LIWA--Cuaca sejuk dingin adalah penanda memasuki Kota Liwa, Lampung Barat. Kabut yang mengampar setiap pagi dan petang seolah ungkapan selamat datang. Bangunan-bangunan etnik berumur tua yang berada di beberapa sudut kota adalah indentitas lokal. Dan, hilir mudik kendaraan adalah denyut nadi kota yang terus membentang harapan.
---------
Daun-daun berwarna hijau ranum dan putih bunga kopi menjadi pemandangan yang memesona kala musim itu tiba di Lampung Barat. Salah satu sudut yang menawarkan pesona itu lebih utuh ada di Ham Tebiu, Pekon Kubu Perahu. Daun hijau yang masih terbungkus embun seakan tersenyum menyambut matahari. Itulah sepenggal suasana yang ditawarkan salah satu sisi kawasan Hantubiu yang kelak akan menjadi sisi lain Kebun Raya Liwa.
Kabut pagi hari dan terkadang sore bilangan Kota Liwa yang menjadi ibu kota kabupaten itu merupakan ciri khas lingkungan hijau yang dikenal memiliki curah hujan tinggi. Memanfaatkan kondisi itu sehingga tidak salah jika pemerintah setempat optimistis menyulap hutan kecil yang berada di tengah-tengah kota menjadi Kebun Raya Liwa, dan menjadikannya tempat rekreasi yang mudah dijangkau diminati nantinya.
Hampir di setiap sudut dan sisi Kabupaten Lampung Barat terdapat objek-objek wisata yang menawarkan pesona alam yang membuat decak kagum, dan bangunan sejarah yang tidak usang ditelan zaman. Namun berbeda dengan yang ditawarkan calon Kebun Raya Liwa. Meskipun masih panjang tahapan yang harus dilewati dan banyak anggaran yang dibutuhkan untuk mengubah wajah Hantubiu, yang menurut cerita dikenal sebagai lokasi angker, untuk menjadi objek wisata yang banyak diminati.
Lokasi Kebun Raya Liwa yang berada di tengah kota kabupaten. Komitmen Pemerintah Lampung Barat yang mencanangkan sebagai kabupaten konservasi menjadi alasan dibangunnya Kebun Raya Liwa.
Menyusuri lokasi yang kelak akan menjadi Kebun Raya Liwa cukup mengesankan. Pandangan membentur bukit-bukit yang mengelilingi Kota Liwa, Gunung Pesagi yang berdiri tegak tampak jelas dari setiap sudut, kabut yang seakan membungkus pohon-pohon hijau di areal tersebut. Belum lagi jika sambil memancing di kolam-kolam kecil yang terbentuk secara alamiah.
Kebun Raya Liwa akan dibangun di atas lahan seluas 112 hektare dengan lokasi berbatasan langsung dengan wilayah perkotaan sehingga mudah dijangkau. Kemudian kondisi alam yang sangat indah karena berada di atas pegunungan serta di dalamnya sudah banyak terdapat berbagai tanaman yang dapat dikembangkan.
Selain tempat rekreasi, Kebun Raya Liwa juga memiliki manfaat lain seperti fungsi konservasi, tempat pendidikan, dan tempat penelitian. Wah, bisa dibayangkan bagaimana daya tarik Kebun Raya Liwa.
Pariwisata tidak kenal usia sehingga di dalam masterplan Kebun Raya Liwa yang terpajang di ruang lobi kantor Bupati Lampung Barat akan dibangun tempat-tempat rekreasi anak-anak, flying fox, rekreasi air, juga akan dilengkapi dengan museum, perpustakaan hingga masjid dan kafe.
Untuk menjaga dan mengembangkan keanekaragaman hayati dalam hutan kawasan itu, rencana pembangunan Kebun Raya Liwa yang telah dilaksanakan selama ini merupakan salah satu program yang sangat diperlukan sebagai kawasan konservasi tanaman yang didominasi lanskap dan merupakan ruang terbuka hijau bersifat publik serta berguna untuk pemeliharaan daya dukung ekologi.
Departemen Pekerjaan Umum dan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) bersama Pemerintah Kabupaten Lampung Barat melalui Dinas Kehutanan dan Bappeda setempat, Kamis (20-11), menggelar pemaparan dan diskusi masterplan rencana pembangunan Kebun Raya Liwa.
Sehari sebelumnya tim dari Departemen PU dan LIPI didampingi para pejabat di lingkungan Pemkab Lambar itu melakukan peninjauan ke lokasi calon Kebun Raya Liwa yang terletak di Pekon Kubu Perahu, tepatnya sekitar perumahan bupati dan berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS.
Tim tersebut antara lain terdiri dari Tjindra Parma (Departemen PU), Mustaid Siregar (LIPI), Eko A. Zaidulfar selaku team leader Kebun Raya Liwa (PT Jakarta Konsultindo), dan lain-lain.
Menurut Tjindra Parma, Lampung Barat yang merupakan kabupaten konservasi tentu dituntut harus berhasil untuk mewujudkan pembangunan Kebun Raya Liwa. Pihaknya selaku Departemen PU tentu sangat mendukung soal rencana pembangunan tersebut, apalagi keberadaan lokasi yang ada itu sangat strategis untuk dibangun menjadi Kebun Raya Liwa. n HENDRI ROSADI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008
November 30, 2008
Traveling: Cukup di Liwa, Tidak Perlu ke Bogor!
LIWA--Setelah Kebun Raya Liwa terwujud, masyarakat Lampung Barat khususnya dan Lampung pada umumnya tidak perlu jauh-jauh lagi harus datang ke Kebun Raya Bogor untuk melihat aneka tanaman hias, kesejukan udara, rindangnya pepohonan dan binatang langka. Sebab, semua yang ada di sana juga bakal ada di Kebun Raya Liwa.
Pembuatan Kebun Raya Liwa yang berdiri diatas tanah seluas 112 hektare sudah sampai pada tahapan penanaman pembibitan yang akan memenuhi dan menjadikannya sebagai ruang terbuka hijau, aneka tanaman hias dan keras khas Lampung, dan sebagian bibitnya merupakan tanaman yang tumbuh di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Pengunjung pasti akan dibuatnya betah, jika fasilitas Kebun Raya Liwa sudah komplet. Bayangkan saja gerbang utama yang megah, tempat parkir yang luas, restoran, gedung serbaguna bahkan kios suvenir dan kafe pun sudah ditentukan tempatnya.
Bagi yang membawa anak-anak, Anda bisa memasuki zona pendidkan dengan fasilitas dan permainan yang ditawarkan, seperti treetop challenge, flying fox, rekreasi air, rekreasi khusus anak-anak, dan tidak kalah menariknya perpustakaan serta museum sudah ada dalam areal yang bisa membuat Anda betah di sana.
Kepala Bappeda Lampung Barat Nirlan menjelaskan pembangunan Kebun Raya Liwa merupakan salah satu bentuk dukungan untuk warisan dunia, yakni Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berbatasan langsung dengan Kebun Raya Liwa.
Rencana pembangunan Kebun Raya Liwa merupakan kawasan konservasi tanaman dengan dominasi lansekap. Kawasan tersebut merupakan ruang terbuka hijau yang bersifat publik, yang juga berguna pemeliharaan daya dukung ekologi kota.
Untuk mewujudkan Kebun Raya Liwa, pembangunan dilaksanakan secara bertahap seperti tahap pertama pembangunan taman Kota Hamtubiu, area pembibitan, zona pelayanan, taman rekreasi, dan pembangunan pagar pembatas. Tahap kedua pembangunan taman rekreasi, pengembangan kebun koleksi dan tematik, serta pembangunan wisma. n HENDRI ROSADI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008
Pembuatan Kebun Raya Liwa yang berdiri diatas tanah seluas 112 hektare sudah sampai pada tahapan penanaman pembibitan yang akan memenuhi dan menjadikannya sebagai ruang terbuka hijau, aneka tanaman hias dan keras khas Lampung, dan sebagian bibitnya merupakan tanaman yang tumbuh di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Pengunjung pasti akan dibuatnya betah, jika fasilitas Kebun Raya Liwa sudah komplet. Bayangkan saja gerbang utama yang megah, tempat parkir yang luas, restoran, gedung serbaguna bahkan kios suvenir dan kafe pun sudah ditentukan tempatnya.
Bagi yang membawa anak-anak, Anda bisa memasuki zona pendidkan dengan fasilitas dan permainan yang ditawarkan, seperti treetop challenge, flying fox, rekreasi air, rekreasi khusus anak-anak, dan tidak kalah menariknya perpustakaan serta museum sudah ada dalam areal yang bisa membuat Anda betah di sana.
Kepala Bappeda Lampung Barat Nirlan menjelaskan pembangunan Kebun Raya Liwa merupakan salah satu bentuk dukungan untuk warisan dunia, yakni Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berbatasan langsung dengan Kebun Raya Liwa.
Rencana pembangunan Kebun Raya Liwa merupakan kawasan konservasi tanaman dengan dominasi lansekap. Kawasan tersebut merupakan ruang terbuka hijau yang bersifat publik, yang juga berguna pemeliharaan daya dukung ekologi kota.
Untuk mewujudkan Kebun Raya Liwa, pembangunan dilaksanakan secara bertahap seperti tahap pertama pembangunan taman Kota Hamtubiu, area pembibitan, zona pelayanan, taman rekreasi, dan pembangunan pagar pembatas. Tahap kedua pembangunan taman rekreasi, pengembangan kebun koleksi dan tematik, serta pembangunan wisma. n HENDRI ROSADI/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008
Wacana: 'Energi Mabuk' Musik Masa Kini
Oleh Denny Ardiansyah*
TULISAN Susan S. di Lampung Post (16-11) membikin perasaan saya naik-turun. Bukan saja karena Susan menulis "Mungkin nadanya (maksud: suasana tulisan Susan) marah, kesal, dan gimana gitu." Namun disebabkan pula oleh "sesuatu" yang telah lama mengendap di hati. Maka, saya tergoda untuk balah soal "energi" yang ditawarkan belantika musik Indonesia masa kini.
Persoalan musik memang selalu bikin berisik sepanjang zaman. Dahulu, Bung Karno pernah melarang Koes Plus dengan alasan band tersebut menyebarkan energi asing (kebarat-baratan). Pendek kata, karya-karya Koes Plus tergolong lagu ngak ngik ngok yang kontrarevolusi.
Zaman Orde Baru, Betharia Sonata sempat juga mengelus dada saat lagu berjudul Hati Yang Luka dikecam pemerintah karena "melemahkan derajat kaum perempuan".
Kalau mau dirunut hingga masa sebelum Indonesia merdeka, kita juga akan beroleh fakta bahwa musik benar-benar bikin berisik. Lagu Indonesia Raya pernah menjadi momok menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Lagu gubahan W.R. Supratman itu dilarang dikonsumsi publik karena penjajah Belanda takut semangat antikolonialisme menguat di khalayak.
Lagu, mau tidak mau, memang terikat dan terkait pada ruang dan waktu tempat ia digubah. Namun itu tidak mencerminkan "masa berlaku" lagu tersebut. Misal, pada abad XXI, kita masih senang menyanyikan lagu-lagu yang lahir di zaman revolusi fisik? Atau, kita juga masih asyik saja tatkala mendengar lagu-lagu gubahan Pance Pondaag dan Obbi Mesakh, bukan?
Lantas, apakah lagu-lagu yang menembus zaman dapat dikatakan sebagai karya "adiluhung"? Ah, terlalu sumpek rasanya membaca kata yang saya beri tanda kutip itu. Tapi, mari kita bahas saja biar fresh, gitu.
Musik juga merupakan refleksi kondisi batin masyarakat tempat ia bermukim. Wajar toh jika lagu-lagu yang diciptakan sekitar era revolusi fisik bernada persatuan, ketegaran seorang pejuang hingga keikhlasan seseorang yang ditinggal mati sosok tersayang.
Kalau tekanan dari struktur politik (baca; penguasa) pernah melabur sejarah musik Indonesia, itu hanyalah rangkaian proses yang memang sudah "seharusnya". Bukankah hambat-menghambat merupakan proses alamiah dalam tiap sistem pada tubuh masyarakat? Untuk soal larang-melarang ini, alasan bisa dipilih sesuai dengan kesukaan.
Lagu pun membentuk pola pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat. Jadi, kondisi masyarakat merupakan lautan ide yang mahaluas untuk direguk orang-orang yang terlibat dalam sebuah lagu--penggubah lirik, penyanyi, dan pemain musik. Sebab itu, agak janggal kalau harus menyematkan istilah adiluhung untuk sebuah lagu di era teknologi canggih sekarang.
Istilah adiluhung dan massal mengemuka tatkala produk hasil kesenian dinikmati dua kelas berbeda: Kelas atas-terpelajar dan kelas bawah-tidak sekolah. Maaf saja, bagi saya, dua istilah itu jelas-jelas bersemangat "tidak memandang manusia sebagai manusia". Maka, istilah adiluhung dan massal tidak lagi relevan untuk membincangkan dunia musik masa kini.
Saya kok lebih sreg kalau memakai istilah populer. Lagu masa kini merupakan produk kebudayaan populer yang tujuan pembuatannya mencakup semua golongan. Dampaknya juga bermata dua; bisa mencerahkan atau membodohkan. Untuk urusan apresiasi, produk kebudayaan populer memang diserahkan secara individual.
Belantika musik Indonesia sekarang, dalam pandangan saya, bagai seorang pemabuk yang sedang sempoyongan. Ia terlalu banyak menenggak pelbagai jenis minuman beralkohol--mulai produksi luar negeri sampai home industry. Tidak hanya pikiran yang ke sana-sini, gerak badannya pun mondar-mandir; gak jelas sama sekali.
Ada penyanyi yang muncul dengan mengandalkan tubuh seksi semata dan suara pas-pasan. Ada yang gemar jingkrak-jingkrak di panggung sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Ada pula yang sangat kemaruk; sudah jadi bintang iklan dan pemain sinetron masih juga ngotot mengejar status penyanyi.
Dari segi lirik--baik isi lagu maupun penggunaan bahasa--macam-macam pula. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Banyak pula yang memakai gaya ucapan sehari-hari. Bahkan, ada yang bingung; lagunya menggunakan bahasa Inggris sekaligus bahasa Indonesia.
Kebudayaan populer dalam lagu masa kini menempatkan pesona polesan dan kekuatan modal sebagai dasarnya. Ada yang memoles pada liriknya, kehidupan para pemusiknya hingga aliran musik yang digeluti.
Kelompok musik macam Peterpan, Nidji, Dewa, Kangen Band, dan ST12 mampu memenuhi tiga unsur polesan di atas. Tentu saja, tidak kalah penting, mereka ditopang penyedia modal yang luar biasa kaya.
Maka, saya terus-terang bingung, sejak kemunculan Kangen Band, kenapa ramai-ramai mencerca mereka? Aha, tampaknya inilah proses alamiah hambat-menghambat itu.
Semua kelompok musik, bagi saya, sama saja. Lagu-lagu mereka pun sama lengkapnya; banyak yang cemen, tidak sedikit pula yang yahud. Tidak perlu rasanya meninggikan sebuah kelompok musik sambil merendahkan yang lain. Nyantai aja, toh mereka juga memiliki peluang yang sama: Meracuni atau mencerdaskan pikiran masyarakat. Keputusan menyukai atau membenci terletak pada apresiator (mereka yang kupingnya pernah mendengar lagu-lagu Indonesia masa kini).
Ambil contoh Kangen Band. Platinum berhasil diraih kelompok musik itu. Tapi pihak yang mengaku "kupingnya berdarah-darah" mendengar lagu-lagu mereka sama banyaknya dengan orang-orang yang sering mendendangkan lagunya.
Mudah saja, kalau tidak suka dengan lagu-lagu sebuah kelompok musik: Jangan didengar. Daripada koar-koar, malah kontraproduktif. Itulah konsekuensi kebudayaan populer. Seharusnya memang seperti itu kebudayaan populer. Khalayak memiliki kuasa penuh.
Sembari menyusun tulisan ini, saya mengirim pesan pendek via telepon seluler. Saya tanyakan pada beberapa orang: Coba beri dua kata yang terbersit di benak ketika mendengar Kangen Band.
Mereka yang saya kirim pesan itu ialah orang-orang yang punya kaitan dengan Lampung--yang masih berdomisili di sana atau sedang merantau di tanah seberang.
Hasilnya variatif. Dua jawaban paling kasar: Gua gak butuh dua kata, Den. Cukup satu aja: Norak dan kampungan banget! Ada juga yang menjawab begini: Kembali pulang atau "kerja keras".
Inilah sedikit bukti bahwa apresiasi terhadap satu kelompok musik memang bermacam adanya. Nilai positif dari sesuatu yang kita sangka buruk bisa saja muncul. Demikian pula, sisi negatif bisa saja melekat pada entitas yang kita anggap bagus.
Energi yang ditawarkan dunia musik Indonesia masa kini hanyalah "energi mabuk". Entah itu mabuk cinta, mabuk materi, mabuk tangisan, mabuk segalanya.
Namun, jentera musik Indonesia terus berjalan, bukan? Kreativitas tidak hanya harus dikembangkan oleh mereka yang terlibat aktif dalam dunia musik, tapi juga oleh orang-orang yang menjadi tujuan (baca: pasar) karya musik.
Kebudayaan populer memang memabukkan bagi mereka yang tidak hati-hati larut di dalamnya.
* Denny Ardiansyah, warga Metro yang merantau di Jember, Jawa Timur. Penulis fiksi dengan pseudonim Dhe A. Sujana.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008
TULISAN Susan S. di Lampung Post (16-11) membikin perasaan saya naik-turun. Bukan saja karena Susan menulis "Mungkin nadanya (maksud: suasana tulisan Susan) marah, kesal, dan gimana gitu." Namun disebabkan pula oleh "sesuatu" yang telah lama mengendap di hati. Maka, saya tergoda untuk balah soal "energi" yang ditawarkan belantika musik Indonesia masa kini.
Persoalan musik memang selalu bikin berisik sepanjang zaman. Dahulu, Bung Karno pernah melarang Koes Plus dengan alasan band tersebut menyebarkan energi asing (kebarat-baratan). Pendek kata, karya-karya Koes Plus tergolong lagu ngak ngik ngok yang kontrarevolusi.
Zaman Orde Baru, Betharia Sonata sempat juga mengelus dada saat lagu berjudul Hati Yang Luka dikecam pemerintah karena "melemahkan derajat kaum perempuan".
Kalau mau dirunut hingga masa sebelum Indonesia merdeka, kita juga akan beroleh fakta bahwa musik benar-benar bikin berisik. Lagu Indonesia Raya pernah menjadi momok menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Lagu gubahan W.R. Supratman itu dilarang dikonsumsi publik karena penjajah Belanda takut semangat antikolonialisme menguat di khalayak.
Lagu, mau tidak mau, memang terikat dan terkait pada ruang dan waktu tempat ia digubah. Namun itu tidak mencerminkan "masa berlaku" lagu tersebut. Misal, pada abad XXI, kita masih senang menyanyikan lagu-lagu yang lahir di zaman revolusi fisik? Atau, kita juga masih asyik saja tatkala mendengar lagu-lagu gubahan Pance Pondaag dan Obbi Mesakh, bukan?
Lantas, apakah lagu-lagu yang menembus zaman dapat dikatakan sebagai karya "adiluhung"? Ah, terlalu sumpek rasanya membaca kata yang saya beri tanda kutip itu. Tapi, mari kita bahas saja biar fresh, gitu.
Musik juga merupakan refleksi kondisi batin masyarakat tempat ia bermukim. Wajar toh jika lagu-lagu yang diciptakan sekitar era revolusi fisik bernada persatuan, ketegaran seorang pejuang hingga keikhlasan seseorang yang ditinggal mati sosok tersayang.
Kalau tekanan dari struktur politik (baca; penguasa) pernah melabur sejarah musik Indonesia, itu hanyalah rangkaian proses yang memang sudah "seharusnya". Bukankah hambat-menghambat merupakan proses alamiah dalam tiap sistem pada tubuh masyarakat? Untuk soal larang-melarang ini, alasan bisa dipilih sesuai dengan kesukaan.
Lagu pun membentuk pola pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat. Jadi, kondisi masyarakat merupakan lautan ide yang mahaluas untuk direguk orang-orang yang terlibat dalam sebuah lagu--penggubah lirik, penyanyi, dan pemain musik. Sebab itu, agak janggal kalau harus menyematkan istilah adiluhung untuk sebuah lagu di era teknologi canggih sekarang.
