Oleh Iwan Nurdaya-Djafar
DPRD Bandar Lampung tengah mengambil peran inisiatif untuk menyesuaikan lambang daerah Kota Bandar Lampung dengan merevisi Peraturan Daerah No. 15 Tahun 1984 tentang Lambang dan Panji-Panji Daerah.
Untuk itu, dilaksanakanlah sayembara lambang daerah Kota Bandar Lampung yang berlangsung dari tanggal 11 Januari--21 Januari 2012 untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menggagas lambang daerah tersebut.
Mencermati isi pengumuman sayembara yang memuat sembilan ketentuan, tak satu pun yang memberikan arahan atau kisi-kisi mengenai unsur-unsur yang mesti tercantum dalam lambang daerah Bandar Lampung. Hanya saja, pada ketentuan keempat ditegaskan bahwa peserta wajib memberi narasi atau penjelasan arti lambang dan panji-panji daerah secara terperinci.
Sementara pada ketentuan kedelapan disebutkan bahwa lambang dan panji-panji yang telah ditetapkan sebagai pemenang menjadi milik Pemkot Bandar Lampung dan panitia berhak mengubah dan akan disesuaikan untuk menjadi lambang dan panji-panji yang akan dimuat dalam perda. Ini berarti peserta sayembara diberikan keleluasaan amat besar untuk menggagas lambang daerah.
Absennya unsur-unsur yang mesti tercantum dalam lambang daerah bukan mustahil justru akan kontraproduktif untuk sayembara itu sendiri karena belum tentu peserta sayembara mengerti apa yang dimaksud dengan lambang daerah. Oleh karena itu, penulis terpanggil untuk mengarahkan konsep lambang daerah yang sedang disayembarakan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bukan Simbol Kedaulatan
Secara yuridis, lambang daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah (Lembaran Negara tahun 2007 No.161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4790). Lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat daerah yang mencerminkan kekhasan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 4). Lambang daerah bukan hanya meliputi logo seperti disebutkan panitia, melainkan juga meliputi bendera; bendera jabatan kepala daerah; dan himne (Pasal 2).
Lambang daerah berkedudukan sebagai tanda identitas daerah dan berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam NKRI. Sungguhpun demikian, lambang daerah bukanlah simbol kedaulatan daerah.
Mengenai desain logo daerah, berdasarkan Pasal 6 Ayat (2), desain logo daerah disesuaikan dengan isi logo yang menggambarkan potensi daerah, harapan masyarakat daerah, serta semboyan untuk mewujudkan harapan tersebut. Aturan ini kiranya sangat penting untuk diperhatikan oleh peserta sayembara sehingga desain yang dibuatnya tidak melenceng dari aturan mengenai desain logo daerah.
Di samping itu, desain logo tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo daerah lain, partai politik, organisasi kemasyarakatan, atau negara lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan terhadap lambang institusi atau kelembagaan pemerintah daerah maupun organisasi kemasyarakatan dan partai politik di daerah. Begitu pula terhadap desain logo negara lain yang dilindungi peraturan perundang-undangan.
Desain logo juga tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam NKRI.
Misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan gerakan separatis di Papua, serta bendera benang raja yang digunakan gerakan separatis di Maluku.
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewajiban antara lain melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, dan melestarikan nilai sosial budaya dalam NKRI.
Citra Masa Depan
Pelestarian nilai sosial budaya masyarakat daerah antara lain direfleksikan dalam lambang daerah sebagai tanda identitas daerah dalam NKRI. Sebagai tanda identitas, lambang daerah menggambarkan potensi daerah, harapan masyarakat daerah, dan semboyan yang melukiskan semangat untuk mewujudkan harapan dimaksud.
Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 perlu dijadikan rujukan dan pedoman bagi pemerintah daerah dan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia dalam membuat lambang daerah. Dengan demikian, meskipun diberi keleluasaan yang besar, peserta sayembara tetaplah mesti merujuk dan mempedomani Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 tersebut.
Penulis juga ingin menyarankan agar di dalam membuat lambang daerah, para peserta dan panitia tidak berorientasi ke masa silam seraya merayakan kerinduan nostalgik. Sebaliknya, menampilkan citra masa depan.
Jika dipandang perlu, berilah pemaknaan baru atas nilai-nilai sosial budaya masyarakat Lampung masa lalu sesuai dengan derap dan panggilan zaman sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Karena hidup bergerak ke depan, bukan mundur ke masa silam!
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Januari 2012
No comments:
Post a Comment