Oleh Ferry Faturokhman
SAYA tak pernah bisa melupakan saat-saat awal mengenal Teknokra di akhir
Agustus 1999. Saat itu saya bersama lima ribuan mahasiswa baru lainnya berada
di GSG Unila (Gedung Serba Guna Universitas Lampung) mengikuti kegiatan propti
(program pengenalan perguruan tinggi). Jadwal hari itu adalah pengenalan
UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ada di Unila. Ada Pramuka, Filateli,
Menwa, Silat dan lain lain.
Setiap UKM mengenalkan diri dengan kekhasannya masing-masing. Mapala
mengenalkan diri dengan meluncur membawa bendera Mapala dari ketinggian 20
meter langit-langit GSG. Saya menyukai panjat tebing dan naik gunung sejak SMA
(Sekolah Menengah Atas). Di SMA 1 Serang, saya sempat tercatat sebagai anggota
Wapala (Siswa Pecinta Alam). Beberapa gunung seperti Ciremai, Gede, Pangrango
dan dua gunung di Banten pernah saya naiki. Tapi saya ingin mencoba sesuatu
yang baru. Lalu ada sebuah UKM, mengenalkan diri dengan cara unik membagikan koran
seperti layaknya tukang koran pada mahasiswa baru. Saya mengambil satu, karena
tak semuanya kebagian. Koran itu ternyata Tabloid Teknokra. Tampilannya
profesional, seperti tabloid pada umumnya. Saya sempat membatin ”apa iya ini dibuat mahasiswa, rapih sekali.”
***
Medio Januari 2000, Ahmad Fauzi, Mahasiswa FH Unila angkatan 1999 mengajak
saya mendaftar Teknokra. Pamflet rekrutmen Teknokra hampir tertempel di seluruh
papan pengumunan FH Unila: selasar, gedung B dan gedung A. Saat itu ada
spesialisasi magang seperti reporter, fotografer, artistik dll. Saya memilih
mendaftar fotografer tanpa ada alasan khusus, hanya ingin bisa menggunakan
kamera yang aneh bentuknya. Belakangan saya tahu jenis kamera itu adalah SLR (Single Lens Reflex) yang memang berbeda
dengan kamera pocket.
Ada tiga orang dari FH Unila yang mendaftar Teknokra. Saya, Fauzi dan Desy
Churul Aini. Keduanya sahabat saya. Desy dan saya pernah sama-sama mengikuti
Latihan Kader I HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Fauzi sekarang menjadi dosen FH
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Serang. Sementara Desy kini menjadi dosen
FH Unila.
Desy sangat antusias mengikuti rekrutmen, ia aktif dalam setiap sesi,
terutama diskusi. Saya baru kali itu menemukan UKM yang membuka pendaftaran serius
seperti layaknya perusahaan menerima karyawan. Di awal tes ada psikotes,
pengetahuan umum, keredaksian, lalu ada
sesi diskusi dengan beberapa tema yang difasilitatori anggota Teknokra. Ada
juga sesi wawancara.
Saat wawancara di bidang fotografi, saya bertemu dengan kamera SLR untuk
pertama kalinya. Ada dua buah kamera SLR di hadapan saya, salah satunya kamera
legendaris Nikon F 301 milik Teknokra. Satu lagi milik Sulistyo Nur Adhi
(belakangan saya memanggilnya Kak Adhi),
kalau tak salah jenisnya Canon FM 10. Kak Adhi adalah mantan fotografer
Teknokra. Saat mewawancarai saya, ia didampingi Dewi Sukmasari, fotografer
Teknokra yang kini menjadi dosen di FE Unila.
Saya ditanyai banyak hal tentang bagian-bagian kamera SLR. Tak ada satupun
yang saya mengerti, semuanya asing: rana, lensa, shutter speed, dll. Anehnya Kak Adhi justru mengajari saya tentang
bagian-bagian kamera SLR itu, saya bahkan berkesempatan menyentuhnya! (kamera
SLR maksudnya, bukan Kak Adhi.pen). Kamera SLR itu dipreteli lensanya, dijelaskan bagian dan cara kerjanya. Saya
sempat heran kok malah diajari,
mungkin karena ia iba melihat muka rasa ingin tahu saya. Belakangan saya tahu,
Teknokra tak mencari orang cerdas, tapi yang memiliki rasa ingin tahu tinggi.
Wawancara terakhir saya hari itu berakhir di sebuah ruangan kecil di
Teknokra yang disekat partisi triplek. Di hadapan saya ada dua perempuan
berjilbab dengan wajah yang yang kontras, Nuzlah ’Iyet’ Hayati, alumni Teknokra dan
Indah ’Ite’Taufany, Mahasiswi angkatan 1997 Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unila.
Mbak Iyet tampak tenang, adem dan
baik hati, sementara Mbak Ite tampak judes
dan cerewet. Tapi ternyata hari itu keduanya ramah, wawancaranya lebih santai
dan banyak bercanda.
”Ini kan wawancara terakhir, kamu
yakin nggak, diterima?” tanya mbak
Ite.
”Insya Allah mbak.”
”Dari tes seharian ini kira-kira kamu diterima nggak?” giliran mbak Iyet
yang bertanya, mengulang pertanyaan mbak Ite sebelumnya.
”Kayanya diterima, Insya Allah,” jawab saya.
Dari dulu memang saya nggak
terbiasa dengan ambisi. Berusaha saja dengan sebaik-baiknya, sisanya serahkan
pada Allah. Kewajiban kita adalah berproses, hasil bukanlah urusan kita.
***
19 Februari 2000 adalah tanggal bersejarah untuk saya. Dari tiga orang yang
mendaftar, Saya satu-satunya anak reguler fakultas hukum yang diterima magang
di Teknokra! Pengumuman kelulusan ditempelkan di setiap fakultas di Unila.
Bentuknya keren, SK Pemimpin Umum
Teknokra, ditandatangani Agus Sahlan Mahbub. Desy memandang saya sebagai orang
yang beruntung. Saya bersepakat dengannya.
Pasti sebuah kebetulan, angkatan magang saya yang berjumlah 23 orang di
Teknokra merupakan angkatan 19, sama dengan tanggal pengumuman kelulusan.
Tanggal lahir Asti Aini, saudara satu angkatan di Teknokra juga 19 Februari. 19
Februari kemudian kami jadikan sebagai peringatan ulang tahun angkatan. Wulan
bahkan sempat berujar di Sate Cak Umar ”Nanti kalau kita sudah lulus dari
Teknokra dan Unila, kita tetap ngumpul di tanggal 19 Februari, kalau banyak
yang kerja di Jakarta, ya ngumpulnya di Jakarta.” Semua bersepakat, tapi
kesempatan dan kesibukan kemudian membuatnya tak terealisir. Belakangan
kemudian, tanpa alasan khusus, tanggal 19 Februari juga menjadi tanggal hari
pernikahan saya.
Magang Teknokra saat itu dibuat spesialisasi, magang fotografer, magang
usaha, magang reporter dll. Masa magang di Teknokra adalah enam bulan, setara
dengan kuliah satu semester. Fotografer magang saat itu ada tiga orang: Saya,
Hardian ’Kep’, dan Syahrudin. Kep dan Syahrudin adalah Mahasiswa Jurusan
Komunikasi Fisip Unila. Keduanya sudah akrab dengan kamera SLR. Saya dan keduanya
kemudian sering hunting bersama atau
berbagi tugas memenuhi kebutuhan foto tabloid, di bawah arahan fotografer
Teknokra, Dewi Sukmasari dan Toni Wijaya, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip
Unila yang baru lulus magang fotografer. Toni kini menjadi dosen di
almamaternya. Dari sinilah petualangan saya dimulai, mengambil foto di beberapa
tempat di Bandar Lampung dan terkadang di luar kota. Awalnya saya adalah jenis
mahasiswa ’kupu-kupu’, kuliah-pulang-kuliah pulang.
Kami bertiga menjunjung tinggi kebersamaan, bahkan hingga semangat kedua
sahabat magang fotografer saya mulai mengendur saya berusaha membantunya, saya
ingin kami semua lulus magang.
Ada satu cerita saat magang. Rubrik sorotan berencana mengangkat persoalan
rumah dinas Rektor Unila di Pahoman. Rumah dinas pemberian Pemerintah Provinsi
Lampung di era Gubernur Poedjono Pranyoto itu didiami keluarga Alhusniduki
Hamim, padahal jabatan Rektor Unila telah digantikan Muhajir Utomo.
Dariyus Hartawan yang menulis reportase itu. Ia
menyuruh saya mengambil foto rumah dinas tersebut.
”Jalan Cendana nomor 10, di Pahoman, lo cari aja,” katanya.
Saya betul-betul buta daerah Bandar Lampung
saat itu. Sebelum berangkat, saya bertanya pada Agus Sahlan Mahbub, Pemum
Teknokra yang kemudian menjelaskan lebih rinci angkutan kota yang harus saya
naiki.
”Di Karang naik angkot Pahoman, warna hijau, bilang jalan Cendana,”
jelasnya.
Rumah itu akhirnya ketemu, setelah berjalan kaki menyusuri Jalan Cendana.
