Oleh Karina Lin
MALANG nian nasib guru bahasa Lampung di Bumi Ruwa Jurai ini. Mereka terancam punah karena kebijakan kurikulum yang baru (3013) tidak mencantumkan mata pelajaran bahasa Lampung dalam kode sertifikasinya. Kode sertifikasi yang biasa mereka gunakan (062), hanya mencantumkan atau berlaku bagi bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Ironisnya, ketika para guru (yang mengurus sertifikasi) itu komplain, dinas pendidikan kabupaten/ kota di Lampung (yang notabene harusnya memperjuangkan) malah menyarankan supaya guru pengaju sertifikasi bahasa Lampung, mengganti jenis sertifikasi yang mereka ajukan ke mata pelajaran lain. Aneh bin ajaib !
Bukan Cerita Baru
Cerita (kejadian) tentang betapa termarginalkannya guru bahasa Lampung (termasuk budaya dan sejarah Lampung) itu sendiri bukanlah cerita (kejadian) baru. Ia hanyalah cerita (kejadian) lama yang melejit dan terbarukan dalam plot berbeda.
Jika kita mau mengetahui cerita lama, tentang betapa tersisihkannya keberadaan bahasa Lampung, kebudayaan dan sejarah Lampung ini, kita bisa membaca literartur-literatur tentang kelampungan. Misalnya buku Feodalisme Modern (2013) yang ditulis oleh jurnalis dan esais Lampung Udo Z. Karzi. Banyak subbab dalam buku tersebut yang isinya membahasa mengenai kebahasaan, kebuayaan dan kesejarahan Lampung secara mengkritisi.
Saya kutipkan beberapa di antaranya, pernyataan pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan yang mengatakan bahasa Lampung bisa punah 75-100 tahun lagi. Tak kurang kritis, pengamat sastra A. Effendi Sanusi menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. Dikatakan olehnya, sastra lisan Lampung ternacam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka (lihat dalam subbab Unila Sebagai Pusat Kebudayaan).
Menyedihkan sekali! Dan membuat saya, Anda – kita bersama mengelus dada lantaran prihatin. Tapi hendak mengadu kepada siapa ? Karena pemerintah daerah yang sekarang ini tidak bisa diandalkan. Pun, institusi atau lembaga yang sebenarnya berkewajiban pun seolah lepas tangan.
Pilkada dan Isu yang Terbuang
Tahun 2014 adalah tahun politik – kata Pak SBY. Tapi bagi kita-kita, ulun Lampung, tahun 2013-lah yang merupakan tahun politik. Pasalnya di tahun ini kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Berbagai media massa di Lampung, tiada hari tanpa absen memberitakan sepak terjang dari lima pasang cagub-cawagub yang dipastikan melaju dalam pilkada bulan September nanti.
Mulai dari cagub A yang dikabarkan didukung penuh oleh partai X, Y, Z; cagub partai B yang elektabilitasnya diyakini naik karena baru-baru ini petinggi pusat partainya melakukan kunjungan ke Lampung. Cagub partai C yang sibuk mengkampanyekan pentingnya gotong royong, nilai-nilai kerakyatan dan sebagainya-dan sebagainya.
Tetapi, entah saya yang terlewat atau memang tidak diberitakan media massa – kenapa di antara lima pasang cagub-cawagub tersebut, tak pernah saya membaca atau mendengar inisiatif mereka dalam hal kebudayaan Lampung dan hal ihwal yang berkonotasi dengannya?
Di sini, muncul pertanyaan yang mempertanyakan seberapa besar “Lampungisme” mereka ? Dan di sini pula, ingatan saya melayang kepada Joko Widodo alias Jokowi.
Pak Jokowi memang tidak ada sangkut pautnya dengan pilkada daerah Lampung. Namun dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, beliau merupakan seorang kepala daerah panutan. Beliau yang asli Solo, sewaktu setahun lalu resmi dipilih dan dilantik menjadi Gubernur Jakarta punya komitmen lebih dari sekadar membenahi Kota DKI Jakarta dan bidang budaya termasuk salah satu dalam komitmennya itu. Paling segar dalam ingatan kita, ketika Jokowi bersikukuh mengembalikan perayaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair ke Gambir.
Bukan semata karena Gambir merupakan cikal bakal PRJ atau Jakarta Fair yang sekarang. Lebih penting lagi ialah mengembalikan esensi dari kegiatan tahunan tersebut, yakni sebagai hajatan warga Jakarta yang berlandasakan budaya Betawi. Jokowi juga mati-matian berusaha mempelajari bahasa Betawi untuk berpidato dalam HUT DKI Jakarta di bulan Juni lalu.
Melongok ke belakang, ketika beliau masih menjabat Walikota Solo – saya yakin akan membuat kita semakin berdecak kagum. Dalam majalah Intisari edisi Juni 2009 termuat sebuah artikel mengenai dirinya. Jokowi mengaku menjadi Walikota Solo karena terpeleset. Kalaupun ia akhirnya bersedia dicalonkan, itu lantaran keprihatinannya melihat kondisi Kota Surakarta.
