Oleh Robi Cahyadi Kurniawan
DI tengah ketidakpastian jadwal pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung dengan perdebatan yang cenderung membosankan. Konflik kelembagaan antara KPU dan Pemerintah Provinsi Lampung (Gubernur) yang tak kunjung usai, ada hal menarik yang bisa dijadikan ulasan.
Lazimnya, di mana pun pergelaran pemilihan kepala daerah dilaksanakan, beragam cara dilakukan para calon untuk memikat hari pemilih. Proses memikat itu bisa dilakukan dengan cara santun, masif, terstruktur atau dilakukan dengan cara yang elegan dengan dibungkus balutan?balutan nuansa tertentu. Salah satunya adalah penggunaan simbol-simbol budaya dalam politik praktis pemilukada.
4 Modal Penting
Secara tidak tertulis, dalam proses pemilukada ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi jika ingin memenangkan pemilihan. Syarat pertama, yaitu modal politik, yakni seberapa besar kekuatan politik yang menopang pasangan calon. Kekuatan politik ini adalah partai politik pengusung pasangan.
Syarat kedua adalah modal finansial, yakni berapa besar kekuatan uang yang dimiliki oleh pasangan calon untuk operasional pembiayaan pemilukada. Misalnya untuk modal kampanye, membayar kerja tim sukses (TS), dan biaya turun lapangan.
Syarat ketiga, yaitu modal jaringan, yakni seberapa besar kekuatan masing-masing calon dalam menjalin jaringan (hubungan). Dukungan jaringan penting untuk menguatkan posisi politik calon sehingga publik dapat melihat dan diharapkan dapat terpengaruh. Dukungan jaringan ini bisa dicontohkan dengan dukungan dari organisasi massa, LSM, atau kaukus-kaukus dan perkumpulan atau organisasi sosial lainnya.
Syarat keempat atau terakhir, yaitu modal sosial, yakni seberapa besar kekuatan masing-masing calon dalam menjaling hubungan dengan masyarakat (konstituen pemilih) sehingga pemilih dapat diyakinkan untuk memilih calon tertentu.
Budaya dan Politik
Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya cipta manusia. Kegiatan dalam masyarakat yang berkembang menjadi pola kehidupan dan menjadi ciri khas dari masyarakat disebut. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan cara hidup manusia. Salah satu definisinya sebagai kenyataan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja pada asalnya, tapi juga kelanjutannya bergantung pada perbuatan manusia sebagai manifestasi dan jiwanya (Sidi Gazalba;1961). Tesis ini bisa diartikan, budaya itu muncul akibat perbuatan atau perilaku dari kejiwaan manusia.
Menurut Koentjoroningrat (1986), kebudayaan dibagi ke dalam tiga sistem. Pertama, sistem budaya yang lazim disebut adat istiadat, kedua sistem sosial yang merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dari manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung keterbatasan jasmaniahnya.
Politik memiliki definisi yang juga kompleks, jika berdasarkan filsafat Socrates, Aristoteles, dan Plato, berdasarkan renungan dan usaha mencari jawaban dengan logika berpikir, politik memiliki tujuan akhir kesejahteraan ummat manusia.
Definisi ideal itu sering asimetris dengan realita di lapangan sehingga banyak pihak yang berasumsi negatif dengan politik. Secara praktis definisi politik sering diartikan ?Who get what and how?? atau siapa mendapatkan apa dan bagaimana, tidak peduli kenapa dan kapan. Terlihat nyata dalam setiap penyelenggaraan pemilu, terkadang beragam cara dilakukan untuk menang.
Budaya secara ideal harusnya netral dari kontaminasi politik praktis karena kehidupan budaya bersifat terpisah dari kehidupan politik. Budaya bersifat harmonis dengan mengagungkan kepercayaan terhadap nilai yang dianggap luhur dari kearifan lokal.
Netralitas Budaya Vs Kepentingan Politik
Netralitas budaya dalam pertarungan politik menjadi kian buram dan suram, kegiatan-kegiatan budaya lebih banyak sebagai pesanan acara para sponsor politik. Nilai-nilai luhur budaya menjadi absurd dengan kepentingan politik. Pembentukan lembaga-lembaga adat baru menjadi membingungkan bagi masyarakat adat itu sendiri. Tetua-tetua adat dipilih berdasarkan kriteria tertentu dengan pertimbangan adat yang ketat, bukan berdasarkan kepentingan penguasa lokal untuk kepentingan (investasi) politik jangka panjang.
Adat dan budaya (Lampung), saat ini sudah menjadi komoditas politik lokal yang seksi. Hampir semua calon pernah diangkat sebagai tokoh adat dengan beragam varian adat lokal yang ada di Provinsi Lampung. Bahkan, kegiatan ini didukung dengan publikasi yang bombastis dan terus menerus oleh media lokal baik cetak maupun elektronik.