Rumahnya besar dan asri, model rumah tahun 1990an, dekat Stadion Pahoman. Di
depannya ada sekolah dasar. Saya memanjat tembok pagar SD, mengambil angle yang agak bagus. Lengan kemeja jeans putih saya sempat robek tersangkut
pagar SD saat turun dari tembok.
Foto-foto kemudian saya cetak, dan ditulisi nama di belakang foto sebagai
kredit foto. Saya menulisksan nama Syahrudin. Saat dilay out, Joko Herwindo, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FT Unila
yang menjadi artistik saat itu menuliskan nama Syahrudin di bawah foto rumah
dinas rektor. Wawan kemudian mengecek berita hasil tulisannya dan menemukan
nama Syahrudin dalam foto tersebut.
”Fer, ini kan foto elo, soalnya gua inget banget, gua yang nyuruh, ini foto elo
kan?” katanya.
”Iya kak,” saya tak bisa mengelak, karena saya pernah memperlihatkan
foto-foto hasil jepretan hari itu padanya. Wawan tak tahu kalau saya yang
menuliskan nama Syahrudin di belakang foto.
”Ganti Jok, gua inget banget
kok.”
Inisial Srd kemudian diganti menjadi fer. Nama magang yang memberikan
kontribusi baik dalam tulisan maupun foto saat itu selalu ditulis dengan
inisial. Hardian menggunakan inisial Hrd.
Enam bulan berlalu, saya dinyatakan lulus dan diterima sebagai fotografer
Teknokra. Kep dan Syahrudin dinyatakan diperpanjang masa magang. Namun kami
tetap bersahabat, bahkan terkadang berbagi rezeki jika ada job foto yang tak tertangani semisal foto wisuda. Tarif untuk satu
rol foto wisudawan saat itu Rp 150 ribu,
saya bisa mendapat untung bersih Rp 75 ribu darinya. Banyak mahasiswa yang minta
ritual momen wisuda dari A sampai Z dirinya diabadikan. Cuma ya itu, cukup
melelahkan, karena kita harus mengikuti perjalanannya mulai dari rumah atau
kosannya, GSG Unila hingga kembali ke kosannya saat makan-makan bersama
teman-teman dan keluarganya, bonus mengasyikannya, kita dapat makan siang
gratis. Untuk foto pernikahan tarifnya lebih besar dari foto wisuda.
Menjadi fotografer Teknokra memang menjadi berkah tersendiri, penghasilan
saya terbesar saat itu adalah Rp 500 ribu, saat diminta panitia festival teater
karya-karya seniman eksil Tatang Utuy
Sontani.
F 301 dan Saidatul Fitriah
Saya beruntung bisa memegang kamera Nikon F 301. Kamera yang pernah
dipegang Alm Saidatul Fitriah dalam liputan terakhirnya. Saidatul Fitriah
adalah fotografer Teknokra yang meninggal beberapa hari kemudian setelah
menjalankan tugas meliput demonstrasi mahasiswa menentang RUU PKB
(Penanggulangan Keadaan Bahaya). Hari di 28 September 1999 itu kemudian
dikenang sebagai tragedi 28 September UBL (Universitas Bandar Lampung)
Berdarah.
F 301 sempat terjatuh dan hilang di sekitar UBL. Beberapa hari kemudian
seseorang datang ke Teknokra mengembalikan F 301. F 301 memang ditempeli stiker
Teknokra di bodynya. Masih ada film
di dalamnya, hasil jepretan terakhir mbak Atul. Film itu kemudian dicetak. Ada
sekitar enam frame foto yang kini dibingkai dan dipajang di Teknokra. Beberapa
diantaranya berjenis foto spot. Mbak
Atul membekukan (freezing) seorang
demonstran yang sedang melempar batu saat chaos
terjadi.
Mbak Atul meninggal di Rumah Sakit (RS) Abdul Muluk 3 Oktober 1999 setelah
sebelumnya dirawat di RS Advent. Sebelum meninggal, saat sempat siuman dari
koma ia pernah berkata bahwa dirinya sudah diincar aparat. Hasil rontgen
menunjukkan, tulang tengkorak kepala mbak Atul cekung melengkung, akibat
pukulan benda tumpul. Peradilan atas kematian mbak Atul tak pernah digelar,
kurang bukti dijadikan alasan ’memetieskan’ kasusnya. Hukum bertekuk lutut di
bawah sepatu laras, keadilan tak dapat dihadirkan. Bagaimana mungkin pelakunya
tak dapat diusut dan dimintakan pertanggungjawaban, suatu hal yang aneh yang
terjadi di dalam negara hukum. Satu-satunya peradilan yang digelar atas tragedi
itu adalah peradilan atas kematian Yusuf Rizal, Mahasiswa angkatan 1997 Jurusan
Sosiologi Fisip Unila yang menjadi aktivis Dema (Dewan mahasiswa), lehernya
berlubang ditembus peluru.
Saya tak pernah bertemu dengan mbak Atul. Saya mengenalnya dari F 301,
cerita senior dan puisi-puisi yang ia tulis di komputer ’jangkrik’ (Jenis MS
Dos) Teknokra. Perempuan kecil berjilbab itu ternyata menyenangi puisi.
Dalam sebuah DJMM (Diklat Jurnalistik Mahasiswa tingkat Menengah) yang
diadakan Teknokra di Guest House Wisma Dahlia Unila. Triono Subagyo, fotografer
Trans Sumatera dan LKBN Antara yang merupakan alumni Teknokra menceritakan
sebuah pengakuan pada peserta DJMM.
”Saya ada disitu melihat Atul saat chaos
terjadi di UBL, bagi wartawan itu adalah sebuah momen, tapi saya ingat bulan
depan saya mau menikah, saya mundur, saya tak seberani Atul,” paparnya di
tengah keheningan peserta DJMM.
Angkatan 18 Teknokra (Yamin dkk) adalah angkatan terakhir yang bertemu mbak
Atul. Sementara angkatan 19 Teknokra (Saya dkk) adalah angkatan pertama di
Teknokra yang tak bertemu mbak Atul. Teknokra kemudian memiliki tradisi
berziarah ke makam mbak Atul di Gading Rejo tiap akhir September atau awal
Oktober.
Setelah kemudian saya menjadi Pemum Teknokra periode kepengurusan 2003/2004,
saat berziarah ke makam mbak Atul, saya mengingatkan adik-adik di Teknokra
untuk meneruskan tradisi ziarah Teknokra. Ziarah itu mengingatkan kita akan
kematian, bahwa suatu saat kitapun akan mati, dikubur dalam tanah. Mbak Atul
telah menjemput kematiannya sebagai suhada.
Sementara kita, belum tahu bagaimana akan berakhir. Ziarah ke makam mbak Atul
juga menjadi semangat dan menyadarkan bahwa kita belumlah seberapa dibandingkan
perjuangannya.
F 301 diwariskan pada saya sebagai penerus fotografer di Teknokra. Toni
menjelaskan habis detail bagian dan fungsinya. Saya kemudian menelusuri sejarah
F 301. Kamera itu rupanya dibeli untuk Teknokra oleh Rizani Puspawijaya, dosen
FH Unila yang pernah menjadi PR III Unila. Saat itu ia sedang melakukan
kunjungan ke Singapura dan menemukan F 301 di sana.
Dalam suatu kesempatan saya pernah bertemu dengannya di gedung rektorat. Ia
menanyakan kabar kamera yang pernah dibelinya itu. Rizani Puspawijaya adalah
dosen yang dikenal sebagai dosen killer.
Mahasiswa fakultas hukum bahkan menyebut gedung tempat Rizani berkantor sebagai
gedung pentagon. Tapi salah satu keuntungan jadi anak Teknokra adalah mendapat
semacam privillege, dikenal dosen,
bahkan dosen killerpun menjadi hangat
dalam obrolan.
Saya pernah juga mengabadikan sebuah pernikahan dengan kamera itu.
Kebetulan teman kakak saya di Serang menikahi seorang gadis Lampung di Kaliawi
Bandar Lampung. Saya membeli film tiga hingga empat roll, foto pernikahan ini harus gratis, tak enak saya meminta
bayaran, hadiah untuk teman kakak saya.
Gadis yang dinikahi itu ternyata sepupu Anis Marsela, artis penyanyi
dangdut yang mulai meredup digantikan
generasi Vetty Vera, Cici paramida, Iis Dahlia, Ike Nurjanah, Nini Karlina dan
Lilis Karlina. Anis Marsela menyisakan kecantikan sebagai ibu beranak satu. Konon
ia bercerai dengan suaminya, saat itu kawin cerai di kalangan artis sudah biasa
terjadi. Anaknya seorang laki-laki berumur lima tahun, lucu dan mengakrabi
saya. Saya kebetulan orang yang ramah pada anak-anak. Beberapa kali tampak saya
pergoki Anis Marsela memperhatikan saya yang akrab dengan anaknya. Mungkin ia
melihat saya cocok dengan anaknya. Ia bahkan sempat menyapa saya dengan sebutan
om untuk anaknya. Ada pikiran nakal
sempat menyelinap di benak saat itu, saya menjadi ayah dari anak itu. ”Duh kacau, Ferry....Ferry, punya selera
juga kau dengan penyanyi dangdut, fokus Fer, profesional, ini lagi kerja, istighfar,” saya mengingati diri
sendiri.
