-- Yulvianus Harjono
TAHUN 2010 memiliki salah satu catatan menonjol. Apalagi kalau bukan soal iklim. Cuaca ekstrem yang nyaris terjadi di sepanjang tahun ini telah memberi dampak buruk pada hampir semua sektor dan sendi perekonomian di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di Provinsi Lampung.
Puluhan kapal milik nelayan ditambatkan berjajar di sebuah sungai di Teluk Betung, Lampung, Selasa (21/12). Sebagian besar nelayan kini masih tidak melaut akibat cuaca ekstrem. Anomali iklim La Nina memukul berbagai sektor perekonomian rakyat, termasuk perikanan tangkap. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Curah hujan tinggi yang dipicu fenomena iklim La Nina sepanjang tahun ini berdampak luar biasa. Masyarakat kecil macam nelayan, petani, dan pedagang satu per satu menjerit. Pendapatan mereka berkurang drastis akibat pengaruh cuaca tidak menentu.
Seperti terlihat Selasa (21/12), aktivitas di Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Lempasing, Teluk Betung, Lampung, sangat sepi. Hanya segelintir nelayan dan pedagang yang melakukan aktivitas bongkar-muat ikan hasil tangkapan.
Padahal, seperti diungkapkan Taufik (26), buruh angkut di Lempasing, sebelumnya, aktivitas di PPI terpadat di Bandar Lampung ini nyaris tak pernah berhenti sejak dini hari hingga siang dan sore hari.
”Sekarang memang lagi sepi. Banyak nelayan yang tidak ke laut. Katanya, angin kencang dan gelombang tinggi. Padahal, tahun-tahun lalu masih banyak yang melaut,” ujar Taufik mengungkapkan kondisi aktivitas perikanan tangkap di kawasan Teluk Betung saat ini.
Kata Aliman (42), nelayan bubu rajungan, hampir sepanjang tahun ini sering terjadi cuaca ekstrem. Tak hanya di mu- sim angin barat, seperti bulan- bulan sekarang. ”Angin tambeng (kencang) sering terjadi. Betul- betul beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Cuaca sekarang ini sulit diprediksi,” ujarnya.
Akibatnya, beberapa bulan terakhir ini, diakuinya, hasil tangkapan berkurang drastis. Jika dahulu tiap jaring bisa mendapatkan ikan rajungan 20 kg, kini hanya separuhnya, 10 kg.
Cuaca yang sering tidak bersahabat juga dikeluhkan para perajin di sentra ikan teri di Pulau Pasaran, Bandar Lampung. Ratnasari (26), salah seorang produsen pengolah ikan asin, mengungkapkan, nelayan saat ini tidak lagi mudah mengamati gejala-gejala alam waktu yang tepat menangkap ikan.
”Dulu, kalau saat terang bulan (purnama), kan, sulit cari ikan. Sekarang malah kadang ada. Yang anehnya, wayah (saat)-nya di luar terang bulan, malah sulit dapat,” ujar Ratnasari yang sering memesan ikan-ikan tangkapan para nelayan bagan untuk diolah sebagai ikan asin.
Harga ikan naik
Aktivitas di sentra pengolahan ikan asin dan ikan teri ini beberapa bulan terakhir tampak lesu. Hanya segelintir warga yang melakukan pengolahan dan menjemur ikan asin. Ratusan ayakan untuk menjemur ikan teri dan ikan asin dibiarkan bertumpuk, menganggur.
Kondisi ini disebabkan pasokan ikan dari nelayan bagan berkurang drastis. Ratnasari mengatakan, jika biasanya saat ramai dalam sehari ia bisa mendapat pasokan 3-5 kuintal ikan teri, kini dalam beberapa hari terakhir turun menjadi kurang dari 2 kuintal.
Akibatnya pula, harga jual ikan di sejumlah pasar di Lampung kini melonjak drastis. Di Pasar Tamin, Bandar Lampung, misalnya, harga ikan dan hasil laut hampir semuanya naik rata-rata 15 persen. Ikan bawal, misalnya, kini Rp 50.000 dari sebelumnya Rp 45.000 per kg. Kenaikan harga juga terjadi pada ikan kakap, tenggiri, rajungan, selar, dan udang.
Ketahanan pangan
Cuaca ekstrem terus-menerus juga mengancam ketahanan pangan, atau setidaknya mengakibatkan gangguan ketersediaan beras sebagai bahan pokok. Produksi beras di Lampung turun setidaknya 2 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Kini produksi beras di Lampung hanya 2,62 juta ton. Sementara tahun 2009 sebanyak 2,7 juta ton.
Lebih parah lagi, banjir juga terjadi di berbagai tempat dan menimpa ribuan hektar tanaman padi di sejumlah sentra padi, antara lain di Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Lampung Tengah.
Uniknya, banjir ini pun datang tak kenal waktu. Tak hanya terjadi pada musim hujan, tetapi juga pada musim yang mestinya adalah kemarau, seperti bulan Juni-Juli. Karena curah hujan yang tinggi di sepanjang tahun, gabah-gabah pun semakin sulit dikeringkan menjadi padi yang berkualitas terbaik.
Kondisi ini menjadi peringatan dini terhadap ketahanan pangan di Lampung. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP beberapa waktu lalu mengadakan rapat khusus untuk membahas soal ketahanan pangan ini.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung Made Suwetja pun mengusulkan agar masyarakat Lampung mulai mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok. ”Pemprov kini tengah menggencarkan diversifikasi makanan pokok pengganti beras, seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian lain,” ujarnya.
Ternyata, seperti yang dikhawatirkan, beras akhir-akhir ini seolah langka di pasaran. Harganya melonjak hingga menembus batas ketidakwajaran. Per 7 Desember, misalnya, harga beras untuk kualitas asalan di berbagai pasar di Kota Bandar Lampung mencapai 7.500 per kg. Naik hampir 30 persen dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Bahkan, harga beras kualitas super mencapai Rp 11.500 per kg.
Hal-hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya sekalipun saat menjelang Lebaran. ”Baru tahun ini harganya bisa seperti ini. Tahun lalu gak pernah segila ini,” kata Heni, pedagang di Pasar Smep, Bandar Lampung.
Komoditas andalan
Tidak hanya kebutuhan pokok, cuaca ekstrem juga ikut memengaruhi produksi komoditas-komoditas andalan asal Lampung. Produksi karet, kakao, dan kopi anjlok sepanjang tahun ini. Penyakit busuk buah yang dipicu jamur mewabah, menyerang tanaman kakao dan kopi.
Volume ekspor kopi ikutan anjlok, yaitu 36 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Dari sebelumnya 237.054 ton kini hanya 151.324 ton per Agustus 2010. Penyakit-penyakit pada tanaman, termasuk busuk buah, muncul karena kelembaban yang tinggi dampak dari hujan terus-menerus.
Sejumlah catatan-catatan khusus yang terjadi sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa alam sama sekali tidak bisa pernah ditundukkan manusia. Yang hanya bisa kita lakukan hanyalah mengantisipasi dan beradaptasi, termasuk pada tahun 2011.
Sumber: Kompas, Kamis, 23 Desember 2010
No comments:
Post a Comment