MENCERMATI aspirasi atas usulan sejumlah stakeholder yang terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat, dan instansi terkait kepada DPRD Provinsi Lampung agar semboyan Provinsi Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai diubah menjadi Sai Bumi Ruwa Jurai, sebagaimana diberitakan Lampung Post, Senin, 13 April 2009, menurut hemat kami perlu direnungkan kembali dan dikaji ulang.
Hal ini antara lain disebabkan, pertama, melihat alasan yang dikemukakan, bahwa kata sang bukan merupakan kosakata asli dari bahasa Lampung melainkan dari bahasa Sansekerta. Hal ini tentu saja masih akan menjadi perdebatan. Di beberapa daerah Lampung kata sang sudah dikenal secara turun-menurun jauh sebelum Republik Indonesia berdiri apalagi terbentuknya Provinsi Lampung pada 1964. Kalaupun kata sang itu dikatakan sebagai kosakata lain yang berasal dari berbagai bahasa lain, seperti bahsa Jawa, Sunda, Palembang, bahkan bahasa asing seperti bahasa Arab, Inggris, dan Belanda.
Pada saat ini semua bahasa mengalami pengayaan dari berbagai bahasa lain. Ada orang Lampung yang menyebut lemari makan dengan sebutan kabat, kosakata ini tentu saja berasal dari bahasa Inggris.
engan demikian, alangkah naifnya (maaf) kalau hanya karena ada yang berpendapat kosakata sang berasal dari bahasa Sansekerta, lantas kita akan mengubah semboyan Lampung yang sudah mengakar pada masyarakat Lampung.
Kedua, kalau kita bermaksud mengubah kata sang dengan kata sai dengan alasan selain kosakata tersebut merupakan bahasa Lampung asli, juga mempunyai makna yang sama, yakni satu, lagi-lagi pemahaman dan pemaknaan terhadap kata sang dalam semboyan Lampung semakin menandakan kalau kita dapat memahami bahasa Lampung itu sendiri.
Menurut hemat kami yang awam, kata sai merupakan kata penunjuk bilangan dan tidak secara utuh sebagai satu kesatuan dengan kata berikutnya. Demikian juga kata sai akan diikuti oleh ruwa, telu, pak, lima, dan seterusnya.
Artinya, kalau kita menyebut sai bumi, akan muncul ruwa bumi, telu bumi dan bilangan-bilangan lainnya.
Sedangkan kata sang adalah untuk menyebut suatu ruang dan satu kesatuan secara utuh dan tidak ada kata lain. Contoh: sang bakul (sebakul), sang lamban (serumah), sang pinggan (sepiring). Secara harfiah memang bisa diartikan satu bakul, satu rumah, dan satu piring. Akan tetapi makna dengan kata sang ini tidak demikian karena semua yang ada dalam bakul yang mungkin saja berisi terong, kubis, beras, telu,r dan lain sebagainya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Apa saja yang terdapat pada ruang bakul tersebut maka disebut sang bakul, bukan sai bakul. Artinya kata sai mempunyai arti satu dan dapat berdiri sendiri, sedangkan kata sang belum mempunyai arti yang utuh bila tidak dipadamkan dengan kata lain.
Ketiga, semboyan Lampung yang berbunyi Sang Bumi Ruwa Jurai diartikan bahwa bumi Lampung dihuni oleh dua jurai/trach, yakni Jurai Sai Batin dan Jurai Pepadun. Kedua jurai tersebut dianggap sebagai penduduk asli masyarakat Lampung. Pada perkembangan seperti sekarang di setiap daerah boleh dikata tidak ada lagi yang hanya dihuni oleh masyarakat asli, sehingga ada yang mengartikan bahwa suatu daerah biasanya dihuni oleh pendatang lama dan pendatang baru.
Oleh karena daerah Lampung seperti yang kita saksikan sekarang dihuni oleh berbagai suku yang datang dari berbagai daerah, maka menurut hemat kami penghuni Lampung sekarang tidak bisa lagi dikatakan ruwa jurai, melainkan sudah multi-jurai.
Dengan demikian pemikiran mengubah semboyan Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi Sai Bumi Ruwa Jurai tidak mempunyai dasar yang cukup kuat. Malah kalau kita mau melihat konteks kekinian, yang lebih relevan adalah Sang Bumi Lamon Jurai.
Melalui kesempatan ini, kami berharap DPRD Provinsi Lampung dapat mengkaji lebih dalam aspirasi yang mengatasnamakan stakeholder, padahal sesungguhnya hanya keinginan dari segelintir orang.
Terima kasih.
H. Hajatul Muhtadin
Jalan Sisingamangraja No. 35
Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 April 2009
No comments:
Post a Comment