Istilah adiluhung dan massal mengemuka tatkala produk hasil kesenian dinikmati dua kelas berbeda: Kelas atas-terpelajar dan kelas bawah-tidak sekolah. Maaf saja, bagi saya, dua istilah itu jelas-jelas bersemangat "tidak memandang manusia sebagai manusia". Maka, istilah adiluhung dan massal tidak lagi relevan untuk membincangkan dunia musik masa kini.
Saya kok lebih sreg kalau memakai istilah populer. Lagu masa kini merupakan produk kebudayaan populer yang tujuan pembuatannya mencakup semua golongan. Dampaknya juga bermata dua; bisa mencerahkan atau membodohkan. Untuk urusan apresiasi, produk kebudayaan populer memang diserahkan secara individual.
Belantika musik Indonesia sekarang, dalam pandangan saya, bagai seorang pemabuk yang sedang sempoyongan. Ia terlalu banyak menenggak pelbagai jenis minuman beralkohol--mulai produksi luar negeri sampai home industry. Tidak hanya pikiran yang ke sana-sini, gerak badannya pun mondar-mandir; gak jelas sama sekali.
Ada penyanyi yang muncul dengan mengandalkan tubuh seksi semata dan suara pas-pasan. Ada yang gemar jingkrak-jingkrak di panggung sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Ada pula yang sangat kemaruk; sudah jadi bintang iklan dan pemain sinetron masih juga ngotot mengejar status penyanyi.
Dari segi lirik--baik isi lagu maupun penggunaan bahasa--macam-macam pula. Ada yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Banyak pula yang memakai gaya ucapan sehari-hari. Bahkan, ada yang bingung; lagunya menggunakan bahasa Inggris sekaligus bahasa Indonesia.
Kebudayaan populer dalam lagu masa kini menempatkan pesona polesan dan kekuatan modal sebagai dasarnya. Ada yang memoles pada liriknya, kehidupan para pemusiknya hingga aliran musik yang digeluti.
Kelompok musik macam Peterpan, Nidji, Dewa, Kangen Band, dan ST12 mampu memenuhi tiga unsur polesan di atas. Tentu saja, tidak kalah penting, mereka ditopang penyedia modal yang luar biasa kaya.
Maka, saya terus-terang bingung, sejak kemunculan Kangen Band, kenapa ramai-ramai mencerca mereka? Aha, tampaknya inilah proses alamiah hambat-menghambat itu.
Semua kelompok musik, bagi saya, sama saja. Lagu-lagu mereka pun sama lengkapnya; banyak yang cemen, tidak sedikit pula yang yahud. Tidak perlu rasanya meninggikan sebuah kelompok musik sambil merendahkan yang lain. Nyantai aja, toh mereka juga memiliki peluang yang sama: Meracuni atau mencerdaskan pikiran masyarakat. Keputusan menyukai atau membenci terletak pada apresiator (mereka yang kupingnya pernah mendengar lagu-lagu Indonesia masa kini).
Ambil contoh Kangen Band. Platinum berhasil diraih kelompok musik itu. Tapi pihak yang mengaku "kupingnya berdarah-darah" mendengar lagu-lagu mereka sama banyaknya dengan orang-orang yang sering mendendangkan lagunya.
Mudah saja, kalau tidak suka dengan lagu-lagu sebuah kelompok musik: Jangan didengar. Daripada koar-koar, malah kontraproduktif. Itulah konsekuensi kebudayaan populer. Seharusnya memang seperti itu kebudayaan populer. Khalayak memiliki kuasa penuh.
Sembari menyusun tulisan ini, saya mengirim pesan pendek via telepon seluler. Saya tanyakan pada beberapa orang: Coba beri dua kata yang terbersit di benak ketika mendengar Kangen Band.
Mereka yang saya kirim pesan itu ialah orang-orang yang punya kaitan dengan Lampung--yang masih berdomisili di sana atau sedang merantau di tanah seberang.
Hasilnya variatif. Dua jawaban paling kasar: Gua gak butuh dua kata, Den. Cukup satu aja: Norak dan kampungan banget! Ada juga yang menjawab begini: Kembali pulang atau "kerja keras".
Inilah sedikit bukti bahwa apresiasi terhadap satu kelompok musik memang bermacam adanya. Nilai positif dari sesuatu yang kita sangka buruk bisa saja muncul. Demikian pula, sisi negatif bisa saja melekat pada entitas yang kita anggap bagus.
Energi yang ditawarkan dunia musik Indonesia masa kini hanyalah "energi mabuk". Entah itu mabuk cinta, mabuk materi, mabuk tangisan, mabuk segalanya.
Namun, jentera musik Indonesia terus berjalan, bukan? Kreativitas tidak hanya harus dikembangkan oleh mereka yang terlibat aktif dalam dunia musik, tapi juga oleh orang-orang yang menjadi tujuan (baca: pasar) karya musik.
Kebudayaan populer memang memabukkan bagi mereka yang tidak hati-hati larut di dalamnya.
* Denny Ardiansyah, warga Metro yang merantau di Jember, Jawa Timur. Penulis fiksi dengan pseudonim Dhe A. Sujana.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008
November 29, 2008
Nuansa: 'Gema Secuil Batu'
Oleh Rahmat Sudirman
KITA buka pembicaraan ini dengan petikan tulisan penyair Inggit Putria Marga yang terbit di harian ini, 23 November lalu: Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama mengajak pembaca hening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu.
Apa yang menarik dari kalimat panjang penyair kita itu? Kalaupun ada yang berkesan, ada yang menyentuh sensibilitas kita sebagai manusia, lalu rangsangan apa yang menyeruak dari untaian kata Inggit di atas?
Dalam kalimat panjang penyair muda itu ada tiga kata kunci yang bisa kita urai: Inggit-Iswadi Pratama-puisi. Inggit dalam tulisan itu memang memosisikan diri sebagai pembaca, sekalipun ia tercatat sebagai salah satu penyair kuat di negeri ini. Penyair-pembaca itu membaca karya-karya Iswadi Pratama--penyair cum teaterwan--yang satu dekade lebih dahulu dari Inggit menggeluti sastra. Bacaan penyair--pembaca itu menelurkan tulisan panjang yang mengapresiasi Gema Secuil Batu, antologi Iswadi Pratama.
Apa jadinya jika penyair mengapresiasi sajak penyair lain? Di sini mungkin kutipan kata-kata Inggit pada alinea pertama tulisan ini punya makna tersendiri. Ada semacam kejujuran hingga Inggit menyatakan "ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa..." lalu sajak-sajak Iswadi menjadi sesuatu yang mengajak kita memasuki wilayah yang langka itu.
Penyair--jika boleh dikatakan seperti ini--adalah kreator yang berada pada lapis makna kedua, ketiga, mungkin yang membaca lapis-lapis makna yang tidak tersentuh "orang kebanyakan". Keberadaannya pada "lapis makna kreator" ini yang menjadikan pembacaan Inggit atas Gema Secuil Batu memiliki makna berlapis. Makna yang diungkap Inggit ini akan terasa kuat begitu kita membaca sajak-sajak Iswadi--atau mungkin membaca sosok Iswadi sendiri sebagai subjek persona.
Maka itu--sekali lagi saya ulang kutipan tulisan Inggit--"ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka", rantaian kata-kata itu menjadi kalimat yang meaningfull dan menyemburatkan kejujuran.
Mari kita baca kutipan sajak Rumah Sunyi dalam antologi itu: rumahku sunyi/seperti labirin dengan gerimis abadi/orang-orang datang dan pergi//di rumah itu/aku pernah tidak berani pulang/sebab di atap ada genting bocor/serupa mata yang selalu mengawasi//kalau hujan, air netes dari situ/nimbulin bunyi wingit/merambat ke dinding, ke ranjang/ke setiap sudut ruangan...
Baca juga penggalan sajak Selalu Kukatakan Padamu ini: tetapi selalu kukatakan padamu/ada sesuatu yang berseri esok hari/pulang dan tidurlah. di dalam mimpi/mungkin aku jalanan yang kau lewati.
Kewajaran seperti apa yang terasa dari penggalan dua sajak Iswadi di atas? Mungkin, kewajaran sebagai manusia sebagai makhluk "yang hidup dengan rasa" hingga "kesunyian" menjadi sesuatu yang memiriskan, mungkin juga menjelma "keinginan yang menggigilkan tubuh".
Bukankah ini sebuah kewajaran?
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 November 2008
KITA buka pembicaraan ini dengan petikan tulisan penyair Inggit Putria Marga yang terbit di harian ini, 23 November lalu: Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama mengajak pembaca hening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu.
Apa yang menarik dari kalimat panjang penyair kita itu? Kalaupun ada yang berkesan, ada yang menyentuh sensibilitas kita sebagai manusia, lalu rangsangan apa yang menyeruak dari untaian kata Inggit di atas?
Dalam kalimat panjang penyair muda itu ada tiga kata kunci yang bisa kita urai: Inggit-Iswadi Pratama-puisi. Inggit dalam tulisan itu memang memosisikan diri sebagai pembaca, sekalipun ia tercatat sebagai salah satu penyair kuat di negeri ini. Penyair-pembaca itu membaca karya-karya Iswadi Pratama--penyair cum teaterwan--yang satu dekade lebih dahulu dari Inggit menggeluti sastra. Bacaan penyair--pembaca itu menelurkan tulisan panjang yang mengapresiasi Gema Secuil Batu, antologi Iswadi Pratama.
Apa jadinya jika penyair mengapresiasi sajak penyair lain? Di sini mungkin kutipan kata-kata Inggit pada alinea pertama tulisan ini punya makna tersendiri. Ada semacam kejujuran hingga Inggit menyatakan "ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa..." lalu sajak-sajak Iswadi menjadi sesuatu yang mengajak kita memasuki wilayah yang langka itu.
Penyair--jika boleh dikatakan seperti ini--adalah kreator yang berada pada lapis makna kedua, ketiga, mungkin yang membaca lapis-lapis makna yang tidak tersentuh "orang kebanyakan". Keberadaannya pada "lapis makna kreator" ini yang menjadikan pembacaan Inggit atas Gema Secuil Batu memiliki makna berlapis. Makna yang diungkap Inggit ini akan terasa kuat begitu kita membaca sajak-sajak Iswadi--atau mungkin membaca sosok Iswadi sendiri sebagai subjek persona.
Maka itu--sekali lagi saya ulang kutipan tulisan Inggit--"ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka", rantaian kata-kata itu menjadi kalimat yang meaningfull dan menyemburatkan kejujuran.
Mari kita baca kutipan sajak Rumah Sunyi dalam antologi itu: rumahku sunyi/seperti labirin dengan gerimis abadi/orang-orang datang dan pergi//di rumah itu/aku pernah tidak berani pulang/sebab di atap ada genting bocor/serupa mata yang selalu mengawasi//kalau hujan, air netes dari situ/nimbulin bunyi wingit/merambat ke dinding, ke ranjang/ke setiap sudut ruangan...
Baca juga penggalan sajak Selalu Kukatakan Padamu ini: tetapi selalu kukatakan padamu/ada sesuatu yang berseri esok hari/pulang dan tidurlah. di dalam mimpi/mungkin aku jalanan yang kau lewati.
Kewajaran seperti apa yang terasa dari penggalan dua sajak Iswadi di atas? Mungkin, kewajaran sebagai manusia sebagai makhluk "yang hidup dengan rasa" hingga "kesunyian" menjadi sesuatu yang memiriskan, mungkin juga menjelma "keinginan yang menggigilkan tubuh".
Bukankah ini sebuah kewajaran?
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 November 2008
November 28, 2008
Hari Kunjungan Perpustakaan: Perpusda Lampung Sepi Pengunjung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hari Kunjungan Perpustakaan masih berupa jargon untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat. Buktinya, pada peringatan Hari Kunjungan Perpustakaan, Rabu (26-11), yang digelar oleh Perpustakaan Daerah Lampung minim pengunjung.
Di ruang perpustakaan hanya puluhan siswa terlihat membaca buku di ruang baca. Bersamaan dengan peringatan Hari Kunjungan Perpustakaan itu, digelar beberapa perlombaan, yaitu pidato bahasa Lampung, pidato bahasa Inggris, dan penulisan karya ilmiah. Perlombaan itu hanya diikuti oleh sekitar 50 siswa, sedangkan untuk penulisan karya ilmiah masih dalam tahap seleksi yang diikuti sekitar 100 siswa se-Bandar Lampung.
Kepala Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Lampung, Elya Mochtar, mengatakan pihaknya sudah berupaya menyosialisasikan tentang perlombaan dan momen itu kepada Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya, pihak dinas yang menyosialisasikan ke sekolah-sekolah di Bandar Lampung.
"Kami memang harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan budaya baca masyarakat. Hari Kunjungan Perpustakaan ini hanya salah satunya," kata Elya.
Menurut dia, Hari Kunjungan Perpustakaan itu adalah salah satu program nasional yang juga dilaksanakan di provinsi untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat. Masyarakat harus mengetahui bahwa informasi adalah jendela dunia, dan buku adalah salah satu sumber informasi.
Untuk meningkatkan kembali motivasi masyarakat untuk berkunjung ke Perpustakaan Daerah Lampung itu, pihaknya akan melakukan inovasi di Perpusda.
Beberapa program 2009 yang akan dilaksanakan adalah mengaktifkan kembali perpustakaan digital, menambah koleksi buku-buku perpustakaan, dan membuat taman baca khusus untuk anak-anak.
Satu lagi program andalan yang akan direalisasikan pada Desember ini adalah Perpustakaan Masyarakat Desa (PMD) yang didirikan di 185 desa. Saat ini, diklat bagi calon pengelola perpustakaan desa sedang berlangsung. Selanjutnya sebanyak 140 ribu buku dengan 40 ribu judul akan dibagi dan didistribusikan ke 185 PMD itu.
"Buku-buku yang diberikan ke PMD disesuaikan dengan potensi masing-masing desa. Misalnya, kalau di desa itu banyak peternakan, maka buku peternakan yang mayoritas, selain buku-buku pelajaran dan hiburan," kata Elya.
Kepala Bidang Perpustakaan Watiyo mengatakan sebelumnya perpustakaan digital sudah pernah diaktifkan, yaitu pada 2006--2007. Namun, saat ini kondisi layar sudah buram. Walaupun bisa dioperasionalkan, tidak optimal dan membuat sakit mata para pengunjung. Bagi pengunjung perpustakaan digital, selama satu jam akan disuguhi dengan film ilmu pengetahuan, selanjutnya satu jam kemudian menikmati film hiburan.
"Saat ini monitornya sedang diperbaiki, diupayakan pada 2009 nanti perpustakaan digital ini bisa beroperasi lagi," kata Watiyo. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 November 2008
Di ruang perpustakaan hanya puluhan siswa terlihat membaca buku di ruang baca. Bersamaan dengan peringatan Hari Kunjungan Perpustakaan itu, digelar beberapa perlombaan, yaitu pidato bahasa Lampung, pidato bahasa Inggris, dan penulisan karya ilmiah. Perlombaan itu hanya diikuti oleh sekitar 50 siswa, sedangkan untuk penulisan karya ilmiah masih dalam tahap seleksi yang diikuti sekitar 100 siswa se-Bandar Lampung.
Kepala Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Lampung, Elya Mochtar, mengatakan pihaknya sudah berupaya menyosialisasikan tentang perlombaan dan momen itu kepada Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya, pihak dinas yang menyosialisasikan ke sekolah-sekolah di Bandar Lampung.
"Kami memang harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan budaya baca masyarakat. Hari Kunjungan Perpustakaan ini hanya salah satunya," kata Elya.
Menurut dia, Hari Kunjungan Perpustakaan itu adalah salah satu program nasional yang juga dilaksanakan di provinsi untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat. Masyarakat harus mengetahui bahwa informasi adalah jendela dunia, dan buku adalah salah satu sumber informasi.
Untuk meningkatkan kembali motivasi masyarakat untuk berkunjung ke Perpustakaan Daerah Lampung itu, pihaknya akan melakukan inovasi di Perpusda.
Beberapa program 2009 yang akan dilaksanakan adalah mengaktifkan kembali perpustakaan digital, menambah koleksi buku-buku perpustakaan, dan membuat taman baca khusus untuk anak-anak.
Satu lagi program andalan yang akan direalisasikan pada Desember ini adalah Perpustakaan Masyarakat Desa (PMD) yang didirikan di 185 desa. Saat ini, diklat bagi calon pengelola perpustakaan desa sedang berlangsung. Selanjutnya sebanyak 140 ribu buku dengan 40 ribu judul akan dibagi dan didistribusikan ke 185 PMD itu.
"Buku-buku yang diberikan ke PMD disesuaikan dengan potensi masing-masing desa. Misalnya, kalau di desa itu banyak peternakan, maka buku peternakan yang mayoritas, selain buku-buku pelajaran dan hiburan," kata Elya.
Kepala Bidang Perpustakaan Watiyo mengatakan sebelumnya perpustakaan digital sudah pernah diaktifkan, yaitu pada 2006--2007. Namun, saat ini kondisi layar sudah buram. Walaupun bisa dioperasionalkan, tidak optimal dan membuat sakit mata para pengunjung. Bagi pengunjung perpustakaan digital, selama satu jam akan disuguhi dengan film ilmu pengetahuan, selanjutnya satu jam kemudian menikmati film hiburan.
"Saat ini monitornya sedang diperbaiki, diupayakan pada 2009 nanti perpustakaan digital ini bisa beroperasi lagi," kata Watiyo. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 November 2008
November 27, 2008
UBL-Ipec Adakan Pelatihan Penulisan Naskah Film
BANDAR LAMPUNG (Lampost): UBL-Ipec (Internastional Program of English and Comunication), Rabu (26-11), menggelar Star Indie Movie 2008 Chapter 1 tentang pelatihan penulisan naskah film dengan menghadirkan penulis naskah Ada Apa Dengan Cinta, Jujur Prananto.
Jujur dikenal penulis naskah cukup produktif dan sudah menghasilkan berbagai skenario film-film sukses. Selain Ada Apa Dengan Cinta, Jujur juga menulis Petualangan Sherina, Cintapucino, dan Doa yang Mengancam.
Rektor UBL Yusuf Barusman dalam sambutannya mengatakan kegiatan ini sengaja digelar untuk menilai bakat dan kreativitas para peserta. "Seni dan budaya itu sangat penting, sebab peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari karya seni yang ditinggalkan," kata dia.
Oleh karena itu, dia meminta peserta mengikuti kegiatan tersebut dengan serius sehingga bisa menghasilkan naskah film yang berkualitas. Dunia perfilman di beberapa belahan dunia seperti di Amerika, Eropa, India, dan China sudah menjadi industri dan menghasilkan devisa yang tidak sedikit.
Dalam paparannya, Jujur mengatakan skenario bukanlah hasil akhir dari sebulah film. Sebab, orang akan menilai kualitas sebuah film tidak dengan melihat skenarioanya, tetapi setelah melihat film itu sendiri.
Dia mengatakan skenario dalam film kurang lebih analog dengan blue print dalam arsitektur. "Skenario dibuat semata-mata sebagai sarana pembuatan film atau bagian dari pembuatan film atau bagian dari pembuatan film. Jadi skenario bukan karya akhir, sebab yang akan dinilai adalah filmnya, bukan skenarionya," kata dia.
Tahap pembuatan skenario berawal dari gagasan atau ide. Setelah memperoleh ide, kemudian ide tersebut dikembangkan dengan diskusi. Tahap selanjutnya adalah karakterisasi. Setelah menyusun plot adegan (scene plot).
Menurut Jujur, cara yang paling menyenangkan belajar menulis naskah film adalah menonton film yang secara umum dianggap bagus secara berulang-ulang, sampai kita hafal luar kepala. Setelah itu kemudian ditulis urutan adegan, atau scene plot atau treatment. n UNI/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 November 2008
Jujur dikenal penulis naskah cukup produktif dan sudah menghasilkan berbagai skenario film-film sukses. Selain Ada Apa Dengan Cinta, Jujur juga menulis Petualangan Sherina, Cintapucino, dan Doa yang Mengancam.
Rektor UBL Yusuf Barusman dalam sambutannya mengatakan kegiatan ini sengaja digelar untuk menilai bakat dan kreativitas para peserta. "Seni dan budaya itu sangat penting, sebab peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari karya seni yang ditinggalkan," kata dia.
Oleh karena itu, dia meminta peserta mengikuti kegiatan tersebut dengan serius sehingga bisa menghasilkan naskah film yang berkualitas. Dunia perfilman di beberapa belahan dunia seperti di Amerika, Eropa, India, dan China sudah menjadi industri dan menghasilkan devisa yang tidak sedikit.
Dalam paparannya, Jujur mengatakan skenario bukanlah hasil akhir dari sebulah film. Sebab, orang akan menilai kualitas sebuah film tidak dengan melihat skenarioanya, tetapi setelah melihat film itu sendiri.