Menjadi fotografer Teknokra membuat saya mengenal beberapa fotografer harian
lokal di Bandar Lampung karena sering bertemu di lapangan saat mengambil foto.
Kadang bertemu dalam demonstrasi mahasiswa, event-event
kesenian, atau dalam sebuah persidangan di pengadilan. Saat itu fotografer di
Bandar Lampung masih sedikit, hanya sekitar empat lima orang. Ada Rohimat Lampung Post, Triono ’Yoyo’ Subagyo Trans
Sumatera dan seorang fotografer Radar Lampung yang saya tak tahu namanya
mungkin karena cara bekerjanya mirip James Nachtwey, wartawan perang untuk
beberapa majalah seperti Time, tak banyak bicara. Baru kemudian ada nama-nama
baru semisal Dedi Triadi, dari Lampung Post, nama belakangnya mungkin
terinspirasi dari Darwis Triadi, salah satu fotografer kondang Indonesia.
Kami sering berbagi pengalaman dan ilmu, dari teknik fotografi hingga
tempat service kamera. F 301 mulai bocor, ada garis vertikal merah terbakar di
beberapa cetakannya. Dari 38 cetakan, ada
sekitar 3 sampai 4 frame yang ada garis merahnya. Saya mengonsultasikannya pada
bang Rohimat, Ia memberitahu alamat service yang bagus.
”Kalau nggak jual aja, tuker
tambah,” sarannya.
”Banyak sejarahnya bang,” jawab saya.
”Ya iya, tapi daripada kayak gitu, saya juga tau kok kamera itu, banyak
kenangannya.” Ia terdiam.
Hampir semua fotografer di Lampung saat itu mengenal F 301 yang lekat
dengan tragedi UBL berdarah. Saat itu kami berada di Pengadilan Negeri Tanjung
Karang, ada persidangan atas dugaan korupsi dana bantuan gempa Liwa dengan
terdakwa Siti Nurbaya mantan Ketua Bappeda Propinsi Lampung yang kini jadi
Sekjen DPD RI. Siti Nurbaya divonis bebas (vrijpraak)
dalam persidangan tersebut. Berita dugaan korupsi gempa Liwa saat itu menjadi
tema Laporan Utama Tabloid Teknokra. Doddy Wuryanto dan Muhammad ’Ucup’ Makruf
yang menulisnya saat itu.
F 301 kemudian diwariskan pada Ismet, fotografer Teknokra penerus saya.
Ismet satu angkatan dengan saya di FH Unila, tapi masuk Teknokra belakangan,
diterima menjadi angkatan 20 di Teknokra. Kulitnya kuning tak begitu langsat,
wajahnya tirus, kurus kerempeng, sekilas mirip Malih, komedian Betawi. Ismet
adalah orang Tangerang dengan karakter Betawi yang kuat, menanam lagu-lagu
Benyamin S di komputer Teknokra. Orang yang mudah tidur dalam posisi apapun, di
depan komputer, duduk saat rapat dll.
Seperti yang dilakukan Toni, saya menjelaskan habis prinsip kerja kamera
dan bagian-bagian F 301. Satu persatu dipreteli dan dijelaskan. Ini rana, itu
lensa, ini diafragma atau bukaan, funginya itu, yang itu fungsinya ini, kalau
film habis sebelum gulung geser ini dan pencet itu secara bersamaan. F 301
merupakan kamera SLR semi otomatis, tak perlu dikokang karena otomatis tapi nggulung filmnya masih manual. Saat itu
era digital belum populer.
Lama kelamaan kebocoran pada F 301 sudah semakin parah, tugasnya kemudian
banyak digantikan oleh Canon T 90, SLR otomatis pemberian alumni Joni Widodo
saat DJMM, saat itu Joni Widodo bekerja di Sriwijaya Pos, Palembang. Tapi T 90
tak berumur lama, jendela rananya koyak setelah dibawa Dariyus Hartawan saat
liputan aksi peringatan reformasi mahasiswa se Indonesia di gedung DPR RI,
Jakarta. Saya kemudian menjual gitar elektrik di rumah dan membeli Nikon F 60 D
untuk memback up kerja-kerja
Teknokra.
***
Sebagai fotografer Teknokra, saya sering diminta penulis atau PJ rubrik
untuk mengambil gambar sesuai dengan tulisan. Sebelum mengambil gambar, saya
pelajari outline tulisan dan
berdiskusi dengan penulisnya. Diantara semua penulis, Yamin adalah penulis yang
permintaannya relatif sulit dan menantang.
Misalnya saat ia menulis tentang perjudian di Bandar Lampung dan
pelacuran di Pemandangan, Panjang, Bandar Lampung.
Liputan ke lokasi judi dimulai tengah malam sekitar pukul 01.00. Saya dan
Yamin meluncur ke sebuah gudang di jalan Yos Sudarso, sepeda motor Yamin
sebelumnya dititipkan di rumah saudaranya, antisipasi jika terjadi sesuatu.
Bangunan besar berbentuk gudang itu tampak aneh dengan beberapa mobil jenis
sedan, kijang dan beberapa sepeda motor di halaman parkir. Di dekat parkiran
itu ada warung yang menjajakan gorengan, mie rebus, kopi dan rokok. Saya memesan
segelas kopi. Yamin membuka obrolan dengan orang sekitar sambil menyulut rokok.
Rokok habis sebatang, kopi di gelas tinggal ampasnya, kami berdua masuk ke
gudang.
Ruangan itu ternyata memang gudang yang ’disulap’ menjadi tempat perjudian.
Gelap, dingin ber-AC. Satu-satunya
cahaya yang ada berasal dari monitor mesin judi seperti permainan ding-dong
yang digandrungi anak SMP. Mesin itu dikenal sebagai mesin mickey mouse. Saya membawa kamera di tas, tapi tak mengambil
gambar. Riskan.
Beberapa malam kemudian saya mengajak Mas Nana Jumena, Gubernur Mahasiswa
FH Unila yang mempunyai kedekatan dengan Jajuli Isa, tokoh Golkar yang beberapa
anak buahnya menjadi ’keamanan’ di tempat judi. Memesan kopi dan mengobrol di
warung yang sama. Malam itu juga tak memungkinkan saya mengambil gambar.
Keesokan sorenya saya kembali ke lokasi seorang diri. Masuk ke dalam,
langsung ke toilet. Kamera saya keluarkan dari tas untuk distel, bukaan maksimal, shutter
speed rendah, flash dimatikan.
Toilet itu berada di ruangan semacam dapur, disekat dengan kaca buram. Saya keluar menuju kembali ke
ruangan utama judi.
”Mas sebentar mas!” Sial, seseorang berseragam polisi di dapur
memanggil. Ada dua orang berseragam di ruangan itu.
”Apa itu di dalam tas?”
”Buku pak,” jawab saya.
”Coba lihat.”
Saya mengeluarkan F 60 D. Rupanya ia memerhatikan saya dari kaca buram saat
menyetel kamera. Ia merebut kamera.
”Siapa nama kamu, dari koran apa?”
”Ferry, Teknokra Unila,” jawab saya sambil memperhatikan papan nama si
polisi. Saya bersumpah karirnya saya habisi kalau sesuatu terjadi pada F 60 D.
Tapi ternyata ia mengembalikan kamera.
”Hati-hati aja,” ancamnya.
Saya masuk ke gudang. Gelap. Menyusuri mesin judi sambil mengeluarkan
kamera dikurungi tas. Sialannya,
seseorang mengikuti saya di belakang. Saya berhenti dia berhenti. Saya jalan
dia jalan. Dibuatnya saya tak bisa bekerja. Dia menunggu saya beraksi. Polisi
tadi mengabari ’keamanan’ judi rupanya. Saya ke luar gudang. Tak ada satu
gambarpun yang saya ambil, benar-benar sialan.
Akhirnya saya hanya mengambil foto gudang dari jarak jauh. Seseorang dari
warung mendatangi saya, menanyakan identitas dan diam di dekat saya. Rupanya ia
ingin saya pergi. Hari yang sial.
Saat hendak menyetop angkot pulang, sebuah mobil polisi berjenis Daihatsu
Taft atau Feroza masuk ke areal parkir judi, berhenti tepat di belakang dapur.
Ada tulisan”Polisi” menempel di kaca belakang. Saya masuk lagi, mengambil foto
dari jarak jauh, zoom dimaksimalkan,
keberadaan saya sudah diketahui banyak orang di situ, termasuk orang-orang yang
berkerumun di warung luar. Hasil foto tak maksimal, lensa yang saya bawa hanya
28-80 mm. Saya sedih tak bisa mengimbangi tulisan Yamin. Idi Dimyati, Pemred
Teknokra kala itu, menambah banyak caption
untuk foto mobil polisi tersebut. Foto dengan banyak caption adalah foto yang jelek. Sebab foto itu tak dapat
menceritakan dirinya sendiri.
