di SD Alkautsar, Bandar Lampung, tapi segudang prestasi sudah diraihnya. Baik di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional.
Prestasi terbaru Rifa Nabila Putri menjadi peserta tamu dalam Adventure Lampung Art 2011, di Taman Budaya Lampung, beberapa waktu lalu.
Rifa mengaku darah seni mengalir begitu saja. Padahal kedua orang tuanya, Supriyadi dan Rohyati Sari, bukanlah pegiat seni. Sejak usia dua tahun, Rifa kecil memang sudah terlihat bakat seninya. Dia suka mencorat-coret kertas pekerjaan ibunya yang kini menjadi staf tata usaha di sebuah SMP Negeri di Maerbaumataram, Lampung Selatan.
"Kini Rifa sudah mulai melukis keindahan alam," kata gadis kecil itu, malu-malu.
Tanggal 4—5 April lalu, Rifa diajak maestro lukis dari Jerman, Swedia, Yogyakarta, Jakarta, Lampung, dan berbagai pelukis profesional dari Indonesia dan asia lainnya, dalam Camping Art. 2011, di Pantai Pegadung, Desa Kelumbayan, Tanggamus.
Sebagai pelukis cilik, Rifa memang tidak sendiri, dia ditemani Nabila Ayu, teman satu sekolahnya.
"Perjalanan empat jam yang melelahkan terbayar dengan panorama keindahan pantai Teluk Kelumbayan," kata putri pertama dari dua bersaudara itu.
Ratusan piala hasil lomba mewarnai dan melukis yang dilakoninya sejak duduk di taman kanak-kanak sudah menyesakkan rumahnya di Way Huwi, Lampung Selatan. Namun, hal itu tidak membuahkan kesombongan dan kepuasan diri dalam diri Rifa. Padahal, dia sendiri telah meraih Best Indrowing dalam lomba nasional menggambar di Jakarta tahun 2007.
Saat masih duduk di TK (2006), Rifa sudah mengikuti lomba mewarnai tingkat internasional di Tangerang. Walaupun tidak juara, Rifa mampu menjadi nominasi sebagai 10 lukisan terbaik peserta lomba.
"Hal yang membanggakan diundang sebagai peserta tamu dalam Adventure Lampung Art 2011 dan Camping Art. 2011. Karena dalam kegiatan itu kita dianggap profesional dan mampu satu panggung dengan pelukis-pelukis profesional dari dalam dan luar negeri," kata dia.
Satu mimpi yang belum terwujud sebelum Rifa menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar. Dia ingin menggelar pameran lukisan dan meleleng lukisan-lukisannya.
Sebuah niatan aman, baik, dan tulus akan dia lakukan dalam pameran dan lelang lukisan itu. Uang hasil lelang dan penjualan lukisan akan dia berikan kepada pamannya yang mengalami cacat di wajah dan sebagian tubuhnya akibat terkena setrum tegangan tinggi saat menjalankan tugas mencari nafkah.
"Rencananya uang hasil lelang akan Rifa berikan kepada Ayah Firmansyah, yang kini membutuhkan biaya operasi face off akibat kecelakaan yang dialaminya," kata Rifa, haru.
Gadis kecil kelahiran Bandar Lampung, 20 April 2011 ini, juga berjiwa sosial. Banyak hadiah yang dia raih, seperti meja belajar, tas, buku, dan uang, dia sumbangkan ke anak-anak kurang mampu dan panti sosial. Apalagi setiap memenangkan lomba melukis, Rifa selalu mendapat uang, trofi, dan hadiah lainnya.
"Rifa diajarkan untuk selalu menolong dan memberi, terutama bagi teman-teman yang kurang mampu. Sebagian hadiah Rifa tabung untuk melanjutkan sekolah nanti," kata dia.
Ditanya soal keikutsertaanya dalam Camping Art. 2011, Rifa mengaku bangga dan terpesona dengan ciptaan yang Mahakuasa. Ternyata, kata dia, Lampung memiliki potensi wisata yang sangat indah, dengan panorama alam yang menakjubkan. Salah satunya Pantai Pegadung, Kelumbayan, Tanggamus.
"Kami diberi kebebasan melukiskan ciptaan Tuhan ke atas kanvas. Rifa berharap kegiatan seperti ini dapat diadakan di lokasi wisata lainnya. Tujuannya, selain menyalurkan jiwa seni di atas kanvas, kita juga dapat merenungi, menghargai, dan menjaga ciptaan Allah itu," kata dia.
Ditanya apakah Rifa tertarik dalam dunia jurnalistik yang sudah cukup banyak mengabadikan namanya dalam dunia mewarnai dan melukis, Rifa mengaku sangat ingin. Terlebih dia juga suka mengarang dan menulis. Namun, kesempatan menjadi reporter cilik belum dia dapatkan. "Mudah-mudahan, tahun depan Rifa bisa bergabung dengan reporter cilik Lampung Post," kata dia bersemangat. (LUKMAN HAKIM/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
Prestasi terbaru Rifa Nabila Putri menjadi peserta tamu dalam Adventure Lampung Art 2011, di Taman Budaya Lampung, beberapa waktu lalu.
Rifa mengaku darah seni mengalir begitu saja. Padahal kedua orang tuanya, Supriyadi dan Rohyati Sari, bukanlah pegiat seni. Sejak usia dua tahun, Rifa kecil memang sudah terlihat bakat seninya. Dia suka mencorat-coret kertas pekerjaan ibunya yang kini menjadi staf tata usaha di sebuah SMP Negeri di Maerbaumataram, Lampung Selatan.
"Kini Rifa sudah mulai melukis keindahan alam," kata gadis kecil itu, malu-malu.
Tanggal 4—5 April lalu, Rifa diajak maestro lukis dari Jerman, Swedia, Yogyakarta, Jakarta, Lampung, dan berbagai pelukis profesional dari Indonesia dan asia lainnya, dalam Camping Art. 2011, di Pantai Pegadung, Desa Kelumbayan, Tanggamus.
Sebagai pelukis cilik, Rifa memang tidak sendiri, dia ditemani Nabila Ayu, teman satu sekolahnya.
"Perjalanan empat jam yang melelahkan terbayar dengan panorama keindahan pantai Teluk Kelumbayan," kata putri pertama dari dua bersaudara itu.
Ratusan piala hasil lomba mewarnai dan melukis yang dilakoninya sejak duduk di taman kanak-kanak sudah menyesakkan rumahnya di Way Huwi, Lampung Selatan. Namun, hal itu tidak membuahkan kesombongan dan kepuasan diri dalam diri Rifa. Padahal, dia sendiri telah meraih Best Indrowing dalam lomba nasional menggambar di Jakarta tahun 2007.
Saat masih duduk di TK (2006), Rifa sudah mengikuti lomba mewarnai tingkat internasional di Tangerang. Walaupun tidak juara, Rifa mampu menjadi nominasi sebagai 10 lukisan terbaik peserta lomba.
"Hal yang membanggakan diundang sebagai peserta tamu dalam Adventure Lampung Art 2011 dan Camping Art. 2011. Karena dalam kegiatan itu kita dianggap profesional dan mampu satu panggung dengan pelukis-pelukis profesional dari dalam dan luar negeri," kata dia.
Satu mimpi yang belum terwujud sebelum Rifa menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar. Dia ingin menggelar pameran lukisan dan meleleng lukisan-lukisannya.
Sebuah niatan aman, baik, dan tulus akan dia lakukan dalam pameran dan lelang lukisan itu. Uang hasil lelang dan penjualan lukisan akan dia berikan kepada pamannya yang mengalami cacat di wajah dan sebagian tubuhnya akibat terkena setrum tegangan tinggi saat menjalankan tugas mencari nafkah.
"Rencananya uang hasil lelang akan Rifa berikan kepada Ayah Firmansyah, yang kini membutuhkan biaya operasi face off akibat kecelakaan yang dialaminya," kata Rifa, haru.
Gadis kecil kelahiran Bandar Lampung, 20 April 2011 ini, juga berjiwa sosial. Banyak hadiah yang dia raih, seperti meja belajar, tas, buku, dan uang, dia sumbangkan ke anak-anak kurang mampu dan panti sosial. Apalagi setiap memenangkan lomba melukis, Rifa selalu mendapat uang, trofi, dan hadiah lainnya.
"Rifa diajarkan untuk selalu menolong dan memberi, terutama bagi teman-teman yang kurang mampu. Sebagian hadiah Rifa tabung untuk melanjutkan sekolah nanti," kata dia.
Ditanya soal keikutsertaanya dalam Camping Art. 2011, Rifa mengaku bangga dan terpesona dengan ciptaan yang Mahakuasa. Ternyata, kata dia, Lampung memiliki potensi wisata yang sangat indah, dengan panorama alam yang menakjubkan. Salah satunya Pantai Pegadung, Kelumbayan, Tanggamus.
"Kami diberi kebebasan melukiskan ciptaan Tuhan ke atas kanvas. Rifa berharap kegiatan seperti ini dapat diadakan di lokasi wisata lainnya. Tujuannya, selain menyalurkan jiwa seni di atas kanvas, kita juga dapat merenungi, menghargai, dan menjaga ciptaan Allah itu," kata dia.
Ditanya apakah Rifa tertarik dalam dunia jurnalistik yang sudah cukup banyak mengabadikan namanya dalam dunia mewarnai dan melukis, Rifa mengaku sangat ingin. Terlebih dia juga suka mengarang dan menulis. Namun, kesempatan menjadi reporter cilik belum dia dapatkan. "Mudah-mudahan, tahun depan Rifa bisa bergabung dengan reporter cilik Lampung Post," kata dia bersemangat. (LUKMAN HAKIM/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
[Perjalanan] Menyaksikan Krakatau dari Banding Resort
KABUPATEN Lampung Selatan kaya akan potensi wisata bahari. Salah satunya Pantai Banding Resort di Kecamatan Rajabasa. Dari sini pengunjung bisa menikmati aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK).