Dia mengatakan skenario dalam film kurang lebih analog dengan blue print dalam arsitektur. "Skenario dibuat semata-mata sebagai sarana pembuatan film atau bagian dari pembuatan film atau bagian dari pembuatan film. Jadi skenario bukan karya akhir, sebab yang akan dinilai adalah filmnya, bukan skenarionya," kata dia.
Tahap pembuatan skenario berawal dari gagasan atau ide. Setelah memperoleh ide, kemudian ide tersebut dikembangkan dengan diskusi. Tahap selanjutnya adalah karakterisasi. Setelah menyusun plot adegan (scene plot).
Menurut Jujur, cara yang paling menyenangkan belajar menulis naskah film adalah menonton film yang secara umum dianggap bagus secara berulang-ulang, sampai kita hafal luar kepala. Setelah itu kemudian ditulis urutan adegan, atau scene plot atau treatment. n UNI/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 November 2008
November 25, 2008
Wisata: Lembah Hijau Hadirkan Aneka Program Baru
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Taman Wisata Lembah Hijau terus berinovasi menghadirkan berbagai program mulai dari rekreasi/wisata, pertemuan, family gathering, outing plus, training, hingga yang terbaru pendidikan untuk anak.
Salah satu program pendidikan anak yang sangat diminati adalah survival di alam. Program ini mengajak anak untuk dapat mandiri, kreatif, inisiatif, sekalipun berada di luar zona nyaman yang dijalani sehari-hari.
Manajer Lembah Hijau D.A. Rinni mendampingi Komisaris Utama Taman Wisata Lembah Hijau M. Irwan Nasution, Senin (24-11), mengatakan dalam program pendidikan survival di alam ini, anak diajarkan untuk mendirikan tenda kamping, outbound kids, peduli hijau, hingga Indiana Fish.
Menurut dia, baru-baru ini program survival di alam diikuti siswa-siswi kelas V SD Star Kid (Pelita Bangsa) Bandar Lampung. Program ini dikemas dalam bentuk paket berkemah (camping plus) yang tidak hanya berkemah biasa.
"Di sini anak-anak belajar mulai memperkenalkan diri secara promosi, mendirikan tenda, outbound kids yang dimulai dari low element hingga permainan ketinggian (naik rumah pohon, estafet ke spider web, giant steps, dan flying fox)," jelas Rinni.
Dalam program ini, anak juga diajarkan untuk percaya diri melalui kegiatan climbing wall (panjat dinding) didampingi fasilitator dan operator andal yang memahami dunia anak. Paket ini masih berlanjut dengan program menanamkan pada diri anak untuk peduli hijau.
Anak-anak dibentuk dalam grup kemudian masing-masing grup menanam pohon buah diiringi games seputar ilmu pengetahuan tentang tumbuhan. Pohon yang ditanam diberi label nama anak-anak dalam grup yang menanam berikut tanggal tanam, hal ini membuat semangat anak dengan merasa memiliki pohon tersebut.
Kegiatan yang tak kalah meriahnya, yaitu Indiana Fish, yang merupakan perburuan ikan di kolam dangkal. Mereka dapat merasakan sebagai nelayan yang menangkap ikan. Program survival ini diakhiri dengan acara malam dengan api unggun hingga pukul 20.00. Tanpa menginap anak-anak dapat pulang dengan sejuta pengalaman yang tak terlupakan. n NOV/E-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 25 November 2008
Salah satu program pendidikan anak yang sangat diminati adalah survival di alam. Program ini mengajak anak untuk dapat mandiri, kreatif, inisiatif, sekalipun berada di luar zona nyaman yang dijalani sehari-hari.
Manajer Lembah Hijau D.A. Rinni mendampingi Komisaris Utama Taman Wisata Lembah Hijau M. Irwan Nasution, Senin (24-11), mengatakan dalam program pendidikan survival di alam ini, anak diajarkan untuk mendirikan tenda kamping, outbound kids, peduli hijau, hingga Indiana Fish.
Menurut dia, baru-baru ini program survival di alam diikuti siswa-siswi kelas V SD Star Kid (Pelita Bangsa) Bandar Lampung. Program ini dikemas dalam bentuk paket berkemah (camping plus) yang tidak hanya berkemah biasa.
"Di sini anak-anak belajar mulai memperkenalkan diri secara promosi, mendirikan tenda, outbound kids yang dimulai dari low element hingga permainan ketinggian (naik rumah pohon, estafet ke spider web, giant steps, dan flying fox)," jelas Rinni.
Dalam program ini, anak juga diajarkan untuk percaya diri melalui kegiatan climbing wall (panjat dinding) didampingi fasilitator dan operator andal yang memahami dunia anak. Paket ini masih berlanjut dengan program menanamkan pada diri anak untuk peduli hijau.
Anak-anak dibentuk dalam grup kemudian masing-masing grup menanam pohon buah diiringi games seputar ilmu pengetahuan tentang tumbuhan. Pohon yang ditanam diberi label nama anak-anak dalam grup yang menanam berikut tanggal tanam, hal ini membuat semangat anak dengan merasa memiliki pohon tersebut.
Kegiatan yang tak kalah meriahnya, yaitu Indiana Fish, yang merupakan perburuan ikan di kolam dangkal. Mereka dapat merasakan sebagai nelayan yang menangkap ikan. Program survival ini diakhiri dengan acara malam dengan api unggun hingga pukul 20.00. Tanpa menginap anak-anak dapat pulang dengan sejuta pengalaman yang tak terlupakan. n NOV/E-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 25 November 2008
November 24, 2008
Kebudayaan: Sastra Sufi Kembali Dilirik di Indonesia
Bandar Lampung, Kompas - Perkembangan sastra sufi atau sastra yang memuat nilai-nilai religius universal sempat terhambat selama tiga abad di Indonesia. Memasuki abad ke-20 hingga saat ini, sastra sufi kembali berkembang dan dilirik peminat.
Abdul Hadi WM, pengajar sastra sufistik di Universitas Paramadina Mulia dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada acara ceramah sastra di Balai Bahasa Lampung, Jumat (21/11), mengatakan, di Indonesia sastra sufi masuk pada abad ke-13. Saat itu, sastra sufi masuk ke Indonesia dalam bentuk saduran atas cerita-cerita dari Arab Saudi dan Persia. Saduran cerita dalam bahasa Melayu itu dipakai sebagai alat syiar agama Islam.
Menurut Abdul Hadi, sebagai alat syiar, para penulis yang menuliskan nilai-nilai religius Islam banyak berhadapan dengan nilai-nilai lokal masyarakat Jawa atau Sumatera yang saat itu tengah berkembang, di antaranya animisme dan ajaran Hindu.
”Sebagai alat syiar, kombinasi dari nilai-nilai yang dianut masyarakat dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam dilakukan supaya masyarakat mau menerima syiar tersebut,” ujar Abdul Hadi.
Tulisan mengenai ajaran Islam yang dipadu dengan nilai-nilai lokal mencapai puncaknya pada abad ke-16 dan ke-17 berupa berkembangnya sastra sufi. Saat itu, agama Islam di Indonesia sudah tersebar dan diiringi dengan banyaknya lembaga pendidikan besar yang membutuhkan banyak buku-buku ajar. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 24 November 2008
Abdul Hadi WM, pengajar sastra sufistik di Universitas Paramadina Mulia dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada acara ceramah sastra di Balai Bahasa Lampung, Jumat (21/11), mengatakan, di Indonesia sastra sufi masuk pada abad ke-13. Saat itu, sastra sufi masuk ke Indonesia dalam bentuk saduran atas cerita-cerita dari Arab Saudi dan Persia. Saduran cerita dalam bahasa Melayu itu dipakai sebagai alat syiar agama Islam.
Menurut Abdul Hadi, sebagai alat syiar, para penulis yang menuliskan nilai-nilai religius Islam banyak berhadapan dengan nilai-nilai lokal masyarakat Jawa atau Sumatera yang saat itu tengah berkembang, di antaranya animisme dan ajaran Hindu.
”Sebagai alat syiar, kombinasi dari nilai-nilai yang dianut masyarakat dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam dilakukan supaya masyarakat mau menerima syiar tersebut,” ujar Abdul Hadi.
Tulisan mengenai ajaran Islam yang dipadu dengan nilai-nilai lokal mencapai puncaknya pada abad ke-16 dan ke-17 berupa berkembangnya sastra sufi. Saat itu, agama Islam di Indonesia sudah tersebar dan diiringi dengan banyaknya lembaga pendidikan besar yang membutuhkan banyak buku-buku ajar. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 24 November 2008
Lomba Resensi Novel 'Luka di Champs Elysees'
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penulis novel Luka di Champs Elysees (LdCE) (terbitan Lingkar Pena Publishing House, Depok, Agustus 2008), Rosita Sihombing menggelar lomba resensi novel tersebut.
Novel mengisahkan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia bernama Karimah yang melarikan diri karena tak tahan menghadapi siksaan dan pelecehan dari majikannnya di Riyadh. Namun akhirnya Kharimah sadar akan fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu bagi anaknya yang ditinggalkannya di Indonesia.
Novel perdana karya novelis asal Lampung Rosita Sihombing ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka di Indonesia. Untuk menjajaki apresiasi pembaca atas diterbitkannya novel Luka di Champs Elysees ini, Rosita Sihombing menggelar lomba resensi.
"Saya butuh kritik dan masukan dari para pembaca. Apalagi ini novel saya yang perdana. Saya masih harus banyak belajar dari siapa pun," ujar Sikrit, panggilan akrab Rosita Sihombing.
Menurut mantan wartawan Sumatera Post yang sejak 2003 bermukim di Paris ini, lomba resensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hasil resensinya pertama harus dimuat di media cetak (harian/mingguan/tabloid dan majalah) dan kedua versi internet (multiply/blog/blogspot/wordpress/friendster/any website).
Untuk yang versi media cetak, pihaknya menyediakan hadiah untuk juara I, II, dan III masing-masing Rp1 juta, Rp750 ribu, dan Rp500 ribu. Masing-masing pemenang juga mendapat tambahan hadiah berupa poster dan post card Champs Elysees.
Sedangkan untuk peserta versi internet untuk lima resensi menarik bakal mendapat tambahan paket chocklate dan post card Champ Elysees. Untuk yang versi ini memang para peserta lebih bebas dalam mengungkapkan apresiasinya tentang novel dan bahasa yang lebih gaul dan meremaja.
"Peserta boleh mengikuti kedua kategori lomba resensi baik yang versi media cetak ataupun internet," ujar Rosita.
Rosita menambahkan peserta tak dibatasi usia, yang terpenting warga negara Indonesia dan peserta wajib menyertakan bukti asli (kuintansi) pembelian novel Luka di Luka Champs Elysees.
Untuk yang berminat mengikuti lomba ini dapat mengirimkan hasil resensinya dilengkapi biodata lengkap, foto diri, dan nomor ponsel atau telepon ke e-mail: lukadichampselysees@yahoo.fr. Untuk yang versi internet bisa dikirim via e-mail ke lukadichampselysees@yahoo.fr. "Bukti asli pembelian novel dapat dikirim ke Rosita Sihombing, Jalan dr. Harun I No. 58. Bandar Lampung, 35121, selambat-lambatnya 20 Februari 2009. Sedangkan nama para pemenang dapat dilihat di di hhtp:// www. sikrit.multiply.com," ujar Rosita. n DWI/K-4
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 November 2008
Novel mengisahkan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia bernama Karimah yang melarikan diri karena tak tahan menghadapi siksaan dan pelecehan dari majikannnya di Riyadh. Namun akhirnya Kharimah sadar akan fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu bagi anaknya yang ditinggalkannya di Indonesia.
Novel perdana karya novelis asal Lampung Rosita Sihombing ini sudah bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka di Indonesia. Untuk menjajaki apresiasi pembaca atas diterbitkannya novel Luka di Champs Elysees ini, Rosita Sihombing menggelar lomba resensi.
"Saya butuh kritik dan masukan dari para pembaca. Apalagi ini novel saya yang perdana. Saya masih harus banyak belajar dari siapa pun," ujar Sikrit, panggilan akrab Rosita Sihombing.
Menurut mantan wartawan Sumatera Post yang sejak 2003 bermukim di Paris ini, lomba resensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hasil resensinya pertama harus dimuat di media cetak (harian/mingguan/tabloid dan majalah) dan kedua versi internet (multiply/blog/blogspot/wordpress/friendster/any website).
Untuk yang versi media cetak, pihaknya menyediakan hadiah untuk juara I, II, dan III masing-masing Rp1 juta, Rp750 ribu, dan Rp500 ribu. Masing-masing pemenang juga mendapat tambahan hadiah berupa poster dan post card Champs Elysees.
Sedangkan untuk peserta versi internet untuk lima resensi menarik bakal mendapat tambahan paket chocklate dan post card Champ Elysees. Untuk yang versi ini memang para peserta lebih bebas dalam mengungkapkan apresiasinya tentang novel dan bahasa yang lebih gaul dan meremaja.
"Peserta boleh mengikuti kedua kategori lomba resensi baik yang versi media cetak ataupun internet," ujar Rosita.
Rosita menambahkan peserta tak dibatasi usia, yang terpenting warga negara Indonesia dan peserta wajib menyertakan bukti asli (kuintansi) pembelian novel Luka di Luka Champs Elysees.
Untuk yang berminat mengikuti lomba ini dapat mengirimkan hasil resensinya dilengkapi biodata lengkap, foto diri, dan nomor ponsel atau telepon ke e-mail: lukadichampselysees@yahoo.fr. Untuk yang versi internet bisa dikirim via e-mail ke lukadichampselysees@yahoo.fr. "Bukti asli pembelian novel dapat dikirim ke Rosita Sihombing, Jalan dr. Harun I No. 58. Bandar Lampung, 35121, selambat-lambatnya 20 Februari 2009. Sedangkan nama para pemenang dapat dilihat di di hhtp:// www. sikrit.multiply.com," ujar Rosita. n DWI/K-4
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 November 2008
November 23, 2008
Puluhan Hari Sebelum Tahun Baru, Tentang 'Gema Secuil Batu', Kumpulan Sajak Iswadi Pratama
-- Inggit Putria Marga*
KETIKA menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, Iswadi Pratama mengajak kita memasuki wilayah yang makin asing itu. Menarik kita memasuki kewajaran manusia.
Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama--sastrawan Lampung--mengajak pembaca bening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu (GSB).
Puisi, sebagaimana karya seni lainnya, mengingatkan kembali kita pada kemanusiaan kita, pada kewajaran kita sebagai manusia: Yang wajar menangis apabila sedih, yang wajar marah bila terhina, yang wajar bahagia bila jatuh cinta, yang wajar murung bila rindu, yang wajar sakit bila lelah.
Fungsi ini lebih disebabkan puisi sebagaimana karya seni lainnya juga diciptakan manusia, yang tentu saja takkan terlepas oleh hal-hal yang saya sebut sebagai kewajaran itu. Pencipta puisi atau lebih akrab disapa penyair, tentu (sudah pasti) juga merasakan emosi-emosi universal semacam bahagia, sedih, murung, marah, dan kerabatnya.
Yang membedakan penyair dengan yang bukan penyair adalah kemampuan menghayati lalu mengolah emosi-emosi yang terlahir dari berbagai peristiwa yang dialami sepanjang hidup, menjadi karya yang kemudian dinamakan puisi. T. S. Elliot dalam esai Tradition and Individu Talent mengemukakan, "Bersyair bukan melepaskan emosi, tetapi pelarian dari emosi. Bukan pernyataan kepribadian tetapi pelarian dari kepribadian. Maka dari itu, hanya mereka yang mempunyai kepribadian dan emosi tahu apa artinya melarikan diri dari keduanya."
Dari 49 sajak Iswadi Pratama yang terangkum dalam Gema Secuil Batu, pembaca diajak kembali menjadi manusia. Makhluk yang mampu menghayati luruhan helai-helai hujan, memiliki sesuatu yang berharga untuk dikenang.
"Bertahun kau susun kaleng-kaleng itu/di ruang berjelaga dan lantai kelabu/ ketika kecil aku sering mengambil penganan/ yang kau susun di dalamnya setiap malam// sampai kini kaleng-kaleng itu masih di sana/ memberikan perasaan sedih dan gembira (kenangan, hlm. 31)
Saya tidak begitu yakin, apakah kini orang-orang yang katanya hidup dalam kemodernan masih leluasa memiliki perasaannya. Dalam dunia yang teramat penuh dengan basa-basi dan tipu muslihat ini, setiap orang seperti diharuskan memanipulasi perasaan. Tidak boleh menangis bila sedih, tidak boleh marah bila dihina, dilarang memaki bila kesal, dilarang terbahak-bahak bila bahagia. Kita dimestikan tersenyum pada semua orang, kita diharuskan terlihat bijak bestari kepada semua manusia. Benarkah itu kita? Siapa yang telah membuat kita tidak leluasa?
ia tak pernah sedikit bersabar untuk menangis/atau bergembira/untuk mengalami atau membiarkan sesuatu/singgah dalam dirinya/sebab, ia sedang merindukan apa yang tak ada (Tentang seorang yang tergesa-gesa, hlm. 43)
Sajak-sajak dalam Gema Secuil Batu jujur dan bersahaja sebagai dirinya. Sebagai penyair yang telah mencipta, Iswadi terlepas dari hasrat bermewah-mewah kata (hal yang begitu menggejala pada penyair Indonesia belakangan ini), juga keinginan memakaikan make up dan aksesori pada puisi-puisi yang ditulisnya selama 1993--2006. Hal ini membuktikan bukan berapa banyak kata-kata ajaib menempel pada puisi yang membuat sebuah puisi menjadi karya yang hidup dalam hati pembaca, melainkan seberapa ajaib sang penyair mampu mengolah kata-kata menjadi puisi yang mampu mencapai dasar hati dan ingatan pembaca.
Namun, keajaiban mengolah kata-kata saja tidak cukup. Tanpa penghayatan dan perenungan yang jujur dan sublim, puisi sang penyair tak ubahnya gelembung-gelembung sabun colek saja.
Eliot menyatakan jiwa penyair yang matang berbeda dengan jiwa penyair yang belum matang. Jiwa penyair yang matang merupakan medium yang telah dihaluskan, disempurnakan; perasaan-perasaan yang khas dan beragam bebas mencari kombinasi-kombinasi baru. Kutipan sajak berjudul Asmara saya jadikan contoh penilaian terhadap jiwa sang penggubahnya:
dan aku tahu/yang kubuang takkan kau pungut/yang kusimpan tak mungkin kau minta/kita telah saling memasuki dan membentuk sebuah dunia/tapi kita tak tahu di mana awal akhirnya//dan setelah hujan di minggu lengas itu/semua yang tiba bukan yang kita tunggu/semua yang kita tunggu remuk di kaki waktu (Asmara, hlm. 62)
Kalimat-kalimat yang mengandung "kesadaran" seperti kalimat dalam sajak Asmara tidak akan dapat ditulis penyair yang tidak benar-benar menghayati dan merenungi persoalan. Susunan kata-kata "biasa" yang digubah menjadi barisan kalimat-kalimat sarat makna tidak akan dapat tercipta bila mengandalkan keterampilan mengutak-atik kata tanpa penjiwaan baik terhadap persoalan yang ditulis maupun bagaimana menuliskan.
Pada pengantar penyair dituliskan bahwa proses sang penyair menulis puisi seperti melempar secuil batu dalam kolam. Persamaan ini menggiring saya berpikir bahwa puisi adalah secuil batu yang dilemparkan ke kolam. Ya, hanya batu yang sungguh batu yang akan sampai ke dasar kolam.
Ia, sang batu itu, akan meninggalkan riak di permukaan meski tubuhnya telah sampai di kedasaran. Batu disebut batu karena ia padat, keras, dan utuh. Pasir atau tanah yang digumpalkan hingga menyerupai batu, lalu dilontarkan ke dalam kolam, juga akan meninggalkan riak, tetapi tubuhnya tidak akan bisa mencapai dasar kolam sebagai sebuah keutuhan.
Ini akan berbeda bila yang dilemparkan ke kolam adalah batu yang sebenar-benar batu. Meski pun secuil, sebutir kerikil akan sampai ke dasar kolam. Keutuhan membuatnya sampai ke tujuan. Ke dasar kolam.
Apabila puisi diibaratkan batu yang dilemparkan ke dasar kolam, maka jelas hanya keutuhannya sebagai puisi yang akan membawanya sampai ke tujuannya, yaitu menjadi puisi. Keutuhan dalam sebuah puisi, salah satu faktor utamanya adalah kata yang digunakan untuk membentuk kalimat yang akan membumikan ide, pengalaman batin, maupun perenungan sang penyair terhadap suatu persoalan. Jika kata yang digunakan (meski pun ajaib, gagah dan mengejutkan) tidak saling menopang memberikan keberadaan di antara mereka, pembuatnya tidak akan berhasil menyampaikan apa yang hendak ia sampaikan. Nasib sang karya menjadi tak ada bedanya dengan gumpalan pasir yang dilemparkan ke kolam. Meninggalkan riak sejenak, tetapi tak pernah mencapai tujuan.
Kata digunakan karena ada yang ingin dikatakan. Metafora dipakai untuk menyampaikan yang tak terkatakan, memvisualkan hal-hal yang tak tampak serta menyinari segala yang telah tampak sehingga membuat rahasia yang tampak tersebut dapat lebih tersingkap.
Membaca puisi membuat kita mengaktifkan seluruh panca indera yang kita punya. Pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, bahkan pikiran. Puisi hidup lewat citraan-citraan hidup, kata-kata yang kait mengait pada dirinya, yang ada bentuknya, yang bisa terdengar, terlihat, tercium, dan terasa.
Gema Secuil Batu yang di dalamnya terkumpul 49 sajak, bila pembacaan saya tidak salah, terdiri dari sajak-sajak yang berisikan renungan perihal kenangan, ingatan, gerak hidup yang membuat sebuah kota menjadi berubah, bahkan perenungan tentang manusia, persahabatan, asmara, kematian, kehidupan, serta puisi dan penyair itu sendiri.
Sebagian besar sajak tersaji secara naratif dan romantik, tetapi tidak jatuh ke jurang kecengengan atau kesentimentilan yang berlarat-larat. Takaran emosi yang terolah lewat pemilihan citra maupun diksi pada tiap-tiap sajak menjadi salah satu bukti bahwa sang penggubah mampu memisahkan diri sebagai "manusia yang menderita" dan "jiwa yang mencipta".
Sajak "tertua" yang terdapat dalam kumpulan ini adalah Rumah Sunyi yang diciptakan tahun 1993. Saya tidak tahu persis apakah ini sajak pertama yang ditulis penyairnya dalam kerja kepuisiannya. Setidaknya untuk kumpulan perdananya ini, sajak tersebut menjadi anak tangga awal melihat betapa proses mencipta puisi bagi Iswadi adalah sebuah proses yang dinamis, menapaki tangga demi tangga, menyerentak dengan pergantian usia, di mana perubahan isi maupun bentuk adalah sebuah tuntutan yang mestinya niscaya bagi penyair yang menganggap puisi adalah sesuatu yang organik.
Proses yang dinamis tersebut menjejak pada perubahan sajak per sajak yang diciptakan tahun per tahun, baik dari apa yang disampaikan sang penyair dalam puisinya, maupun bagaimana penyair menyampaikannya. Sajak Rumah Sunyi yang diciptakan pada 1993 berbeda dengan Fragmen Tanjungkarang yang diciptakan penyair yang sama pada 2004. Meskipun ada nuansa yang sama, secara detail dan capaian artistik terpapar suatu pergulatan yang serius terhadap puisi hingga terjadilah perubahan yang menyebabkan keberbedaan tersebut. Ini juga terjadi pada sajak-sajak yang diciptakan pada tahun-tahun lain, terutama sajak-sajak yang diciptakan pada 2005, yang terdapat di lembar-lembar terakhir kumpulan ini.
Keberbedaan tiap-tiap sajak dalam kumpulan tidaklah perlu digunakan untuk mencari manakah sajak yang paling baik. Gaya atau tema manakah yang paling sesuai bagi penyairnya. Komentar Budi Hutasuhut (Budi P. Hatees), 23 November 2007, saat Bilik Jumpa Sastra di UKMBS Unila, yang mendefinisikan kemapanan bagi penyair adalah ketika ia telah menemukan satu tema untuk direnungi atau satu gaya berpuisi yang digunakan berkali-kali agar menjadi khasnya adalah pandangan sempit, yang apabila tidak dicermati dengan baik akan menyebabkan keterbatasan kreativitas dan lebih nahas lagi dapat membuat penyair stagnan dalam berproses.
Perubahan adalah sebuah kemestian. Keberbedaan adalah fakta di dalam suatu proses. Kebebasan bereksperimen, baik terhadap bentuk maupun isi adalah penting, karena hanya dengan kebebasan seorang penyair dapat terus menerus berinovasi, di mana inovasi adalah bukti bagi sebuah kreativitas.
Dalam Gema Secuil Batu, keberbedaan tiap-tiap sajak yang ditulis juga pada tahun-tahun berbeda, adalah bukti tiap-tiap puisi tak ubahnya makhluk yang hidup sebagai dirinya sendiri, dengan gayanya sendiri, dengan suara dan biografinya sendiri. Seperti juga manusia, yang setiap individu-individunya memiliki sidik jari, jumlah rambut, jumlah keping darah, lebar usus, ukuran mata, serta panjang gigi yang berbeda-beda. Keberbedaan ini menunjukkan Gema Secuil Batu menggemakan begitu banyak kekayaan yang dimiliki penyairnya: peristiwa, perspektif, teknik berpuisi serta capaian-capaian secara artistik dari masing-masing puisi.
Bait pembuka sajak Penambang yang diciptakan tahun 2005 menjadi penutup tulisan saya sekaligus (barangkali) menjadi gambaran bagi kita, bagaimana proses sebuah puisi tercipta: memang akan hilang/ memang akan hancur/tak bisa dijaga di tangan gemetar/tak bisa ditempa di luar sabar. ***
* Inggit Putria Marga, Praktisi puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
KETIKA menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, Iswadi Pratama mengajak kita memasuki wilayah yang makin asing itu. Menarik kita memasuki kewajaran manusia.
Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama--sastrawan Lampung--mengajak pembaca bening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu (GSB).
Puisi, sebagaimana karya seni lainnya, mengingatkan kembali kita pada kemanusiaan kita, pada kewajaran kita sebagai manusia: Yang wajar menangis apabila sedih, yang wajar marah bila terhina, yang wajar bahagia bila jatuh cinta, yang wajar murung bila rindu, yang wajar sakit bila lelah.
Fungsi ini lebih disebabkan puisi sebagaimana karya seni lainnya juga diciptakan manusia, yang tentu saja takkan terlepas oleh hal-hal yang saya sebut sebagai kewajaran itu. Pencipta puisi atau lebih akrab disapa penyair, tentu (sudah pasti) juga merasakan emosi-emosi universal semacam bahagia, sedih, murung, marah, dan kerabatnya.
Yang membedakan penyair dengan yang bukan penyair adalah kemampuan menghayati lalu mengolah emosi-emosi yang terlahir dari berbagai peristiwa yang dialami sepanjang hidup, menjadi karya yang kemudian dinamakan puisi. T. S. Elliot dalam esai Tradition and Individu Talent mengemukakan, "Bersyair bukan melepaskan emosi, tetapi pelarian dari emosi. Bukan pernyataan kepribadian tetapi pelarian dari kepribadian. Maka dari itu, hanya mereka yang mempunyai kepribadian dan emosi tahu apa artinya melarikan diri dari keduanya."
***
Dari 49 sajak Iswadi Pratama yang terangkum dalam Gema Secuil Batu, pembaca diajak kembali menjadi manusia. Makhluk yang mampu menghayati luruhan helai-helai hujan, memiliki sesuatu yang berharga untuk dikenang.
"Bertahun kau susun kaleng-kaleng itu/di ruang berjelaga dan lantai kelabu/ ketika kecil aku sering mengambil penganan/ yang kau susun di dalamnya setiap malam// sampai kini kaleng-kaleng itu masih di sana/ memberikan perasaan sedih dan gembira (kenangan, hlm. 31)
Saya tidak begitu yakin, apakah kini orang-orang yang katanya hidup dalam kemodernan masih leluasa memiliki perasaannya. Dalam dunia yang teramat penuh dengan basa-basi dan tipu muslihat ini, setiap orang seperti diharuskan memanipulasi perasaan. Tidak boleh menangis bila sedih, tidak boleh marah bila dihina, dilarang memaki bila kesal, dilarang terbahak-bahak bila bahagia. Kita dimestikan tersenyum pada semua orang, kita diharuskan terlihat bijak bestari kepada semua manusia. Benarkah itu kita? Siapa yang telah membuat kita tidak leluasa?
ia tak pernah sedikit bersabar untuk menangis/atau bergembira/untuk mengalami atau membiarkan sesuatu/singgah dalam dirinya/sebab, ia sedang merindukan apa yang tak ada (Tentang seorang yang tergesa-gesa, hlm. 43)
Sajak-sajak dalam Gema Secuil Batu jujur dan bersahaja sebagai dirinya. Sebagai penyair yang telah mencipta, Iswadi terlepas dari hasrat bermewah-mewah kata (hal yang begitu menggejala pada penyair Indonesia belakangan ini), juga keinginan memakaikan make up dan aksesori pada puisi-puisi yang ditulisnya selama 1993--2006. Hal ini membuktikan bukan berapa banyak kata-kata ajaib menempel pada puisi yang membuat sebuah puisi menjadi karya yang hidup dalam hati pembaca, melainkan seberapa ajaib sang penyair mampu mengolah kata-kata menjadi puisi yang mampu mencapai dasar hati dan ingatan pembaca.
Namun, keajaiban mengolah kata-kata saja tidak cukup. Tanpa penghayatan dan perenungan yang jujur dan sublim, puisi sang penyair tak ubahnya gelembung-gelembung sabun colek saja.
Eliot menyatakan jiwa penyair yang matang berbeda dengan jiwa penyair yang belum matang. Jiwa penyair yang matang merupakan medium yang telah dihaluskan, disempurnakan; perasaan-perasaan yang khas dan beragam bebas mencari kombinasi-kombinasi baru. Kutipan sajak berjudul Asmara saya jadikan contoh penilaian terhadap jiwa sang penggubahnya:
dan aku tahu/yang kubuang takkan kau pungut/yang kusimpan tak mungkin kau minta/kita telah saling memasuki dan membentuk sebuah dunia/tapi kita tak tahu di mana awal akhirnya//dan setelah hujan di minggu lengas itu/semua yang tiba bukan yang kita tunggu/semua yang kita tunggu remuk di kaki waktu (Asmara, hlm. 62)
Kalimat-kalimat yang mengandung "kesadaran" seperti kalimat dalam sajak Asmara tidak akan dapat ditulis penyair yang tidak benar-benar menghayati dan merenungi persoalan. Susunan kata-kata "biasa" yang digubah menjadi barisan kalimat-kalimat sarat makna tidak akan dapat tercipta bila mengandalkan keterampilan mengutak-atik kata tanpa penjiwaan baik terhadap persoalan yang ditulis maupun bagaimana menuliskan.
***
Pada pengantar penyair dituliskan bahwa proses sang penyair menulis puisi seperti melempar secuil batu dalam kolam. Persamaan ini menggiring saya berpikir bahwa puisi adalah secuil batu yang dilemparkan ke kolam. Ya, hanya batu yang sungguh batu yang akan sampai ke dasar kolam.
Ia, sang batu itu, akan meninggalkan riak di permukaan meski tubuhnya telah sampai di kedasaran. Batu disebut batu karena ia padat, keras, dan utuh. Pasir atau tanah yang digumpalkan hingga menyerupai batu, lalu dilontarkan ke dalam kolam, juga akan meninggalkan riak, tetapi tubuhnya tidak akan bisa mencapai dasar kolam sebagai sebuah keutuhan.
Ini akan berbeda bila yang dilemparkan ke kolam adalah batu yang sebenar-benar batu. Meski pun secuil, sebutir kerikil akan sampai ke dasar kolam. Keutuhan membuatnya sampai ke tujuan. Ke dasar kolam.
Apabila puisi diibaratkan batu yang dilemparkan ke dasar kolam, maka jelas hanya keutuhannya sebagai puisi yang akan membawanya sampai ke tujuannya, yaitu menjadi puisi. Keutuhan dalam sebuah puisi, salah satu faktor utamanya adalah kata yang digunakan untuk membentuk kalimat yang akan membumikan ide, pengalaman batin, maupun perenungan sang penyair terhadap suatu persoalan. Jika kata yang digunakan (meski pun ajaib, gagah dan mengejutkan) tidak saling menopang memberikan keberadaan di antara mereka, pembuatnya tidak akan berhasil menyampaikan apa yang hendak ia sampaikan. Nasib sang karya menjadi tak ada bedanya dengan gumpalan pasir yang dilemparkan ke kolam. Meninggalkan riak sejenak, tetapi tak pernah mencapai tujuan.
Kata digunakan karena ada yang ingin dikatakan. Metafora dipakai untuk menyampaikan yang tak terkatakan, memvisualkan hal-hal yang tak tampak serta menyinari segala yang telah tampak sehingga membuat rahasia yang tampak tersebut dapat lebih tersingkap.
Membaca puisi membuat kita mengaktifkan seluruh panca indera yang kita punya. Pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, bahkan pikiran. Puisi hidup lewat citraan-citraan hidup, kata-kata yang kait mengait pada dirinya, yang ada bentuknya, yang bisa terdengar, terlihat, tercium, dan terasa.
***
Gema Secuil Batu yang di dalamnya terkumpul 49 sajak, bila pembacaan saya tidak salah, terdiri dari sajak-sajak yang berisikan renungan perihal kenangan, ingatan, gerak hidup yang membuat sebuah kota menjadi berubah, bahkan perenungan tentang manusia, persahabatan, asmara, kematian, kehidupan, serta puisi dan penyair itu sendiri.
Sebagian besar sajak tersaji secara naratif dan romantik, tetapi tidak jatuh ke jurang kecengengan atau kesentimentilan yang berlarat-larat. Takaran emosi yang terolah lewat pemilihan citra maupun diksi pada tiap-tiap sajak menjadi salah satu bukti bahwa sang penggubah mampu memisahkan diri sebagai "manusia yang menderita" dan "jiwa yang mencipta".
Sajak "tertua" yang terdapat dalam kumpulan ini adalah Rumah Sunyi yang diciptakan tahun 1993. Saya tidak tahu persis apakah ini sajak pertama yang ditulis penyairnya dalam kerja kepuisiannya. Setidaknya untuk kumpulan perdananya ini, sajak tersebut menjadi anak tangga awal melihat betapa proses mencipta puisi bagi Iswadi adalah sebuah proses yang dinamis, menapaki tangga demi tangga, menyerentak dengan pergantian usia, di mana perubahan isi maupun bentuk adalah sebuah tuntutan yang mestinya niscaya bagi penyair yang menganggap puisi adalah sesuatu yang organik.
Proses yang dinamis tersebut menjejak pada perubahan sajak per sajak yang diciptakan tahun per tahun, baik dari apa yang disampaikan sang penyair dalam puisinya, maupun bagaimana penyair menyampaikannya. Sajak Rumah Sunyi yang diciptakan pada 1993 berbeda dengan Fragmen Tanjungkarang yang diciptakan penyair yang sama pada 2004. Meskipun ada nuansa yang sama, secara detail dan capaian artistik terpapar suatu pergulatan yang serius terhadap puisi hingga terjadilah perubahan yang menyebabkan keberbedaan tersebut. Ini juga terjadi pada sajak-sajak yang diciptakan pada tahun-tahun lain, terutama sajak-sajak yang diciptakan pada 2005, yang terdapat di lembar-lembar terakhir kumpulan ini.
Keberbedaan tiap-tiap sajak dalam kumpulan tidaklah perlu digunakan untuk mencari manakah sajak yang paling baik. Gaya atau tema manakah yang paling sesuai bagi penyairnya. Komentar Budi Hutasuhut (Budi P. Hatees), 23 November 2007, saat Bilik Jumpa Sastra di UKMBS Unila, yang mendefinisikan kemapanan bagi penyair adalah ketika ia telah menemukan satu tema untuk direnungi atau satu gaya berpuisi yang digunakan berkali-kali agar menjadi khasnya adalah pandangan sempit, yang apabila tidak dicermati dengan baik akan menyebabkan keterbatasan kreativitas dan lebih nahas lagi dapat membuat penyair stagnan dalam berproses.
Perubahan adalah sebuah kemestian. Keberbedaan adalah fakta di dalam suatu proses. Kebebasan bereksperimen, baik terhadap bentuk maupun isi adalah penting, karena hanya dengan kebebasan seorang penyair dapat terus menerus berinovasi, di mana inovasi adalah bukti bagi sebuah kreativitas.
Dalam Gema Secuil Batu, keberbedaan tiap-tiap sajak yang ditulis juga pada tahun-tahun berbeda, adalah bukti tiap-tiap puisi tak ubahnya makhluk yang hidup sebagai dirinya sendiri, dengan gayanya sendiri, dengan suara dan biografinya sendiri. Seperti juga manusia, yang setiap individu-individunya memiliki sidik jari, jumlah rambut, jumlah keping darah, lebar usus, ukuran mata, serta panjang gigi yang berbeda-beda. Keberbedaan ini menunjukkan Gema Secuil Batu menggemakan begitu banyak kekayaan yang dimiliki penyairnya: peristiwa, perspektif, teknik berpuisi serta capaian-capaian secara artistik dari masing-masing puisi.
Bait pembuka sajak Penambang yang diciptakan tahun 2005 menjadi penutup tulisan saya sekaligus (barangkali) menjadi gambaran bagi kita, bagaimana proses sebuah puisi tercipta: memang akan hilang/ memang akan hancur/tak bisa dijaga di tangan gemetar/tak bisa ditempa di luar sabar. ***
* Inggit Putria Marga, Praktisi puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
Traveling: 'Jangan Sampai Rusak! Saya akan Datang Lagi'
MATANYA tiba-tiba membelalak. Ia mengoceh sendiri dengan bahasa Prancis. Intonasi suaranya agak tinggi, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah tengah lautan Samudera Hindia. Ia seperti ingin meminta juru mudi perahu ketinting mempercepat laju perahu yang ditumpanginya.
Gelombang laut besar yang mengempas-empas ke arah perahu seperti tidak dihiraukannya, meski tubuhnya nyaris jatuh ke laut jika tidak refleks memegang ujung katiran (batang kayu nibung yang dijadikan sebagai penyeimbang perahu di kiri dan kanan perahu, red). Di tengah laut itu, ia melihat langsung bagaimana sebuah perahu nelayan sedang memburu lumba-lumba yang saat itu tengah musim kawin.
Tapi, saat perahu makin dekat, perahu pemburu itu langsung berlalu menjauhi perahu menuju ke tengah meninggalkan beberapa ekor lumba-lumba yang sudah menjadi bangkai. Claire tidak sempat memaki nelayan-nelayan itu.
Pulang. Sejak memulai perjalanan pulang hingga sampai ke tempat kepulangannya itu, Umbul Bandung Jaya, tidak sepatah pun kata-kata keluar dari mulutnya. Ia hanya diam, padahal saat diajak berangkat untuk melihat lumba-lumba, ia selalu bertanya atau sesekali mengajak berbincang. "Saya sedih sekali melihat lumba-lumba itu dibunuh," ucapnya.
Di "kampungnya" di Prancis, kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlangsungan lingkungan sudah sangat tinggi. Tingginya kesadaran masyarakat itu juga mendapat dukungan penuh pemerintah.
"Kalau di tempat saya, tidak ada orang lagi yang menebang pohon untuk dapat duit karena orang-orang di sana sudah memiliki tanah perkebunan sendiri."
Termasuk aksi pengeboman ikan dan perburuan ikan lumba-lumba, menurut dia, kegiatan seperti itu bisa memengaruhi proses keberlangsungan rantai makanan termasuk berkurangnya populasi ikan. "Dengan bom, ikan-ikan kecil ikut mati juga, ikan-ikan bisa habis."
Ia juga bicara banyak tentang habisnya hutan mangrove yang dibabat untuk membuka usaha tambak udang. Menurut dia, kondisi seperti ini justru bisa merugikan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir itu sendiri.
Sebab, dengan rusaknya hutan mangrove justru memicu serangan penyakit malaria karena hutan mangrove sebagai habitasi nyamuk sudah tidak ada lagi sehingga nyamuk pun bermigrasi ke daerah-daerah permukiman.
"Di tempat kami, hutan mangrove kami jaga, tidak boleh ada siapa pun merusaknya apalagi untuk bisnis cari duit. Untuk bisnis, ada tempat sendiri dan tidak berarti harus merusak hutan mangrove. Saya kira kita semua harus sudah memahami untuk apa lingkungan itu untuk kepentingan masa depan kita, it's real."