Berlandaskan keprihatian inilah, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahannya – dirinya sangat mengedepankan kepentingan masyarakat dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Cara-cara instan ia jauhi. Tak jarang ia mengajak berdialog masyarakat yang akan terkena dampak pembangunan. Dengan begitu, masyarakat merasa dilindungi harkat dam martabatnya sebagai manusia.
Dalam bidang budaya, Jokowi berhasil membawa Surakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi anggota organisasi kota-kota Warisan Dunia sejak tahun 2006.
Lampungisme Para Cagub
Tiada maksud mengerdilkan apa yang telah dilakukan oleh para pasangan cagub-cawagub di sini. Tetapi, sekali lagi – apakah salah mempertanyakan kepada Anda-anda yang mencalonkan diri dalam pilkada ini – seberapa besar Lampungsime yang Anda miliki ? Belajar dari apa yang telah dilakukan Jokowi, seberapa kuat komitmen Anda dalam membangun Bumi Ruwa Jurai ini – khususnya yang berhubungan dengan kebudayaan dan turunannya?
Jika ditinjau dari sisi populer atau tidak populer, isu budaya dalam pilkada memang kalah pamor dibanding isu-isu yang lain seperti bagaimana meraih elektabilitas yang tinggi atau bagaimana supaya bisa meraih hati para pemilih. Terlebih (sebagaimana diberitakan baru-baru ini) jadwal pilkada Lampung yang rencananya digelar pada bulan September nanti, diundur menjadi tahun depan. Jelas pengumuman pengunduran jadwal pilkada ini membuat isu budaya semakin terpinggirkan. Para cagub-cawagub bisa dipastikan akan lebih berkonsentrasi menyusun ulang rencana pilkadanya. Namun percayalah, Lampung takkan melaju tanpa pondasi yang mantap apa bila (isu) budaya diabaikan.
Memperjuangkan keberadaan bahasa Lampung dalam kurikulum pendidikan yang baru, saya rasa bisa menjadi langkah awal dan salah satu indikator untuk menunjukkan kesungguhan sebagai “kepala daerah sejati”. Selanjutnya (mungkin) mewujudkan pendirian Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra untuk mengkaji lebih mendalam, kebudayaan dan hal ihwal kelampungan. Adakah (calon) yang berminat?
Karina Lin, Pengamat sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Juli 2013
MALANG nian nasib guru bahasa Lampung di Bumi Ruwa Jurai ini. Mereka terancam punah karena kebijakan kurikulum yang baru (3013) tidak mencantumkan mata pelajaran bahasa Lampung dalam kode sertifikasinya. Kode sertifikasi yang biasa mereka gunakan (062), hanya mencantumkan atau berlaku bagi bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Ironisnya, ketika para guru (yang mengurus sertifikasi) itu komplain, dinas pendidikan kabupaten/ kota di Lampung (yang notabene harusnya memperjuangkan) malah menyarankan supaya guru pengaju sertifikasi bahasa Lampung, mengganti jenis sertifikasi yang mereka ajukan ke mata pelajaran lain. Aneh bin ajaib !
Bukan Cerita Baru
Cerita (kejadian) tentang betapa termarginalkannya guru bahasa Lampung (termasuk budaya dan sejarah Lampung) itu sendiri bukanlah cerita (kejadian) baru. Ia hanyalah cerita (kejadian) lama yang melejit dan terbarukan dalam plot berbeda.
Jika kita mau mengetahui cerita lama, tentang betapa tersisihkannya keberadaan bahasa Lampung, kebudayaan dan sejarah Lampung ini, kita bisa membaca literartur-literatur tentang kelampungan. Misalnya buku Feodalisme Modern (2013) yang ditulis oleh jurnalis dan esais Lampung Udo Z. Karzi. Banyak subbab dalam buku tersebut yang isinya membahasa mengenai kebahasaan, kebuayaan dan kesejarahan Lampung secara mengkritisi.
Saya kutipkan beberapa di antaranya, pernyataan pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan yang mengatakan bahasa Lampung bisa punah 75-100 tahun lagi. Tak kurang kritis, pengamat sastra A. Effendi Sanusi menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. Dikatakan olehnya, sastra lisan Lampung ternacam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka (lihat dalam subbab Unila Sebagai Pusat Kebudayaan).
Menyedihkan sekali! Dan membuat saya, Anda – kita bersama mengelus dada lantaran prihatin. Tapi hendak mengadu kepada siapa ? Karena pemerintah daerah yang sekarang ini tidak bisa diandalkan. Pun, institusi atau lembaga yang sebenarnya berkewajiban pun seolah lepas tangan.