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/JUWANTORO
Lekuk pantai yang berada di jalur Barat Kalianda, Lampung Selatan, itu terlihat berbeda dari pantai lainnya. Pantai sepanjang sekira 500 meter itu telah dipasang bebatuan dan beton pemecah ombak. Di belakangnya, pedestrian atau trotoar lebar dari paving block tergelar. Mundur lagi, lapangan pasir dengan rerimbunan pohon waru dan lainnya menjadi payung dari sengatan matahari.
Lokasi itu adalah Pantai Banding Resort. Infrastuktur tempat wisata ini memang sudah mapan. Sayang, sampai kini tidak dikelola dengan baik. Padahal, dengan sedikit sentuhan dan promosi, Pantai Banding Resort akan menjadi salah satu rujukan pariwisata di Lampung.
Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, yang ingin menikmati angin sepoi, berdekatan dengan debur ombak, sambil menikmati pemandangan pulau-pulau dan Gunung Anak Krakatau yang batuk-batuk, bisa datang ke sini.
Tidak akan sulit untuk mencari keberadaan Pantai Banding Resort itu. Letaknya persis di tepi jalan pesisir pantai Kecamatan Rajabasa.
Jarak tempuh menuju ke sana hanya 15 menit dengan mengendarai kendaraan roda empat, dari tepi jalinsum Kabupaten Lampung Selatan. Karena jarak dari ibu kota Kalianda menuju Pantai Banding Resort kurang lebih 15 km. Pasalnya, jalan aspal menuju ke sana cukup bagus.
Untuk sampai ke Pantai Banding Resort, pengujung atau wisatawan bisa menikmati pesisir pantai. Sebab, jalan beraspal menuju ke sana pada tepian bagian kanan jalan merupakan bentangan samudera (laut, red) luas yang dapat langsung terlihat dari dalam kendaraan.
Selain dapat menikmati pemandangan pegunungan dan bantaran pemecah ombak, para pengunjung pun bisa menikmati hamparan pasir yang cukup luas di pantai Banding Resort. Apalagi Pantai Banding Resort cukup teduh. Karena pohon-pohon kelapa memang sengaja ditanam sebagai pelindung para pengunjung dari sengatan matahari.
Hamparan pasir putih dan tanaman kelapa yang berjejer rapi, menambah kesejukan Pantai Banding Resort. Sehingga tempat ini cocok sebagai tempat istirahat bagi para pengunjung yang datang.
Pantai Banding Resort kerap digunakan sebagai tempat perlombaan pada acara ulang tahun Pemkab Lamsel, tapi pada hari-hari biasa sepi. Kepadatan pengunjung di sini akan tampak pada Lebaran dan perayaan menyambut Tahun Baru.
Di sisi lain, pada malam hari, pada bagian kanan jalan tidak jauh dari Pantai Banding Resort itu, para pengunjung juga dapat menikmati minuman, mulai dari minuman segar hingga minuman beralkohol di Kafe Guha, sembari menimati House Musik.
Ironisnya, dari tahun ke tahun wisata bahari di tepi pesisir pantai masih jarang dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun luar daerah. Hal ini disebabkan pengelolaan pantai masih perorangan dan desain penataan bersifat alakadarnya, karena belum tersentuh penataan yang baik. Mungkinkah faktor utamanya dari segi permodalan yang terbatas?
Untuk mengubah itu, Pemkab Lampung Selatan kini memprogramkan pelebaran jalan pesisir pantai tersebut dan akan mengalihkan arus lalu lintas kendaraan pribadi, baik yang akan menuju Pelabuhan Bakauheni dari Bandar Lampung atau yang dari Pelabuhan Bakauheni menuju Bandar Lampung.
"Dengan pelebaran jalan pesisir pantai, kami berharap wisata pantai bisa dinikmati oleh para pengguna jalan. Dengan sendirinya wisata pantai di tepi jalan pesisir dapat berkembang dengan pesat. Maka, di Kabupaten Lamsel ini akan menyerupai wisata pantai Jimbaran, Bali," ujar Sutono, sekkab Lampung Selatan. Dia mempromosikan hal itu setiap ada pertemuan dengan para tamu Pemkab setempat.
Menurut Sutono, program pelebaran jalan raya pesisir pantai yang masuk di wilayah Kecamatan Kalianda dan Rajabasa, usulannya telah masuk ke Badan Pembangunan Nasional (Bapenas). Apalagi usulan tersebut telah disetujui perwakilan Bapenas yang pernah datang ke Kabupaten Lampung Selatan pada Februari 2011.
"Jadi, program pelebaran jalan pesisir pantai di wilayah Kabupaten Lampung Selatan akan menjadi program unggulan Pemkab Lamsel," kata dia.
Tidak salah jika Pemkab Lamsel memprioritaskan pelebaran jalan raya pesisir pantai di wilayah Kecamatan Rajabasa. Sebab, berbagai potensi alam sangat memungkinkan. Tinggal bagaimana kita melakukan penataan saja. Mungkin melalui sentuhan tangan-tangan ahlinya, apa yang menjadi cita-cita Pemkab setempat dapat terwujud. Bahkan bisa melebihi wisata pantai di Bali karena potensi alam sangat menujang. (JUWANTORO/M-1).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/JUWANTORO
Lekuk pantai yang berada di jalur Barat Kalianda, Lampung Selatan, itu terlihat berbeda dari pantai lainnya. Pantai sepanjang sekira 500 meter itu telah dipasang bebatuan dan beton pemecah ombak. Di belakangnya, pedestrian atau trotoar lebar dari paving block tergelar. Mundur lagi, lapangan pasir dengan rerimbunan pohon waru dan lainnya menjadi payung dari sengatan matahari.
Lokasi itu adalah Pantai Banding Resort. Infrastuktur tempat wisata ini memang sudah mapan. Sayang, sampai kini tidak dikelola dengan baik. Padahal, dengan sedikit sentuhan dan promosi, Pantai Banding Resort akan menjadi salah satu rujukan pariwisata di Lampung.
Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, yang ingin menikmati angin sepoi, berdekatan dengan debur ombak, sambil menikmati pemandangan pulau-pulau dan Gunung Anak Krakatau yang batuk-batuk, bisa datang ke sini.
Tidak akan sulit untuk mencari keberadaan Pantai Banding Resort itu. Letaknya persis di tepi jalan pesisir pantai Kecamatan Rajabasa.
Jarak tempuh menuju ke sana hanya 15 menit dengan mengendarai kendaraan roda empat, dari tepi jalinsum Kabupaten Lampung Selatan. Karena jarak dari ibu kota Kalianda menuju Pantai Banding Resort kurang lebih 15 km. Pasalnya, jalan aspal menuju ke sana cukup bagus.
Untuk sampai ke Pantai Banding Resort, pengujung atau wisatawan bisa menikmati pesisir pantai. Sebab, jalan beraspal menuju ke sana pada tepian bagian kanan jalan merupakan bentangan samudera (laut, red) luas yang dapat langsung terlihat dari dalam kendaraan.
Selain dapat menikmati pemandangan pegunungan dan bantaran pemecah ombak, para pengunjung pun bisa menikmati hamparan pasir yang cukup luas di pantai Banding Resort. Apalagi Pantai Banding Resort cukup teduh. Karena pohon-pohon kelapa memang sengaja ditanam sebagai pelindung para pengunjung dari sengatan matahari.
Hamparan pasir putih dan tanaman kelapa yang berjejer rapi, menambah kesejukan Pantai Banding Resort. Sehingga tempat ini cocok sebagai tempat istirahat bagi para pengunjung yang datang.
Pantai Banding Resort kerap digunakan sebagai tempat perlombaan pada acara ulang tahun Pemkab Lamsel, tapi pada hari-hari biasa sepi. Kepadatan pengunjung di sini akan tampak pada Lebaran dan perayaan menyambut Tahun Baru.
Di sisi lain, pada malam hari, pada bagian kanan jalan tidak jauh dari Pantai Banding Resort itu, para pengunjung juga dapat menikmati minuman, mulai dari minuman segar hingga minuman beralkohol di Kafe Guha, sembari menimati House Musik.
Ironisnya, dari tahun ke tahun wisata bahari di tepi pesisir pantai masih jarang dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun luar daerah. Hal ini disebabkan pengelolaan pantai masih perorangan dan desain penataan bersifat alakadarnya, karena belum tersentuh penataan yang baik. Mungkinkah faktor utamanya dari segi permodalan yang terbatas?
Untuk mengubah itu, Pemkab Lampung Selatan kini memprogramkan pelebaran jalan pesisir pantai tersebut dan akan mengalihkan arus lalu lintas kendaraan pribadi, baik yang akan menuju Pelabuhan Bakauheni dari Bandar Lampung atau yang dari Pelabuhan Bakauheni menuju Bandar Lampung.
"Dengan pelebaran jalan pesisir pantai, kami berharap wisata pantai bisa dinikmati oleh para pengguna jalan. Dengan sendirinya wisata pantai di tepi jalan pesisir dapat berkembang dengan pesat. Maka, di Kabupaten Lamsel ini akan menyerupai wisata pantai Jimbaran, Bali," ujar Sutono, sekkab Lampung Selatan. Dia mempromosikan hal itu setiap ada pertemuan dengan para tamu Pemkab setempat.
Menurut Sutono, program pelebaran jalan raya pesisir pantai yang masuk di wilayah Kecamatan Kalianda dan Rajabasa, usulannya telah masuk ke Badan Pembangunan Nasional (Bapenas). Apalagi usulan tersebut telah disetujui perwakilan Bapenas yang pernah datang ke Kabupaten Lampung Selatan pada Februari 2011.
"Jadi, program pelebaran jalan pesisir pantai di wilayah Kabupaten Lampung Selatan akan menjadi program unggulan Pemkab Lamsel," kata dia.
