TUJUH tahun sebelum keluar UU 32/2004, Iwan pernah menulis tentang pemilihan langsung di harian ini. Saat itu, ia staf di Kanwil Penerangan Provinsi Lampung.
"Saat itu, kakanwil saya marah benar. Saya dipanggil, ditanya kenapa nulis begini. Kata kakanwil, tulisan saya tidak sejalan dengan kebijakan Departemen Penerangan," ujar Iwan, menceritakan kejadian yang membekas di benaknya itu.
"Saya bilang sama kakanwil. Sebagai penulis, saya tidak ada atasan. Kakanwil bukan atasan saya. Sebagai penulis, saya pemikir bebas. Saya tidak bisa didikte atau diarahkan," kata Iwan mengungkapkan keseriusannya pada dunia tulis-menulis.
Ya, begitulah Iwan. "Saya kan tidak bisa jadi orang lain, saya mesti jadi diri sendiri," kata dia menjelaskan keberadaannya di dunia sastra dan birokrasi--sebuah kondisi yang memiliki dunia berbeda.
Awal 1990, ia pulang ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai dunia sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. "Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini," ujar suami Cut Hilda Rina ini.
Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. "Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS," kata Iwan soal keberadaannya kini sebagai pejabat di Pemkab Lamtim.
Pilihan Iwan menekuni dunia sastra juga bukan tanpa perlawanan. "Ayah saya keras. Saya harus meyakinkan beliau. Saya buktikan kalau sastra itu bagus," kata Iwan.
Satu per satu, ia kirimi sertifikat juara ke orangtuanya di kawasan Enggal, Bandar Lampung. "Dengan begini, artinya kan saya bertanggung jawab dengan pilihan ini," ujarnya.
Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpampang di media massa atau majalan sastra. Tetapi, jangan berpikir elan kepenyairan Iwan telah mati. "Saya terus menulis puisi, tapi tidak saya publikasikan," kata Iwan, yang tengah bersiap ke Tanah Suci ini.
Kini, Iwan menekuni dunia lain, merambah wilayah yang kerap dilakukan kritikus sastra atau akademisi. "Saya ingin membuat anotasi puisi-puisi Khomeini," kata putra mantan bupati Lamsel, Djafar Amid ini.
Ia juga ingin menerbitkan tujuh terjemahan yang diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim. Ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare ("The Sonnets And A Lovers Complaint"), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain "Air Mata dan Senyuman" dan "Sang Nabi".
"Malam hari, saya menulis. Saya sampai Jumat di Sukadana. Saya punya rumah dinas di sana. Artinya, saya punya banyak waktu juga untuk berkarya. Enggak diganggu anak-anak, enggak diganggu istri sekaligus juga enggak bisa ngegangguin istri. Ha ha ha...," ujar Iwan menjelaskan soal dua dunia yang dilakoni.
Sampai kapan Iwan terus menulis? "Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu sudah jadi kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai dari media kampus terus merambah ke Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red). Kebetulan saya kan kuliah di Bandung," kata Iwan, seakan meyakini energi kreatif yang mengaliri kesadaran dan tubuhnya tidak akan hilang.
"Menulis itu membahagiakan," ujarnya.
Biodata
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, 14 Maret 1959 dari pasangan Djafar Amid (ayah) dan Siti Kalang (ibu). Dikarunia anak Rabia Edra Almera (14) dan Selma Ilafi Al Zahra (8) dari pernikahannya dengan Cut Hilda Rina, 7 Juli 1991. Pendidikannya: SD di Pangkal Pinang (1971), SMPN 2 Tanjungkarang (1974), SMA Xaverius Tanjungkarang (1977), dan Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung. Karier: Kasubdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur, Kabag Humas Pemkab Lamtim (2003), Kepala Kantor Catatan Sipil Pemkab Lamtim (2003-2005), dan Kabag TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim (2005-...)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2005
No comments:
Post a Comment