Oleh Iwan Nurdaya-Djafar
GUBERNUR Lampung Komjen Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H., yang akrab disapa Kiay Oedin—kiay atau kiyai dalam adat Lampung Pepadun berarti "kakak lelaki yang tertua"—kerap melontarkan lelucon (joke) di dalam pidatonya. Barang siapa mendengarnya pasti dibuat tertawa, bukan saja disebabkan kekuatan leluconnya, melainkan juga terutama karena kepiawaiannya di dalam menuturkan lelucon itu. Belum lagi bahasa tubuhnya yang mampu menghidupkan lelucon yang sedang diceritakannya.
Meskipun sebagian besar pidatonya dibawakan dalam nada tinggi yang terkesan garang, ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, dan menggunakan bahasa sehari-hari yang acap kasar, tetapi selalu saja terselip lelucon di dalamnya.
Soal pangkatnya sebagai jenderal polisi bintang tiga dan jabatannya sebagai gubernur sudah bisa dikemas menjadi lelucon tersendiri di bawah tajuk "Gubernur Jenderal" berikut ini: Nama jabatan "Gubernur Jenderal" kita kenal pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebutan itu tak populer lagi dan nama jabatan itu tak lagi dikenal. Tapi, tidak demikian halnya di Provinsi Lampung, sejak Sjachroedin Z.P. terpilih sebagai gubernur. Sebelum menjadi Gubernur Lampung, Kiay Oedin adalah jenderal berbintang tiga alias komisaris jenderal polisi. Setelah itu, dia terpilih menjadi gubernur. Menurut pengakuannya, bahkan satu-satunya polisi yang berhasil menjabat gubernur sebanyak dua kali masa jabatan adalah dirinya. Karena Kiay Oedin adalah gubernur sekaligus jenderal, bolehlah kita menyebut dirinya Gubernur Jenderal.
Lelucon dalam pidato sejatinya bukanlah hal baru. Hal itu sudah mentradisi sejak lama di mana-nama, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Dengan lelucon, pidato menjadi tidak kering, tidak garing, tetapi mampu menghibur pendengarnya. Kita di Indonesia pernah punya Gus Dur yang bahkan memiliki persediaan "lelucon hari ini" sehingga tiap hari beliau punya stok lelucon yang siap dituturkan. Tradisi panjang lelucon dalam pidato itu rupanya terwarisi dan diamalkan pula oleh Kiay Oedin.
Lelucon Kiay Oedin tidaklah sekadar kembang pidato, tapi juga dimanfaatkan sebagai metode pendekatan di dalam menjelaskan hal-hal yang sulit sehingga pesan yang ingin diwartakan menjadi mudah diserap dan diterima sekaligus menghibur. Dalam lelucon "Beruk" misalnya, Kiay Oedin bukan sekadar bercerita tentang kawanan beruk yang hewani, melainkan juga bermaksud menyindir budaya kerja PNS dan para pengangguran tak kentara yang malas bekerja di perkantoran sehingga menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sembari mengobrol dan merokok. Berikut ini saya coba menuangkannya dalam bentuk transkripsi:
Lingkungan sekitar kita sudah rusak. Sekarang sudah sulit menemukan kawanan beruk. Dulu, kata Kiay Oedin, dengan mudah kita menemukan kawanan beruk di sekitar perkebunan di pinggir kota dan bermain-main dengan damai di jalan raya. "Sekarang, kawanan beruk itu sudah masuk kota. Mereka duduk-duduk sembari merokok di perkantoran. Ada yang menjadi wartawan bodrek. Ada juga yang ikut unjuk rasa atau cari proyek di kantor-kantor," tandas Kiay Oedin.
