Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
PADA usia 27 tahun, Reynier de Klerck (terkadang namanya juga ditulis Reinier de Klerk) sudah mempunyai nama di Batavia. Di kota tempat tinggalnya, Middelburg, negeri Belanda, ia menjadi awak kapal tambang yang memandu kapal-kapal VOC memasuki pelabuhan. Setelah cukup umur, ia mulai bekerja sebagai awak kapal dan kemudian kapten kapal dan akuntan VOC.
Sekitar tahun 1730-an, di pedalaman Sumatera, Sultan Palembang dan Sultan Banten sedang berseteru mengenai batas kedua kerajaan itu. Pada waktu itu, daerah Lampung termasuk wilayah kekuasaan Sultan Banten. Kesultanan Palembang berkuasa atas wilayah yang bertetangga dengannya.
Sengketa perbatasan itu menarik perhatian Adriaan Valckenier, Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ketika itu. Orang Belanda ini sebetulnya tidak peduli pada permusuhan dan persaingan di antara Sultan Banten dan Sultan Palembang. Ia bukanlah lelaki yang peduli pada inlanders (pribumi) di nusantara. Ia bahkan dihukum mati karena dituduh membunuh ribuan orang China di Batavia di pertengahan abad ke-18.
Adriaan Valckenier tidak peduli bila Sultan Palembang dan Sultan Banten saling bermusuhan dan pasukan-pasukan mereka saling bunuh di ujung utara Lampung. Pertikaian yang sudah berjalan entah berapa lama itu hanya menarik perhatiannya karena pasokan lada dari Lampung dan Banten terganggu karena hal itu.
Valckenier mengangkat Reynier de Klerk—yang dikenal piawai melakukan negosiasi—sebagai opperkoopman (kepala pedagang) di Lampung. Sesampai di Lampung, De Klerk meneruskan perjalanannya ke daerah perbatasan Lampung-Palembang. Dengan beberapa kapal bersenjata lengkap, De Klerk melayari Sungai Tulangbawang sampai ke dusun yang disebut Mangala (Menggala) oleh penduduknya.
Sungai di dekat Dusun Menggala dipenuhi oleh kapal-kapal dari armada Kesultanan Palembang dan Banten. De Klerk memerintahkan kapten kapalnya untuk membuang sauh di tengah-tengah, di antara kedua armada itu. Dengan berbagai cara, ia mencoba mendekati dan menengahi kedua musuh itu. Apa pun yang dilakukannya, usahanya percuma. Tak tercapai mufakat antara armada Sultan Palembang dan Sultan Banten.
Setelah lebih dari setahun, tepatnya empat belas bulan, terapung-apung di tengah-tengah Sungai Tulangbawang, De Klerk akhirnya berhasil membujuk pihak Kesultanan Banten untuk mengizinkannya mendirikan sebuah bangunan bambu di darat untuk dirinya dan anggota-anggota pasukannya. Sementara itu, ia sendiri dan barangkali semua pihak yang bertikai sudah teramat bosan dengan situasi pertikaian yang tampaknya tak ada ujungnya itu.
Pada suatu malam, ia memerintahkan para anak buahnya untuk diam-diam menurunkan empat buah meriam dari kapal-kapal mereka. Tanpa setahu armada Sultan Banten dan Sultan Palembang, orang-orang Belanda itu menyembunyikan masing-masing kano di rumpun-rumpun bambu yang terdapat di setiap sudut bangunan tempat tinggalnya. Ketika matahari mulai menampakkan diri, mereka menggerek bendera Belanda tinggi-tinggi di atas sebatang bambu. Satu per satu meriam yang tersembunyi itu disundut.
Gelegarnya memecah kesunyian pagi. Orang Palembang dan Banten di atas kapal terkejut. Masing-masing mengirimkan utusan ke darat untuk menanyakan perihal letusan meriam itu. Konon, De Klerk menjelaskan bahwa tembakan meriam itu bukanlah serangan, melainkan tradisi maritim Belanda untuk menghormati pihak-pihak yang sedang dihadapi. Kesempatan itu digunakannya untuk menekankan bahwa suatu kesepakatan mengenai perbatasan wilayah itu harus segera dicapai. Ia tak dapat lagi berlama-lama menengahi pertikaian itu.
Rupanya setelah peristiwa itu, pembicaraan di antara kedua belah pihak dapat dilanjutkan lagi. Tak lama kemudian, batas-batas wilayah Kesultanan Palembang dan Lampung (Kesultanan Banten) disepakati. Batas-batas wilayah itulah yang kemudian berlaku sampai sekarang.