"It's about our future, can you imagine in the future, we doesn't have enough water, we dont have clean air. I just want everybody understand how important our environment, our forest and other. (Ini nyata. Ini tentang masa depan kita, bisa kamu bayangkan di masa depan nanti, kita tidak punya cukup air bersih, kita tidak punya udara yang bersih. Saya hanya ingin orang-orang mengerti tentang betapa pentingnya lingkungan kita, hutan kita)," jelasnya yang hanya bisa membuat saya melongo.
Sebelum meninggalkan Kiluan, berkali-kali ia berpesan kepada warga untuk tidak merusak lingkungan. "Kalau tempat ini rusak, tidak ada orang yang akan datang lagi ke sini," pesannya berulang-ulang. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
Gelombang laut besar yang mengempas-empas ke arah perahu seperti tidak dihiraukannya, meski tubuhnya nyaris jatuh ke laut jika tidak refleks memegang ujung katiran (batang kayu nibung yang dijadikan sebagai penyeimbang perahu di kiri dan kanan perahu, red). Di tengah laut itu, ia melihat langsung bagaimana sebuah perahu nelayan sedang memburu lumba-lumba yang saat itu tengah musim kawin.
Tapi, saat perahu makin dekat, perahu pemburu itu langsung berlalu menjauhi perahu menuju ke tengah meninggalkan beberapa ekor lumba-lumba yang sudah menjadi bangkai. Claire tidak sempat memaki nelayan-nelayan itu.
Pulang. Sejak memulai perjalanan pulang hingga sampai ke tempat kepulangannya itu, Umbul Bandung Jaya, tidak sepatah pun kata-kata keluar dari mulutnya. Ia hanya diam, padahal saat diajak berangkat untuk melihat lumba-lumba, ia selalu bertanya atau sesekali mengajak berbincang. "Saya sedih sekali melihat lumba-lumba itu dibunuh," ucapnya.
Di "kampungnya" di Prancis, kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlangsungan lingkungan sudah sangat tinggi. Tingginya kesadaran masyarakat itu juga mendapat dukungan penuh pemerintah.
"Kalau di tempat saya, tidak ada orang lagi yang menebang pohon untuk dapat duit karena orang-orang di sana sudah memiliki tanah perkebunan sendiri."
Termasuk aksi pengeboman ikan dan perburuan ikan lumba-lumba, menurut dia, kegiatan seperti itu bisa memengaruhi proses keberlangsungan rantai makanan termasuk berkurangnya populasi ikan. "Dengan bom, ikan-ikan kecil ikut mati juga, ikan-ikan bisa habis."
Ia juga bicara banyak tentang habisnya hutan mangrove yang dibabat untuk membuka usaha tambak udang. Menurut dia, kondisi seperti ini justru bisa merugikan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir itu sendiri.
Sebab, dengan rusaknya hutan mangrove justru memicu serangan penyakit malaria karena hutan mangrove sebagai habitasi nyamuk sudah tidak ada lagi sehingga nyamuk pun bermigrasi ke daerah-daerah permukiman.
"Di tempat kami, hutan mangrove kami jaga, tidak boleh ada siapa pun merusaknya apalagi untuk bisnis cari duit. Untuk bisnis, ada tempat sendiri dan tidak berarti harus merusak hutan mangrove. Saya kira kita semua harus sudah memahami untuk apa lingkungan itu untuk kepentingan masa depan kita, it's real."
"It's about our future, can you imagine in the future, we doesn't have enough water, we dont have clean air. I just want everybody understand how important our environment, our forest and other. (Ini nyata. Ini tentang masa depan kita, bisa kamu bayangkan di masa depan nanti, kita tidak punya cukup air bersih, kita tidak punya udara yang bersih. Saya hanya ingin orang-orang mengerti tentang betapa pentingnya lingkungan kita, hutan kita)," jelasnya yang hanya bisa membuat saya melongo.
Sebelum meninggalkan Kiluan, berkali-kali ia berpesan kepada warga untuk tidak merusak lingkungan. "Kalau tempat ini rusak, tidak ada orang yang akan datang lagi ke sini," pesannya berulang-ulang. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
Traveling: Kiluan Eksotis, Kiluan Terancam
SEORANG teman asal Prancis, Barneron Claire, berkesempatan menikmati naturalnya alam Teluk Kiluan dan masyarakatnya. Ia mengatakan kawasan itu sangat eksotis dan seharusnya pemerintah menjadikan sebagai kawasan konservasi. Namun, ia juga menemukan tangan-tangan serakah yang terus merusak.
----------
Kiluan est un lieu tranquille, a la campagne, recule. Les français approcient ce genre d'endroit isole et calme....
Selembar surat elektronik itu mampir ke alamat e-mail saya, pekan lalu. Sengaja, kalimat dalam bahasa Prancis itu tidak saya kutip semua. Pertimbangannya, karena cukup panjang dan berbahasa yang tidak familier dengan pembaca koran ini, termasuk saya. Namun, terjemahan bebasnya saya kutip lengkap. Isinya adalah pujian sekaligus kemirisan terhadap apa yang ada dan apa yang dihadapi alam buatan Tuhan di bilangan Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus ini.
(Kiluan itu tempat sepi di kampung, di mana tidak ada terlalu banyak orang, kendaraan, dan tidak ramai. Orang Prancis suka suasana begini. Di Kiluan, ada banyak orang dari asal yang berbeda, agama beda, tradisi dan budaya yang juga berbeda.
Itu menarik dan penting sekali. Ini satu contoh kampung dengan perbedaan bisa tinggal bersama dengan baik dan saling menghormati. Menurut saya, konservasi alam lebih banyak concern di negeri Barat, tapi, saya terkejut di sini pun kepedulian terhadap lingkungan sudah ada. Waktu di daerah dekat, banyak teluk dan tepi laut yg aslinya punya mangrove dan sekarang sudah rusak untuk perikanan.
Saya suka ke Kiluan senang sekali rasanya berada disana selama tiga hari, menikmati di sana, mandi, berenang, makan ikan, snorkeling untuk lihat karang-karang dan ikan-ikan, tapi saya juga sedih sekali saat naik perahu, dari jauh saya melihat ada orang memancing ikan dengan bom).
Pesan elektronik itu cukup panjang, dan sepertinya belum mampu "memuntahkan" isi hati penulisnya; Barneron Claire. Bule asal Prancis yang juga pengajar bahasa Prancis di salah satu universitas negeri di Lampung itu mengaku sangat terkesan dengan masyarakat Kiluan.
Semangatnya seperti hidup mana kala menyaksikan tingginya tenggang rasa antarmasyarakat di sana. Tiga hari berada di sana ia seperti terhipnosis. "Surprise et admirative (saya sangat terkesan)," ujarnya.
Ia agak terpengaruh dengan hasil penelitian Zander tentang sikap interaksi sosial yang lebih mengutamakan sikap toleransi dan gotong royong untuk sebuah pencapaian kesejahteraan bersama.
Ia melihat langsung bagaimana sebuah pura bisa bersanding dengan masjid, bersebelahan. Claire mengaku takjub, ini pemandangan yang langka selama dia menjadi seorang "petualang" yang sudah menjelajah berbagai benua dan negara mulai Meksiko, Italia sampai bermuara di Lampung, dan ia terperangah dengan masyarakat Teluk Kiluan yang menurut dia sangat eksotis.
Segala bentuk kompleksitas positif yang ia lihat di Teluk Kiluan begitu memengaruhinya, ia seperti tidak ingin pulang dari Teluk Kiluan menjalani rutinitas, ia ingin di sini. "Saya pasti akan kembali lagi," ujarnya kepada saya.
Sabtu pagi, Claire sangat penasaran tentang bagaimana sikap kebersamaan masyarakat di Kiluan, kami berjalan menyusuri pantai menuju kota sawah di Umbul Bandung Jaya. Rasa penasarannya terobati.
Ia menyaksikan bagaimana masyarakat berbagai etnis dengan peluh yang penuh mencangkul tanah beramai-ramai untuk memperlebar jalan tanah menuju Umbul Bandung Jaya. Mereka berbaris, mungkin 50-an warga dari berbagai etnis dan latar belakang, bercampur lumpur di kaki, tenggelam dalam kerja gotong royong.
"Saya kagum, hanya dengan lonceng kayu (kentongan, red) bisa menggerakkan orang-orang di sini untuk bekerja bersama-sama membuat jalan."
Ini menjadi semacam intermeso baru buatnya, dari sekian banyak tempat di berbagai belahan negara di dunia ini, Kiluan adalah tempat yang bisa membuatnya memaknai sebuah sikap toleransi.
Ia tertawa-tawa saja manakala mendengar beberapa warga berusaha membangun komunikasi dengan bahasa Inggris yang ala kadarnya dan warga juga yang balas menertawakannya saat dipermainkan warga, ketika dia berusaha berbicara dengan bahasa Indonesia yang juga belepotan.
Tapi, rasa ingin tahunya membuat Claire cepat belajar berbincang dengan bahasa Indonesia. Ini semua dilakukan hanya ingin bisa berinteraksi dengan masyarakat.
Sore harinya, sepotong ikan lemadang melengkapi makan sorenya. Ikan bakar setengah matang itu lahap disantapnya dengan sepiring nasi dan seruit. "Saya pasti dan akan kembali lagi k esini. Saat kembali ke sini, saya akan ikut mencangkul tanah". n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
----------
Kiluan est un lieu tranquille, a la campagne, recule. Les français approcient ce genre d'endroit isole et calme....
Selembar surat elektronik itu mampir ke alamat e-mail saya, pekan lalu. Sengaja, kalimat dalam bahasa Prancis itu tidak saya kutip semua. Pertimbangannya, karena cukup panjang dan berbahasa yang tidak familier dengan pembaca koran ini, termasuk saya. Namun, terjemahan bebasnya saya kutip lengkap. Isinya adalah pujian sekaligus kemirisan terhadap apa yang ada dan apa yang dihadapi alam buatan Tuhan di bilangan Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus ini.
(Kiluan itu tempat sepi di kampung, di mana tidak ada terlalu banyak orang, kendaraan, dan tidak ramai. Orang Prancis suka suasana begini. Di Kiluan, ada banyak orang dari asal yang berbeda, agama beda, tradisi dan budaya yang juga berbeda.
Itu menarik dan penting sekali. Ini satu contoh kampung dengan perbedaan bisa tinggal bersama dengan baik dan saling menghormati. Menurut saya, konservasi alam lebih banyak concern di negeri Barat, tapi, saya terkejut di sini pun kepedulian terhadap lingkungan sudah ada. Waktu di daerah dekat, banyak teluk dan tepi laut yg aslinya punya mangrove dan sekarang sudah rusak untuk perikanan.
Saya suka ke Kiluan senang sekali rasanya berada disana selama tiga hari, menikmati di sana, mandi, berenang, makan ikan, snorkeling untuk lihat karang-karang dan ikan-ikan, tapi saya juga sedih sekali saat naik perahu, dari jauh saya melihat ada orang memancing ikan dengan bom).
Pesan elektronik itu cukup panjang, dan sepertinya belum mampu "memuntahkan" isi hati penulisnya; Barneron Claire. Bule asal Prancis yang juga pengajar bahasa Prancis di salah satu universitas negeri di Lampung itu mengaku sangat terkesan dengan masyarakat Kiluan.
Semangatnya seperti hidup mana kala menyaksikan tingginya tenggang rasa antarmasyarakat di sana. Tiga hari berada di sana ia seperti terhipnosis. "Surprise et admirative (saya sangat terkesan)," ujarnya.
Ia agak terpengaruh dengan hasil penelitian Zander tentang sikap interaksi sosial yang lebih mengutamakan sikap toleransi dan gotong royong untuk sebuah pencapaian kesejahteraan bersama.
Ia melihat langsung bagaimana sebuah pura bisa bersanding dengan masjid, bersebelahan. Claire mengaku takjub, ini pemandangan yang langka selama dia menjadi seorang "petualang" yang sudah menjelajah berbagai benua dan negara mulai Meksiko, Italia sampai bermuara di Lampung, dan ia terperangah dengan masyarakat Teluk Kiluan yang menurut dia sangat eksotis.
Segala bentuk kompleksitas positif yang ia lihat di Teluk Kiluan begitu memengaruhinya, ia seperti tidak ingin pulang dari Teluk Kiluan menjalani rutinitas, ia ingin di sini. "Saya pasti akan kembali lagi," ujarnya kepada saya.
Sabtu pagi, Claire sangat penasaran tentang bagaimana sikap kebersamaan masyarakat di Kiluan, kami berjalan menyusuri pantai menuju kota sawah di Umbul Bandung Jaya. Rasa penasarannya terobati.
Ia menyaksikan bagaimana masyarakat berbagai etnis dengan peluh yang penuh mencangkul tanah beramai-ramai untuk memperlebar jalan tanah menuju Umbul Bandung Jaya. Mereka berbaris, mungkin 50-an warga dari berbagai etnis dan latar belakang, bercampur lumpur di kaki, tenggelam dalam kerja gotong royong.
"Saya kagum, hanya dengan lonceng kayu (kentongan, red) bisa menggerakkan orang-orang di sini untuk bekerja bersama-sama membuat jalan."
Ini menjadi semacam intermeso baru buatnya, dari sekian banyak tempat di berbagai belahan negara di dunia ini, Kiluan adalah tempat yang bisa membuatnya memaknai sebuah sikap toleransi.
Ia tertawa-tawa saja manakala mendengar beberapa warga berusaha membangun komunikasi dengan bahasa Inggris yang ala kadarnya dan warga juga yang balas menertawakannya saat dipermainkan warga, ketika dia berusaha berbicara dengan bahasa Indonesia yang juga belepotan.
Tapi, rasa ingin tahunya membuat Claire cepat belajar berbincang dengan bahasa Indonesia. Ini semua dilakukan hanya ingin bisa berinteraksi dengan masyarakat.
Sore harinya, sepotong ikan lemadang melengkapi makan sorenya. Ikan bakar setengah matang itu lahap disantapnya dengan sepiring nasi dan seruit. "Saya pasti dan akan kembali lagi k esini. Saat kembali ke sini, saya akan ikut mencangkul tanah". n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
November 22, 2008
Kini, Lampung Punya Polisi Pariwisata
SEBAGAI daerah yang terletak di ujung Pulau Sumatera, Lampung memiliki peran strategis sebagai pintu gerbang Sumatera ke Jawa dan sebaliknya. Namun, sebagai daerah berposisi strategis, potensi wisata, khususnya wisata alam, di Lampung belum tergarap dengan baik.
Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung menjadi kota ketujuh di Indonesia yang memiliki polisi pariwisata (berdasi). Keempat polisi pariwisata itu siap bertugas menjaga keamanan dan melayani informasi yang dibutuhkan wisatawan pada tempat wisata di Bandar Lampung seusai peresmian penggunaan mobil polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, Selasa (18/11). (KOMPAS/HELENA F NABABAN / Kompas Images)
Wisata alam itu antara lain Anak Gunung Krakatau yang terletak di tengah perairan Selat Sunda. Wisatawan masih sulit untuk berkunjung ke kawasan tersebut.
Selain membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju Anak Gunung Krakatau dari Bandar Lampung dibandingkan dari Carita, Banten, wisatawan juga kesulitan mendapatkan moda angkutan untuk mengangkut mereka ke tempat wisata itu. Hal yang lebih memprihatinkan adalah di wilayah Lampung Selatan minim pusat-pusat informasi pariwisata.
Kesulitan mengenai akses transportasi dan informasi mengenai layanan jasa pariwisata kini dijawab oleh Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung. Poltabes Bandar Lampung sejak Juli 2008 memiliki polisi pariwisata.
Empat anggota Satuan Samapta Poltabes Bandar Lampung yang terdiri dari dua polisi dan dua polisi wanita (polwan) terpilih sebagai polisi pariwisata. Dengan alasan pariwisata sama dengan menjual jasa yang berarti mengutamakan keramahan, keakraban, dan pelayanan, penampilan polisi pariwisata lebih bergaya dibandingkan dengan penampilan polisi lainnya.
Seragam polisi pariwisata sedikit berbeda dengan seragam polisi pada umumnya. Polisi pariwisata mengenakan seragam berlengan panjang warna coklat tua khas polisi. Namun, di bagian saku, kerah, ataupun pinggiran lengan ditimpa dengan kain warna merah hati. Penampilan mereka pun makin bergaya karena memakai dasi merah hati.
Dalam bertugas, polisi pariwisata dilengkapi dengan satu unit mobil pariwisata. Mobil patroli bantuan Pemerintah Kota Bandar Lampung dari Anggaran Bantuan Tambahan (ABT) 2008 itu diberi warna senada dengan dasi, merah hati. Di badan mobil, masyarakat akan membaca tulisan polisi pariwisata dalam huruf besar dan logo kepolisian.
Dengan mobil itu, empat polisi pariwisata di Lampung bertugas. Mobil itu sudah dilengkapi berbagai peralatan komunikasi yang memudahkan tugas.
”Kami bangga karena keberadaan empat polisi pariwisata di Lampung menjadikan Bandar Lampung sebagai kota ketujuh di Indonesia di mana institusi polisinya dilengkapi dengan polisi pariwisata,” ujar Kepala Poltabes Bandar Lampung Komisaris Besar Syauqie Achmad seusai peresmian mobil polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, Selasa (18/11).
Menurut dia, enam kota lain yang sudah memiliki polisi pariwisata adalah Surabaya, Jakarta, Denpasar, Yogyakarta, Jambi, dan Bandung. Polisi pariwisata sudah bekerja sejak Juli 2008.
Menurut Syauqie, karena minimnya sumber daya manusia, area kerja polisi pariwisata dari Poltabes Bandar Lampung masih terbatas di wilayah Bandar Lampung saja. Namun, ada kemungkinan Polda Lampung akan menambah personal polisi pariwisata untuk melayani di 10 kabupaten atau kota lain di Lampung.
Brigadir Dua Yuli Ekawai, salah satu polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, mengatakan, dalam bertugas, polisi pariwisata tidak akan menindak pelaku kriminal seandainya menemukan kasus kriminal, melainkan meneruskan kasus kepada satuan reskrim kepolisian tempat obyek wisata terletak. Polisi pariwisata juga membantu petugas keamanan di tempat wisata mengatur ketertiban dan menjaga keamanan.(hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 November 2008
Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung menjadi kota ketujuh di Indonesia yang memiliki polisi pariwisata (berdasi). Keempat polisi pariwisata itu siap bertugas menjaga keamanan dan melayani informasi yang dibutuhkan wisatawan pada tempat wisata di Bandar Lampung seusai peresmian penggunaan mobil polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, Selasa (18/11). (KOMPAS/HELENA F NABABAN / Kompas Images)
Wisata alam itu antara lain Anak Gunung Krakatau yang terletak di tengah perairan Selat Sunda. Wisatawan masih sulit untuk berkunjung ke kawasan tersebut.
Selain membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju Anak Gunung Krakatau dari Bandar Lampung dibandingkan dari Carita, Banten, wisatawan juga kesulitan mendapatkan moda angkutan untuk mengangkut mereka ke tempat wisata itu. Hal yang lebih memprihatinkan adalah di wilayah Lampung Selatan minim pusat-pusat informasi pariwisata.
Kesulitan mengenai akses transportasi dan informasi mengenai layanan jasa pariwisata kini dijawab oleh Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Bandar Lampung. Poltabes Bandar Lampung sejak Juli 2008 memiliki polisi pariwisata.
Empat anggota Satuan Samapta Poltabes Bandar Lampung yang terdiri dari dua polisi dan dua polisi wanita (polwan) terpilih sebagai polisi pariwisata. Dengan alasan pariwisata sama dengan menjual jasa yang berarti mengutamakan keramahan, keakraban, dan pelayanan, penampilan polisi pariwisata lebih bergaya dibandingkan dengan penampilan polisi lainnya.
Seragam polisi pariwisata sedikit berbeda dengan seragam polisi pada umumnya. Polisi pariwisata mengenakan seragam berlengan panjang warna coklat tua khas polisi. Namun, di bagian saku, kerah, ataupun pinggiran lengan ditimpa dengan kain warna merah hati. Penampilan mereka pun makin bergaya karena memakai dasi merah hati.
Dalam bertugas, polisi pariwisata dilengkapi dengan satu unit mobil pariwisata. Mobil patroli bantuan Pemerintah Kota Bandar Lampung dari Anggaran Bantuan Tambahan (ABT) 2008 itu diberi warna senada dengan dasi, merah hati. Di badan mobil, masyarakat akan membaca tulisan polisi pariwisata dalam huruf besar dan logo kepolisian.
Dengan mobil itu, empat polisi pariwisata di Lampung bertugas. Mobil itu sudah dilengkapi berbagai peralatan komunikasi yang memudahkan tugas.
