-- Yulvianus Harjono
”DHUARR…!” bunyi keras bongkahan batu sebesar becak yang jatuh dari tebing bukit mengagetkan sekelompok pekerja yang berada tidak jauh dari lokasi ledakan. Bunyi ledakan ini sungguh keras, membuat bulu kuduk orang yang melintas di dekatnya bergidik.
Kawasan perbukitan Kunyit di Teluk Betung, Bandar Lampung, terus tergerus akibat penambangan batu dan pasir secara liar. Padahal, aktivitas penambangan di wilayah ini tidak jarang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dari para petambang. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Apa jadinya jika batu-batu yang jatuh secara liar itu berbelok arah dan menimpa kita yang ada di bawahnya? Tidak bisa dibayangkan dampaknya. Namun, ternyata, sehari-hari petambang batu di Bukit Kunyit harus menyabung nasib dengan risiko itu.
Dengan alasan perut, lingkungan di Bukit Kunyit terus dirusak. Bukit yang dulunya indah karena terletak di pinggir pantai kini terlihat mengerikan. Terpotong-potong, menyisakan bukit-bukit tandus menjulang ke langit tetapi rapuh, siap runtuh kapan saja. Tak terlihat lagi seperti kunyit-kunyit, lebih mirip wortel-wortel.
Tinggal sepertiga bagian bukit ini masih utuh. Sisanya jadi batu fondasi rumah-rumah mewah di Bandar Lampung dan sekitarnya. Nasib Bukit Kunyit jadi bukti nyata dari terdegradasinya daya dukung lingkungan hidup. Padahal, letaknya tak jauh dari kota Bandar Lampung.
Nurdin (54), salah seorang petambang batu di Bukit Kunyit, mengaku terpaksa menekuni pekerjaan itu karena tidak lagi memiliki pilihan lain. Selama 10 tahun bekerja sebagai petambang batu, banyak peristiwa tragis ia alami. Kawannya pernah tewas terjatuh dari bukit saat hendak memapas batu.
Bahkan, ia sendiri sudah tiga kali tertimpa batu. Yang terakhir membuatnya nyaris cacat. Tubuhnya jadi membungkuk. Tulang-tulang belakangnya bahkan terlihat menonjol, menyisakan jejak yang mengerikan betapa bahayanya pekerjaan itu. Ironisnya, upah yang ia terima per hari hanya Rp 20.000!
”Lebih baik mati ketika bekerja daripada tewas akibat kelaparan,” kata Nurdin. Alasan- alasan klise semacam inilah yang menjadi momok betapa sulitnya menghentikan penambangan liar batu dan pasir di Bukit Kunyit.
Wali Kota Bandar Lampung Herman HN pertengahan tahun 2010 melarang aktivitas tambang ilegal itu. Namun, kurang dari dua minggu penambangan liar ini kembali marak sampai detik ini. Pemerintah tampak tidak punya taring menghentikan aksi ini meskipun disadari itu sangat berbahaya. Perkampungan di dekat lokasi Bukit Kunyit kerap dilanda longsor ketika hujan deras tiba sebab di sekitar kawasan ini tidak lagi ada kawasan hijau untuk penyerap air.
Mangrove dibabat
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mencatat, tidak hanya Bukit Kunyit, setidaknya ada puluhan lokasi lainnya yang mengalami nasib naas serupa. ”Dari 32 gunung dan bukit yang ada di Bandar Lampung, 23 di antaranya rusak parah dan 9 lainnya hancur,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan. Yang merepotkan, banyak pengusaha yang bermain di belakang perusakan bukit-bukit ini.
Hancurnya bukit-bukit ini mayoritas karena penambangan liar. Tidak sedikit pula akibat pembangunan rumah dan restoran mewah. Di Bukit Camang, misalnya, kini dibangun sebuah resor mewah milik pengusaha Artalyta Suryani. Padahal, bukit ini sebetulnya masuk dalam kawasan hijau yang diperuntukkan bagi resapan air.
Tidak hanya di perbukitan, kawasan pesisir di Lampung pun dirusak oleh ”tangan-tangan” manusia yang tamak, tidak memedulikan kelestarian lingkungan yang kini sangat vital di tengah kondisi ancaman perubahan iklim. Wilayah pesisir di Lampung, khususnya di bagian timur dan selatan, berubah satu per satu menjadi tambak.
LSM Mitra Bentala memperkirakan, dari sekitar 100.000 hektar bakau di Lampung, 80 persen di antaranya kini rusak. Alih fungsi menjadi tambak ditengarai sebagai pemicu utama kerusakan bakau di Lampung.
Ironisnya, pada saat gerakan kesadaran reboisasi digalakkan di seluruh Tanah Air, Lampung pada akhir tahun ini harus kehilangan lagi cadangan hutan bakau yang masih alamiah. Puluhan hektar hutan bakau di Muara Bawang, Kabupaten Pesawaran, dibabat serta disulap menjadi dua areal tambak baru.
Padahal, muara ini merupakan habitat berbagai satwa liar macam bebek rawa, belibis, dan elang laut (Haliaeetus leucogaster). Bahkan, satu-satunya muara alami tersisa di Pesawaran.
Melenyapkan desa
Kontras dengan di Pesawaran, sekelompok masyarakat di Kuala Penet dan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, pada saat bersamaan justru gencar menentang upaya pembabatan tanaman bakau di daerahnya. Itu disebabkan warga setempat sudah lama merasakan dampak buruk dari kerusakan bakau.
Muhammad Asep (43), tokoh warga di Kuala Penet, bercerita, abrasi di kawasan Kuala Penet selama ini sudah lebih dari 500 meter. Bahkan, abrasi telah melenyapkan sebuah kawasan dusun dan bekas dermaga nelayan di Desa Margasari. Kawasan perairan kini juga penuh lumpur sehingga sulit untuk dijadikan dermaga nelayan.
Perusakan wilayah pesisir terus berlangsung masif hingga ke Bengkulu. Di Seluma, Bengkulu, penambangan pasir besi oleh perusahaan asal China menimbulkan konflik yang tidak pernah selesai dengan warga sekitar. Terakhir, enam warga ditangkap, sementara fasilitas perusahaan dirusak.
Penambangan pasir besi, berdasarkan kajian Walhi Bengkulu, mengakibatkan abrasi parah. Dalam setiap enam bulan, kegiatan penambangan pasir besi mampu mengakibatkan hilangnya wilayah di pesisir sepanjang 3 kilometer.
Entah sampai kapan persoalan-persoalan lingkungan ini akan selesai. Jika hanya mengikuti nafsu manusia, tentu itu tidak akan ada habisnya. Seperti dikatakan Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahannya.
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2010
No comments:
Post a Comment