Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
HAMPIR dua puluh tahun setelah F.G. Steck berkelana di Lampung, sekitar tahun 1890-an, P.J. Van der Lith (guru besar di Universitas Leiden) melakukan penjelajahan di Sumatera.
Sebetulnya, bukan hanya di Sumatera, melainkan juga di pulau-pulau nusantara lainnya. Namun, yang menarik perhatian, tentunya adalah uraian mengenai Residensi Palembang, Bengkulu, dan Lampung.
Tujuan penjelajahannya itu adalah menelusuri wilayah Residensi Palembang sampai akhirnya tiba di Residensi Bengkulu. Dalam perjalanan, Van der Lith dan rombongannya berusaha untuk mampir di sana-sini.
Setelah malang-melintang di berbagai wilayah Residensi Palembang dan akhirnya tiba di Residensi Bengkulu, Van der Lith tiba di wilayah Residensi Lampung. Tak beda dengan daerah-daerah bagian selatan Sumatera lainnya, tanah Lampung hanya sekitar 100 m di atas permukaan laut. Daerah berbukit dan bergunung terdapat di sebelah barat wilayahnya.
Di tanjung yang berseberangan dengan Pulau Lagoendi, bermunculan gunung-gunung—seolah berbaris-baris dari dalam samudera—ke arah barat laut menuju Belalau (perhatikan bahwa nama ‘Blalauw’ telah berubah menjadi ‘Belalau’). Dinding kedua gunung itu melingkupi lembah Sungai Semaka, sungai utama yang mengalir ke pantai selatan Lampung. Sungai ini bersumber di Belalau.
Beberapa gunung berapi menjulang dari deretan pegunungan ini, yaitu Gunung Tangka dan Gunung Pesawaren. Kemungkinan, inilah gunung yang biasa dikenal dengan nama Tangkamoes atau Keizerspiek (Puncak Kaisar)—walau letaknya tidak sepenuhnya tepat di peta Lampung yang menjadi pedoman penjelajahan Van der Lith pada waktu itu.
Gunung Tangkamoes dan Sekindjau terletak di perbatasan antara Lampung dan Bengkulu. Gunung Radja Bassa yang berpuncak ganda berdiri sendiri di sebelah tenggara. Van der Lith menduga gunung ini, yang kakinya terbenam di laut, awalnya memang pulau yang lepas dari daratan Sumatera. Pantai timur Lampung merupakan dataran aluvial berciri sama dengan dataran rendah Palembang.
Walau banyak sekali sungai yang mengalir di Lampung, Van der Lith hanya menyebut Sungai Sekampong dan Sepoeti, yang keduanya bersumber di Gunung Tebah. Sungai Toeloeng Bawang—sungai terbesar di Residensi Lampung yang terbentuk oleh menyatunya banyak sungai—dan Sungai Masoedji—yang menjadi perbatasan antara Lampung dan Palembang—menarik perhatian lelaki Belanda itu.
Atas perintah salah satu sultan di Palembang, kanal Bebatau digali untuk menghubungkan Sungai Masoedjie dan Sungai Komering. Kedua sungai itulah yang menjadi jalan utama lalu lintas perdagangan kedua residensi, Lampung dan Palembang.
Daerah-daerah yang dilalui oleh Sungai Masoedjie terkenal sebagai daerah yang subur dan cocok ditanami kelapa, padi, sagu, gula, kapas dan nila. Setiap tahun, ribuan lahan terendam air sampai setengah meter sehingga terbentuk sawah-sawah alami. Berbeda dengan di daerah lain, padi ditanam di sini. Akan tetapi, keuntungan yang diberikan oleh alam tak terlalu dapat dimanfaatkan karena sedikitnya jumlah penduduk.
Mientjang yang terletak di sebelah utara Gunung Tangkamoes, Pesawaran, Ratai, dan Teloek juga dianggap sebagai daerah yang subur. Daerah ini dilewati oleh jalan besar yang sejak Tandjong Karang menyimpang dan meninggalkan jalan ke Telok Betong.
Jalan itu mulai mendaki setelah melewati Goenoeng Trang. Titik paling tinggi, di Tandjoengan (di Teluk Semaka) dan Bengkoenat di pantai barat, jalan itu terdapat pada ketinggian 449 m di atas permukaan laut.
Sungai Toelang Bawang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman. Di Menggala, airnya masih mencapai kedalaman 7,2 m. Kapal-kapal berdasar rata bahkan dapat melayari sungai itu sampai ke Kota Boemi karena tak ada bebatuan atau pun arus cepat yang menyulitkan pelayaran. Hanya ada tanggul pasir yang menghalangi jalan masuk ke muaranya.
Pembagian wilayah administratif dalam Residensi Lampung bertolak dari ciri-ciri lingkungan alam daerahnya. Daerah Telok Betong, Katimbang, dan Semaka yang terbentuk oleh alam di sekitar Teluk Lampung dan Semaka bergunung-gunung dan tidak memiliki sungai yang layak dilayari, kecuali Sungai Semaka.