”Kami bangga karena keberadaan empat polisi pariwisata di Lampung menjadikan Bandar Lampung sebagai kota ketujuh di Indonesia di mana institusi polisinya dilengkapi dengan polisi pariwisata,” ujar Kepala Poltabes Bandar Lampung Komisaris Besar Syauqie Achmad seusai peresmian mobil polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, Selasa (18/11).
Menurut dia, enam kota lain yang sudah memiliki polisi pariwisata adalah Surabaya, Jakarta, Denpasar, Yogyakarta, Jambi, dan Bandung. Polisi pariwisata sudah bekerja sejak Juli 2008.
Menurut Syauqie, karena minimnya sumber daya manusia, area kerja polisi pariwisata dari Poltabes Bandar Lampung masih terbatas di wilayah Bandar Lampung saja. Namun, ada kemungkinan Polda Lampung akan menambah personal polisi pariwisata untuk melayani di 10 kabupaten atau kota lain di Lampung.
Brigadir Dua Yuli Ekawai, salah satu polisi pariwisata di Poltabes Bandar Lampung, mengatakan, dalam bertugas, polisi pariwisata tidak akan menindak pelaku kriminal seandainya menemukan kasus kriminal, melainkan meneruskan kasus kepada satuan reskrim kepolisian tempat obyek wisata terletak. Polisi pariwisata juga membantu petugas keamanan di tempat wisata mengatur ketertiban dan menjaga keamanan.(hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 November 2008
Pelukis Sumatera Gelar Pameran di Jambi
[JAMBI] Sebanyak 48 orang pelukis dari berbagai daerah di Sumatera menggelar pameran dan dialog seni rupa di Taman Budaya Kota Jambi selama sepekan. Pameran yang dibuka Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin tersebut, berlangsung hingga Minggu (23/11).
Perjuangan berat kaum perempuan Batak bekerja dan membesarkan anak-anak mereka berhasil direkam pelukis Kota Medan, Sumatera Utara, Boslan Tobing. (SP/Radesman Saragih)
Pameran dan dialog seni rupa bertajuk Sumatera Imaginable (Bayang-bayang Sumatera) tersebut memamerkan sebanyak 47 karya asli pelukis kelahiran Sumatera seperti dari Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Kurator Suwarno Wisetrotomo didampingi rekannya Merwan Yusuf kepada wartawan di sela-sela pameran seni rupa Taman Budaya Jambi, menjelaskan, pameran dan dialog seni rupa se-Sumatera tersebut diharapkan mampu menggugah perupa dan kurator nasional agar melirik karya-karya lukis Sumatera.
"Selain itu, pameran ini juga kita gelar sebagai suatu cara memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa para pelukis Sumatera mampu menghasilkan karya-karya lukis berkelas, baik lukisan beraliran realis, surealis, atau abstrak. Selama ini, karya lukis Sumatera tenggelam akibat intensitas pameran yang kurang," kata Suwarno.
Di pihak lain, Ketua Dewan Kesenian Jambi, Sakti Alam Watir mengatakan, konsep yang diusung dalam pemeran ini ialah pencerahan kepada publik tentang kekayaan seni rupa di Sumatera. Lukisan yang ditampilkan dalam pameran merupakan imajinasi sang perupa tentang keadaan sosial yang terjadi di Sumatera. [141]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 22 November 2008
Perjuangan berat kaum perempuan Batak bekerja dan membesarkan anak-anak mereka berhasil direkam pelukis Kota Medan, Sumatera Utara, Boslan Tobing. (SP/Radesman Saragih)
Pameran dan dialog seni rupa bertajuk Sumatera Imaginable (Bayang-bayang Sumatera) tersebut memamerkan sebanyak 47 karya asli pelukis kelahiran Sumatera seperti dari Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Kurator Suwarno Wisetrotomo didampingi rekannya Merwan Yusuf kepada wartawan di sela-sela pameran seni rupa Taman Budaya Jambi, menjelaskan, pameran dan dialog seni rupa se-Sumatera tersebut diharapkan mampu menggugah perupa dan kurator nasional agar melirik karya-karya lukis Sumatera.
"Selain itu, pameran ini juga kita gelar sebagai suatu cara memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa para pelukis Sumatera mampu menghasilkan karya-karya lukis berkelas, baik lukisan beraliran realis, surealis, atau abstrak. Selama ini, karya lukis Sumatera tenggelam akibat intensitas pameran yang kurang," kata Suwarno.
Di pihak lain, Ketua Dewan Kesenian Jambi, Sakti Alam Watir mengatakan, konsep yang diusung dalam pemeran ini ialah pencerahan kepada publik tentang kekayaan seni rupa di Sumatera. Lukisan yang ditampilkan dalam pameran merupakan imajinasi sang perupa tentang keadaan sosial yang terjadi di Sumatera. [141]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 22 November 2008
Novel '5 Cm' Hidupkan Impian dan Cita-Cita
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Novel berjudul 5 Cm karya Donny Dhirgantoro mampu menjadi best seller disebabkan cerita yang dipaparkan mempunyai idealisme dan cita-cita. Pernyataan tersebut disampaikan Isbedy Stiawan Z.S. dalam bedah buku 5 cm yang diadakan Pers Mahasiswa Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi Unila, Jumat (21-11).
Isbedy mengatakan seperti novel best seller sebelumnya Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, dalam novel 5 Cm, Donny mampu menghidupkan kekuatan impian dan cita-cita melalui lima tokoh yang ada. "Dan 5 cm adalah sepenggal cita-cita, mimpi atau keinginan yang harus selalu digantungkan dekat kening. Atau orang bijak memberi nasihat, apa yang diraih sesungguhnya tak juga dari apa yang dipikirkan," kata Isbedy.
Menurut Isbedy, novel 5 Cm kental dengan nuansa nasionalisme, tanpa terjebak mendoktrin kepada pembaca. Kecintaan kepada bangsa, negara, dan tanah air digambarkan dengan realis dan logis. Doktrin P4 tidak disampaikan dalam seminar atau seresehan, tetapi di puncak Mahameru. Pengisahan dalam novel, kata Isbedy, mengalir bagai air.
Pembaca dibuai bagai mengikuti air yang mengalir, sejak bab I hingga bab X. Namun, Isbedy menilai bagian "sepuluh tahun kemudian" terkesan dipaksakan. Walaupun bagian itu dihilangkan, tidak akan membuat nilai plus novel 5 Cm berkurang.
Isbedy menilai Donny sangat menguasai setting. Saat menggambarkan Jakarta dan Gunung Semeru, terlihat bahwa penulis saat menguasai latar tempat. Penulis juga sangat menguasai lirik-lirik lagu sekaligus penyanyinya. Dalam novel ini banyak sekali lirik lagu. Namun, menurut Isbedy, Donny sangat bernafsu dalam menuangkan pemikiran-pemikiran para filsuf. Penulis seperti tidak sabar untuk menghambur-hamburkan bahan yang telah dibacanya.
Sementara itu, sang penulis, Donny, mengatakan penulisan novel 5 cm menghabiskan waktu selama tiga bulan. Donny menulis setiap hari, sejak pagi hingga malam. Novel ini dia tulis ketika baru mendapatkan gelar sarjana. "Saat saya menulis setiap hari, orang tua pernah mengomentari agar jangan mengurung diri di kamar. Carilah kesibukan," cerita Donny. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 November 2008
Isbedy mengatakan seperti novel best seller sebelumnya Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, dalam novel 5 Cm, Donny mampu menghidupkan kekuatan impian dan cita-cita melalui lima tokoh yang ada. "Dan 5 cm adalah sepenggal cita-cita, mimpi atau keinginan yang harus selalu digantungkan dekat kening. Atau orang bijak memberi nasihat, apa yang diraih sesungguhnya tak juga dari apa yang dipikirkan," kata Isbedy.
Menurut Isbedy, novel 5 Cm kental dengan nuansa nasionalisme, tanpa terjebak mendoktrin kepada pembaca. Kecintaan kepada bangsa, negara, dan tanah air digambarkan dengan realis dan logis. Doktrin P4 tidak disampaikan dalam seminar atau seresehan, tetapi di puncak Mahameru. Pengisahan dalam novel, kata Isbedy, mengalir bagai air.
Pembaca dibuai bagai mengikuti air yang mengalir, sejak bab I hingga bab X. Namun, Isbedy menilai bagian "sepuluh tahun kemudian" terkesan dipaksakan. Walaupun bagian itu dihilangkan, tidak akan membuat nilai plus novel 5 Cm berkurang.
Isbedy menilai Donny sangat menguasai setting. Saat menggambarkan Jakarta dan Gunung Semeru, terlihat bahwa penulis saat menguasai latar tempat. Penulis juga sangat menguasai lirik-lirik lagu sekaligus penyanyinya. Dalam novel ini banyak sekali lirik lagu. Namun, menurut Isbedy, Donny sangat bernafsu dalam menuangkan pemikiran-pemikiran para filsuf. Penulis seperti tidak sabar untuk menghambur-hamburkan bahan yang telah dibacanya.
Sementara itu, sang penulis, Donny, mengatakan penulisan novel 5 cm menghabiskan waktu selama tiga bulan. Donny menulis setiap hari, sejak pagi hingga malam. Novel ini dia tulis ketika baru mendapatkan gelar sarjana. "Saat saya menulis setiap hari, orang tua pernah mengomentari agar jangan mengurung diri di kamar. Carilah kesibukan," cerita Donny. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 November 2008
November 21, 2008
Sastra: W.S. Rendra Menyihir Lampung Timur
BANDAR SRIBHAWONO--Ingar-bingar sekitar seribu pasang mata di lapangan basket SMAN 1 Bandar Sribhawono itu lerap ketika Willibrordus Surendra Broto (W.S. Rendra) berdiri di panggung, mengucap salam dengan suku kata terpenggal-penggal. Ekspresinya dingin, tatap matanya nanar membidik, suaranya datar. Sedikit berkomentar, Si Burung Merak ini berpamit membacakan sajaknya.
GEBYAR SASTRA. Penyair ternama, W.S. Rendra, saat menyerahkan piala para juara lomba di SMAN 1 Bandar Sribhawono, kemarin (20-11). Rendra hadir pada Gelaran Gebyar Sastra di sekolah ini bersama Ahmadun Yosi Herfanda, Ketua Cerpenis Indonesis. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
"Kangen/Kau tak akan mengerti, bagaimana kesepianku/Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/Kau tak akan mengerti, segala lukaku/Karena cinta telah sembunyikan pisaunya/Membayangkan wajahmu, adalah siksa/....."
Puisi pertama yang dibaca penyair kelahiran 9 November 1935 ini diawali dengan intonasi amat rendah, bahkan suara parau tanpa ekspresi. Naik setengah beat pada kalimat kedua, lalu meledak di awal bait kedua.
Aplaus yang membahana langit bukan menambah semangat penyair gaek ini. Justru, ia mengawali ekspresi dinginnya ketika memulai bait ketiga. Ia mengakhiri sajak itu dengan ekspresi seperti dendam yang berkecamuk. Kembali, keheningan meledak menjadi tepuk tangan berkepanjangan.
Penyair Indonesia ternama ini memang tidak seperti lagaknya 20 tahun lalu. Ia terlihat sangat berhitung dengan energi yang harus dikeluarkan untuk fokus pada bait dan kata yang menjadi tema utama syair yang dibacanya.
Tidak seperti yang dijanjikan ketika menerima Lampung Post malam sebelumnya, ia tidak membacakan puisi terbarunya yang bertema ketatanegaraan. Tampaknya, Rendra terpancing pembaca sambutan Bupati Lampung Timur yang membacakan sajak Kangen pada akhir sambutannya.
Gelaran Gebyar Sastra SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono ini memang istimewa. Mengomentari event ini, W.S. Rendra mengaku surprise. "Di pedalaman Lampung yang jauh dari hiruk-pikuk ini, saya tidak menyangka apresiasi sastranya demikian kuat. Ini adalah indikator bahwa sastra bisa menjadi medium untuk membangun peradaban."
Panitia memang terkesan membangun suasana penasaran dalam mengemas acara ini. Rendra sebagai tokoh sentral dan menjadi jualannya dipasang keluar masuk panggung. Namun, aksi pendiri Bengkel Teater Rendra ini baru tersuguh pada sekitar pukul 14.30. Padahal, acara dibuka dengan berbagai pertunjukan sejak pukul 09.30.
Acara utama dalam gelaran itu adalah seminar sastra yang menampilkan Rendra dan Ahmadun Yosi Herfanda dengan moderator Iswadi Pratama. Namun, Rendra yang terlihat lelah memilih hanya membaca puisi setelah terlalu banyak menjawab pertanyaan wartawan dan guru-guru bahasa yang terus memburu.
Dalam paparannya, Ahmadun yang juga redaktur sastra harian Republika mengatakan pengajaran sastra di sekolah sampai kini belum bisa berjalan maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca itu terjadi pada siswa lulusan SMA.
"Pengetahuan sastra mereka, meskipun aspek ini lebih mendapat perhatian dibanding dengan aspek apresiasi umumnya yang masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Umumnya mereka lebih mengenal Britney Spears atau Westlife daripada Abdul Hadi W.M. dari negeri sendiri," kata Ahmadun. n SUDARMONO/CHAIRUDIN/**/U-2 **/Agus S*
Sumber: Lampung Post, Jum'at, 21 November 2008
GEBYAR SASTRA. Penyair ternama, W.S. Rendra, saat menyerahkan piala para juara lomba di SMAN 1 Bandar Sribhawono, kemarin (20-11). Rendra hadir pada Gelaran Gebyar Sastra di sekolah ini bersama Ahmadun Yosi Herfanda, Ketua Cerpenis Indonesis. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
"Kangen/Kau tak akan mengerti, bagaimana kesepianku/Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/Kau tak akan mengerti, segala lukaku/Karena cinta telah sembunyikan pisaunya/Membayangkan wajahmu, adalah siksa/....."
Puisi pertama yang dibaca penyair kelahiran 9 November 1935 ini diawali dengan intonasi amat rendah, bahkan suara parau tanpa ekspresi. Naik setengah beat pada kalimat kedua, lalu meledak di awal bait kedua.
Aplaus yang membahana langit bukan menambah semangat penyair gaek ini. Justru, ia mengawali ekspresi dinginnya ketika memulai bait ketiga. Ia mengakhiri sajak itu dengan ekspresi seperti dendam yang berkecamuk. Kembali, keheningan meledak menjadi tepuk tangan berkepanjangan.
Penyair Indonesia ternama ini memang tidak seperti lagaknya 20 tahun lalu. Ia terlihat sangat berhitung dengan energi yang harus dikeluarkan untuk fokus pada bait dan kata yang menjadi tema utama syair yang dibacanya.
Tidak seperti yang dijanjikan ketika menerima Lampung Post malam sebelumnya, ia tidak membacakan puisi terbarunya yang bertema ketatanegaraan. Tampaknya, Rendra terpancing pembaca sambutan Bupati Lampung Timur yang membacakan sajak Kangen pada akhir sambutannya.
Gelaran Gebyar Sastra SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono ini memang istimewa. Mengomentari event ini, W.S. Rendra mengaku surprise. "Di pedalaman Lampung yang jauh dari hiruk-pikuk ini, saya tidak menyangka apresiasi sastranya demikian kuat. Ini adalah indikator bahwa sastra bisa menjadi medium untuk membangun peradaban."
Panitia memang terkesan membangun suasana penasaran dalam mengemas acara ini. Rendra sebagai tokoh sentral dan menjadi jualannya dipasang keluar masuk panggung. Namun, aksi pendiri Bengkel Teater Rendra ini baru tersuguh pada sekitar pukul 14.30. Padahal, acara dibuka dengan berbagai pertunjukan sejak pukul 09.30.
Acara utama dalam gelaran itu adalah seminar sastra yang menampilkan Rendra dan Ahmadun Yosi Herfanda dengan moderator Iswadi Pratama. Namun, Rendra yang terlihat lelah memilih hanya membaca puisi setelah terlalu banyak menjawab pertanyaan wartawan dan guru-guru bahasa yang terus memburu.
Dalam paparannya, Ahmadun yang juga redaktur sastra harian Republika mengatakan pengajaran sastra di sekolah sampai kini belum bisa berjalan maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca itu terjadi pada siswa lulusan SMA.
"Pengetahuan sastra mereka, meskipun aspek ini lebih mendapat perhatian dibanding dengan aspek apresiasi umumnya yang masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Umumnya mereka lebih mengenal Britney Spears atau Westlife daripada Abdul Hadi W.M. dari negeri sendiri," kata Ahmadun. n SUDARMONO/CHAIRUDIN/**/U-2 **/Agus S*
Sumber: Lampung Post, Jum'at, 21 November 2008
November 20, 2008
Gebyar Sastra: W.S. Rendra Baca Puisi di SMAN Sribhawono
BANDAR SRIBHAWONO (Lampost): Hari ini (20-11), menurut rencana, penyair kawakan W.S. Rendra dan Ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) Ahmadun Yosi Hervanda akan jadi pembicara pada Gebyar Sastra di SMA Negeri Bandar Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur.
Pada Gebyar Sastra itu, si Burung Merak akan membacakan sejumlah puisi. Demikian halnya Ahmadun Yosi Herfanda akan membacakan cerpen dari kumpulan cerpen yang populer, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing.
Ketua Panitia Pelaksana, L. Anwarsono, mengatakan W.S. Rendra bersama istrinya, Ken Zuraida, serta dua anak mereka tiba di Bandar Sribhawono sejak Rabu (19-11).
Selain bersama istri dan anaknya, W.S. Rendra yang bernama lengkap Willybradus Surendra Broto membawa tujuh siswanya. Pada Gebyar Sastra nanti dia menampilkan pertunjukan yang berhubungan dengan sastra dan seni.
"Pak Rendra, istri, anak, dan tujuh siswanya tiba di Bandar Sribhawono, Rabu (12-11). Sedangkan, Ahmadun Yosi Herfanda tiba Kamis sore," kata Anwarsono saat ditemui di SMA Negeri Bandar Sribhawono, Kamis (13-11).
Dia mengatakan Gebyar Sastra SMA Negeri Bandar Sribhawono 2008 diikuti sekitar 1.000 peserta yang terdiri dari kalangan pendidik, mahasiswa, kalangan pelajar dan masyarakat umum yang peduli akan sastra. "Gebyar Sastra 2008 ini akan dimoderatori Iswadi Pratama, pimpinan Teater Satu, yang juga sastrawan," kata dia.
Mengenai materi yang akan disampaikan, Anwarsono mengatakan W.S. Rendra akan menyampaikan banyak hal yang berhubungan dengan apresiasi sastra Indonesia. Selain itu, dia juga akan membacakan kumpulan puisi terbarunya.
Sedangkan Ketua KCI Ahmadun Yosi Herfanda yang dijuluki Sastrawan Berhati Lembut itu akan menyampaikan materi apresiasi tentang sastra prosa bebas serta akan membacakan kumpulan cerpennya yang populer dengan judul Sebutir Kepala dan Seekor Kucing. "Kami mengemas gebyar sastra tahun ini sebaik mungkin dan membuahkan hasil optimal," kata dia.
Anwarsono menambahkan lewat Gebyar Sastra, peserta diharapkan mampu menambah pengetahuan peserta terutama tentang perkembangan sastra di Indonesia.
"Kami berharap acara ini dapat menambah pengetahuan peserta terutama soal sastra di Indonesia. Dan, pada akhirnya peserta dapat mengaplikasikannya lewat sastra," kata dia. n DIN/D-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 November 2008
Pada Gebyar Sastra itu, si Burung Merak akan membacakan sejumlah puisi. Demikian halnya Ahmadun Yosi Herfanda akan membacakan cerpen dari kumpulan cerpen yang populer, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing.
Ketua Panitia Pelaksana, L. Anwarsono, mengatakan W.S. Rendra bersama istrinya, Ken Zuraida, serta dua anak mereka tiba di Bandar Sribhawono sejak Rabu (19-11).
Selain bersama istri dan anaknya, W.S. Rendra yang bernama lengkap Willybradus Surendra Broto membawa tujuh siswanya. Pada Gebyar Sastra nanti dia menampilkan pertunjukan yang berhubungan dengan sastra dan seni.
"Pak Rendra, istri, anak, dan tujuh siswanya tiba di Bandar Sribhawono, Rabu (12-11). Sedangkan, Ahmadun Yosi Herfanda tiba Kamis sore," kata Anwarsono saat ditemui di SMA Negeri Bandar Sribhawono, Kamis (13-11).
