DEWAN Kesenian Lampung (DKL) dalam helat akbar Lampung Art Festival (LAF) secara khusus menghadirkan canggot bagha di panggung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), akhir November 2010 lalu.
Pesta canggot bagha—dalam bahasa Lampungnya gawi ini—dulu digelar pada saat bulan purnama biasanya seusai musim panen. Kini canggot bagha digelar secara giliran atau arisan di kampung-kampung komunitas Lampung Pubian.
Muli dan meghanai (bujang gadis) Lampung Pubian tak diperbolehkan bertemu sesuka hatinya. Ada media bersosialisasi buat mereka, ajang itu bernama canggot bagha.
Di ajang inilah para bujang dan gadis dapat bergaul bahkan untuk saling mencari jodoh. Namun mereka tetap dalam pengawasan orang tua dan koridor tetua-tetua adat.
Prosesi canggot bagha tidak mesti terkait dengan prosesi adat tertentu. Canggot bagha yang juga disebut canggot bulan purnama ini merupakan salah satu budaya tradisional Lampung yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang di komunitasnya—khususnya di kampung-kampung dalam wilayah-wilayah masyarakat Lampung Pubian.
Canggot ini pada awal perjalanannya dilakukan oleh bujang gadis setiap bulan purnama (bagha = purnama). Atau biasanya digelar sesuai panen raya di pekon-pekon atau kampung-kampung komunitas Lampung Pubian Telu Suku.
Canggot ini bisa di lakukan setiap bulan sesuai dengan permintaan bujang gadis. Hanya saja, seperti canggot yang lain, keterlibatan lembaga adat (musyawarah adat) merupakan bagian yang tak dapat ditinggalkan.
Sekalipun tidak terkait langsung dengan kegiatan prosesi adat, tetapi pelaksanaan canggot bagha harus tetap seizin dan sepengetahuan lembaga adat. Tanpa keterlibatannya tak mungkin acara dapat berjalan.
Meskipun acara canggot bagha diperuntukkan muli meghanai, semua aturan berlaku dalam masyarakat dapat tetap dijunjung tinggi. Selain itu, kita jangan melihat dalam masyarakat adat Lampung dalam hal ini Lampung Pubian telah melembagakan pergaulan (pertemuan bujang-gadis dalam komunitasnya).
Bujang-gadis tidak diperkenankan bertemu sesuka hatinya. Ada media sosilisasi, tetapi bukan berupa pergaulan bebas, dalam pelaksanaannya tetap dalam pengawasan orang tua dan tetua adat.
Dalam acara canggot ini banyak pelajaran yang dapat dipetik para bujang-gadis karena para peserta selain harus menggunakan atribut pakaian adat juga antara lain; harus mempunyai kepiawaian dan mahir menari, sastra lisan berupa pantun atau yang lainnya, dan pencak khakot. Karena dalam materi acara yang digelar dalam canggot bagha ada kompetisi kepiawaian menari, pantun, dan silat khakot.
Menurut Hasan gelar Tuan Raja dan Safei Gelar Kyai Ratu Ulama, tokoh adat, canggot zaman dulu hanya dilakukan pada setiap bulan purnama sesuai dengan peraturan adat masyarakat Lampung yang termuat dalam Buku Kuntara Raja Niti dan Buku Handak kini bisa dilakukan sesuai kesepakatan bersama.
Namun, menurut Husni Thamrin Gelar Suntan Purnama, seniman Lampung tradisi yang juga presenter acara Ragom Budaya Lampung di RRI Tanjungkarang dan acara Bebalos Pantun TVRI SPK Lampung, kini aktualisasi penyelenggaraan canggot bagha dapat dilakukan tak terbatas pada bulan purnama saja. Bahkan kini canggot bagha fungsinya juga mulai bergeser, tak hanya menjadi media pertemuan bujang gadis, tetapi juga untuk ajang dialog dan menyosialisasikan program-program pemerintah.
Bahkan kini masyarakat pubian menyelenggarakan kegiatan canggot bagha ini dengan sistem arisan. "Kini setiap tiga bulan sekali acara canggot bagha yang kian langka ini bisa disaksikan secara bergilir dari tiyuh ke tiyuh (dari kampung ke kampung) terutama dalam komunitas Lampung Pubian," kata anggota Komite Seni Tradisi Dewan Kesenian Lampung.
Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat kearifan lokal dan peneliti Folklor pada Sekelek Institute Publishing House, tinggal di Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010
No comments:
Post a Comment