DOSEN Teknik Elektro Universitas Lampung ini membuat alat bantu salat dan menciptakan permainan untuk mendidik anak-anak agar mau berzakat.
Semua inovasi buatannya banyak diminati, khususnya oleh umat muslim. Dia merasa ada semacam ilham untuk membuat alat-alat tersebut.
Dia adalah Ageng Sadnowo Repelianto. Sosoknya sederhana dan masih terlihat sangat muda. Sebagai dosen muda, dia sudah memiliki hak paten, hak cipta, dan hak merek atau teknologi dan inovasi ciptaannya.
Alat bantu salat diciptakan saat masih menyelesaikan pendidikan S-2 Teknik Elektro di UGM. Alat ini membantu orang yang salat untuk mengingat berapa jumlah rakaat. Alat sederhana yang ditempatkan di sajadah ini bisa membantu orang yang sedang sakit, orang pelupa, dan orang yang sudah pikun untuk mengingat jumlah rakaat salat.
Alat sejenis headpad ditempatkan di sajadah dan kemudian dihubungkan dengan layar kecil untuk melihat jumlah rakaat. Ageng menciptakan alat ini saat mengalami cobaan yang cukup berat. Istri dan orang tuanya sakit, dirawat di rumah sakit. Pada saat bersamaan dia pun dituntun untuk menyelesaikan tesis.
Saat kondisi penuh tekanan ini, dia kerap salah dalam mengerjakan salat. Ageng yang kerap jadi imam di masjid ini selalu lupa jumlah rakaat salat dan selalu ditegur oleh makmum di belakang.
Dia pun tidak berani ke masjid dan memilih untuk salat di rumah. Pria kelahiran Malang, 43 tahun lalu ini pun akhirnya mencari alat di toko-toko elektronik di Yogyakarta yang bisa mengingatkan rakaat salat. Setelah berkeliling, tapi tidak juga menemukan alat itu. “Saya pikir kenapa enggak buat alat sendiri saja,” kata Ageng.
Akhirnya dibuatlah model alat bantu salat. Hanya satu jam Ageng membuat model alat tersebut. Namun, pembuatan alatnya membutuhkan waktu sampai tiga minggu. Setelah alat tercipta, justru dia tidak lagi lupa akan rakaat salat. “Orang lain menyebut bahwa saya memang ditugaskan untuk membuat alat bantu salat. Allah mengamanatkan lewat saya untuk membuat alat ini,” kata dia.
Ayah tiga anak ini berharap agar alat bantu salat ini bisa dibuat dengan desain yang lebih kecil dan menarik. Kini dia sedang mengembangkan agar alat bantu salat ini bisa menjadi program dalam handphone supaya lebih praktis. Hak paten alat salat pun langsung didaftarkan lewat Kanwilkumham. Hampir selama enam tahun patennya baru selesai.
Permainan untuk membangun kesadaran berzakat anak-anak juga diilhami saat Ageng menjadi pengurus lembaga zakat di Masjid Alwasii. Meskipun sudah mengajak banyak orang berzakat, sedikit sekali orang yang mau berzakat ke masjid. Dia berpikir bahwa keinginan berzakat perlu dibiasakan dari kecil. Penanaman hal itu bisa dilakukan lewat permainan.
Zakati adalah permainan yang dia ciptakan untuk menanamkan kesadaran berzakat pada anak-anak. Permainan seperti monopoli ini pun sudah mendapat hak cipta dan hak merek. Perlu waktu sekitar 2 tahun untuk mendapatkan sertifikat hak cipta dan merek tersebut.
Kemampuannya dalam bidang elektronika didedikasikan untuk membantu menyelesaikan masalah keseharian yang dihadapi umat Islam. “Lewat ilmu elektro inilah saya bisa berkontribusi. Tapi kalau untuk memasarkan produk yang sudah saya ciptakan, saya tidak bisa,” kata dia.
Zakati pernah ditawar oleh salah satu penerbit besar di Jakarta untuk diproduksi dan diperjualbelikan secara massal. Namun, Ageng menolak karena bila dibuat oleh penerbit besar harga jual permainan zakati mencapai Rp200 ribu. Padahal dia ingin agar semua anak bisa memainkannya. “Kalau harganya mahal, hanya anak orang kaya saja yang bisa membeli,” kata dia.
Zakati pun diproduksi oleh mahasiswanya dan dijual dengan harga Rp75 ribu. Mahasiswa mengerjakan zakati sekaligus sebagai lahan mereka untuk berwirausaha dan menghasilkan pendapatan. Permainan ini pun sedang dikembangkan menjadi game online.
Ageng menjadi satu-satunya dosen yang sudah memiliki sertifikat hak paten, hak merek, dan hak cipta. Banyak dosen-dosen hebat dan sudah menghasilkan banyak karya, tapi belum tentu memiliki hak paten dan hak cipta. “Saya hanya ingin jadi yang pertama memiliki hak paten dan hak cipta. Kalau jadi yang pertama yang lain kan mengikuti. Kalau jadi yang terbaik selalu ada saingan dan tandingannya. Saya hanya bisa jadi yang pertama untuk mengawali,” kata dia.
Suami dari Ana Andriani ini pun terus berkarya dan menciptakan inovasi baru. Dia sudah membuat program pendeteksi penyakit di tubuh. Dengan program ini, orang bisa memeriksa kesehatan sendiri di rumah melalui komputer atau laptop dan tidak perlu cek ke rumah sakit. Namun, penelitian yang sudah dikerjakan hilang bersama laptop milik Ageng. “Saya harus mulai lagi dari awal,” kata dia. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012
Semua inovasi buatannya banyak diminati, khususnya oleh umat muslim. Dia merasa ada semacam ilham untuk membuat alat-alat tersebut.