Tidak salah jika Pemkab Lamsel memprioritaskan pelebaran jalan raya pesisir pantai di wilayah Kecamatan Rajabasa. Sebab, berbagai potensi alam sangat memungkinkan. Tinggal bagaimana kita melakukan penataan saja. Mungkin melalui sentuhan tangan-tangan ahlinya, apa yang menjadi cita-cita Pemkab setempat dapat terwujud. Bahkan bisa melebihi wisata pantai di Bali karena potensi alam sangat menujang. (JUWANTORO/M-1).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
April 12, 2011
Bambu Kuning, Pasar Legendaris
Penulis: Siti Nuryani | Editor: Yaspen Martinus
SEJAK dulu hingga sekarang, Pasar Bambu Kuning (BK) bagaikan pasar legendaris di Bandar Lampung. Pusat keramaian ini tak hanya menjadi lokasi favorit bagi para pedagang untuk berniaga, tapi juga sebagai tempat belanja yang banyak didatangi para pembeli.
Salah satu sudut di Pasar Bambu Kuning. (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/ MARZULI)
Selain karena barang-barangnya tersedia dalam banyak pilihan, Pasar BK pun terkenal karena harga-harga barangnya yang murah, dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan tempat lainnya.
Dari waktu ke waktu, tempat ini berkembang hingga mengalami banyak perubahan. Mulai dari bentuk bangunan hingga jumlah kios. Tapi, yang tidak berubah adalah keberadaan para pedagang kaki lima (PKL).
Para PKL di BK saat ini tergabung dalam sebuah perkumpulan yang menamakan dirinya Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning atau HPKLBK. Himpunan yang lahir secara informal pada 1998 ini memiliki anggota sebanyak 210 PKL.
PKL ini menempati selasar bangunan, tepatnya di depan kios pedagang lantai satu. Selain mereka, terdapat 270 kios pedagang lain yang masih menggantungkan kelangsungan hidupnya di pasar tradisional yang terletak di Jalan Imam Bonjol No 1, Bandar Lampung ini.
Zulkarnain, salah satu pedagang yang juga menjabat sebagai Ketua HPKLBK menuturkan, perang dingin biasa terjadi di pasar tradisional berlantai tiga ini. Baik antara PKL dan pemilik kios, antarsesama pemilik kios, pedagang dan pengembang, hingga pedagang dan pemerintah.
“Dulu hampir setiap hari ada yang ribut. Entah karena dagangan menutupi kios, atau lapaknya bergeser sedikit, pasti ada saja. Tapi, sekarang kondisi ini sudah jarang terjadi,” kata lelaki yang berjualan celana pendek ini.
Biasanya, para pedagang juga terlibat konflik dengan pemerintah, dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Zulkarnain mengisahkan, di era kepemimpinan Wali Kota Nurdin Muhayat pada 1990-1994, PKL dilarang eksis.
“Kami harus kucing-kucingan dengan pamong untuk berjualan. Dalam kurun waktu satu tahun kemudian, akhirnya PKL muncul kembali,” kenangnya kepada Tribunlampung.co.id.
Sekarang hal tersebut tidak ia alami lagi. Ia kini bisa berjualan dengan tenang. Karena, di era kepemimpinan Wali Kota Eddy Sutrisno, HPKLBK mendapatkan izin untuk berjualan di selasar bangunan kios.
Kenikmatan berbelanja di BK adalah melakukan tawar-menawar harga. Ini diakui oleh Rahma, warga Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Ia mengatakan, mampu mendapatkan setengah dari harga penjualan dari proses tawar-menawar.
“Di situ kenikmatannya, bisa dapat harga murah dibandingkan supermarket. Meskipun pengap, tapi seru aja Mbak,” katanya.
Hal lain yang juga menjadi ciri khas BK adalah keberadaan preman dan copet. Menurut Zulkarnain, ada dua macam preman di tempat itu, yang legal dan ilegal.
Sumber: Tribun Lampung, Selasa, 12 April 2011
SEJAK dulu hingga sekarang, Pasar Bambu Kuning (BK) bagaikan pasar legendaris di Bandar Lampung. Pusat keramaian ini tak hanya menjadi lokasi favorit bagi para pedagang untuk berniaga, tapi juga sebagai tempat belanja yang banyak didatangi para pembeli.
Salah satu sudut di Pasar Bambu Kuning. (TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/ MARZULI)
Selain karena barang-barangnya tersedia dalam banyak pilihan, Pasar BK pun terkenal karena harga-harga barangnya yang murah, dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan tempat lainnya.
Dari waktu ke waktu, tempat ini berkembang hingga mengalami banyak perubahan. Mulai dari bentuk bangunan hingga jumlah kios. Tapi, yang tidak berubah adalah keberadaan para pedagang kaki lima (PKL).
Para PKL di BK saat ini tergabung dalam sebuah perkumpulan yang menamakan dirinya Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning atau HPKLBK. Himpunan yang lahir secara informal pada 1998 ini memiliki anggota sebanyak 210 PKL.
PKL ini menempati selasar bangunan, tepatnya di depan kios pedagang lantai satu. Selain mereka, terdapat 270 kios pedagang lain yang masih menggantungkan kelangsungan hidupnya di pasar tradisional yang terletak di Jalan Imam Bonjol No 1, Bandar Lampung ini.
Zulkarnain, salah satu pedagang yang juga menjabat sebagai Ketua HPKLBK menuturkan, perang dingin biasa terjadi di pasar tradisional berlantai tiga ini. Baik antara PKL dan pemilik kios, antarsesama pemilik kios, pedagang dan pengembang, hingga pedagang dan pemerintah.
“Dulu hampir setiap hari ada yang ribut. Entah karena dagangan menutupi kios, atau lapaknya bergeser sedikit, pasti ada saja. Tapi, sekarang kondisi ini sudah jarang terjadi,” kata lelaki yang berjualan celana pendek ini.
Biasanya, para pedagang juga terlibat konflik dengan pemerintah, dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Zulkarnain mengisahkan, di era kepemimpinan Wali Kota Nurdin Muhayat pada 1990-1994, PKL dilarang eksis.
“Kami harus kucing-kucingan dengan pamong untuk berjualan. Dalam kurun waktu satu tahun kemudian, akhirnya PKL muncul kembali,” kenangnya kepada Tribunlampung.co.id.
Sekarang hal tersebut tidak ia alami lagi. Ia kini bisa berjualan dengan tenang. Karena, di era kepemimpinan Wali Kota Eddy Sutrisno, HPKLBK mendapatkan izin untuk berjualan di selasar bangunan kios.
Kenikmatan berbelanja di BK adalah melakukan tawar-menawar harga. Ini diakui oleh Rahma, warga Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Ia mengatakan, mampu mendapatkan setengah dari harga penjualan dari proses tawar-menawar.
“Di situ kenikmatannya, bisa dapat harga murah dibandingkan supermarket. Meskipun pengap, tapi seru aja Mbak,” katanya.
Hal lain yang juga menjadi ciri khas BK adalah keberadaan preman dan copet. Menurut Zulkarnain, ada dua macam preman di tempat itu, yang legal dan ilegal.
Sumber: Tribun Lampung, Selasa, 12 April 2011
April 11, 2011
"Pencarian" ZA Mathikha Dewa
Oleh Udo Z. Karzi
SEBUAH manuskrip kumpulan sajak bertitel "Pencarian" mampir ke tempat saya. Penulisnya, ZA Mathikha Dewa--yang mengirim sendiri dari Jayapura.
ZA Mathikha Dewa (IST)
Suatu kejutan! Soalnya, seingat saya, bumi Irian Jaya selama ini sepi dari kehidupan kesusastraan, terlebih dalam bidang puisi. Boleh dikatakan, tak ada pengarang atau penyair yang mencuat ke pentas nasional. Pengamatan saya ini diperkuat oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair senior Lampung.
Adalah harapan besar akan munculnya sastrawan dari provinsi ujung Timur Indonesia ini. Setidaknya, karena saya kenal dengan ZA Mathikha Dewa, yang saya ketahui giat berkarya dalam bidang tulis menulis. Awalnya, cerpan-cerpennya mengalir ke ibukota melalui media massa di sana. Belakangan, saya tahu bahwa dia juga ternyata menulis sajak.
ZA Mathikha Dewa, lahir 22 Desember 1970 di Liwa, Lampung Barat. Masa kanak dan remaja ia jalani di kota Kelahirannya hingga kelas dua SMA. Tahun 1987, ia hijrah ke Jayapura, Irian Jaya dan meneruskan pendidikan di sana. Saat ini ia masih tercatat sebagai mahasiswa Matematika FKIP Universitas Cenderawasih
Proses kreatifnya, sebenarnya telah dimulai dari kota atau ketika lahir masih desa. Seperti diakuinya, suasana pedesaan, hutan, gunung pebukitan yang begitu akrab di masa kecil ditambah dengan kegemarannya membaca apa saja sejak kecil telah menebalkan idealismenya. Cerita-cerita Mansur Samin sangat mengentalkan hasrat untuk terus menulis dan menulis.
Kegembiraan lain, karena di sampingnya, terdapat juga banyak pencinta dan penggiat lain yang mulai menyemarakkan kesusastraan di sana. Walaupun--seperti yang dikatakan Mathikha--masih kurang kreatif.
***
Menyimak sajak-sajak dalam kumpulan "Pencarian", kita akan menemukan kesederhanaan dan kelugasan bahasa yang dipergunakan. Ada kesan, penyair terlalu berterus-terang dengan realitas dan ide yang hendak ia sampaikan. Tapi, jika memperhatikan bahwa puisi-puisi itu tercipta secara spontanitas dan dibacakan secara spontanitas pula, seperti yang dikatakan Mathikha, agaknya keadaan ini dapat dipahami.
Seperti titel buku ini, agaknya penyair masih mencari-cari bentuk penyajian puisi yang pas. Puisi-puisinya jika diperhatikan masih banyak dipengaruhi penyair-penyair lain, walaupun--seperti diakuinya--tanpa sengaja. Saya melihat, Chairil Anwar dan W.S.Rendra terasa dominan mewarnai sajak-sajaknya.
