LEBARAN identik dengan penganan dan hidangan istimewa. Uniknya, kue-kue istimewa itu justru yang bernuansa tradisional, bahkan yang berbau primitif.
Penganan khas Lampung yang hanya ada saat Lebaran atau acara-acara adat kini menjadi barang yang mahal dan langka. Di perkotaan, harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Keengganan masyarakat untuk melestarikan penganan-penganan, seperti segubal, lapis legit, dan engkak ketan, menjadikan penganan ini kurang kondang. Hal tersebut membuat hidangan ini jarang sekali terlihat di rumah-rumah, termasuk rumah orang Lampung sekalipun saat Lebaran, apalagi di daerah perkotaan.
Segubal misalnya. Salah satu penganan khas Lampung yang berbahan ketan ini tak semua orang bisa membuatnya. Hanya orang-orang khusus. Itu pun biasanya sudah berumur, yang benar-benar bisa membuatnya sehingga rasanya pas.
Pakar kue dan makanan, Ny. Tan, mengakui hal itu. Menurutnya, masyarakat tak memiliki keinginan untuk melestarikan penganan-penganan khas itu. "Mereka maunya yang simpel-simpel saja. Pesan langsung, karena tak bisa membuat sendiri," kata Ny. Tan.
Akibatnya, harga penganan-penganan ini menjadi sangat mahal sebab tak semua orang bisa membuatnya. Dibutuhkan kepekaan dalam semua prosesnya. Dari takaran bahan baku, urutan memasukkan bahan, lamanya waktu mengaduk atau memanggang, hingga perlakuan usai makanan matang dan menyimpannya.
Hanim (70), salah seorang pembuat segubal dan lapis legit yang tinggal di Jalan Pagaralam, Bandar Lampung, menyebutkan membuat kue-kue itu tak sederhana. Tidak seperti membuat kue-kue yang terkenal, seperti black forest atau bolu.
"Lapis legit itu kalau enggak tahu ukurannya bisa hancur, lapisannya acak-acakan atau malah kemanisan dan rasanya jadi enek. Akhirnya tak ada yang makan," kata dia.
Dulu, kata Nenek Hanim yang bergaris suku Lampung Abung ini, menyajikan lapis legit atau segubal menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Lampung khususnya. Karena membuat kue-kue ini tak semua orang bisa. Selain itu, bahan bakunya yang banyak membuat modal untuk membuat kue ini sangat mahal.
"Saat Lebaran bagi orang Lampung ada tradisi. Ketika datang bersilaturahmi ke salah seorang kerabat yang pandai membuat lapis legit dan engkak ketan, ia pasti akan meminta dibekali saat pulang, meskipun hanya empat atau lima iris untuk disajikan di rumah mereka. Tetapi tidak untuk dimakan, cuma untuk menghias piring-piring kue saja. Karena itu, kue lapis legit, engkak ketan, atau segubal hanya ada dan harus ada saat Lebaran atau acara-acara adat saja. Selain acara-acara itu, tidak boleh karena ini tradisi.?
Hal ini juga diakui Ny. Tan. Menurutnya, Lampung kaya akan keragaman penganannya. Masyarakat memiliki kecenderungan makanan yang manis-manis, seperti kue lapis legit.
Sayang memang, lambat laun makanan khas ini mulai tergerus dengan kue-kue yang lebih modern, seperti bolu, kue lapis atau agar-agar. Sementara kue-kue ini tetap bertahan di daerah-daerah perkampungan Lampung yang masih memegang tradisi-tradisi lama tanpa pernah ada yang berniat mewarisinya.
"Saya tidak tahu apakah orang tua yang salah karena tidak mau mewarisi kemampuan membuat kue lapis legit atau engkak ketan kepada anak-anaknya sehingga kue-kue ini sangat jarang, apalagi di daerah perkotaan. Kalau di kampung-kampung mungkin masih ada,? ujarnya.