Daerah Toelang Bawang, Sepoeti, dan Sekampong Datar, kecuali di perbatasan dengan daerah-daerah Telok Betong, Katimbang, dan Semaka. Sungai-sungai yang besar malang-melintang membelah-belah daerah ini dan belantara lebat menutupi tanahnya. Di sana-sini, hutan-hutan itu dibuka untuk dusun dan lahan tempat penduduk—yang tak berjumlah banyak—menanam padi.
Sistem pertanian padi kedua daerah itu pun berlainan. Menurut Van der Lith, di tiga daerah yang pertama (Telok Betong, Katimbang, dan Semaka) penduduk menanam padi di sawah. Mereka juga menanam lada. Penduduk daerah lainnya menanam padi di ladang dan banyak pula meramu hasil hutan.
Telok Betong, ibu kota Residensi Lampung, terletak di tengah-tengah daerah persawahan di dekat Teluk Lampung. Sebuah jalan yang memadai untuk dilalui kendaraan membentang dari kota itu ke arah utara, melalui Tarabangi menuju Menggala. Di Tarabangi ada jalan besar ke arah Kota Boemi dan Hadji Kangoengan. Setelah itu, sebuah jalan—yang hanya dapat dilalui kuda—terdapat di kiri-kanan Sungai Pila.
Jalan ini menuju Palembang dan Moera Doea melalui Resang. Jalan kuda yang lain (luas jalannya barangkali lebih besar dan lebih padat daripada jalan setapak untuk pejalan kaki) menghubungkan daerah ini dengan Batoe Radja di wilayah Residensi Palembang dan Laboean Dalam di tepian Sungai Masoedji. Yang ingin mengunjungi Kanal Babatau dapat menyimpang sebentar dari tempat ini.
Jalan-jalan di Lampung menawarkan pemandangan yang terkadang tak banyak berbeda dengan di Palembang, tapi terkadang lain sama sekali. Sayangnya, Van der Lith sudah harus berangkat ke pulau lain lagi. Dengan hati belum puas, ditinggalkannya Sumatera yang masih menyembunyikan kemolekannya. n
Acuan Pustaka:
P.A. Van der Lith, Nederlandsch-Oost-Indiƫ: Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlandsche Volk. Leiden: EJ Brill. 1893.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2014
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
HAMPIR dua puluh tahun setelah F.G. Steck berkelana di Lampung, sekitar tahun 1890-an, P.J. Van der Lith (guru besar di Universitas Leiden) melakukan penjelajahan di Sumatera.
Sebetulnya, bukan hanya di Sumatera, melainkan juga di pulau-pulau nusantara lainnya. Namun, yang menarik perhatian, tentunya adalah uraian mengenai Residensi Palembang, Bengkulu, dan Lampung.
Tujuan penjelajahannya itu adalah menelusuri wilayah Residensi Palembang sampai akhirnya tiba di Residensi Bengkulu. Dalam perjalanan, Van der Lith dan rombongannya berusaha untuk mampir di sana-sini.
Setelah malang-melintang di berbagai wilayah Residensi Palembang dan akhirnya tiba di Residensi Bengkulu, Van der Lith tiba di wilayah Residensi Lampung. Tak beda dengan daerah-daerah bagian selatan Sumatera lainnya, tanah Lampung hanya sekitar 100 m di atas permukaan laut. Daerah berbukit dan bergunung terdapat di sebelah barat wilayahnya.
Di tanjung yang berseberangan dengan Pulau Lagoendi, bermunculan gunung-gunung—seolah berbaris-baris dari dalam samudera—ke arah barat laut menuju Belalau (perhatikan bahwa nama ‘Blalauw’ telah berubah menjadi ‘Belalau’). Dinding kedua gunung itu melingkupi lembah Sungai Semaka, sungai utama yang mengalir ke pantai selatan Lampung. Sungai ini bersumber di Belalau.
Beberapa gunung berapi menjulang dari deretan pegunungan ini, yaitu Gunung Tangka dan Gunung Pesawaren. Kemungkinan, inilah gunung yang biasa dikenal dengan nama Tangkamoes atau Keizerspiek (Puncak Kaisar)—walau letaknya tidak sepenuhnya tepat di peta Lampung yang menjadi pedoman penjelajahan Van der Lith pada waktu itu.
Gunung Tangkamoes dan Sekindjau terletak di perbatasan antara Lampung dan Bengkulu. Gunung Radja Bassa yang berpuncak ganda berdiri sendiri di sebelah tenggara. Van der Lith menduga gunung ini, yang kakinya terbenam di laut, awalnya memang pulau yang lepas dari daratan Sumatera. Pantai timur Lampung merupakan dataran aluvial berciri sama dengan dataran rendah Palembang.
