KEDAMAIAN di Desa Wira Bangun di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, tiba-tiba terusik. Sebanyak empat warga meregang nyawa di desa ini menyusul bentrokan warga antarkampung, Kamis (25/11) sore. Ironisnya, pemicunya sangat sepele: pencurian dan sabung ayam.
Tidak hanya itu. Ratusan bahkan ribuan warga di desa yang terletak di perbatasan Lampung-Sumatera Selatan ini kini dihinggapi perasaan mawas diri yang luar biasa. Sebagian warga hingga Minggu (28/11) sore masih enggan kembali ke rumahnya karena takut serangan susulan dari warga kampung seberang.
Puluhan rumah ditinggalkan kosong begitu saja. Tidak sedikit yang pintunya tidak terkunci. Di Dusun Lk I, II, dan III, misalnya, kaca-kaca rumah terlihat pecah. Beling-beling berserakan di depan rumah.
Sepi, tetapi mencekam. Kondisi desa yang berpenduduk sekitar 6.000 jiwa ini mendadak menjadi ”kota mati”. Nyaris tak ada aktivitas penghuni. Hanya segelintir orang dewasa yang tampak lalu-lalang menggunakan motor untuk patroli desa. Beberapa di antara mereka menggenggam pedang, segelintir lagi menyelipkan senjata api atau bedil di pinggangnya.
”Ini mau lihat keluarga dulu di pengungsian. Sampai sekarang masih waswas, takutnya ada serangan susulan,” kata Elang (40), salah seorang warga Desa Wira Bangun yang menggenggam sebilah pedang berukuran panjang 0,7 meter.
Ia pun sempat bercerita soal bentrokan berdarah yang terjadi pada Kamis sore pekan lalu itu. ”Saat itu, saya lagi tertidur, tahu-tahu ada ramai-ramai. Saya keluar rumah dan di depan sudah ada banyak orang. Ada yang bawa golok dan juga locok (senjata rakitan),” ujar Elang.
Tanpa berpikir panjang, dia pun lari meninggalkan massa yang berjumlah ratusan itu. ”Tembak saja, tembak saja,” ujarnya menirukan suara teriakan massa yang mengejarnya pada saat itu. Ia pun sempat bingung tak tahu arah lari sehingga tersasar di ladang tanaman karet dan jati milik warga.
”Gila, mereka membabi buta. Ada orang main bacok saja, tak lagi lihat-lihat,” ujar Rawi (40), warga lainnya yang baru saja tinggal di Wira Bangun dengan nada terbata-bata. Warga asal Lampung Timur yang berprofesi sebagai guru ini mengaku ciut nyali melihat kejadian itu.
Kakek petani tewas
Nyawa seolah tidak berharga, tidak lebih berharga dari seekor ayam sekalipun. Buktinya, dalam kurang dari empat jam, empat nyawa meregang. Salah satu korban adalah Tumijan (60), kakek asal Dusun Lk III, Desa Wira Bangun, yang baru pulang dari ladangnya tewas dibacok kawanan pemuda asal Pematang Panggang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang kalap.
Hal sepele
Berdasarkan keterangan warga dan polisi, pemicu dari bentrokan berdarah yang terparah di Lampung dalam beberapa tahun terakhir ini ternyata sangat sepele, yaitu pencurian ayam jago milik Sulianto, warga Dusun Lk V, Desa Wira Bangun, untuk sabung ayam.
Kisah tragis ini bermula dari tertangkapnya Hasan, warga Kecamatan Pematang Panggang. Kebetulan daerah ini berbatasan langsung dan hanya dipisah sebuah sungai sehingga mobilitas penduduk kedua kampung di perbatasan ini biasa terjadi.
Hasan diduga hendak mencuri ayam jago milik Sulianto dengan modus sabung ayam. Menurut Asep (28), warga Wira Bangun, Hasan diketahui memang pembuat onar, salah satunya sering mencuri dan menyabung ayam. Hasan kemudian terlibat cekcok dengan Sulianto.
Tidak terima dituduh mencuri, Hasan dan temannya lalu membacok Sulianto dan kabur. Mereka lalu dipergoki warga yang marah kemudian menghajarnya hingga tewas. Para pemuda Pematang Panggang tidak terima atas tewasnya putra Kepala Desa Rejo Binangun, Ogan Komering Ilir, ini. Mereka lalu balas dendam dan menyerang warga Wira Bangun.
Sukinah (70), mertua Sulianto, sangat terkejut dengan kabar kematian menantunya. Bahkan, hingga kini, ia tidak mengetahui penyebabnya dibunuh. Dia pun terpaksa mengungsi bersama ratusan warga lainnya di MTs Darul Falah Al-Amin, Desa Wira Bangun.
Bentrokan berdarah kedua kampung ternyata bukan kali pertama terjadi. Pada 2003, sempat terjadi konflik serupa. Tiga warga dari kedua belah pihak tewas. Pemicunya, lagi-lagi akibat main hakim menyusul kasus pencurian seekor kambing.
Hukum seolah tidak berdaya di wilayah ini. Main hakim adalah pilihan akhir warga yang frustrasi terhadap penegakan hukum di sini. ”Percuma dilaporkan. Yang ada kambuh terus dan makin banyak yang berbuat,” tutur Asep tentang alasan warga tak melaporkan ke polisi atas dugaan adanya pencurian.
Polisi diduga ikut tidak berdaya. Pematang Panggang dan daerah perbatasan Ogan Komering Ilir-Mesuji dikenal sebagai ”pusat” perakitan senjata api. Warga setempat juga tidak jarang terlibat dalam rangkaian tindakan kekerasan macam begal dan perampokan.
Selain lemahnya penegakan hukum, warga juga ”frustrasi” oleh kebijakan pembangunan di daerah itu. Fasilitas air bersih dan listrik belum masuk. Jalan pun masih buruk. Pada saat kejadian, baik kepala desa maupun camat tidak hadir di lokasi.
Pada saat sendi-sendiri negara, yaitu penegakan hukum dan pemerintah, tidak hadir, warga pun marah dan kecewa. Main hakim sendiri menjadi puncak kekesalan.
(Yulvianus Harjono)
Sumber: Kompas, Selasa, 30 November 2010
No comments:
Post a Comment