Liputan foto menarik lainnya adalah saat Yamin menulis feature komplek pelacuran di Pemandangan. Saya datang dua kali ke
lokasi, mewawancarai Ketua RW setempat. Ketua RWnya ternyata ustad yang sudah
lama diempatkan ke Pemandangan oleh Dinas Sosial Propinsi Lampung. Seperti
komplek-komplek pelacuran di kota lain, pelacur Pemandangan juga banyak
didatangkan dari Indramayu Jawa Barat.
Di pertengahan gang masuk, saya sudah ditawari pelacur untuk mampir.
”Mau ke mana mas, naik gunung ya, di sini
saja,” ajaknya.
Saya membalasnya dengan senyum.
Saya mengambil sudut-sudut gang Pemandangan. Mushola yang sedang direhab
dengan dana sumbangan Rp 15 ribu tiap pelacur. Mencuri beberapa foto para pelacur dengan autofocus. Ada juga yang seizin mereka.
“Tapi jangan dimasukin koran ya mas,” pinta
perempuan seksi sambil berpose dengan lelaki hidung belang.
“Nggak mbak, untuk penelitian,” saya
berbohong, sesuatu yang sebenarnya tak dibolehkan.
Majalah Tempo pernah memotret seorang pelacur dalam sebuah kamar dalam
posisi telungkup. Saya bisa juga melakukannya di dalam kamar, membayar sejumlah
uang, tapi saya khawatir setan lewat, bisa gawat urusannya.
Menjelang pulang saya ditawari lagi oleh seorang mami, yang membedakan
dengan sebelumnya, ia tahu saya dari Unila!
”Mampir mas, dari Unila ya,” ajaknya ramah.
Saya segera teringat cerita dosen hukum dalam sebuah perkuliahan. Pernah
ada mahasiswa Unila yang ’jajan’ di lokalisasi. Setelah selesai ’berbuat’, ia
lupa kalau tak membawa uang, si pelacur tak mau melepasnya pergi begitu saja.
Bodohnya kemudian mahasiswa tadi menggadaikan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) miliknya
sebagai jaminan pada si pelacur. KTM itulah yang kemudian membuat cerita
menyebar.
Saat pulang saya melihat sebuah bukit di belakang Pemandangan menghadap ke
teluk Pelabuhan Panjang. Saya mendaki esok harinya, ada jalan aspal di tengah
bukit dan vila yang entah milik siapa. Dari atas bukit, Pemandangan terlihat
utuh dan indah dengan latar belakang Pelabuhan Panjang. Jepret. Saya ingat mengambilnya satu, hanya satu.
Foto-foto itu kemudian mengimbangi tulisan Yamin, tapi ada kesalahan tulis
pada kredit foto, tertulis Ismet, bukan nama saya. Ya ndak papa, ndak masalah,
Ismet dan saya asyik-asyik aja.
***
Selain memotret, kru Teknokra juga diwajibkan menulis, semua kru Teknokra
pasti bisa menulis, karena hakikatnya semua adalah reporter. Demikianpun saya,
diajari menulis dari rubrik kecil seperti ekspresi (ekspresi adalah rubrik di
tabloid tentang profile seseorang. pen) hingga rubrik besar seperti sorotan dan
laporan utama. Beberapa berita yang sifatnya kelampungan pernah saya tulis
semisal proyek Ittara (Industri tepung tapioka rakyat) unggulan Gubernur Oemarsono
yang gagal, penipuan ala Yayasan Amalillah. Beberapa kali saya berpartner
dengan Turyanto dalam reportase dan menulis.
Dari sekian tulisan, yang paling menarik bagi saya adalah saat liputan ke
Way Tuba Kabupaten Way Kanan.
Ceritanya bermula pada suatu Jumat subuh di Unila. Seseorang yang kemudian
diketahui dari Kecamatan Way Tuba
mendekati Kholid, Ketua Fosi (Forum Studi Islam) Faperta Unila yang sedang
mengadakan program Jumat bersih di Faperta Unila.
Ia bercerita bahwa kemungkinan dirinya ditipu oleh mahasiswa Unila. Ada
mahasiwa Unila yang datang ke Way Tuba menawarkan pemeliharaan DOC (Day Old Chick), itik ayam untuk
dibesarkan sebagai ayam pedaging. Satu orang membayar Rp 5.000 untuk tiga ekor
DOC. Untuk meyakinkan warga, oknum mahasiswa tadi meminta perwakilan warga ke
Bandar Lampung untuk mendapatkan pelatihan dalam melakukan pemeliharaan yang
baik. Uang dari warga terkumpul. Dua orang diutus mengikuti si mahasiswa ke
Bandar Lampung. Keduanya kemudian menginap di Hotel Hartono. Malangnya
kemudian, keduanya ditinggalkan, bahkan harus membayar kamar hotel yang
dipesankan mahasiswa. Si mahasiswa hilang entah kemana.
Turyanto kemudian menuliskan cerita ini untuk Teknokra News. Berita oknum
mahasiswa Unila menipu-pun geger di kampus. Kebetulan saat itu ada RtF (Road to
Faculty), sebuah program Senat KBM Unila untuk menjaring aspirasi mahasiswa,
mempertemukan masalah mahasiswa, dekanat
dan rektorat.
Entah bagaimana ceritanya, Teknokra disudutkan di hampir RtF tiap fakultas.
Para reporter Teknokra melaporkan dan membahasnya bersama. Teknokra dianggap
mencemarkan nama baik Unila. Bahkan di Faperta, Turyanto yang berada di sana
’diadili’ habis-habisan. PD III Faperta saat itu ikut menyalahkan Turyanto.
Turyanto ’babak belur’ di fakultasnya sendiri. Saya tak habis pikir, seharusnya
Unila berterima kasih atas informasi tersebut dan menerjunkan tim untuk
mengklarifikasi kemudian meminta maaf pada warga Kecamatan Way Tuba. Setidaknya
itu bisa memulihkan nama baik Unila di Way Tuba.
Pemred Teknokra M ’Ucup’ Makruf dan Redpel Zaenal Musthopa saat itu
memutuskan
harus ada kru Teknokra yang meluncur ke Way Tuba, mendalami kasus ini. Saya
dan Tur yang kemudian direncanakan berangkat. Saya menyiapkan segala keperluan,
termasuk meminjam jam tangan hitam Nuril, teman sekamar saya. Biasanya saya tak
memakai jam tangan, tapi kali ini benda kecil itu dibutuhkan. Tur tak jadi
berangkat, selain berhalangan iapun masih trauma atas tekanan yang dialaminya.
Di Terminal Raja Basa saya
menanyakan bis ke arah Way Tuba. Rupanya bis trayek Belitang melewati Way Tuba.
Perjalanannya panjang, enam jam, mungkin karena banyak berhenti. Di Pulau Jawa,
enam jam setara dengan perjalanan Serang-Cirebon. Turun di Way Tuba saya menuju
kecamatan, hari mulai agak sore untuk ukuran jam kantor, 15.30. Kecamatan sudah sepi, satu dua orang terlihat
pamit pulang pada seseorang di sebuah ruangan. Saya menemuinya, seorang
sekretaris camat. Seorang Sunda berkulit hitam, kurus dan suka blak-blakan
bicara, saya suka gayanya. Recorder diputar, wawancara dimulai. Ia
mencegah saya menemui camat di rumah dinas di sebelah kecamatan.
”Kalau ada yang bisa saya bantu saya jelaskan, bapak (camat.pen) ini kan
gelarnya tinggi, nggak enak, karena kemaren kan penipuan,” paparnya.
Saya melirik papan nama camat, memang ada banyak gelar di belakangnya, SE, MM.
Dari sekmat saya tahu bahwa uang warga yang berhasil digondol sebanyak lima
juta telah diganti camat.
”Bagi kami tak ada masalah disini, justru Unila yang dirugikan dalam kasus
ini, kami tak harus ke sana (Unila.pen), semestinya Unila yang ke sini menjelaskan,
karena sebenarnya Unila yang dirugikan,” paparnya berapi-api.
Wawancara selesai, giliran saya yang bingung.
Hari sudah sore, saya harus
menginap. Besok harus ke desa tempat oknum mahasiswa melancarkan aksi
penipuannya. Ada dua desa di Way Tuba yang ditipu oknum mahasiswa. Saya
menanyakan masjid terdekat, rencananya saya tidur di sana. Sekmat malah
mengajak saya menginap di rumahnya, suatu kebetulan yang diharapkan. Di
rumahnya saya dijamu habis-habisan. Malamnya malah sempat diajak anaknya jalan-jalan
ke Martapura, Sumatera Selatan. Jaraknya ternyata dekat dari Way Tuba.
Keesokan harinya setelah sarapan, ia mengisyaratkan agar saya tak usah ke
desa yang pernah ditipu karena sudah dapat cerita lengkap darinya. Saya
bersikeras harus ke desa.
“Ya nggak papa kalau mau tetap ke sana, saya memang melihat anda dari awal
memang wartawan bener, nanti di sana temui kepala desanya ini, sekdesnya ini,
bilang anda sudah menemui saya,” paparnya.