Hal ini sebenarnya tak perlu malu untuk diakui. Banyak penyair besar yang pada mulannya dipengaruhi oleh penyair pendahulunya. Ini bukan hal ini memalukan. Asal kemudian, secara perlahan-lahan mencoba keluar dari keberpengaruhan itu dan mulai menemukan bentuk puisinya sendiri.
Mengenai titel kumpulan ini, saya kurang mengerti mengapa mesti yang "Pencarian" yang diambil. Mengapa tidak yang lain? Tapi, baiklah itu adalah hak yang punya kumpulan.
***
Dari segi tematis, kumpulan ini ternyata ingin berbicara banyak tentang perasaan cinta, benci, rindu, dan dendam. Ini bisa dilihat dari banyak puisi yang membicarakan persolan ini. Kata ganti aku,-ku, engkau, -mu, dan dia yang sering dipergunakan penyair juga menunjukkan bahwa penyair banyak menggunakan perasaan pribadinya dalam hubungan kemanusiaan hahekat persahabatan dan persaudaraan dituangkan penyair lewat saja-sajak "Lewat Suara", "Pesan 1", "Pesan II, "Puisi Perpisahan", dan "Ekspansi Jatidiri".
Ada nada pesimis-ironis dalam beberapa puisinya seperti dalam "Ingin IV": Aku ingin berhenti/meski hanya sejenak/tak peduli hari ini/ada sesuatu yang hilang/tak peduli hari ini/kekuatanku tinggal sedikit/-terlampau lelah aku/dari segalanya.
Atau "Kisah Sang Gelandangan": Dan penuh semangat/tawaran diterima/dengan penuh harapan yang mengalir/nyatanya sewindu asa putus/dan dia pulang dengan kalah/dan dia pulang dengan wajah tunduk/menyesali datangnya tawaran.
Namun, dalam beberapa puisinya timbul harapan, semangat dan gairah: ikhlasku terbelenggu/ikhlasku terus bermimpi/ikhlasku milik tak pasti/ikhlasku dalam lingkar ragu/ikhlasku kau tak mengerti/atau pura-pura tak tahu/mudah-mudahan ada semangat/dan kau mengerti/dan lebih berani (Puisi "Ingin I").
Nada-nada serupa terdapat pada "Ingin III" dan "Teriak Bisu Kita"
Puisi-puisi yang lainnya menampakkan religiusitas. Misalnya ini: sebenarnya aku tak ingin mencintai siapa-siapa/sebenarnya aku pun tak ingin mencintai kamu/namun Tuhan menyebabkan aku diciptakan/namun Tuhan membuat aku mencintaimu/dan kian hari/cintaku kian putih/dan kian hari/cintaku memberi kedamaian ("Puisi Pendek tentang Cintaku").
Yang lain, "Ingin I", "Aku ingin pergi ke Jabal Hikmah", "Kalut", "pesan Hari Ini" dan "Ambisi".
Sementara tema sosial yang menyuarakan nurani dan kemanusiaan. maka siapapun adanya kamu/aku bermohon padamu/agar jangan ada rekayasa/latar pengorbanan rakyat/hingga keadilan jadi samar/buram tak bercahaya/dan orang-orang pun lupa cerita ini/lalu keadilan pun jadi tak dilaksanakan ("Ohee V") Simak juga ini. Aku mendengar kata-kata mengalir/aku menangkap kepolosan kawanku...(Sejarah Hari ini).
***
Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam "Pencarian" ini menarik. Ada cuatan-cuatan yang membuat kumpulan ini terasa lebih kuat. Jika penyair lebih sabar lagi dalam mengolah puisi-puisinya, mungkin akan dapat kita temui puisi-puisi yang lebih bernuansa.
Persoalannya adalah bagaimana penyair mampu membangun imaji atau citra tertentu dengan menggabungkan unsur-unsur puisi: musikalisasi, korespondensi, dan bahasa. Bunyi dan rima, hubungan satu larik (baris) dengan larik lain atau satu bait dengan bait lain, pilihan kata serta idiom-idiom yang baik akan dapat menolong hadirnya puisi yang berhasil.
Kalau boleh menilai, sebenarnya bukan menilai, tetapi hanya berdasarkan selera, ada beberapa puisi yang saya sukai dari kumpulan ini. "Pada yang Keseribu". "Ingin I", "Kisah Sang Gelandangan", "Reksami I", "Puisi Reksami Terakhir", "Pencarian". dan "Ohee I-V".
Satu lagi penyair lahir. Kita sambut manuskrip kumpulan sajak ini. Semoga ZA Mathikha Dewa tak pernah berhenti "Mencari".
Teknokra Edisi 162, Mei 1996
SEBUAH manuskrip kumpulan sajak bertitel "Pencarian" mampir ke tempat saya. Penulisnya, ZA Mathikha Dewa--yang mengirim sendiri dari Jayapura.
ZA Mathikha Dewa (IST)
Suatu kejutan! Soalnya, seingat saya, bumi Irian Jaya selama ini sepi dari kehidupan kesusastraan, terlebih dalam bidang puisi. Boleh dikatakan, tak ada pengarang atau penyair yang mencuat ke pentas nasional. Pengamatan saya ini diperkuat oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair senior Lampung.
Adalah harapan besar akan munculnya sastrawan dari provinsi ujung Timur Indonesia ini. Setidaknya, karena saya kenal dengan ZA Mathikha Dewa, yang saya ketahui giat berkarya dalam bidang tulis menulis. Awalnya, cerpan-cerpennya mengalir ke ibukota melalui media massa di sana. Belakangan, saya tahu bahwa dia juga ternyata menulis sajak.
ZA Mathikha Dewa, lahir 22 Desember 1970 di Liwa, Lampung Barat. Masa kanak dan remaja ia jalani di kota Kelahirannya hingga kelas dua SMA. Tahun 1987, ia hijrah ke Jayapura, Irian Jaya dan meneruskan pendidikan di sana. Saat ini ia masih tercatat sebagai mahasiswa Matematika FKIP Universitas Cenderawasih
Proses kreatifnya, sebenarnya telah dimulai dari kota atau ketika lahir masih desa. Seperti diakuinya, suasana pedesaan, hutan, gunung pebukitan yang begitu akrab di masa kecil ditambah dengan kegemarannya membaca apa saja sejak kecil telah menebalkan idealismenya. Cerita-cerita Mansur Samin sangat mengentalkan hasrat untuk terus menulis dan menulis.
Kegembiraan lain, karena di sampingnya, terdapat juga banyak pencinta dan penggiat lain yang mulai menyemarakkan kesusastraan di sana. Walaupun--seperti yang dikatakan Mathikha--masih kurang kreatif.
***
Menyimak sajak-sajak dalam kumpulan "Pencarian", kita akan menemukan kesederhanaan dan kelugasan bahasa yang dipergunakan. Ada kesan, penyair terlalu berterus-terang dengan realitas dan ide yang hendak ia sampaikan. Tapi, jika memperhatikan bahwa puisi-puisi itu tercipta secara spontanitas dan dibacakan secara spontanitas pula, seperti yang dikatakan Mathikha, agaknya keadaan ini dapat dipahami.
Seperti titel buku ini, agaknya penyair masih mencari-cari bentuk penyajian puisi yang pas. Puisi-puisinya jika diperhatikan masih banyak dipengaruhi penyair-penyair lain, walaupun--seperti diakuinya--tanpa sengaja. Saya melihat, Chairil Anwar dan W.S.Rendra terasa dominan mewarnai sajak-sajaknya.
Hal ini sebenarnya tak perlu malu untuk diakui. Banyak penyair besar yang pada mulannya dipengaruhi oleh penyair pendahulunya. Ini bukan hal ini memalukan. Asal kemudian, secara perlahan-lahan mencoba keluar dari keberpengaruhan itu dan mulai menemukan bentuk puisinya sendiri.
Mengenai titel kumpulan ini, saya kurang mengerti mengapa mesti yang "Pencarian" yang diambil. Mengapa tidak yang lain? Tapi, baiklah itu adalah hak yang punya kumpulan.
***
Dari segi tematis, kumpulan ini ternyata ingin berbicara banyak tentang perasaan cinta, benci, rindu, dan dendam. Ini bisa dilihat dari banyak puisi yang membicarakan persolan ini. Kata ganti aku,-ku, engkau, -mu, dan dia yang sering dipergunakan penyair juga menunjukkan bahwa penyair banyak menggunakan perasaan pribadinya dalam hubungan kemanusiaan hahekat persahabatan dan persaudaraan dituangkan penyair lewat saja-sajak "Lewat Suara", "Pesan 1", "Pesan II, "Puisi Perpisahan", dan "Ekspansi Jatidiri".
Ada nada pesimis-ironis dalam beberapa puisinya seperti dalam "Ingin IV": Aku ingin berhenti/meski hanya sejenak/tak peduli hari ini/ada sesuatu yang hilang/tak peduli hari ini/kekuatanku tinggal sedikit/-terlampau lelah aku/dari segalanya.
Atau "Kisah Sang Gelandangan": Dan penuh semangat/tawaran diterima/dengan penuh harapan yang mengalir/nyatanya sewindu asa putus/dan dia pulang dengan kalah/dan dia pulang dengan wajah tunduk/menyesali datangnya tawaran.
Namun, dalam beberapa puisinya timbul harapan, semangat dan gairah: ikhlasku terbelenggu/ikhlasku terus bermimpi/ikhlasku milik tak pasti/ikhlasku dalam lingkar ragu/ikhlasku kau tak mengerti/atau pura-pura tak tahu/mudah-mudahan ada semangat/dan kau mengerti/dan lebih berani (Puisi "Ingin I").
Nada-nada serupa terdapat pada "Ingin III" dan "Teriak Bisu Kita"
Puisi-puisi yang lainnya menampakkan religiusitas. Misalnya ini: sebenarnya aku tak ingin mencintai siapa-siapa/sebenarnya aku pun tak ingin mencintai kamu/namun Tuhan menyebabkan aku diciptakan/namun Tuhan membuat aku mencintaimu/dan kian hari/cintaku kian putih/dan kian hari/cintaku memberi kedamaian ("Puisi Pendek tentang Cintaku").