Dia mengatakan Gebyar Sastra SMA Negeri Bandar Sribhawono 2008 diikuti sekitar 1.000 peserta yang terdiri dari kalangan pendidik, mahasiswa, kalangan pelajar dan masyarakat umum yang peduli akan sastra. "Gebyar Sastra 2008 ini akan dimoderatori Iswadi Pratama, pimpinan Teater Satu, yang juga sastrawan," kata dia.
Mengenai materi yang akan disampaikan, Anwarsono mengatakan W.S. Rendra akan menyampaikan banyak hal yang berhubungan dengan apresiasi sastra Indonesia. Selain itu, dia juga akan membacakan kumpulan puisi terbarunya.
Sedangkan Ketua KCI Ahmadun Yosi Herfanda yang dijuluki Sastrawan Berhati Lembut itu akan menyampaikan materi apresiasi tentang sastra prosa bebas serta akan membacakan kumpulan cerpennya yang populer dengan judul Sebutir Kepala dan Seekor Kucing. "Kami mengemas gebyar sastra tahun ini sebaik mungkin dan membuahkan hasil optimal," kata dia.
Anwarsono menambahkan lewat Gebyar Sastra, peserta diharapkan mampu menambah pengetahuan peserta terutama tentang perkembangan sastra di Indonesia.
"Kami berharap acara ini dapat menambah pengetahuan peserta terutama soal sastra di Indonesia. Dan, pada akhirnya peserta dapat mengaplikasikannya lewat sastra," kata dia. n DIN/D-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 November 2008
November 19, 2008
Laras Bahasa: 'Kuntel' karena 'Sekilit'
Oleh Adian Saputra*
SEWAKTU Chris John bertanding melawan Enoki beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan sekantor ikut menyaksikan melalui televisi. Pertandingan berlangsung seru. Hal itu dibuktikan dengan muka kedua petinju yang lebam karena terkenal pukulan.
Mungkin saking serunya, rekan senior kami, Heru Zulkarnaen, sampai berteriak, "Kuntel, kuntel sana."
Terus terang, sudah lama saya tidak mendengar kata itu. Mang Cek, sapaan akrab Heru Zulkarnaen, ternyata menghadirkan memori kanak-kanak saya dengan kata itu. Insya Allah yang seumur dengan saya dan masih bermain wayang (gambaran) dan kelereng pada 1990-an, akan tahu makna kata itu.
Kuntel, sebagaimana yang saya pahami, artinya berkelahi sampai seru. Bertarung. Suasananya ramai. Gigih. Itulah makna kata kuntel. Namun, saya harus jujur, saya tidak tahu apakah kata itu asli dalam bahasa Lampung atau buatan saja sehingga dikenal banyak orang.
Yang pasti, jika kami dahulu mengadu semut hitam dan kedua ekor serangga itu saling menggigit, pasti kami bilang, "Kuntel, kuntel." Seru pokoknya.
Kalau kami mau berkelahi, kata itu juga acap dipakai. Misalnya, "Ngapa lo. Kuntel yuk. Di Klutum!" Klutum itu nama bukit di daerah Kotabaru, Tanjungkarang Timur, di atas Jalan Dr. Harun II.
Ada pula kata lain yang sering dipakai dan agak lebih terkenal dibanding dengan kuntel. Kata itu ialah sekilit. Sekilit artinya curang. Kalau sedang main wayang (gambaran) ada saja teman yang sekilit. Caranya dengan melapisi sisi gambaran dengan gambar yang sama.
Jadi, kalau setelah dilepas ke udara, nanti pas jatuh ada gambarnya. Terang saja karena kedua sisi ada gambarnya. Itulah contoh sekilit, curang, culas, tidak jujur.
Atau kalau sedang main gundu (kelereng) ketika akan menembak kelereng lawan, tangan kita agak dimajukan, menjulur. Jadi, peluang untuk kenanya lebih besar. Itu juga sekilit. Atau kalau sedang main petak umpet, saat kita menjaga benteng, mata kita sedikit mengintip di mana musuh kita sembunyi. Sekilit juga namanya. Namun, kadar sekilit ini tidak akan sama dengan bentuk kecurangan semisal korupsi, penyelewengan jabatan, dan sebagainya. Kadar sekilit lebih kecil, ya paling-paling dalam ragam permainan anak-anak sehari-hari.
Kata kuntel dan sekilit memang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga jika akan ditulis pasti dicetak miring. Namun, karena bahasa Indonesia itu dibentuk dari beragam kata dan istilah yang ada, peluang kuntel dan sekilit masuk kamus pun bukan tidak mungkin terjadi.
Syaratnya tentu saja pengguna bahasa lisan sering menggunakan kata ini sehingga skala penggunaan kedua kata itu masif. Minimal untuk skop orang se-Lampung. Kalau diperhatikan juga, ada banyak kata di kamus, tapi tidak banyak dipakai orang.
Proses pengindonesiaan yang mungkin tidak berselera, menjadikan beberapa kata jarang dipakai. Kata file dalam bahasa Inggris sudah ada di kamus dan berubah menjadi fail. Kata chaos di kamus bahasa Inggris, ditulis kaos dalam KBBI.
Karena proses pengindonesiaannya agak tidak sesuai dengan selera dan citarasa, yang kemudian dipakai ya tetap file dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan berkas, data. Kata chaos dipertahankan ketimbang memilih kaos yang jangan-jangan diartikan sebagai jenis pakaian (kaus).
Provinsi Lampung memang menyumbang wai yang berarti sungai atau kali. Tapi, ini juga rada tidak kompak karena pilihan menulis wai itu oleh banyak media ditulis way (pakai huruf y, tidak i).
Kembali ke kuntel dan sekilit. Peluang kedua kata itu masuk kamus terbuka lebar. Syaratnya, kita yang ada di Bumi Lada ini rajin mengartikulasikannya dalam percakapan, insya Allah lambat laun akan diterima.
Tapi, ya jangan sampai ada perdebatan kemudian saling menegangkan urat leher karena tidak setuju dengan isi tulisan ini. Jangan sampai kita kuntel, apalagi gara-gara sekilit.***
* Adian Saputra, Staf Tim Bahasa Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 November 2008
SEWAKTU Chris John bertanding melawan Enoki beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan sekantor ikut menyaksikan melalui televisi. Pertandingan berlangsung seru. Hal itu dibuktikan dengan muka kedua petinju yang lebam karena terkenal pukulan.
Mungkin saking serunya, rekan senior kami, Heru Zulkarnaen, sampai berteriak, "Kuntel, kuntel sana."
Terus terang, sudah lama saya tidak mendengar kata itu. Mang Cek, sapaan akrab Heru Zulkarnaen, ternyata menghadirkan memori kanak-kanak saya dengan kata itu. Insya Allah yang seumur dengan saya dan masih bermain wayang (gambaran) dan kelereng pada 1990-an, akan tahu makna kata itu.
Kuntel, sebagaimana yang saya pahami, artinya berkelahi sampai seru. Bertarung. Suasananya ramai. Gigih. Itulah makna kata kuntel. Namun, saya harus jujur, saya tidak tahu apakah kata itu asli dalam bahasa Lampung atau buatan saja sehingga dikenal banyak orang.
Yang pasti, jika kami dahulu mengadu semut hitam dan kedua ekor serangga itu saling menggigit, pasti kami bilang, "Kuntel, kuntel." Seru pokoknya.
Kalau kami mau berkelahi, kata itu juga acap dipakai. Misalnya, "Ngapa lo. Kuntel yuk. Di Klutum!" Klutum itu nama bukit di daerah Kotabaru, Tanjungkarang Timur, di atas Jalan Dr. Harun II.
Ada pula kata lain yang sering dipakai dan agak lebih terkenal dibanding dengan kuntel. Kata itu ialah sekilit. Sekilit artinya curang. Kalau sedang main wayang (gambaran) ada saja teman yang sekilit. Caranya dengan melapisi sisi gambaran dengan gambar yang sama.
Jadi, kalau setelah dilepas ke udara, nanti pas jatuh ada gambarnya. Terang saja karena kedua sisi ada gambarnya. Itulah contoh sekilit, curang, culas, tidak jujur.
Atau kalau sedang main gundu (kelereng) ketika akan menembak kelereng lawan, tangan kita agak dimajukan, menjulur. Jadi, peluang untuk kenanya lebih besar. Itu juga sekilit. Atau kalau sedang main petak umpet, saat kita menjaga benteng, mata kita sedikit mengintip di mana musuh kita sembunyi. Sekilit juga namanya. Namun, kadar sekilit ini tidak akan sama dengan bentuk kecurangan semisal korupsi, penyelewengan jabatan, dan sebagainya. Kadar sekilit lebih kecil, ya paling-paling dalam ragam permainan anak-anak sehari-hari.
Kata kuntel dan sekilit memang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga jika akan ditulis pasti dicetak miring. Namun, karena bahasa Indonesia itu dibentuk dari beragam kata dan istilah yang ada, peluang kuntel dan sekilit masuk kamus pun bukan tidak mungkin terjadi.
Syaratnya tentu saja pengguna bahasa lisan sering menggunakan kata ini sehingga skala penggunaan kedua kata itu masif. Minimal untuk skop orang se-Lampung. Kalau diperhatikan juga, ada banyak kata di kamus, tapi tidak banyak dipakai orang.
Proses pengindonesiaan yang mungkin tidak berselera, menjadikan beberapa kata jarang dipakai. Kata file dalam bahasa Inggris sudah ada di kamus dan berubah menjadi fail. Kata chaos di kamus bahasa Inggris, ditulis kaos dalam KBBI.
Karena proses pengindonesiaannya agak tidak sesuai dengan selera dan citarasa, yang kemudian dipakai ya tetap file dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan berkas, data. Kata chaos dipertahankan ketimbang memilih kaos yang jangan-jangan diartikan sebagai jenis pakaian (kaus).
Provinsi Lampung memang menyumbang wai yang berarti sungai atau kali. Tapi, ini juga rada tidak kompak karena pilihan menulis wai itu oleh banyak media ditulis way (pakai huruf y, tidak i).
Kembali ke kuntel dan sekilit. Peluang kedua kata itu masuk kamus terbuka lebar. Syaratnya, kita yang ada di Bumi Lada ini rajin mengartikulasikannya dalam percakapan, insya Allah lambat laun akan diterima.
Tapi, ya jangan sampai ada perdebatan kemudian saling menegangkan urat leher karena tidak setuju dengan isi tulisan ini. Jangan sampai kita kuntel, apalagi gara-gara sekilit.***
* Adian Saputra, Staf Tim Bahasa Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 November 2008
November 18, 2008
Opini: Apa Kabar VLY 2009?
Oleh M. Arman A.Z.*
LAMPUNG punya hajat besar tahun depan: Visit Lampung Year (VLY) 2009 dengan slogan "keren": Your second home. Disbudpar Lampung menargetkan kunjungan 1,2 juta turis domestik dan 24 ribu turis mancanegara selama VLY. Mereka juga menjanjikan KTE akan memberi banyak kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan saat mengunjungi Lampung; yang akan berdampak pada peningkatan PAD (Lampung Post, 24-8).
Tahun 2008 mau tutup buku, 2009 di depan pintu. Sudah bergemakah VLY 2009 di berbagai lapisan masyarakat Lampung? Apakah prioritas dan fokus VLY 2009 selain mendatangkan turis?
Mengenai target wisatawan, jika dibagi 12 bulan, berarti tiap bulan ada 100 ribu turis domestik dan 2.000 turis mancanegara mengunjungi Lampung. Lucunya, di Lampung Post (1-11), saya membaca target itu berubah jadi 2 juta wisatawan lokal dan mancanegara. Tolok ukur yang dipakai Disbudpar adalah jumlah kunjungan wisatawan tahun 2007 yang mencapa 1,5 juta orang.
Mengingat kondisi di lapangan, entah strategi apa yang dipakai mencapai target itu. Semoga capaian target itu tidak sekadar laporan statistik. Tampaknya ada jurang antara niat, strategi, dan aksi menyukseskan VLY 2009. Ini akan jadi bumerang yang berdampak buruk bagi pariwisata Lampung ke depan.
Jika warga luar Lampung ditanya satu hal yang identik dengan pariwisata Lampung, pasti yang terlintas di benak mereka gajah, Krakatau, keripik, kopi, atau nama sejumlah pantai. Jawaban itu bisa jadi mendominasi ketimbang agenda seni budaya dan pariwisata yang rutin dihelat instansi pemerintah macam Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Teluk Stabas, dan Festival Way Kambas.
Karena berwisata adalah hak manusia, produk wisata yang itu-itu saja bisa menimbulkan kejenuhan. Mestinya ada peremajaan, inovasi, variasi, diversifikasi produk wisata atau apalah namanya terhadap berbagai objek wisata potensial yang belum digarap maksimal.
Jauh sebelum berniat mencanangkan VLY 2009, sudahkah Disbudpar Lampung mengidentifikasi, menginventarisasi, dan berupaya memaksimalkan alternatif-alternatif wisata lain?
Selain wisata alam, Lampung juga menyimpan beragam wisata kuliner, wisata budaya, wisata sejarah, agrowisata, wisata religi atau spiritual. Ambil contoh, di kawasan Telukbetung ada wihara, masjid, dan taman yang jaraknya berdekatan. Berdasar aspek sejarah dan religi, tempat itu patut menjadi alternatif destinasi wisata.
Lalu, jangan menilai atau menentukan potensi pariwisata menurut kacamata kita (Lampung) selaku tuan rumah. Gunakanlah pula kacamata tamu (wisatawan). Tamu akan mencari sesuatu yang unik dan berkesan di destinasi wisata.
Saya pernah chatting dengan warga Belanda. Ketika obrolan membahas dahsyatnya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, saya terkejut saat dia menyebut perihal Berouw, kapal Belanda yang terdampar jauh hingga kawasan Sumur Putri. Saya masygul, seandainya ada turis luar negeri yang ingin melihat lokasi terdamparnya Berouw. Bagaimana bisa sampai ke sana? Rasanya tidak ada instansi pemerintah dan penyelenggara paket wisata yang menjadikan lokasi Sumur Putri sebagai alternatif objek wisata yang berkaitan dengan Krakatau.
Memang tidak ada lagi jejak kapal itu di sana, tapi setidaknya ini layak dicoba, sekaligus menguji kemampuan menjelaskan keunikan sebuah objek wisata.
Ada tiga faktor dilematis dan krusial yang menurut saya akan menjadi sandungan menyukseskan VLY 2009. Pertama, infrastruktur. Banyak objek wisata di Lampung yang lokasinya masih sulit dijangkau. Parahnya, dari dahulu masalah ini tidak selesai-selesai. Dengan waktu yang tersisa, instansi pemerintah yang berkompeten dan stakeholder pariwisata harus serius menyikapi masalah sarana dan prasarana ini.
Kedua, promosi, informasi, dan sosialisasi. Wisatawan tentu lebih tertarik berkunjung ke daerah yang kadung familier sebagai destinasi wisata macam Bali, Lombok, Yogyakarta atau Sulawesi. Sudah sejauh mana upaya Disbudpar dan instansi terkait mendatangkan wisatawan ke Bumi Ruwa Jurai? Adakah kalender even selama VLY 2009 yang bisa dengan mudah diakses atau diketahui calon wisatawan dan warga Lampung?
Tidak ada baliho atau umbul-umbul di tempat-tempat strategis yang berisi informasi tentang VLY 2009. Tidak ada sosialisasi membangun kesadaran dan kepedulian warga Lampung untuk menyukseskan VLY 2009. Yang mendominasi justru spanduk dan baliho berisi pasfoto para caleg dengan senyum berkilau. Ini membuktikan promosi dan sosialisasi VLY 2009 terkesan masih lambat.
Disbudpar harus kerja ekstra keras mempromosikan potensi pariwisata di Lampung. Naif jika anggaran dijadikan kambing hitam; jika anggaran minim, kenapa berani menggelar hajat VLY 2009?
Ketiga, koordinasi dan kerja sama konstruktif. Kegiatan pariwisata selalu berhubungan dengan unsur-unsur lain. Untuk itu harus dijalin kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan pihak-pihak lain, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sektor pariwisata. Diperlukan komitmen bersama.
Saya berharap Disbudpar Lampung menetapkan sasaran internal dan eksternal selama VLY 2009. Sasaran internal yang saya maksud adalah mengajak dan melibatkan warga Lampung berperan aktif menyukseskan VLY 2009. Harus ditekankan bahwa VLY 2009 bukan cuma kerja pemerintah dan pelaku pariwisata di Lampung, melainkan seluruh warga.
Belajarlah dari dunia pariwisata di Bali. Tahun 90-an, warga Pulau Dewata itu mengkritik kebijakan pemda yang memberi porsi sedikit pada warga berperan dan menikmati "kue" pariwisata. Slogan kritis yang mencuat kala itu adalah "Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali".
Ini bisa dijadikan pelajaran, jangan sampai warga Lampung hanya jadi penonton yang gigit jari selama VLY 2009. Jadikanlah VLY 2009 sebagai program pariwisata berbasis masyarakat, yang dengan sendirinya akan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat.
Dua fakta ini harus jadi lampu kuning dan disikapi Disbudpar Lampung menjelang VLY 2009. Pertama, laporan hasil survei indeks daya saing turisme tahun 2008 yang diadakan lembaga internasional World Economic Forum (WEF), yang menempatkan Indonesia di urutan ke-80 dari 130 negara anggota PBB. Tiga negara ASEAN berada di atas kita (Singapura urutan ke-16, Malaysia ke-23, dan Thailand ke-42).
Ironisnya, tahun ini Indonesia sedang menjalankan program Visit Indonesia Year 2008. Indonesia dinilai hanya bagus dari sisi "niat" menjadikan pariwisata sebagai prioritas kebijakan, tapi lemah implementasi. Juga terpuruk dalam aspek kesehatan, kebersihan, lingkungan, dan keamanan.
Kedua, Lampung tidak termasuk 10 destinasi pariwisata unggulan yang dinilai Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Lampost, 19-10).
Berbekal fakta ini dan waktu yang kian mepet, mampukah Pemprov dan Disbudpar Lampung mengubah strategi dan aksi menyukseskan VLY 2009? Akhirnya, masih banyak yang harus dibenahi jika tidak ingin VLY 2009 dicap sebagai program mubazir yang memboroskan uang rakyat. Masih banyak yang harus dibenahi jika ingin wisatawan pulang membawa oleh-oleh, cerita, dan kenangan yang baik tentang Lampung. n
* M. Arman A.Z., Sastrawan, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 November 2008
LAMPUNG punya hajat besar tahun depan: Visit Lampung Year (VLY) 2009 dengan slogan "keren": Your second home. Disbudpar Lampung menargetkan kunjungan 1,2 juta turis domestik dan 24 ribu turis mancanegara selama VLY. Mereka juga menjanjikan KTE akan memberi banyak kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan saat mengunjungi Lampung; yang akan berdampak pada peningkatan PAD (Lampung Post, 24-8).
Tahun 2008 mau tutup buku, 2009 di depan pintu. Sudah bergemakah VLY 2009 di berbagai lapisan masyarakat Lampung? Apakah prioritas dan fokus VLY 2009 selain mendatangkan turis?
Mengenai target wisatawan, jika dibagi 12 bulan, berarti tiap bulan ada 100 ribu turis domestik dan 2.000 turis mancanegara mengunjungi Lampung. Lucunya, di Lampung Post (1-11), saya membaca target itu berubah jadi 2 juta wisatawan lokal dan mancanegara. Tolok ukur yang dipakai Disbudpar adalah jumlah kunjungan wisatawan tahun 2007 yang mencapa 1,5 juta orang.
Mengingat kondisi di lapangan, entah strategi apa yang dipakai mencapai target itu. Semoga capaian target itu tidak sekadar laporan statistik. Tampaknya ada jurang antara niat, strategi, dan aksi menyukseskan VLY 2009. Ini akan jadi bumerang yang berdampak buruk bagi pariwisata Lampung ke depan.
***
Jika warga luar Lampung ditanya satu hal yang identik dengan pariwisata Lampung, pasti yang terlintas di benak mereka gajah, Krakatau, keripik, kopi, atau nama sejumlah pantai. Jawaban itu bisa jadi mendominasi ketimbang agenda seni budaya dan pariwisata yang rutin dihelat instansi pemerintah macam Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Teluk Stabas, dan Festival Way Kambas.
Karena berwisata adalah hak manusia, produk wisata yang itu-itu saja bisa menimbulkan kejenuhan. Mestinya ada peremajaan, inovasi, variasi, diversifikasi produk wisata atau apalah namanya terhadap berbagai objek wisata potensial yang belum digarap maksimal.
Jauh sebelum berniat mencanangkan VLY 2009, sudahkah Disbudpar Lampung mengidentifikasi, menginventarisasi, dan berupaya memaksimalkan alternatif-alternatif wisata lain?