Sebagai imbalan bagi jerih-payahnya menengahi pertikaian itu, De Klerk menuntut diizinkan mendirikan benteng dan gudang-gudang di dusun Menggala. Bangunan-bangunan itu didirikan di atas bukit tempat rumah bambunya dulu didirikan. Untuk menghormati Gubernur-Jenderal Valckenier yang mengutus dirinya ke Lampung, De Klerk menamai benteng Belanda itu dinamakan Valkenoog (Mata Elang).
Menggala menjadi ibu kota daerah Lampung, Tulangbawang. Benteng itu menjadi pusat kegiatan VOC di Lampung dengan De Klerk sebagai pimpinannya. Sebelum benteng Valkenoog didirikan, di daerah Lampung Semangka, Belanda sudah memiliki benteng Petrus Albertus. Pada tahun 1782, ketika orang Inggris merangsek ke Lampung dari Bengkulu (untuk mengambil alih wilayah-wilayah kekuasaan Belanda), Residen van der Ster di Semangka melarikan diri ke Banten. Pasukan-pasukan Inggris kemudian menghancurkan benteng Petrus Albertus itu.
Pada 1741, setelah empat tahun bekerja dan tinggal di Menggala, De Klerck kembali ke Batavia. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda.
Ulasan mengenai mediasi oleh Reynier de Klerk itu ditulis oleh A. Huysers berdasarkan laporan dari De Klerk sendiri. Bagaimana jalannya penyelesaian pertikaian di antara perwakilan-perwakilan Kesultanan Palembang dan Kesultanan Banten pada 1737 itu? Sayang sekali laporan tertulis De Klerk—yang seharusnya tersimpan di dalam arsip-arsip VOC—belum terlacak.
Kemungkinan besar laporan-laporan serupa (yang barangkali ditulis dalam bahasa Melayu) mengenai peristiwa itu juga (pernah) ada dalam arsip kedua kesultanan itu. Tetapi, siapa yang pernah membacanya? n
Acuan Pustaka:
Beknopte beschryving der Oostindische etablissementen: verzeld van eenige lylagen, uit egte berigten te zaamen gesteld. A Huysers, Reinier de Klerk, Generale Nederlansche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Amsterdam: J Roos et al. 1792
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
PADA usia 27 tahun, Reynier de Klerck (terkadang namanya juga ditulis Reinier de Klerk) sudah mempunyai nama di Batavia. Di kota tempat tinggalnya, Middelburg, negeri Belanda, ia menjadi awak kapal tambang yang memandu kapal-kapal VOC memasuki pelabuhan. Setelah cukup umur, ia mulai bekerja sebagai awak kapal dan kemudian kapten kapal dan akuntan VOC.
Sekitar tahun 1730-an, di pedalaman Sumatera, Sultan Palembang dan Sultan Banten sedang berseteru mengenai batas kedua kerajaan itu. Pada waktu itu, daerah Lampung termasuk wilayah kekuasaan Sultan Banten. Kesultanan Palembang berkuasa atas wilayah yang bertetangga dengannya.
Sengketa perbatasan itu menarik perhatian Adriaan Valckenier, Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda ketika itu. Orang Belanda ini sebetulnya tidak peduli pada permusuhan dan persaingan di antara Sultan Banten dan Sultan Palembang. Ia bukanlah lelaki yang peduli pada inlanders (pribumi) di nusantara. Ia bahkan dihukum mati karena dituduh membunuh ribuan orang China di Batavia di pertengahan abad ke-18.
Adriaan Valckenier tidak peduli bila Sultan Palembang dan Sultan Banten saling bermusuhan dan pasukan-pasukan mereka saling bunuh di ujung utara Lampung. Pertikaian yang sudah berjalan entah berapa lama itu hanya menarik perhatiannya karena pasokan lada dari Lampung dan Banten terganggu karena hal itu.
Valckenier mengangkat Reynier de Klerk—yang dikenal piawai melakukan negosiasi—sebagai opperkoopman (kepala pedagang) di Lampung. Sesampai di Lampung, De Klerk meneruskan perjalanannya ke daerah perbatasan Lampung-Palembang. Dengan beberapa kapal bersenjata lengkap, De Klerk melayari Sungai Tulangbawang sampai ke dusun yang disebut Mangala (Menggala) oleh penduduknya.