Humor juga efektif sebagai kritik. Kritik sosial yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana. Lain ceritanya jika dikemas dalam bentuk humor, tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakannya sama sekali tidak bertanggung jawab. Tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab kolektif dan dengan demikian kolektif yang bertanggung jawab. Efektivitas humor sebagai kritik juga dimanfaatkan Kiay Oedin untuk melakukan kritik terhadap pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, Bandar Lampung, berikut ini yang dalam versi tulisan saya beri judul "Mati Prematur":
Dua orang mengalami mati prematur alias mati terlalu cepat dibanding waktu ajal yang telah ditetapkan buat mereka. Di akhirat, keduanya mencari tempat apakah mendapat jatah tinggal di neraka atau di surga. A mencari namanya di neraka namun tidak ada, begitu pula B mencari namanya di surga juga tidak ada. Akhirnya, keduanya bertemu di tengah-tengah, di antara surga dan neraka. Keduanya yang memang saling kenal saling bertanya tinggal di mana, namun keduanya tak mengetahuinya karena nama mereka tidak ada di neraka maupun di surga.
Lantas keduanya bertanya kepada Malaikat Maut. Malaikat Maut bertanya kapan mereka meninggal dunia? A menjawab kemarin, dan B menjawab dua hari lalu. Lalu Malaikat Maut membuka Buku Daftar Cabut Nyawa dan merasa heran karena menurut buku itu seharusnya keduanya baru mati tahun depan. Keduanya tentu saja merasa heran ketika diberitahukan hal itu oleh Malaikat Maut. Selidik punya selidik rupanya mereka mati prematur karena selama sakit berobat dan dirawat di Rumah Sakit Abdul Muluk, Bandarlampung. “Pelayanan buruk rumah sakit itu yang membuat kalian berdua mati prematur,” tandas Malaikat Maut.
Humor sebagai salah satu sumber rasa gembira mungkin sudah menyatu dengan kelahiran manusia itu sendiri. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982) dikatakan "humor itu kualitas untuk mengimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilan atau ketidakpantasan yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan nan halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup nan iba dengan sikap simpatik."
Menurut Dr. Sudjoko, humor bisa berfungsi untuk melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan di segala bidang. Humor dapat menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar dan mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut. Humor dapat menghibur dan melancarkan pikiran serta meningkatkan kecerdasan orang. Selain itu, humor dapat membuat orang menoleransi sesuatu dan membuat orang memahami soal yang pelik.
Beberapa fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita, di antaranya fungsi pembijaksanaan orang dan penyegaran yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama. Fungsi itu bisa kita lihat pada peranan punakawan di dalam pertunjukan wayang, yang muncul hanya untuk menyegarkan.
Menurut Prof. James Danandjaja, fungsi humor yang paling menonjol, yaitu sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. Perasaan itu bisa disebabkan macam-macam hal, seperti ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, seks, atau kebebasan menyatakan pendapat. Jika terdapat ketidakadilan sosial biasanya timbul humor yang berupa protes sosial atau kekangan seks menimbulkan humor mengenai seks.
Fungsi lain humor adalah sebagai rekreasi dan menanamkan nilai-nilai budaya atau menanamkan indoktrinasi dan pandangan serta gagasan. Menurut Gus Dur yang humoris berat, melalui humor kehidupan masyarakat akan sehat. Tanpa humor malah lebih berbahaya dibanding bahaya dari humornya sendiri. Sementara itu, Taufik Abdullah berpendapat bahwa humor bisa berfungsi sebagai cultural pillow, semacam bantal kebudayaan, sehingga orang jatuh di tempat yang empuk. Jika jatuh pun terasa tidak terlalu sakit.