Dukungan politik juga tidak jarang yang ditujukan pada pasangan calon tertentu, walaupun akhirnya organisasi adat itu mencabut dukungannya dan mengalihkan dukungan pada pasangan calon lainnya.
Lalu, adakah relevansi antara dukungan politik lembaga adat lokal dengan pilihan politik warga adat yang bersangkutan? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis (pada Pemilukada Mesuji, Tulangbawang, dan Pringsewu), ternyata tidak ditemukan relevansi yang kuat antara dukungan politik lembaga adat lokal dan dukungan politik (pilihan saat pemilukada) warga adat yang bersangkutan.
Secara makro, kekuatan adat dalam konteks masyarakat Lampung secara luas melemah. Lembaga adat tidak dapat menjadi pemersatu ummat secara utuh, disebabkan beberapa hal; pertama dikarenakan tidak mengakarnya tokoh adat sehingga tidak dipercayai oleh warga adatnya sendiri. Tokoh adat banyak terlibat politik praktis, dan terkadang diangkat berdasar relasi dengan penguasa lokal.
Kedua, adat hanya sebagai sistem sosial dengan aspek seremonial semata, misalnya dalam acara penganugerahan gelar adat, sehingga tidak menyentuh kepentingan warga secara luas. Gelar adat yang berkaitan dengan status sosial pribadi tidak pula menjadi indikator yang dipakai warga dalam menentukan status sosialnya di mata masyarakat.
Ketiga, adat tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah warga karena adat tidak diterapkan dalam sistem sosial dan sistem hukum. Sistem hukum adat tidak berlaku secara ketat karena dikalahkan dengan sistem hukum nasional berdasar peraturan perundangan NKRI (contoh: lihat pelaksanaan hukum Islam (adat) dalam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan DI Yogyakarta).
Terakhir, penulis mengajak kita semua untuk mengembalikan adat dan budaya ke dalam khitah yang sesungguhnya. Kembalikan kepada sistem sosial dan sistem teknologi yang memiliki ikatan emosi yang kuat antara nilai-nilai budaya dan kehidupan keseharian warga adat yang tinggal dalam sebuah wilayah budaya yang kompleks.
Tabik... tabik pun... Wallahualam bissawab.
Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Tabloid Voting, Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
DI tengah ketidakpastian jadwal pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung dengan perdebatan yang cenderung membosankan. Konflik kelembagaan antara KPU dan Pemerintah Provinsi Lampung (Gubernur) yang tak kunjung usai, ada hal menarik yang bisa dijadikan ulasan.
Lazimnya, di mana pun pergelaran pemilihan kepala daerah dilaksanakan, beragam cara dilakukan para calon untuk memikat hari pemilih. Proses memikat itu bisa dilakukan dengan cara santun, masif, terstruktur atau dilakukan dengan cara yang elegan dengan dibungkus balutan?balutan nuansa tertentu. Salah satunya adalah penggunaan simbol-simbol budaya dalam politik praktis pemilukada.
4 Modal Penting
Secara tidak tertulis, dalam proses pemilukada ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi jika ingin memenangkan pemilihan. Syarat pertama, yaitu modal politik, yakni seberapa besar kekuatan politik yang menopang pasangan calon. Kekuatan politik ini adalah partai politik pengusung pasangan.
Syarat kedua adalah modal finansial, yakni berapa besar kekuatan uang yang dimiliki oleh pasangan calon untuk operasional pembiayaan pemilukada. Misalnya untuk modal kampanye, membayar kerja tim sukses (TS), dan biaya turun lapangan.
Syarat ketiga, yaitu modal jaringan, yakni seberapa besar kekuatan masing-masing calon dalam menjalin jaringan (hubungan). Dukungan jaringan penting untuk menguatkan posisi politik calon sehingga publik dapat melihat dan diharapkan dapat terpengaruh. Dukungan jaringan ini bisa dicontohkan dengan dukungan dari organisasi massa, LSM, atau kaukus-kaukus dan perkumpulan atau organisasi sosial lainnya.
Syarat keempat atau terakhir, yaitu modal sosial, yakni seberapa besar kekuatan masing-masing calon dalam menjaling hubungan dengan masyarakat (konstituen pemilih) sehingga pemilih dapat diyakinkan untuk memilih calon tertentu.
Budaya dan Politik
Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya cipta manusia. Kegiatan dalam masyarakat yang berkembang menjadi pola kehidupan dan menjadi ciri khas dari masyarakat disebut. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan cara hidup manusia. Salah satu definisinya sebagai kenyataan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja pada asalnya, tapi juga kelanjutannya bergantung pada perbuatan manusia sebagai manifestasi dan jiwanya (Sidi Gazalba;1961). Tesis ini bisa diartikan, budaya itu muncul akibat perbuatan atau perilaku dari kejiwaan manusia.