Yang lain, "Ingin I", "Aku ingin pergi ke Jabal Hikmah", "Kalut", "pesan Hari Ini" dan "Ambisi".
Sementara tema sosial yang menyuarakan nurani dan kemanusiaan. maka siapapun adanya kamu/aku bermohon padamu/agar jangan ada rekayasa/latar pengorbanan rakyat/hingga keadilan jadi samar/buram tak bercahaya/dan orang-orang pun lupa cerita ini/lalu keadilan pun jadi tak dilaksanakan ("Ohee V") Simak juga ini. Aku mendengar kata-kata mengalir/aku menangkap kepolosan kawanku...(Sejarah Hari ini).
***
Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam "Pencarian" ini menarik. Ada cuatan-cuatan yang membuat kumpulan ini terasa lebih kuat. Jika penyair lebih sabar lagi dalam mengolah puisi-puisinya, mungkin akan dapat kita temui puisi-puisi yang lebih bernuansa.
Persoalannya adalah bagaimana penyair mampu membangun imaji atau citra tertentu dengan menggabungkan unsur-unsur puisi: musikalisasi, korespondensi, dan bahasa. Bunyi dan rima, hubungan satu larik (baris) dengan larik lain atau satu bait dengan bait lain, pilihan kata serta idiom-idiom yang baik akan dapat menolong hadirnya puisi yang berhasil.
Kalau boleh menilai, sebenarnya bukan menilai, tetapi hanya berdasarkan selera, ada beberapa puisi yang saya sukai dari kumpulan ini. "Pada yang Keseribu". "Ingin I", "Kisah Sang Gelandangan", "Reksami I", "Puisi Reksami Terakhir", "Pencarian". dan "Ohee I-V".
Satu lagi penyair lahir. Kita sambut manuskrip kumpulan sajak ini. Semoga ZA Mathikha Dewa tak pernah berhenti "Mencari".
Teknokra Edisi 162, Mei 1996
Kopi Lampung Jatuh
Liwa, Kompas - Produktivitas tanaman kopi di Lampung Barat menjelang musim panen raya pada Mei mendatang merosot hingga 40 persen. Kelembaban tinggi yang dipicu tingginya curah hujan mengakibatkan tanaman sulit berbuah, dan munculnya penyakit tanaman.
Teguh Setioso, Wakil Manajer Pusat Penyuluhan dan Pengembangan Kopi Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Barat (Lambar), Sabtu (9/4), mengatakan, turunnya produktivitas kopi saat ini tidak terlepas dari buruknya cuaca sepanjang akhir tahun lalu.
”Di saat tanaman kopi mulai berbunga, hujan terus-menerus datang sehingga bunga-bunga rontok, gagal berbuah. Akibatnya, saat ini rata-rata sedikit buah yang yang muncul di tanaman kopi. Produktivitas turun bisa mencapai 30-40 persen,” tuturnya.
Ia menggambarkan, tiap hektar tanaman kopi dengan pola intensif kini rata-rata ditaksir hanya menghasilkan 1,2 ton biji kopi. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, hasilnya bisa mencapai 2 ton. Kopi adalah tanaman musiman setahun sekali. Di Lambar, musim panen kopi biasanya terjadi pada kurun Mei – Juli.
Selain rendahnya produktivitas kopi, Teguh juga menyayangkan banyaknya petani di Lambar yang masih belum memahami cara memproduksi yang baik. ”Beberapa petani masih ada yang asal menjemurnya di tanah dan di pinggir jalan. Akibatnya, kualitasnya kurang,” tutur dia.
Akibatnya, dalam setahun terakhir volume dan nilai ekspor kopi Lampung turun drastis. Nilai ekspor kopi per Januari 2011 di Lampung berdasar data AEKI, turun 32 persen dibanding bulan sebelumnya. Volume ekspor kopi di Januari 2011 adalah 17.957 ton, sementara di Desember 2010 sebanyak 26.385 ton.
Bahkan, sepanjang 2010, volume kopi asal Lampung yang diekspor hanya 261.969 ton. Sementara, total volume ekspor 2009 mencapai 342.313 ton. Lambar adalah salah satu sentra penghasil kopi di Lampung. Kopi asal Lampung telah diekspor ke sejumlah negara, antara lain Jerman, Italia, Inggris, Mesir, Denmark, dan Jepang.
Curah hujan
Tingginya curah hujan, seperti dikeluhkan sejumlah petani kopi, juga memunculkan penyakit pada tanaman kopi.
Menurut Nazori (30), petani kopi di Pekon Kembahang, Kecamatan Batubrak, Lambar, jamur mengakibatkan buah kopi hampa dan mudah membusuk, sehingga produktivitas kopi yang ditanamnya anjlok 25 persen beberapa bulan terakhir ini.
Untuk mencegah kerugian lebih besar, buah-buah kopi selang (di luar panen raya) di daerahnya dijual ke produsen kopi luwak. Kopi macam ini dihargai dua kali lipat dari harga biasa, yaitu Rp 15.000 per kg. (JON)
Sumber: Kompas, Senin, 11 April 2011
Teguh Setioso, Wakil Manajer Pusat Penyuluhan dan Pengembangan Kopi Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Barat (Lambar), Sabtu (9/4), mengatakan, turunnya produktivitas kopi saat ini tidak terlepas dari buruknya cuaca sepanjang akhir tahun lalu.
”Di saat tanaman kopi mulai berbunga, hujan terus-menerus datang sehingga bunga-bunga rontok, gagal berbuah. Akibatnya, saat ini rata-rata sedikit buah yang yang muncul di tanaman kopi. Produktivitas turun bisa mencapai 30-40 persen,” tuturnya.
Ia menggambarkan, tiap hektar tanaman kopi dengan pola intensif kini rata-rata ditaksir hanya menghasilkan 1,2 ton biji kopi. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, hasilnya bisa mencapai 2 ton. Kopi adalah tanaman musiman setahun sekali. Di Lambar, musim panen kopi biasanya terjadi pada kurun Mei – Juli.
Selain rendahnya produktivitas kopi, Teguh juga menyayangkan banyaknya petani di Lambar yang masih belum memahami cara memproduksi yang baik. ”Beberapa petani masih ada yang asal menjemurnya di tanah dan di pinggir jalan. Akibatnya, kualitasnya kurang,” tutur dia.
Akibatnya, dalam setahun terakhir volume dan nilai ekspor kopi Lampung turun drastis. Nilai ekspor kopi per Januari 2011 di Lampung berdasar data AEKI, turun 32 persen dibanding bulan sebelumnya. Volume ekspor kopi di Januari 2011 adalah 17.957 ton, sementara di Desember 2010 sebanyak 26.385 ton.
Bahkan, sepanjang 2010, volume kopi asal Lampung yang diekspor hanya 261.969 ton. Sementara, total volume ekspor 2009 mencapai 342.313 ton. Lambar adalah salah satu sentra penghasil kopi di Lampung. Kopi asal Lampung telah diekspor ke sejumlah negara, antara lain Jerman, Italia, Inggris, Mesir, Denmark, dan Jepang.
Curah hujan
Tingginya curah hujan, seperti dikeluhkan sejumlah petani kopi, juga memunculkan penyakit pada tanaman kopi.
Menurut Nazori (30), petani kopi di Pekon Kembahang, Kecamatan Batubrak, Lambar, jamur mengakibatkan buah kopi hampa dan mudah membusuk, sehingga produktivitas kopi yang ditanamnya anjlok 25 persen beberapa bulan terakhir ini.
Untuk mencegah kerugian lebih besar, buah-buah kopi selang (di luar panen raya) di daerahnya dijual ke produsen kopi luwak. Kopi macam ini dihargai dua kali lipat dari harga biasa, yaitu Rp 15.000 per kg. (JON)
Sumber: Kompas, Senin, 11 April 2011
Musik Tradisional Lampung Jadi Sajian Wajib
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Belum semua hotel memutar dan menyajikan penampilan langsung musik tradisional Lampung. Peraturan wali kota mewajibkan semua tempat hiburan menyajikan musik khas Lampung.
Dalam Peraturan Wali Kota No. 19 Tahun 2011 tentang Pelestarian Kebudayaan, dalam hal penampilan live music tradisional Lampung serta pemutaran musik instrumen lampung pada usaha kepariwisataan, diwajibkan bagi semua tempat hiburan untuk memasang ornamen, memutar instrumen, dan menampilkan musik tradisional.
Musik yang ditampilkan berupa talo balak, gitar klasik, gambus lunik, dan cetik setiap Sabtu dan Minggu. Jadwal penampilan live music; rumah makan dan kafetaria pada pukuul 11.00-13.00 dan pukul 18.00-20.00; salon dan spa pada pukul 11.00-13.00; bioskop, biliar, boling, dan galeri seni pada pukul 11.00-13.00 dan pukul 18.00-20.00.
Plt. Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung Ferry Yusticia, Kamis (7-4), mengatakan belum semua hotel menampilkan instrumen musik lampung dan menampilkan pergelaran musik secara langsung. Hotel yang sudah mengikuti Peraturan Wali Kota adalah Sheraton, Bukit Randu, Sahid, dan Marcopolo.
Menurut Ferry, hotel yang tidak mematuhi Peraturan Wali Kota akan diberi surat teguran sampai pencabutan izin dan penutupan tempat usaha.
Ia mengungkapkan ada beberapa pengelola hotel yang mengaku kesulitan mendapatkan cakram padat yang berisi instrumen Lampung. Untuk penampilan musik secara langsung banyak seniman yang bisa disewa untuk tampil.
Disbudpar juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. 556/49/31/2011 tentang Pelestarian Budaya Lampung dan penertiban SIUK/TDP. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 April 2011
Dalam Peraturan Wali Kota No. 19 Tahun 2011 tentang Pelestarian Kebudayaan, dalam hal penampilan live music tradisional Lampung serta pemutaran musik instrumen lampung pada usaha kepariwisataan, diwajibkan bagi semua tempat hiburan untuk memasang ornamen, memutar instrumen, dan menampilkan musik tradisional.
Musik yang ditampilkan berupa talo balak, gitar klasik, gambus lunik, dan cetik setiap Sabtu dan Minggu. Jadwal penampilan live music; rumah makan dan kafetaria pada pukuul 11.00-13.00 dan pukul 18.00-20.00; salon dan spa pada pukul 11.00-13.00; bioskop, biliar, boling, dan galeri seni pada pukul 11.00-13.00 dan pukul 18.00-20.00.
Plt. Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung Ferry Yusticia, Kamis (7-4), mengatakan belum semua hotel menampilkan instrumen musik lampung dan menampilkan pergelaran musik secara langsung. Hotel yang sudah mengikuti Peraturan Wali Kota adalah Sheraton, Bukit Randu, Sahid, dan Marcopolo.
Menurut Ferry, hotel yang tidak mematuhi Peraturan Wali Kota akan diberi surat teguran sampai pencabutan izin dan penutupan tempat usaha.
Ia mengungkapkan ada beberapa pengelola hotel yang mengaku kesulitan mendapatkan cakram padat yang berisi instrumen Lampung. Untuk penampilan musik secara langsung banyak seniman yang bisa disewa untuk tampil.
Disbudpar juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. 556/49/31/2011 tentang Pelestarian Budaya Lampung dan penertiban SIUK/TDP. (MG2/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 11 April 2011
April 10, 2011
[Perjalanan] Gurihnya Mujair Bakar Lumbok Seminung
LUMBOK SEMINUNG. Bertandang ke Lampung Barat belum lengkap kalau tak menikmati ramahnya Danau Ranau dan lezatnya ikan mujair bakar ala Lumbok Seminung.
Kalimat tersebut kerap terucap dari sejumlah tamu pemerintah dan swasta, bahkan masyarakat biasa yang datang berkunjung atau melaksanakan tugas kerja ke Lampung Barat.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/ZAINUDDIN
Eksotisnya suasana sekitar Danau Ranau memberi nuansa keramahan dan kesejukan sehingga tak jarang homestay yang sudah dikelola masyarakat setempat dan Hotel Semunng Lumbok Resort kedatangan tamu hanya untuk menikmati suasana malam dan pagi di tepi Danau Ranau.
"Kami berusaha memberi mereka kebebasan di sini, menikmati suasana alam, berinteraksi dengan kultur dan adat yang ada di tengah-tengah masyarakat," kata Meko Heri Effendi, ketua Organisasi Pekon Wisata Tepian Ranau, Jumat (8-4).
Terkait dengan fenomena alam, yakni tercemarnya Danau Ranau oleh zat belerang, Meko mengatakan pihaknya sebisa mungkin memberikan imbauan kepada pengunjung untuk tidak bermain di Danau Ranau dulu, khususnya mandi.
Kejadian alam seperti ini, kata dia, biasanya dalam waktu satu pekan setelah normal kembali aktivitas wisata juga normal. "Ini sementara aja, karena Danau Ranau sedang tercemar," kata dia.
Di Pekon Wisata ini, kata dia, kami berusaha menyajikan berbagai paket kegiatan, seperti mengitari danau menggunaan kapal motor dan sampan, memancing, menombak ikan, hiking view Gunung Seminung dan Danau Ranau, bahkan mengintai sunrice dari perbukitan.
Pengunjung lokal saat ini juga kian ramai, apalagi semakin bertambahnya fasilitas something to do bagi pengunjung, yakni tempat pemancingan wisata yang dibangun Pemkab Lampung Barat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan dan mulai tumbuhnya industri wisata dalam bentuk pondok makan dan lesehan.
Menariknya, menu utama pondok makan dan lesehan yang ada di sekitar Danau Ranau adalah ikan mujair atau nila bakar. Sedikitnya ada tiga pondok makan dan lesehtan sehingga pengunjung bisa memilih selera dan lokasi pondok yang mereka inginkan.
Tak heran jika ikan bakar ala Lumbok Seminung menjadi bagian penting jika berkunjung ke Danau Ranau, khususnya Kecamatan Lumbok Seminung. "Ikan mujair Lumbok Seminung lebih gurih," kata salah satu pengunjung.
Hari libur PNS, Sabtu dan Minggu serta hari libur nasional, terlihat lonjakan pengunjung untuk menyaksikan pesona danau ranau, sebagian besar mereka datang bersama keluarganya.
Pondok Pemancingan Wisata Tepi Ranau di Pekon Kagungan, Lumbok Seminung, yang dibangun Pemkab Lambar melalui Dinas Kelautan dan Perikanan tidak hanya menyiapkan tempat bagi pengunjung untuk bersantai sambil menunggu ikan bakar, tetapi di sini mereka bisa memancing bersama keluarganya.
Ibu-ibu sambil bercengkerama dengan leluasa mengawasi anak-anak mereka bermain dengan jernihnya air danau ranau. "Tempatnya sudah enak, tapi masih ada kekurangan fasilitas pendukung aja," kata salah seorang pengunjung. (HENDRI ROSADI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
Kalimat tersebut kerap terucap dari sejumlah tamu pemerintah dan swasta, bahkan masyarakat biasa yang datang berkunjung atau melaksanakan tugas kerja ke Lampung Barat.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/ZAINUDDIN
Eksotisnya suasana sekitar Danau Ranau memberi nuansa keramahan dan kesejukan sehingga tak jarang homestay yang sudah dikelola masyarakat setempat dan Hotel Semunng Lumbok Resort kedatangan tamu hanya untuk menikmati suasana malam dan pagi di tepi Danau Ranau.
"Kami berusaha memberi mereka kebebasan di sini, menikmati suasana alam, berinteraksi dengan kultur dan adat yang ada di tengah-tengah masyarakat," kata Meko Heri Effendi, ketua Organisasi Pekon Wisata Tepian Ranau, Jumat (8-4).
Terkait dengan fenomena alam, yakni tercemarnya Danau Ranau oleh zat belerang, Meko mengatakan pihaknya sebisa mungkin memberikan imbauan kepada pengunjung untuk tidak bermain di Danau Ranau dulu, khususnya mandi.
Kejadian alam seperti ini, kata dia, biasanya dalam waktu satu pekan setelah normal kembali aktivitas wisata juga normal. "Ini sementara aja, karena Danau Ranau sedang tercemar," kata dia.
Di Pekon Wisata ini, kata dia, kami berusaha menyajikan berbagai paket kegiatan, seperti mengitari danau menggunaan kapal motor dan sampan, memancing, menombak ikan, hiking view Gunung Seminung dan Danau Ranau, bahkan mengintai sunrice dari perbukitan.
Pengunjung lokal saat ini juga kian ramai, apalagi semakin bertambahnya fasilitas something to do bagi pengunjung, yakni tempat pemancingan wisata yang dibangun Pemkab Lampung Barat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan dan mulai tumbuhnya industri wisata dalam bentuk pondok makan dan lesehan.
Menariknya, menu utama pondok makan dan lesehan yang ada di sekitar Danau Ranau adalah ikan mujair atau nila bakar. Sedikitnya ada tiga pondok makan dan lesehtan sehingga pengunjung bisa memilih selera dan lokasi pondok yang mereka inginkan.
Tak heran jika ikan bakar ala Lumbok Seminung menjadi bagian penting jika berkunjung ke Danau Ranau, khususnya Kecamatan Lumbok Seminung. "Ikan mujair Lumbok Seminung lebih gurih," kata salah satu pengunjung.
Hari libur PNS, Sabtu dan Minggu serta hari libur nasional, terlihat lonjakan pengunjung untuk menyaksikan pesona danau ranau, sebagian besar mereka datang bersama keluarganya.
Pondok Pemancingan Wisata Tepi Ranau di Pekon Kagungan, Lumbok Seminung, yang dibangun Pemkab Lambar melalui Dinas Kelautan dan Perikanan tidak hanya menyiapkan tempat bagi pengunjung untuk bersantai sambil menunggu ikan bakar, tetapi di sini mereka bisa memancing bersama keluarganya.
Ibu-ibu sambil bercengkerama dengan leluasa mengawasi anak-anak mereka bermain dengan jernihnya air danau ranau. "Tempatnya sudah enak, tapi masih ada kekurangan fasilitas pendukung aja," kata salah seorang pengunjung. (HENDRI ROSADI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
[Buku] Lamunan Sepintas yang Mengusik Hati
Judul buku: Cerita-Cerita dari Rumah No.9
Penulis : Alexander G.B.
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : 82 halaman
MEMBACA kumpulan cerpen Cerita-Cerita dari Rumah No.9 sama seperti menjumpai kembali lamunan sepintas yang mengusik hati, menggoyang kemapanan cita-cita saya yang ingin punya uang banyak, dikelilingi wanita cantik, dan tampil elegan dengan jabatan penting yang dielu-elukan kerabat dan para sahabat. Sebaliknya, Alexander G.B. justru menyajikan sejumput cerita dengan menu blak-blakan tentang birokrasi yang bobrok, pengusaha yang culas, dan rakyat miskin yang jadi bulan-bulanan keduanya. Golongan masyarakat eksklusif yang serbaglamor, yang warna kehidupan mereka saya damba-dambakan, malah digambarkan sebagai karakter yang rusak, killer, dan kehilangan naluri kemanusiaannya.
Melalui delapan cerita pendek yang tersaji, saya dipaksa untuk meninjau ulang rencana dan tujuan hidup. Sudah baguskah niat saya ingin sukses, masuk ke dalam golongan elite berdasi dengan gaya hidup cenderung hedonis, berhati kapitalis dan bersifat hiperkonservatif? Saya orang muda dan mesti punya cita-cita. Barangkali saya harus menyalahkan Alexander G.B. karena cerita-ceritanya telah menjadi lamunan sepintas yang mengusik cita-cita saya.