Masyarakat Indonesia dewasa ini, termasuk masyarakat Lampung, sudah kehilangan rasa humor lantaran terimpit masalah, tidak menjaga jarak. Padahal, dengan berhumor masalah bisa ditekan dan diarahkan ke yang lucu. Kita perlu menghindar dari keterlibatan langsung dengan masalah. Tapi bukan lari dari masalah, melainkan untuk mengamatinya secara lebih teliti. Dengan berhumor berarti catatan tentang adanya masalah, kemudian membenahi sikap dan perspektif kita terhadap masalah tersebut. Inilah inti humor. Jika ini sudah tidak berfungsi, berarti orang hanya punya satu jalan kepada masalah, yaitu menolak atau menerima. Kalau dia menolak, berarti dia lari, dia tutup masalah itu. Ini tidak realistis. Dia menjadi utopis. Sebaliknya jika dia menerima, berarti dia putus asa dan tidak melihat adanya kemungkinan memperbaiki lagi. Itu berbahaya sekali. Sebab, kalau itu sudah merupakan kesadaran kolektif, maka apatisme yang muncul.
Bila diamati, melalui lelucon-leluconnya Kiay Oedin berhasil menghindar dari keterlibatan langsung dengan masalah dan mengarahkannya ke yang lucu seperti tampak pada lelucon tentang Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek tadi.
Sebagai politisi yang menjabat Gubernur Lampung, Kiay Oedin sadar benar bahwa sewaktu-waktu dia bisa jatuh dari jabatan gubernur. Dalam sebuah pidatonya dia menandaskan bahwa kepala daerah bisa jatuh dari jabatannya karena tiga hal, yaitu terlibat kasus korupsi, mengundurkan diri, dan meninggal dunia. Kita tidak berharap Kiay Oedin jatuh dari jabatannya karena ketiga hal itu.
Terhadap faktor mengundurkan diri, jelas dia tidak mau mengundurkan diri seperti ditandaskan dalam pidatonya saat melantik Bupati Lampung Timur Erwin Arifin beberapa waktu lalu. Tapi, seandainya hal itu terjadi, maka demi menyelamatkan Provinsi Lampung harus disiapkan “humor paling gerr” sebagai bantal kebudayaan sehingga Kiay Oedin bisa jatuh dengan empuk dan karenanya tak terlalu sakit. Kemampuan kita menyiapkan bantal kebudayaan buat Kiay Oedin ini akan ikut menyelamatkan Provinsi Lampung.
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
GUBERNUR Lampung Komjen Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H., yang akrab disapa Kiay Oedin—kiay atau kiyai dalam adat Lampung Pepadun berarti "kakak lelaki yang tertua"—kerap melontarkan lelucon (joke) di dalam pidatonya. Barang siapa mendengarnya pasti dibuat tertawa, bukan saja disebabkan kekuatan leluconnya, melainkan juga terutama karena kepiawaiannya di dalam menuturkan lelucon itu. Belum lagi bahasa tubuhnya yang mampu menghidupkan lelucon yang sedang diceritakannya.
Meskipun sebagian besar pidatonya dibawakan dalam nada tinggi yang terkesan garang, ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, dan menggunakan bahasa sehari-hari yang acap kasar, tetapi selalu saja terselip lelucon di dalamnya.
Soal pangkatnya sebagai jenderal polisi bintang tiga dan jabatannya sebagai gubernur sudah bisa dikemas menjadi lelucon tersendiri di bawah tajuk "Gubernur Jenderal" berikut ini: Nama jabatan "Gubernur Jenderal" kita kenal pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebutan itu tak populer lagi dan nama jabatan itu tak lagi dikenal. Tapi, tidak demikian halnya di Provinsi Lampung, sejak Sjachroedin Z.P. terpilih sebagai gubernur. Sebelum menjadi Gubernur Lampung, Kiay Oedin adalah jenderal berbintang tiga alias komisaris jenderal polisi. Setelah itu, dia terpilih menjadi gubernur. Menurut pengakuannya, bahkan satu-satunya polisi yang berhasil menjabat gubernur sebanyak dua kali masa jabatan adalah dirinya. Karena Kiay Oedin adalah gubernur sekaligus jenderal, bolehlah kita menyebut dirinya Gubernur Jenderal.