Saya berterima kasih dan tersenyum. Saat itu memang banyak wartawan amplop,
bodrek atau muntaber (muncul tanpa berita), hmm.. wartawan Teknokra bukan dari
jenis itu.
Ongkos ojek rupanya mahal Rp 15 ribu, bolak-balik Rp 30 ribu, ini diluar
dugaan, tak bisa ditawar pula. Uang di kantong tinggal Rp 30 ribu plus sedikit lembar ribuan. Saya nekat,
berangkat.
Lima belas ribu rupiah memang tarif yang pantas. Jalanannya tanah merah jeblok menyusuri perkebunan sawit, jauh.
Sesekali ban motor tergelincir. Penipunya benar-benar merencanakan dengan
matang, memilih daerah pedalaman, ke desa yang akses informasi dan
transportasinya sulit dijangkau.
”Kalau habis hujan besar, kadang rantai motor bisa putus mas,” ujar tukang
ojeg.
Kami mulai masuk desa yang dituju. Ada kerumunan ibu-ibu di depan sebuah
sekolah dasar sedang membeli sayur. Saya menanyakan nama kepala desa. Ibu-ibu
berbisik dan memerhatikan saya. ”Dari Unila....dari Unila.”
Seorang ibu muda menarik lengan saya,
”Dari Unila ya mas,” bisiknya dan langsung mengajak saya ke rumahnya.
Ibu muda itu ternyata istri sekretaris desa (sekdes) yang pernah diajak ke
Bandar Lampung oleh oknum mahasiswa yang kemudian bertemu Kholid di Jumat
subuh.
”Warga disini tidak tahu kalau ditipu, mereka tahunya program gagal dan
uangnya dikembalikan, mereka menunggu-nunggu,” ujar sekdes, saya lupa namanya
kalau tak Patumin.
”Iya makanya tadi mas saya langsung tarik kesini,” istrinya menimpali.
Saya lalu minta diantarkan ke kepala desa, wawancara, kemudian ke balai
desa tempat warga dikumpulkan.
”Di sini warga dikumpulkan, diberi arahan, ngomongnya pinter dan
meyakinkan, saya malah yang narikin
uang warga di sini,” jelas sekdes.
Cerita lengkapnya segera didapat, dengan menggabungkan cerita sekmat
sebelumnya. Dua mahasiswa itu datang ke kecamatan menyosialisasikan program
penggemukan DOC, namun warga harus membayar Rp 5000 untuk tiga ekor DOC.
Berbekal surat pengantar camat, dua mahasiswa tadi menghubungi kepala desa
untuk menyosialisasikan pada warga di balai desa. Agar lebih meyakinkan, satu
orang perwakilan desa tersebut harus ikut ke Bandar Lampung untuk mendapatkan
pelatihan. Ada dua desa di Way Tuba yang menjadi korban penipuan oknum
mahasiswa.
Dari sekdes saya tahu ciri-ciri oknum mahasiswa, ia mengerti persoalan
peternakan, bicaranya meyakinkan, berjas almamater biru, satu hal penting
lainnya, saya mengantongi nama lengkap mahasiswa tersebut, seseorang dengan inisial
E, sekdes mengetahui dari KTM yang ditunjukkannya. Warna jas Almamater adalah
informasi yang sangat berharga, sebab terjadi perubahan warna jas almamater di
Unila. Jas almamater mahasiswa angkatan 1998 ke atas berwarna biru, sementara
angkatan 1999 ke bawah berwarna hijau.
Saya kembali ke Way Tuba. Persoalan baru muncul, uang transport dari
Teknokra tak cukup untuk ongkos pulang! Hanya menyisakan satu dua lembar
ribuan. Wajah sekmat segera terbayang, saya ke kecamatan, pamit dan terutama
meminjam uang sejumlah ongkos pulang.
Ia memberikan Rp 20 ribu dengan status pemberian, ia tak mau dipinjami.
Saya pamit dan berterima kasih. Rencananya saya berniat mengunjugi anaknya yang
sekolah di SMP Al Kautsar Bandar
Lampung. Namun hingga bertahun-tahun dan tulisan ini dibuat, saya tak sempat
mengunjunginya. Jika jalur pendidikannya lancar, semestinya sekarang ia sudah
mahasiswa semester akhir.
Di Teknokra saya segera menghubungi Asti, kru Litbang. Litbang Teknokra
punya data base mahasiswa Unila. Kami berdua mencari nama yang dimaksud di
antara angkatan 1998-1995 di Faperta. Binggo!
Ketemu. Rasanya seperti menemukan puzzle
yang hilang. Saya menanyakan status mahasiswa tersebut ke anak-anak pertanian
angkatan tua. Mahasiswa tersebut sudah lama tidak aktiv, statusnya terancam DO
(Drop Out). Saya segera menuliskan beritanya. Tak semua informasi saya masukan.
Keterbatasan ukuran Teknews dan deadline
yang mepet mengurangi kualitas tulisan.
Setelah tulisan saya turun, Unila malah tambah gerah. Tapi ada sisi
positifnya, Unila menerjunkan tim yang dikoordinatori Wan Abbas yang saat itu
menjabat PD III FP Unila ke Way Tuba untuk mengklarifikasi kasus penipuan.
Sepulangnya tim Unila saya mendengar kabar bahwa sebenarnya di Way Tuba
permasalahan ini tak diributkan. ”Ya iyalah tak diributkan, lha wong uang warga sudah diganti oleh
camat,” pikir saya saat itu.
Tragedi Bali
Ini kepingan cerita lain yang pernah geger di Teknokra. Suatu hari saya
menemukan undangan dari Persma (Pers Mahasiswa) Universitas Udayana untuk
Teknokra. Isinya undangan untuk mengikuti pelatihan jurnalisme advokasi.
Pembicaranya Haris Azhar dari Kontras dan LBH Pers. Saya kemudian berfikir
sayang kalau tak ada yang datang. Tak ada niat apapun dalam diri saya saat itu
selain ini harus ada yang datang, siapapun orangnya. Saya kemudian mencari tahu
siapa yang diutus ke pelatihan tersebut. Ternyata rapat pimpinan tidak membahas
hal tersebut. Sekali lagi saya berfikir sayang kalau tak ada yang datang. Saya
kemudian mengajukan diri, menelpon Zaenal Musthopa, Pemum Teknokra yang sedang
berada di Subang kalau tak salah karena sebuah musibah keluarga. Di ujung
telepon Zaenal mengizinkan saya berangkat dengan catatan mengajukan proposal
untuk biaya transportnya melalui Wulan, Manajer Keuangan Teknokra.
Tanpa alasan khusus saya kemudian mengajak Turyanto untuk ikut, yang paling
jelas saya sering bersamanya dan Tur belum pernah dikirim ke luar mengikuti
pelatihan. Tur setuju, berangkat atas nama Persma Agriprekto FP Unila, karena
persyaratannya tiap LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) hanya boleh mengirimkan satu
peserta. Kamipun berangkat ke sebuah Bank untuk menyetor uang pendaftaran, tiap
orang Rp 100 ribu. Saat itu hari Jumat, hari terakhir pendaftaran. Sialannya
motor kami sempat distop di tikungan depan
Plaza Indonesia oleh polisi. Motor saya memang sering distop karena plat
nomornya A dan warnanya ngejreng,
biru kuning. Di Lampung, mayoritas plat nomor adalah BE.
Uang pendaftaran berhasil disetor. Menjelang keberangkatan ke Lampung
Turyanto membatalkan diri berangkat. Saya kemudian mencari kawan lagi. Tanpa
alasan khusus pula, saya mengajak Asti Aini. Yang paling jelas terfikir saat
itu adalah dua teman angkatan saya Fitria ’Pitot’ Agustina dan Eva ’Eput’
Danayanti pernah dikirim ke Jakarta, ada beberapa yang belum, Asti salah
satunya. Selain itu Asti punya akses ke Pilar, Pers Mahasiswa FE Unila. Asti
setuju, iapun direstui Ani, Pemimpin Umum Pilar
untuk memakai nama Persma Pilar untuk keberangkatan Asti. Pilar bahkan menitipkan
produk terbitan dan undangan sebuah kegiatan yang akan digelar untuk dibagikan
kepada pers mahasiswa se Indonesia di Bali nanti.
Karena waktu pelaksanaan yang mepet,
Wulan berbaik hati membantu menyelesaikan proposal pencairan dana. Dana keluar
Rp 700 ribu. Saya juga punya tugas di redaksi menulis tulisan yang sudah saya
selesaikan 3/4nya. Pitot berbaik hati menawarkan diri untuk menyelesaikan tugas
saya. Saya terenyuh melihat mereka mendorong saya untuk segera berangkat agar
tak terlambat di Bali.
Di Bali, saya berkesempatan mewawancarai Suryo Pratomo, Pemimpin Redaksi
Kompas yang menjadi pembicara dalam pembukaan pelatihan. Acara di Bali ternyata
tak sebaik acara di Teknokra dalam segala halnya. Teknokra dikenal well prepared dari konsep hingga teknis
dalam mengadakan sebuah acara. Konsep acara jurnalisme advokasi tak jelas, ngaco. Saya mendapatkan penjelasan pribadi
dari SC (Steering Committee) yang
justru semakin menunjukkan ketidakpahaman konsepnya. Pada akhirnya malah saya
dibenturkan dengan Haris Azhar, fasilitator pelatihan.