Meskipun demikian, patut diakui bahwa karya sastra yang baik tentu melekat di benak pembacanya, walaupun ia hadir bukan sebagai hiburan pengisi waktu luang, melainkan pengusik cita-cita yang telanjur mapan. Sejenak saya berandai-andai semisal kelak menjadi pejabat penting di Dinas PU, apa saya akan tega dengan menutup mata saat banjir kiriman lagi-lagi menyapu bersih kampung Ujang seperti dalam cerpen Mak Koto?
Dalam cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, mulanya saya digelitik oleh keriangan anak-anak bermain di tanah lapang, melingkar dan menari di bawah sinar bulan. Kemudian situasi bergeser ke penggawatan dan komplikasi yang tegang, karena kalangan pejabat dan pengusaha setempat mulai terusik dan tidak senang lalu berupaya membubarkan setiap kelompok yang ingin menggelar permainan hum-ham-hum, Hola-hola-hola. Wali kota sampai terang-terangan melarang warga melakukan permainan ini, mengancam dengan pidana, meskipun makin hari makin banyak saja peminatnya.
Saya jadi teringat kasus The Beatles yang dicintai jutaan rakyat Amerika Serikat, tetapi dimusuhi Presiden Nixon dan segenap kroninya. Kemudian sang narator mengakhiri cerita ini dengan menegaskan kembali bahwa naluri kreativitas manusia tidak akan bisa dibinasakan meskipun dikurung tembok undang-undang pemerintah atau pagar kawat berduri. Melalui cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, saya tertarik untuk menganalogikan para pekerja seni dengan anak-anak dalam cerita ini. Sejatinya seniman juga seperti mereka.
Dari segi gaya bahasa, cerpen-cerpen karya Iskandar G.B. ini cenderung merupakan hasil persilangan antara kemampuan berbahasa metaforis dalam puisi dengan kemampuan menjalin peristiwa dramatik dalam prosa. Selanjutnya, gaya yang ia pilih dominan bernafaskan realisme magis. Dua strategi seperti ini yang sering diterapkan untuk mengolah peristiwa-peristiwa yang tidak wajar menjadi seolah wajar, yang semula hanya mungkin berlangsung dalam mimpi kemudian dihadirkan dalam hidup sehari-hari para tokoh sebagaimana dalam Hum-ham-hum, Hola-hola-hola.
Dari segi alur, beberapa cerita digarap secara fragmentatif seperti yang bisa kita temui pada cerpen Nina, Mawar, dan Senja di Mata Diana. Penggunaan bentuk seperti ini mengingatkan kita pada film-film pendek yang bagi penonton, dalam hal ini pembaca, menjadi lebih sering berimajinasi karena dalam satu cerita bisa berkali-kali ganti setting, menyelami suasana-suasana lain dari sebelumnya.
Cuma saya sedikit merasa janggal pada bagian-bagian percakapan dua tokoh. Bahasa ucap tokoh yang satu dengan yang lainnya cenderung mirip. Ini membuat saya menduga bahwa si penulis belum mempertebal perbedaan karakter masing-masing tokoh dari segi wawasan dan sikap hidupnya. Keduanya kerap hadir dalam penokohan yang tak jauh berbeda, sedangkan konflik itu dibangun bukan antarkeduanya, melainkan dengan subjek lain (pemerintah jahat, pengusaha tega, orang tua lupa diri) yang berkarakter antagonis pada hampir seluruh cerpen-cerpen di sini.
Secara keseluruhan, delapan cerpen yang tersaji dalam buku ini cenderung menghadirkan tokoh-tokoh yang skeptis, putus asa, korban dari kesenjangan sosial, korban dari kongkalingkong pejabat pemkot dengan kaum kapitalis yang berkepentingan, atau korban dari pertengkaran ayah-ibu yang tidak kenal selesai seperti dalam cerpen Maya.
Setidaknya ada dua tema dominan yang diusung: Manusia mencoba eksis dengan melawan tekanan lingkungan yang mengepung, berusaha sekuat tenaga sampai babak-belur, atau Manusia yang bersibuk ria dengan dirinya sendiri sebagai bentuk pesimisme menatap realitas sosial yang ada. Kalau sudah begini, kenapa tidak menempuh jalan kiri sebagai rute selanjutnya bila jalan kanan sudah terlalu menjijikkan untuk dilewati? Apa untuk konsisten dengan cita-cita meraih sukses, kita mesti tega-tegaan hingga menutup telinga dari erangan tertahan rakyat kecil di sekeliling?
Didi Arsandi, aktif di UKM Bidang Seni Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
Penulis : Alexander G.B.
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : 82 halaman
MEMBACA kumpulan cerpen Cerita-Cerita dari Rumah No.9 sama seperti menjumpai kembali lamunan sepintas yang mengusik hati, menggoyang kemapanan cita-cita saya yang ingin punya uang banyak, dikelilingi wanita cantik, dan tampil elegan dengan jabatan penting yang dielu-elukan kerabat dan para sahabat. Sebaliknya, Alexander G.B. justru menyajikan sejumput cerita dengan menu blak-blakan tentang birokrasi yang bobrok, pengusaha yang culas, dan rakyat miskin yang jadi bulan-bulanan keduanya. Golongan masyarakat eksklusif yang serbaglamor, yang warna kehidupan mereka saya damba-dambakan, malah digambarkan sebagai karakter yang rusak, killer, dan kehilangan naluri kemanusiaannya.
Melalui delapan cerita pendek yang tersaji, saya dipaksa untuk meninjau ulang rencana dan tujuan hidup. Sudah baguskah niat saya ingin sukses, masuk ke dalam golongan elite berdasi dengan gaya hidup cenderung hedonis, berhati kapitalis dan bersifat hiperkonservatif? Saya orang muda dan mesti punya cita-cita. Barangkali saya harus menyalahkan Alexander G.B. karena cerita-ceritanya telah menjadi lamunan sepintas yang mengusik cita-cita saya.
Meskipun demikian, patut diakui bahwa karya sastra yang baik tentu melekat di benak pembacanya, walaupun ia hadir bukan sebagai hiburan pengisi waktu luang, melainkan pengusik cita-cita yang telanjur mapan. Sejenak saya berandai-andai semisal kelak menjadi pejabat penting di Dinas PU, apa saya akan tega dengan menutup mata saat banjir kiriman lagi-lagi menyapu bersih kampung Ujang seperti dalam cerpen Mak Koto?
Dalam cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, mulanya saya digelitik oleh keriangan anak-anak bermain di tanah lapang, melingkar dan menari di bawah sinar bulan. Kemudian situasi bergeser ke penggawatan dan komplikasi yang tegang, karena kalangan pejabat dan pengusaha setempat mulai terusik dan tidak senang lalu berupaya membubarkan setiap kelompok yang ingin menggelar permainan hum-ham-hum, Hola-hola-hola. Wali kota sampai terang-terangan melarang warga melakukan permainan ini, mengancam dengan pidana, meskipun makin hari makin banyak saja peminatnya.
Saya jadi teringat kasus The Beatles yang dicintai jutaan rakyat Amerika Serikat, tetapi dimusuhi Presiden Nixon dan segenap kroninya. Kemudian sang narator mengakhiri cerita ini dengan menegaskan kembali bahwa naluri kreativitas manusia tidak akan bisa dibinasakan meskipun dikurung tembok undang-undang pemerintah atau pagar kawat berduri. Melalui cerita Hum-ham-hum, Hola-hola-hola, saya tertarik untuk menganalogikan para pekerja seni dengan anak-anak dalam cerita ini. Sejatinya seniman juga seperti mereka.
Dari segi gaya bahasa, cerpen-cerpen karya Iskandar G.B. ini cenderung merupakan hasil persilangan antara kemampuan berbahasa metaforis dalam puisi dengan kemampuan menjalin peristiwa dramatik dalam prosa. Selanjutnya, gaya yang ia pilih dominan bernafaskan realisme magis. Dua strategi seperti ini yang sering diterapkan untuk mengolah peristiwa-peristiwa yang tidak wajar menjadi seolah wajar, yang semula hanya mungkin berlangsung dalam mimpi kemudian dihadirkan dalam hidup sehari-hari para tokoh sebagaimana dalam Hum-ham-hum, Hola-hola-hola.
Dari segi alur, beberapa cerita digarap secara fragmentatif seperti yang bisa kita temui pada cerpen Nina, Mawar, dan Senja di Mata Diana. Penggunaan bentuk seperti ini mengingatkan kita pada film-film pendek yang bagi penonton, dalam hal ini pembaca, menjadi lebih sering berimajinasi karena dalam satu cerita bisa berkali-kali ganti setting, menyelami suasana-suasana lain dari sebelumnya.
Cuma saya sedikit merasa janggal pada bagian-bagian percakapan dua tokoh. Bahasa ucap tokoh yang satu dengan yang lainnya cenderung mirip. Ini membuat saya menduga bahwa si penulis belum mempertebal perbedaan karakter masing-masing tokoh dari segi wawasan dan sikap hidupnya. Keduanya kerap hadir dalam penokohan yang tak jauh berbeda, sedangkan konflik itu dibangun bukan antarkeduanya, melainkan dengan subjek lain (pemerintah jahat, pengusaha tega, orang tua lupa diri) yang berkarakter antagonis pada hampir seluruh cerpen-cerpen di sini.
Secara keseluruhan, delapan cerpen yang tersaji dalam buku ini cenderung menghadirkan tokoh-tokoh yang skeptis, putus asa, korban dari kesenjangan sosial, korban dari kongkalingkong pejabat pemkot dengan kaum kapitalis yang berkepentingan, atau korban dari pertengkaran ayah-ibu yang tidak kenal selesai seperti dalam cerpen Maya.
Setidaknya ada dua tema dominan yang diusung: Manusia mencoba eksis dengan melawan tekanan lingkungan yang mengepung, berusaha sekuat tenaga sampai babak-belur, atau Manusia yang bersibuk ria dengan dirinya sendiri sebagai bentuk pesimisme menatap realitas sosial yang ada. Kalau sudah begini, kenapa tidak menempuh jalan kiri sebagai rute selanjutnya bila jalan kanan sudah terlalu menjijikkan untuk dilewati? Apa untuk konsisten dengan cita-cita meraih sukses, kita mesti tega-tegaan hingga menutup telinga dari erangan tertahan rakyat kecil di sekeliling?
Didi Arsandi, aktif di UKM Bidang Seni Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
April 9, 2011
Tiga Sastrawan Lampung Ikuti TSI Ternate
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tiga sastrawan asal Lampung Nersalya Renata, Fitri Yani, dan Agit Yogi Subandi diundang mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Maluku Utara, 25—29 Oktober mendatang.
Sekretaris TSI Dino Umahuk menjelaskan ketiga sastrawan Lampung itu bersama 28 sastrawan Tanah Air lainnya dipilih dewan kurator. Selain itu, dewan kurator TSI juga memilih sastrawan Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf.
Kemudian, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto.
"Ke-31 sastrawan ini akan mendapat honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata," ujar Dino.
Sedangkan untuk sastrawan di luar 31 itu, panitia hanya menyediakan penginapan, konsumsi, transportasi lokal, honor tulisan, dan cendera mata.
Menurut Ketua Pelaksana TSI 4, Sofyan Daud, tema yang diusung adalah Sastra Indonesia abad ke-21, keberagaman, silang budaya dan problematika. "Kegiatan TSI 4 meliputi seminar, musyawarah sastrawan, penerbitan antologi sastra, panggung sastra, pameran/bazar/launching buku, lokakarya, dan wisata budaya," kata Sofyan Daud dalam rilis yang diterima Lampung Post, Jumat (8-4).
Sehubungan dengan itu, pihaknya mengundang banyak pihak untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut. Bagi sastrawan yang ingin terlibat dalam kegiatan tersebut, dapat mengirimkan lima puisi bagi penyair. Puisi tersebut ditulis dalam tahun 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, dan kirim ke puisi.tsi4@gmail.com.
Untuk cerpenis, dikirimkan tiga cerpen karya asli yang ditulis pada 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, panjang cerpen berkisar 600 kata, memakai font times new roman ukuran 12, dan di-e-mail ke cerpen.tsi4@gmail.com.
”Karya sudah ditunggu hingga 20 Juli 2011,” jelas Sofyan Daud. (ZUL/D-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 9 April 2011
Sekretaris TSI Dino Umahuk menjelaskan ketiga sastrawan Lampung itu bersama 28 sastrawan Tanah Air lainnya dipilih dewan kurator. Selain itu, dewan kurator TSI juga memilih sastrawan Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf.
Kemudian, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto.
"Ke-31 sastrawan ini akan mendapat honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata," ujar Dino.
Sedangkan untuk sastrawan di luar 31 itu, panitia hanya menyediakan penginapan, konsumsi, transportasi lokal, honor tulisan, dan cendera mata.
Menurut Ketua Pelaksana TSI 4, Sofyan Daud, tema yang diusung adalah Sastra Indonesia abad ke-21, keberagaman, silang budaya dan problematika. "Kegiatan TSI 4 meliputi seminar, musyawarah sastrawan, penerbitan antologi sastra, panggung sastra, pameran/bazar/launching buku, lokakarya, dan wisata budaya," kata Sofyan Daud dalam rilis yang diterima Lampung Post, Jumat (8-4).
Sehubungan dengan itu, pihaknya mengundang banyak pihak untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut. Bagi sastrawan yang ingin terlibat dalam kegiatan tersebut, dapat mengirimkan lima puisi bagi penyair. Puisi tersebut ditulis dalam tahun 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, dan kirim ke puisi.tsi4@gmail.com.
Untuk cerpenis, dikirimkan tiga cerpen karya asli yang ditulis pada 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, panjang cerpen berkisar 600 kata, memakai font times new roman ukuran 12, dan di-e-mail ke cerpen.tsi4@gmail.com.
”Karya sudah ditunggu hingga 20 Juli 2011,” jelas Sofyan Daud. (ZUL/D-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 9 April 2011
April 6, 2011
Sutradara Perempuan se-Sumatera Ikut Lokakarya
Bandarlampung, 6/4 (ANTARA) - Sebanyak 18 sutradara perempuan se-Sumatera mengikuti lokakarya tentang penyutradaraan teater selama sepekan di Bandarlampung hingga 9 April 2011.
"Lokakarya ini termasuk rangkaian Kala Sumatera 2011, dan setelah itu para peserta akan mementaskan karya mereka pada Juli 2011 di Pentas Se-Sumatera," kata Manager Operasional Kala Sumatera 2011 Imas Sobariah, di Bandarlampung, Rabu.
Kegiatan tersebut menggunakan metode fasilitasi untuk membedah segala sudut penting, dan harus dikuasai seorang sutradara teater.
"Seorang sutradara teater harus mampu menghadirkan peristiwa secara utuh dan meyakinkan ke atas panggung sehingga harus memperhatikan setiap detil pementasan," kata fasilitator kegiatan itu, yang juga Direktur Artistik dan Sutradara Teater Satu Lampung Iswadi Pratama.
Untuk itu, menurut dia, seorang sutradara harus memahami detil seputar hal yang dia tampilkan dalam lakon tersebut, termasuk latar belakang dan hal-hal yang mendukung.
"Sutradara harus memiliki kemampuan memerhatikan dan mengamati segala sesuatu di kenyataan sebagai bekal untuk menghadirkan peristiwa itu ke atas panggung," kata dia.
Dalam kegiatan tersebut, para peserta akan diberi bekal meliputi bagaimana metode penyutradaraan di kelompok teater masing-masing, membangun metode latihan untuk menghasilkan aktor dan karya yang baik.
"Selain sutradara, di dalam teater, kemampuan aktor berperan sangat penting sehingga metode latihan sangat dibutuhkan untuk membentuk kemampuan sang aktor," katanya.
Menurut Iswadi, selama ini rata-rata dalam kelompok teater di Indonesia, latihan masih ditentukan oleh mood.
"Tidak bisa seperti itu lagi, harus ada perencanaan," kata dia.
Kala Sumatera 2011 merupakan kerja sama Teater Satu Lampung dengan Yayasan Hivos dan Taman Budaya Lampung
Sebelumnya,para sutradara perempuan tersebut telah mengikuti pelatihan naskah yang digelar selama sepekan pada 22 Maret 2011.
Pada kegiatan sebelumnya, peserta dibekali cara mengadaptasi naskah-naskah yang selama ini berperspektif laki-laki menjadi naskah yang memiliki sudut pandang perempuan.
Kala Sumatera merupakan kegiatan yang diadakan untuk kedua kalinya.
Kegiatan yang sama juga pernah digelar pada 2009 dengan rangkaian kegiatan yang tidak jauh berbeda, di antaranya pementasan panggung perempuan oleh para seniman perempuan se-Sumatera.
Meski demikian, Panggung Perempuan yang masuk ke dalam rangkaian Kala Sumatera 2011 tersebut sedikit berbeda dengan Panggung Perempuan Kala Sumatera 2009 yang memberikan pelatihan membuat naskah teater.
Sumber: Antara, 6 April 2011
"Lokakarya ini termasuk rangkaian Kala Sumatera 2011, dan setelah itu para peserta akan mementaskan karya mereka pada Juli 2011 di Pentas Se-Sumatera," kata Manager Operasional Kala Sumatera 2011 Imas Sobariah, di Bandarlampung, Rabu.
Kegiatan tersebut menggunakan metode fasilitasi untuk membedah segala sudut penting, dan harus dikuasai seorang sutradara teater.
"Seorang sutradara teater harus mampu menghadirkan peristiwa secara utuh dan meyakinkan ke atas panggung sehingga harus memperhatikan setiap detil pementasan," kata fasilitator kegiatan itu, yang juga Direktur Artistik dan Sutradara Teater Satu Lampung Iswadi Pratama.
Untuk itu, menurut dia, seorang sutradara harus memahami detil seputar hal yang dia tampilkan dalam lakon tersebut, termasuk latar belakang dan hal-hal yang mendukung.
"Sutradara harus memiliki kemampuan memerhatikan dan mengamati segala sesuatu di kenyataan sebagai bekal untuk menghadirkan peristiwa itu ke atas panggung," kata dia.
Dalam kegiatan tersebut, para peserta akan diberi bekal meliputi bagaimana metode penyutradaraan di kelompok teater masing-masing, membangun metode latihan untuk menghasilkan aktor dan karya yang baik.
"Selain sutradara, di dalam teater, kemampuan aktor berperan sangat penting sehingga metode latihan sangat dibutuhkan untuk membentuk kemampuan sang aktor," katanya.
Menurut Iswadi, selama ini rata-rata dalam kelompok teater di Indonesia, latihan masih ditentukan oleh mood.
"Tidak bisa seperti itu lagi, harus ada perencanaan," kata dia.
Kala Sumatera 2011 merupakan kerja sama Teater Satu Lampung dengan Yayasan Hivos dan Taman Budaya Lampung
Sebelumnya,para sutradara perempuan tersebut telah mengikuti pelatihan naskah yang digelar selama sepekan pada 22 Maret 2011.
Pada kegiatan sebelumnya, peserta dibekali cara mengadaptasi naskah-naskah yang selama ini berperspektif laki-laki menjadi naskah yang memiliki sudut pandang perempuan.
Kala Sumatera merupakan kegiatan yang diadakan untuk kedua kalinya.
Kegiatan yang sama juga pernah digelar pada 2009 dengan rangkaian kegiatan yang tidak jauh berbeda, di antaranya pementasan panggung perempuan oleh para seniman perempuan se-Sumatera.
Meski demikian, Panggung Perempuan yang masuk ke dalam rangkaian Kala Sumatera 2011 tersebut sedikit berbeda dengan Panggung Perempuan Kala Sumatera 2009 yang memberikan pelatihan membuat naskah teater.
Sumber: Antara, 6 April 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)