Sungai di dekat Dusun Menggala dipenuhi oleh kapal-kapal dari armada Kesultanan Palembang dan Banten. De Klerk memerintahkan kapten kapalnya untuk membuang sauh di tengah-tengah, di antara kedua armada itu. Dengan berbagai cara, ia mencoba mendekati dan menengahi kedua musuh itu. Apa pun yang dilakukannya, usahanya percuma. Tak tercapai mufakat antara armada Sultan Palembang dan Sultan Banten.
Setelah lebih dari setahun, tepatnya empat belas bulan, terapung-apung di tengah-tengah Sungai Tulangbawang, De Klerk akhirnya berhasil membujuk pihak Kesultanan Banten untuk mengizinkannya mendirikan sebuah bangunan bambu di darat untuk dirinya dan anggota-anggota pasukannya. Sementara itu, ia sendiri dan barangkali semua pihak yang bertikai sudah teramat bosan dengan situasi pertikaian yang tampaknya tak ada ujungnya itu.
Pada suatu malam, ia memerintahkan para anak buahnya untuk diam-diam menurunkan empat buah meriam dari kapal-kapal mereka. Tanpa setahu armada Sultan Banten dan Sultan Palembang, orang-orang Belanda itu menyembunyikan masing-masing kano di rumpun-rumpun bambu yang terdapat di setiap sudut bangunan tempat tinggalnya. Ketika matahari mulai menampakkan diri, mereka menggerek bendera Belanda tinggi-tinggi di atas sebatang bambu. Satu per satu meriam yang tersembunyi itu disundut.
Gelegarnya memecah kesunyian pagi. Orang Palembang dan Banten di atas kapal terkejut. Masing-masing mengirimkan utusan ke darat untuk menanyakan perihal letusan meriam itu. Konon, De Klerk menjelaskan bahwa tembakan meriam itu bukanlah serangan, melainkan tradisi maritim Belanda untuk menghormati pihak-pihak yang sedang dihadapi. Kesempatan itu digunakannya untuk menekankan bahwa suatu kesepakatan mengenai perbatasan wilayah itu harus segera dicapai. Ia tak dapat lagi berlama-lama menengahi pertikaian itu.
Rupanya setelah peristiwa itu, pembicaraan di antara kedua belah pihak dapat dilanjutkan lagi. Tak lama kemudian, batas-batas wilayah Kesultanan Palembang dan Lampung (Kesultanan Banten) disepakati. Batas-batas wilayah itulah yang kemudian berlaku sampai sekarang.
Sebagai imbalan bagi jerih-payahnya menengahi pertikaian itu, De Klerk menuntut diizinkan mendirikan benteng dan gudang-gudang di dusun Menggala. Bangunan-bangunan itu didirikan di atas bukit tempat rumah bambunya dulu didirikan. Untuk menghormati Gubernur-Jenderal Valckenier yang mengutus dirinya ke Lampung, De Klerk menamai benteng Belanda itu dinamakan Valkenoog (Mata Elang).
Menggala menjadi ibu kota daerah Lampung, Tulangbawang. Benteng itu menjadi pusat kegiatan VOC di Lampung dengan De Klerk sebagai pimpinannya. Sebelum benteng Valkenoog didirikan, di daerah Lampung Semangka, Belanda sudah memiliki benteng Petrus Albertus. Pada tahun 1782, ketika orang Inggris merangsek ke Lampung dari Bengkulu (untuk mengambil alih wilayah-wilayah kekuasaan Belanda), Residen van der Ster di Semangka melarikan diri ke Banten. Pasukan-pasukan Inggris kemudian menghancurkan benteng Petrus Albertus itu.
Pada 1741, setelah empat tahun bekerja dan tinggal di Menggala, De Klerck kembali ke Batavia. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda.
Ulasan mengenai mediasi oleh Reynier de Klerk itu ditulis oleh A. Huysers berdasarkan laporan dari De Klerk sendiri. Bagaimana jalannya penyelesaian pertikaian di antara perwakilan-perwakilan Kesultanan Palembang dan Kesultanan Banten pada 1737 itu? Sayang sekali laporan tertulis De Klerk—yang seharusnya tersimpan di dalam arsip-arsip VOC—belum terlacak.
Kemungkinan besar laporan-laporan serupa (yang barangkali ditulis dalam bahasa Melayu) mengenai peristiwa itu juga (pernah) ada dalam arsip kedua kesultanan itu. Tetapi, siapa yang pernah membacanya? n
Acuan Pustaka:
Beknopte beschryving der Oostindische etablissementen: verzeld van eenige lylagen, uit egte berigten te zaamen gesteld. A Huysers, Reinier de Klerk, Generale Nederlansche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Amsterdam: J Roos et al. 1792
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
No comments:
Post a Comment