”Kami tidak ada masalah dengan pembicara, tapi dengan panitia,” ujar Yudi
Armen peserta dari Universitas Sumatera Utara (USU) membela saya. Acaranya
memang tak jelas hingga menuai kritik. Kritik itu dimulai oleh saya tanpa niat
menjatuhkan, hanya mempertanyakan kejelasan konsep acara, mau dibawa kemana. Ketidakjelasan
konsep juga ternyata dirasakan mayoritas peserta sehingga diadakan pertemuan
besar antara peserta, panitia dan pembicara.
Kekisruhan pelatihan semakin parah dengan hilangnya Hand phone (HP) Yudi Armen. Sampai disitu belum selesai,
penyelesaian hilangnya HP Yudi lebih ngaco
lagi. Semua peserta dikumpulkan di Aula di pagi hari, panitia menggeledah kamar
tiap peserta. HP tak ditemukan. Sebuah solusi terlontar dari panitia, tiap orang
menyumbang untuk penggantian HP Yudi, hasilnya dihitung secara transparan,
memang tak menggantikan nominal HP, tapi Yudi terharu. Saya tak mengerti jalan
pikiran panitia, bagaimana mungkin pertanggungjawaban dibebankan pada tiap orang
terutama peserta? Ini bukan persoalan sumbangannya, tapi cara penyelesaian
masalahnya. Prasangka memang paling mudah muncul dalam situasi seperti itu.
Tapi kalau panitia menduga pelakunya peserta, bukankah kemungkinan yang sama
juga bisa terjadi pada panitia? Bahkan panitia berpeluang lebih besar karena
ada momen-momen kamar kosong saat peserta mengikuti materi pelatihan. Asti dan
saya geleng-geleng kepala. Unbelievable.
Ternyata sebagian besar peserta juga menangkap keanehan solusi pagi itu.
Pelatihan berakhir, tapi dua hari lagi ada peringatan satu tahun meledaknya
bom Bali di Legian, Kuta. Peserta pelatihan telah pulang semua. Saya dan Asti
memutuskan menunda kepulangan untuk meliput peringatan ground zero. Jangan anggap kami bersenang-senang di sana, saya tidur
di ruangan kelas Unud, sekretariat persma disana terlalu sempit untuk ditiduri.
Asti agak beruntung mendapat kenalan anggota KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) yang mau berbagi tempat tidur kosannya.
Malam peringatan tiba, kami memasuki lokasi ground zero, kemananan diperketat, tiap orang harus discan dengan metal detector sebelum masuk lokasi. Saya mengambil banyak gambar,
Kapolda Bali, monumen, poster foto korban perempuan Australia dengan tulisan
yang memilukan ”seharusnya ia kini
merayakan ulang tahun manisnya yang ke 19 jika saja teroris muslim tak
membunuhnya.” Saya menghela nafas. Islam memang pernah tersudutkan pasca
pengeboman. Supir angkot muslim yang pernah saya tumpangi sempat merasa malu
jadi orang Islam di Bali. Kawan KAMMI Asti mengalami beberapa ketidaknyamanan.
Ketidaknyamanan itu saya saksikan sendiri di Legian. Asti yang berjilbab
terkadang disapa ”Assalamualaikum,” dengan nada sinis.
Peringatan selesai, kami pulang keesokan harinya setelah pamit pada Erwin,
kawan baik persma yang banyak mengantar kami selama di Bali. Kami memutuskan mampir
ke Jogja dengan dua agenda, beli buku untuk Teknokra di Shoping (Pasar buku
terkenal di dekat Malioboro) dan studi banding ke tiap persma di Jogja. Asti
membeli dua buku tebal untuk Teknokra : Analisis Wacana dan Analisis Framing.
Mata saya berbinar menemukan bundelan majalah persma Balairung UGM, segera
setelah negosiasi harga bundelan itu berpindah tangan. Balairung adalah persma
UGM yang sedikit ekslusif, tapi hasil terbitannya bagus. Kami sering
mengomparasikannya dengan Teknokra. Kawan baik persma Ekspresi UNY (Universitas
Negeri Yogyakarta) mengantarkan kami ke mana saja, HIMMAH UII, Atma Jaya, Sunan
Kalijaga, tapi tidak ke Balairung.
”Kalau mau ke Balairung sendiri aja ya, saya nggak ikut nganter,”
katanya.
Balairung akhirnya kami lewatkan.
Selama di Jogja saya menginap di sekret Ekspresi, Asti di kosan kru
ekspresi perempuan. Sebelum pulang, Asti sempat meminta blue print pengkaderan di Ekspresi UNY untuk dikomparasikan dengan
alur kaderisasi Teknokra. Blue print
itu diberikan, tapi dengan cara diam-diam. Ekspresi UNY punya banyak SDM
berkualitas yang telah menerbitkan buku, diantaranya Muhidin M Dahlan dan
seorang perempuan yang saya lupa namanya.
Di bis menuju Lampung Asti dan saya kembali diskusi soal Teknokra seperti
halnya dalam perjalanan menuju Bali. Persoalan diskusi seputar kaderisasi,
rekrutmen dan krisis kader di Teknokra. Beberapa sms dari teman angkatan
Teknokra mengabarkan berita tak menyenangkan tentang kami di Teknokra, Asti dan
saya mengira-ngira. Ada apa?
Di Teknokra suasana tak nyaman mulai terasa. Ada pandangan aneh dari
senior, adik-adik, Tur bahkan
Eva, teman angkatan saya. Pitot menceritakan bahwa kepergian saya
dipermasalahkan. Kawan Teknokra lainnya, Ananta Dhani Hendrawan, belakangan
juga cerita bahwa saya hampir dibahas di tiap rapat, yang lebih gila lagi, Rudi
Haryadi, teman saya di luar Teknokra sempat bertanya di Masjid Kampus Alwasi’i.
”Fer katanya saat ke Bali kemarin bermasalah ya, nggak direstui?” tanyanya.
Hasil dari pelatihan di Bali kami sosialisasikan, yang datang cuma sedikit,
padahal pengumuman di whiteboard
sudah ditulis sebelumnya. Hanya ada beberapa orang dan Joko Herwindo, senior
angkatan Zaenal, saya terenyuh melihat kehadirannya. Tak lama dari sosialisasi,
saya diingatkan Zaenal, pemum Teknokra, untuk datang dengan Asti pada suatu
malam.
Malam itu adalah malam yang sulit saya lupakan, sebuah malam jahanam. Saya
dan Asti disidang oleh jajaran pemimpin saat itu, Zaenal, Yamin dan Shemone,
kalau tak salah Aismet dan Eva juga hadir di situ, saya lupa kapasitasnya sebagai apa. Beberapa
jajaran middle Teknokra menguping di
belakang lemari perpustakaan.
Kepergian saya dianggap ilegal. Uang Rp 700 ribu otomatis juga ilegal. Saya mendebat dan mengingatkan pemum, saya tak
mungkin berangkat kalau tak ada kata iya
dari pemum. Zaenal menganalogikan dengan lampu lalu lintas bahwa kemarin bukan
lampu hijau, tapi lampu kuning, apalagi saat itu ia sedang tak konsentrasi
karena persoalan yang sedang dihadapinya di Subang. Otak saya berputar
menganalisa. Ada apa dengan pemimpin umum? Mengapa jadi tak konsisten? Lampu
kuning yang dimaksud adalah proposal yang kemudian diselesaikan Wulan. Apa
masalahnya?
Yamin mengeluhkan saya meninggalkan tulisan rubrik laporan utama saya. Ia keteteran. Saya ingat tulisan laput yang
tinggal 1/4nya itu rencananya akan diselesaikan Pitot, tapi Pitot kalah cepat
oleh Yamin yang segera mengambil alih. Atas kesalahan ini saya minta maaf pada
Yamin. Yamin mengendur setelah tahu bahwa saya bukan bersenang-senang hura-hura
ke Bali dan banyak membawa oleh-oleh tulisan hasil liputan. Ia menerima maaf
saya. Eva yang juga menanyakan
dana Teknokra akhirnya mengendur dan menyarankan dana Rp 700 ribu tak
usah dikembalikan, dihitung sebagai biaya reportase. Saya tak menyetujuinya,
dana itu akan saya kembalikan, sudah hilang mood
saya malam itu.
Yang lebih mengherankan adalah Shemone, ia menyangka saya memanfaatkan
pelatihan di Bali dengan tujuan politis. Saya tak mengerti maksudnya. Apakah ia
mengira saya mengincar jabatan pemum, karena di Bali banyak delegasi persma lainnya
dan popularitas saya di Teknokra naik karena dianggap sebagai wakil Teknokra
sebagai pemum ke depan? Kalau memang itu persangkaannya, sungguh tak ada niat
secuilpun saya untuk menjadi pemum, saya tak pernah punya ambisi menjadi pemum.
Sementara Asti disalahkan karena menggunakan nama Pilar, padahal Asti
bukanlah anggota Pilar. Ini juga hal yang aneh karena Pemum Pilarnya saja tak
keberatan, merestui dan mengizinkan Asti berangkat, bahkan menitipkan undangan
kegiatan Pilar.
Sidang malam itu kemudian mengarahkan agar saya meminta maaf secara resmi
pada Teknokra. Saya
heran tak habis pikir sehingga akhirnya bertanya ”minta maaf atas apa?” Tak ada yang menjawab. Shemone beranjak ke
belakang, meninju tembok dengan keras. Saya menahan emosi sekuatnya. Sejak SD
hingga SMA saya selalu terlibat duel fisik dalam menyelesaikan masalah. Jika
tak mengingat adik-adik Teknokra yang menguping di belakang lemari perpustakaan,
’berangkat’ saya susul ke belakang malam itu. Shemone kembali lagi ke sidang.
Hati saya kacau balau. Asti tak bisa bicara.
Zaenal meredakan situasi dengan menyarankan saya meminta maaf karena telah
mengalihkan dana Rp 700 ribu pada Asti (Saya memang mengalihkan dana pada Asti,
saya punya tabungan sendiri untuk berangkat ke Bali) dan Asti meminta maaf
karena telah menggunakan nama Pilar padahal Asti bukan anggota Pilar.
Tambah ngaco bukan. Itu artinya
saya direstui berangkat dan didanai, tapi harus meminta maaf karena dana yang
telah diberikan pada saya sebagai transport itu saya alihkan pada Asti. Padahal
kalau dilihat, dari tiga roll film yang saya beli, 2/3nya adalah foto liputan,
buku-buku tebal untuk Teknokra yang dibeli pada akhirnya dari uang pribadi
Asti. Ditambah ongkos, biaya makan, oleh-oleh untuk kru Teknokra dan yang
lainnya, jumlahnya lebih besar dari Rp 700 ribu.
Sidang disudahi tanpa kesimpulan jelas yang disepakati. Saya pulang malam
itu, malangnya teman-teman saya di kontrakan Koga tertidur lelap tak dapat
dibangunkan. Terpaksa saya kembali ke Teknokra tidur di tengah dengan perasaan
aneh, seperti bukan di rumah sendiri. Asti pulang dan meledakan tangisnya di
kosan.
Saya mengalah, dan memilih ’menyelamatkan’
pemum. Surat permintaan maaf dibuat dan
ditandatangani Asti dan saya, isinya kurang lebih begini ”Saya meminta maaf
karena telah mengalihkan dana yang diperuntukan untuk saya kepada Asti,
sementara Asti meminta maaf karena telah mengatasnamakan anggota Pilar, padahal
Asti bukan anggota Pilar meskipun hal tersebut telah mendapatkan persetujuan
Pemum Pilar.” Di bawah surat itu juga saya beri keterangan bahwa dana yang
dimaksud di atas telah dikembalikan pada Teknokra, Bukti Kas Masuk (BKM)
Teknokra terlampir sebesar Rp 700 ribu. File
surat itu saya beri judul surat aneh dalam komputer.
Asti kemudian mengembalikan uang Rp 700 ribu yang telah dipakainya pada
saya. Sementara uang pendaftaran Tur yang kadung disetor telah kami mintakan
pada panitia dan dikembalikan pada Tur.
Nama saya dan Asti rusak serusak-rusaknya di Teknokra. Tak ada forum
klarifikasi yang disediakan sementara informasi yang diterima kru Teknokra tak
berimbang. Ada perasaan aneh menyergap setiap saya masuk Teknokra.
****
Pra Mubes (Musyawarah Besar) dan Mubes Teknokra akan digelar, maka
kepemimpinan Zaenal akan berakhir. Sesi pencalonan dalam PraMubes tiba. Turyanto, Eva dan saya adalah
nama yang dicalonkan sebagai pemimpin umum, ada beberapa nama lain, namun
kemudian mengerucut pada tiga nama tersebut. Saya banyak merenung. Nama saya telah rusak di Teknokra, cemar,
dianggap menyerobot, pembangkang dll. Hari-hari di Teknokrapun tak
menyenangkan. Saya orang yang asyik-asyik saja sebenarnya. Saya takkan peduli
sekalipun seribu orang menuduh saya maling, yang penting saya bukan maling, dan
saya tak butuh legitimasi manusia. Tapi cemarnya nama juga dialami Asti,
sementara saya yang mengajak Asti ke Bali. Saya merasa bersalah dan harus
memulihkan nama baiknya. Ini benar-benar mengusik saya. Asti tak berakhir
dengan indah di Teknokra, kalau saya tak masalah, saya sudah terbiasa.
Sungguh saya tak pernah berniat jadi pemum awalnya, tapi situasi membuat
saya harus maju. Saya tak diberikan pilihan, saya harus maju, atau nama baik
Asti rusak. Saya membuka obrolan dengan Asti, kami bersepakat, ini harus
diakhiri dengan indah. Asti tak begitu bersemangat sebenarnya, hatinya hancur.
Saya kemudian memutuskan untuk tidak mengundurkan diri. Kampanye dimulai,
pamflet digelar internal di Teknokra. Ada dua agenda penting saat itu:
penyampaian visi misi dan debat kandidat.
Penyampaian visi misi dimulai, saya dimoderatori Romadhoni Yunanto. Setelah penyampaian visi misi, seorang kru
Teknokra jajaran middle mengajukan
pertanyaan dengan sinis di awal kalimat. ”Saya pikir tadinya curhat karena
terlalu panjang menceritakan kepemimpinan di Teknokra.” Saya tersenyum karena
merasa ada pengaruh orang lain dalam pertanyaannya.
Diantara audiens, shemonelah yang paling bernafsu ’menelanjangi’ saya. Bagi
saya ini keuntungan, karena justru menjadi ajang klarifikasi. Ia juga menyerang
konsep pendanaan alternatif saya di Teknokra.
”Mau dibawa ke mana Teknokra, kapitalis?” Tanyanya.
”Kawan-kawan ’kiri’ kita seperti FMN (Front Mahasiswa Nasional) menentang
kapitalisme, tapi mereka tetap membutuhkan kapital untuk menentang kapitalisme,
mereka membutuhkan batu batere dan logistik lainnya untuk melakukan unjuk rasa.
Kapital jangan dijadikan tujuan, kapital harus dipandang sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, kalau dijadikan tujuan jadi kapitalislah kita,” jelas saya.
Kalau sekiranya shemone yang bertanya saya bisa mengerti, tapi shemone juga
sebagai pemimpin usaha di Teknokra, dan saya tak dapat mengerti.
Semakin lama ’suhu’ shemone semakin panas, Ia kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan
yang memancing emosi, saya melayaninya.
”Anda terjebak, emosi, bahaya kalau jadi pemum Teknokra,” nadanya kesal.
Eny Mutotawiyah sempat berbisik pada Pitot, ”Sebenarnya yang emosi siapa?”
”Mungkin saya emosi, tapi kalau shemone dihadapkan pada posisi saya, pasti
anda lebih emosi karena saya tahu anda,” saya mengembalikannya pada shemone.
Nada shemone bagaimanapun terdengar lebih
emosi dari saya. Mungkin Shemone tak tahu kalau sebenarnya saya tahu dijebak,
dan saya memilih untuk masuk dalam jebakannya.
Malam hari setelah penyampaian visi misi, angkatan 19 berkumpul di depan
mall kartini, mengevaluasi performance
saya.
”Pake kemeja Fer seperti Tur, jangan kaos,” pinta Asti. Eka dan Wulan
mendukung, keduanya lebih cerewet.
”Saya nggak biasa, gak suka pake kemeja,” jawab saya.
”Iya tahu, tapi sekarang ini harus.”
Saya terharu melihat mereka semua. Saya seperti Muhammad Ali yang
bertanding melawan Frazier. Lalu rehat ronde, dan mereka semua menyarankan
strategi, menyemangati. Saya hanya diam mendengarkan mereka.
Debat kandidat dimulai. Saya berkemeja dimasukan celana, rapih. Rasanya
aneh. Agak ganteng saya hari itu. Perasaan saya tak enak harus berdebat dengan
Tur, kami bersahabat, demikianpun dengan Eva. Shemone seperti biasa lebih
banyak menyerang saya dibanding yang lain, saya tak mengerti kenapa, dari mana
asal kebencian ini?
Saat pra mubes, hubungan saya dan Tur semakin aneh, ada sesuatu yang
mengganjal. Tur menuliskan sebuah kalimat di secarik kertas di sela rapat. Saya
masih ingat isinya. ”Selama ini tanpa sadar kita berkompetisi, kini saatnya
tiba, bagaimana sikap kita.” Begitu kurang lebih isinya. Saya benar-benar tak
nyaman. Sekiranya peristiwa Bali tak digugat takkan maju saya mencalonkan diri
menjadi pemum.
Mubes digelar. Saya dengan tegas menolak LPJ pemum. Ada banyak yang menjadi
dasarnya. Saya tak melihat ada pemum di kepemimpinan Zaenal, kalaupun ada itu
adalah Shemone. Saya tak melihat adanya pemus di Teknokra, kalaupun ada itu
adalah Wulan sang manajer keuangan. Saya hanya melihat adanya pemred di
kepemimpinan Zaenal, Yamin. Pengelolaan keuangan juga acak-acakan, satu edisi
tabloid terakhir tak jadi naik cetak karena miskalkulasi. Kru redaksi yang
sudah menyiapkan tulisan menjadi tak semangat. Yamin bahkan sempat kecewa. Tapi
tetap ada hikmahnya, skripsi saya tentang kasus trafficking di Lampung adalah bahan rubrik sorotan yang tak jadi
naik cetak itu.
Jajaran pemimpin kemudian keluar untuk menunggu hasil rapat mubes. LPJ
akhirnya diterima dengan catatan. Ada beberapa perbaikan yang harus
diselesaikan kepemimpinan Zaenal, salah satunya utangan satu edisi. Yamin
kemudian yang paling bertanggungjawab atas utangan tersebut.
Pemilihan Pemum Teknokra dimulai, Eva mengundurkan diri saat ditanya
kesediaan ulang. Saya kaget. Sebelum pemilihan angkatan kami berkumpul singkat.
Di rapat internal singkat itu disepakati tak ada yang mundur.
Tinggal saya dan Tur. Pemilihan dimulai. Satu persatu suara dihitung.
Posisi kami kejar-kejaran. Terakhir posisi kami sama imbang, tinggal satu
kertas suara. Pitot dan Eka terlihat tegang. Kertas suara dibuka, nama Ferry
tertulis di dalamnya. Allah menakdirkan saya menjadi Pemum Teknokra periode
2003/2004. Perasaan saya campur aduk terharu juga tak enak.
Di awal sambutan, sesaat setelah penghitungan saya menjelaskan bahwa saya
tak akan menjelaskan tentang keberangkatan ke Bali yang pernah geger di
Teknokra. Saya serahkan untuk menilai sendiri. Shemone tampak hendak memotong
tapi tak jadi melihat saya tak membahas lebih jauh.
****
Turyanto kemudian didaulat menjadi Pemimpin Redaksi, sementara jabatan
Pemimpin Usaha dipegang Eva. Saya beruntung didampingi keduanya karena
kompetensi Tur dan Eva yang tak diragukan lagi. Namun bagaimanapun sisa-sisa
kompetisi Mubes lalu masih terasa. Antara saya dan Tur seolah terbentang
dinding tebal. Eva yang biasa menjembatani komunikasi di antara kami. Menurutnya kami seperti orang yang
pacaran, saling ingin mengetahui keadaan masing-masing tapi gengsi untuk
menanyakan langsung.
Kepemimpinan kemarin menyisakan pe’er
yang berat. Kami belum bisa cetak. Ada persoalan administrasi pajak yang
menghalang. Saya ke kosan Zaenal untuk membereskan hal ini, satu dua kali ia
ada dan ikut mengurus, namun kemudian tak kelihatan lagi. Akhirnya saya, Wulan
dan Eva mengurus sendiri, bolak-balik percetakan Ganesha. Salah satu diantara
kami sempat kesal dan pernah berkata untuk tak usah mengurusi karena ini pe’er tahun lalu. Saya tahu, tapi jika
kita tak mengurusinya, maka kita tak bisa cetak.
Saya kemudian menjalankan Teknokra dengan banyak kendala. Yang memberatkan,
kendala tersebut justru datangnya dari internal. Seperti saat saya memotivasi (nama orang) magang Teknokra, ia malah
menceritakan bahwa seorang senior mengatakan saya orang yang ’tipis’. Saya
menanggapinya dengan enteng, saya memang kurus, tipis. Atau Jajaran Pemimpin misalnya
yang coba dipengaruhi bahwa saya tak pantas jadi pemum. Saya menghela nafas.
Belum lagi kebijakan yang saya buat yang selalu dikritisi. Tak membuat
kebijakan saja juga disinisi, serba salah saya. Tapi yo weislah, saya jalani saja Teknokra dengan baik dan benar.
Hubungan antara jajaran pemimpin khususnya saya dan Tur memang tak berjalan
harmonis hingga pertengahan masa kepengurusan. Tidak ada buku teori
kepemimpinan manapun yang bisa mencairkan suasana ini. Ini persoalan hati. Saya
sering berdoa di Masjid Alwasii agar hati kami kembali dicairkan, agar
perseteruan kami disudahi. Allah kemudian menjawab doa saya dengan sakit gangguan
fungsi hati yang saya derita. Satu bulan saya berbaring di sebuah rumah sakit
di Serang. Tur, Eva dan Asti datang menjenguk. Dinding tebal yang selalu
menjadi penghalang antara saya dan Tur runtuh hari itu. Sejak saat itu,
hari-hari di Teknokra tak lagi menjadi berat.
Dalam kepengurusan kami, PT. Teknokra Cendekia Utama (TCU) dirintis.
Pendirian PT TCU kemudian rampung dan resmi diluncurkan di kepengurusan
selanjutnya. PT TCU merupakan ide lama yang telah bertahun-tahun mengendap. Saya
kemudian berinisiatif untuk mendirikannya. Idenya PT tersebut menjadi semacam holding company Teknokra dan
memberdayakan alumni-alumni Teknokra. Saat itu syarat untuk mendirikan PT
adalah memiliki modal/kekayaan yang terpisah sebanyak Rp.20 juta,-. Maka saya
mencari alumni dan pengurus yang berniat menanamkan modal. Modal terkumpul
meskipun tak sampai Rp. 20 juta, sebagian lainnya berbentuk komitmen. Dua orang
pengurus turut menanam modal, saya dan Eva. Direksi dan Komisaris PT TCU
dipilih. Juwendra Asdiansyah dipilih memimpin direksi, sementara mas Budi Santoso Budiman dipercaya
memimpin jajaran komisaris.
Pada awalnya PT TCU berjalan baik, apalagi beberapa nama berpotensi ada di
dalamnya seperti Agus Sahlan Mahbub dan M Fakhruriza Pradana mantan Pemum
Teknokra, Joko Herwindo mantan layouter
dan artistik yang dikenal punya segudang ide kreatif, Asti Aini mantan
Kapuslitbang Teknokra. Salah satu proyek kegiatan yang pernah berjalan adalah
Pelatihan yang ditujukan untuk bidang Humas (Hubungan Masyarakat). Beberapa
instansi dan perusahaan tercatat mengirimkan delegasinya untuk mengikuti
pelatihan yang diadakan di Hotel Hanum Bandar Lampung. Beberapa proposal dan
pengajuan kerjasama juga pernah dijajaki ke beberapa perusahaan media seperti
Lampung TV dan lain-lain.
Namun, beberapa nama kemudian terpaksa harus mengundurkan diri dari PT.TCU.
Joko Herwindo harus terbang ke India, mendapatkan sebuah proyek pekerjaan.
Saya, Fakhruriza Pradana dan Asti harus ke Serang Banten karena diterima
sebagai akademisi di perguruan tinggi di Banten. Kondisi ini kemudian membuat
PT TCU sulit bergerak. Dalam sebuah rapat yang melibatkan jajaran direksi dan
komisaris kemudian diputuskan untuk membekukan sementara PT TCU, agar sisa
modal yang ada tidak habis untuk operasional harian kantor.
***
Satu tahun berlalu, perahu kami yang bernama Teknokra akhirnya berlabuh.
LPJ kami bacakan, dan saat menunggu keputusan diterima atau tidaknya LPJ, kami
malah makan bakso di luar ruang mubes, menikmati detik-detik akhir kebersamaan
kami. Bagi kami tak penting lagi LPJ itu diterima atau tidak, kami sudah
berproses dengan sungguh-sungguh, hasil bukan lagi urusan kami. Bakso belum
habis, kami dipanggil ke ruangan kembali. LPJ kami diterima. Erieck, salah satu
kru Teknokra mengabarkan bahwa Shemone mengirim pesan singkat dan menitipkan
salam untuk saya. Saya tersenyum. Shemone memang filsuf sejati. Apa yang
dilakukannya selalu dilandasi dasar filosofi. Di dalam hati, bagaimanapun saya harus
berterima kasih padanya. Ia telah mengingatkan dan mengajarkan saya bahwa dunia
bukanlah surga, tak semua orang senang pada kita. Dan ia telah menyampaikannya
dengan cara yang unik.
Dalam LPJ tersebut juga saya tuliskan pada Asti bahwa kita telah
mengakhirinya dengan indah, mungkin tak begitu indah, tapi tak serusak dulu.
Kami harus turun di sebuah pulau. Kapal Teknokra hanya berlabuh sebentar.
Ia harus kembali berlayar dengan nahkoda baru. Nahkoda itu bernama Abdul ’Ago’
Ghofur.
Ferry Fathurokhman, Mantan Pemimpin Umum Teknokra Periode
2003/2004.
Sekarang bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
*Dikirim ke email Udo Z Karzi tertanggal 24 September 2010 unuk Teknokra: Jejak Pers Mahasiswa
(edisi revisi)
No comments:
Post a Comment