(MEZA SWASTIKA/M1)
Sumber: Lampung Post, Mingggu, 4 Agustus 2013
Penganan khas Lampung yang hanya ada saat Lebaran atau acara-acara adat kini menjadi barang yang mahal dan langka. Di perkotaan, harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Keengganan masyarakat untuk melestarikan penganan-penganan, seperti segubal, lapis legit, dan engkak ketan, menjadikan penganan ini kurang kondang. Hal tersebut membuat hidangan ini jarang sekali terlihat di rumah-rumah, termasuk rumah orang Lampung sekalipun saat Lebaran, apalagi di daerah perkotaan.
Segubal misalnya. Salah satu penganan khas Lampung yang berbahan ketan ini tak semua orang bisa membuatnya. Hanya orang-orang khusus. Itu pun biasanya sudah berumur, yang benar-benar bisa membuatnya sehingga rasanya pas.
Pakar kue dan makanan, Ny. Tan, mengakui hal itu. Menurutnya, masyarakat tak memiliki keinginan untuk melestarikan penganan-penganan khas itu. "Mereka maunya yang simpel-simpel saja. Pesan langsung, karena tak bisa membuat sendiri," kata Ny. Tan.
Akibatnya, harga penganan-penganan ini menjadi sangat mahal sebab tak semua orang bisa membuatnya. Dibutuhkan kepekaan dalam semua prosesnya. Dari takaran bahan baku, urutan memasukkan bahan, lamanya waktu mengaduk atau memanggang, hingga perlakuan usai makanan matang dan menyimpannya.
Hanim (70), salah seorang pembuat segubal dan lapis legit yang tinggal di Jalan Pagaralam, Bandar Lampung, menyebutkan membuat kue-kue itu tak sederhana. Tidak seperti membuat kue-kue yang terkenal, seperti black forest atau bolu.
"Lapis legit itu kalau enggak tahu ukurannya bisa hancur, lapisannya acak-acakan atau malah kemanisan dan rasanya jadi enek. Akhirnya tak ada yang makan," kata dia.
Dulu, kata Nenek Hanim yang bergaris suku Lampung Abung ini, menyajikan lapis legit atau segubal menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Lampung khususnya. Karena membuat kue-kue ini tak semua orang bisa. Selain itu, bahan bakunya yang banyak membuat modal untuk membuat kue ini sangat mahal.
"Saat Lebaran bagi orang Lampung ada tradisi. Ketika datang bersilaturahmi ke salah seorang kerabat yang pandai membuat lapis legit dan engkak ketan, ia pasti akan meminta dibekali saat pulang, meskipun hanya empat atau lima iris untuk disajikan di rumah mereka. Tetapi tidak untuk dimakan, cuma untuk menghias piring-piring kue saja. Karena itu, kue lapis legit, engkak ketan, atau segubal hanya ada dan harus ada saat Lebaran atau acara-acara adat saja. Selain acara-acara itu, tidak boleh karena ini tradisi.?
Hal ini juga diakui Ny. Tan. Menurutnya, Lampung kaya akan keragaman penganannya. Masyarakat memiliki kecenderungan makanan yang manis-manis, seperti kue lapis legit.
Sayang memang, lambat laun makanan khas ini mulai tergerus dengan kue-kue yang lebih modern, seperti bolu, kue lapis atau agar-agar. Sementara kue-kue ini tetap bertahan di daerah-daerah perkampungan Lampung yang masih memegang tradisi-tradisi lama tanpa pernah ada yang berniat mewarisinya.
"Saya tidak tahu apakah orang tua yang salah karena tidak mau mewarisi kemampuan membuat kue lapis legit atau engkak ketan kepada anak-anaknya sehingga kue-kue ini sangat jarang, apalagi di daerah perkotaan. Kalau di kampung-kampung mungkin masih ada,? ujarnya.
(MEZA SWASTIKA/M1)
Sumber: Lampung Post, Mingggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment