-- Oyos Saroso H.N.*
KETIKA Dewan Kenian Lampung (DKL) menggelar lomba cipta puisi tingkat nasional untuk memperebutkan penghargaan Krakatau Award, beberapa waktu lalu, ratusan puisi dari berbagai penjuru Tanah Air berhasil dikumpulkan panitia. Yang menakjubkan adalah, banyak penyair yang menempelkan kata dari "berbau" Lampung dalam puisi-puisinya. Lokalitas tiba-tiba menjadi penting bagi penyair ketika panitia lomba menentukan tema kelokalan dalam lomba penulisan puisi.
"Hujan" idiom lokal disertai keprihatinan mendalam sekaligus kegemasan juga terjadi ketika Dewan Kesenian Lampung menggelar diskusi berseri tentang seni tradisi Lampung. Hal serupa kembali terjadi ketika Lampung Post, Afkar Circle dan DKL menggelar diskusi tentang kearifan lokal dalam sastra. Serangkaian diskusi kemudian seolah-olah menjadi nonsens karena memang selama ini sejuta kepala memiliki sejuta pemahaman yang berbeda tentang pengertian kearifan lokal, seni tradisi, warna lokal, sastra lokal, dsb.
Salah satu penyebab perdebatan tentang lokalitas dalam seni (sastra, rupa, tari), menurut saya, adalah banyak orang salah melakukan kategorisasi istilah, sehingga pembicaraan tidak pernah fokus. Kita tahu, masing-masing istilah memiliki kategori makna berbeda-beda, sehingga masing-masing tidak bisa dipertukarkan pemakaiannnya secara semena-mena. Ketika orang membicarakan tentang sastra lokal, misalnya, tidak bisa sama halnya dengan membicarakan dengan kearifan lokal.
Kesalahan melakukan kategorisasi pula yang menyebabkan ketua DKL Syaiful Irba Tanpaka dan penyair Sugandhi Putra berdebat keras tentang kearifan lokal dalam sastra. Syaiful berangkat dari persepsi sastra sebagai material, sementara Sugandi berangkat dari persepsi sastra sebagai fungsi. Sastra, apa pun bentuknya, jelas tak bisa mengubah keadaan, sehingga amat muskil sastra disamakan dengan khotbah di masjid dan gereja. Penolakan Jimmy Maruli Alfian terhadap kearifan lokal juga disebabkan oleh kesalahan melakukan kategorisasi dan memahami apa arti sastra lokal, warna lokal, kearifan lokal, dan budaya lokal.
Bagi Jimmy, lokalitas, seni tradisi, dan sejenisnya adalah masa lalu. Dia tidak dibesarkan dan tidak berangkat dari tradisi ketika meniti karier sebagai penyair. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku bagi banyak sastrawan Lampung karena mereka tidak bisa berbahasa Lampung. Bahkan, banyak yang tidak berasal dari suku asli Lampung. Namun, siapakah yang bisa menolak hipotesis yang nyaris mutlak bahwa tidak ada satu pun penyair di dunia ini yang tidak meniru dari pendahulunya? Dan, sekecil apa pun, para pendahulu hulu itu belajar dari tradisi yang hidup di sekitarnya.
Sutardji Calzoum Bachri tidak "sebesar" sekarang tanpa ada pantun, Chairil tidak pernah bisa menulis puisi hebat tanpa mengikuti perkembangan perpuisian di Negeri Belanda dan Eropa. Sitok Srengenge pun tidak menjadi penyair lirik-romantik sekuat sekarang tanpa pernah belajar tentang puisi-puisi Jawa dan tekun belajar dari Rendra dan Goenawan Mohammad. Begitu juga dengan para penyair mutakhir, yang sekarang sedang gencar-gencarnya mempublikasikan karyanya. Mereka tidak akan pernah menjadi penyair seperti sekarang ini tanpa pernah membaca puisi-puisi karya orang lain.
Jadi, kalau begitu, di mana urgensi kearifan lokal dalam sastra (puisi, cerpen, novel, drama)? Benar kata Jimmy, kearifan lokal bisa jadi hanyalah nonsens dan masa lalu bagi sastrawan masa kini. Semuanya harus ditinggalkan karena kita harus melihat masa depan. Namun, tentu saja, tidak semua sastrawan di daerah akan mengganggap kearifan lokal sebagai nonsens dan masa lalu. Apalagi kenyataannya memang masih ada beberapa penyair dan cerpenis yang berdomisili di Lampung (saya tidak menyebut sebagai sastrawan Lampung) yang mengangkat masalah lokalitas dalam karya-karya mereka.
Dalam membicarakan tentang lokalitas dalam seni, menurut saya harus dibedakan antara warna lokal dengan kearifan lokal. Warna lokal mengacu pada idiom-idiom etnis yang sifatnya khas, sementara kearifan lokal lebih menunjuk pada nilai-nilai filosofi yang menjadi ciri khas masyarakat etnis tertentu. Dengan begitu, penyair atau cerpenis yang tidak bisa berbahasa Lampung bukan berarti dia tidak mengungkapkan warna lokal Lampung dalam karyanya.
Maka lihatlah, misalnya, naskah-naskah teater Iswadi Pratama, beberapa puisi Y. Wibowo, beberapa cerpen dan puisi Isbedy Stiawan ZS, cerpen Budi P. Hatees, beberapa puisi Christian Heru Cahyo Saputra dan Syaiful Irba Tanpaka menyiratkan warna lokal yang lumayan kuat. Soal apakah warna lokal baru sebagai etalase atau pajangan, itu soal lain karena toh mereka terus berproses.
Jadi, untuk mengangkat nilai-nilai tradisi atau nilai-nilai lokal tidak harus menunggu sang kreator fasih berbahasa daerah. Lain soal kalau si penyair atau cerpenis ingin menulis sastra etnis atau sastra daerah seperti Udo Z. Karzi menulis puisi-puisi dengan bahasa Lampung, Darpan Arya Winangun menulis cerpen-cerpen berbahasa Sunda, dan Suripan Sadi Hutomo menulis kentrung dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Sebab, sastra etnis atau sastra daerah pengungkapannya sudah tentu memakai bahasa daerah atau bahasa etnis tertentu.
Nilai Baru
Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Kebudayaan daerah tersebut diwarnai oleh budaya suatu suku bangsa tertentu yang dominan di daerah tersebut. Serangkaian temu budaya yang digelar di lebih dari 15 provinsi, dua tahun lalu, menyimpulkan bahwa dalam konteks desentralisasi/otonomi daerah, budaya lokal merupakan kekuasaan dan potensi riil yang dimiliki suatu daerah sebagai aset daerah yang mendorong pengembangan dan pembangunan daerah.
Serangkaian temu budaya itu juga merumuskan agar dalam usaha membangun daerah perlu dilakukan pemberdayaan budaya lokal yang mendukung penyusunan strategi budaya atau rumusan rencana kegiatan budaya di daerah sebagai landasan daerah di bidang budaya. Budaya lokal dan desentralisasi adalah hubungan fungsional yang timbal balik, satu sisi budaya lokal sebagai potensi sosial budaya yang memberikan bahan kepada daerah untuk bisa digarap dan dimanfaatkan dan dari sisi desentralisasi daerah mempunyai kewenangan untuk mengolah potensi sosial budaya.
Selama Orde Baru, pusat menjadi pengendali kebudayaan-kebudayaan daerah. Semua hendak diseragamkanm. Kebudayaan kemudian lebih identik dengan wilayah administrasi dan kekuasaan. Hidup dalam era baru (otonomi daerah) yang memberikan ruang gerak yang relatif luas bagi pemerintah daerah, elite lokal, dan pelaku budaya di tingkat lokal, maka paradigma lama itu harus diubah. Harus ada redifinisi konsep kebudayaan daerah yang selama ini menempatkan budaya lokal sebagai objek.
Beberapa pakar memprediksikan budaya Lampung akan hilang beberapa puluh tahun lagi karena kurangnya daya dukung para pemiliknya. Prediksi ini memang menimbulkan kecemasan, terutama bagi warga Lampung etnis Lampung. Kalau kita bandingkan dengan kepedulian etnis Lampung untuk berbahasa Lampung, prediksi para pakar tersebut agaknya tidak berlebihan. Sebab, kita tahu bahwa bahasa merupakan tulang punggung budaya. Jika suatu bahasa tidak menjadi kebanggan pemakainya bahkan sampai hilang, itu berarti sebuah kehancuran budaya.
Kasus budaya Lampung, tentu berbeda dengan Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak, bahkan Betawi. Nilai-nilai tradisi di beberapa daerah juga diprediksikan akan hancur dalam beberapa dekade lagi. Namun, proses kehancurannya tidak secepat budaya Lampung karena bahasa Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang, dan Betawi masih dipakai dan dikembangkan para pemiliknya.
Meskipun terancam punah, sebenarnya masih ada peluang bagi budaya Lampung untuk ditumbuhkembangkan. Kuncinya hanya satu: ada kemauan politik dan kerja keras dari seluruh elemen masyarakat Lampung. Budaya Lampung harus dapat dimanfaatkan untuk melakukan penataan sosial dengan berdasarkan pada budaya dominan yang menjadi kerangka acuan sebagian besar anggota masyarakat untuk adaptasi dengan lingkungannya.
Strategi perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi yang ada pada budaya lokal sebagai dasar penataan sosial di daerah. Antara lain dengan cara mengidentifikasi sub-sub budaya daerah, memahami sub-sub budaya tersebut, membangun sebuah sistem budaya baru sesuai dengan sub-sub budaya yang ada di daerah, mensosialisasikan sistem budaya baru tersebut; mengembangkan arena- arena baru, ekspresi sub-sub budaya, serta memberikan keadilan untuk kelompok dengan budaya berbeda.
Untuk mengembangkan nilai baru budaya Lampung, saya membayangkan pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun masing-masing kabupaten/kota juga memiliki strategi yang jitu untuk mengembangkan kebudayaan. Kini, bukan saatnya untul menempatkan budaya modern secara berhadap-hadapan dengan budaya tradisi. Apalagi, kenyataannya, meski kaki kanan sudah melangkah di dunia modern, toh kaki kiri masih berpijak di ruang sempit yang masih lokal sifatnya.
Dalam konteks sastra, saya tidak bermimpi para penyair dan cerpenis Lampung tiba-tiba fasih berbahasa Lampung dan menghasilkan karya-karya sastra yang mengandung muatan tradisi Lampung. Tidak. Saya hanya membayangkan suatu saat ada sebuah novel yang ditulis dengan bahasa Indonesia, tetapi fasih berbicara tentang tradisi Lampung. Atau segebung puisi dan cerpen yang ditulis dengan bahasa Indonesia, tetapi memberi nilai baru bagi budaya lokal dengan warna lokal yang kuat. Sebuah mimpi yang sangat sederhana. Jauh lebih sederhana ketimbang mimpi tentang Tugu Siger yang "wah" dan uang miliaran rupiah yang menggelontor ke kantong lembaga kesenian.
* Oyos Sarono H.N, pembaca sastra, pemulung kata-kata.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2005
No comments:
Post a Comment