Selain wisata alam, Lampung juga menyimpan beragam wisata kuliner, wisata budaya, wisata sejarah, agrowisata, wisata religi atau spiritual. Ambil contoh, di kawasan Telukbetung ada wihara, masjid, dan taman yang jaraknya berdekatan. Berdasar aspek sejarah dan religi, tempat itu patut menjadi alternatif destinasi wisata.
Lalu, jangan menilai atau menentukan potensi pariwisata menurut kacamata kita (Lampung) selaku tuan rumah. Gunakanlah pula kacamata tamu (wisatawan). Tamu akan mencari sesuatu yang unik dan berkesan di destinasi wisata.
Saya pernah chatting dengan warga Belanda. Ketika obrolan membahas dahsyatnya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, saya terkejut saat dia menyebut perihal Berouw, kapal Belanda yang terdampar jauh hingga kawasan Sumur Putri. Saya masygul, seandainya ada turis luar negeri yang ingin melihat lokasi terdamparnya Berouw. Bagaimana bisa sampai ke sana? Rasanya tidak ada instansi pemerintah dan penyelenggara paket wisata yang menjadikan lokasi Sumur Putri sebagai alternatif objek wisata yang berkaitan dengan Krakatau.
Memang tidak ada lagi jejak kapal itu di sana, tapi setidaknya ini layak dicoba, sekaligus menguji kemampuan menjelaskan keunikan sebuah objek wisata.
***
Ada tiga faktor dilematis dan krusial yang menurut saya akan menjadi sandungan menyukseskan VLY 2009. Pertama, infrastruktur. Banyak objek wisata di Lampung yang lokasinya masih sulit dijangkau. Parahnya, dari dahulu masalah ini tidak selesai-selesai. Dengan waktu yang tersisa, instansi pemerintah yang berkompeten dan stakeholder pariwisata harus serius menyikapi masalah sarana dan prasarana ini.
Kedua, promosi, informasi, dan sosialisasi. Wisatawan tentu lebih tertarik berkunjung ke daerah yang kadung familier sebagai destinasi wisata macam Bali, Lombok, Yogyakarta atau Sulawesi. Sudah sejauh mana upaya Disbudpar dan instansi terkait mendatangkan wisatawan ke Bumi Ruwa Jurai? Adakah kalender even selama VLY 2009 yang bisa dengan mudah diakses atau diketahui calon wisatawan dan warga Lampung?
Tidak ada baliho atau umbul-umbul di tempat-tempat strategis yang berisi informasi tentang VLY 2009. Tidak ada sosialisasi membangun kesadaran dan kepedulian warga Lampung untuk menyukseskan VLY 2009. Yang mendominasi justru spanduk dan baliho berisi pasfoto para caleg dengan senyum berkilau. Ini membuktikan promosi dan sosialisasi VLY 2009 terkesan masih lambat.
Disbudpar harus kerja ekstra keras mempromosikan potensi pariwisata di Lampung. Naif jika anggaran dijadikan kambing hitam; jika anggaran minim, kenapa berani menggelar hajat VLY 2009?
Ketiga, koordinasi dan kerja sama konstruktif. Kegiatan pariwisata selalu berhubungan dengan unsur-unsur lain. Untuk itu harus dijalin kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan pihak-pihak lain, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sektor pariwisata. Diperlukan komitmen bersama.
***
Saya berharap Disbudpar Lampung menetapkan sasaran internal dan eksternal selama VLY 2009. Sasaran internal yang saya maksud adalah mengajak dan melibatkan warga Lampung berperan aktif menyukseskan VLY 2009. Harus ditekankan bahwa VLY 2009 bukan cuma kerja pemerintah dan pelaku pariwisata di Lampung, melainkan seluruh warga.
Belajarlah dari dunia pariwisata di Bali. Tahun 90-an, warga Pulau Dewata itu mengkritik kebijakan pemda yang memberi porsi sedikit pada warga berperan dan menikmati "kue" pariwisata. Slogan kritis yang mencuat kala itu adalah "Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali".
Ini bisa dijadikan pelajaran, jangan sampai warga Lampung hanya jadi penonton yang gigit jari selama VLY 2009. Jadikanlah VLY 2009 sebagai program pariwisata berbasis masyarakat, yang dengan sendirinya akan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat.
Dua fakta ini harus jadi lampu kuning dan disikapi Disbudpar Lampung menjelang VLY 2009. Pertama, laporan hasil survei indeks daya saing turisme tahun 2008 yang diadakan lembaga internasional World Economic Forum (WEF), yang menempatkan Indonesia di urutan ke-80 dari 130 negara anggota PBB. Tiga negara ASEAN berada di atas kita (Singapura urutan ke-16, Malaysia ke-23, dan Thailand ke-42).
Ironisnya, tahun ini Indonesia sedang menjalankan program Visit Indonesia Year 2008. Indonesia dinilai hanya bagus dari sisi "niat" menjadikan pariwisata sebagai prioritas kebijakan, tapi lemah implementasi. Juga terpuruk dalam aspek kesehatan, kebersihan, lingkungan, dan keamanan.
Kedua, Lampung tidak termasuk 10 destinasi pariwisata unggulan yang dinilai Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Lampost, 19-10).
Berbekal fakta ini dan waktu yang kian mepet, mampukah Pemprov dan Disbudpar Lampung mengubah strategi dan aksi menyukseskan VLY 2009? Akhirnya, masih banyak yang harus dibenahi jika tidak ingin VLY 2009 dicap sebagai program mubazir yang memboroskan uang rakyat. Masih banyak yang harus dibenahi jika ingin wisatawan pulang membawa oleh-oleh, cerita, dan kenangan yang baik tentang Lampung. n
* M. Arman A.Z., Sastrawan, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 November 2008
Teater Satu Gelar Kala Sumatera
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Teater Satu dan Hivos Belanda mengadakan Kala Sumatera di Taman Budaya Lampung, Jumat (21-11). Kegiatan Kala Sumatera terdiri dari panggung perempuan se-Sumatera, jaringan teater se-Sumatera, pelatihan guru teater se-Lampung, dan penerbitan buku bermain drama.
Panggung perempuan se-Sumatera diikuti 21 peserta dari 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas teater. Di antaranya: Teater Generasi (Sumatera Utara), Kominitas Seni Intro (Sumatera Barat), Teater Sakata (Sumatera Barat), Teater Selembayung (Riau), Teater Oranye (Jambi), Teater Andung (Bengkulu), Teater Kurusetra (Lampung), Teater Baru (Sumatera Selatan), SPI Labuhan (Sumatera Utara), WCC Palembang, APM Merangin, dan Damar Lampung.
Peserta panggung perempuan diberi materi tentang penyutradaraan dan penulisan lakon oleh Pemimpin Umum Teater Satu, Iswadi Pratama, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yudi Aryani, penggiat teater Laskar Panggung, Yusep Muldiawan, Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Arthur S. Nalan, dan Joko Kurnain, dan Sutradara Lena Simanjuntak.
Kepala Operasional Imas Sobariah, Minggu (16-11), mengatakan selain dibekali materi penyutradaraan dan penulisan lakon, juga ada diskusi tentang perspektif gender yang diisi oleh Direktur LSM Damar S.N. Laila. Peserta juga saling bertukar pikiran tentang dunia teater. Pada Januari mendatang, kata Imas, para peserta yang telah memperolah pembekalan akan melokakaryakan ide cerita teaternya. Dilanjutkan dengan pementasan teater di Taman Budaya, April 2009. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 November 2008
Panggung perempuan se-Sumatera diikuti 21 peserta dari 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas teater. Di antaranya: Teater Generasi (Sumatera Utara), Kominitas Seni Intro (Sumatera Barat), Teater Sakata (Sumatera Barat), Teater Selembayung (Riau), Teater Oranye (Jambi), Teater Andung (Bengkulu), Teater Kurusetra (Lampung), Teater Baru (Sumatera Selatan), SPI Labuhan (Sumatera Utara), WCC Palembang, APM Merangin, dan Damar Lampung.
Peserta panggung perempuan diberi materi tentang penyutradaraan dan penulisan lakon oleh Pemimpin Umum Teater Satu, Iswadi Pratama, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yudi Aryani, penggiat teater Laskar Panggung, Yusep Muldiawan, Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Arthur S. Nalan, dan Joko Kurnain, dan Sutradara Lena Simanjuntak.
Kepala Operasional Imas Sobariah, Minggu (16-11), mengatakan selain dibekali materi penyutradaraan dan penulisan lakon, juga ada diskusi tentang perspektif gender yang diisi oleh Direktur LSM Damar S.N. Laila. Peserta juga saling bertukar pikiran tentang dunia teater. Pada Januari mendatang, kata Imas, para peserta yang telah memperolah pembekalan akan melokakaryakan ide cerita teaternya. Dilanjutkan dengan pementasan teater di Taman Budaya, April 2009. n */K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 November 2008
November 17, 2008
100 Tokoh Terkemuka Lampung
>> Selengkapnya klik saja: Tokoh Lampung.
BUKU 100 Tokoh Terkemuka Lampung diterbitkan menandai 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan HUT ke-34 Harian Umum Lampung Post (10 Agustus 1974). Dalam buku itu ditampilkan para tokoh era 1908- 2008, yang diseleksi oleh tim internal Lampung Post dengan dibantu oleh beberapa personil tim independen (Prof. Dr. Sudjarwo, Oyos Saroso HN, dan Firman Seponada).
Kriteria para tokoh yang terpilih itu adalah, lahir, besar atau bertumbuh di Lampung, mempunyai reputasi nasional dan internasional, memberi inspirasi bagi masyarakat, mempunyai pengaruh, dan dikenal luas oleh publik. Para tokoh terkemuka itu, dibagi dalam masa sebelum kemerdekaan dan tokoh pada masa setelah kemerdekaan disusun secara kronologis berdasarkan tanggal kelahiran.
Berikut tokoh-tokoh itu (Silakan klik nama tokoh untuk masuk ke pranala luar mengenai tokoh yang bersangkutan):
Sulaiman Rasyid (1898-1976)
K.H. Gholib (1899-1949)
Rais Latief (1900-1977)
Raden Aria Taher Tjindarboemi (1902-1978)
Raden Mohamad Mangoendiprodjo (1905-1988)
Abdoel Moeloek (1905-1973)
Gele Harun Nasution (1910-1973)
Zainal Abidin Pagar Alam (1916)
Achmad Bakrie (1916-1988)
Tan Seng Beng [Surya Buana] (1917-2004)
Zulkifli Warganegara (1920-...)
Bhiksu Ashin Jinarakkhita (1923-2002)
Yasir Hadibroto (1923)
Mussanif Ryacudu (1924-1987)
Noerdin Pandji (1924-1958)
Alamsyah Ratuprawiranegara (1925-1998)
Muhammad Arief Mahya (1926-...)
Abdul Haq (1926-1965)
Darius Silitonga
Hilman Hadikusuma (1927-2006)
Ahmad Sodiq (1927-...)
Raja Akum Ginting (1929-1995)
Nadirsyah Zaini (1929-...)
Solfian Akhmad (1932-1998)
Masnuna (1932-...)
Mochtar Hasan (1932-...)
Djafar Husin Assegaff (1932-...)
Bob Sadino [Bambang Mustari Sadino:] (1933-...)
Marjoeni Warganegara (1934-...)
Sitanala Arsyad (1934-...)
Alfian Husin (1935-...)
Andreas Hendrisoesanto (1935-...)
Poedjono Pranyoto (1936-...)
Motinggo Busye (1937-1999)
Rya Makbul Barusman (1937-...)
Aisyah Yakub (1938-...)
Marzuli Warganegara (1939-...)
Saodah Batin Akuan Sjahruddin (1939-...)
Ida Mustika Zaini (1939-...)
Alhusniduki Hamim (1939-2008)
Oemarsono (1940-...)
Abdul Jamil (1941-...)
Bagir Manan (1941-...)
Awet Abadi (1942-...)
Namuri Anoem Sebiay (1943-...)
Imron Rosadi (1944-...)
Farid Anfasa Moeloek (1944-...)
Sazli Rais (1944-...)
Alirahman (1945-...)
Usman Admadjaja (1946-...)
Bambang Eka Wijaya (1946-...)
Aburizal Bakrie (1946-...)
Srie Atidah (1947-...)
Tirza Hanum (1947-...)
Sjachroedin Z.P. (1947-...)
Moch. Sofyan Jacoeb (1947-...)
Andy Achmad Sampurna Jaya (1949-...)
M. Fauzi Toha (1950-...)
Ryamizard Ryacudu (1950-...)
Muhajir Utomo (1950-...)
Kausar Ali Saleh (1950-...)
Tursandi Alwi (1950-...)
Nasir Tamara (1951-...)
Jusni Sofyan (1951-...)
Mawardi Harirama (1951-...)
Herawati Soekardi (1951-...)
Surono Danu (1951-...)
Anshori Djausal (1952-...)
Sugiri Syarief (1952-...)
Firman Gani (1952-...)
Nadjib Riphat Kesoema (1953-...)
Satono (1953-...)
Syahnagra Ismail (1953-...)
Sugiarto Wihardja (1953-...)
Sapta Nirwandar (1954-...)
Gunawan Yusuf (1954-...)
Henry Yosodiningrat (1954-...)
Aan Ibrahim (1955-...)
Zulkifli Anwar (1955-...)
Nasrullah Yusuf (1955-...)
Syamsurya Ryacudu (1955-...)
Siti Nurbaya (1956-...)
Alzier Dianis Thabranie (1957-...)
Carunia Mulya Firdausy (1957-...)
Erward Syah Pernong (1958-...)
Isbedy Stiawan ZS (1958-...)
Lincolin Arsyad (1958-...)
Hari Widianto Jayaningrat (1959-...)
Iwan Nurdaya Djafar (1959-...)
Syafruddin Arsyad Temenggung (1959-...)
Purdi E. Chandra (1959-...)
Rio Mendung Thalieb (1961-...)
Zulkifli Hasan (1962-...)
Hamid Basyaib (1962-...)
Sri Mulyani Indrawati (1962-...)
Bustanul Arifin (1963-...)
Aria Kesumadewa (1963-...)
Almuzammil Yusuf (1965-...)
Andi Nurpati (1966-...)
Rahmad Darmawan (1966-...)
Siti Noor Laila (1967-...)
Lula Kamal (1970-...)
Udo Z. Karzi [Zulkarnain Zubairi] (1970-...)
Juperta Panji Utama (1970-...)
Andi Arief (1970-...)
Iswadi Pratama (1971-...)
Ahmad Yulden Erwin (1972-...)
Arzetti Bilbina (1974-...)
Sutrisno(1975-...)
Dyah Merta (1978-...)
Yulianti (1980-...)
Inggit Putria Marga(1981-...)
David Halim (1990-...)
Dari: Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.
BUKU 100 Tokoh Terkemuka Lampung diterbitkan menandai 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan HUT ke-34 Harian Umum Lampung Post (10 Agustus 1974). Dalam buku itu ditampilkan para tokoh era 1908- 2008, yang diseleksi oleh tim internal Lampung Post dengan dibantu oleh beberapa personil tim independen (Prof. Dr. Sudjarwo, Oyos Saroso HN, dan Firman Seponada).
Kriteria para tokoh yang terpilih itu adalah, lahir, besar atau bertumbuh di Lampung, mempunyai reputasi nasional dan internasional, memberi inspirasi bagi masyarakat, mempunyai pengaruh, dan dikenal luas oleh publik. Para tokoh terkemuka itu, dibagi dalam masa sebelum kemerdekaan dan tokoh pada masa setelah kemerdekaan disusun secara kronologis berdasarkan tanggal kelahiran.
Berikut tokoh-tokoh itu (Silakan klik nama tokoh untuk masuk ke pranala luar mengenai tokoh yang bersangkutan):
Sulaiman Rasyid (1898-1976)
K.H. Gholib (1899-1949)
Rais Latief (1900-1977)
Raden Aria Taher Tjindarboemi (1902-1978)
Raden Mohamad Mangoendiprodjo (1905-1988)
Abdoel Moeloek (1905-1973)
Gele Harun Nasution (1910-1973)
Zainal Abidin Pagar Alam (1916)
Achmad Bakrie (1916-1988)
Tan Seng Beng [Surya Buana] (1917-2004)
Zulkifli Warganegara (1920-...)
Bhiksu Ashin Jinarakkhita (1923-2002)
Yasir Hadibroto (1923)
Mussanif Ryacudu (1924-1987)
Noerdin Pandji (1924-1958)
Alamsyah Ratuprawiranegara (1925-1998)
Muhammad Arief Mahya (1926-...)
Abdul Haq (1926-1965)
Darius Silitonga
Hilman Hadikusuma (1927-2006)
Ahmad Sodiq (1927-...)
Raja Akum Ginting (1929-1995)
Nadirsyah Zaini (1929-...)
Solfian Akhmad (1932-1998)
Masnuna (1932-...)
Mochtar Hasan (1932-...)
Djafar Husin Assegaff (1932-...)
Bob Sadino [Bambang Mustari Sadino:] (1933-...)
Marjoeni Warganegara (1934-...)
Sitanala Arsyad (1934-...)
Alfian Husin (1935-...)
Andreas Hendrisoesanto (1935-...)
Poedjono Pranyoto (1936-...)
Motinggo Busye (1937-1999)
Rya Makbul Barusman (1937-...)
Aisyah Yakub (1938-...)
Marzuli Warganegara (1939-...)
Saodah Batin Akuan Sjahruddin (1939-...)
Ida Mustika Zaini (1939-...)
Alhusniduki Hamim (1939-2008)
Oemarsono (1940-...)
Abdul Jamil (1941-...)
Bagir Manan (1941-...)
Awet Abadi (1942-...)
Namuri Anoem Sebiay (1943-...)
Imron Rosadi (1944-...)
Farid Anfasa Moeloek (1944-...)
Sazli Rais (1944-...)
Alirahman (1945-...)
Usman Admadjaja (1946-...)
Bambang Eka Wijaya (1946-...)
Aburizal Bakrie (1946-...)
Srie Atidah (1947-...)
Tirza Hanum (1947-...)
Sjachroedin Z.P. (1947-...)
Moch. Sofyan Jacoeb (1947-...)
Andy Achmad Sampurna Jaya (1949-...)
M. Fauzi Toha (1950-...)
Ryamizard Ryacudu (1950-...)
Muhajir Utomo (1950-...)
Kausar Ali Saleh (1950-...)
Tursandi Alwi (1950-...)
Nasir Tamara (1951-...)
Jusni Sofyan (1951-...)
Mawardi Harirama (1951-...)
Herawati Soekardi (1951-...)
Surono Danu (1951-...)
Anshori Djausal (1952-...)
Sugiri Syarief (1952-...)
Firman Gani (1952-...)
Nadjib Riphat Kesoema (1953-...)
Satono (1953-...)
Syahnagra Ismail (1953-...)
Sugiarto Wihardja (1953-...)
Sapta Nirwandar (1954-...)
Gunawan Yusuf (1954-...)
Henry Yosodiningrat (1954-...)
Aan Ibrahim (1955-...)
Zulkifli Anwar (1955-...)
Nasrullah Yusuf (1955-...)
Syamsurya Ryacudu (1955-...)
Siti Nurbaya (1956-...)
Alzier Dianis Thabranie (1957-...)
Carunia Mulya Firdausy (1957-...)
Erward Syah Pernong (1958-...)
Isbedy Stiawan ZS (1958-...)
Lincolin Arsyad (1958-...)
Hari Widianto Jayaningrat (1959-...)
Iwan Nurdaya Djafar (1959-...)
Syafruddin Arsyad Temenggung (1959-...)
Purdi E. Chandra (1959-...)
Rio Mendung Thalieb (1961-...)
Zulkifli Hasan (1962-...)
Hamid Basyaib (1962-...)
Sri Mulyani Indrawati (1962-...)
Bustanul Arifin (1963-...)
Aria Kesumadewa (1963-...)
Almuzammil Yusuf (1965-...)
Andi Nurpati (1966-...)
Rahmad Darmawan (1966-...)
Siti Noor Laila (1967-...)
Lula Kamal (1970-...)
Udo Z. Karzi [Zulkarnain Zubairi] (1970-...)
Juperta Panji Utama (1970-...)
Andi Arief (1970-...)
Iswadi Pratama (1971-...)
Ahmad Yulden Erwin (1972-...)
Arzetti Bilbina (1974-...)
Sutrisno(1975-...)
Dyah Merta (1978-...)
Yulianti (1980-...)
Inggit Putria Marga(1981-...)
David Halim (1990-...)
Dari: Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.
Subscribe to:
Posts (Atom)