Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
DUSUN-DUSUN di Lampung dibangun tanpa pertahanan sama sekali. Hanya di Marga Radjah Bassa dan Waay Orang di Distrik Telok Betong serta Marga Waay Blang di Distrik Samangka tampak adanya pertahanan sederhana. Itu pun dibangun karena penduduk ketiga marga itu belum lama berselang memberontak menentang Pemerintah Hindia-Belanda. Ditambah lagi, mereka juga berperang dengan dusun-dusun di sekitarnya.
Penduduk marga-marga itu membangun pertahanan dari bambu berduri dan pagar hijau dengan kanal kecil yang dalam. Satu atau dua buah pintu sempit yang hanya memungkinkan orang masuk satu per satu dibuatkan di dinding pertahanan itu. Pintu-pintu itu terbuat dari sebilah papan kayu yang sangat keras.
Selain dinding pertahanan itu, marga-marga itu juga memiliki tempat-tempat perlindungan untuk menyembunyikan kaum perempuan, anak-anak, dan bahan-bahan kebutuhan hidup bila musuh-musuh berbangsa Eropa mengancam. Biasanya, tempat-tempat perlindungan itu terletak di tempat-tempat yang secara alami sudah terlindungi dan tersembunyi.
Menurut cerita, Pangherang Mangkoe-Boemie, pemimpin dan tetua Marga Waay Orang, memiliki tempat perlindungan yang tersembunyi di Gunung Radjah Bassa. Di jalan menuju persembunyian itu terdapat dua tempat yang di tebing yang sangat terjal. Tanpa menggunakan tangga khusus, tak seorang pun dapat mencapainya. Walaupun demikian, orang-orang yang berlindung di tempat-tempat persembunyian seperti itu takkan mungkin mati kelaparan karena penduduk membuat ladang-ladang di dekatnya, khusus untuk berjaga-jaga.
Menurut F.G. Steck, penduduk Marga Waay Blang bahkan mampu bertahan di tempat persembunyian mereka—sampai bertahun-tahun—karena adanya persediaan makanan yang cukup.
Dibandingkan beberapa tahun sebelum kedatangannya, Speck mencatat jumlah penduduk Lampung semakin sedikit. Ia menduga bahwa hal itu terjadi karena adat djoedjoer masih sering diberlakukan. Adat djoedjoer—yang menuntut pembayaran maskawin dalam jumlah cukup tinggi—menjadi penghalang perkawinan dan pertambahan penduduk.
Tak banyak pemuda yang sanggup membayar uang djoedjoer itu dan tak banyak pula yang bersedia menggadaikan dirinya demi cinta dan bekerja untuk mertuanya sampai ia mampu melunasi uang itu. Selain kendala adat djoedjoer itu, banyak distrik di Lampung juga kerap diserang epidemi kolera dan cacar air. Kedua penyakit itu banyak memakan korban.
Pola permukiman di Lampung kemungkinan juga mengesankan penduduknya jarang. Penduduk resmi suatu dusun kerap tinggal jauh di luar dusunnya, di dekat ladang-ladang pertaniannya. Pemimpin-pemimpin dusun biasanya tidak mencatat siapa saja yang tinggal di umbulnya pada suatu saat. Hal itu menyulitkan pendataan penduduk. Karena itu, walau Steck menyertakan tabel-tabel statistik kependudukan, data itu tidaklah dapat dianggap sebagai data mutlak.
Bahasa yang digunakan di Lampung unik. Sama uniknya dengan aksaranya. Aksara itu terdiri dari 20 lambang dasar. Empat belas aksara baru terbentuk bila lambang-lambang dasar tadi ditambahi dengan lambang lainnya. Dengan demikian, dapat diciptakan 280 lambang/aksara yang memadai untuk menuliskan segala kata yang ada di dalam bahasa Lampung.
Aksara Lampung ditulis dari kiri ke kanan. Dengan ujung pisau, biasanya aksara itu diguratkan di atas bambu hijau yang muda, daun lontar, atau kulit kayu atau dicoretkan dengan tinta yang dibuat dari abu dan cairan suatu tanaman. Sebagian besar orang Lampung—lelaki dan perempuan—dapat membaca dan menuliskan aksara itu. Aksara itu dipelajari sambil bermain-main pada waktu muda. Pun bahasa Melayu, yang biasa digunakan di Nusantara, dapat ditulis dengan menggunakan aksara Lampung.
Sekolah hanya terdapat di pusat-pusat perdagangan dan daerah pantai. Murid-murid di sekolah-sekolah itu belajar membaca Alquran dan baca-tulis dalam aksara Melayu (catatan: kemungkinan yang dimaksudkan Steck dengan istilah “aksara Melayu” adalah aksara Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu).
Belum lama berselang, sebuah sekolah didirikan di Tarabangie. Sekolah itu didirikan oleh seseorang yang sangat alim, yaitu Pangerang Semporna Djaija Poetie. Tetua adat dari pedalaman Lampung acap mengirimkan anak-anak mereka untuk mengecap pendidikan (keagamaan) di sekolah-sekolah itu.
Agama Islam adalah agama yang diakui di Lampung walau sebagian besar orang Lampung belum sepenuhnya mengenal dan menguasai ajarannya. Ulama atau orang yang bergelar haji tak banyak di Lampung. Kalau pun ada, orang-orang ini adanya di perkotaan. Tak banyak orang yang sanggup menunaikan ibadah haji ke Mekah. Hanya orang-orang yang terkemuka dan kaya (dan anak-anak mereka) yang melakukannya.
Banyak orang Lampung percaya pada tahayul. Di setiap jengkal hutan dan setiap kelok sungai, di bongkahan batu, dan tanduk-tanduk tua bersembunyi makhluk-makhluk halus. Para penduduk menaruh sesajen di tempat-tempat yang dianggapnya keramat sambil membacakan doa-doa agar dirinya dilindungi dan dibantu.
Tak seorang pun akan berani menginap di hutan sebelum membaca berbagai doa. Setelah meminta izin pada makhluk dan arwah yang menempati belantara itu, barulah orang berani menginap di hutan, menciduk air sungai, atau beristirahat di bawah dedaunan rindang sebuah beringin.
Orang Lampung sangat percaya pada pertanda. Suatu perjalanan, kegiatan, atau niat lain akan ditunda dulu sementara orang-orang pintar mencari pertanda apakah waktunya tepat untuk melakukan hal itu. Bukan hanya lingkungan alam yang dianggap keramat, orang Lampung pun sangat menghormati kuburan dan makam leluhur dan nenek moyangnya.
Menurut kepercayaan, nenek moyang orang Lampung sering masih berkelana dalam sosok harimau, gajah, atau buaya yang hidup di hutan dan sungai di sekitar dusun-dusun mereka. Arwah nenek moyang itu tetap berada di sekitar alam manusia untuk melindungi anak-cucu mereka.
Bila seseorang menjadi korban keganasan seekor harimau, warga dusunnya yakin bahwa harimau itu pastilah datang dari daerah lain. Kalaupun korban itu dimangsa oleh harimau yang biasa tampak di sekitar dusun, penduduk sekitarnya akan yakin bahwa si korban tak pelak telah melakukan suatu kesalahan besar. Karena itulah, nenek-moyang menjadi marah.
Bagaimana pun, tak ada yang berkeinginan untuk memburu dan membunuh seekor harimau yang baru saja memangsa manusia. Binatang itu keramat. n
Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G Kolff. 1862.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
Ny. Koning-Haring dengan anak gajah di Perkebunan Ratai, Telok Betong, 1930 (KITLV, Leiden) |
Penduduk marga-marga itu membangun pertahanan dari bambu berduri dan pagar hijau dengan kanal kecil yang dalam. Satu atau dua buah pintu sempit yang hanya memungkinkan orang masuk satu per satu dibuatkan di dinding pertahanan itu. Pintu-pintu itu terbuat dari sebilah papan kayu yang sangat keras.
Selain dinding pertahanan itu, marga-marga itu juga memiliki tempat-tempat perlindungan untuk menyembunyikan kaum perempuan, anak-anak, dan bahan-bahan kebutuhan hidup bila musuh-musuh berbangsa Eropa mengancam. Biasanya, tempat-tempat perlindungan itu terletak di tempat-tempat yang secara alami sudah terlindungi dan tersembunyi.
Menurut cerita, Pangherang Mangkoe-Boemie, pemimpin dan tetua Marga Waay Orang, memiliki tempat perlindungan yang tersembunyi di Gunung Radjah Bassa. Di jalan menuju persembunyian itu terdapat dua tempat yang di tebing yang sangat terjal. Tanpa menggunakan tangga khusus, tak seorang pun dapat mencapainya. Walaupun demikian, orang-orang yang berlindung di tempat-tempat persembunyian seperti itu takkan mungkin mati kelaparan karena penduduk membuat ladang-ladang di dekatnya, khusus untuk berjaga-jaga.
Menurut F.G. Steck, penduduk Marga Waay Blang bahkan mampu bertahan di tempat persembunyian mereka—sampai bertahun-tahun—karena adanya persediaan makanan yang cukup.
Dibandingkan beberapa tahun sebelum kedatangannya, Speck mencatat jumlah penduduk Lampung semakin sedikit. Ia menduga bahwa hal itu terjadi karena adat djoedjoer masih sering diberlakukan. Adat djoedjoer—yang menuntut pembayaran maskawin dalam jumlah cukup tinggi—menjadi penghalang perkawinan dan pertambahan penduduk.
Tak banyak pemuda yang sanggup membayar uang djoedjoer itu dan tak banyak pula yang bersedia menggadaikan dirinya demi cinta dan bekerja untuk mertuanya sampai ia mampu melunasi uang itu. Selain kendala adat djoedjoer itu, banyak distrik di Lampung juga kerap diserang epidemi kolera dan cacar air. Kedua penyakit itu banyak memakan korban.
Pola permukiman di Lampung kemungkinan juga mengesankan penduduknya jarang. Penduduk resmi suatu dusun kerap tinggal jauh di luar dusunnya, di dekat ladang-ladang pertaniannya. Pemimpin-pemimpin dusun biasanya tidak mencatat siapa saja yang tinggal di umbulnya pada suatu saat. Hal itu menyulitkan pendataan penduduk. Karena itu, walau Steck menyertakan tabel-tabel statistik kependudukan, data itu tidaklah dapat dianggap sebagai data mutlak.
Bahasa yang digunakan di Lampung unik. Sama uniknya dengan aksaranya. Aksara itu terdiri dari 20 lambang dasar. Empat belas aksara baru terbentuk bila lambang-lambang dasar tadi ditambahi dengan lambang lainnya. Dengan demikian, dapat diciptakan 280 lambang/aksara yang memadai untuk menuliskan segala kata yang ada di dalam bahasa Lampung.
Aksara Lampung ditulis dari kiri ke kanan. Dengan ujung pisau, biasanya aksara itu diguratkan di atas bambu hijau yang muda, daun lontar, atau kulit kayu atau dicoretkan dengan tinta yang dibuat dari abu dan cairan suatu tanaman. Sebagian besar orang Lampung—lelaki dan perempuan—dapat membaca dan menuliskan aksara itu. Aksara itu dipelajari sambil bermain-main pada waktu muda. Pun bahasa Melayu, yang biasa digunakan di Nusantara, dapat ditulis dengan menggunakan aksara Lampung.
Sekolah hanya terdapat di pusat-pusat perdagangan dan daerah pantai. Murid-murid di sekolah-sekolah itu belajar membaca Alquran dan baca-tulis dalam aksara Melayu (catatan: kemungkinan yang dimaksudkan Steck dengan istilah “aksara Melayu” adalah aksara Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu).
Belum lama berselang, sebuah sekolah didirikan di Tarabangie. Sekolah itu didirikan oleh seseorang yang sangat alim, yaitu Pangerang Semporna Djaija Poetie. Tetua adat dari pedalaman Lampung acap mengirimkan anak-anak mereka untuk mengecap pendidikan (keagamaan) di sekolah-sekolah itu.
Agama Islam adalah agama yang diakui di Lampung walau sebagian besar orang Lampung belum sepenuhnya mengenal dan menguasai ajarannya. Ulama atau orang yang bergelar haji tak banyak di Lampung. Kalau pun ada, orang-orang ini adanya di perkotaan. Tak banyak orang yang sanggup menunaikan ibadah haji ke Mekah. Hanya orang-orang yang terkemuka dan kaya (dan anak-anak mereka) yang melakukannya.
Banyak orang Lampung percaya pada tahayul. Di setiap jengkal hutan dan setiap kelok sungai, di bongkahan batu, dan tanduk-tanduk tua bersembunyi makhluk-makhluk halus. Para penduduk menaruh sesajen di tempat-tempat yang dianggapnya keramat sambil membacakan doa-doa agar dirinya dilindungi dan dibantu.
Tak seorang pun akan berani menginap di hutan sebelum membaca berbagai doa. Setelah meminta izin pada makhluk dan arwah yang menempati belantara itu, barulah orang berani menginap di hutan, menciduk air sungai, atau beristirahat di bawah dedaunan rindang sebuah beringin.
Orang Lampung sangat percaya pada pertanda. Suatu perjalanan, kegiatan, atau niat lain akan ditunda dulu sementara orang-orang pintar mencari pertanda apakah waktunya tepat untuk melakukan hal itu. Bukan hanya lingkungan alam yang dianggap keramat, orang Lampung pun sangat menghormati kuburan dan makam leluhur dan nenek moyangnya.
Menurut kepercayaan, nenek moyang orang Lampung sering masih berkelana dalam sosok harimau, gajah, atau buaya yang hidup di hutan dan sungai di sekitar dusun-dusun mereka. Arwah nenek moyang itu tetap berada di sekitar alam manusia untuk melindungi anak-cucu mereka.
Bila seseorang menjadi korban keganasan seekor harimau, warga dusunnya yakin bahwa harimau itu pastilah datang dari daerah lain. Kalaupun korban itu dimangsa oleh harimau yang biasa tampak di sekitar dusun, penduduk sekitarnya akan yakin bahwa si korban tak pelak telah melakukan suatu kesalahan besar. Karena itulah, nenek-moyang menjadi marah.
Bagaimana pun, tak ada yang berkeinginan untuk memburu dan membunuh seekor harimau yang baru saja memangsa manusia. Binatang itu keramat. n
Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G Kolff. 1862.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014
No comments:
Post a Comment