Walau banyak sekali sungai yang mengalir di Lampung, Van der Lith hanya menyebut Sungai Sekampong dan Sepoeti, yang keduanya bersumber di Gunung Tebah. Sungai Toeloeng Bawang—sungai terbesar di Residensi Lampung yang terbentuk oleh menyatunya banyak sungai—dan Sungai Masoedji—yang menjadi perbatasan antara Lampung dan Palembang—menarik perhatian lelaki Belanda itu.
Atas perintah salah satu sultan di Palembang, kanal Bebatau digali untuk menghubungkan Sungai Masoedjie dan Sungai Komering. Kedua sungai itulah yang menjadi jalan utama lalu lintas perdagangan kedua residensi, Lampung dan Palembang.
Daerah-daerah yang dilalui oleh Sungai Masoedjie terkenal sebagai daerah yang subur dan cocok ditanami kelapa, padi, sagu, gula, kapas dan nila. Setiap tahun, ribuan lahan terendam air sampai setengah meter sehingga terbentuk sawah-sawah alami. Berbeda dengan di daerah lain, padi ditanam di sini. Akan tetapi, keuntungan yang diberikan oleh alam tak terlalu dapat dimanfaatkan karena sedikitnya jumlah penduduk.
Mientjang yang terletak di sebelah utara Gunung Tangkamoes, Pesawaran, Ratai, dan Teloek juga dianggap sebagai daerah yang subur. Daerah ini dilewati oleh jalan besar yang sejak Tandjong Karang menyimpang dan meninggalkan jalan ke Telok Betong.
Jalan itu mulai mendaki setelah melewati Goenoeng Trang. Titik paling tinggi, di Tandjoengan (di Teluk Semaka) dan Bengkoenat di pantai barat, jalan itu terdapat pada ketinggian 449 m di atas permukaan laut.
Sungai Toelang Bawang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman. Di Menggala, airnya masih mencapai kedalaman 7,2 m. Kapal-kapal berdasar rata bahkan dapat melayari sungai itu sampai ke Kota Boemi karena tak ada bebatuan atau pun arus cepat yang menyulitkan pelayaran. Hanya ada tanggul pasir yang menghalangi jalan masuk ke muaranya.
Pembagian wilayah administratif dalam Residensi Lampung bertolak dari ciri-ciri lingkungan alam daerahnya. Daerah Telok Betong, Katimbang, dan Semaka yang terbentuk oleh alam di sekitar Teluk Lampung dan Semaka bergunung-gunung dan tidak memiliki sungai yang layak dilayari, kecuali Sungai Semaka.
Daerah Toelang Bawang, Sepoeti, dan Sekampong Datar, kecuali di perbatasan dengan daerah-daerah Telok Betong, Katimbang, dan Semaka. Sungai-sungai yang besar malang-melintang membelah-belah daerah ini dan belantara lebat menutupi tanahnya. Di sana-sini, hutan-hutan itu dibuka untuk dusun dan lahan tempat penduduk—yang tak berjumlah banyak—menanam padi.
Sistem pertanian padi kedua daerah itu pun berlainan. Menurut Van der Lith, di tiga daerah yang pertama (Telok Betong, Katimbang, dan Semaka) penduduk menanam padi di sawah. Mereka juga menanam lada. Penduduk daerah lainnya menanam padi di ladang dan banyak pula meramu hasil hutan.
Telok Betong, ibu kota Residensi Lampung, terletak di tengah-tengah daerah persawahan di dekat Teluk Lampung. Sebuah jalan yang memadai untuk dilalui kendaraan membentang dari kota itu ke arah utara, melalui Tarabangi menuju Menggala. Di Tarabangi ada jalan besar ke arah Kota Boemi dan Hadji Kangoengan. Setelah itu, sebuah jalan—yang hanya dapat dilalui kuda—terdapat di kiri-kanan Sungai Pila.
Jalan ini menuju Palembang dan Moera Doea melalui Resang. Jalan kuda yang lain (luas jalannya barangkali lebih besar dan lebih padat daripada jalan setapak untuk pejalan kaki) menghubungkan daerah ini dengan Batoe Radja di wilayah Residensi Palembang dan Laboean Dalam di tepian Sungai Masoedji. Yang ingin mengunjungi Kanal Babatau dapat menyimpang sebentar dari tempat ini.
Jalan-jalan di Lampung menawarkan pemandangan yang terkadang tak banyak berbeda dengan di Palembang, tapi terkadang lain sama sekali. Sayangnya, Van der Lith sudah harus berangkat ke pulau lain lagi. Dengan hati belum puas, ditinggalkannya Sumatera yang masih menyembunyikan kemolekannya. n
Acuan Pustaka:
P.A. Van der Lith, Nederlandsch-Oost-Indiƫ: Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlandsche Volk. Leiden: EJ Brill. 1893.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 April 2014
No comments:
Post a Comment