Menurut Koentjoroningrat (1986), kebudayaan dibagi ke dalam tiga sistem. Pertama, sistem budaya yang lazim disebut adat istiadat, kedua sistem sosial yang merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dari manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung keterbatasan jasmaniahnya.
Politik memiliki definisi yang juga kompleks, jika berdasarkan filsafat Socrates, Aristoteles, dan Plato, berdasarkan renungan dan usaha mencari jawaban dengan logika berpikir, politik memiliki tujuan akhir kesejahteraan ummat manusia.
Definisi ideal itu sering asimetris dengan realita di lapangan sehingga banyak pihak yang berasumsi negatif dengan politik. Secara praktis definisi politik sering diartikan ?Who get what and how?? atau siapa mendapatkan apa dan bagaimana, tidak peduli kenapa dan kapan. Terlihat nyata dalam setiap penyelenggaraan pemilu, terkadang beragam cara dilakukan untuk menang.
Budaya secara ideal harusnya netral dari kontaminasi politik praktis karena kehidupan budaya bersifat terpisah dari kehidupan politik. Budaya bersifat harmonis dengan mengagungkan kepercayaan terhadap nilai yang dianggap luhur dari kearifan lokal.
Netralitas Budaya Vs Kepentingan Politik
Netralitas budaya dalam pertarungan politik menjadi kian buram dan suram, kegiatan-kegiatan budaya lebih banyak sebagai pesanan acara para sponsor politik. Nilai-nilai luhur budaya menjadi absurd dengan kepentingan politik. Pembentukan lembaga-lembaga adat baru menjadi membingungkan bagi masyarakat adat itu sendiri. Tetua-tetua adat dipilih berdasarkan kriteria tertentu dengan pertimbangan adat yang ketat, bukan berdasarkan kepentingan penguasa lokal untuk kepentingan (investasi) politik jangka panjang.
Adat dan budaya (Lampung), saat ini sudah menjadi komoditas politik lokal yang seksi. Hampir semua calon pernah diangkat sebagai tokoh adat dengan beragam varian adat lokal yang ada di Provinsi Lampung. Bahkan, kegiatan ini didukung dengan publikasi yang bombastis dan terus menerus oleh media lokal baik cetak maupun elektronik.
Dukungan politik juga tidak jarang yang ditujukan pada pasangan calon tertentu, walaupun akhirnya organisasi adat itu mencabut dukungannya dan mengalihkan dukungan pada pasangan calon lainnya.
Lalu, adakah relevansi antara dukungan politik lembaga adat lokal dengan pilihan politik warga adat yang bersangkutan? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis (pada Pemilukada Mesuji, Tulangbawang, dan Pringsewu), ternyata tidak ditemukan relevansi yang kuat antara dukungan politik lembaga adat lokal dan dukungan politik (pilihan saat pemilukada) warga adat yang bersangkutan.
Secara makro, kekuatan adat dalam konteks masyarakat Lampung secara luas melemah. Lembaga adat tidak dapat menjadi pemersatu ummat secara utuh, disebabkan beberapa hal; pertama dikarenakan tidak mengakarnya tokoh adat sehingga tidak dipercayai oleh warga adatnya sendiri. Tokoh adat banyak terlibat politik praktis, dan terkadang diangkat berdasar relasi dengan penguasa lokal.
Kedua, adat hanya sebagai sistem sosial dengan aspek seremonial semata, misalnya dalam acara penganugerahan gelar adat, sehingga tidak menyentuh kepentingan warga secara luas. Gelar adat yang berkaitan dengan status sosial pribadi tidak pula menjadi indikator yang dipakai warga dalam menentukan status sosialnya di mata masyarakat.
Ketiga, adat tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah warga karena adat tidak diterapkan dalam sistem sosial dan sistem hukum. Sistem hukum adat tidak berlaku secara ketat karena dikalahkan dengan sistem hukum nasional berdasar peraturan perundangan NKRI (contoh: lihat pelaksanaan hukum Islam (adat) dalam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan DI Yogyakarta).
Terakhir, penulis mengajak kita semua untuk mengembalikan adat dan budaya ke dalam khitah yang sesungguhnya. Kembalikan kepada sistem sosial dan sistem teknologi yang memiliki ikatan emosi yang kuat antara nilai-nilai budaya dan kehidupan keseharian warga adat yang tinggal dalam sebuah wilayah budaya yang kompleks.
Tabik... tabik pun... Wallahualam bissawab.
Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Tabloid Voting, Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment