Oleh Oki Hajiansyah Wahab
KEDUA belah pihak yang bertikai sepakat berdamai, demikian petikan berita dari sebuah media online. Sebuah hal melegakan bagi semua pihak, kesepakatan berdamai meskipun tidak otomatis membahagiakan semua pihak setidaknya dapat menurunkan tensi ketegangan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini merupakan langkah awal menuju pembangunan perdamaian yang genuine. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa perdamaian tidak semata-mata bergantung pada persepakatan tapi sebuah proses.
Penulis menekankan kata genuine dengan merujuk kepada keterlibatan masyarakat di level akar rumput dalam proses perdamaian. Pengalaman dari berbagai konflik mengajarkan kita bahwa perdamaian di level elite tidak serta merta menjamin proses berdamaian berjalan langgeng. Konflik di Lamsel menunjukkan bahwa perspektif pemerintah dalam penanganan konflik masih bersifat reaktif dan parsial. Akibatnya pemerintah kembali menjadi "pemadam kebakaran". Lebih jauh, penanganan persoalan pascakonflik yang tidak tuntas acap menjadi permasalahan baru yang dapat meningkatkan eskalasi konflik di masa mendatang.
Wertheim, seorang sosiolog dalam bukunnya Elite dan Massa telah mengingatkan kita tentang perlakuan elite terhadap rakyat. Sadar atau tak sadar para elite sering mengabaikan dan menyingkirkan keberadaan rakyat di level akar rumput. Para elite secara sadar maupun tak sadar serig menganggap rakyat dan kaum yang paling miskin dianggap sebagai ?orang biasa yang tak perlu dianggap penting dan massa rakyat yang bodoh dan tak tahu apa-apa?. Karenanya, Wertheim mengingatkan pentingnya untuk mengkaji dan memahami massa rakyat dengan cara yang empatik dan partisipasitoris.
Problem terbesar yang sering muncul dalam penanganan konflik adalah sering penanganan konflik dilakukan sebagai tindakan reaktif, bukan antisipatif. Hal yang kurang mendapat perhatian adalah penanganan pascakonflik dan pembangunan perdamaian yang terintegrasi dengan pembangunan mekanisme antisipasi. Kita kurang menaruh perhatian pada proses rekonsiliasi, pembangunan kepercayaan, dan pembangunan perspektif bersama di masa depan. Akibatnya konflik dengan mudah terulang.
Peran Akar Rumput
Proses rekonsiliasi adalah upaya membangun dan memperbaiki komunikasi serta memaksimalkan sikap saling memahami. Proses komunikasi dan mediasi yang efektif dibutuhkan untuk melakukan transformasi konflik pada level elite dan akar rumput. Pembangunan perdamaian yang genuine sesungguhnya dilakukan di semua tingkat masyarakat dan melibatkan orang-orang yang hidupnya dipengaruhi oleh konflik (Marshall 2000:4).
Hakikat dari rekonsiliasi adalah inisiatif secara sukarela pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengakui pertangung jawaban mereka dan kesalahannya. Membangun dialog adalah salah satu cara untuk mengerti dan memahami pihak lain lebih dalam. Proses pembangunan perdamaian berbasis komunitas dan keadilan restoratif (community-based restorative justice processess) perlu dikembangkan dalam konteks pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Ichsan Malik, seorang pakar perdamaian dan penulis buku Bakubae: Gerakan dari Akar Rumput untuk Penghentian Kekerasan di Maluku mempromosikan dialog sebagai upaya mentransformasi konflik di level akar rumput. Lewat buku ini, Ichsan menjelaskan pengalaman masyarakat di berbagai wilayah konflik yang secara swadaya berupaya sekuat tenaga untuk kembali merajut perdamaian di wilayah pascakonflik. Dengan sumber daya dan keterbatasan yang dimiliki, mereka tak henti untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materi dalam proses pembangunan perdamaian.
Ichsan memberikan contoh upaya dan peran masyarakat akar rumput di Desa Malei Lage, Poso, yang komposisi agama masyarakatnya berimbang antara muslim dan kristen. Mereka membangun ?Perjanjian Malei?, yakni kesepakatan bersama untuk tidak terlibat dalam konflik di Poso saat itu disertai dengan upaya menghalau siapa pun yang masuk dari luar desa mereka untuk memprovokasi ataupun melakukan penyerangan.
Lalu, di mana peran pemerintah? Dalam konteks ini pemerintah memosisikan diri sebagai fasilitator proses-proses perdamaian yang digagas masyarakat akar rumput. Proses semacam ini tentu saja hanya dapat dibangun dengan program-program konkret yang melibatkan kedua belah pihak. Lewat proses ini perdamaian tidak hanya menjadi sesuatu yang bernilai simbolik tapi terinternalisasi dalam kehidupan sosial. Dalam konteks inilah pemerintah memberikan effort, berdiri sebagai fasilitator sekaligus supporter atas inisiatif yang berkembang di akar rumput.
Apakah ini hal yang abstrak? cerita sukses pembangunan perdamaian berbasis komunitas sebenarnya dapat ditemukan diberbagai tempat di muka bumi. Ichsan, misalnya, menggambarkan mekanisme pertemuan rutin, pembentukan tim kerja bersama dan pembangunan pasar rekonsiliasi sebagai media pertemuan antarkomunitas. Di Filipina Selatan, misalnya, peran dan concern pemerintah setempat sebagai fasilitator dilakukan dengan mendukung pekan maupun karnaval perdamaian, memberikan bantuan pada kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang notabene awalnya berkonflik.
Kombinasi inisiasi masyarakat di level akar rumput dan intervensi pemerintah menjadi pembelajaran berharga dalam mengelola konflik. Mendorong proses perdamaian di tingkat komunitas maupun akar rumput dengan mekanisme yang efektif dan kontekstual dengan komunitas adalah langkah yang strategis dalam upaya pembangunan perdamaian. Proses perdamaian di tingkat akar rumput ini sekaligus menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk mengelola konflik sekaligus membangun sistem penanganan dini dan tindakan antisipatif lainnya dalam mencegah meletupnya konflik di masa yang akan datang.
Kita menyadari bahwa mekanisme partisipasi yang mengacu pada media-media yang build in dalam keseharian masyarakat?misalnya yang terwujud dalam seni, agama, budaya, dan lain-lain?belumlah terkelola dengan baik. Kita harus senantiasa optimistis bahwa tingkat keragaman etnis dan agama dan peran akar rumput yang ada di di Lampung merupakan sumber kekuatan untuk pembangunan perdamaian.
Oki Hajiansyah Wahab, Alumnus Mindanao Peace Building Instititute
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012
KEDUA belah pihak yang bertikai sepakat berdamai, demikian petikan berita dari sebuah media online. Sebuah hal melegakan bagi semua pihak, kesepakatan berdamai meskipun tidak otomatis membahagiakan semua pihak setidaknya dapat menurunkan tensi ketegangan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini merupakan langkah awal menuju pembangunan perdamaian yang genuine. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa perdamaian tidak semata-mata bergantung pada persepakatan tapi sebuah proses.
Penulis menekankan kata genuine dengan merujuk kepada keterlibatan masyarakat di level akar rumput dalam proses perdamaian. Pengalaman dari berbagai konflik mengajarkan kita bahwa perdamaian di level elite tidak serta merta menjamin proses berdamaian berjalan langgeng. Konflik di Lamsel menunjukkan bahwa perspektif pemerintah dalam penanganan konflik masih bersifat reaktif dan parsial. Akibatnya pemerintah kembali menjadi "pemadam kebakaran". Lebih jauh, penanganan persoalan pascakonflik yang tidak tuntas acap menjadi permasalahan baru yang dapat meningkatkan eskalasi konflik di masa mendatang.
Wertheim, seorang sosiolog dalam bukunnya Elite dan Massa telah mengingatkan kita tentang perlakuan elite terhadap rakyat. Sadar atau tak sadar para elite sering mengabaikan dan menyingkirkan keberadaan rakyat di level akar rumput. Para elite secara sadar maupun tak sadar serig menganggap rakyat dan kaum yang paling miskin dianggap sebagai ?orang biasa yang tak perlu dianggap penting dan massa rakyat yang bodoh dan tak tahu apa-apa?. Karenanya, Wertheim mengingatkan pentingnya untuk mengkaji dan memahami massa rakyat dengan cara yang empatik dan partisipasitoris.
Problem terbesar yang sering muncul dalam penanganan konflik adalah sering penanganan konflik dilakukan sebagai tindakan reaktif, bukan antisipatif. Hal yang kurang mendapat perhatian adalah penanganan pascakonflik dan pembangunan perdamaian yang terintegrasi dengan pembangunan mekanisme antisipasi. Kita kurang menaruh perhatian pada proses rekonsiliasi, pembangunan kepercayaan, dan pembangunan perspektif bersama di masa depan. Akibatnya konflik dengan mudah terulang.
Peran Akar Rumput
Proses rekonsiliasi adalah upaya membangun dan memperbaiki komunikasi serta memaksimalkan sikap saling memahami. Proses komunikasi dan mediasi yang efektif dibutuhkan untuk melakukan transformasi konflik pada level elite dan akar rumput. Pembangunan perdamaian yang genuine sesungguhnya dilakukan di semua tingkat masyarakat dan melibatkan orang-orang yang hidupnya dipengaruhi oleh konflik (Marshall 2000:4).
Hakikat dari rekonsiliasi adalah inisiatif secara sukarela pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengakui pertangung jawaban mereka dan kesalahannya. Membangun dialog adalah salah satu cara untuk mengerti dan memahami pihak lain lebih dalam. Proses pembangunan perdamaian berbasis komunitas dan keadilan restoratif (community-based restorative justice processess) perlu dikembangkan dalam konteks pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Ichsan Malik, seorang pakar perdamaian dan penulis buku Bakubae: Gerakan dari Akar Rumput untuk Penghentian Kekerasan di Maluku mempromosikan dialog sebagai upaya mentransformasi konflik di level akar rumput. Lewat buku ini, Ichsan menjelaskan pengalaman masyarakat di berbagai wilayah konflik yang secara swadaya berupaya sekuat tenaga untuk kembali merajut perdamaian di wilayah pascakonflik. Dengan sumber daya dan keterbatasan yang dimiliki, mereka tak henti untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materi dalam proses pembangunan perdamaian.
Ichsan memberikan contoh upaya dan peran masyarakat akar rumput di Desa Malei Lage, Poso, yang komposisi agama masyarakatnya berimbang antara muslim dan kristen. Mereka membangun ?Perjanjian Malei?, yakni kesepakatan bersama untuk tidak terlibat dalam konflik di Poso saat itu disertai dengan upaya menghalau siapa pun yang masuk dari luar desa mereka untuk memprovokasi ataupun melakukan penyerangan.
Lalu, di mana peran pemerintah? Dalam konteks ini pemerintah memosisikan diri sebagai fasilitator proses-proses perdamaian yang digagas masyarakat akar rumput. Proses semacam ini tentu saja hanya dapat dibangun dengan program-program konkret yang melibatkan kedua belah pihak. Lewat proses ini perdamaian tidak hanya menjadi sesuatu yang bernilai simbolik tapi terinternalisasi dalam kehidupan sosial. Dalam konteks inilah pemerintah memberikan effort, berdiri sebagai fasilitator sekaligus supporter atas inisiatif yang berkembang di akar rumput.
Apakah ini hal yang abstrak? cerita sukses pembangunan perdamaian berbasis komunitas sebenarnya dapat ditemukan diberbagai tempat di muka bumi. Ichsan, misalnya, menggambarkan mekanisme pertemuan rutin, pembentukan tim kerja bersama dan pembangunan pasar rekonsiliasi sebagai media pertemuan antarkomunitas. Di Filipina Selatan, misalnya, peran dan concern pemerintah setempat sebagai fasilitator dilakukan dengan mendukung pekan maupun karnaval perdamaian, memberikan bantuan pada kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang notabene awalnya berkonflik.
Kombinasi inisiasi masyarakat di level akar rumput dan intervensi pemerintah menjadi pembelajaran berharga dalam mengelola konflik. Mendorong proses perdamaian di tingkat komunitas maupun akar rumput dengan mekanisme yang efektif dan kontekstual dengan komunitas adalah langkah yang strategis dalam upaya pembangunan perdamaian. Proses perdamaian di tingkat akar rumput ini sekaligus menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk mengelola konflik sekaligus membangun sistem penanganan dini dan tindakan antisipatif lainnya dalam mencegah meletupnya konflik di masa yang akan datang.
Kita menyadari bahwa mekanisme partisipasi yang mengacu pada media-media yang build in dalam keseharian masyarakat?misalnya yang terwujud dalam seni, agama, budaya, dan lain-lain?belumlah terkelola dengan baik. Kita harus senantiasa optimistis bahwa tingkat keragaman etnis dan agama dan peran akar rumput yang ada di di Lampung merupakan sumber kekuatan untuk pembangunan perdamaian.
Oki Hajiansyah Wahab, Alumnus Mindanao Peace Building Instititute
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012
No comments:
Post a Comment