Lelucon dalam pidato sejatinya bukanlah hal baru. Hal itu sudah mentradisi sejak lama di mana-nama, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Dengan lelucon, pidato menjadi tidak kering, tidak garing, tetapi mampu menghibur pendengarnya. Kita di Indonesia pernah punya Gus Dur yang bahkan memiliki persediaan "lelucon hari ini" sehingga tiap hari beliau punya stok lelucon yang siap dituturkan. Tradisi panjang lelucon dalam pidato itu rupanya terwarisi dan diamalkan pula oleh Kiay Oedin.
Lelucon Kiay Oedin tidaklah sekadar kembang pidato, tapi juga dimanfaatkan sebagai metode pendekatan di dalam menjelaskan hal-hal yang sulit sehingga pesan yang ingin diwartakan menjadi mudah diserap dan diterima sekaligus menghibur. Dalam lelucon "Beruk" misalnya, Kiay Oedin bukan sekadar bercerita tentang kawanan beruk yang hewani, melainkan juga bermaksud menyindir budaya kerja PNS dan para pengangguran tak kentara yang malas bekerja di perkantoran sehingga menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sembari mengobrol dan merokok. Berikut ini saya coba menuangkannya dalam bentuk transkripsi:
Lingkungan sekitar kita sudah rusak. Sekarang sudah sulit menemukan kawanan beruk. Dulu, kata Kiay Oedin, dengan mudah kita menemukan kawanan beruk di sekitar perkebunan di pinggir kota dan bermain-main dengan damai di jalan raya. "Sekarang, kawanan beruk itu sudah masuk kota. Mereka duduk-duduk sembari merokok di perkantoran. Ada yang menjadi wartawan bodrek. Ada juga yang ikut unjuk rasa atau cari proyek di kantor-kantor," tandas Kiay Oedin.
Humor juga efektif sebagai kritik. Kritik sosial yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana. Lain ceritanya jika dikemas dalam bentuk humor, tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakannya sama sekali tidak bertanggung jawab. Tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab kolektif dan dengan demikian kolektif yang bertanggung jawab. Efektivitas humor sebagai kritik juga dimanfaatkan Kiay Oedin untuk melakukan kritik terhadap pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, Bandar Lampung, berikut ini yang dalam versi tulisan saya beri judul "Mati Prematur":
Dua orang mengalami mati prematur alias mati terlalu cepat dibanding waktu ajal yang telah ditetapkan buat mereka. Di akhirat, keduanya mencari tempat apakah mendapat jatah tinggal di neraka atau di surga. A mencari namanya di neraka namun tidak ada, begitu pula B mencari namanya di surga juga tidak ada. Akhirnya, keduanya bertemu di tengah-tengah, di antara surga dan neraka. Keduanya yang memang saling kenal saling bertanya tinggal di mana, namun keduanya tak mengetahuinya karena nama mereka tidak ada di neraka maupun di surga.
Lantas keduanya bertanya kepada Malaikat Maut. Malaikat Maut bertanya kapan mereka meninggal dunia? A menjawab kemarin, dan B menjawab dua hari lalu. Lalu Malaikat Maut membuka Buku Daftar Cabut Nyawa dan merasa heran karena menurut buku itu seharusnya keduanya baru mati tahun depan. Keduanya tentu saja merasa heran ketika diberitahukan hal itu oleh Malaikat Maut. Selidik punya selidik rupanya mereka mati prematur karena selama sakit berobat dan dirawat di Rumah Sakit Abdul Muluk, Bandarlampung. “Pelayanan buruk rumah sakit itu yang membuat kalian berdua mati prematur,” tandas Malaikat Maut.
Humor sebagai salah satu sumber rasa gembira mungkin sudah menyatu dengan kelahiran manusia itu sendiri. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982) dikatakan "humor itu kualitas untuk mengimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilan atau ketidakpantasan yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan nan halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup nan iba dengan sikap simpatik."