Dia adalah Ageng Sadnowo Repelianto. Sosoknya sederhana dan masih terlihat sangat muda. Sebagai dosen muda, dia sudah memiliki hak paten, hak cipta, dan hak merek atau teknologi dan inovasi ciptaannya.
Alat bantu salat diciptakan saat masih menyelesaikan pendidikan S-2 Teknik Elektro di UGM. Alat ini membantu orang yang salat untuk mengingat berapa jumlah rakaat. Alat sederhana yang ditempatkan di sajadah ini bisa membantu orang yang sedang sakit, orang pelupa, dan orang yang sudah pikun untuk mengingat jumlah rakaat salat.
Alat sejenis headpad ditempatkan di sajadah dan kemudian dihubungkan dengan layar kecil untuk melihat jumlah rakaat. Ageng menciptakan alat ini saat mengalami cobaan yang cukup berat. Istri dan orang tuanya sakit, dirawat di rumah sakit. Pada saat bersamaan dia pun dituntun untuk menyelesaikan tesis.
Saat kondisi penuh tekanan ini, dia kerap salah dalam mengerjakan salat. Ageng yang kerap jadi imam di masjid ini selalu lupa jumlah rakaat salat dan selalu ditegur oleh makmum di belakang.
Dia pun tidak berani ke masjid dan memilih untuk salat di rumah. Pria kelahiran Malang, 43 tahun lalu ini pun akhirnya mencari alat di toko-toko elektronik di Yogyakarta yang bisa mengingatkan rakaat salat. Setelah berkeliling, tapi tidak juga menemukan alat itu. “Saya pikir kenapa enggak buat alat sendiri saja,” kata Ageng.
Akhirnya dibuatlah model alat bantu salat. Hanya satu jam Ageng membuat model alat tersebut. Namun, pembuatan alatnya membutuhkan waktu sampai tiga minggu. Setelah alat tercipta, justru dia tidak lagi lupa akan rakaat salat. “Orang lain menyebut bahwa saya memang ditugaskan untuk membuat alat bantu salat. Allah mengamanatkan lewat saya untuk membuat alat ini,” kata dia.
Ayah tiga anak ini berharap agar alat bantu salat ini bisa dibuat dengan desain yang lebih kecil dan menarik. Kini dia sedang mengembangkan agar alat bantu salat ini bisa menjadi program dalam handphone supaya lebih praktis. Hak paten alat salat pun langsung didaftarkan lewat Kanwilkumham. Hampir selama enam tahun patennya baru selesai.
Permainan untuk membangun kesadaran berzakat anak-anak juga diilhami saat Ageng menjadi pengurus lembaga zakat di Masjid Alwasii. Meskipun sudah mengajak banyak orang berzakat, sedikit sekali orang yang mau berzakat ke masjid. Dia berpikir bahwa keinginan berzakat perlu dibiasakan dari kecil. Penanaman hal itu bisa dilakukan lewat permainan.
Zakati adalah permainan yang dia ciptakan untuk menanamkan kesadaran berzakat pada anak-anak. Permainan seperti monopoli ini pun sudah mendapat hak cipta dan hak merek. Perlu waktu sekitar 2 tahun untuk mendapatkan sertifikat hak cipta dan merek tersebut.
Kemampuannya dalam bidang elektronika didedikasikan untuk membantu menyelesaikan masalah keseharian yang dihadapi umat Islam. “Lewat ilmu elektro inilah saya bisa berkontribusi. Tapi kalau untuk memasarkan produk yang sudah saya ciptakan, saya tidak bisa,” kata dia.
Zakati pernah ditawar oleh salah satu penerbit besar di Jakarta untuk diproduksi dan diperjualbelikan secara massal. Namun, Ageng menolak karena bila dibuat oleh penerbit besar harga jual permainan zakati mencapai Rp200 ribu. Padahal dia ingin agar semua anak bisa memainkannya. “Kalau harganya mahal, hanya anak orang kaya saja yang bisa membeli,” kata dia.
Zakati pun diproduksi oleh mahasiswanya dan dijual dengan harga Rp75 ribu. Mahasiswa mengerjakan zakati sekaligus sebagai lahan mereka untuk berwirausaha dan menghasilkan pendapatan. Permainan ini pun sedang dikembangkan menjadi game online.
Ageng menjadi satu-satunya dosen yang sudah memiliki sertifikat hak paten, hak merek, dan hak cipta. Banyak dosen-dosen hebat dan sudah menghasilkan banyak karya, tapi belum tentu memiliki hak paten dan hak cipta. “Saya hanya ingin jadi yang pertama memiliki hak paten dan hak cipta. Kalau jadi yang pertama yang lain kan mengikuti. Kalau jadi yang terbaik selalu ada saingan dan tandingannya. Saya hanya bisa jadi yang pertama untuk mengawali,” kata dia.
Suami dari Ana Andriani ini pun terus berkarya dan menciptakan inovasi baru. Dia sudah membuat program pendeteksi penyakit di tubuh. Dengan program ini, orang bisa memeriksa kesehatan sendiri di rumah melalui komputer atau laptop dan tidak perlu cek ke rumah sakit. Namun, penelitian yang sudah dikerjakan hilang bersama laptop milik Ageng. “Saya harus mulai lagi dari awal,” kata dia. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment