Oleh Damhuri Muhammad
LEBIH dari seribu kajian tentang letusan Krakatau telah ditulis, baik oleh ahli geologi, vulkanologi, metereologi, maupun oseanografi. Bermunculan pula sejumlah prosa karya seniman Eropa dari tahun 1889 hingga 1969, juga beberapa film yang menggambarkan bencana akbar itu. Akan tetapi, kajian dan karya seni dengan sudut pandang penduduk lokal masih langka.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Buku Syair Lampung Karam karya Suryadi ini pantas disebut sebagai penemuan yang mengejutkan. Ahli filologi dan peneliti sastra klasik di Universitas Leiden ini menemukan naskah usang mengenai peristiwa letusan Krakatau 1883, bertajuk Syair Lampung Karam (SLK) karya Muhammad Saleh, diterbitkan di Singapura pada akhir abad ke-19.
Suryadi mencatat, SLK pernah terbit dalam bentuk litografi (cetak batu) dengan aksara Arab-Melayu sebanyak 4 kali. Edisi 1 berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (1883/1884) kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan The Russian State Library, Moskwa.
Edisi 2, Inilah Syair Lampung Dinaiki Air laut (1884), juga tersimpan di PNRI. Edisi 3, Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang (1886), tersimpan di Cambridge University Library, dan edisi 4, Inilah Syair Lampung Karam Adanya (1888), penyalinnya Encik Ibrahim dan penerbitnya ”Al-Hajj Muhammad Tayib” di Singapura, tersimpan di PNRI, Perpustakaan Universitas Leiden, SOAS University of London, Universiti Malaya dan dalam koleksi kitab-kitab Melayu milik penginjil Methodist Emil Luring di Frankfurt, Jerman.
Syair kewartawanan
Muhammad Saleh berasal dari Tanjung Karang (Lampung), tempat ia secara langsung menyaksikan bencana letusan Gunung Krakatau pada 1883. Awal mula hamba berpikir/Di Tanjung Karang tempat musyafir (bait 4). Namun, dia menulis SLK di Kampung Bengkulu (kini Bencoolen Street) Singapura. Di Singapura duduk mengarang/Di Kampung Bangkahulu disebut orang (bait 369). Boleh jadi ia salah seorang pengungsi dari Lampung yang menyeberang ke Singapura selepas bencana. Orang banyak nyatalah tentu/bilangan lebih daripada seribu/mati sekalian orangnya itu/ditimpa lumpur, api dan abu (bait 128). Demikian salah satu potret suasana setelah letusan Krakatau dalam SLK.
Sejumlah peneliti menyebutnya ”syair kewartawanan”, semacam laporan pandangan mata tentang sebuah peristiwa, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Namun, aspek khayali (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa SLK bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883. Namun, penyair biasanya tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin suasana hati saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut ”stimmung” oleh filsuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger (1889-1976).
Tengoklah pengakuan Muhammad Saleh pada bait 2: Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena. Ungkapan perihal kekhilafan yang bisa saja terjadi. Lagi pula, bukankah teks sastra terikat pada bahasa yang digunakannya? Sementara realitas itu semakin dibahasakan, bukan semakin terang, tetapi justru semakin menyusut. Itu sebabnya Ludwig Wittgeisten (1889-1951) mensinyalir bahwa bahasa bersifat ”sewenang-wenang” terhadap realitas.
Gugatan kebenaran
Lalu, argumentasi apa yang dapat memperkuat hipotesis bahwa SLK bisa ditempatkan sebagai dokumentasi historis tentang letusan Krakatau? Sementara dalam ulasannya untuk bait penutup—Kerana hati gundah gulana/Terlalu banyak pikir kiranya/Terkena demam hampir matinya—Suryadi mengakui, tak ada jaminan apa yang digambarkan penyair sepenuhnya benar sebab dalam sastra selalu terbuka ruang untuk berimajinasi (hal 18).
Pada bait 235, penyair bahkan menegaskan permohonan maaf bila penggambarannya tentang peristiwa penting itu salah: Sekadar itulah hamba sebutkan/Kabar yang betul hamba katakan/tetapi tidak dengan penglihatan/Jikalau salah Tuan maafkan. Terbuka kemungkinan bahwa beberapa bagian dari 375 bait dalam SLK bukan sebagai laporan pandang mata, tetapi sebatas tafsir terhadap cerita yang didengar penyair dari sumber tertentu, sebagaimana diakuinya pada bait 84: Neneknya sendiri yang membilang/Bukannya hamba mengarang-ngarang.
Kesulitan menjangkau rujukan faktual dari naskah kuno berupa teks sastra pernah pula dialami Henri Chambert-Loir (2009) saat menelaah Hikayat Nakhoda Asik (HNA) dan Hikayat Merpati Mas, terbit pada paruh kedua abad ke-19. Rujukan geografis dalam kedua teks itu kabur. Hanya ada satu unsur yang dipertahankan pengarang—itu pun hanya dalam HNA—yaitu laut. Namun ’laut’ di sini sukar ditimbang sebagai rujukan geografis karena lebih terasa sebagai laut simbolik. Hikayat Merpati Mas juga menggambarkan tentang sebuah negeri yang dilanda petaka. Pada suatu malam datanglah air dari sebelah wetan, gemuruh suaranya, maka segala isi negeri habislah, ada yang berlari ke sana kemari, ada yang mencari pohon yang tinggi-tinggi. Menurut Henri, teks ini erat kaitannya dengan SLK.
Ketimbang menegaskan bahwa Hikayat Merpati Mas mengandung fakta-fakta tentang letusan Krakatau 1883, Henri hanya merujuk pada SLK yang berusia lebih tua. Lagi pula, siapa yang menjamin tidak akan ditemukan lagi naskah yang lebih tua? Maka, daripada memartabatkan SLK dalam kerangka kerja historiografi, akan lebih bebas risiko menempatkannya sebagai teks yang menjalankan fungsi konservasi terhadap sebuah kenangan yang mengharukan, tentang bencana besar yang pernah melanda negeri ini, agar kita tak lupa, tak lena, dan selalu waspada.
Damhuri Muhammad, Cerpenis
Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010
No comments:
Post a Comment