Menurut Dr. Sudjoko, humor bisa berfungsi untuk melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan di segala bidang. Humor dapat menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar dan mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut. Humor dapat menghibur dan melancarkan pikiran serta meningkatkan kecerdasan orang. Selain itu, humor dapat membuat orang menoleransi sesuatu dan membuat orang memahami soal yang pelik.
Beberapa fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita, di antaranya fungsi pembijaksanaan orang dan penyegaran yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama. Fungsi itu bisa kita lihat pada peranan punakawan di dalam pertunjukan wayang, yang muncul hanya untuk menyegarkan.
Menurut Prof. James Danandjaja, fungsi humor yang paling menonjol, yaitu sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. Perasaan itu bisa disebabkan macam-macam hal, seperti ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, seks, atau kebebasan menyatakan pendapat. Jika terdapat ketidakadilan sosial biasanya timbul humor yang berupa protes sosial atau kekangan seks menimbulkan humor mengenai seks.
Fungsi lain humor adalah sebagai rekreasi dan menanamkan nilai-nilai budaya atau menanamkan indoktrinasi dan pandangan serta gagasan. Menurut Gus Dur yang humoris berat, melalui humor kehidupan masyarakat akan sehat. Tanpa humor malah lebih berbahaya dibanding bahaya dari humornya sendiri. Sementara itu, Taufik Abdullah berpendapat bahwa humor bisa berfungsi sebagai cultural pillow, semacam bantal kebudayaan, sehingga orang jatuh di tempat yang empuk. Jika jatuh pun terasa tidak terlalu sakit.
Masyarakat Indonesia dewasa ini, termasuk masyarakat Lampung, sudah kehilangan rasa humor lantaran terimpit masalah, tidak menjaga jarak. Padahal, dengan berhumor masalah bisa ditekan dan diarahkan ke yang lucu. Kita perlu menghindar dari keterlibatan langsung dengan masalah. Tapi bukan lari dari masalah, melainkan untuk mengamatinya secara lebih teliti. Dengan berhumor berarti catatan tentang adanya masalah, kemudian membenahi sikap dan perspektif kita terhadap masalah tersebut. Inilah inti humor. Jika ini sudah tidak berfungsi, berarti orang hanya punya satu jalan kepada masalah, yaitu menolak atau menerima. Kalau dia menolak, berarti dia lari, dia tutup masalah itu. Ini tidak realistis. Dia menjadi utopis. Sebaliknya jika dia menerima, berarti dia putus asa dan tidak melihat adanya kemungkinan memperbaiki lagi. Itu berbahaya sekali. Sebab, kalau itu sudah merupakan kesadaran kolektif, maka apatisme yang muncul.
Bila diamati, melalui lelucon-leluconnya Kiay Oedin berhasil menghindar dari keterlibatan langsung dengan masalah dan mengarahkannya ke yang lucu seperti tampak pada lelucon tentang Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek tadi.
Sebagai politisi yang menjabat Gubernur Lampung, Kiay Oedin sadar benar bahwa sewaktu-waktu dia bisa jatuh dari jabatan gubernur. Dalam sebuah pidatonya dia menandaskan bahwa kepala daerah bisa jatuh dari jabatannya karena tiga hal, yaitu terlibat kasus korupsi, mengundurkan diri, dan meninggal dunia. Kita tidak berharap Kiay Oedin jatuh dari jabatannya karena ketiga hal itu.
Terhadap faktor mengundurkan diri, jelas dia tidak mau mengundurkan diri seperti ditandaskan dalam pidatonya saat melantik Bupati Lampung Timur Erwin Arifin beberapa waktu lalu. Tapi, seandainya hal itu terjadi, maka demi menyelamatkan Provinsi Lampung harus disiapkan “humor paling gerr” sebagai bantal kebudayaan sehingga Kiay Oedin bisa jatuh dengan empuk dan karenanya tak terlalu sakit. Kemampuan kita menyiapkan bantal kebudayaan buat Kiay Oedin ini akan ikut menyelamatkan Provinsi Lampung.
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
No comments:
Post a Comment