Pilkada dan Isu yang Terbuang
Tahun 2014 adalah tahun politik – kata Pak SBY. Tapi bagi kita-kita, ulun Lampung, tahun 2013-lah yang merupakan tahun politik. Pasalnya di tahun ini kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Berbagai media massa di Lampung, tiada hari tanpa absen memberitakan sepak terjang dari lima pasang cagub-cawagub yang dipastikan melaju dalam pilkada bulan September nanti.
Mulai dari cagub A yang dikabarkan didukung penuh oleh partai X, Y, Z; cagub partai B yang elektabilitasnya diyakini naik karena baru-baru ini petinggi pusat partainya melakukan kunjungan ke Lampung. Cagub partai C yang sibuk mengkampanyekan pentingnya gotong royong, nilai-nilai kerakyatan dan sebagainya-dan sebagainya.
Tetapi, entah saya yang terlewat atau memang tidak diberitakan media massa – kenapa di antara lima pasang cagub-cawagub tersebut, tak pernah saya membaca atau mendengar inisiatif mereka dalam hal kebudayaan Lampung dan hal ihwal yang berkonotasi dengannya?
Di sini, muncul pertanyaan yang mempertanyakan seberapa besar “Lampungisme” mereka ? Dan di sini pula, ingatan saya melayang kepada Joko Widodo alias Jokowi.
Pak Jokowi memang tidak ada sangkut pautnya dengan pilkada daerah Lampung. Namun dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, beliau merupakan seorang kepala daerah panutan. Beliau yang asli Solo, sewaktu setahun lalu resmi dipilih dan dilantik menjadi Gubernur Jakarta punya komitmen lebih dari sekadar membenahi Kota DKI Jakarta dan bidang budaya termasuk salah satu dalam komitmennya itu. Paling segar dalam ingatan kita, ketika Jokowi bersikukuh mengembalikan perayaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair ke Gambir.
Bukan semata karena Gambir merupakan cikal bakal PRJ atau Jakarta Fair yang sekarang. Lebih penting lagi ialah mengembalikan esensi dari kegiatan tahunan tersebut, yakni sebagai hajatan warga Jakarta yang berlandasakan budaya Betawi. Jokowi juga mati-matian berusaha mempelajari bahasa Betawi untuk berpidato dalam HUT DKI Jakarta di bulan Juni lalu.
Melongok ke belakang, ketika beliau masih menjabat Walikota Solo – saya yakin akan membuat kita semakin berdecak kagum. Dalam majalah Intisari edisi Juni 2009 termuat sebuah artikel mengenai dirinya. Jokowi mengaku menjadi Walikota Solo karena terpeleset. Kalaupun ia akhirnya bersedia dicalonkan, itu lantaran keprihatinannya melihat kondisi Kota Surakarta.
Berlandaskan keprihatian inilah, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahannya – dirinya sangat mengedepankan kepentingan masyarakat dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Cara-cara instan ia jauhi. Tak jarang ia mengajak berdialog masyarakat yang akan terkena dampak pembangunan. Dengan begitu, masyarakat merasa dilindungi harkat dam martabatnya sebagai manusia.
Dalam bidang budaya, Jokowi berhasil membawa Surakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi anggota organisasi kota-kota Warisan Dunia sejak tahun 2006.
Lampungisme Para Cagub
Tiada maksud mengerdilkan apa yang telah dilakukan oleh para pasangan cagub-cawagub di sini. Tetapi, sekali lagi – apakah salah mempertanyakan kepada Anda-anda yang mencalonkan diri dalam pilkada ini – seberapa besar Lampungsime yang Anda miliki ? Belajar dari apa yang telah dilakukan Jokowi, seberapa kuat komitmen Anda dalam membangun Bumi Ruwa Jurai ini – khususnya yang berhubungan dengan kebudayaan dan turunannya?
Jika ditinjau dari sisi populer atau tidak populer, isu budaya dalam pilkada memang kalah pamor dibanding isu-isu yang lain seperti bagaimana meraih elektabilitas yang tinggi atau bagaimana supaya bisa meraih hati para pemilih. Terlebih (sebagaimana diberitakan baru-baru ini) jadwal pilkada Lampung yang rencananya digelar pada bulan September nanti, diundur menjadi tahun depan. Jelas pengumuman pengunduran jadwal pilkada ini membuat isu budaya semakin terpinggirkan. Para cagub-cawagub bisa dipastikan akan lebih berkonsentrasi menyusun ulang rencana pilkadanya. Namun percayalah, Lampung takkan melaju tanpa pondasi yang mantap apa bila (isu) budaya diabaikan.
Memperjuangkan keberadaan bahasa Lampung dalam kurikulum pendidikan yang baru, saya rasa bisa menjadi langkah awal dan salah satu indikator untuk menunjukkan kesungguhan sebagai “kepala daerah sejati”. Selanjutnya (mungkin) mewujudkan pendirian Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra untuk mengkaji lebih mendalam, kebudayaan dan hal ihwal kelampungan. Adakah (calon) yang berminat?
Karina Lin, Pengamat sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Juli 2013
No comments:
Post a Comment